Thursday, April 30, 2015

10 Rekomendasi Film yang Tayang Mei 2015

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel List, Artikel Rekomendasi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : 10 Rekomendasi Film yang Tayang Mei 2015
link : 10 Rekomendasi Film yang Tayang Mei 2015

Baca juga


April 2015

Dari 'Avengers: Age of Ultron', hingga 'Mad Max: Fury Road', mari kita lihat 10 rekomendasi film yang akan tayang di bioskop, yang disusun oleh UlasanPilem.com
Avengers: Age of Ultron menjadi penanda dimulainya summer movie season. Sebagai musim yang sangat ditunggu oleh banyak penikmat film, musim panas adalah wadahnya film-film blockbuster, karena di musim inilah studio menempatkan jadwal rilis film-film yang diprediksi bakal laris manis di bioskop.


Dari Avengers: Age of Ultron, hingga Mad Max: Fury Road, kami telah menyusun 10 daftar rekomendasi film yang akan tayang di bioskop. Ingat, ini hanyalah referensi yang dibuat berdasarkan faktor eksternal film. Saya juga tak menjamin film yang masuk rekomendasi ini sudah pasti film bagus.

Catatan: Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu. Penayangan tergantung distributor film, jadi saya tak bisa memberikan tanggal pasti.

#01 Avengers: Age of Ultron

Perkiraan tayang: Sudah tayang pastinya

Mungkin bisa dibilang sedikit curang, karena Avengers: Age of Ultron telah tayang sejak 22 April lalu di Indonesia. Meski begitu, saya belum memasukkannya di rekomendasi sebelumnya (film ini tentunya harus masuk daftar rekomendasi, bukan?). Apalagi Age of Ultron memang dijadwalkan tayang pada 1 Mei. Maka berakhirlah sekuel The Avengers dalam daftar rekomendasi ini.

Tak perlu saya jelaskan panjang lebar, karena anda tentu sudah tahu tentang film ini. Para Avenger: Captain America, Iron Man, Thor, Hulk, Black Widow dan Hawkeye harus menghadapi musuh baru yang tangguh bernama Ultron. Sama seperti The Avengers, Joss Whedon mampu menangani keberagaman karakter tersebut dan menyatukannya dengan baik dalam satu film (Silakan baca review saya disini).

Sutradara: Joss Whedon
Pemain: Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Chris Evans, Mark Ruffalo, Jeremy Renner, Scarlett Johansson

#02 Testament of Youth

Perkiraan tayang: Sudah tayang

Karena film ini tayang di akhir April (tanggal 29 tepatnya), saya membenarkan diri memasukkannya di daftar rekomendasi Mei. Film ini dibintangi oleh bintang muda berbakat Alicia Vikander (Ex Machina) dan Kit Harrington (Game of Thrones).

Diangkat dari memoar berjudul sama yang ditulis oleh Vera Brittain, film ini menelaah perang dari sudut pandang seorang wanita bernama Vera yang ikut terlibat dalam perannya menjadi perawat tentara.

Sutradara: James Kent 
Pemain: Alicia Vikander, Kit Harington, Taron Egerton, Dominic West

#03 Maggie

Perkiraan tayang: Minggu pertama Mei

Meninggalkan image aktor aksi yang lekat padanya, Arnold Schwarzenegger bermain dalam film drama horor berjudul Maggie. Film ini bercerita mengenai seorang anak perempuan yang terinfeksi wabah yang mengubahnya menjadi zombi kanibal. Meski begitu, sang ayah tetap mendampinginya dengan penuh kasih sayang selama transformasi tersebut terjadi.

Awalnya direncanakan premier pada Toronto Film Festival, film ini dibeli hak distribusinya oleh Lionsgate dan ditarik dari festival.

Sutradara: Henry Hobson 
Pemain: Arnold Schwarzenegger, Abigail Breslin, Joely Richardson

#04 Mad Max: Fury Road

Perkiraan tayang: Minggu kedua Mei

Mad Max: Fury Road adalah film brutal beradrenalin tinggi. Jika anda telah menonton trailernya, anda pasti tahu betapa gilanya film ini. Seperti 3 film pendahulunya, Fury Road adalah film aksi non-stop (nyaris tanpa cerita) dengan adegan brutal dan stunts asli yang dilakukan tanpa CGI. Di jaman sekarang mungkin tak ada lagi yang peduli dengan hal tersebut, tapi melihat keterlibatan George Miller, sang sutradara film orisinilnya, kembali lagi dalam proyek berbujet $150 juta dengan merangkul Tom Hardy, sayang rasanya jika melewatkan Fury Road di bioskop.

Sutradara: George Miller 
Pemain: Tom Hardy, Charlize Theron, Nicholas Hoult, Hugh Keays-Byrne, Rosie Huntington-Whiteley

#05 Pitch Perfect 2

Perkiraan tayang: Minggu kedua Mei

Untuk ukuran film musikal berbujet kecil, Pitch Perfect sukses besar: meraup box office mencapai $115 juta, penjualan DVD dan VOD mencapai $135 juta, dan album soundtrack-nya yang meraih platinum. Tak mengejutkan jika kemudian film ini dibuat sekuelnya.

Saya sedikit ragu dengan posisi sutradara yang diambil alih oleh Elizabeth Banks (yang juga ikut bermain). Jason Moore sudah meninggalkan pondasi yang solid bagi film pertamanya, dan saya penasaran bagaimana Banks menangani para acapella pitches.

Sutradara: Elizabeth Banks 
Pemain: Anna Kendrick, Rebel Wilson, Hailee Steinfeld, Brittany Snow

#06 LDR

Jadwal tayang: Minggu kedua Mei

Sutradara Guntur Soeharjanto pernah menunjukkan kepiawaiannya menangani film drama dengan setting Eropa di 99 Cahaya di Langit Eropa. Masih berkutat di drama, Guntur mengambil inspirasi dari kisah Romeo Juliet dengan setting di kota Verona, Italia. Melihat poster filmnya yang sangat menawan, saya penasaran apakah Guntur bisa membuat film sebagus posternya.

Sutradara: Guntur Soeharjanto 
Pemain: Al Ghazali, Verrell Bramasta, Aurellie Moeremans, Mentari De Marelle

#07 Tomorrowland

Perkiraan tayang: Minggu ketiga Mei

Brad Bird adalah sutradara di balik kesuksesan animasi keluarga Iron Giant dan The Incredibles. Kualitasnya semakin terbukti saat Bird menangani franchise besar seperti Mission: Impossible - Ghost Protocol. Kembali ke ranah film keluarga, Bird mendapat proyek dari Disney untuk memfilmkan salah satu atraksi permainan Disney dan menjadikannya sesukses Pirates of Caribbean.

Katanya film ini akan bergenre adventure-misteri-fiksi ilmiah. Sebagai campuran genre favorit saya, pastinya takkan saya lewatkan pada 22 Mei mendatang.

Sutradara: Brad Bird 
Pemain: George Clooney, Hugh Laurie, Britt Robertson

#08 Poltergeist

Perkiraan tayang: Minggu ketiga Mei

Poltergeist merupakan remake dari film berjudul sama yang dirilis pada tahun 1982, yang disebut-sebut sebagai salah satu film terseram yang pernah dibuat. Mungkin sulit bagi Gil Kenan (Monster House) untuk mencapai reputasi yang sama seperti yang diraih Tobe Hooper. Namun dari trailernya, bisa kita lihat film ini juga tak kalah menyeramkan. Dipromosikan sebagai "kontemporisasi kisah klasiknya", saya rasa Kenan bersama produser Sam Raimi cukup pede dengan materinya, dan mari berharap Poltergeist ini benar-benar membuat kita merinding.

Sutradara: Gil Kenan 
Pemain: Sam Rockwell, Rosemarie DeWitt, Jared Harris, Jane Adams

#09 Doea Tanda Cinta

Jadwal tayang: Minggu ketiga Mei

Diangkat dari skenario Jujur Prananto (Doa yang Mengancam, Pendekar Tongkat Emas), saya rasa film ini akan menjadi film yang menarik meski mempunyai premis yang generik. Disini, Fedi Nuril akan bermain sebagai jagoan kampung yang masuk Akademi Militer.

Sutradara: Rick Soerafani
Pemeran: Fedi Nuril, Rendy Kjaernett, Tika Bravani

#10 San Andreas

Perkiraan tayang: Minggu keempat Mei

Meski bisa dibilang bukan kaliber Oscar, Dwayne "The Rock" Johnson adalah salah satu aktor yang produktif, bermain di banyak film dan menjadi salah satu aktor dengan pendapatan tertinggi di Hollywood. Dalam film yang mengumbar bencana sebagai sajian utamanya ini, The Rock bermain sebagai pilot helikopter yang berjuang menyelamatkan anak perempuannya saat gempa besar melanda California.

Tentu kita tak berharap banyak pada plotnya. Paling tidak, semoga saja San Andreas bisa memberikan pengalaman visual yang menegangkan di layar lebar dari efek CGI dan sound-nya.

Sutradara: Brad Peyton 
Pemain: Dwayne Johnson, Alexandra Daddario, Carla Gugino, Kylie Minogue, Paul Giamatti


Dan itu adalah rekomendasi film Mei ini. 10 slot adalah jumlah yang sedikit, dan mungkin anda punya rekomendasi lain yang tidak masuk dalam daftar ini. Dengan senang hati, kami persilakan anda masukkan ke dalam kolom komentar. ©UP

Dari 'Avengers: Age of Ultron', hingga 'Mad Max: Fury Road', mari kita lihat 10 rekomendasi film yang akan tayang di bioskop, yang disusun oleh UlasanPilem.com
Avengers: Age of Ultron menjadi penanda dimulainya summer movie season. Sebagai musim yang sangat ditunggu oleh banyak penikmat film, musim panas adalah wadahnya film-film blockbuster, karena di musim inilah studio menempatkan jadwal rilis film-film yang diprediksi bakal laris manis di bioskop.


Dari Avengers: Age of Ultron, hingga Mad Max: Fury Road, kami telah menyusun 10 daftar rekomendasi film yang akan tayang di bioskop. Ingat, ini hanyalah referensi yang dibuat berdasarkan faktor eksternal film. Saya juga tak menjamin film yang masuk rekomendasi ini sudah pasti film bagus.

Catatan: Jadwal dapat berubah sewaktu-waktu. Penayangan tergantung distributor film, jadi saya tak bisa memberikan tanggal pasti.

#01 Avengers: Age of Ultron

Perkiraan tayang: Sudah tayang pastinya

Mungkin bisa dibilang sedikit curang, karena Avengers: Age of Ultron telah tayang sejak 22 April lalu di Indonesia. Meski begitu, saya belum memasukkannya di rekomendasi sebelumnya (film ini tentunya harus masuk daftar rekomendasi, bukan?). Apalagi Age of Ultron memang dijadwalkan tayang pada 1 Mei. Maka berakhirlah sekuel The Avengers dalam daftar rekomendasi ini.

Tak perlu saya jelaskan panjang lebar, karena anda tentu sudah tahu tentang film ini. Para Avenger: Captain America, Iron Man, Thor, Hulk, Black Widow dan Hawkeye harus menghadapi musuh baru yang tangguh bernama Ultron. Sama seperti The Avengers, Joss Whedon mampu menangani keberagaman karakter tersebut dan menyatukannya dengan baik dalam satu film (Silakan baca review saya disini).

Sutradara: Joss Whedon
Pemain: Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Chris Evans, Mark Ruffalo, Jeremy Renner, Scarlett Johansson

#02 Testament of Youth

Perkiraan tayang: Sudah tayang

Karena film ini tayang di akhir April (tanggal 29 tepatnya), saya membenarkan diri memasukkannya di daftar rekomendasi Mei. Film ini dibintangi oleh bintang muda berbakat Alicia Vikander (Ex Machina) dan Kit Harrington (Game of Thrones).

Diangkat dari memoar berjudul sama yang ditulis oleh Vera Brittain, film ini menelaah perang dari sudut pandang seorang wanita bernama Vera yang ikut terlibat dalam perannya menjadi perawat tentara.

Sutradara: James Kent 
Pemain: Alicia Vikander, Kit Harington, Taron Egerton, Dominic West

#03 Maggie

Perkiraan tayang: Minggu pertama Mei

Meninggalkan image aktor aksi yang lekat padanya, Arnold Schwarzenegger bermain dalam film drama horor berjudul Maggie. Film ini bercerita mengenai seorang anak perempuan yang terinfeksi wabah yang mengubahnya menjadi zombi kanibal. Meski begitu, sang ayah tetap mendampinginya dengan penuh kasih sayang selama transformasi tersebut terjadi.

Awalnya direncanakan premier pada Toronto Film Festival, film ini dibeli hak distribusinya oleh Lionsgate dan ditarik dari festival.

Sutradara: Henry Hobson 
Pemain: Arnold Schwarzenegger, Abigail Breslin, Joely Richardson

#04 Mad Max: Fury Road

Perkiraan tayang: Minggu kedua Mei

Mad Max: Fury Road adalah film brutal beradrenalin tinggi. Jika anda telah menonton trailernya, anda pasti tahu betapa gilanya film ini. Seperti 3 film pendahulunya, Fury Road adalah film aksi non-stop (nyaris tanpa cerita) dengan adegan brutal dan stunts asli yang dilakukan tanpa CGI. Di jaman sekarang mungkin tak ada lagi yang peduli dengan hal tersebut, tapi melihat keterlibatan George Miller, sang sutradara film orisinilnya, kembali lagi dalam proyek berbujet $150 juta dengan merangkul Tom Hardy, sayang rasanya jika melewatkan Fury Road di bioskop.

Sutradara: George Miller 
Pemain: Tom Hardy, Charlize Theron, Nicholas Hoult, Hugh Keays-Byrne, Rosie Huntington-Whiteley

#05 Pitch Perfect 2

Perkiraan tayang: Minggu kedua Mei

Untuk ukuran film musikal berbujet kecil, Pitch Perfect sukses besar: meraup box office mencapai $115 juta, penjualan DVD dan VOD mencapai $135 juta, dan album soundtrack-nya yang meraih platinum. Tak mengejutkan jika kemudian film ini dibuat sekuelnya.

Saya sedikit ragu dengan posisi sutradara yang diambil alih oleh Elizabeth Banks (yang juga ikut bermain). Jason Moore sudah meninggalkan pondasi yang solid bagi film pertamanya, dan saya penasaran bagaimana Banks menangani para acapella pitches.

Sutradara: Elizabeth Banks 
Pemain: Anna Kendrick, Rebel Wilson, Hailee Steinfeld, Brittany Snow

#06 LDR

Jadwal tayang: Minggu kedua Mei

Sutradara Guntur Soeharjanto pernah menunjukkan kepiawaiannya menangani film drama dengan setting Eropa di 99 Cahaya di Langit Eropa. Masih berkutat di drama, Guntur mengambil inspirasi dari kisah Romeo Juliet dengan setting di kota Verona, Italia. Melihat poster filmnya yang sangat menawan, saya penasaran apakah Guntur bisa membuat film sebagus posternya.

Sutradara: Guntur Soeharjanto 
Pemain: Al Ghazali, Verrell Bramasta, Aurellie Moeremans, Mentari De Marelle

#07 Tomorrowland

Perkiraan tayang: Minggu ketiga Mei

Brad Bird adalah sutradara di balik kesuksesan animasi keluarga Iron Giant dan The Incredibles. Kualitasnya semakin terbukti saat Bird menangani franchise besar seperti Mission: Impossible - Ghost Protocol. Kembali ke ranah film keluarga, Bird mendapat proyek dari Disney untuk memfilmkan salah satu atraksi permainan Disney dan menjadikannya sesukses Pirates of Caribbean.

Katanya film ini akan bergenre adventure-misteri-fiksi ilmiah. Sebagai campuran genre favorit saya, pastinya takkan saya lewatkan pada 22 Mei mendatang.

Sutradara: Brad Bird 
Pemain: George Clooney, Hugh Laurie, Britt Robertson

#08 Poltergeist

Perkiraan tayang: Minggu ketiga Mei

Poltergeist merupakan remake dari film berjudul sama yang dirilis pada tahun 1982, yang disebut-sebut sebagai salah satu film terseram yang pernah dibuat. Mungkin sulit bagi Gil Kenan (Monster House) untuk mencapai reputasi yang sama seperti yang diraih Tobe Hooper. Namun dari trailernya, bisa kita lihat film ini juga tak kalah menyeramkan. Dipromosikan sebagai "kontemporisasi kisah klasiknya", saya rasa Kenan bersama produser Sam Raimi cukup pede dengan materinya, dan mari berharap Poltergeist ini benar-benar membuat kita merinding.

Sutradara: Gil Kenan 
Pemain: Sam Rockwell, Rosemarie DeWitt, Jared Harris, Jane Adams

#09 Doea Tanda Cinta

Jadwal tayang: Minggu ketiga Mei

Diangkat dari skenario Jujur Prananto (Doa yang Mengancam, Pendekar Tongkat Emas), saya rasa film ini akan menjadi film yang menarik meski mempunyai premis yang generik. Disini, Fedi Nuril akan bermain sebagai jagoan kampung yang masuk Akademi Militer.

Sutradara: Rick Soerafani
Pemeran: Fedi Nuril, Rendy Kjaernett, Tika Bravani

#10 San Andreas

Perkiraan tayang: Minggu keempat Mei

Meski bisa dibilang bukan kaliber Oscar, Dwayne "The Rock" Johnson adalah salah satu aktor yang produktif, bermain di banyak film dan menjadi salah satu aktor dengan pendapatan tertinggi di Hollywood. Dalam film yang mengumbar bencana sebagai sajian utamanya ini, The Rock bermain sebagai pilot helikopter yang berjuang menyelamatkan anak perempuannya saat gempa besar melanda California.

Tentu kita tak berharap banyak pada plotnya. Paling tidak, semoga saja San Andreas bisa memberikan pengalaman visual yang menegangkan di layar lebar dari efek CGI dan sound-nya.

Sutradara: Brad Peyton 
Pemain: Dwayne Johnson, Alexandra Daddario, Carla Gugino, Kylie Minogue, Paul Giamatti


Dan itu adalah rekomendasi film Mei ini. 10 slot adalah jumlah yang sedikit, dan mungkin anda punya rekomendasi lain yang tidak masuk dalam daftar ini. Dengan senang hati, kami persilakan anda masukkan ke dalam kolom komentar. ©UP

Review Film: 'The Last: Naruto the Movie' (2015)

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Last: Naruto the Movie' (2015)
link : Review Film: 'The Last: Naruto the Movie' (2015)

Baca juga


April 2015

Masashi Kishimoto melakukan pendekatan segar yang menjadikan 'The Last: Naruto the Movie' sebagai kisah romance yang dibumbui aksi. Bukan tipikal film Naruto, tapi efektif menyentuh penonton.

“I will never, ever let you go”
— Hinata
Sebagai seorang anak yang sedari kecil tumbuh dengan kisah petualangan Naruto — saya mengikuti komik tersebut sejak masih SD — saya merasa sedikit sentimentil saat sang pengarang komik Masashi Kishimoto menamatkan serial tersebut. Sentimentil, namun juga lega, karena Kishimoto menutup Naruto di saat yang tepat, sebelum menjadi membosankan karena dipanjang-panjangkan. The Last: Naruto the Movie bisa dibilang sebagai pelepas rindu dan penutup yang manis bagi saga ninja ini.

Dibuat sebagai benang merah antara chapter 699 dengan chapter 700 dari komiknya, film ini akan menjawab pertanyaan: apa yang terjadi hingga akhirnya Naruto bisa jadian dengan Hinata. Terjalinnya hubungan ini bukanlah hal yang mengejutkan sebenarnya, mengingat Hinata memang sudah menyukai Naruto sejak lama. Namun bagaimana keduanya menikah hingga punya 2 anak, tentu membuat para pembaca sedikit penasaran.

Film ini dibuka dengan adegan bersekuens kaligrafi yang indah yang menceritakan asal mula dunia shinobi, yang melibatkan Pohon Cakra dan leluhur para ninja, Hagoromo Ootsuki. Cerita dengan cepat beralih waktu Naruto dkk masih menginjak bangku sekolah dasar ninja. Sedikit berbeda dengan versi komiknya, disini Hinata telah mengenal Naruto sejak lama dan jatuh hati karena prinsipnya yang tak segan-segan membantu orang yang kesulitan. Bersetting 2 tahun setelah Perang Besar Shinobi ke-4, Naruto sekarang adalah pemuda yang populer, dan ini membuat Hinata semakin kesulitan mendekati Naruto.


Musuh kali ini cukup digdaya, pemuda bernama Toneri Ootsuki yang merupakan keturunan dari Hamura Ootsuki. Hamura adalah adik dari Hagoromo dimana klannya memilih untuk hidup di bulan (serius!). Dengan jurusnya, Toneri tengah berusaha menabrakkan bulan ke bumi untuk menghancurkan dunia shinobi (demi kedamaian tentunya, klise). Dia juga menculik Hanabi Hyuga untuk merampas mata Byakugan dan membangkitkan mata Tenseigan, yang selama ini disegel oleh Hamura.

Karena ini adalah film layar lebar, maka untuk kualitas animasi pastinya lebih baik dibandingkan kualitas serial. Desain para karakter dibuat menarik dan detil setiap pergerakan serta koreografi pertarungan berjalan dengan halus. Perlu dicermati juga penggunaan CGI untuk beberapa efek jurus yang tak terasa janggal menyatu dengan animasi konvensional.

Bagi yang menunggu reuni Tim 7 (Naruto, Sakura, dan Sasuke), anda akan dibikin kecele, karena Sasuke nyaris tak disorot — kecuali muncul seiprit sebagai cameo. Dengan semakin besarnya bahaya yang mendekat, banyak karakter-karakter lama yang dimunculkan, meski harus senasib dengan Sasuke. Kakashi yang sekarang merupakan Hokage ke-6 menugaskan Shikamaru, Sai, dan Hinata bersama dengan Naruto dan Sakura untuk menyelamatkan Hanabi. Cerita kemudian lebih berfokus pada Naruto dan Hinata.

The Last bukanlah tipikal film Naruto yang biasa anda tonton. Film ini adalah kisah cinta, meskipun tetap tak meninggalkan adegan aksi khas ninjanya. Tentu saja, Naruto bukan terkenal gara-gara romansa, dan mungkin beberapa dari anda akan kecewa karena porsi aksinya yang lebih sedikit. Di awal memang terasa sedikit aneh, namun drama yang dihadirkan ternyata cukup menyentuh, sebagian besar karena usaha Hinata yang dengan canggung berusaha menunjukkan perasaannya pada Naruto.

Seperti yang kita tahu, cinta Hinata bertepuk sebelah tangan karena Naruto menyukai Sakura. Disini terungkap motif asli Naruto mengejar-ngejar Sakura — yang ternyata berhubungan dengan rivalitasnya terhadap Sasuke. Akibat genjutsu yang dipasang musuh, dan berkat peran Sakura, Naruto akhirnya menyadari perasaan Hinata padanya. Semua tak berjalan mulus sayangnya, karena terjadi kisah tarik-ulur, bahkan sedikit bumbu cinta segitiga dengan terlibatnya Toneri.

Pendekatan Masashi Kishimoto yang mengangkat kisah cinta ini cukup segar sebenarnya, sayangnya mulai dari tengah film, narasinya menjadi repetitif dan datar, karena narasi dramanya yang tipikal sinetron. Sedikit banyak membuat penonton teralihkan dengan kasus yang lebih besar (hei, Toneri bakal menubrukkan bulan ke bumi!). Ditambah dengan fakta bahwa kita sudah mengetahui akhir drama cinta mereka (saya berasumsi anda telah membaca Chapter 700) membuat kita ingin cepat-cepat sampai di klimaks film.

The Last kembali menemukan energinya kembali saat mendekati bagian akhir. Dengan mengesampingkan rasionalitas (menentang gravitasi dan bernapas tanpa oksigen), pertarungan di bulan yang melibatkan puluhan boneka, meteor, monster raksasa dan adu jurus dahsyat, adalah pertarungan paling seru di antara movie Naruto lainnya.

Walaupun berjudul The Last, ternyata film ini bukanlah penutup, melainkan pembuka dari Naruto New Era Project, yang akan berlanjut di tahun ini dengan movie Boruto: Naruto the Movie. Menarik melihat karakter yang sudah akrab dengan kita, tumbuh dan menjadi dewasa, dengan konflik yang berbeda pula. Memang ini bukan film Naruto yang biasanya, namun perlu diingat bahwa basis film ini adalah kisah cinta Naruto dan Hinata. Alih-alih aksi yang dibumbui romance, The Last adalah romance yang dibumbui aksi. Dan dari perasaan hangat yang saya rasakan saat credit title bergulir, setidaknya Kishimoto berhasil menyajikan penutup yang menyentuh. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Last: Naruto the Movie' |
|

IMDb | Rottentomatoes
112 menit | Remaja

Sutradara Tsuneo Kobayashi
Penulis Kyozuka Maruo (screenplay), Masashi Kishimoto (original idea)
Pemain Junko Takeuchi, Nana Mizuki, Jun Fukuyama

Masashi Kishimoto melakukan pendekatan segar yang menjadikan 'The Last: Naruto the Movie' sebagai kisah romance yang dibumbui aksi. Bukan tipikal film Naruto, tapi efektif menyentuh penonton.

“I will never, ever let you go”
— Hinata
Sebagai seorang anak yang sedari kecil tumbuh dengan kisah petualangan Naruto — saya mengikuti komik tersebut sejak masih SD — saya merasa sedikit sentimentil saat sang pengarang komik Masashi Kishimoto menamatkan serial tersebut. Sentimentil, namun juga lega, karena Kishimoto menutup Naruto di saat yang tepat, sebelum menjadi membosankan karena dipanjang-panjangkan. The Last: Naruto the Movie bisa dibilang sebagai pelepas rindu dan penutup yang manis bagi saga ninja ini.

Dibuat sebagai benang merah antara chapter 699 dengan chapter 700 dari komiknya, film ini akan menjawab pertanyaan: apa yang terjadi hingga akhirnya Naruto bisa jadian dengan Hinata. Terjalinnya hubungan ini bukanlah hal yang mengejutkan sebenarnya, mengingat Hinata memang sudah menyukai Naruto sejak lama. Namun bagaimana keduanya menikah hingga punya 2 anak, tentu membuat para pembaca sedikit penasaran.

Film ini dibuka dengan adegan bersekuens kaligrafi yang indah yang menceritakan asal mula dunia shinobi, yang melibatkan Pohon Cakra dan leluhur para ninja, Hagoromo Ootsuki. Cerita dengan cepat beralih waktu Naruto dkk masih menginjak bangku sekolah dasar ninja. Sedikit berbeda dengan versi komiknya, disini Hinata telah mengenal Naruto sejak lama dan jatuh hati karena prinsipnya yang tak segan-segan membantu orang yang kesulitan. Bersetting 2 tahun setelah Perang Besar Shinobi ke-4, Naruto sekarang adalah pemuda yang populer, dan ini membuat Hinata semakin kesulitan mendekati Naruto.


Musuh kali ini cukup digdaya, pemuda bernama Toneri Ootsuki yang merupakan keturunan dari Hamura Ootsuki. Hamura adalah adik dari Hagoromo dimana klannya memilih untuk hidup di bulan (serius!). Dengan jurusnya, Toneri tengah berusaha menabrakkan bulan ke bumi untuk menghancurkan dunia shinobi (demi kedamaian tentunya, klise). Dia juga menculik Hanabi Hyuga untuk merampas mata Byakugan dan membangkitkan mata Tenseigan, yang selama ini disegel oleh Hamura.

Karena ini adalah film layar lebar, maka untuk kualitas animasi pastinya lebih baik dibandingkan kualitas serial. Desain para karakter dibuat menarik dan detil setiap pergerakan serta koreografi pertarungan berjalan dengan halus. Perlu dicermati juga penggunaan CGI untuk beberapa efek jurus yang tak terasa janggal menyatu dengan animasi konvensional.

Bagi yang menunggu reuni Tim 7 (Naruto, Sakura, dan Sasuke), anda akan dibikin kecele, karena Sasuke nyaris tak disorot — kecuali muncul seiprit sebagai cameo. Dengan semakin besarnya bahaya yang mendekat, banyak karakter-karakter lama yang dimunculkan, meski harus senasib dengan Sasuke. Kakashi yang sekarang merupakan Hokage ke-6 menugaskan Shikamaru, Sai, dan Hinata bersama dengan Naruto dan Sakura untuk menyelamatkan Hanabi. Cerita kemudian lebih berfokus pada Naruto dan Hinata.

The Last bukanlah tipikal film Naruto yang biasa anda tonton. Film ini adalah kisah cinta, meskipun tetap tak meninggalkan adegan aksi khas ninjanya. Tentu saja, Naruto bukan terkenal gara-gara romansa, dan mungkin beberapa dari anda akan kecewa karena porsi aksinya yang lebih sedikit. Di awal memang terasa sedikit aneh, namun drama yang dihadirkan ternyata cukup menyentuh, sebagian besar karena usaha Hinata yang dengan canggung berusaha menunjukkan perasaannya pada Naruto.

Seperti yang kita tahu, cinta Hinata bertepuk sebelah tangan karena Naruto menyukai Sakura. Disini terungkap motif asli Naruto mengejar-ngejar Sakura — yang ternyata berhubungan dengan rivalitasnya terhadap Sasuke. Akibat genjutsu yang dipasang musuh, dan berkat peran Sakura, Naruto akhirnya menyadari perasaan Hinata padanya. Semua tak berjalan mulus sayangnya, karena terjadi kisah tarik-ulur, bahkan sedikit bumbu cinta segitiga dengan terlibatnya Toneri.

Pendekatan Masashi Kishimoto yang mengangkat kisah cinta ini cukup segar sebenarnya, sayangnya mulai dari tengah film, narasinya menjadi repetitif dan datar, karena narasi dramanya yang tipikal sinetron. Sedikit banyak membuat penonton teralihkan dengan kasus yang lebih besar (hei, Toneri bakal menubrukkan bulan ke bumi!). Ditambah dengan fakta bahwa kita sudah mengetahui akhir drama cinta mereka (saya berasumsi anda telah membaca Chapter 700) membuat kita ingin cepat-cepat sampai di klimaks film.

The Last kembali menemukan energinya kembali saat mendekati bagian akhir. Dengan mengesampingkan rasionalitas (menentang gravitasi dan bernapas tanpa oksigen), pertarungan di bulan yang melibatkan puluhan boneka, meteor, monster raksasa dan adu jurus dahsyat, adalah pertarungan paling seru di antara movie Naruto lainnya.

Walaupun berjudul The Last, ternyata film ini bukanlah penutup, melainkan pembuka dari Naruto New Era Project, yang akan berlanjut di tahun ini dengan movie Boruto: Naruto the Movie. Menarik melihat karakter yang sudah akrab dengan kita, tumbuh dan menjadi dewasa, dengan konflik yang berbeda pula. Memang ini bukan film Naruto yang biasanya, namun perlu diingat bahwa basis film ini adalah kisah cinta Naruto dan Hinata. Alih-alih aksi yang dibumbui romance, The Last adalah romance yang dibumbui aksi. Dan dari perasaan hangat yang saya rasakan saat credit title bergulir, setidaknya Kishimoto berhasil menyajikan penutup yang menyentuh. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Last: Naruto the Movie' |
|

IMDb | Rottentomatoes
112 menit | Remaja

Sutradara Tsuneo Kobayashi
Penulis Kyozuka Maruo (screenplay), Masashi Kishimoto (original idea)
Pemain Junko Takeuchi, Nana Mizuki, Jun Fukuyama

Tuesday, April 28, 2015

Review Film: 'Good Kill' (2015)

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Good Kill' (2015)
link : Review Film: 'Good Kill' (2015)

Baca juga


April 2015

Relevan dengan kondisi politis perang saat ini, 'Good Kill' dengan cerdas mengangkat tema ambiguitas perang, meski di beberapa poin, punya kesempatan untuk menggali dramanya lebih dalam.

“Don't ask me if this is a just war. It's just war.”
— Jack Johns
Bagaimana jika anda bisa berperang dan membunuh pihak yang dianggap musuh tanpa harus terjun langsung ke medan perang? Diangkat dari kisah nyata, itulah pertanyaan terbesar dalam film drama terbaru dari Andrew Niccol berjudul Good Kill. Ini bukan kali pertamanya Niccol mengangkat ambiguitas moral dalam peperangan. Dengan penampilan aktor Nicholas Cage, Niccol pernah membahas subjek yang sama dalam Lord of War. Meski demikian, subjek tersebut lebih mengena dalam Good Kill karena menghadirkan topik yang sangat relevan dengan kebijakan perang terbaru dari Amerika.

Niccol mengajak kembali aktor dalam film debutnya Gattaca, Ethan Hawke sebagai karakter utama. Hawke bermain sebagai Mayor Tom Egan, mantan pilot pesawat F-16 yang sekarang bertugas sebagai pilot pesawat tanpa awak atau yang biasa disebut drone, dengan misi untuk melawan Taliban di Afganistan. Hanya bermodal remote control, para penerbang drone ini bisa mengebom suatu lokasi dan membunuh banyak orang, tanpa harus berpindah dari markas mereka di gurun Las Vegas.


Di atas kertas, ini adalah pekerjaan ideal bagi Tom. Tak hanya membuatnya bisa bekerja dekat dengan rumah dan keluarga, tugas ini juga meminimalkan resiko dan mengurangi tanggung jawab moral dibandingkan terjun langsung di lapangan. Kemudahan membunuh ini malah membuat Tom frustasi da mulai mempertanyakan nilai-nilai moral dari misinya. Tanpa terlibat langsung dalam perang, apakah dosanya memang lebih kecil dibandingkan tentara lapangan, sebagaimana yang selama ini menjadi paradigma rekan-rekan penerbang drone?

Sesuai dengan keputusan pemerintah Obama yang lebih memilih menggunakan drone untuk menumpas apa yang mereka sebut sebagai terorisme, sutradara Andew Niccol mengangkat tema yang sangat aktual sekaligus mengkritisi keputusan politis tersebut. Dengan sudut pandang dari karakter Tom yang mengalami trauma perang, Niccol menyasar daerah abu-abu tentang dampak psikologis bagi personil yang terlibat dalam pertempuran, meski tak secara langsung.

Film ini memiliki tema yang sama dengan film American Sniper dari Clint Eastwood, trauma pasca-perang dan nilai moral. Namun menurut saya, Good Kill lebih berkesan dibandingkan American Sniper karena menggambarkan konflik batin yang dialami karakternya dengan lebih baik. Terlebih saat penerbang drone ini ditugaskan oleh CIA untuk membunuh target hanya berdasarkan perilaku yang mencurigakan, ada diversifikasi prinsip antara masing-masing personil yang tak hanya menimbulkan konflik internal namun juga eksternal antara para personil itu sendiri, termasuk dengan pimpinannya, Kolonel Jack Johns. Hawke menampilkan bagaimana kondisi seorang tentara yang mengalami degradasi emosional dan mencari pelarian ke minuman keras, walaupun sebenarnya alkohol pun tak bisa mengisi kekosongan batinnya. Saat kemudian sang istri Molly (January Jones) memilih untuk meninggalkannya karena sudah tak tahan lagi, anda bisa merasakan bagaimana degradasi emosional ini mempengaruhi kehidupan nyata.

Akting Hawke menjadi kunci disini dan dia tampil dengan baik sepanjang film, penampilan yang hanya bisa diimbangi oleh Zoe Kravitz yang berperan sebagai Vera Suarez, tentara muda yang sensitif dan punya prinsip moral yang kuat. Selebihnya, karakter lain cenderung generik. Salah satu karakter yang mendapat porsi cukup banyak adalah Kolonel Jack Johns yang diperankan oleh Bruce Greenwood yang punya banyak dialog yang quotable. Karakternya yang sering menyumpah dan menggerutu adalah karakter stereotip pimpinan yang bagi saya sedikit mengganggu.

Mencoba menangkap realitas, dalam film ini nyaris tak ada adegan dramatis atau sekuens perang yang epik, dan mungkin ini akan membuat sebagian penonton menganggapnya monoton. Memang ada adegan agresi drone, namun semuanya terjadi dilihat dari sudut pandang pilot yang berada dalam bunker, jadi anda hanya akan disuguhkan dengan ledakan sunyi.

Gaya pengambilan gambar dari sinematografer Amir Mokri merepresentasikan dengan baik atmosfer film yang datar namun cenderung murung. Dengan metode long-shot dan posisi kamera yang terkadang tak mengetengahkan tokoh sebagai sorotan utama, menguatkan citra bahwa film ini fokus pada konfik batinnya, bukan mengenai tokoh itu sendiri.

Good Kill adalah film yang provokatif bagi yang ingin berpikir lebih jauh, membahas ambiguitas perang di dunia yang munafik. Meski di beberapa poin, Niccol punya kesempatan untuk menggali dramanya lebih dalam dengan memberikan adegan yang lebih dramatis, paling tidak dia telah berhasil menyajikan kisah konflik karakter yang membungkus kritik politis dengan cerdas. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Good Kill' |
|

IMDb | Rottentomatoes
102 menit | Remaja

Sutradara Andrew Niccol
Penulis Andrew Niccol
Pemain Ethan Hawke, January Jones, Zoë Kravitz, Bruce Greenwood

Relevan dengan kondisi politis perang saat ini, 'Good Kill' dengan cerdas mengangkat tema ambiguitas perang, meski di beberapa poin, punya kesempatan untuk menggali dramanya lebih dalam.

“Don't ask me if this is a just war. It's just war.”
— Jack Johns
Bagaimana jika anda bisa berperang dan membunuh pihak yang dianggap musuh tanpa harus terjun langsung ke medan perang? Diangkat dari kisah nyata, itulah pertanyaan terbesar dalam film drama terbaru dari Andrew Niccol berjudul Good Kill. Ini bukan kali pertamanya Niccol mengangkat ambiguitas moral dalam peperangan. Dengan penampilan aktor Nicholas Cage, Niccol pernah membahas subjek yang sama dalam Lord of War. Meski demikian, subjek tersebut lebih mengena dalam Good Kill karena menghadirkan topik yang sangat relevan dengan kebijakan perang terbaru dari Amerika.

Niccol mengajak kembali aktor dalam film debutnya Gattaca, Ethan Hawke sebagai karakter utama. Hawke bermain sebagai Mayor Tom Egan, mantan pilot pesawat F-16 yang sekarang bertugas sebagai pilot pesawat tanpa awak atau yang biasa disebut drone, dengan misi untuk melawan Taliban di Afganistan. Hanya bermodal remote control, para penerbang drone ini bisa mengebom suatu lokasi dan membunuh banyak orang, tanpa harus berpindah dari markas mereka di gurun Las Vegas.


Di atas kertas, ini adalah pekerjaan ideal bagi Tom. Tak hanya membuatnya bisa bekerja dekat dengan rumah dan keluarga, tugas ini juga meminimalkan resiko dan mengurangi tanggung jawab moral dibandingkan terjun langsung di lapangan. Kemudahan membunuh ini malah membuat Tom frustasi da mulai mempertanyakan nilai-nilai moral dari misinya. Tanpa terlibat langsung dalam perang, apakah dosanya memang lebih kecil dibandingkan tentara lapangan, sebagaimana yang selama ini menjadi paradigma rekan-rekan penerbang drone?

Sesuai dengan keputusan pemerintah Obama yang lebih memilih menggunakan drone untuk menumpas apa yang mereka sebut sebagai terorisme, sutradara Andew Niccol mengangkat tema yang sangat aktual sekaligus mengkritisi keputusan politis tersebut. Dengan sudut pandang dari karakter Tom yang mengalami trauma perang, Niccol menyasar daerah abu-abu tentang dampak psikologis bagi personil yang terlibat dalam pertempuran, meski tak secara langsung.

Film ini memiliki tema yang sama dengan film American Sniper dari Clint Eastwood, trauma pasca-perang dan nilai moral. Namun menurut saya, Good Kill lebih berkesan dibandingkan American Sniper karena menggambarkan konflik batin yang dialami karakternya dengan lebih baik. Terlebih saat penerbang drone ini ditugaskan oleh CIA untuk membunuh target hanya berdasarkan perilaku yang mencurigakan, ada diversifikasi prinsip antara masing-masing personil yang tak hanya menimbulkan konflik internal namun juga eksternal antara para personil itu sendiri, termasuk dengan pimpinannya, Kolonel Jack Johns. Hawke menampilkan bagaimana kondisi seorang tentara yang mengalami degradasi emosional dan mencari pelarian ke minuman keras, walaupun sebenarnya alkohol pun tak bisa mengisi kekosongan batinnya. Saat kemudian sang istri Molly (January Jones) memilih untuk meninggalkannya karena sudah tak tahan lagi, anda bisa merasakan bagaimana degradasi emosional ini mempengaruhi kehidupan nyata.

Akting Hawke menjadi kunci disini dan dia tampil dengan baik sepanjang film, penampilan yang hanya bisa diimbangi oleh Zoe Kravitz yang berperan sebagai Vera Suarez, tentara muda yang sensitif dan punya prinsip moral yang kuat. Selebihnya, karakter lain cenderung generik. Salah satu karakter yang mendapat porsi cukup banyak adalah Kolonel Jack Johns yang diperankan oleh Bruce Greenwood yang punya banyak dialog yang quotable. Karakternya yang sering menyumpah dan menggerutu adalah karakter stereotip pimpinan yang bagi saya sedikit mengganggu.

Mencoba menangkap realitas, dalam film ini nyaris tak ada adegan dramatis atau sekuens perang yang epik, dan mungkin ini akan membuat sebagian penonton menganggapnya monoton. Memang ada adegan agresi drone, namun semuanya terjadi dilihat dari sudut pandang pilot yang berada dalam bunker, jadi anda hanya akan disuguhkan dengan ledakan sunyi.

Gaya pengambilan gambar dari sinematografer Amir Mokri merepresentasikan dengan baik atmosfer film yang datar namun cenderung murung. Dengan metode long-shot dan posisi kamera yang terkadang tak mengetengahkan tokoh sebagai sorotan utama, menguatkan citra bahwa film ini fokus pada konfik batinnya, bukan mengenai tokoh itu sendiri.

Good Kill adalah film yang provokatif bagi yang ingin berpikir lebih jauh, membahas ambiguitas perang di dunia yang munafik. Meski di beberapa poin, Niccol punya kesempatan untuk menggali dramanya lebih dalam dengan memberikan adegan yang lebih dramatis, paling tidak dia telah berhasil menyajikan kisah konflik karakter yang membungkus kritik politis dengan cerdas. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Good Kill' |
|

IMDb | Rottentomatoes
102 menit | Remaja

Sutradara Andrew Niccol
Penulis Andrew Niccol
Pemain Ethan Hawke, January Jones, Zoë Kravitz, Bruce Greenwood

Sunday, April 26, 2015

Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Sampai di Puncak, Disusul 'Wewe'

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Sampai di Puncak, Disusul 'Wewe'
link : Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Sampai di Puncak, Disusul 'Wewe'

Baca juga


April 2015

Diserbu 'Avengers: Age of Ultron', 'Romeo+Rinjani' tak tampil mengecewakan di pemuncak bioskop Indonesia. Sementara, film Nabilah JKT48 'Wewe' menyalib 'Tjokroaminoto'.
Di tengah gempuran Avengers: Age of Ultron yang telah tayang sejak Rabu kemarin (22/04), film Indonesia masih bisa bertahan di bioskop. Romeo+Rinjani yang tayang mulai Kamis lalu (23/04) berhasil menjadi pemuncak Bioskop Indonesia minggu ini. Film arahan sutradara Fajar Bustomi ini meraih 57.756 penonton di minggu pertamanya. Meski dari beberapa review yang saya baca, film ini tak terlalu disukai, namun hal yang tepat tampaknya menggunakan pesona Gunung Rinjani sebagai daya jual.


//rizapahlevi

Wewe menyusul di posisi kedua dan menyalip Guru Bangsa Tjokroaminoto dengan raihan 34.803 penonton. Film debut Nabilah JKT48 ini tampil solid dengan hanya mengalami penurunan penonton sebesar 14,84%. Total jumlah raihannya adalah 75.669 penonton.

Di bawahnya, ada film Guru Bangsa Tjkroaminoto dengan 26.140 penonton. Setelah minggu sebelumnya naik dengan impresif sebesar 125,5%, di minggu ketiganya film ini harus anjok. Melihat desain produksinya yang tinggi, sangat disayangkan Tjokroaminoto tak bisa mengikuti jejak film Reza Rahadian sebelumnya, Habibie & Ainun. Paling tidak, film ini telah meraih total 124.743 penonton.

Film debut layar lebar Shaheer Sheikh, Turis Romantis berada di posisi keempat. Film drama komedi yang juga dibintangi oleh Kirana Larasati ini memanfaatkan nama Shaheer yang sedang naik daun di Indonesia, walaupun toh hanya berhasil masuk di posisi 4 dengan mengumpulkan 23.760 penonton.

Bulan di Atas Kuburan masih bertahan di minggu keduanya, meski harus turun drastis sebesar 64,4%. Dengan jumlah penonton 6.370 penonton, film ini mantap berada di posisi paling buncit.

Pemuncak Bioskop Indonesia 20 April - 26 April 2015

#01 Romeo+Rinjani


Minggu ini: 57.756 penonton
Total: 57.756 penonton

#02 Wewe


Minggu ini: 34.803 penonton
Total: 75.669 penonton

#03 Guru Bangsa Tjokroaminoto


Minggu ini: 26.160 penonton
Total: 124.743 penonton

#04 Turis Romantis


Minggu ini: 23.760 penonton
Total: 23.760 penonton

#05 Bulan di Atas Kuburan


Minggu ini: 6.370 penonton
Total: 24.258 penonton

Diserbu 'Avengers: Age of Ultron', 'Romeo+Rinjani' tak tampil mengecewakan di pemuncak bioskop Indonesia. Sementara, film Nabilah JKT48 'Wewe' menyalib 'Tjokroaminoto'.
Di tengah gempuran Avengers: Age of Ultron yang telah tayang sejak Rabu kemarin (22/04), film Indonesia masih bisa bertahan di bioskop. Romeo+Rinjani yang tayang mulai Kamis lalu (23/04) berhasil menjadi pemuncak Bioskop Indonesia minggu ini. Film arahan sutradara Fajar Bustomi ini meraih 57.756 penonton di minggu pertamanya. Meski dari beberapa review yang saya baca, film ini tak terlalu disukai, namun hal yang tepat tampaknya menggunakan pesona Gunung Rinjani sebagai daya jual.


//rizapahlevi

Wewe menyusul di posisi kedua dan menyalip Guru Bangsa Tjokroaminoto dengan raihan 34.803 penonton. Film debut Nabilah JKT48 ini tampil solid dengan hanya mengalami penurunan penonton sebesar 14,84%. Total jumlah raihannya adalah 75.669 penonton.

Di bawahnya, ada film Guru Bangsa Tjkroaminoto dengan 26.140 penonton. Setelah minggu sebelumnya naik dengan impresif sebesar 125,5%, di minggu ketiganya film ini harus anjok. Melihat desain produksinya yang tinggi, sangat disayangkan Tjokroaminoto tak bisa mengikuti jejak film Reza Rahadian sebelumnya, Habibie & Ainun. Paling tidak, film ini telah meraih total 124.743 penonton.

Film debut layar lebar Shaheer Sheikh, Turis Romantis berada di posisi keempat. Film drama komedi yang juga dibintangi oleh Kirana Larasati ini memanfaatkan nama Shaheer yang sedang naik daun di Indonesia, walaupun toh hanya berhasil masuk di posisi 4 dengan mengumpulkan 23.760 penonton.

Bulan di Atas Kuburan masih bertahan di minggu keduanya, meski harus turun drastis sebesar 64,4%. Dengan jumlah penonton 6.370 penonton, film ini mantap berada di posisi paling buncit.

Pemuncak Bioskop Indonesia 20 April - 26 April 2015

#01 Romeo+Rinjani


Minggu ini: 57.756 penonton
Total: 57.756 penonton

#02 Wewe


Minggu ini: 34.803 penonton
Total: 75.669 penonton

#03 Guru Bangsa Tjokroaminoto


Minggu ini: 26.160 penonton
Total: 124.743 penonton

#04 Turis Romantis


Minggu ini: 23.760 penonton
Total: 23.760 penonton

#05 Bulan di Atas Kuburan


Minggu ini: 6.370 penonton
Total: 24.258 penonton

Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Meledak di Pasar Internasional, 'Furious 7' untuk Terakhir Kalinya Jadi No.1

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Meledak di Pasar Internasional, 'Furious 7' untuk Terakhir Kalinya Jadi No.1
link : Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Meledak di Pasar Internasional, 'Furious 7' untuk Terakhir Kalinya Jadi No.1

Baca juga


April 2015

Dengan belum ditayangkannya 'Avengers: Age of Ultron' di bioskop Amerika, 'Furious 7' sekali lagi menjadi pemuncak box office. Namun tak menghentikan Captain America dkk memecahkan rekor box office internasional.
Indonesia adalah satu dari 44 negara yang menayangkan Avengers: Age of Ultron terlebih dahulu daripada Amerika yang baru akan tayang pada 1 Mei mendatang. Avengers: Age of Ultron diprediksi akan merajai box office Amerika pada Jumat depan, mengikuti jejaknya di box office internasional dan melengserkan dominasi Furious 7

Di minggu keempatnya, Furious 7 masih menjadi nomor 1 dengan menambahkan $18,3 juta. Total pendapatannya di Amerika menjadi $320,5 juta dan secara internasional mencapai $1,32 miliar. Hasil ini menempatkan Furious 7 menjadi film dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa secara internasional (di bawah Harry Potter and the Deathly Hallows - Part 2 dengan $1,34 miliar). Untuk ukuran pendapatan film di luar pasar Amerika, film ini bahkan menjadi film terlaris sepanjang masa, di belakang Titanic dan Avatar.

//screenrant

Sementara itu, Avengers: Age of Ultron yang baru dirilis di 44 negara (belum termasuk Amerika) menjadi nomor 1 di semua teritori tersebut dengan $201,2 juta. Hasil ini 44% lebih tinggi dibandingkan The Avengers dan 24% lebih tinggi dibandingkan Iron Man 3. Raihan terbesar di antaranya Korea ($28,2 juta), Inggris ($27,3 juta) , Rusia ($16,2 juta), Brazil ($13,1 juta), Australia ($13,1 juta) dan Prancis ($12,4 juta). Di Indonesia sendiri, Age of Ultron memperoleh rekor sebagai film dengan pendapatan tertinggi di hari pertama sebesar $900 ribu (Rp.11,6 miliar). Dengan dibukanya film ini di Amerika minggu depan, berbarengan dengan 2 pasar terbesar di luar Amerika yaitu Cina dan Jepang, saya yakin Captain America dkk akan memecahkan berbagai rekor untuk urusan laba.

Di posisi kedua, ada Paul Blart: Mall Cop 2 dengan $15,5 juta, yang berarti turun 35% dari minggu sebelumnya. Penurunan ini lebih besar dibandingkan film pertamanya dengan 32%. Dengan ini, sekuel komedi Kevin James ini total sudah meraih $44 juta.

Film romance-fantasy dari Blake Lively, The Age of Adaline masuk di posisi ketiga. Mendapat rating "A-" dari CinemaScore, film ini melewati Furious 7 pada Jumat lalu, namun tak bisa bertahan, dan berakhir dengan $13,4 juta.

Menjadi satu-satunya film anak-anak membuat Home masih bertahan di box office pada posisi keempat dengan $8,3 juta. Di minggu kelimanya ini, total pendapatan yang diraih adalah sebesar $153,8 juta.

Di posisi kelima Unfriended anjlok 61% dan hanya meraih $6,2 juta. Film bergenre found-footage dengan bujet superminim ini telah mengumpulkan laba sebesar $25,2 juta. ©UP

Weekend Box Office 24 April - 26 April 2015

#01 Furious 7


Minggu ini: $18,259,000
Total: $320,536,000

#02 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $15,500,000
Total: $43,950,000

#03 The Age of Adaline


Minggu ini: $13,375,000
Total: $13,375,000

#04 Home


Minggu ini: $8,300,000
Total: $153,784,000

#05 Unfriended


Minggu ini: $6,244,000
Total: $25,158,000

Dengan belum ditayangkannya 'Avengers: Age of Ultron' di bioskop Amerika, 'Furious 7' sekali lagi menjadi pemuncak box office. Namun tak menghentikan Captain America dkk memecahkan rekor box office internasional.
Indonesia adalah satu dari 44 negara yang menayangkan Avengers: Age of Ultron terlebih dahulu daripada Amerika yang baru akan tayang pada 1 Mei mendatang. Avengers: Age of Ultron diprediksi akan merajai box office Amerika pada Jumat depan, mengikuti jejaknya di box office internasional dan melengserkan dominasi Furious 7

Di minggu keempatnya, Furious 7 masih menjadi nomor 1 dengan menambahkan $18,3 juta. Total pendapatannya di Amerika menjadi $320,5 juta dan secara internasional mencapai $1,32 miliar. Hasil ini menempatkan Furious 7 menjadi film dengan pendapatan tertinggi sepanjang masa secara internasional (di bawah Harry Potter and the Deathly Hallows - Part 2 dengan $1,34 miliar). Untuk ukuran pendapatan film di luar pasar Amerika, film ini bahkan menjadi film terlaris sepanjang masa, di belakang Titanic dan Avatar.

//screenrant

Sementara itu, Avengers: Age of Ultron yang baru dirilis di 44 negara (belum termasuk Amerika) menjadi nomor 1 di semua teritori tersebut dengan $201,2 juta. Hasil ini 44% lebih tinggi dibandingkan The Avengers dan 24% lebih tinggi dibandingkan Iron Man 3. Raihan terbesar di antaranya Korea ($28,2 juta), Inggris ($27,3 juta) , Rusia ($16,2 juta), Brazil ($13,1 juta), Australia ($13,1 juta) dan Prancis ($12,4 juta). Di Indonesia sendiri, Age of Ultron memperoleh rekor sebagai film dengan pendapatan tertinggi di hari pertama sebesar $900 ribu (Rp.11,6 miliar). Dengan dibukanya film ini di Amerika minggu depan, berbarengan dengan 2 pasar terbesar di luar Amerika yaitu Cina dan Jepang, saya yakin Captain America dkk akan memecahkan berbagai rekor untuk urusan laba.

Di posisi kedua, ada Paul Blart: Mall Cop 2 dengan $15,5 juta, yang berarti turun 35% dari minggu sebelumnya. Penurunan ini lebih besar dibandingkan film pertamanya dengan 32%. Dengan ini, sekuel komedi Kevin James ini total sudah meraih $44 juta.

Film romance-fantasy dari Blake Lively, The Age of Adaline masuk di posisi ketiga. Mendapat rating "A-" dari CinemaScore, film ini melewati Furious 7 pada Jumat lalu, namun tak bisa bertahan, dan berakhir dengan $13,4 juta.

Menjadi satu-satunya film anak-anak membuat Home masih bertahan di box office pada posisi keempat dengan $8,3 juta. Di minggu kelimanya ini, total pendapatan yang diraih adalah sebesar $153,8 juta.

Di posisi kelima Unfriended anjlok 61% dan hanya meraih $6,2 juta. Film bergenre found-footage dengan bujet superminim ini telah mengumpulkan laba sebesar $25,2 juta. ©UP

Weekend Box Office 24 April - 26 April 2015

#01 Furious 7


Minggu ini: $18,259,000
Total: $320,536,000

#02 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $15,500,000
Total: $43,950,000

#03 The Age of Adaline


Minggu ini: $13,375,000
Total: $13,375,000

#04 Home


Minggu ini: $8,300,000
Total: $153,784,000

#05 Unfriended


Minggu ini: $6,244,000
Total: $25,158,000

Review Film: 'The Voices' (2015)

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Komedi, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Voices' (2015)
link : Review Film: 'The Voices' (2015)

Baca juga


April 2015

Aneh dan eksentrik, 'The Voices' film terbaru dari Marjane Satrapi yang merupakan mash-up genre ini menyuguhkan perspektif segar dan penampilan menawan dari Ryan Reynolds.

“Wish I could help you Jerry... uuh but I'm just a fish.”
— Fish
Biasanya kisah mengenai pembunuh berantai diceritakan dengan narasi yang menegangkan dan seram. Namun dalam The Voices kita akan disajikan metode yang segar. Walaupun tetap menampilkan adegan berdarah-darah, namun pendekatan yang dilakukan oleh sutradara Marjane Satrapi dalam film yang dibintangi Ryan Reynolds ini memberikan perspektif baru mengenai motif dan tindakan pelaku pembunuh berantai.

Ryan Reynolds berperan sebagai Jerry, seorang pemuda yang polos dan sedikit canggung dalam bergaul. Menjalani kehidupan sehari-harinya dengan riang, Jerry adalah pekerja rajin yang setiap pagi selalu bersiap dengan pakaian kerjanya yang berwarna pink cerah. Di kantornya, Jerry terlihat sebagai satu-satunya yang normal, sementara yang lainnya antisosial dan aneh. Di kantor ini jugalah, Jerry naksir dengan teman sekerjanya, seorang wanita Inggris seksi bernama Fiona (Gemma Arterton) dan berusaha menggebetnya dengan bantuan sang psikiater pribadi, Dr. Warren (Jacki Weaver).

Jerry hidup sendiri tanpa keluarga, namun ditemani oleh 2 binatang peliharaannya, seekor kucing bernama Mr Whiskers dan seekor anjing bernama Bosco. Anehnya, kedua peliharaan ini bisa bicara, dan kadang-kadang memberi sugesti pada Jerry. Mr Whiskers menyarankannya melakukan hal-hal buruk — termasuk membunuh — sementara Bosco berusaha melarang.


Setting kantor tak realistis yang penuh warna, baju kerja pink menyala, dan peliharaan yang bisa bicara, tentunya akan membuat kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Sementara penjelasannya bukanlah inti dari film — dan bukan juga menjadi plot-twist, tetap saja realitanya membuat saya sedikit terkejut.

Berangkat dari film animasi Persepolis yang diangkat dari komiknya sendiri, Marjane Satrapi menghadirkan film artistik yang merupakan rujak genre antara komedi dan thriller dengan sedikit drama. Sebagai film artistik, film yang telah tayang sejak tahun lalu di Sundance Film Festival ini tentu agak sedikit nyeleneh. Di awal film, penonton disuguhkan dengan romance-comedy mengenai cinta segitiga antara Jerry, Fiona, dan Lisa (Anna Kendrick). Namun seiring berjalannya cerita, terjadi sedikit pergeseran ke genre thriller-slasher, yang dimulai dengan kesalahpahaman yang terjadi antara Jerry dan Fiona saat malam kencan pertama.

Jika saya teruskan, maka akan menjadi spoiler. Intinya, Jerry adalah seorang penderita skizofrenia yang akhirnya menjadi pembunuh berantai. Adegan berdarah, mutilasi, potongan daging manusia dalam Tupperware, dan potongan kepala di kulkas Jerry menunjukkan bahwa Jerry taklah sepolos kelihatannya. Meski demikian, Satrapi menyajikannya dengan atmosfer yang aneh dan eksentrik, yang membuat film ini menjadi lucu dan mengerikan secara bersamaan.

Ryan Reynolds memberikan penampilan terbaiknya sejak film Buried. Tak hanya mengisi suara kedua hewan peliharaannya — yang punya aksen aneh — Reynolds berhasil membawakan karakter kompleks sebagai Jerry yang mengalami penyakit mental. Di satu sisi dia adalah pria culun dan canggung, tapi di sisi lain adalah pembunuh berantai. Jerry melakukan hal tersebut bukan karena keinginan sendiri melainkan karena paksaan situasi dan keinginannya untuk lari dari realitas yang pahit.

Walaupun secara garis besar saya sangat menikmati film ini, namun ada sedikit keinginan untuk tahu lebih dalam mengenai karakter Jerry. Secara garis besar, film ini memang bercerita dari sudut pandang Jerry, bagaimana Jerry melihat dunia. Penggambaran antara dunia fantasi Jerry dengan kenyataan cenderung menjadi repetitif, membuat film ini tak punya kesempatan untuk menggali lebih dalam karakter Jerry, selain sekilas mengenai masa lalunya.

Ending film mungkin akan dinilai absurd bagi sebagian penonton. Tapi menurut saya, sangat pas. Sesuai dengan tone dan atmosfir satire yang ingin disampaikan oleh Satrapi dan penulis skrip Michael R. Perry (Paranormal Activity 2). Meski tak ada ketegangan tipikal film slasher, dengan gayanya yang unik The Voices menjadi film eksentrik yang menarik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Voices' |
|

IMDb | Rottentomatoes
104 menit | Remaja

Sutradara Marjane Satrapi
Penulis Michael R. Perry
Pemain Ryan Reynolds, Gemma Arterton, Anna Kendrick, Jacki Weaver

Aneh dan eksentrik, 'The Voices' film terbaru dari Marjane Satrapi yang merupakan mash-up genre ini menyuguhkan perspektif segar dan penampilan menawan dari Ryan Reynolds.

“Wish I could help you Jerry... uuh but I'm just a fish.”
— Fish
Biasanya kisah mengenai pembunuh berantai diceritakan dengan narasi yang menegangkan dan seram. Namun dalam The Voices kita akan disajikan metode yang segar. Walaupun tetap menampilkan adegan berdarah-darah, namun pendekatan yang dilakukan oleh sutradara Marjane Satrapi dalam film yang dibintangi Ryan Reynolds ini memberikan perspektif baru mengenai motif dan tindakan pelaku pembunuh berantai.

Ryan Reynolds berperan sebagai Jerry, seorang pemuda yang polos dan sedikit canggung dalam bergaul. Menjalani kehidupan sehari-harinya dengan riang, Jerry adalah pekerja rajin yang setiap pagi selalu bersiap dengan pakaian kerjanya yang berwarna pink cerah. Di kantornya, Jerry terlihat sebagai satu-satunya yang normal, sementara yang lainnya antisosial dan aneh. Di kantor ini jugalah, Jerry naksir dengan teman sekerjanya, seorang wanita Inggris seksi bernama Fiona (Gemma Arterton) dan berusaha menggebetnya dengan bantuan sang psikiater pribadi, Dr. Warren (Jacki Weaver).

Jerry hidup sendiri tanpa keluarga, namun ditemani oleh 2 binatang peliharaannya, seekor kucing bernama Mr Whiskers dan seekor anjing bernama Bosco. Anehnya, kedua peliharaan ini bisa bicara, dan kadang-kadang memberi sugesti pada Jerry. Mr Whiskers menyarankannya melakukan hal-hal buruk — termasuk membunuh — sementara Bosco berusaha melarang.


Setting kantor tak realistis yang penuh warna, baju kerja pink menyala, dan peliharaan yang bisa bicara, tentunya akan membuat kita bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Sementara penjelasannya bukanlah inti dari film — dan bukan juga menjadi plot-twist, tetap saja realitanya membuat saya sedikit terkejut.

Berangkat dari film animasi Persepolis yang diangkat dari komiknya sendiri, Marjane Satrapi menghadirkan film artistik yang merupakan rujak genre antara komedi dan thriller dengan sedikit drama. Sebagai film artistik, film yang telah tayang sejak tahun lalu di Sundance Film Festival ini tentu agak sedikit nyeleneh. Di awal film, penonton disuguhkan dengan romance-comedy mengenai cinta segitiga antara Jerry, Fiona, dan Lisa (Anna Kendrick). Namun seiring berjalannya cerita, terjadi sedikit pergeseran ke genre thriller-slasher, yang dimulai dengan kesalahpahaman yang terjadi antara Jerry dan Fiona saat malam kencan pertama.

Jika saya teruskan, maka akan menjadi spoiler. Intinya, Jerry adalah seorang penderita skizofrenia yang akhirnya menjadi pembunuh berantai. Adegan berdarah, mutilasi, potongan daging manusia dalam Tupperware, dan potongan kepala di kulkas Jerry menunjukkan bahwa Jerry taklah sepolos kelihatannya. Meski demikian, Satrapi menyajikannya dengan atmosfer yang aneh dan eksentrik, yang membuat film ini menjadi lucu dan mengerikan secara bersamaan.

Ryan Reynolds memberikan penampilan terbaiknya sejak film Buried. Tak hanya mengisi suara kedua hewan peliharaannya — yang punya aksen aneh — Reynolds berhasil membawakan karakter kompleks sebagai Jerry yang mengalami penyakit mental. Di satu sisi dia adalah pria culun dan canggung, tapi di sisi lain adalah pembunuh berantai. Jerry melakukan hal tersebut bukan karena keinginan sendiri melainkan karena paksaan situasi dan keinginannya untuk lari dari realitas yang pahit.

Walaupun secara garis besar saya sangat menikmati film ini, namun ada sedikit keinginan untuk tahu lebih dalam mengenai karakter Jerry. Secara garis besar, film ini memang bercerita dari sudut pandang Jerry, bagaimana Jerry melihat dunia. Penggambaran antara dunia fantasi Jerry dengan kenyataan cenderung menjadi repetitif, membuat film ini tak punya kesempatan untuk menggali lebih dalam karakter Jerry, selain sekilas mengenai masa lalunya.

Ending film mungkin akan dinilai absurd bagi sebagian penonton. Tapi menurut saya, sangat pas. Sesuai dengan tone dan atmosfir satire yang ingin disampaikan oleh Satrapi dan penulis skrip Michael R. Perry (Paranormal Activity 2). Meski tak ada ketegangan tipikal film slasher, dengan gayanya yang unik The Voices menjadi film eksentrik yang menarik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Voices' |
|

IMDb | Rottentomatoes
104 menit | Remaja

Sutradara Marjane Satrapi
Penulis Michael R. Perry
Pemain Ryan Reynolds, Gemma Arterton, Anna Kendrick, Jacki Weaver

Saturday, April 25, 2015

Review Film: 'Unfriended' (2015)

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Unfriended' (2015)
link : Review Film: 'Unfriended' (2015)

Baca juga


April 2015

Secara teknis, film ini memang inovatif. Namun jika ditinjau dari genrenya yang notabene adalah film horor, 'Unfriended' tak begitu spesial karena tak punya elemen seram yang esensial.

“Online, your memories live forever... but so do your mistakes.”
Menyusul tren horor found-footage yang makin jenuh, sutradara Levan Gabriadze menghadirkan horor gaya baru yang lebih gimmicky. Didekingi oleh Jason Blum dan rumah produksinya, Blumhouse, film yang awalnya berjudul Cybernatural ini tentu dibuat dengan biaya superminim. Alih-alih dari perspektif orang pertama yang direkam melalui kamera, Unfriended mengambil sudut pandang dari layar monitor laptop dari awal hingga akhir film.

Cerita dibuka dengan tokoh utama, Blaire (Shelley Hennig) yang sedang menonton video bunuh diri dari teman satu sekolahnya, Laura Barns (Heather Sossaman) via laptop. Laura menembak dirinya sendiri di hadapan teman-teman sekolahnya satu tahun yang lalu setelah menjadi korban cyberbullying. Dalam video Youtube tersebut juga terdapat link menuju video cyberbullying yang menyebabkan Laura bunuh diri.

Blaire kemudian dihubungi oleh pacarnya, Mitch (Moses Jacob Storm). Namun momen mesra mereka — keduanya tengah asyik sexting, terganggu karena ada 3 teman lain yang ikut bergabung di ruang chat video call tersebut: Jess Fenton (Renee Olstead), Ken Smith (Jacob Wysocki), dan Adam Sewell (Will Peltz). Anehnya, ada satu akun lagi yang ikut nimbrung. Akun misterius yang punya username "billie227" tersebut tak bisa dikeluarkan dari chat, bahkan usaha Ken melakukan log-out paksa dengan menggunakan Trojan juga sia-sia.

Belakangan "billie227" mengklaim bahwa dia adalah Laura dan tiba-tiba Blaire juga mendapat pesan dari akun Facebook Laura! Hii. Betapa seramnya saat hantu juga sudah melek teknologi. Perlahan-lahan terungkap bahwa kelimanya terlibat dalam tragedi yang menimpa Laura, dan seperti yang kita duga, satu persatu anak muda ini harus menghadapi takdir kelam yang sudah menanti mereka.


Sedikit mengherankan sebenarnya bagaimana malfungsi ini bisa berhubungan dengan peristiwa horor. Unfriended menunjukkan indikasi supranatural ini saat Blaire melakukan random browsing menuju halaman forum yang menyatakan bahwa "JANGAN MENJAWAB PESAN DARI ORANG MATI". Penulis naskah Nelson Greaves tak pernah repot-repot memberi penjelasan yang gamblang pada beberapa poin lain dalam narasinya, jadi kita tak perlu memusingkan dan lebih baik terima saja kebenaran halaman forum ini.

Berdurasi 83 menit, film ini hanya mengambil sudut pandang dari laptop Blaire. Ini berarti bahwa narasi diceritakan hanya melalui Skype, Facebook, Youtube, Google, iMessage, dan akun media sosial lain. Yang menarik adalah betapa otentiknya penggambaran interaksi media sosial yang terjadi. Desainer produksinya terlihat sangat mengenal bagaimana cara kerja medsos dan merepresentasikan dengan akurat. Klik, copy, paste, close.

Secara teknis, film ini memang inovatif. Namun jika ditinjau dari genrenya yang notabene adalah film horor, Unfriended tak begitu spesial. Film ini tetap saja menggunakan formula horor klise, dimana anak-anak muda yang amoral akan terbunuh satu persatu, dan tak ada satu pun yang punya inisiatif bagus untuk lari. Matiin laptopnya, dodol!! Ada sedikit intensitas yang terbangun saat video sedang loading, atau Blaire yang tengah menantikan balasan pesannya, namun real scare yang esensial bagi film horor bisa dibilang nyaris tak ada. Gabriadze tampaknya menyadari hal ini, dan mengkompensasinya dengan adegan jump scare atau kilasan adegan-adegan brutal, misalnya saja adegan sadis yang menimpa Ken yang melibatkan blender.

Penampilan para pemainnya terasa sangat natural dan tak berlebihan. Mereka bersikap sebagaimana layaknya anak muda biasa dan ini membuat filmnya terasa lebih meyakinkan, meski premisnya terdengar konyol. Karakterisasi yang awalnya one-note menjadi sedikit berkembang saat tokoh yang tersisa melakukan permainan "NEVER HAVE I EVER...", yang membuat rahasia dan kebobrokan mereka terbongkar. Persahabatan mereka ternyata tak seakrab kelihatannya, dan permainan ini memecah belah hubungan mereka.

Unfriended juga kentara sekali mengangkat pesan moral mengenai buruknya cyberbullying. Namun pesan ini sulit untuk dimasukkan dalam film horor, terlebih jika filmnya tak terlalu berinvestasi pada cerita. Yang lebih mengerikan dari film ini justru fakta bahwa betapa tak bermoralnya sebagian generasi muda jaman sekarang. Meski filmnya sendiri tak terlalu menyeramkan, Unfriended berhasil menyentil dependensi kita pada teknologi yang bisa berujung pada malapetaka. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Unfriended' |
|

IMDb | Rottentomatoes
83 menit | Remaja

Sutradara Levan Gabriadze
Penulis Nelson Greaves
Pemain Shelley Hennig, Renee Olstead, Will Peltz, Jacob Wysocki

Secara teknis, film ini memang inovatif. Namun jika ditinjau dari genrenya yang notabene adalah film horor, 'Unfriended' tak begitu spesial karena tak punya elemen seram yang esensial.

“Online, your memories live forever... but so do your mistakes.”
Menyusul tren horor found-footage yang makin jenuh, sutradara Levan Gabriadze menghadirkan horor gaya baru yang lebih gimmicky. Didekingi oleh Jason Blum dan rumah produksinya, Blumhouse, film yang awalnya berjudul Cybernatural ini tentu dibuat dengan biaya superminim. Alih-alih dari perspektif orang pertama yang direkam melalui kamera, Unfriended mengambil sudut pandang dari layar monitor laptop dari awal hingga akhir film.

Cerita dibuka dengan tokoh utama, Blaire (Shelley Hennig) yang sedang menonton video bunuh diri dari teman satu sekolahnya, Laura Barns (Heather Sossaman) via laptop. Laura menembak dirinya sendiri di hadapan teman-teman sekolahnya satu tahun yang lalu setelah menjadi korban cyberbullying. Dalam video Youtube tersebut juga terdapat link menuju video cyberbullying yang menyebabkan Laura bunuh diri.

Blaire kemudian dihubungi oleh pacarnya, Mitch (Moses Jacob Storm). Namun momen mesra mereka — keduanya tengah asyik sexting, terganggu karena ada 3 teman lain yang ikut bergabung di ruang chat video call tersebut: Jess Fenton (Renee Olstead), Ken Smith (Jacob Wysocki), dan Adam Sewell (Will Peltz). Anehnya, ada satu akun lagi yang ikut nimbrung. Akun misterius yang punya username "billie227" tersebut tak bisa dikeluarkan dari chat, bahkan usaha Ken melakukan log-out paksa dengan menggunakan Trojan juga sia-sia.

Belakangan "billie227" mengklaim bahwa dia adalah Laura dan tiba-tiba Blaire juga mendapat pesan dari akun Facebook Laura! Hii. Betapa seramnya saat hantu juga sudah melek teknologi. Perlahan-lahan terungkap bahwa kelimanya terlibat dalam tragedi yang menimpa Laura, dan seperti yang kita duga, satu persatu anak muda ini harus menghadapi takdir kelam yang sudah menanti mereka.


Sedikit mengherankan sebenarnya bagaimana malfungsi ini bisa berhubungan dengan peristiwa horor. Unfriended menunjukkan indikasi supranatural ini saat Blaire melakukan random browsing menuju halaman forum yang menyatakan bahwa "JANGAN MENJAWAB PESAN DARI ORANG MATI". Penulis naskah Nelson Greaves tak pernah repot-repot memberi penjelasan yang gamblang pada beberapa poin lain dalam narasinya, jadi kita tak perlu memusingkan dan lebih baik terima saja kebenaran halaman forum ini.

Berdurasi 83 menit, film ini hanya mengambil sudut pandang dari laptop Blaire. Ini berarti bahwa narasi diceritakan hanya melalui Skype, Facebook, Youtube, Google, iMessage, dan akun media sosial lain. Yang menarik adalah betapa otentiknya penggambaran interaksi media sosial yang terjadi. Desainer produksinya terlihat sangat mengenal bagaimana cara kerja medsos dan merepresentasikan dengan akurat. Klik, copy, paste, close.

Secara teknis, film ini memang inovatif. Namun jika ditinjau dari genrenya yang notabene adalah film horor, Unfriended tak begitu spesial. Film ini tetap saja menggunakan formula horor klise, dimana anak-anak muda yang amoral akan terbunuh satu persatu, dan tak ada satu pun yang punya inisiatif bagus untuk lari. Matiin laptopnya, dodol!! Ada sedikit intensitas yang terbangun saat video sedang loading, atau Blaire yang tengah menantikan balasan pesannya, namun real scare yang esensial bagi film horor bisa dibilang nyaris tak ada. Gabriadze tampaknya menyadari hal ini, dan mengkompensasinya dengan adegan jump scare atau kilasan adegan-adegan brutal, misalnya saja adegan sadis yang menimpa Ken yang melibatkan blender.

Penampilan para pemainnya terasa sangat natural dan tak berlebihan. Mereka bersikap sebagaimana layaknya anak muda biasa dan ini membuat filmnya terasa lebih meyakinkan, meski premisnya terdengar konyol. Karakterisasi yang awalnya one-note menjadi sedikit berkembang saat tokoh yang tersisa melakukan permainan "NEVER HAVE I EVER...", yang membuat rahasia dan kebobrokan mereka terbongkar. Persahabatan mereka ternyata tak seakrab kelihatannya, dan permainan ini memecah belah hubungan mereka.

Unfriended juga kentara sekali mengangkat pesan moral mengenai buruknya cyberbullying. Namun pesan ini sulit untuk dimasukkan dalam film horor, terlebih jika filmnya tak terlalu berinvestasi pada cerita. Yang lebih mengerikan dari film ini justru fakta bahwa betapa tak bermoralnya sebagian generasi muda jaman sekarang. Meski filmnya sendiri tak terlalu menyeramkan, Unfriended berhasil menyentil dependensi kita pada teknologi yang bisa berujung pada malapetaka. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Unfriended' |
|

IMDb | Rottentomatoes
83 menit | Remaja

Sutradara Levan Gabriadze
Penulis Nelson Greaves
Pemain Shelley Hennig, Renee Olstead, Will Peltz, Jacob Wysocki

Wednesday, April 22, 2015

Review Film: 'Avengers: Age of Ultron' (2015)

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Avengers: Age of Ultron' (2015)
link : Review Film: 'Avengers: Age of Ultron' (2015)

Baca juga


April 2015

'Avengers: Age of Ultron' ini memang lebih megah dan lebih epik, namun tak sememuaskan film pertama karena terkesan 'tumpul' dengan narasi yang tak koheren dan eksplorasi sisi emosional yang tak mengena.

“I know you mean well. But you just didn't think it through. There is only one path to peace... your extermination.”
— Ultron
Saya bukanlah penggemar berat film pertamanya. Saya merasa The Avengers adalah film yang overrated. Meski begitu, saya salut dengan sutradara Joss Whedon yang bisa dibilang sukses membuat film mash-up superhero dengan menggabungkan banyak karakter dengan latar belakang yang berbeda dalam harmoni, mengokohkan basis Marvel Cinematic Universe (MCU) sekaligus menutup MCU Phase 1 dengan brilian. Melihat banyaknya perkembangan masing-masing pahlawan dalam film solonya, membuat saya penasaran bagaimana Whedon menangani penutup Phase 2 ini. Sementara film kedua yang berjudul Avengers: Age of Ultron ini memang lebih besar dan lebih epik, namun terkesan 'tumpul' yang membuatnya tak sememuaskan film pertama.

Saat film dimulai kita langsung disajikan dengan adegan aksi yang megah. Di sebuah negara fiktif bernama Sokovia yang berlokasi di Eropa Timur, semua anggota Avengers: Iron Man (Robert Downey Jr.), Captain America (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Hulk (Mark Ruffalo), Black Widow (Scarlett Johansson), Hawkeye (Jeremy Renner), beserta pasukannya melakukan penyergapan ke markas Hydra yang dipimpin oleh Baron Strucker (Thomas Kretschmann), dengan tujuan untuk merebut kembali tongkat sakti Loki.

Kejar-kejaran berkecepatan tinggi diselingi dengan aksi pahlwan kita dengan kekuatannya masing-masing menghajar antek-antek Hydra yang disajikan dengan koreografi bagus dan disorot dengan angle yang tepat, membuat adegan ini menjadi adegan pembuka paling keren sepanjang 2015 (sejauh ini). Dalam aksi penyergapannya, pahlawan kita mengalami konfrontasi singkat dengan 2 karakter baru, si kembar Pietro/Quicksilver (Aaron Taylor-Johnson) dan Wanda Maximoff/Scarlet Witch (Elizabeth Olsen).

Tony Stark/Iron Man menemukan bahwa dalam tongkat Loki terdapat artificial intelligence (A.I) yang bisa digunakannya untuk mengaktivasi proyek rahasianya. Tujuannya sih baik, membuat sebuah mekanisme cerdas yang bisa mengontrol 'Iron Legion' untuk menjaga perdamaian bumi. Namun proyek yang juga dibantu oleh Bruce Banner/Hulk ini mengalami malfungsi dan menciptakan robot super-cerdas bernama Ultron yang malah menganggap bahwa Avengers-lah penyebab rusaknya perdamaian.


Dengan tingginya pencapaian The Avengers pada 2012 lalu, Whedon tentu ingin memuaskan ekspektasi semua orang. Age of Ultron memberikan penonton sebuah sajian visual yang memanjakan mata. Adegan aksi dirancang dan dieksekusi dengan baik. Penggunaan efek CGI yang royal (seperti film Marvel biasanya) tentu memanjakan pecandu film aksi yang suka melihat aksi adu kekuatan super, adegan kerusakan, gedung runtuh, dan ledakan disana-sini. Ada banyak aksi adu kuat disini, namun yang paling menarik adalah pertarungan antara Iron Man dalam kostum Hulkbuster vs Hulk, yang sangat seru dan intens melebihi klimaks film yang lebay dan hambar.

Naskah yang juga ditulis oleh Whedon menyelipkan beberapa adegan komedi yang meskipun klise namun ditempatkan dengan tepat. Whedon tahu benar dengan setiap tokohnya dan memberikan lelucon yang tepat sesuai dengan karakter, termasuk lelucon kocak mengenai palu Thor yang menganut prinsip stand-up comedy (Punchline dan keberulangan? Ah sudahlah). Komedi yang juga nyelip saat adegan pertarungan dieksekusi dengan pas dan cukup mengena bagi penonton.

Keahlian Whedon membagi porsi masing-masing karakter dalam The Avengers adalah hal favorit saya, dan dalam Age of Ultron, dia melakukannya dengan lebih baik. Dua tokoh tak berkekuatan super, Black Widow dan Hawkeye yang tak terlalu disorot di film pertamanya, mendapatkan porsi yang lebih banyak. Ditambah dengan kisah latar belakang Black Widow dan keluarga Hawkeye, menjadikan film ini sebagai film Marvel paling manusiawi sejak The Winter Soldier. Walaupun begitu, peran Scarlet Witch dan Quicksilver terasa kurang digali, padahal keduanya punya peranan yang cukup krusial terhadap cerita.

Keberadaan Scarlet Witch menjadi pembuka yang bagus bagi Whedon untuk memberikan pendekatan baru dalam narasi sekuel ini. Dengan kemampuan manipulasi pikirannya, Scarlet Witch 'menyiksa' para Avengers dengan kesalahan masa lalu mereka, membuat penonton bisa mengintip sedikit ke masa lalu masing-masing pahlawan dan menjadi basis bagi Whedon untuk mengeksplor sisi sentimentilnya.

Selepas konfrontasi pertama dengan Ultron, bisa dibilang hampir semua anggota Avengers galau. Hal ini mengantarkan kita pada benih-benih asmara Hulk/Black Widow yang walaupun cukup natural namun menurut saya terasa janggal dan tak perlu. Bukannya saya menentang adegan sentimentil ya, namun disini drama karakternya tak pas. Alih-alih menyentuh sisi emosional, hal tersebut malah terkesan sebagai filler film dan tak mengena.

James Spader yang mengisi suara Ultron dengan brilian memberikan nyawa bagi karakter robot ini dengan pembawaan dan aksennya yang khas. Dari penampilan pertamanya di hadapan Avengers yang cukup mengintimidasi, saya merasa Ultron adalah musuh tak terkalahkan yang setara buat para Avenger. Dan itu benar, setidaknya pada paruh pertama. Dengan kecerdasan supernya, dan kemampuannya berpindah tubuh selama terhubung dengan jaringan internet, Ultron adalah musuh mahakuat. Namun di mulai dari tengah film, Ultron melempem. Meski semua Avengers bilang bahwa Ultron akan menghancurkan dunia, namun tak ada kesan ancaman dan bahaya yang riil.

Walaupun sebenarnya saya cukup menikmati film ini, saya merasa alur ceritanya kurang koheren. Dari satu kejadian langsung meloncat ke kejadian lain, tanpa motif yang kuat. Antara satu adegan dengan adegan lain digabung-gabungkan dengan paksa agar berujung pada adegan puncak: konfrontasi langsung para Avengers dengan Ultron. Keputusan Thor untuk masuk ke kolam ajaib untuk mencari wangsit (serius!) yang berujung pada lahirnya Vision adalah adegan WTF yang tak saya mengerti.

Bagi penonton yang tak mempermasalahkan kompleksisitas cerita, film ini akan menjadi tontonan yang menarik, apalagi dengan kehadiran 3 karakter superhero baru. Memang sih, siapa yang bakal mempermasalahkan plot (apalagi teori sains nonsens-nya Stark dan Banner) untuk popcorn movie seperti ini. Dari awal film, Whedon telah menyisipkan indikasi perselisihan antara Captain America dan Iron Man yang nantinya akan berujung ke Civil War. Sebagai film terakhir Avengers bagi Joss Whedon, ini adalah usahanya yang maksimal sebagai pengantar yang baik namun tak cukup memuaskan untuk film Avengers berikutnya Infinity War Part 1 dan Part 2 yang akan digarap oleh Anthony & Joe Russo. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Avengers: Age of Ultron' |
|

IMDb | Rottentomatoes
141 menit | Remaja

Sutradara Joss Whedon
Penulis Joss Whedon
Pemain Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans

'Avengers: Age of Ultron' ini memang lebih megah dan lebih epik, namun tak sememuaskan film pertama karena terkesan 'tumpul' dengan narasi yang tak koheren dan eksplorasi sisi emosional yang tak mengena.

“I know you mean well. But you just didn't think it through. There is only one path to peace... your extermination.”
— Ultron
Saya bukanlah penggemar berat film pertamanya. Saya merasa The Avengers adalah film yang overrated. Meski begitu, saya salut dengan sutradara Joss Whedon yang bisa dibilang sukses membuat film mash-up superhero dengan menggabungkan banyak karakter dengan latar belakang yang berbeda dalam harmoni, mengokohkan basis Marvel Cinematic Universe (MCU) sekaligus menutup MCU Phase 1 dengan brilian. Melihat banyaknya perkembangan masing-masing pahlawan dalam film solonya, membuat saya penasaran bagaimana Whedon menangani penutup Phase 2 ini. Sementara film kedua yang berjudul Avengers: Age of Ultron ini memang lebih besar dan lebih epik, namun terkesan 'tumpul' yang membuatnya tak sememuaskan film pertama.

Saat film dimulai kita langsung disajikan dengan adegan aksi yang megah. Di sebuah negara fiktif bernama Sokovia yang berlokasi di Eropa Timur, semua anggota Avengers: Iron Man (Robert Downey Jr.), Captain America (Chris Evans), Thor (Chris Hemsworth), Hulk (Mark Ruffalo), Black Widow (Scarlett Johansson), Hawkeye (Jeremy Renner), beserta pasukannya melakukan penyergapan ke markas Hydra yang dipimpin oleh Baron Strucker (Thomas Kretschmann), dengan tujuan untuk merebut kembali tongkat sakti Loki.

Kejar-kejaran berkecepatan tinggi diselingi dengan aksi pahlwan kita dengan kekuatannya masing-masing menghajar antek-antek Hydra yang disajikan dengan koreografi bagus dan disorot dengan angle yang tepat, membuat adegan ini menjadi adegan pembuka paling keren sepanjang 2015 (sejauh ini). Dalam aksi penyergapannya, pahlawan kita mengalami konfrontasi singkat dengan 2 karakter baru, si kembar Pietro/Quicksilver (Aaron Taylor-Johnson) dan Wanda Maximoff/Scarlet Witch (Elizabeth Olsen).

Tony Stark/Iron Man menemukan bahwa dalam tongkat Loki terdapat artificial intelligence (A.I) yang bisa digunakannya untuk mengaktivasi proyek rahasianya. Tujuannya sih baik, membuat sebuah mekanisme cerdas yang bisa mengontrol 'Iron Legion' untuk menjaga perdamaian bumi. Namun proyek yang juga dibantu oleh Bruce Banner/Hulk ini mengalami malfungsi dan menciptakan robot super-cerdas bernama Ultron yang malah menganggap bahwa Avengers-lah penyebab rusaknya perdamaian.


Dengan tingginya pencapaian The Avengers pada 2012 lalu, Whedon tentu ingin memuaskan ekspektasi semua orang. Age of Ultron memberikan penonton sebuah sajian visual yang memanjakan mata. Adegan aksi dirancang dan dieksekusi dengan baik. Penggunaan efek CGI yang royal (seperti film Marvel biasanya) tentu memanjakan pecandu film aksi yang suka melihat aksi adu kekuatan super, adegan kerusakan, gedung runtuh, dan ledakan disana-sini. Ada banyak aksi adu kuat disini, namun yang paling menarik adalah pertarungan antara Iron Man dalam kostum Hulkbuster vs Hulk, yang sangat seru dan intens melebihi klimaks film yang lebay dan hambar.

Naskah yang juga ditulis oleh Whedon menyelipkan beberapa adegan komedi yang meskipun klise namun ditempatkan dengan tepat. Whedon tahu benar dengan setiap tokohnya dan memberikan lelucon yang tepat sesuai dengan karakter, termasuk lelucon kocak mengenai palu Thor yang menganut prinsip stand-up comedy (Punchline dan keberulangan? Ah sudahlah). Komedi yang juga nyelip saat adegan pertarungan dieksekusi dengan pas dan cukup mengena bagi penonton.

Keahlian Whedon membagi porsi masing-masing karakter dalam The Avengers adalah hal favorit saya, dan dalam Age of Ultron, dia melakukannya dengan lebih baik. Dua tokoh tak berkekuatan super, Black Widow dan Hawkeye yang tak terlalu disorot di film pertamanya, mendapatkan porsi yang lebih banyak. Ditambah dengan kisah latar belakang Black Widow dan keluarga Hawkeye, menjadikan film ini sebagai film Marvel paling manusiawi sejak The Winter Soldier. Walaupun begitu, peran Scarlet Witch dan Quicksilver terasa kurang digali, padahal keduanya punya peranan yang cukup krusial terhadap cerita.

Keberadaan Scarlet Witch menjadi pembuka yang bagus bagi Whedon untuk memberikan pendekatan baru dalam narasi sekuel ini. Dengan kemampuan manipulasi pikirannya, Scarlet Witch 'menyiksa' para Avengers dengan kesalahan masa lalu mereka, membuat penonton bisa mengintip sedikit ke masa lalu masing-masing pahlawan dan menjadi basis bagi Whedon untuk mengeksplor sisi sentimentilnya.

Selepas konfrontasi pertama dengan Ultron, bisa dibilang hampir semua anggota Avengers galau. Hal ini mengantarkan kita pada benih-benih asmara Hulk/Black Widow yang walaupun cukup natural namun menurut saya terasa janggal dan tak perlu. Bukannya saya menentang adegan sentimentil ya, namun disini drama karakternya tak pas. Alih-alih menyentuh sisi emosional, hal tersebut malah terkesan sebagai filler film dan tak mengena.

James Spader yang mengisi suara Ultron dengan brilian memberikan nyawa bagi karakter robot ini dengan pembawaan dan aksennya yang khas. Dari penampilan pertamanya di hadapan Avengers yang cukup mengintimidasi, saya merasa Ultron adalah musuh tak terkalahkan yang setara buat para Avenger. Dan itu benar, setidaknya pada paruh pertama. Dengan kecerdasan supernya, dan kemampuannya berpindah tubuh selama terhubung dengan jaringan internet, Ultron adalah musuh mahakuat. Namun di mulai dari tengah film, Ultron melempem. Meski semua Avengers bilang bahwa Ultron akan menghancurkan dunia, namun tak ada kesan ancaman dan bahaya yang riil.

Walaupun sebenarnya saya cukup menikmati film ini, saya merasa alur ceritanya kurang koheren. Dari satu kejadian langsung meloncat ke kejadian lain, tanpa motif yang kuat. Antara satu adegan dengan adegan lain digabung-gabungkan dengan paksa agar berujung pada adegan puncak: konfrontasi langsung para Avengers dengan Ultron. Keputusan Thor untuk masuk ke kolam ajaib untuk mencari wangsit (serius!) yang berujung pada lahirnya Vision adalah adegan WTF yang tak saya mengerti.

Bagi penonton yang tak mempermasalahkan kompleksisitas cerita, film ini akan menjadi tontonan yang menarik, apalagi dengan kehadiran 3 karakter superhero baru. Memang sih, siapa yang bakal mempermasalahkan plot (apalagi teori sains nonsens-nya Stark dan Banner) untuk popcorn movie seperti ini. Dari awal film, Whedon telah menyisipkan indikasi perselisihan antara Captain America dan Iron Man yang nantinya akan berujung ke Civil War. Sebagai film terakhir Avengers bagi Joss Whedon, ini adalah usahanya yang maksimal sebagai pengantar yang baik namun tak cukup memuaskan untuk film Avengers berikutnya Infinity War Part 1 dan Part 2 yang akan digarap oleh Anthony & Joe Russo. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Avengers: Age of Ultron' |
|

IMDb | Rottentomatoes
141 menit | Remaja

Sutradara Joss Whedon
Penulis Joss Whedon
Pemain Robert Downey Jr., Chris Hemsworth, Mark Ruffalo, Chris Evans

Monday, April 20, 2015

Follow Akun Twitter Resmi @ulasanpilem untuk Update Terbaru Seputar Dunia Film

April 2015 - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul April 2015, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Follow Akun Twitter Resmi @ulasanpilem untuk Update Terbaru Seputar Dunia Film
link : Follow Akun Twitter Resmi @ulasanpilem untuk Update Terbaru Seputar Dunia Film

Baca juga


April 2015

Akhirnya kami membuat akun twitter resmi UlasanPilem.com yang bisa anda akses melalui twitter di @ulasanpilem, dengan beberapa pertimbangan.



Hal ini kami maksudkan agar anda sebagai para pembaca dapat dengan praktis dan cepat mengetahui update terbaru dari artikel-artikel di UlasanPilem.com, tanpa harus membuka blog ini terlebih dahulu. Anda bisa memilih berita/review/trailer apa yang ingin anda lihat atau baca. Jika ingin membacanya lebih lanjut, anda bisa mengklik tautan yang disediakan pada twit-twit bersangkutan.

Semua artikel yang kami posting disini, akan di-update secara real-time pada akun twitter tersebut. Anda juga bisa langsung bertanya mengenai informasi seputar dunia perfilman dalam dan luar negeri

Nah silakan anda follow akun twitter resmi kami di @ulasanpilem. Bisa juga dengan mengklik tombol pada sidebar atau tombol di bawah ini.


Berikut preview dari twit-twit @ulasanpilem. ©UP



Akhirnya kami membuat akun twitter resmi UlasanPilem.com yang bisa anda akses melalui twitter di @ulasanpilem, dengan beberapa pertimbangan.



Hal ini kami maksudkan agar anda sebagai para pembaca dapat dengan praktis dan cepat mengetahui update terbaru dari artikel-artikel di UlasanPilem.com, tanpa harus membuka blog ini terlebih dahulu. Anda bisa memilih berita/review/trailer apa yang ingin anda lihat atau baca. Jika ingin membacanya lebih lanjut, anda bisa mengklik tautan yang disediakan pada twit-twit bersangkutan.

Semua artikel yang kami posting disini, akan di-update secara real-time pada akun twitter tersebut. Anda juga bisa langsung bertanya mengenai informasi seputar dunia perfilman dalam dan luar negeri

Nah silakan anda follow akun twitter resmi kami di @ulasanpilem. Bisa juga dengan mengklik tombol pada sidebar atau tombol di bawah ini.


Berikut preview dari twit-twit @ulasanpilem. ©UP