Showing posts with label Komedi. Show all posts
Showing posts with label Komedi. Show all posts

Saturday, January 5, 2019

Review Film: 'Green Book' (2018)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Biografi, Artikel Drama, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Green Book' (2018)
link : Review Film: 'Green Book' (2018)

Baca juga


Komedi

Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers

Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers

Friday, June 8, 2018

Review Film: 'Ocean's 8' (2018)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Kriminal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Ocean's 8' (2018)
link : Review Film: 'Ocean's 8' (2018)

Baca juga


Komedi

A heist movie is a movie about heist. Sementara 'Ocean's 8' tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.

“A him gets noticed. A her gets ignored. For once, we want to be ignored.”
— Debbie Ocean
Rating UP:
Lewat Ocean's Eleven dan dua sekuelnya, Steven Soderbergh tak hanya membuat perbuatan kriminal terlihat keren (astaghfirullohaladzim), tapi juga menciptakan kesan bahwa bikin film heist itu gampang; yang dibutuhkan cuma segambreng karisma bintang dan sejumput gaya. Nah, Ocean's 8 punya itu. Namun itu tak otomatis menjadikannya film heist yang seru. A heist movie is a movie about heist. Sementara Ocean's 8 tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.


Meski demikian, nyaris mustahil untuk tak terhibur menyaksikan deretan pemain dengan level seperti ini dalam satu film. Film ini punya metodologi yang sama dengan trilogi Ocean's-nya Soderbergh, hanya saja semua pencuri kita sekarang adalah wanita. Semua pemain yang tepat sudah berkumpul. Mereka punya sumber daya yang memadai. Mereka punya rencana. Dan sungguh rencana yang lebih dari matang, sebab semua berjalan terlalu mulus untuk kita pedulikan. Timing-nya begitu sempurna, dan keberuntungan mereka begitu bagus.

Targetnya adalah kalung mewah seharga $150 juta yang disimpan di brankas yang aman selama bertahun-tahun. Kalung ini direncanakan nangkring di leher seorang aktris terkenal dalam Met Gala, acara amal tahunan yang lebih mirip arisan sosialita karena diramaikan dengan lusinan selebritis yang berpakaian glamor. Masalahnya, arisan ini adalah arisan dengan pengamanan paling ketat sedunia.

Ini tentu bukan halangan bagi Debbie Ocean (Sandra Bullock), sebab ia adalah saudari Danny Ocean, pimpinan tim pencuri di trilogi Ocean's yang dulu diperankan oleh George Clooney. Bahkan, sebetulnya rencana ini sudah dibangun Debbie dalam 5 tahun, selama ia dipenjara. Setelah berhasil meyakinkan semua orang bahwa ia sudah berhenti dengan aksi pencurian dan akan hidup dengan lurus, Debbie mengumpulkan timnya yang terdiri dari:

  1. Dirinya sendiri sebagai ketua tim.

  2. Lou (Cate Blanchett), sobat lama Debbie yang (kemungkinan) dulu pernah beraksi bersama.

  3. Rose Weil (Helena Bonham Carter), desainer fashion yang ketenarannya sudah tertinggal jauh di masa lalu.

  4. Amita (Mindy Kalling), pakar perhiasan yang getol disuruh emaknya untuk kawin.

  5. Nine Ball (Rihanna), hacker jenius yang suka merokok ganja.

  6. Tammy (Sarah Paulson), ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai penadah dan penyalur barang gelap.

  7. Constance (Awkwafina), pencopet dan penipu jalanan yang ulung.
Anda pasti sudah selesai menghitung, lalu menyadari satu hal: mana anggota ke-8? Orang tersebut adalah Daphne Kluger (Anna Hathaway), aktris yang tak menyadari semua rencana pencurian ini. Target tim Ocean adalah mencuri kalung mewah tadi langsung dari leher Daphne, tak peduli dengan keberadaan puluhan kamera pengawas, satpam yang adalah mantan agen khusus, bahkan kalungnya sendiri yang punya kunci magnetik.

Menghandel karakter sebanyak ini lewat satu film, tentu saja mengharuskan mereka diberi sorotan secara bergantian. Pesona tim ini tak kalah dengan rival pria mereka di trilogi Ocean's, meski chemistry mereka tak seasyik itu. Bullock dan Blanchett mencolok cukup dengan muncul di layar; apapun yang mereka lakukan cukup untuk membuat kita terpikat. Namun yang paling bersenang-senang mungkin adalah Hathaway. Ia bermain sebagai seleb yang lebay dan labil, seolah mengolok hakikat seleb itu sendiri; seleb dengan ke-seleb-an paripurna. Penampilannya bagus, sebab tidak mendistraksi film.

Proses perencanaan pencurian rasanya lumayan lama, mengingat durasi film yang mencapai 2 jam sementara eksekusinya tak ribet-ribet amat. Tapi kalau saya ingat-ingat lagi, tak ada bagian ini yang berkesan. Padahal kan itu bisa menjadi modal suspens bagi penonton; kita dapat mengantisipasi apa yang mereka lakukan atau dibuat terkejut saat yang terjadi berjalan tak sesuai dengan yang kita ekspektasikan. Kita tak bisa diharapkan sekonyong-konyong terkejut kalau film tak membangun momen untuk itu.

Oleh karena itu, struktur film jadi terasa ganjil dengan kemunculan James Corden sebagai investigator asuransi pasca eksekusi pencurian. Corden bukan cameo, karena cameo adalah saat kita melihat Katie Holmes, Heidi Klum, dll di Met Gala. Ini barangkali adalah improvisasi dari Gary Ross yang menulis skrip bersama Olivia Milch. Ross juga menjadi sutradara, dan ia memakai trik khas franchise Ocean's: potongan gambar yang gesit serta musik latar yang nge-jazz. Namun Ross bukan Soderbergh. Improvisasinya tidak sehalus dan seenerjik Soderbergh yang membuat kita mengangguk-anggukkan kepala meski kita tahu apa yang sedang terjadi sebetulnya menggelikan dan bertentangan dengan plausibilitas dunia nyata.

Tak semua film heist harus punya detail yang ekstensif. Ada banyak film heist lain yang lebih cerdas. Namun, trilogi Ocean's pada dasarnya memang bukan soal heist, melainkan tentang bagaimana elegannya sebuah heist dilakukan. Meski begitu, bukan berarti heist-nya sendiri tak serta-merta menawarkan ketiadaan keseruan atau stakes. Apa yang dilakukan tim Ocean's 8 terlalu mudah, membuat kita berharap untuk sesuatu yang lebih. Mereka tampaknya menarik, cerdik, dan asyik. Saya yakin mereka bisa menunaikan misi yang lebih berat. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Ocean's 8

110 menit
Dewasa
Gary Ross
Gary Ross, Olivia Milch
Steven Soderbergh, Susan Ekins
Eigil Bryld
Daniel Pemberton

A heist movie is a movie about heist. Sementara 'Ocean's 8' tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.

“A him gets noticed. A her gets ignored. For once, we want to be ignored.”
— Debbie Ocean
Rating UP:
Lewat Ocean's Eleven dan dua sekuelnya, Steven Soderbergh tak hanya membuat perbuatan kriminal terlihat keren (astaghfirullohaladzim), tapi juga menciptakan kesan bahwa bikin film heist itu gampang; yang dibutuhkan cuma segambreng karisma bintang dan sejumput gaya. Nah, Ocean's 8 punya itu. Namun itu tak otomatis menjadikannya film heist yang seru. A heist movie is a movie about heist. Sementara Ocean's 8 tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.


Meski demikian, nyaris mustahil untuk tak terhibur menyaksikan deretan pemain dengan level seperti ini dalam satu film. Film ini punya metodologi yang sama dengan trilogi Ocean's-nya Soderbergh, hanya saja semua pencuri kita sekarang adalah wanita. Semua pemain yang tepat sudah berkumpul. Mereka punya sumber daya yang memadai. Mereka punya rencana. Dan sungguh rencana yang lebih dari matang, sebab semua berjalan terlalu mulus untuk kita pedulikan. Timing-nya begitu sempurna, dan keberuntungan mereka begitu bagus.

Targetnya adalah kalung mewah seharga $150 juta yang disimpan di brankas yang aman selama bertahun-tahun. Kalung ini direncanakan nangkring di leher seorang aktris terkenal dalam Met Gala, acara amal tahunan yang lebih mirip arisan sosialita karena diramaikan dengan lusinan selebritis yang berpakaian glamor. Masalahnya, arisan ini adalah arisan dengan pengamanan paling ketat sedunia.

Ini tentu bukan halangan bagi Debbie Ocean (Sandra Bullock), sebab ia adalah saudari Danny Ocean, pimpinan tim pencuri di trilogi Ocean's yang dulu diperankan oleh George Clooney. Bahkan, sebetulnya rencana ini sudah dibangun Debbie dalam 5 tahun, selama ia dipenjara. Setelah berhasil meyakinkan semua orang bahwa ia sudah berhenti dengan aksi pencurian dan akan hidup dengan lurus, Debbie mengumpulkan timnya yang terdiri dari:

  1. Dirinya sendiri sebagai ketua tim.

  2. Lou (Cate Blanchett), sobat lama Debbie yang (kemungkinan) dulu pernah beraksi bersama.

  3. Rose Weil (Helena Bonham Carter), desainer fashion yang ketenarannya sudah tertinggal jauh di masa lalu.

  4. Amita (Mindy Kalling), pakar perhiasan yang getol disuruh emaknya untuk kawin.

  5. Nine Ball (Rihanna), hacker jenius yang suka merokok ganja.

  6. Tammy (Sarah Paulson), ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai penadah dan penyalur barang gelap.

  7. Constance (Awkwafina), pencopet dan penipu jalanan yang ulung.
Anda pasti sudah selesai menghitung, lalu menyadari satu hal: mana anggota ke-8? Orang tersebut adalah Daphne Kluger (Anna Hathaway), aktris yang tak menyadari semua rencana pencurian ini. Target tim Ocean adalah mencuri kalung mewah tadi langsung dari leher Daphne, tak peduli dengan keberadaan puluhan kamera pengawas, satpam yang adalah mantan agen khusus, bahkan kalungnya sendiri yang punya kunci magnetik.

Menghandel karakter sebanyak ini lewat satu film, tentu saja mengharuskan mereka diberi sorotan secara bergantian. Pesona tim ini tak kalah dengan rival pria mereka di trilogi Ocean's, meski chemistry mereka tak seasyik itu. Bullock dan Blanchett mencolok cukup dengan muncul di layar; apapun yang mereka lakukan cukup untuk membuat kita terpikat. Namun yang paling bersenang-senang mungkin adalah Hathaway. Ia bermain sebagai seleb yang lebay dan labil, seolah mengolok hakikat seleb itu sendiri; seleb dengan ke-seleb-an paripurna. Penampilannya bagus, sebab tidak mendistraksi film.

Proses perencanaan pencurian rasanya lumayan lama, mengingat durasi film yang mencapai 2 jam sementara eksekusinya tak ribet-ribet amat. Tapi kalau saya ingat-ingat lagi, tak ada bagian ini yang berkesan. Padahal kan itu bisa menjadi modal suspens bagi penonton; kita dapat mengantisipasi apa yang mereka lakukan atau dibuat terkejut saat yang terjadi berjalan tak sesuai dengan yang kita ekspektasikan. Kita tak bisa diharapkan sekonyong-konyong terkejut kalau film tak membangun momen untuk itu.

Oleh karena itu, struktur film jadi terasa ganjil dengan kemunculan James Corden sebagai investigator asuransi pasca eksekusi pencurian. Corden bukan cameo, karena cameo adalah saat kita melihat Katie Holmes, Heidi Klum, dll di Met Gala. Ini barangkali adalah improvisasi dari Gary Ross yang menulis skrip bersama Olivia Milch. Ross juga menjadi sutradara, dan ia memakai trik khas franchise Ocean's: potongan gambar yang gesit serta musik latar yang nge-jazz. Namun Ross bukan Soderbergh. Improvisasinya tidak sehalus dan seenerjik Soderbergh yang membuat kita mengangguk-anggukkan kepala meski kita tahu apa yang sedang terjadi sebetulnya menggelikan dan bertentangan dengan plausibilitas dunia nyata.

Tak semua film heist harus punya detail yang ekstensif. Ada banyak film heist lain yang lebih cerdas. Namun, trilogi Ocean's pada dasarnya memang bukan soal heist, melainkan tentang bagaimana elegannya sebuah heist dilakukan. Meski begitu, bukan berarti heist-nya sendiri tak serta-merta menawarkan ketiadaan keseruan atau stakes. Apa yang dilakukan tim Ocean's 8 terlalu mudah, membuat kita berharap untuk sesuatu yang lebih. Mereka tampaknya menarik, cerdik, dan asyik. Saya yakin mereka bisa menunaikan misi yang lebih berat. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Ocean's 8

110 menit
Dewasa
Gary Ross
Gary Ross, Olivia Milch
Steven Soderbergh, Susan Ekins
Eigil Bryld
Daniel Pemberton

Wednesday, May 30, 2018

Review Film: 'Tully' (2018)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Tully' (2018)
link : Review Film: 'Tully' (2018)

Baca juga


Komedi

'Tully', menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak.

“I'm here to take care of you.”
— Tully
Rating UP:
Yang masih tidak percaya terhadap betapa beratnya beban seorang ibu dalam mengurus rumah tangga sekaligus anak-anak, akan berubah imannya setelah menyaksikan Tully, film yang menggelitik sekaligus menohok tentang krisis identitas yang dialami ibu-ibu modern. Menjadi seorang ibu memang merupakan peran yang terpuji, tapi kita tak bisa sekonyong-konyong melupakan bagaimana tugas mulia tersebut di lain sisi juga berpeluang menguras energi bahkan menyedot semangat hidup yang bersangkutan.


Tully, menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak. Kalimat tadi membuat saya terdengar seperti pernah menjadi ibu saja. Anda tahu saya belum pernah melakukan persalinan, dan terakhir kali saya cek saat mandi kemarin sore, saya masih berjenis kelamin laki-laki. Namun film ini begitu lihainya membuat penonton terhanyut dalam konflik, kita seolah merasakannya langsung. Film ini memposisikan kita untuk otomatis berada di dalam karakter utamanya, Marlo.

Itu merupakan bukti bagaimana sutradara Jason Reitman dan penulis skrip Diablo Cody begitu seksama membangun dunia dan karakter dalam film mereka. Film ini merupakan kerjasama ketiga mereka, menyusul Juno dan Young Adult. Tully juga merupakan film komedi sekaligus drama serius. Humornya berasal dari observasi yang tajam pada situasi yang riil. Seperti biasa, karakter utama yang ditulis Cody suka menyelutuk sadis, menohok langsung pada isu yang sedang mereka hadapi.

Membaca sinopsisnya mungkin membuatnya terdengar seperti Mary Poppins penyelamat ibu-ibu. Namun Tully lebih seperti hibrid Juno dan Young Adult: masalah kehamilan remaja di Juno digabungkan dengan masalah krisis paruh baya ibu-ibu di Young Adult. Dan seperti kedua film tadi, penggambaran situasinya realistis dan tanpa kompromi. Menjadi ibu tak melulu soal kebanggaan bakti tanpa pamrih; kewajibannya sulit, ribet, dan berat. Coba bayangkan bagaimana menyelipkan istirahat dan merawat diri sendiri di antara menyusui, mengganti popok, mendiamkan rengekan, membenahi rumah, ditambah mengurus suami.

Dan Marlo tak selalu terlihat syantik saat melakukannya, sebagaimana diperankan oleh Charlize Theron. Theron adalah aktris berparas syantik yang tak segan tampil berantakan. Level kedrastisan transformasinya disini agaknya bisa disejajarkan dengan perannya sebagai pembunuh berantai dalam Monster. Ia dikabarkan menaikkan berat badan sampai 25 kilogram. Bukan semata berhenti fisik saja, karena yang lebih penting adalah bagaimana ia dengan sukses menghadirkan intensitas emosional. Ia jelas sayang keluarga, tapi hampir selalu terlalu capek untuk peduli akan hal-hal di sekitar. Baju kena tumpahan susu saat makan malam? Buka saja langsung di meja makan. Dalam sebuah montase singkat yang mengesankan, kita bisa melihat bagaimana rutinitas motherhood bisa menggiring sang ibu ke titik keletihan yang haqiqi. Tata suaranya cerdik, menekankan sedemikian rupa sehingga suara rengekan bayi menjadi terdengar sangat annoying.

Kesan yang keliru akan tercipta kalau situasi Marlo tidak sespesifik yang digambarkan film. Marlo sekarang sedang hamil tua. Bukan cuma soal usia kehamilannya, tapi juga usianya sendiri; bayinya sebentar lagi brojol, saat ia sudah berumur 40 tahunan. Kehamilan ini agaknya juga tak begitu diharapkan. Ia sudah punya dua anak yang masih kecil-kecil, yaitu Sarah (Lia Frankland) dan Jonah (Asher Miles Fallica). Masalah anak pertama sih cuma kurang pede, tapi anak kedua bisa dibilang sedikit "aneh" sampai terancam dikeluarkan dari TK. Jadi maklum saja saat ia cuma anteng saja ketika ketubannya pecah atau bahkan saat sang bayi sudah keluar dari perutnya. Marlo seolah sudah bisa memprediksi beban macam apa yang menantinya.

Oleh karena itu, meski awalnya berprinsip bahwa anaknya takkan diasuh oleh orang asing, Marlo akhirnya menyerah pada situasi lalu menerima saran dari adiknya (Mark Duplass) untuk menyewa seorang pengasuh, yang berspesialiasi merawat anak di malam hari biar para orangtua bisa istirahat dengan tenang. Yang datang adalah ibu peri, atau setidaknya begitulah menurut Marlo. Ia adalah impian semua ibu-ibu. Tully (Mackenzie Davis) bukan cuma piawai mengasuh anak. Setelah tidur nyenyak untuk pertama kalinya, Marlo terkejut saat bangun di pagi hari mendapati rumahnya sudah kinclong betul dan ada pancake yang lucu di meja makan.

Usianya masih relatif belia, tapi sudah sangat bijak dan sepertinya tahu banyak hal. Tully cerdas dan seksi. Ia dipenuhi dengan antusiasme khas anak muda yang punya banyak energi menular. Ia bahkan menjalin obrolan yang intim dengan Marlo. Keakraban ini seolah membawa Marlo ke masa-masa jayanya dulu. Tully adalah semua yang dibutuhkan Marlo; begitu ideal sampai kita melihatnya sedikit aneh. Marlo sudah begitu nyaman sampai ia selow saja dengan apa yang disarankan dan semua yang dilakukan Tully di rumahnya. Meski kehadiran Tully membuat daya cengkeram narasinya menurun, Theron dan Davis punya chemistry yang apik.

Pasti ada godaan bagi pembuat film untuk menyuguhkan konfrontasi antara Marlo dengan suaminya, Drew (Ron Livingston). Drew bukan suami yang buruk; ia bertanggung jawab dan suka mendampingi anak bikin PR. Namun ia juga abai, santai bermain PS di atas kasur seolah tak tahu bahwa istrinya sudah kacau balau di dalam. Konfrontasi macam ini akan membuat film mengabaikan poinnya, sebab konflik tidak lagi berfokus pada internal Marlo. Namun film dengan bijak tak melangkah kesana. Saya juga sempat khawatir saat Tully membuat gestur nekat untuk menyegarkan aktivitas ranjang Marlo dan Drew. Untunglah film tak bermain sesuai ekspektasi mesum saya.

Jadi sebenarnya ada apa dengan Tully? Saya tak bisa mendeskripsikan dengan konkrit siapa Tully. Tapi tenang saja, kita tak sedang berada di film mengenai pengasuh anak psikopat. Keberadaan Tully adalah wadah bagi Marlo untuk mempertanyakan hakikatnya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai seorang wanita. Di satu titik, Tully akan mengajak Marlo untuk sejenak meninggalkan keluarga lalu berpesta habis-habisan di luar kota. Ini akan menjadi titik balik yang menawarkan insight baru bagi karakternya. Sementara mereka mendapat perspektif baru, kita juga melihat mereka dalam perspektif baru.

Saya mendapati bahwa momen pengungkapan ini tak bekerja segreget yang dimaksud dan secara logika tak bisa diterima. Semakin saya pikirkan, saya semakin senewen. Tapi ia berhasil di level emosional. Awalnya film ini menyuguhkan pemandangan suram yang akan membuat mama-mama muda yang berencana/sedang hamil jadi parno. Namun itu adalah bagian dari hidup. Dan film ini mengajarkan cara untuk merangkulnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Tully

96 menit
Dewasa
Jason Reitman
Diablo Cody
Aaron L. Gilbert, Jason Reitman, Helen Estabrook, Diablo Cody, Mason Novick, Charlize Theron, A.J. Dix, Beth Kono
Eric Steelberg
Rob Simonsen

'Tully', menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak.

“I'm here to take care of you.”
— Tully
Rating UP:
Yang masih tidak percaya terhadap betapa beratnya beban seorang ibu dalam mengurus rumah tangga sekaligus anak-anak, akan berubah imannya setelah menyaksikan Tully, film yang menggelitik sekaligus menohok tentang krisis identitas yang dialami ibu-ibu modern. Menjadi seorang ibu memang merupakan peran yang terpuji, tapi kita tak bisa sekonyong-konyong melupakan bagaimana tugas mulia tersebut di lain sisi juga berpeluang menguras energi bahkan menyedot semangat hidup yang bersangkutan.


Tully, menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak. Kalimat tadi membuat saya terdengar seperti pernah menjadi ibu saja. Anda tahu saya belum pernah melakukan persalinan, dan terakhir kali saya cek saat mandi kemarin sore, saya masih berjenis kelamin laki-laki. Namun film ini begitu lihainya membuat penonton terhanyut dalam konflik, kita seolah merasakannya langsung. Film ini memposisikan kita untuk otomatis berada di dalam karakter utamanya, Marlo.

Itu merupakan bukti bagaimana sutradara Jason Reitman dan penulis skrip Diablo Cody begitu seksama membangun dunia dan karakter dalam film mereka. Film ini merupakan kerjasama ketiga mereka, menyusul Juno dan Young Adult. Tully juga merupakan film komedi sekaligus drama serius. Humornya berasal dari observasi yang tajam pada situasi yang riil. Seperti biasa, karakter utama yang ditulis Cody suka menyelutuk sadis, menohok langsung pada isu yang sedang mereka hadapi.

Membaca sinopsisnya mungkin membuatnya terdengar seperti Mary Poppins penyelamat ibu-ibu. Namun Tully lebih seperti hibrid Juno dan Young Adult: masalah kehamilan remaja di Juno digabungkan dengan masalah krisis paruh baya ibu-ibu di Young Adult. Dan seperti kedua film tadi, penggambaran situasinya realistis dan tanpa kompromi. Menjadi ibu tak melulu soal kebanggaan bakti tanpa pamrih; kewajibannya sulit, ribet, dan berat. Coba bayangkan bagaimana menyelipkan istirahat dan merawat diri sendiri di antara menyusui, mengganti popok, mendiamkan rengekan, membenahi rumah, ditambah mengurus suami.

Dan Marlo tak selalu terlihat syantik saat melakukannya, sebagaimana diperankan oleh Charlize Theron. Theron adalah aktris berparas syantik yang tak segan tampil berantakan. Level kedrastisan transformasinya disini agaknya bisa disejajarkan dengan perannya sebagai pembunuh berantai dalam Monster. Ia dikabarkan menaikkan berat badan sampai 25 kilogram. Bukan semata berhenti fisik saja, karena yang lebih penting adalah bagaimana ia dengan sukses menghadirkan intensitas emosional. Ia jelas sayang keluarga, tapi hampir selalu terlalu capek untuk peduli akan hal-hal di sekitar. Baju kena tumpahan susu saat makan malam? Buka saja langsung di meja makan. Dalam sebuah montase singkat yang mengesankan, kita bisa melihat bagaimana rutinitas motherhood bisa menggiring sang ibu ke titik keletihan yang haqiqi. Tata suaranya cerdik, menekankan sedemikian rupa sehingga suara rengekan bayi menjadi terdengar sangat annoying.

Kesan yang keliru akan tercipta kalau situasi Marlo tidak sespesifik yang digambarkan film. Marlo sekarang sedang hamil tua. Bukan cuma soal usia kehamilannya, tapi juga usianya sendiri; bayinya sebentar lagi brojol, saat ia sudah berumur 40 tahunan. Kehamilan ini agaknya juga tak begitu diharapkan. Ia sudah punya dua anak yang masih kecil-kecil, yaitu Sarah (Lia Frankland) dan Jonah (Asher Miles Fallica). Masalah anak pertama sih cuma kurang pede, tapi anak kedua bisa dibilang sedikit "aneh" sampai terancam dikeluarkan dari TK. Jadi maklum saja saat ia cuma anteng saja ketika ketubannya pecah atau bahkan saat sang bayi sudah keluar dari perutnya. Marlo seolah sudah bisa memprediksi beban macam apa yang menantinya.

Oleh karena itu, meski awalnya berprinsip bahwa anaknya takkan diasuh oleh orang asing, Marlo akhirnya menyerah pada situasi lalu menerima saran dari adiknya (Mark Duplass) untuk menyewa seorang pengasuh, yang berspesialiasi merawat anak di malam hari biar para orangtua bisa istirahat dengan tenang. Yang datang adalah ibu peri, atau setidaknya begitulah menurut Marlo. Ia adalah impian semua ibu-ibu. Tully (Mackenzie Davis) bukan cuma piawai mengasuh anak. Setelah tidur nyenyak untuk pertama kalinya, Marlo terkejut saat bangun di pagi hari mendapati rumahnya sudah kinclong betul dan ada pancake yang lucu di meja makan.

Usianya masih relatif belia, tapi sudah sangat bijak dan sepertinya tahu banyak hal. Tully cerdas dan seksi. Ia dipenuhi dengan antusiasme khas anak muda yang punya banyak energi menular. Ia bahkan menjalin obrolan yang intim dengan Marlo. Keakraban ini seolah membawa Marlo ke masa-masa jayanya dulu. Tully adalah semua yang dibutuhkan Marlo; begitu ideal sampai kita melihatnya sedikit aneh. Marlo sudah begitu nyaman sampai ia selow saja dengan apa yang disarankan dan semua yang dilakukan Tully di rumahnya. Meski kehadiran Tully membuat daya cengkeram narasinya menurun, Theron dan Davis punya chemistry yang apik.

Pasti ada godaan bagi pembuat film untuk menyuguhkan konfrontasi antara Marlo dengan suaminya, Drew (Ron Livingston). Drew bukan suami yang buruk; ia bertanggung jawab dan suka mendampingi anak bikin PR. Namun ia juga abai, santai bermain PS di atas kasur seolah tak tahu bahwa istrinya sudah kacau balau di dalam. Konfrontasi macam ini akan membuat film mengabaikan poinnya, sebab konflik tidak lagi berfokus pada internal Marlo. Namun film dengan bijak tak melangkah kesana. Saya juga sempat khawatir saat Tully membuat gestur nekat untuk menyegarkan aktivitas ranjang Marlo dan Drew. Untunglah film tak bermain sesuai ekspektasi mesum saya.

Jadi sebenarnya ada apa dengan Tully? Saya tak bisa mendeskripsikan dengan konkrit siapa Tully. Tapi tenang saja, kita tak sedang berada di film mengenai pengasuh anak psikopat. Keberadaan Tully adalah wadah bagi Marlo untuk mempertanyakan hakikatnya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai seorang wanita. Di satu titik, Tully akan mengajak Marlo untuk sejenak meninggalkan keluarga lalu berpesta habis-habisan di luar kota. Ini akan menjadi titik balik yang menawarkan insight baru bagi karakternya. Sementara mereka mendapat perspektif baru, kita juga melihat mereka dalam perspektif baru.

Saya mendapati bahwa momen pengungkapan ini tak bekerja segreget yang dimaksud dan secara logika tak bisa diterima. Semakin saya pikirkan, saya semakin senewen. Tapi ia berhasil di level emosional. Awalnya film ini menyuguhkan pemandangan suram yang akan membuat mama-mama muda yang berencana/sedang hamil jadi parno. Namun itu adalah bagian dari hidup. Dan film ini mengajarkan cara untuk merangkulnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Tully

96 menit
Dewasa
Jason Reitman
Diablo Cody
Aaron L. Gilbert, Jason Reitman, Helen Estabrook, Diablo Cody, Mason Novick, Charlize Theron, A.J. Dix, Beth Kono
Eric Steelberg
Rob Simonsen

Tuesday, May 15, 2018

Review Film: 'Deadpool 2' (2018)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Deadpool 2' (2018)
link : Review Film: 'Deadpool 2' (2018)

Baca juga


Komedi

Deadpool tak peduli apakah itu sesuatu yang kecil atau besar, atau apakah bakal kena bagi penonton atau tidak. He just delivers.

“Well, that's just lazy writing.”
— Deadpool
Rating UP:
F**k #ThanosDemandsYourSilence!

Oke, Deadpool memang tak bilang, tapi ini terdengar seperti sesuatu yang akan diucapkannya lewat film Deadpool 2. Film ini punya spoiler yang lebih gurih, bahkan teman anda yang maniak Deadpool dan telah menonton semua materi promo atau membaca komiknya kemungkinan besar takkan menduganya. Yah, kecuali kalau mereka sepupuan sama Ryan Reynolds.

Jika dibandingkan, spoiler dalam Avengers: Infinity War hanyalah sedotan ale-ale belaka. Dan Deadpool selow abis, tak menanggapinya dengan berlebihan. Attitude ini saja sudah bisa mengantarkannya kemana pun. Deadpool tak peduli apakah itu sesuatu yang kecil atau besar, atau apakah bakal kena bagi penonton atau tidak. He just delivers.


Seperti kebanyakan sekuel, film ini menaikkan dosis dari apa saja yang membuat film pertamanya sukses: lebih banyak lelucon meta, lebih banyak aksi brutal, lebih royal dengan bujet dan efek spesial, serta lebih banyak manusia berkekuatan super. Di beberapa kesempatan, ini memberatkan filmnya, tak seperti film pertamanya yang ramping. But, Deadpool just delivers.

Dalam adegan pembuka yang menjanjikan film yang lebih superior, Deadpool langsung memamerkan keahliannya, yaitu memotong anggota tubuh dan meledek superhero lain. Agaknya keseharian Deadpool/Wade Wilson (Reynolds) berlangsung di waktu yang sama dengan kita; ia tahu bahwa Logan ikut-ikutan meniru rating "R/Dewasa" atau perolehan box office film pertamanya yang cuma bisa dikalahkan oleh Yesus. Namun, ia sekarang sedang stres dan berniat menyusul Wolverine ke alam baka. Untung buat kita tapi masalah bagi Wade, ia tak bisa mati. Apa gerangan yang membawanya ke lembah suicidal tersebut?

Itu adalah satu dari beberapa set-up yang harus dipakai Deadpool 2 untuk memperoleh momentum dalam bercerita. Awal film agak belibet. Wade kemudian dibawa Colossus (Stefan Kapicic) ke sekolah Profesor Xavier alias markas X-Men. Misi pertamanya (sebagai trainee, ingat itu!) adalah menangani bocah mutan, Russell (Julian Dennison) yang sedang dongkol. Singkat cerita, Wade bikin masalah dan keduanya disetrap.

Lalu datanglah Cable (Josh Brolin) dari masa depan. Mutan setengah robot yang ini cuma punya satu misi, yakni melenyapkan Russell.

Oleh karena itu, Wade membentuk tim demi menyelamatkan Russell dan mengatasi Cable. Nama timnya adalah X-Force, beda dengan X-Men yang seksis karena khusus untuk "men"/pria. Anggotanya antara lain: Bedlam (Terry Crews) si pengendali medan magnet, Shatterstar (Lewis Tan) penguasa gelombang listrik, Zeitgeist (Bill Skarsgard) yang bisa memuntahkan ludah korosif, dan Vanisher ( ;) ) yang kemampuannya sesuai dengan namanya.

Namun yang terbaik adalah Domino (Zazie Beetz), yang mengklaim bahwa kekuatan supernya adalah keberuntungan. "Keberuntungan gak sinematis kalo dipamerkan dalam film," protes Deadpool, tak tahu bahwa Domino baru saja menghajar beberapa orang dan selamat dari beberapa adegan maut hanya dengan modal keberuntungan saja.

Sebentar. Coret paragraf tadi, karena kita juga punya Peter (Rob Delaney), pria paruh baya dengan kumis tebal, yang kekuatan supernya tak lebih hebat dibanding oom-oom yang suka menelpon dengan berisik saat menonton bersama anda.

Yah, begitulah Deadpool. Macam-macam kekuatan super bisa menjadi lelucon. Ada lelucon kilat yang menyengat dalam sekali lempar, dan ada pula lelucon panjang yang dibangun lewat cerita. Yang terakhir tentu saja lebih pecah. Sebagian besarnya juga dielevasi dengan kehadiran berbagai macam cameo, termasuk bintang Hollywood yang tak anda duga, yang takkan saya ungkap disini. Anda akan tahu saat melihatnya.

Posisi sutradara sekarang diambil alih oleh David Leitch yang pernah menggarap John Wick dan Atomic Blonde. Tak seperti di dua film tersebut dimana setiap sekuens aksi diaksentuasi, adegan aksi dalam Deadpool terasa lebih melempem. Ia tak kurang sadis dari film sebelumnya, tapi ada semacam ketumpulan kala menyaksikan kekerasan komikal rutin yang terjadi disini. Meski begitu, ada satu sekuens aksi cukup sulit yang melibatkan banyak hal dan karakter bergerak dalam skala cukup besar yang ditangani dengan kompeten oleh Leitch.

Deadpool sempat bilang bahwa film ini adalah film keluarga. Meski saya tidak merekomendasikan untuk membawa semua anggota keluarga ke bioskop karena anda bakal bikin risih sendiri, tapi saya setuju dengan klaim tersebut. Di antara muncratan darah dan lelucon vulgar, film memberi ruang untuk drama, kebanyakan berasal dari Wade yang mencari makna hqq dari "family is where your heart is". Cheesy seperti kedengarannya. Tapi anda tahu Deadpool; ia siap mengedipkan matanya kapan saja dimana saja. Ia senang menunjuk sendiri lobang plotnya. Ada banyak poin yang menunjukkan penulisan skrip yang malas, dan film ini tetap menggunakannya.

Ryan Reynolds sekarang mendapat kredit sebagai salah satu penulis naskah, bersama Rhett Reese dan Paul Wernick. Sepertinya karena ia punya kontrol yang lebih besar dibanding film pertama. Tapi rasa-rasanya takkan ada yang menyalahkannya untuk itu, sebab Deadpool sudah menjadi kepribadian kedua bagi Reynolds. Barangkali mayoritas celutukan Deadpool berasal darinya. Ia terlihat nyaman dan ocehannya terdengar spontan. Di titik ini, ia sudah tahu betul bagaimana Deadpool itu, dan he just delivers.

Saya lumayan kaget melihat melihat bagaimana dunia Deadpool sudah banyak berubah dari yang saya ingat. Ia sekarang begitu dekat dengan X-Men. Tak ada lagi keraguan akan posisi Deadpool dalam semesta X-Men. Masyarakat awam sudah banyak tahu soal mutan, bahkan ada penjara khusus buat mutan. Anda tahu perubahan ini bermakna apa; betul, franchise-building. Ah, lagi-lagi trik korporasi. Namun di lain sisi, Deadpool justru terlihat seperti sedang menyelamatkan franchise induknya itu.

Ya, Deadpool barangkali memang bisa membuat apa saja menjadi mungkin. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Deadpool 2

119 menit
Dewasa
David Leitch
Rhett Reese, Paul Wernick, Ryan Reynolds (cerita), Fabien Nicieza, Rob Liefeld (komik)
Simon Kinberg, Ryan Reynolds, Lauren Shuler Donner
Jonathan Sela
Tyler Bates

Deadpool tak peduli apakah itu sesuatu yang kecil atau besar, atau apakah bakal kena bagi penonton atau tidak. He just delivers.

“Well, that's just lazy writing.”
— Deadpool
Rating UP:
F**k #ThanosDemandsYourSilence!

Oke, Deadpool memang tak bilang, tapi ini terdengar seperti sesuatu yang akan diucapkannya lewat film Deadpool 2. Film ini punya spoiler yang lebih gurih, bahkan teman anda yang maniak Deadpool dan telah menonton semua materi promo atau membaca komiknya kemungkinan besar takkan menduganya. Yah, kecuali kalau mereka sepupuan sama Ryan Reynolds.

Jika dibandingkan, spoiler dalam Avengers: Infinity War hanyalah sedotan ale-ale belaka. Dan Deadpool selow abis, tak menanggapinya dengan berlebihan. Attitude ini saja sudah bisa mengantarkannya kemana pun. Deadpool tak peduli apakah itu sesuatu yang kecil atau besar, atau apakah bakal kena bagi penonton atau tidak. He just delivers.


Seperti kebanyakan sekuel, film ini menaikkan dosis dari apa saja yang membuat film pertamanya sukses: lebih banyak lelucon meta, lebih banyak aksi brutal, lebih royal dengan bujet dan efek spesial, serta lebih banyak manusia berkekuatan super. Di beberapa kesempatan, ini memberatkan filmnya, tak seperti film pertamanya yang ramping. But, Deadpool just delivers.

Dalam adegan pembuka yang menjanjikan film yang lebih superior, Deadpool langsung memamerkan keahliannya, yaitu memotong anggota tubuh dan meledek superhero lain. Agaknya keseharian Deadpool/Wade Wilson (Reynolds) berlangsung di waktu yang sama dengan kita; ia tahu bahwa Logan ikut-ikutan meniru rating "R/Dewasa" atau perolehan box office film pertamanya yang cuma bisa dikalahkan oleh Yesus. Namun, ia sekarang sedang stres dan berniat menyusul Wolverine ke alam baka. Untung buat kita tapi masalah bagi Wade, ia tak bisa mati. Apa gerangan yang membawanya ke lembah suicidal tersebut?

Itu adalah satu dari beberapa set-up yang harus dipakai Deadpool 2 untuk memperoleh momentum dalam bercerita. Awal film agak belibet. Wade kemudian dibawa Colossus (Stefan Kapicic) ke sekolah Profesor Xavier alias markas X-Men. Misi pertamanya (sebagai trainee, ingat itu!) adalah menangani bocah mutan, Russell (Julian Dennison) yang sedang dongkol. Singkat cerita, Wade bikin masalah dan keduanya disetrap.

Lalu datanglah Cable (Josh Brolin) dari masa depan. Mutan setengah robot yang ini cuma punya satu misi, yakni melenyapkan Russell.

Oleh karena itu, Wade membentuk tim demi menyelamatkan Russell dan mengatasi Cable. Nama timnya adalah X-Force, beda dengan X-Men yang seksis karena khusus untuk "men"/pria. Anggotanya antara lain: Bedlam (Terry Crews) si pengendali medan magnet, Shatterstar (Lewis Tan) penguasa gelombang listrik, Zeitgeist (Bill Skarsgard) yang bisa memuntahkan ludah korosif, dan Vanisher ( ;) ) yang kemampuannya sesuai dengan namanya.

Namun yang terbaik adalah Domino (Zazie Beetz), yang mengklaim bahwa kekuatan supernya adalah keberuntungan. "Keberuntungan gak sinematis kalo dipamerkan dalam film," protes Deadpool, tak tahu bahwa Domino baru saja menghajar beberapa orang dan selamat dari beberapa adegan maut hanya dengan modal keberuntungan saja.

Sebentar. Coret paragraf tadi, karena kita juga punya Peter (Rob Delaney), pria paruh baya dengan kumis tebal, yang kekuatan supernya tak lebih hebat dibanding oom-oom yang suka menelpon dengan berisik saat menonton bersama anda.

Yah, begitulah Deadpool. Macam-macam kekuatan super bisa menjadi lelucon. Ada lelucon kilat yang menyengat dalam sekali lempar, dan ada pula lelucon panjang yang dibangun lewat cerita. Yang terakhir tentu saja lebih pecah. Sebagian besarnya juga dielevasi dengan kehadiran berbagai macam cameo, termasuk bintang Hollywood yang tak anda duga, yang takkan saya ungkap disini. Anda akan tahu saat melihatnya.

Posisi sutradara sekarang diambil alih oleh David Leitch yang pernah menggarap John Wick dan Atomic Blonde. Tak seperti di dua film tersebut dimana setiap sekuens aksi diaksentuasi, adegan aksi dalam Deadpool terasa lebih melempem. Ia tak kurang sadis dari film sebelumnya, tapi ada semacam ketumpulan kala menyaksikan kekerasan komikal rutin yang terjadi disini. Meski begitu, ada satu sekuens aksi cukup sulit yang melibatkan banyak hal dan karakter bergerak dalam skala cukup besar yang ditangani dengan kompeten oleh Leitch.

Deadpool sempat bilang bahwa film ini adalah film keluarga. Meski saya tidak merekomendasikan untuk membawa semua anggota keluarga ke bioskop karena anda bakal bikin risih sendiri, tapi saya setuju dengan klaim tersebut. Di antara muncratan darah dan lelucon vulgar, film memberi ruang untuk drama, kebanyakan berasal dari Wade yang mencari makna hqq dari "family is where your heart is". Cheesy seperti kedengarannya. Tapi anda tahu Deadpool; ia siap mengedipkan matanya kapan saja dimana saja. Ia senang menunjuk sendiri lobang plotnya. Ada banyak poin yang menunjukkan penulisan skrip yang malas, dan film ini tetap menggunakannya.

Ryan Reynolds sekarang mendapat kredit sebagai salah satu penulis naskah, bersama Rhett Reese dan Paul Wernick. Sepertinya karena ia punya kontrol yang lebih besar dibanding film pertama. Tapi rasa-rasanya takkan ada yang menyalahkannya untuk itu, sebab Deadpool sudah menjadi kepribadian kedua bagi Reynolds. Barangkali mayoritas celutukan Deadpool berasal darinya. Ia terlihat nyaman dan ocehannya terdengar spontan. Di titik ini, ia sudah tahu betul bagaimana Deadpool itu, dan he just delivers.

Saya lumayan kaget melihat melihat bagaimana dunia Deadpool sudah banyak berubah dari yang saya ingat. Ia sekarang begitu dekat dengan X-Men. Tak ada lagi keraguan akan posisi Deadpool dalam semesta X-Men. Masyarakat awam sudah banyak tahu soal mutan, bahkan ada penjara khusus buat mutan. Anda tahu perubahan ini bermakna apa; betul, franchise-building. Ah, lagi-lagi trik korporasi. Namun di lain sisi, Deadpool justru terlihat seperti sedang menyelamatkan franchise induknya itu.

Ya, Deadpool barangkali memang bisa membuat apa saja menjadi mungkin. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Deadpool 2

119 menit
Dewasa
David Leitch
Rhett Reese, Paul Wernick, Ryan Reynolds (cerita), Fabien Nicieza, Rob Liefeld (komik)
Simon Kinberg, Ryan Reynolds, Lauren Shuler Donner
Jonathan Sela
Tyler Bates

Thursday, September 21, 2017

Review Film: 'Kingsman: The Golden Circle' (2017)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Kingsman: The Golden Circle' (2017)
link : Review Film: 'Kingsman: The Golden Circle' (2017)

Baca juga


Komedi

'Kingsman: The Secret Service' termasuk sampah berkualitas, sementara 'Kingsman: The Golden Circle' nyaris menjadi sampah betulan.

“Manners maketh man.”
— Harry Hart
Rating UP:
Jika sudah menonton Kingsman: The Secret Service yang dirilis 2 tahun lalu, maka anda tahu akan mendapatkan apa. Anda takkan lagi syok dengan konsepnya yang merayakan kekerasan dan kevulgaran lewat elemen tradisi film mata-mata. Sekuelnya, Kingsman: The Golden Circle masih merupakan film eksploitatif berisi plot lebai, kekerasan komikal, dan lelucon seksis. Keduanya sama-sama film sampah yang digarap dengan dana maksimal, efek spesial berkelas, dan energi tinggi. Meski demikian, The Secret Service termasuk sampah berkualitas, sementara The Golden Circle nyaris menjadi sampah betulan.


Oke. Itu memang terdengar lebih kejam daripada yang saya maksudkan. Namun sebanyak saya menikmati beberapa momen dalam The Golden Circle, sebanyak itu pula saya menengok jam tangan dan berharap filmnya segera berakhir. Dengan durasi yang mencapai hampir dua setengah jam, terasa sekali filmnya terlalu sesak sekaligus dipanjang-panjangkan. Matthew Vaughn yang kembali menjadi sutradara, jelas menargetkan sesuatu yang lebih besar, lebih gila, dan lebih spektakuler. Namun semua ekses ini ditumbukkan kepada kita dengan konstan, sehingga bagian yang paling sinting sekalipun menjadi terkesan, uhm, agak biasa.

Coba lihat sekuens aksi pembuka dimana Eggsy (Taron Egerton) yang sekarang sudah sah menjadi agen Kingsman dengan nama-kode Galahad, ditangkap oleh salah satu musuh lamanya dari film pertama. Lewat sekuens panjang mulai dari adu jotos di dalam mobil yang bergerak dalam kecepatan tinggi lalu diikuti dengan kejar-kejaran mobil di jalanan London, Eggsy berhasil selamat. Dibantu dengan banyak efek spesial, Vaughn menyajikannya dengan gerakan kamera hiperaktif yang mengikuti setiap tonjokan dan tendangan. Sekuens berikutnya yang menarik adalah pertarungan antara Eggsy yang bertandem dengan Harry Hart melawan musuh terakhir dimana kamera literally bergerak lebih cepat daripada mereka beraksi. Pada awalnya ini membuat saya berpikir bahwa filmnya boleh jadi merupakan film paling enerjik kedua tahun ini. Namun saat berlangsung terlalu lama, saya tak lagi merasakan keseruannya.

Kalau di film pertama, bos besarnya adalah Samuel L. Jackson yang bermain sebagai Valentine, orang kaya yang akan membunuh semua orang demi menyelamatkan bumi, maka kali ini kita mendapatkan Julianne Moore sebagai Poppy, orang kaya yang juga akan membunuh semua orang, hanya saja dengan tujuan dan metode yang berbeda. Ia bermaksud untuk memaksa Presiden Amerika melegalkan narkoba dengan cara menyandera konsumennya sendiri lewat sebuah virus mematikan. Poppy juga tak kalah eksentrik dibanding Valentine. Ia selalu memasang senyum ala prospektor MLM dan punya markas di hutan Kamboja yang didekorasi dengan properti studio film lawas. Ia juga suka kekerasan dengan cara mencincang manusia hidup menggunakan mesin pencincang daging. Ya. Ini memang film yang begitu.

Bicara soal Kingsman tak lengkap tanpa agen parlente Harry Hart-nya Colin Firth. Namun sayangnya ia tewas ditembak di kepala pada film pertama. Vaughn yang menulis skrip bersama Jane Goldman menggunakan cara lihai untuk membangkitkannya kembali. Dan ini bukan spoiler, karena kita sudah melihatnya lewat poster promosi dan trailer. Meski penting dari sisi komersil filmnya, tapi ini juga menafikan momen penting dari film sebelumnya. Saya tahu, Kingsman beroperasi dalam semesta penuh kemustahilan, tapi membangkitkan orang mati? Ini sedikit mencederai stake. Segala macam risiko yang terjadi bisa ditarik kembali. Dan dimana keseruan dan ketegangan saat tak ada konsekuensi?

The Golden Circle memperluas skala mitologi franchise-nya dengan memperkenalkan "sepupu" dari agensi Kingsman kita yang berkamuflase sebagai toko jas di Inggris yaitu Statesman, agensi mata-mata Amerika yang bermarkas di pabrik penyulingan miras. Pertemuan ini bermula ketika markas Kingsman dibombardir oleh penjahat. Semua agen Kingsman tewas, kecuali Merlin (Mark Strong) dan Eggsy yang kebetulan sedang pacaran dengan putri Swedia (Hanna Alstrom) yang diselamatkan (dan di*uhuk*) di film pertama. Keduanya lalu berangkat ke Kentucky lalu berjumpa dengan Statesmen yang terdiri dari agen bernama-kode miras diantaranya Tequilla (Channing Tatum), Ginger Ale (Halle Berry), Whiskey (Pedro Pascal), dan sang bos Champagne (Jeff Bridges).

Bagaimana cara mengintegrasikan semua nama top ini ke dalam cerita? Uhm. Sebagian dari mereka hanya numpang lewat sebentar sehingga lebih cocok dibilang sebagai cameo. Namun cameo yang paling menggigit, paling tidak awalnya, adalah Elton John yang bermain sebagai dirinya sendiri. Elton ditawan oleh Poppy untuk memberikan hiburan di markasnya yang sepi sekaligus membawakan langsung lagu "Saturday Night's Alright (for Fighting)" di pertarungan klimaks. Ia bahkan sempat pula beraksi. Namun sebagaimana kebanyakan lelucon filmnya, bagian ini juga dibuat melewati batas durasi sengatnya.

(Sebagai padanan bagi lelucon anal dari film pertama (jika belum mengerti, maka anda masih terlalu muda untuk film ini), di film ini kita mendapatkan lelucon yang melibatkan jari dan bagian sensitif wanita. Vaughn tak ragu-ragu; kamera menyorotnya dengan intim yang mungkin akan membuat sebagian penonton tak nyaman.)

Plotnya —yang melibatkan usaha Eggsy mencari vaksin sembari mempertahankan hubungan dengan sang pacar, Harry yang berjuang menemukan kembali skill mata-mata-nya, homage pada film James Bond, dan satire terhadap pola pikir sinis pemerintah— relatif kacau dan asyik njelimet sendiri dimana ada banyak subplot yang tak mengarah kemana-mana. Saya membayangkan film ini akan lebih efektif jika ia lebih ringkas. Energi dan setpieces yang gila menunjukkan bahwa Vaughn tak kehilangan imajinasi dan sentuhan visual yang stylish untuk sekuens aksi yang bombastis; gambar-gambarnya detil dan memanjakan mata. Ia melempar semuanya tapi hanya sedikit yang berkesan. Film ini sangat berkelas untuk dilihat, namun pesonanya tak sementereng saat pertama kita mengenalnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Kingsman: The Golden Circle

141 menit
Dewasa
Matthew Vaughn
Jane Goldman, Matthew Vaughn (screenplay), Mark Millar, Dave Gibbons (komik)
Matthew Vaughn, David Reid, Adam Bohling
George Richmond
Henry Jackman, Matthew Margeson

'Kingsman: The Secret Service' termasuk sampah berkualitas, sementara 'Kingsman: The Golden Circle' nyaris menjadi sampah betulan.

“Manners maketh man.”
— Harry Hart
Rating UP:
Jika sudah menonton Kingsman: The Secret Service yang dirilis 2 tahun lalu, maka anda tahu akan mendapatkan apa. Anda takkan lagi syok dengan konsepnya yang merayakan kekerasan dan kevulgaran lewat elemen tradisi film mata-mata. Sekuelnya, Kingsman: The Golden Circle masih merupakan film eksploitatif berisi plot lebai, kekerasan komikal, dan lelucon seksis. Keduanya sama-sama film sampah yang digarap dengan dana maksimal, efek spesial berkelas, dan energi tinggi. Meski demikian, The Secret Service termasuk sampah berkualitas, sementara The Golden Circle nyaris menjadi sampah betulan.


Oke. Itu memang terdengar lebih kejam daripada yang saya maksudkan. Namun sebanyak saya menikmati beberapa momen dalam The Golden Circle, sebanyak itu pula saya menengok jam tangan dan berharap filmnya segera berakhir. Dengan durasi yang mencapai hampir dua setengah jam, terasa sekali filmnya terlalu sesak sekaligus dipanjang-panjangkan. Matthew Vaughn yang kembali menjadi sutradara, jelas menargetkan sesuatu yang lebih besar, lebih gila, dan lebih spektakuler. Namun semua ekses ini ditumbukkan kepada kita dengan konstan, sehingga bagian yang paling sinting sekalipun menjadi terkesan, uhm, agak biasa.

Coba lihat sekuens aksi pembuka dimana Eggsy (Taron Egerton) yang sekarang sudah sah menjadi agen Kingsman dengan nama-kode Galahad, ditangkap oleh salah satu musuh lamanya dari film pertama. Lewat sekuens panjang mulai dari adu jotos di dalam mobil yang bergerak dalam kecepatan tinggi lalu diikuti dengan kejar-kejaran mobil di jalanan London, Eggsy berhasil selamat. Dibantu dengan banyak efek spesial, Vaughn menyajikannya dengan gerakan kamera hiperaktif yang mengikuti setiap tonjokan dan tendangan. Sekuens berikutnya yang menarik adalah pertarungan antara Eggsy yang bertandem dengan Harry Hart melawan musuh terakhir dimana kamera literally bergerak lebih cepat daripada mereka beraksi. Pada awalnya ini membuat saya berpikir bahwa filmnya boleh jadi merupakan film paling enerjik kedua tahun ini. Namun saat berlangsung terlalu lama, saya tak lagi merasakan keseruannya.

Kalau di film pertama, bos besarnya adalah Samuel L. Jackson yang bermain sebagai Valentine, orang kaya yang akan membunuh semua orang demi menyelamatkan bumi, maka kali ini kita mendapatkan Julianne Moore sebagai Poppy, orang kaya yang juga akan membunuh semua orang, hanya saja dengan tujuan dan metode yang berbeda. Ia bermaksud untuk memaksa Presiden Amerika melegalkan narkoba dengan cara menyandera konsumennya sendiri lewat sebuah virus mematikan. Poppy juga tak kalah eksentrik dibanding Valentine. Ia selalu memasang senyum ala prospektor MLM dan punya markas di hutan Kamboja yang didekorasi dengan properti studio film lawas. Ia juga suka kekerasan dengan cara mencincang manusia hidup menggunakan mesin pencincang daging. Ya. Ini memang film yang begitu.

Bicara soal Kingsman tak lengkap tanpa agen parlente Harry Hart-nya Colin Firth. Namun sayangnya ia tewas ditembak di kepala pada film pertama. Vaughn yang menulis skrip bersama Jane Goldman menggunakan cara lihai untuk membangkitkannya kembali. Dan ini bukan spoiler, karena kita sudah melihatnya lewat poster promosi dan trailer. Meski penting dari sisi komersil filmnya, tapi ini juga menafikan momen penting dari film sebelumnya. Saya tahu, Kingsman beroperasi dalam semesta penuh kemustahilan, tapi membangkitkan orang mati? Ini sedikit mencederai stake. Segala macam risiko yang terjadi bisa ditarik kembali. Dan dimana keseruan dan ketegangan saat tak ada konsekuensi?

The Golden Circle memperluas skala mitologi franchise-nya dengan memperkenalkan "sepupu" dari agensi Kingsman kita yang berkamuflase sebagai toko jas di Inggris yaitu Statesman, agensi mata-mata Amerika yang bermarkas di pabrik penyulingan miras. Pertemuan ini bermula ketika markas Kingsman dibombardir oleh penjahat. Semua agen Kingsman tewas, kecuali Merlin (Mark Strong) dan Eggsy yang kebetulan sedang pacaran dengan putri Swedia (Hanna Alstrom) yang diselamatkan (dan di*uhuk*) di film pertama. Keduanya lalu berangkat ke Kentucky lalu berjumpa dengan Statesmen yang terdiri dari agen bernama-kode miras diantaranya Tequilla (Channing Tatum), Ginger Ale (Halle Berry), Whiskey (Pedro Pascal), dan sang bos Champagne (Jeff Bridges).

Bagaimana cara mengintegrasikan semua nama top ini ke dalam cerita? Uhm. Sebagian dari mereka hanya numpang lewat sebentar sehingga lebih cocok dibilang sebagai cameo. Namun cameo yang paling menggigit, paling tidak awalnya, adalah Elton John yang bermain sebagai dirinya sendiri. Elton ditawan oleh Poppy untuk memberikan hiburan di markasnya yang sepi sekaligus membawakan langsung lagu "Saturday Night's Alright (for Fighting)" di pertarungan klimaks. Ia bahkan sempat pula beraksi. Namun sebagaimana kebanyakan lelucon filmnya, bagian ini juga dibuat melewati batas durasi sengatnya.

(Sebagai padanan bagi lelucon anal dari film pertama (jika belum mengerti, maka anda masih terlalu muda untuk film ini), di film ini kita mendapatkan lelucon yang melibatkan jari dan bagian sensitif wanita. Vaughn tak ragu-ragu; kamera menyorotnya dengan intim yang mungkin akan membuat sebagian penonton tak nyaman.)

Plotnya —yang melibatkan usaha Eggsy mencari vaksin sembari mempertahankan hubungan dengan sang pacar, Harry yang berjuang menemukan kembali skill mata-mata-nya, homage pada film James Bond, dan satire terhadap pola pikir sinis pemerintah— relatif kacau dan asyik njelimet sendiri dimana ada banyak subplot yang tak mengarah kemana-mana. Saya membayangkan film ini akan lebih efektif jika ia lebih ringkas. Energi dan setpieces yang gila menunjukkan bahwa Vaughn tak kehilangan imajinasi dan sentuhan visual yang stylish untuk sekuens aksi yang bombastis; gambar-gambarnya detil dan memanjakan mata. Ia melempar semuanya tapi hanya sedikit yang berkesan. Film ini sangat berkelas untuk dilihat, namun pesonanya tak sementereng saat pertama kita mengenalnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Kingsman: The Golden Circle

141 menit
Dewasa
Matthew Vaughn
Jane Goldman, Matthew Vaughn (screenplay), Mark Millar, Dave Gibbons (komik)
Matthew Vaughn, David Reid, Adam Bohling
George Richmond
Henry Jackman, Matthew Margeson

Sunday, September 3, 2017

Review Film: 'Colossal' (2017)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Colossal' (2017)
link : Review Film: 'Colossal' (2017)

Baca juga


Komedi

‘Colossal’ adalah film monster terakhir yang akan anda tonton saat anda ingin menonton film monster.

“I got really melodramatic, didn't I?”
— Gloria
Rating UP:
Colossal adalah film monster terakhir yang akan anda tonton saat anda ingin menonton film monster. Jika berharap film monster semacam Godzilla atau Pacific Rim, film ini akan memberikan pengalaman menonton yang canggung. Filmnya semacam hibrid abnormal antara fantasi dengan realisme, invasi monster dengan drama personal. Secara terpisah, keduanya adalah bahan baku generik yang sering dipakai dalam sebuah film, namun saat digabung, mereka menjadi konsep sinematis yang sangat orisinal yang jarang kita dapati dalam beberapa tahun belakangan.


Anne Hathaway bermain sebagai Gloria, wanita cantik dan cerdas tapi juga seorang gadis pesta yang punya tendensi merusak diri sendiri. Ia tinggal bersama pacarnya, Tim (Dan Stevens) di sebuah apartemen di New York. Tapi sekarang tidak lagi, karena Tim sudah mengemas pakaian Gloria dan siap mengusir Gloria karena jengah dengan hobinya yang suka mabuk-mabukan sampai dini hari. Tim sudah tak tahan lagi, lantas menyarankan Gloria untuk mencari jati dirinya terlebih dahulu.

Oleh karenanya, Gloria pulang ke kampung halamannya di sebuah kota kecil. Gloria bermaksud tinggal di rumah orang tuanya yang sudah terbengkalai. Saat sedang beres-beres, ia berjumpa dengan Oscar (Jason Sudeikis), teman masa kecil yang sudah sejak dulu naksir padanya. Oscar mempunyai sebuah bar warisan keluarga, dan melihat Gloria yang menganggur, ia menawarkan pekerjaan sebagai pelayan di barnya. Anda tentu tak melewatkan kata “bar” di kalimat barusan kan? Tentu saja, karena ini adalah bar, maka Gloria akan nongkrong bersama Oscar dan teman-temannya (Tim Blake Nelson dan Austin Stowell) sembari minum-minum lagi, pastinya.

Gloria mulai menyadari bahwa Tim bukanlah cinta sejatinya. Boleh jadi si pria biasa Oscar adalah pasangan idaman yang ia cari selama ini. Perlahan-lahan, Gloria mulai jatuh hati dan berusaha memperbaiki diri. Di akhir film, mereka hidup bahagia selamanya. Serius, ceritanya seperti ini! Seperti film-film komedi romantis yang sudah sering kita lihat.

...

Tentu saja tidak. Cerita sebenarnya tidak seperti ini. Anda juga melihat monster yang nampang di poster kan? Tentu saja ada monster. Monster raksasa ini tiba-tiba muncul di Seoul lalu memporak-porandakan kota. Gloria mengetahui hal ini saat menontonnya di televisi pasca mabuk-mabukan semalam suntuk. Namun ada yang aneh. Monster ini membuat gestur lucu yang familiar. Mungkinkah monster ini meniru gerakan Gloria? Atau justru Gloria yang mengendalikan monster tersebut?

Perkembangan plot, dari skrip yang ditulis sekaligus disutradarai oleh sutradara Spanyol Nacho Vigalondo, unik untuk disaksikan. Film ini ternyata tak menghabiskan waktu kita melihat perjalanan Gloria untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Gloria tahu bahwa monster ini punya hubungan yang sangat kuat dengan dirinya setelah melakukan beberapa uji coba singkat, semua segera menjadi personal bagi Gloria, terutama terhadap gaya hidupnya yang kacau. Awalnya ia bersenang-senang mendemonstrasikan kemampuan supernya tersebut kepada Oscar dkk. Namun kemudian, ia bergidik karena menyadari bahwa setiap kekacauan kecil yang dibuatnya menimbulkan huru-hara besar bagi banyak orang di belahan dunia lain.

Penonton yang cerdas pasti mengenali bahwa ini adalah alegori akan isu pribadi dari Gloria sendiri dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Namun, Colossal tak terfokus sekadar pada simbolisme tersebut karena ia juga membangun logikanya yang aneh dengan serius. Kemunculan monster ini punya aturan. Monster baru keluar di Seoul di jam tertentu saat Gloria masuk di sebuah taman bermain tertentu pula. Di satu titik nanti, ada pula robot raksasa yang muncul dengan logika yang sama. Kok bisa? Saya sebenarnya juga tak begitu tahu. Momen seperti ini kadang lucu, kadang menakutkan. Vigalondo merengkuh premis absurdnya ini dengan lurus, tak menganggapnya main-main.

Ini adalah film ketiga Vigalondo. Dua film sebelumnya —Timecrimes tentang perjalanan waktu dan Extraterestrial tentang penculikan alien— katanya juga merupakan film berkonsep spektakuler tapi ditangani dengan skala kecil. CGI untuk mencipta monsternya lebih dari kompeten tapi dipakai dengan efisien, karena Colossal memang lebih berfokus pada drama manusianya. Yang menjadi pusat gravitasinya adalah Hathaway. Ia menampilkan keseimbangan antara gaya hidup kacau dengan pribadi menarik dari Gloria. Ia hobi merusak diri, tapi cukup cerdas untuk mengetahui hal tersebut, yang menjadikannya lumayan relatable. Sudeikis cocok dipilih sebagai “pria baik” biasa, namun saat karakternya harus terjun ke ranah yang lebih gelap, saya kira lebih pas saat perannya diberikan kepada Stevens yang sudah membuktikan kapabilitasnya dalam hal ini lewat The Guest.

Saya ingin terlihat cerdas dengan memberitahu anda bahwa saya bisa mencerna semua subteks dan metafora dari Colossal. Namun apakah anda akan meninggalkan saya dan blog saya saat saya bilang bahwa pemahaman saya tak sebegitu komprehensif selain dari menangkap bahwa ini adalah soal isu personal, khususnya isu wanita? Mungkin penonton wanita akan tahu lebih mendalam. Ngomong-ngomong, kapan lagi mendapati curhatan pribadi yang disajikan dengan menghibur seperti ini? ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Colossal

110 menit
Dewasa
Nacho Vigalondo
Nacho Vigalondo
Nahikari Ipiña, Russell Levine, Nicolas Chartier, Zev Foreman, Dominic Rustam
Eric Kress
Bear McCreary

‘Colossal’ adalah film monster terakhir yang akan anda tonton saat anda ingin menonton film monster.

“I got really melodramatic, didn't I?”
— Gloria
Rating UP:
Colossal adalah film monster terakhir yang akan anda tonton saat anda ingin menonton film monster. Jika berharap film monster semacam Godzilla atau Pacific Rim, film ini akan memberikan pengalaman menonton yang canggung. Filmnya semacam hibrid abnormal antara fantasi dengan realisme, invasi monster dengan drama personal. Secara terpisah, keduanya adalah bahan baku generik yang sering dipakai dalam sebuah film, namun saat digabung, mereka menjadi konsep sinematis yang sangat orisinal yang jarang kita dapati dalam beberapa tahun belakangan.


Anne Hathaway bermain sebagai Gloria, wanita cantik dan cerdas tapi juga seorang gadis pesta yang punya tendensi merusak diri sendiri. Ia tinggal bersama pacarnya, Tim (Dan Stevens) di sebuah apartemen di New York. Tapi sekarang tidak lagi, karena Tim sudah mengemas pakaian Gloria dan siap mengusir Gloria karena jengah dengan hobinya yang suka mabuk-mabukan sampai dini hari. Tim sudah tak tahan lagi, lantas menyarankan Gloria untuk mencari jati dirinya terlebih dahulu.

Oleh karenanya, Gloria pulang ke kampung halamannya di sebuah kota kecil. Gloria bermaksud tinggal di rumah orang tuanya yang sudah terbengkalai. Saat sedang beres-beres, ia berjumpa dengan Oscar (Jason Sudeikis), teman masa kecil yang sudah sejak dulu naksir padanya. Oscar mempunyai sebuah bar warisan keluarga, dan melihat Gloria yang menganggur, ia menawarkan pekerjaan sebagai pelayan di barnya. Anda tentu tak melewatkan kata “bar” di kalimat barusan kan? Tentu saja, karena ini adalah bar, maka Gloria akan nongkrong bersama Oscar dan teman-temannya (Tim Blake Nelson dan Austin Stowell) sembari minum-minum lagi, pastinya.

Gloria mulai menyadari bahwa Tim bukanlah cinta sejatinya. Boleh jadi si pria biasa Oscar adalah pasangan idaman yang ia cari selama ini. Perlahan-lahan, Gloria mulai jatuh hati dan berusaha memperbaiki diri. Di akhir film, mereka hidup bahagia selamanya. Serius, ceritanya seperti ini! Seperti film-film komedi romantis yang sudah sering kita lihat.

...

Tentu saja tidak. Cerita sebenarnya tidak seperti ini. Anda juga melihat monster yang nampang di poster kan? Tentu saja ada monster. Monster raksasa ini tiba-tiba muncul di Seoul lalu memporak-porandakan kota. Gloria mengetahui hal ini saat menontonnya di televisi pasca mabuk-mabukan semalam suntuk. Namun ada yang aneh. Monster ini membuat gestur lucu yang familiar. Mungkinkah monster ini meniru gerakan Gloria? Atau justru Gloria yang mengendalikan monster tersebut?

Perkembangan plot, dari skrip yang ditulis sekaligus disutradarai oleh sutradara Spanyol Nacho Vigalondo, unik untuk disaksikan. Film ini ternyata tak menghabiskan waktu kita melihat perjalanan Gloria untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ketika Gloria tahu bahwa monster ini punya hubungan yang sangat kuat dengan dirinya setelah melakukan beberapa uji coba singkat, semua segera menjadi personal bagi Gloria, terutama terhadap gaya hidupnya yang kacau. Awalnya ia bersenang-senang mendemonstrasikan kemampuan supernya tersebut kepada Oscar dkk. Namun kemudian, ia bergidik karena menyadari bahwa setiap kekacauan kecil yang dibuatnya menimbulkan huru-hara besar bagi banyak orang di belahan dunia lain.

Penonton yang cerdas pasti mengenali bahwa ini adalah alegori akan isu pribadi dari Gloria sendiri dan bagaimana hal tersebut mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Namun, Colossal tak terfokus sekadar pada simbolisme tersebut karena ia juga membangun logikanya yang aneh dengan serius. Kemunculan monster ini punya aturan. Monster baru keluar di Seoul di jam tertentu saat Gloria masuk di sebuah taman bermain tertentu pula. Di satu titik nanti, ada pula robot raksasa yang muncul dengan logika yang sama. Kok bisa? Saya sebenarnya juga tak begitu tahu. Momen seperti ini kadang lucu, kadang menakutkan. Vigalondo merengkuh premis absurdnya ini dengan lurus, tak menganggapnya main-main.

Ini adalah film ketiga Vigalondo. Dua film sebelumnya —Timecrimes tentang perjalanan waktu dan Extraterestrial tentang penculikan alien— katanya juga merupakan film berkonsep spektakuler tapi ditangani dengan skala kecil. CGI untuk mencipta monsternya lebih dari kompeten tapi dipakai dengan efisien, karena Colossal memang lebih berfokus pada drama manusianya. Yang menjadi pusat gravitasinya adalah Hathaway. Ia menampilkan keseimbangan antara gaya hidup kacau dengan pribadi menarik dari Gloria. Ia hobi merusak diri, tapi cukup cerdas untuk mengetahui hal tersebut, yang menjadikannya lumayan relatable. Sudeikis cocok dipilih sebagai “pria baik” biasa, namun saat karakternya harus terjun ke ranah yang lebih gelap, saya kira lebih pas saat perannya diberikan kepada Stevens yang sudah membuktikan kapabilitasnya dalam hal ini lewat The Guest.

Saya ingin terlihat cerdas dengan memberitahu anda bahwa saya bisa mencerna semua subteks dan metafora dari Colossal. Namun apakah anda akan meninggalkan saya dan blog saya saat saya bilang bahwa pemahaman saya tak sebegitu komprehensif selain dari menangkap bahwa ini adalah soal isu personal, khususnya isu wanita? Mungkin penonton wanita akan tahu lebih mendalam. Ngomong-ngomong, kapan lagi mendapati curhatan pribadi yang disajikan dengan menghibur seperti ini? ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Colossal

110 menit
Dewasa
Nacho Vigalondo
Nacho Vigalondo
Nahikari Ipiña, Russell Levine, Nicolas Chartier, Zev Foreman, Dominic Rustam
Eric Kress
Bear McCreary

Friday, August 25, 2017

Review Film: 'American Made' (2017)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Biografi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'American Made' (2017)
link : Review Film: 'American Made' (2017)

Baca juga


Komedi

Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.

“My name is Barry Seal. Some of this s**t really happened. It really did.”
— Barry Seal
Rating UP:
Judulnya tak bisa lebih tepat lagi selain American Made. Yang membuat Barry Seal menjadi "Barry Seal" yang itu adalah Amerika. Barry Seal, mantan pilot komersil yang beralih menjadi pilot bagi CIA sekaligus kartel narkoba Kolombia, adalah produk dari iklim politik Amerika yang kerap berubah gara-gara tendensi mereka mencampuri urusan negara lain. Yah, anda mungkin sudah tahu kalau Amerika memang suka begitu. Anda mungkin juga sudah tahu bagaimana filmnya akan berjalan, karena telah banyak menyaksikan film kriminal slenge'an "based on true story" seperti ini. Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.


Barry diperankan oleh Tom Cruise. Iya, bintang film kecintaan semua orang yang identik dengan citra jagoan dan auranya yang agak bandel, kali ini harus bermain sedikit lebih nakal lagi sebagai kriminal penyelundup narkoba dan senjata dari Amerika ke Amerika Latin. Kisah nyatanya sendiri sangat absurd, dan pasti menyadari hal ini, sutradara Doug Liman membawakan filmnya dengan dengan ringan dan cenderung komedik. Cruise, seperti biasa, menampilkan karisma dan seringai songongnya yang menjadi driving force kuat bagi film ini, hingga di satu titik saya sampai berpikir jangan-jangan saya peduli pada karakternya gara-gara diperankan Cruise.

Di tahun 70-an, Seal adalah pilot bagi maskapai penumpang Trans World Airlines (TWA) yang sebegitu bosan dengan pekerjaannya, ia sampai iseng sengaja membuat turbulensi palsu dengan membelokkan pesawat ke bawah secara mendadak. Barry dan copilot-nya cengar-cengir, tapi untunglah tak ada penumpang pesawat yang jantungan. Dalam perjalanan pulang, Barry juga sekalian menyelundupkan cerutu Kuba ke Amerika. Operasi kecil-kecilannya menjadi perhatian bagi CIA, namun alih-alih menangkap Barry, mereka malah merekrutnya untuk misi mata-mata. Wakil CIA, Schafer (Domhnall Gleeson) menyuruh Barry terbang seperti biasa ke Amerika Latin, tapi kali ini ia harus mengambil laporan spionase dari rekanan CIA atau memotret aktivitas militer yang dilakukan disana.

Operasi yang ini juga ketahuan, tapi oleh trio kartel Medellin, yang diantaranya beranggotakan raja narkoba, Pablo Escobar. Mereka tahu bahwa Barry bekerja pada CIA, namun mereka ingin memanfaatkan situasi. Barry diharuskan menyelundupkan ratusan kilo kokain ke Amerika. Sebagai imbalan, ia akan dibayar $2 ribu perkilo. Nikmatnya menjadi Barry adalah: (1) selalu ketahuan, tapi (2) selalu bisa lolos, dan (3) bernasib lebih baik daripada sebelumnya. Kali ini ia digerebek polisi Kolombia, tapi dibebaskan kembali oleh Schafer. Untuk menyembunyikan identitas, Barry harus memindahkan keluarganya ke kota kecil Mena, dimana ia diberi rumah dan satu bandara pribadi yang khusus untuk menerbangkan senjata, karena kini Presiden merasa perlu mempersenjatai militan Contras di Nikaragua. Sementara itu, bisnis kurir narkoba semakin besar hingga Barry merekrut beberapa pilot sebagai anak buahnya.

Kesalahan Barry adalah saat punya terlalu banyak uang, ia sampai tak tahu lagi bagaimana cara menyimpannya. Kota kecil Mena sudah seperti kota pribadi Barry karena ia membuat beberapa bisnis dan bank fiktif untuk mencuci uang. Uang tunai berceceran sampai ke kandang kuda karena sudah tak muat lagi di dalam koper-koper. Kedatangan adik iparnya (Caleb Landry Jones) yang seorang preman kacangan, membuat situasi menjadi lebih kacau. Di titik ini, anda penasaran bagaimana Barry masih bisa lolos. Pemerintah bukannya tidak tahu, alih-alih lepas tangan, sebab mereka merasa bahwa ada urusan yang lebih penting, which is, menangani urusan negara orang, tentu saja. Barry hanyalah seorang oportunis yang berada di waktu dan tempat yang tepat, memerah duit dari berbagai pihak yang juga memerahnya.

Film dibuka dengan Barry yang sedang merekam video dokumenter menggunakan VHS, menjelaskan tentang pekerjaannya. "This s**t really happened," kata Barry. American Made menggunakan video ini didukung dengan narasi langsung dari Cruise sebagai framing device untuk memandu kita melewati timeline yang meloncat-loncat sejak 70-an sampai akhir 80-an. Sinematografer yang digandeng Liman adalah Cesar Charlone. Seperti yang diterapkannya pada City of God (2002), Charlone suka dengan gambar nyaris close-up dengan warna calak. Gerakan kameranya hiperaktif dengan filter gambar yang kerap berganti, memberikan urgensi tersendiri di setiap adegan. Gaya filmnya pas sekali dengan karakterisasi serampangan dari Cruise. Untuk menjelaskan geografi naratifnya, Liman menggunakan peta yang dicoret dengan spidol, sembari menyentil keapatisan kebanyakan orang Amerika terhadap geografi negara orang, mengingatkan saya pada rubrik "Other Countries' Presidents" dari talkshow Last Week Tonight with John Oliver.

Film ini adalah satire, dan Liman bijak sekali tak terjun terlalu dalam terhadap latar belakang politiknya. Ini hanyalah cerita tentang Barry Seal, yang kebetulan dilatari dengan figur publik tenar semacam Escobar, Kolonel Noriega, dan Presiden Reagan. Konspirasi yang aslinya bernama skandal Iran-Contra ini seperti terpisah dari kehidupan Barry, namun kita masih bisa mengintip sekilas apa yang yang sebenarnya terjadi. Jika tidak, ini akan menjadi film yang sama sekali berbeda, yang kemungkinan besar akan menimbulkan ketimpangan tone.

Di lain sisi, hal ini juga membuat karakter lain tertutupi oleh Barry-nya Cruise. Pasangan sherif Mena, Jesse Plemons dan Lola Kirke terutama, yang tampaknya seperti punya peran cukup krusial di awal, namun ternyata tak begitu memberi dampak dalam kisah Barry. Sarah Wright Olsen sebagai istri Barry, Lucy baru mendapat porsi yang cukup mencolok menjelang film berakhir. Komitmen Liman agar filmnya selalu santai, menjadikan petualangan Barry dalam film ini tak seliar dan setajam kisah nyatanya. Saya pikir Liman menargetkan tohokan emosional untuk adegan penutup yang tragis. Ini tidak tercapai karena American Made tak mengajak kita menyelami lika-liku perjalanan moral dari Barry. Petualangan Barry terlalu fun. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

American Made

109 menit
Dewasa
Doug Liman
Gary Spinelli
Doug Davison, Brian Grazer, Ron Howard, Brian Oliver, Kim Roth, Tyler Thompson
César Charlone
Christophe Beck

Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.

“My name is Barry Seal. Some of this s**t really happened. It really did.”
— Barry Seal
Rating UP:
Judulnya tak bisa lebih tepat lagi selain American Made. Yang membuat Barry Seal menjadi "Barry Seal" yang itu adalah Amerika. Barry Seal, mantan pilot komersil yang beralih menjadi pilot bagi CIA sekaligus kartel narkoba Kolombia, adalah produk dari iklim politik Amerika yang kerap berubah gara-gara tendensi mereka mencampuri urusan negara lain. Yah, anda mungkin sudah tahu kalau Amerika memang suka begitu. Anda mungkin juga sudah tahu bagaimana filmnya akan berjalan, karena telah banyak menyaksikan film kriminal slenge'an "based on true story" seperti ini. Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.


Barry diperankan oleh Tom Cruise. Iya, bintang film kecintaan semua orang yang identik dengan citra jagoan dan auranya yang agak bandel, kali ini harus bermain sedikit lebih nakal lagi sebagai kriminal penyelundup narkoba dan senjata dari Amerika ke Amerika Latin. Kisah nyatanya sendiri sangat absurd, dan pasti menyadari hal ini, sutradara Doug Liman membawakan filmnya dengan dengan ringan dan cenderung komedik. Cruise, seperti biasa, menampilkan karisma dan seringai songongnya yang menjadi driving force kuat bagi film ini, hingga di satu titik saya sampai berpikir jangan-jangan saya peduli pada karakternya gara-gara diperankan Cruise.

Di tahun 70-an, Seal adalah pilot bagi maskapai penumpang Trans World Airlines (TWA) yang sebegitu bosan dengan pekerjaannya, ia sampai iseng sengaja membuat turbulensi palsu dengan membelokkan pesawat ke bawah secara mendadak. Barry dan copilot-nya cengar-cengir, tapi untunglah tak ada penumpang pesawat yang jantungan. Dalam perjalanan pulang, Barry juga sekalian menyelundupkan cerutu Kuba ke Amerika. Operasi kecil-kecilannya menjadi perhatian bagi CIA, namun alih-alih menangkap Barry, mereka malah merekrutnya untuk misi mata-mata. Wakil CIA, Schafer (Domhnall Gleeson) menyuruh Barry terbang seperti biasa ke Amerika Latin, tapi kali ini ia harus mengambil laporan spionase dari rekanan CIA atau memotret aktivitas militer yang dilakukan disana.

Operasi yang ini juga ketahuan, tapi oleh trio kartel Medellin, yang diantaranya beranggotakan raja narkoba, Pablo Escobar. Mereka tahu bahwa Barry bekerja pada CIA, namun mereka ingin memanfaatkan situasi. Barry diharuskan menyelundupkan ratusan kilo kokain ke Amerika. Sebagai imbalan, ia akan dibayar $2 ribu perkilo. Nikmatnya menjadi Barry adalah: (1) selalu ketahuan, tapi (2) selalu bisa lolos, dan (3) bernasib lebih baik daripada sebelumnya. Kali ini ia digerebek polisi Kolombia, tapi dibebaskan kembali oleh Schafer. Untuk menyembunyikan identitas, Barry harus memindahkan keluarganya ke kota kecil Mena, dimana ia diberi rumah dan satu bandara pribadi yang khusus untuk menerbangkan senjata, karena kini Presiden merasa perlu mempersenjatai militan Contras di Nikaragua. Sementara itu, bisnis kurir narkoba semakin besar hingga Barry merekrut beberapa pilot sebagai anak buahnya.

Kesalahan Barry adalah saat punya terlalu banyak uang, ia sampai tak tahu lagi bagaimana cara menyimpannya. Kota kecil Mena sudah seperti kota pribadi Barry karena ia membuat beberapa bisnis dan bank fiktif untuk mencuci uang. Uang tunai berceceran sampai ke kandang kuda karena sudah tak muat lagi di dalam koper-koper. Kedatangan adik iparnya (Caleb Landry Jones) yang seorang preman kacangan, membuat situasi menjadi lebih kacau. Di titik ini, anda penasaran bagaimana Barry masih bisa lolos. Pemerintah bukannya tidak tahu, alih-alih lepas tangan, sebab mereka merasa bahwa ada urusan yang lebih penting, which is, menangani urusan negara orang, tentu saja. Barry hanyalah seorang oportunis yang berada di waktu dan tempat yang tepat, memerah duit dari berbagai pihak yang juga memerahnya.

Film dibuka dengan Barry yang sedang merekam video dokumenter menggunakan VHS, menjelaskan tentang pekerjaannya. "This s**t really happened," kata Barry. American Made menggunakan video ini didukung dengan narasi langsung dari Cruise sebagai framing device untuk memandu kita melewati timeline yang meloncat-loncat sejak 70-an sampai akhir 80-an. Sinematografer yang digandeng Liman adalah Cesar Charlone. Seperti yang diterapkannya pada City of God (2002), Charlone suka dengan gambar nyaris close-up dengan warna calak. Gerakan kameranya hiperaktif dengan filter gambar yang kerap berganti, memberikan urgensi tersendiri di setiap adegan. Gaya filmnya pas sekali dengan karakterisasi serampangan dari Cruise. Untuk menjelaskan geografi naratifnya, Liman menggunakan peta yang dicoret dengan spidol, sembari menyentil keapatisan kebanyakan orang Amerika terhadap geografi negara orang, mengingatkan saya pada rubrik "Other Countries' Presidents" dari talkshow Last Week Tonight with John Oliver.

Film ini adalah satire, dan Liman bijak sekali tak terjun terlalu dalam terhadap latar belakang politiknya. Ini hanyalah cerita tentang Barry Seal, yang kebetulan dilatari dengan figur publik tenar semacam Escobar, Kolonel Noriega, dan Presiden Reagan. Konspirasi yang aslinya bernama skandal Iran-Contra ini seperti terpisah dari kehidupan Barry, namun kita masih bisa mengintip sekilas apa yang yang sebenarnya terjadi. Jika tidak, ini akan menjadi film yang sama sekali berbeda, yang kemungkinan besar akan menimbulkan ketimpangan tone.

Di lain sisi, hal ini juga membuat karakter lain tertutupi oleh Barry-nya Cruise. Pasangan sherif Mena, Jesse Plemons dan Lola Kirke terutama, yang tampaknya seperti punya peran cukup krusial di awal, namun ternyata tak begitu memberi dampak dalam kisah Barry. Sarah Wright Olsen sebagai istri Barry, Lucy baru mendapat porsi yang cukup mencolok menjelang film berakhir. Komitmen Liman agar filmnya selalu santai, menjadikan petualangan Barry dalam film ini tak seliar dan setajam kisah nyatanya. Saya pikir Liman menargetkan tohokan emosional untuk adegan penutup yang tragis. Ini tidak tercapai karena American Made tak mengajak kita menyelami lika-liku perjalanan moral dari Barry. Petualangan Barry terlalu fun. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

American Made

109 menit
Dewasa
Doug Liman
Gary Spinelli
Doug Davison, Brian Grazer, Ron Howard, Brian Oliver, Kim Roth, Tyler Thompson
César Charlone
Christophe Beck

Thursday, August 17, 2017

Review Film: 'The Hitman's Bodyguard' (2017)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Hitman's Bodyguard' (2017)
link : Review Film: 'The Hitman's Bodyguard' (2017)

Baca juga


Komedi

'The Hitman’s Bodyguard' adalah sketsa dari sebuah film aksi-komedi yang lebih bagus.

“Boring is always better.”
— Michael Bryce
Rating UP:
The Hitman’s Bodyguard adalah sketsa dari sebuah film aksi-komedi yang lebih bagus. Saya bisa membayangkan film yang lebih berkesan jika penggarapannya lebih baik. Ada momen komedik yang membuat kita ngakak dengan tulus, ada momen aksi lebay yang sensasional, dan ada penggunaan lagu “Hello”-nya Lionel Richie yang mungkin paling tak cheesy sepanjang masa, namun filmnya kurang menggigit karena hanya sedikit kepedulian untuk membuat karakternya lebih menarik daripada stereotype yang sudah kita kenal.

Terkadang kita bisa membaca film hanya dari casting-nya saja. The Hitman’s Bodyguard memasangkan Ryan Reynolds dengan Samuel L. Jackson, dua aktor yang identik dengan peran cerewet bermulut kasar. Ini akan jadi buddy movie yang vulgar. Mereka akan membuat membuat gerah satu sama lain dalam lelucon yang blak-blakan. Tentu saja, kita bakal mendengar banyak kutipan “B**ch please” atau “motherf***er” yang merdu saat keluar dari mulut Samuel L. Jackson. Anda pikir ini film apa?


Reynolds bermain sebagai Michael Bryce, mantan bodyguard kelas AAA yang kehilangan kredibilitas saat salah satu kliennya yang sangat berpengaruh tewas di depan matanya. Bryce masih mencari nafkah di bidang profesi ini dan bisa dibilang masih cukup kompeten, namun kelas sosialnya sudah begitu anjlok sampai ia harus tinggal dan buang air di mobil pribadi yang katanya baunya seperti keringat lansia.

Jackson menjadi Darius Kincaid, pembunuh bayaran legendaris yang nyaris tak bisa dibunuh, yang katanya sudah membantai sampai 150 orang. Kincaid sekarang sudah tertangkap, dan akan dibawa oleh Interpol dari Manchester menuju Mahkamah Internasional di Den Haag. Namun bukan untuk diadili, melainkan menjadi saksi kunci bagi kejahatan perang yang dilakukan oleh Vladislav Dukhovich (Gary Oldman), diktator sebuah negara totaliter di Eropa Timur. Sebagai imbalan atas testimoninya, Interpol akan membebaskan istri Kincaid, Sonia (Salma Hayek).

Pemindahan ini awalnya dikoordinasi oleh agen Amelia Roussel (Elodie Yung), tapi mengingat reputasi Kincaid dimana semua orang ingin membunuhnya, khususnya antek Dukhovich, maka timbul kekacauan di tengah jalan. Hanya Bryce yang bisa mengantar Kincaid, karena ada pengkhianat di tubuh Interpol. Lagipula Bryce adalah mantan pacar Amelia, jadi Amelia seharusnya bisa percaya dia kan? Anda tahulah, tidak semua mantan itu buruk.

Di film seperti ini, kita perlu Bryce dan Kincaid untuk saling membenci. Bahkan, mereka sebenarnya adalah musuh bebuyutan. Kincaid katanya sudah 28 kali hampir membunuh Bryce. Dengan begini, kita akan mendapatkan banyak adu mulut, saling mengerjai atau melempar sumpah serapah, sembari mereka berkeliling Eropa menghancurkan mobil, merusak fasilitas umum, menghamburkan peluru, membunuhi penjahat, atau menghindari ledakan. Dan tentu saja, dalam perjalanan, mereka akan belajar untuk saling menghormati.

Film ini memakai formula buddy movie yang populer di era 80-an, yang sudah teruji sejak lama dan terlalu sering dipakai. Yang akan membedakan adalah seberapa jauh chemistry karakternya dan seberapa seru perjalanan mereka. Dalam kasus ini, The Hitman’s Bodyguard tak pergi kemana-mana. Hubungan mereka setengah matang; kita tak sedemikian peduli dengan karakter mereka kecuali karena diperankan oleh bintang top sekelas Reynolds dan Jackson. Obrolan curhat mereka tentang pasangan masing-masing sangat membosankan. Pembuat film tak bisa menawarkan sesuatu yang lebih banyak daripada apa yang pertama kali terlintas di benak kita saat membaca dua nama aktor tadi di bagian pembuka.

Reynolds mendapat peran sebagai “yang waras” dalam formula; seorang profesional yang mengutamakan misi, punya prinsip untuk tak membunuh kecuali terpaksa, dan punya akal sehat sehingga frustrasi saat melihat kekacauan terjadi. Bertolak belakang dengannya, Jackson adalah “yang gila”, hobi membantai orang dan candu dengan kekacauan. Yang membuat leluconnya mengena bukan karena bobot humor atau pengaturan situasi komedi yang pas, melainkan karena delivery mereka yang jago. Keduanya adalah pakar dalam comedic-timing, dan film ini berhutang banyak pada mereka.

Film ini digarap oleh Patrick Hughes, dan surprisingly, sekuens aksinya lebih menghibur daripada yang dia suguhkan di The Expendables 3. Set-pieces-nya komikal, seringkali menentang hukum Fisika, dan mungkin karena bujet, tampak murahan di beberapa adegan. Dua sekuens yang paling sensasional adalah adu jotos yang dilakukan Reynolds di toko perkakas yang tampaknya diambil dalam satu take, serta adegan kejar-kejaran di kanal Amsterdam yang melibatkan boat, sepeda motor, dan mobil yang terjadi secara simultan. Konyol seperti kedengarannya, tapi juga seru setengah mati. Namun Hughes tak bisa menekankan sense of geography-nya. Kebanyakan adegan aksinya disorot dengan quick-cut yang sulit dicerna, mungkin efektif untuk pertarungan jarak dekat tapi tak demikian dengan sekuens aksi yang berskala lebih besar.

Filmnya cukup menghibur di beberapa waktu, tapi saya merasa ia kurang greget secara keseluruhan. Penggarapannya nanggung. Film aksi-komedi yang bagus punya dinamika dan energi yang mantap sehingga penonton tak merasa jemu saat para karakternya saling menembak terlalu banyak atau melawak terlalu panjang. Ini akan membosankan saat tak dilakukan dengan benar. Ada bagian dalam The Hitman’s Bodyguard dimana karakternya tertawa keras seperti dibuat-buat dengan durasi yang sedikit dipanjangkan, seolah ingin memastikan apakah kita sudah tertawa atau belum. B**ch please. Filmnya lucu saat tak berjuang keras melucu. Saya lebih memilih adegan flashback saat Kincaid pertama kali jatuh hati pada Sonia yang sadis-tapi-romantis. Tak ada karakter yang tertawa di layar, tapi penonton di belakang saya sampai tersedak. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Hitman's Bodyguard

118 menit
Dewasa
Patrick Hughes
Tom O'Connor
David Ellison, Mark Gill, Dana Goldberg, Matthew O'Toole, John Thompson, Les Weldon
Jules O'Loughlin
Atli Örvarsson

'The Hitman’s Bodyguard' adalah sketsa dari sebuah film aksi-komedi yang lebih bagus.

“Boring is always better.”
— Michael Bryce
Rating UP:
The Hitman’s Bodyguard adalah sketsa dari sebuah film aksi-komedi yang lebih bagus. Saya bisa membayangkan film yang lebih berkesan jika penggarapannya lebih baik. Ada momen komedik yang membuat kita ngakak dengan tulus, ada momen aksi lebay yang sensasional, dan ada penggunaan lagu “Hello”-nya Lionel Richie yang mungkin paling tak cheesy sepanjang masa, namun filmnya kurang menggigit karena hanya sedikit kepedulian untuk membuat karakternya lebih menarik daripada stereotype yang sudah kita kenal.

Terkadang kita bisa membaca film hanya dari casting-nya saja. The Hitman’s Bodyguard memasangkan Ryan Reynolds dengan Samuel L. Jackson, dua aktor yang identik dengan peran cerewet bermulut kasar. Ini akan jadi buddy movie yang vulgar. Mereka akan membuat membuat gerah satu sama lain dalam lelucon yang blak-blakan. Tentu saja, kita bakal mendengar banyak kutipan “B**ch please” atau “motherf***er” yang merdu saat keluar dari mulut Samuel L. Jackson. Anda pikir ini film apa?


Reynolds bermain sebagai Michael Bryce, mantan bodyguard kelas AAA yang kehilangan kredibilitas saat salah satu kliennya yang sangat berpengaruh tewas di depan matanya. Bryce masih mencari nafkah di bidang profesi ini dan bisa dibilang masih cukup kompeten, namun kelas sosialnya sudah begitu anjlok sampai ia harus tinggal dan buang air di mobil pribadi yang katanya baunya seperti keringat lansia.

Jackson menjadi Darius Kincaid, pembunuh bayaran legendaris yang nyaris tak bisa dibunuh, yang katanya sudah membantai sampai 150 orang. Kincaid sekarang sudah tertangkap, dan akan dibawa oleh Interpol dari Manchester menuju Mahkamah Internasional di Den Haag. Namun bukan untuk diadili, melainkan menjadi saksi kunci bagi kejahatan perang yang dilakukan oleh Vladislav Dukhovich (Gary Oldman), diktator sebuah negara totaliter di Eropa Timur. Sebagai imbalan atas testimoninya, Interpol akan membebaskan istri Kincaid, Sonia (Salma Hayek).

Pemindahan ini awalnya dikoordinasi oleh agen Amelia Roussel (Elodie Yung), tapi mengingat reputasi Kincaid dimana semua orang ingin membunuhnya, khususnya antek Dukhovich, maka timbul kekacauan di tengah jalan. Hanya Bryce yang bisa mengantar Kincaid, karena ada pengkhianat di tubuh Interpol. Lagipula Bryce adalah mantan pacar Amelia, jadi Amelia seharusnya bisa percaya dia kan? Anda tahulah, tidak semua mantan itu buruk.

Di film seperti ini, kita perlu Bryce dan Kincaid untuk saling membenci. Bahkan, mereka sebenarnya adalah musuh bebuyutan. Kincaid katanya sudah 28 kali hampir membunuh Bryce. Dengan begini, kita akan mendapatkan banyak adu mulut, saling mengerjai atau melempar sumpah serapah, sembari mereka berkeliling Eropa menghancurkan mobil, merusak fasilitas umum, menghamburkan peluru, membunuhi penjahat, atau menghindari ledakan. Dan tentu saja, dalam perjalanan, mereka akan belajar untuk saling menghormati.

Film ini memakai formula buddy movie yang populer di era 80-an, yang sudah teruji sejak lama dan terlalu sering dipakai. Yang akan membedakan adalah seberapa jauh chemistry karakternya dan seberapa seru perjalanan mereka. Dalam kasus ini, The Hitman’s Bodyguard tak pergi kemana-mana. Hubungan mereka setengah matang; kita tak sedemikian peduli dengan karakter mereka kecuali karena diperankan oleh bintang top sekelas Reynolds dan Jackson. Obrolan curhat mereka tentang pasangan masing-masing sangat membosankan. Pembuat film tak bisa menawarkan sesuatu yang lebih banyak daripada apa yang pertama kali terlintas di benak kita saat membaca dua nama aktor tadi di bagian pembuka.

Reynolds mendapat peran sebagai “yang waras” dalam formula; seorang profesional yang mengutamakan misi, punya prinsip untuk tak membunuh kecuali terpaksa, dan punya akal sehat sehingga frustrasi saat melihat kekacauan terjadi. Bertolak belakang dengannya, Jackson adalah “yang gila”, hobi membantai orang dan candu dengan kekacauan. Yang membuat leluconnya mengena bukan karena bobot humor atau pengaturan situasi komedi yang pas, melainkan karena delivery mereka yang jago. Keduanya adalah pakar dalam comedic-timing, dan film ini berhutang banyak pada mereka.

Film ini digarap oleh Patrick Hughes, dan surprisingly, sekuens aksinya lebih menghibur daripada yang dia suguhkan di The Expendables 3. Set-pieces-nya komikal, seringkali menentang hukum Fisika, dan mungkin karena bujet, tampak murahan di beberapa adegan. Dua sekuens yang paling sensasional adalah adu jotos yang dilakukan Reynolds di toko perkakas yang tampaknya diambil dalam satu take, serta adegan kejar-kejaran di kanal Amsterdam yang melibatkan boat, sepeda motor, dan mobil yang terjadi secara simultan. Konyol seperti kedengarannya, tapi juga seru setengah mati. Namun Hughes tak bisa menekankan sense of geography-nya. Kebanyakan adegan aksinya disorot dengan quick-cut yang sulit dicerna, mungkin efektif untuk pertarungan jarak dekat tapi tak demikian dengan sekuens aksi yang berskala lebih besar.

Filmnya cukup menghibur di beberapa waktu, tapi saya merasa ia kurang greget secara keseluruhan. Penggarapannya nanggung. Film aksi-komedi yang bagus punya dinamika dan energi yang mantap sehingga penonton tak merasa jemu saat para karakternya saling menembak terlalu banyak atau melawak terlalu panjang. Ini akan membosankan saat tak dilakukan dengan benar. Ada bagian dalam The Hitman’s Bodyguard dimana karakternya tertawa keras seperti dibuat-buat dengan durasi yang sedikit dipanjangkan, seolah ingin memastikan apakah kita sudah tertawa atau belum. B**ch please. Filmnya lucu saat tak berjuang keras melucu. Saya lebih memilih adegan flashback saat Kincaid pertama kali jatuh hati pada Sonia yang sadis-tapi-romantis. Tak ada karakter yang tertawa di layar, tapi penonton di belakang saya sampai tersedak. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Hitman's Bodyguard

118 menit
Dewasa
Patrick Hughes
Tom O'Connor
David Ellison, Mark Gill, Dana Goldberg, Matthew O'Toole, John Thompson, Les Weldon
Jules O'Loughlin
Atli Örvarsson

Friday, August 11, 2017

Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)
link : Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)

Baca juga


Komedi

'The Emoji Movie' bukan film yang *poop emoji*, melainkan hanya film yang *meh emoji*.

“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion!”
— Gene
Emoji memang berfungsi untuk membumbui komunikasi teks agar lebih ekspresif, bisa menyampaikan emosi dengan lebih sigap dan simpel daripada mengetik teks panjang lebar. Namun setiap emoji hanya berlaku untuk satu ekspresi. Emoji "Cry" dipakai untuk ekspresi sedih. "Blush" untuk tersipu. "Angry" untuk marah. "Laughing" untuk tertawa. Dan "Meh" cocok digunakan ketika kita tak terkesan. Entah itu saat mendengar tren baru yang tak kita pahami darimana hebohnya (Fidget Spinner, misalnya), dikirimi lelucon khas grup WA keluarga, atau saat menonton film The Emoji Movie.

The Emoji Movie, yang sudah dirilis 2 minggu lebih awal di Amerika, mendapat prediket buruk sebagai salah satu film sampah yang pernah dibuat. Saya tak melebih-lebihkan, silakan baca review luar negeri. Telah menontonnya sendiri, saya pikir film ini tak seburuk itu. Tapi saya juga tak bilang ini film yang bagus. The Emoji Movie bukan film yang 💩, melainkan hanya film yang 😒. Filmnya cuma membosankan dan malas saja.


Saya tak bisa menyalahkan anak-anak yang sangat-sangat kecil yang kemungkinan besar akan menikmati film ini sebagai hiburan ringan. Filmnya berisi apa yang mereka suka: warna-warni mencolok dan animasi hiperaktif. Namun The Emoji Movie hanya bermain di permukaan. Filmnya tak menawarkan sesuatu yang benar-benar kreatif atau greget. Leluconnya sangat basic, pembangunan semestanya tak imajinatif, dan plotnya relatif predictable. Filmnya terlalu dangkal dan cenderung bodoh di era dimana film animasi sudah berada di level lebih tinggi. Jika anda pikir anda bisa menebak plotnya hanya dengan mendengar premisnya, maka kemungkinan besar tebakan anda benar.

Nah, coba yang ini. Di dalam sebuah aplikasi perpesanan dalam smartphone, ada kota Textopolis yang populasinya diisi oleh semua emoji. Tugas mereka masing-masing adalah mengekspresikan satu emosi, yang akan di-scan oleh aplikasi kemudian dikirim oleh pemilik smartphone. Tapi Gene (TJ Miller), sebuah emoji "Meh" punya banyak ekspresi, tak seperti emoji normal. Jadi apa yang akan dia lakukan? Tentu saja, melakukan perjalanan untuk mencari jati diri. Tak lengkap jika ia tak ditemani satu teman sebagai tukang ngelawak: Hi-5 (James Corden), dan satu teman lagi yang rasional tapi dalam hal ini sedikit rebel: Jailbreak (Anna Faris).

Sembari menonton, pikiran saya menerawang. Pemilik smartphone ini adalah remaja tanggung bernama Alex (Jake T. Austin) yang selalu ragu saat ingin mengirim emoji kepada gebetannya, Addie (Tati Gabrielle). Karena film hanya berlangsung di smartphone Alex, saya jadi penasaran bagaimana suasana Textopolis di smartphone orang lain. Saat emoji yang dikirim sampai ke smartphone penerima, apa yang terjadi disana? Mungkin tak terjadi apa-apa kali ya, karena di Textopolis Alex tak ada keanehan semacam itu. Entah karena memang mekanikanya begitu, atau justru Alex yang tak pernah mendapat kiriman emoji dari orang lain. Puk puk.

Gene membuat kekacauan saat terlalu grogi sampai menampilkan ekspresi gado-gado saat dikirim Alex. Ini memancing amarah diktator negeri emoji, Smiler (Maya Rudolph) sehingga ia mengutus bot antivirus untuk melenyapkan Gene. Premis film mengijinkan karakter kita berpindah-pindah dari satu area ke area lain. Jika Wreck-It Ralph menyuguhkan set-pieces variatif yang imajinatif, di The Emoji Movie saya curiga ini merupakan promosi komersial untuk beberapa aplikasi. Gene harus menjadi pemain —sebagai candy— di Candy Crush. Gene mengajarkan Jailbreak berdansa di game Just Dance. Di satu momen, mereka berlayar di Spotify (cause it's STREAMING, get it?). Dan tujuan mereka adalah cloud milik aplikasi Dropbox yang "bebas malware dan aman". Ada satu lagi karakter dari aplikasi berlogo burung yang menjadi penyelamat. Bukan, bukan Traveloka.

Film ini tak sedemikian beracun sampai memaksa saya mencuci mata sehabis menonton. Tapi cukup membuat saya menguap berkali-kali. Pembuat The Emoji Movie tak mengisi filmnya dengan humor berbobot, gaya visual, atau perspektif narasi segar yang membuat kita terikat. Kentara sekali film ini adalah produk rapat eksekutif yang oportunis. Sasarannya plot dan humor gampangan. Emoji "Poop" yang dimainkan oleh Yang Terhormat Patrick Stewart punya permainan kata tentang eek yang akan lebih mengena dalam bahasa Inggris. Lalu, apa yang dilakukan emoji "Monkey" yang berpakaian jas? "Monkey business", tentu saja. Hi-5 terutama, terjebak dalam running-gag mengenai memakan muntahan kembali. Dan ngomong-ngomong, film ini dibuka dengan film pendek dari Hotel Transylvania yang berjudul "Puppy!", tentang Drakula yang membelikan cucunya seekor anjing raksasa. Film ini selucu lelucon "monkey business".

Anak-anak mungkin juga takkan keberatan dengan pesan moral mengenai penerimaan diri dan kasih sayang orangtua (yap, Gene punya orangtua yang juga emoji Meh yang diisikan suaranya oleh Steven Wright dan Jennifer Coolidge) yang sudah sering mereka lihat di film yang lebih bagus. Tapi tolong nasihati mereka agar tak salah tanggap mengira bahwa mengirim emoji bisa dengan mudah membuat mereka di-notice seseorang. Oh satu lagi. Candy Crush is awesome, but not that awesome. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Emoji Movie

91 menit
Semua Umur - BO
Tony Leondis
Tony Leondis, Eric Siegel, Mike White
Michelle Raimo Kouyate
Patrick Doyle

'The Emoji Movie' bukan film yang *poop emoji*, melainkan hanya film yang *meh emoji*.

“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion!”
— Gene
Emoji memang berfungsi untuk membumbui komunikasi teks agar lebih ekspresif, bisa menyampaikan emosi dengan lebih sigap dan simpel daripada mengetik teks panjang lebar. Namun setiap emoji hanya berlaku untuk satu ekspresi. Emoji "Cry" dipakai untuk ekspresi sedih. "Blush" untuk tersipu. "Angry" untuk marah. "Laughing" untuk tertawa. Dan "Meh" cocok digunakan ketika kita tak terkesan. Entah itu saat mendengar tren baru yang tak kita pahami darimana hebohnya (Fidget Spinner, misalnya), dikirimi lelucon khas grup WA keluarga, atau saat menonton film The Emoji Movie.

The Emoji Movie, yang sudah dirilis 2 minggu lebih awal di Amerika, mendapat prediket buruk sebagai salah satu film sampah yang pernah dibuat. Saya tak melebih-lebihkan, silakan baca review luar negeri. Telah menontonnya sendiri, saya pikir film ini tak seburuk itu. Tapi saya juga tak bilang ini film yang bagus. The Emoji Movie bukan film yang 💩, melainkan hanya film yang 😒. Filmnya cuma membosankan dan malas saja.


Saya tak bisa menyalahkan anak-anak yang sangat-sangat kecil yang kemungkinan besar akan menikmati film ini sebagai hiburan ringan. Filmnya berisi apa yang mereka suka: warna-warni mencolok dan animasi hiperaktif. Namun The Emoji Movie hanya bermain di permukaan. Filmnya tak menawarkan sesuatu yang benar-benar kreatif atau greget. Leluconnya sangat basic, pembangunan semestanya tak imajinatif, dan plotnya relatif predictable. Filmnya terlalu dangkal dan cenderung bodoh di era dimana film animasi sudah berada di level lebih tinggi. Jika anda pikir anda bisa menebak plotnya hanya dengan mendengar premisnya, maka kemungkinan besar tebakan anda benar.

Nah, coba yang ini. Di dalam sebuah aplikasi perpesanan dalam smartphone, ada kota Textopolis yang populasinya diisi oleh semua emoji. Tugas mereka masing-masing adalah mengekspresikan satu emosi, yang akan di-scan oleh aplikasi kemudian dikirim oleh pemilik smartphone. Tapi Gene (TJ Miller), sebuah emoji "Meh" punya banyak ekspresi, tak seperti emoji normal. Jadi apa yang akan dia lakukan? Tentu saja, melakukan perjalanan untuk mencari jati diri. Tak lengkap jika ia tak ditemani satu teman sebagai tukang ngelawak: Hi-5 (James Corden), dan satu teman lagi yang rasional tapi dalam hal ini sedikit rebel: Jailbreak (Anna Faris).

Sembari menonton, pikiran saya menerawang. Pemilik smartphone ini adalah remaja tanggung bernama Alex (Jake T. Austin) yang selalu ragu saat ingin mengirim emoji kepada gebetannya, Addie (Tati Gabrielle). Karena film hanya berlangsung di smartphone Alex, saya jadi penasaran bagaimana suasana Textopolis di smartphone orang lain. Saat emoji yang dikirim sampai ke smartphone penerima, apa yang terjadi disana? Mungkin tak terjadi apa-apa kali ya, karena di Textopolis Alex tak ada keanehan semacam itu. Entah karena memang mekanikanya begitu, atau justru Alex yang tak pernah mendapat kiriman emoji dari orang lain. Puk puk.

Gene membuat kekacauan saat terlalu grogi sampai menampilkan ekspresi gado-gado saat dikirim Alex. Ini memancing amarah diktator negeri emoji, Smiler (Maya Rudolph) sehingga ia mengutus bot antivirus untuk melenyapkan Gene. Premis film mengijinkan karakter kita berpindah-pindah dari satu area ke area lain. Jika Wreck-It Ralph menyuguhkan set-pieces variatif yang imajinatif, di The Emoji Movie saya curiga ini merupakan promosi komersial untuk beberapa aplikasi. Gene harus menjadi pemain —sebagai candy— di Candy Crush. Gene mengajarkan Jailbreak berdansa di game Just Dance. Di satu momen, mereka berlayar di Spotify (cause it's STREAMING, get it?). Dan tujuan mereka adalah cloud milik aplikasi Dropbox yang "bebas malware dan aman". Ada satu lagi karakter dari aplikasi berlogo burung yang menjadi penyelamat. Bukan, bukan Traveloka.

Film ini tak sedemikian beracun sampai memaksa saya mencuci mata sehabis menonton. Tapi cukup membuat saya menguap berkali-kali. Pembuat The Emoji Movie tak mengisi filmnya dengan humor berbobot, gaya visual, atau perspektif narasi segar yang membuat kita terikat. Kentara sekali film ini adalah produk rapat eksekutif yang oportunis. Sasarannya plot dan humor gampangan. Emoji "Poop" yang dimainkan oleh Yang Terhormat Patrick Stewart punya permainan kata tentang eek yang akan lebih mengena dalam bahasa Inggris. Lalu, apa yang dilakukan emoji "Monkey" yang berpakaian jas? "Monkey business", tentu saja. Hi-5 terutama, terjebak dalam running-gag mengenai memakan muntahan kembali. Dan ngomong-ngomong, film ini dibuka dengan film pendek dari Hotel Transylvania yang berjudul "Puppy!", tentang Drakula yang membelikan cucunya seekor anjing raksasa. Film ini selucu lelucon "monkey business".

Anak-anak mungkin juga takkan keberatan dengan pesan moral mengenai penerimaan diri dan kasih sayang orangtua (yap, Gene punya orangtua yang juga emoji Meh yang diisikan suaranya oleh Steven Wright dan Jennifer Coolidge) yang sudah sering mereka lihat di film yang lebih bagus. Tapi tolong nasihati mereka agar tak salah tanggap mengira bahwa mengirim emoji bisa dengan mudah membuat mereka di-notice seseorang. Oh satu lagi. Candy Crush is awesome, but not that awesome. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Emoji Movie

91 menit
Semua Umur - BO
Tony Leondis
Tony Leondis, Eric Siegel, Mike White
Michelle Raimo Kouyate
Patrick Doyle

Saturday, September 5, 2015

Review Film: 'Ted 2' (2015)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Ted 2' (2015)
link : Review Film: 'Ted 2' (2015)

Baca juga


Komedi

Beruang bermulut jorok kembali lagi dalam 'Ted 2' dengan lelucon yang masih sama vulgarnya. Namun alurnya yang bertele-tele memberi impresi bahwa Seth MacFarlane tak dapat menemukan pacing yang tepat untuk sekuelnya ini.

“You ever seen any movie ever? He's the black guy”
— Ted
Pada tahun 2012, Seth MacFarlane membuat kejutan dengan Ted, film komedi vulgar yang secara sekilas terlihat dikamuflasekan sebagai film anak-anak. Menghadirkan karakter boneka beruang yang bertingkah sebagaimana pria dewasa, film ini juga menampilkan sisi lain dari Mark Wahlberg, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai pemain film aksi dibanding komedi. Mendapat respon yang cukup bagus dan sukses secara finansial, tiga tahun kemudian, boneka beruang bermulut kotor ini kembali lagi ke layar lebar.

Tentu saja, sekuelnya punya plot yang masih sama tak rasionalnya namun nuansa humornya terasa kurang menghibur. Ted 2 mencoba serius dan bermain-main di saat bersamaan dengan menggabungkan premis hak asasi dan lelucon sperma. Jika membaca hal ini saja sudah membuat anda ilfil, mungkin ini bukan tontonan anda.

Yang menjadi poin utama kenapa komedi Ted mengena adalah persona Ted sendiri yang tak terduga di balik tampilan luarnya yang imut. Sekarang, saat kepribadiannya telah dikenal dan dihadapkan dengan berbagai permasalahan hidup yang manusiawi, mungkin membuat penonton tak lagi tertarik karena tak ada lagi hal yang di luar ekspektasi.

Jika film pertama ditutup dengan momen bahagia antara John (Wahlberg) dengan Lori (Mila Kunis, yang tak lagi tampil di sekuel ini), maka Ted 2 dibuka dengan adegan pernikahan Ted (disuarakan oleh Seth MacFarlane) dengan pacarnya Tami-Lynn (Jessica Barth) yang dipimpin oleh pendeta Sam J. Jones — ingat dengan cameo Flash Gordon di film pertama? Di acara pernikahan tersebut, terungkap bahwa John sudah berpisah dengan Lori.

Satu tahun kemudian, rumah tangga Ted mulai berantakan dan satu-satunya yang mungkin menyelamatkan bahtera keluarga mereka adalah dengan keberadaan anak. Tak perlu saya sebutkan alasan kenapa Ted tak bisa bereproduksi, anda tentu tahu. Opsi inseminasi buatan juga tak bisa dilakukan karena rahim Tami-Lynn ternyata sudah rusak akibat konsumsi narkoba berlebihan. Pilihan terakhir adalah adopsi. Namun hal ini justru membuat situasi menjadi semakin pelik, karena otoritas negara bagian Massachussetts mempertanyakan keabsahan Ted sebagai "manusia".


Kasus Ted memperjuangkan legalitas eksistensinya ini sedikit menggeser plot ke arah drama pengadilan yang konyol. Sebagai bantuan, Ted menyewa seorang pengacara muda bernama Sam(antha) L. Jackson (Amanda Seyfried), yang juga menjadi love interest bagi John nantinya. Awalnya John dan Ted skeptis mengingat Sam yang belum pernah menangani kasus sebelumnya, tapi berkat kelihaian Sam memakai Bong (serius!), keduanya pun yakin dengan kapabilitasnya (?).

Sebagaimana film pertamanya, Ted 2 kembali menghadirkan gags jorok tentang seksisme, rasisme, homofobia, pornografi, ganja, dan berbagai macam lelucon vulgar lainnya. Bagi saya pribadi sih tidak masalah, namun bagi yang gampang tersinggung mungkin akan membuat urat kepala anda meregang. Beberapa diantaranya cukup lucu, namun sebagian lagi terkesan garing karena repetitif. Yang manapun, tak ada yang relevan dengan cerita sebenarnya.

MacFarlane yang menulis naskah bersama Alec Sulkin dan Wellesley Wild menjejalkan berbagai macam subplot ke dalam Ted 2 tapi tak ada satupun yang berarti, karena hampir semua poin plot yang disajikan hanya berfungsi sebagai pengantar punchline. Usaha Ted dan John di awal film untuk mencari sperma berkualitas berujung pada cameo bintang football, Tom J. Brady (dan, ehm, kelaminnya) serta John yang "basah kuyup" di bank sperma. Ada pula road-trip yang berujung pada penemuan ladang ganja. Bahkan adegan akhir, sengaja di-setting di area Comic-Con agar bisa mengolok-olok para maniak game atau memplesetkan beberapa budaya pop.

Film Ted memang tak dikenal karena punya plot yang logis. Namun alurnya yang lebih amburadul dibanding film pertama memberi impresi bahwa MacFarlane tampaknya tak dapat menemukan pacing yang tepat untuk sekuelnya ini. Giovanni Ribisi yang kembali tampil sebagai si obsesif Donny dan muncul di paruh akhir terkesan lebih tepat berada di film lain. Chemistry John dan Ted tak lagi sekuat film pertamanya. Ted 2 berkutat terlalu banyak pada kasus hak asasi Ted sehingga mengesampingkan peran Wahlberg sebagai John.

Dengan mengesampingkan beberapa lelucon hambar, melihat tingkah polah Ted — yang diperankan oleh MacFarlane sendiri melalui teknologi motion-capture — menjadi kelucuan tersendiri. Muncul juga beberapa cameo selebritis seperti Liam Neeson, Morgan Freeman, Jimmy Kimmel, Jay Leno, dan lain-lain, yang perannya tak perlu saya sebutkan karena akan mengurangi kadar kelucuan bagi anda yang berencana akan menonton. Adegan favorit saya adalah adegan opening yang menampilkan sekuens dansa ala Broadway yang dikoreografi oleh pemenang Tony awards, Rob Ashford. Bagi yang tak sanggup bertahan hingga menit ke-115, setidaknya sekuens ini akan memuaskan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem


'Ted 2' |
|

IMDb | Rottentomatoes
115 menit | Dewasa

Sutradara: Seth MacFarlane
Penulis: Seth MacFarlane, Alec Sulkin, Wellesley Wild
Pemain: Seth MacFarlane, Mark Wahlberg, Amanda Seyfried

Beruang bermulut jorok kembali lagi dalam 'Ted 2' dengan lelucon yang masih sama vulgarnya. Namun alurnya yang bertele-tele memberi impresi bahwa Seth MacFarlane tak dapat menemukan pacing yang tepat untuk sekuelnya ini.

“You ever seen any movie ever? He's the black guy”
— Ted
Pada tahun 2012, Seth MacFarlane membuat kejutan dengan Ted, film komedi vulgar yang secara sekilas terlihat dikamuflasekan sebagai film anak-anak. Menghadirkan karakter boneka beruang yang bertingkah sebagaimana pria dewasa, film ini juga menampilkan sisi lain dari Mark Wahlberg, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai pemain film aksi dibanding komedi. Mendapat respon yang cukup bagus dan sukses secara finansial, tiga tahun kemudian, boneka beruang bermulut kotor ini kembali lagi ke layar lebar.

Tentu saja, sekuelnya punya plot yang masih sama tak rasionalnya namun nuansa humornya terasa kurang menghibur. Ted 2 mencoba serius dan bermain-main di saat bersamaan dengan menggabungkan premis hak asasi dan lelucon sperma. Jika membaca hal ini saja sudah membuat anda ilfil, mungkin ini bukan tontonan anda.

Yang menjadi poin utama kenapa komedi Ted mengena adalah persona Ted sendiri yang tak terduga di balik tampilan luarnya yang imut. Sekarang, saat kepribadiannya telah dikenal dan dihadapkan dengan berbagai permasalahan hidup yang manusiawi, mungkin membuat penonton tak lagi tertarik karena tak ada lagi hal yang di luar ekspektasi.

Jika film pertama ditutup dengan momen bahagia antara John (Wahlberg) dengan Lori (Mila Kunis, yang tak lagi tampil di sekuel ini), maka Ted 2 dibuka dengan adegan pernikahan Ted (disuarakan oleh Seth MacFarlane) dengan pacarnya Tami-Lynn (Jessica Barth) yang dipimpin oleh pendeta Sam J. Jones — ingat dengan cameo Flash Gordon di film pertama? Di acara pernikahan tersebut, terungkap bahwa John sudah berpisah dengan Lori.

Satu tahun kemudian, rumah tangga Ted mulai berantakan dan satu-satunya yang mungkin menyelamatkan bahtera keluarga mereka adalah dengan keberadaan anak. Tak perlu saya sebutkan alasan kenapa Ted tak bisa bereproduksi, anda tentu tahu. Opsi inseminasi buatan juga tak bisa dilakukan karena rahim Tami-Lynn ternyata sudah rusak akibat konsumsi narkoba berlebihan. Pilihan terakhir adalah adopsi. Namun hal ini justru membuat situasi menjadi semakin pelik, karena otoritas negara bagian Massachussetts mempertanyakan keabsahan Ted sebagai "manusia".


Kasus Ted memperjuangkan legalitas eksistensinya ini sedikit menggeser plot ke arah drama pengadilan yang konyol. Sebagai bantuan, Ted menyewa seorang pengacara muda bernama Sam(antha) L. Jackson (Amanda Seyfried), yang juga menjadi love interest bagi John nantinya. Awalnya John dan Ted skeptis mengingat Sam yang belum pernah menangani kasus sebelumnya, tapi berkat kelihaian Sam memakai Bong (serius!), keduanya pun yakin dengan kapabilitasnya (?).

Sebagaimana film pertamanya, Ted 2 kembali menghadirkan gags jorok tentang seksisme, rasisme, homofobia, pornografi, ganja, dan berbagai macam lelucon vulgar lainnya. Bagi saya pribadi sih tidak masalah, namun bagi yang gampang tersinggung mungkin akan membuat urat kepala anda meregang. Beberapa diantaranya cukup lucu, namun sebagian lagi terkesan garing karena repetitif. Yang manapun, tak ada yang relevan dengan cerita sebenarnya.

MacFarlane yang menulis naskah bersama Alec Sulkin dan Wellesley Wild menjejalkan berbagai macam subplot ke dalam Ted 2 tapi tak ada satupun yang berarti, karena hampir semua poin plot yang disajikan hanya berfungsi sebagai pengantar punchline. Usaha Ted dan John di awal film untuk mencari sperma berkualitas berujung pada cameo bintang football, Tom J. Brady (dan, ehm, kelaminnya) serta John yang "basah kuyup" di bank sperma. Ada pula road-trip yang berujung pada penemuan ladang ganja. Bahkan adegan akhir, sengaja di-setting di area Comic-Con agar bisa mengolok-olok para maniak game atau memplesetkan beberapa budaya pop.

Film Ted memang tak dikenal karena punya plot yang logis. Namun alurnya yang lebih amburadul dibanding film pertama memberi impresi bahwa MacFarlane tampaknya tak dapat menemukan pacing yang tepat untuk sekuelnya ini. Giovanni Ribisi yang kembali tampil sebagai si obsesif Donny dan muncul di paruh akhir terkesan lebih tepat berada di film lain. Chemistry John dan Ted tak lagi sekuat film pertamanya. Ted 2 berkutat terlalu banyak pada kasus hak asasi Ted sehingga mengesampingkan peran Wahlberg sebagai John.

Dengan mengesampingkan beberapa lelucon hambar, melihat tingkah polah Ted — yang diperankan oleh MacFarlane sendiri melalui teknologi motion-capture — menjadi kelucuan tersendiri. Muncul juga beberapa cameo selebritis seperti Liam Neeson, Morgan Freeman, Jimmy Kimmel, Jay Leno, dan lain-lain, yang perannya tak perlu saya sebutkan karena akan mengurangi kadar kelucuan bagi anda yang berencana akan menonton. Adegan favorit saya adalah adegan opening yang menampilkan sekuens dansa ala Broadway yang dikoreografi oleh pemenang Tony awards, Rob Ashford. Bagi yang tak sanggup bertahan hingga menit ke-115, setidaknya sekuens ini akan memuaskan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem


'Ted 2' |
|

IMDb | Rottentomatoes
115 menit | Dewasa

Sutradara: Seth MacFarlane
Penulis: Seth MacFarlane, Alec Sulkin, Wellesley Wild
Pemain: Seth MacFarlane, Mark Wahlberg, Amanda Seyfried

Wednesday, August 26, 2015

Review Film: 'The Man from U.N.C.L.E.' (2015)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Man from U.N.C.L.E.' (2015)
link : Review Film: 'The Man from U.N.C.L.E.' (2015)

Baca juga


Komedi

Meskipun 'The Man from U.N.C.L.E.' bisa dibilang lebih inferior dibanding film-film Ritchie sebelumnya, namun berkat akting yang solid dan sentuhan humor dengan timing yang tepat, mampu mengangkat narasinya yang sedikit stereotip menjadi sajian yang punya nilai hiburan berkualitas.

“For a special agent, you're not having a very special day, are you?”
— Waverly
Guy Ritchie ikut ambil bagian dalam hiruk pikuk film spionase tahun ini dengan reboot/adaptasi serial TV era 60-an, The Man from U.N.C.L.E.. Meskipun film ini bisa dibilang lebih inferior dibanding film-film Ritchie sebelumnya, namun berkat akting yang solid dan sentuhan humor dengan timing yang tepat, mampu mengangkat narasinya yang sedikit stereotip menjadi sajian yang punya nilai hiburan berkualitas.

Setting yang diambil, tentu saja, adalah di era 60-an, tepatnya tahun 1963 saat Rusia dan Amerika berada dalam status perang dingin setelah menaklukkan Jerman, yang kini terbagi menjadi dua, Jerman Barat dan Jerman Timur. Agen CIA, Napoleon Solo (Henry Cavill), diperintahkan untuk menyelamatkan seorang gadis mekanik yang bekerja di sebuah bengkel di balik tembok Jerman Timur, Gaby Teller (Alicia Vikander). Penyelamatan ini dilakukan demi mendapatkan informasi mengenai ayah Gaby yang dipekerjakan sebagai teknisi nuklir oleh sisa-sisa prajurit Nazi.

Namun Gaby tak hanya diinginkan oleh Amerika saja. Pihak Rusia menugaskan agen KGB terbaik mereka, Ilya Kuryakin (Armie Hammer). Usaha perebutan Gaby oleh dua agen elit yang menjadi adegan pembuka yang lezat ini disuguhkan dalam adegan kejar-kejaran mobil berskala kecil tapi intens, yang tak hanya dikemas dengan sangat menarik dan menghibur — adegan ini adalah favorit saya — namun juga menjembatani penonton untuk mengenal karakter keduanya dan asal mula rivalitas mereka.


Dengan perkenalan pertama yang menyerempet sikon hidup-mati ini, tentu saja keduanya sangat kaget saat atasan masing-masing menugaskan mereka bekerja sama dalam misi mencari ayah Gaby. Saling unjuk skill, saling memata-matai, saling sindir menyindir menjadi poin utama dari dinamika interaksi keduanya, yang terkadang membuat saya iseng terpikir bahwa keduanya tampak sebagai pasangan yang serasi. Ups.

Yang menjadi femme fatale di film ini adalah Elizabeth Debicki sebagai Victoria, wanita cerdas, menawan, tapi juga mematikan. Saya tak ingin mengungkap plotnya lebih jauh, karena ada beberapa plot twist yang jika saya jelaskan maka akan mengurangi kenikmatan bagi yang belum menonton. Sebagaimana tipikal film spionase, dalam film ini ada pengkhianatan, kejar-kejaran mobil, kejar-kejaran kapal, ledakan, dan hal-hal berbau mata-mata lainnya.

Berkolaborasi dengan rekan penulis skripnya dalam Sherlock Holmes, Lionel Wingram, Ritchie menghadirkan alur cerita yang rumit dan bermaksud mendahului penonton. Bagusnya, mereka berhasil. Alurnya berkelok di dan ke arah yang tak kita duga yang bakalan membuat kita terikat hingga akhir film meski punya durasi yang cukup lama, hampir 2 jam.

Jelas, yang menjadi fokus Ritchie disini adalah komedinya. Celotehan-celotehan ringan maupun komedi situasi bertebaran dimana-mana, namun mengalir begitu saja dengan natural tanpa kesan dipaksakan. Bahkan adegan klimaks saat pengejaran Victoria yang kabur dengan kapal, terasa "ringan", padahal melibatkan ini melibatkan bom nuklir.

Walaupun demikian, Ritchie tetap tak meninggalkan adegan aksi yang menjadi salah satu syarat film khas mata-mata. Dengan set yang bagus dan mendetail, Ritchie menawarkan sekuens aksi yang asyik. Salah satu adegan yang menarik adalah kejar-kejaran yang melibatkan jip, ATV, serta sepeda motor di hutan dan sungai. Dan ini diambil dengan direksi ikonik dari Ritchie: sorotan gesit dengan cut frame cepat, yang terkadang ditambah dengan gaya split-screen.

Dengan hanya sedikit backstory, memang tak ada perkembangan karakter yang berarti. Napoleon adalah mantan pencuri ulung yang dipekerjakan CIA, Ilya agen kaku yang punya masalah keluarga sebagaimana halnya Gaby. Namun yang membuat film ini bekerja di balik karakterisasinya yang one-note adalah dinamisnya interaksi antar-karakter. Punya skill yang hampir selevel dengan karakter yang berbeda, Napoleon dan Ilya punya hubungan yang komikal tipikal buddy-movie, dengan Gaby yang menjadi penengah diantara keduanya.

Henry Cavill menunjukkan pesona yang entah kenapa selama ini disembunyikannya. Penampilannya sebagai Napoleon menjadi bahan bakar utama film ini dengan karisma, gaya, dan cara bertuturnya yang parlente tanpa kehilangan selera humor yang mengingatkan kita pada James Bond era Sean Connery. Mengejutkan bagaimana Cavill mengeluarkan kapabilitas akting yang tak monoton, yang berbanding terbalik dalam Man of Steel.

Selain Debicki, penampilan pemain lainnya tak begitu mencolok. Namun kemunculan Hugh Grant sebagai karakter sampingan yang muncul mendekati akhir film cukup signifikan, yang menjadi penanda keterlibatan agen negara lain dalam perebutan teknologi pembunuh massal ini.

Meski tetap ada sedikit cita rasa kontemporer di dalamnya, nuansa retro sangat terasa berkat tata produksinya yang menampilkan fashion, aksesoris, mobil, dan bangunan yang menangkap dengan baik era 60-an. Hal ini juga didukung dengan soundtrack jazz jadul dan scoring dari Daniel Pemberton.

Saya tak pernah menonton serial orisinalnya, jadi tak bisa memastikan apakah film ini setia terhadap materi aslinya atau dirombak besar-besaran. Yang jelas, The Man from U.N.C.LE. adalah film spionase old-school dengan sentuhan modern yang digarap dengan serius, meski memang tak seambisius dan seberani film Ritchie lainnya sejak era Snatch.. Film yang menghibur dan stylish, dan tentunya saya tak berkeberatan menantikan sekuel yang sempat diisyaratkan sebelum credit title. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Man from U.N.C.L.E.' |
|

IMDb | Rottentomatoes
116 menit | Remaja

Sutradara: Guy Ritchie
Penulis: Guy Ritchie, Lionel Wigram
Pemain: Henry Cavill, Armie Hammer, Alicia Vikander

Meskipun 'The Man from U.N.C.L.E.' bisa dibilang lebih inferior dibanding film-film Ritchie sebelumnya, namun berkat akting yang solid dan sentuhan humor dengan timing yang tepat, mampu mengangkat narasinya yang sedikit stereotip menjadi sajian yang punya nilai hiburan berkualitas.

“For a special agent, you're not having a very special day, are you?”
— Waverly
Guy Ritchie ikut ambil bagian dalam hiruk pikuk film spionase tahun ini dengan reboot/adaptasi serial TV era 60-an, The Man from U.N.C.L.E.. Meskipun film ini bisa dibilang lebih inferior dibanding film-film Ritchie sebelumnya, namun berkat akting yang solid dan sentuhan humor dengan timing yang tepat, mampu mengangkat narasinya yang sedikit stereotip menjadi sajian yang punya nilai hiburan berkualitas.

Setting yang diambil, tentu saja, adalah di era 60-an, tepatnya tahun 1963 saat Rusia dan Amerika berada dalam status perang dingin setelah menaklukkan Jerman, yang kini terbagi menjadi dua, Jerman Barat dan Jerman Timur. Agen CIA, Napoleon Solo (Henry Cavill), diperintahkan untuk menyelamatkan seorang gadis mekanik yang bekerja di sebuah bengkel di balik tembok Jerman Timur, Gaby Teller (Alicia Vikander). Penyelamatan ini dilakukan demi mendapatkan informasi mengenai ayah Gaby yang dipekerjakan sebagai teknisi nuklir oleh sisa-sisa prajurit Nazi.

Namun Gaby tak hanya diinginkan oleh Amerika saja. Pihak Rusia menugaskan agen KGB terbaik mereka, Ilya Kuryakin (Armie Hammer). Usaha perebutan Gaby oleh dua agen elit yang menjadi adegan pembuka yang lezat ini disuguhkan dalam adegan kejar-kejaran mobil berskala kecil tapi intens, yang tak hanya dikemas dengan sangat menarik dan menghibur — adegan ini adalah favorit saya — namun juga menjembatani penonton untuk mengenal karakter keduanya dan asal mula rivalitas mereka.


Dengan perkenalan pertama yang menyerempet sikon hidup-mati ini, tentu saja keduanya sangat kaget saat atasan masing-masing menugaskan mereka bekerja sama dalam misi mencari ayah Gaby. Saling unjuk skill, saling memata-matai, saling sindir menyindir menjadi poin utama dari dinamika interaksi keduanya, yang terkadang membuat saya iseng terpikir bahwa keduanya tampak sebagai pasangan yang serasi. Ups.

Yang menjadi femme fatale di film ini adalah Elizabeth Debicki sebagai Victoria, wanita cerdas, menawan, tapi juga mematikan. Saya tak ingin mengungkap plotnya lebih jauh, karena ada beberapa plot twist yang jika saya jelaskan maka akan mengurangi kenikmatan bagi yang belum menonton. Sebagaimana tipikal film spionase, dalam film ini ada pengkhianatan, kejar-kejaran mobil, kejar-kejaran kapal, ledakan, dan hal-hal berbau mata-mata lainnya.

Berkolaborasi dengan rekan penulis skripnya dalam Sherlock Holmes, Lionel Wingram, Ritchie menghadirkan alur cerita yang rumit dan bermaksud mendahului penonton. Bagusnya, mereka berhasil. Alurnya berkelok di dan ke arah yang tak kita duga yang bakalan membuat kita terikat hingga akhir film meski punya durasi yang cukup lama, hampir 2 jam.

Jelas, yang menjadi fokus Ritchie disini adalah komedinya. Celotehan-celotehan ringan maupun komedi situasi bertebaran dimana-mana, namun mengalir begitu saja dengan natural tanpa kesan dipaksakan. Bahkan adegan klimaks saat pengejaran Victoria yang kabur dengan kapal, terasa "ringan", padahal melibatkan ini melibatkan bom nuklir.

Walaupun demikian, Ritchie tetap tak meninggalkan adegan aksi yang menjadi salah satu syarat film khas mata-mata. Dengan set yang bagus dan mendetail, Ritchie menawarkan sekuens aksi yang asyik. Salah satu adegan yang menarik adalah kejar-kejaran yang melibatkan jip, ATV, serta sepeda motor di hutan dan sungai. Dan ini diambil dengan direksi ikonik dari Ritchie: sorotan gesit dengan cut frame cepat, yang terkadang ditambah dengan gaya split-screen.

Dengan hanya sedikit backstory, memang tak ada perkembangan karakter yang berarti. Napoleon adalah mantan pencuri ulung yang dipekerjakan CIA, Ilya agen kaku yang punya masalah keluarga sebagaimana halnya Gaby. Namun yang membuat film ini bekerja di balik karakterisasinya yang one-note adalah dinamisnya interaksi antar-karakter. Punya skill yang hampir selevel dengan karakter yang berbeda, Napoleon dan Ilya punya hubungan yang komikal tipikal buddy-movie, dengan Gaby yang menjadi penengah diantara keduanya.

Henry Cavill menunjukkan pesona yang entah kenapa selama ini disembunyikannya. Penampilannya sebagai Napoleon menjadi bahan bakar utama film ini dengan karisma, gaya, dan cara bertuturnya yang parlente tanpa kehilangan selera humor yang mengingatkan kita pada James Bond era Sean Connery. Mengejutkan bagaimana Cavill mengeluarkan kapabilitas akting yang tak monoton, yang berbanding terbalik dalam Man of Steel.

Selain Debicki, penampilan pemain lainnya tak begitu mencolok. Namun kemunculan Hugh Grant sebagai karakter sampingan yang muncul mendekati akhir film cukup signifikan, yang menjadi penanda keterlibatan agen negara lain dalam perebutan teknologi pembunuh massal ini.

Meski tetap ada sedikit cita rasa kontemporer di dalamnya, nuansa retro sangat terasa berkat tata produksinya yang menampilkan fashion, aksesoris, mobil, dan bangunan yang menangkap dengan baik era 60-an. Hal ini juga didukung dengan soundtrack jazz jadul dan scoring dari Daniel Pemberton.

Saya tak pernah menonton serial orisinalnya, jadi tak bisa memastikan apakah film ini setia terhadap materi aslinya atau dirombak besar-besaran. Yang jelas, The Man from U.N.C.LE. adalah film spionase old-school dengan sentuhan modern yang digarap dengan serius, meski memang tak seambisius dan seberani film Ritchie lainnya sejak era Snatch.. Film yang menghibur dan stylish, dan tentunya saya tak berkeberatan menantikan sekuel yang sempat diisyaratkan sebelum credit title. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Man from U.N.C.L.E.' |
|

IMDb | Rottentomatoes
116 menit | Remaja

Sutradara: Guy Ritchie
Penulis: Guy Ritchie, Lionel Wigram
Pemain: Henry Cavill, Armie Hammer, Alicia Vikander

Review Film: 'How to Make Love Like an Englishman' (2015)

Komedi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Komedi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Komedi, Artikel Review, Artikel Romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'How to Make Love Like an Englishman' (2015)
link : Review Film: 'How to Make Love Like an Englishman' (2015)

Baca juga


Komedi

Menonton 'How to Make Love Like an Englishman' akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

“It's about you, learning to find your own meaning.”
— Richard Haig
Film ini mempunyai 3 judul berbeda dalam bahasa Inggris — judul aslinya How to Make Love Like an Englishman, dirilis di Amerika dengan judul Some Kind of Beautiful namun diganti menjadi Lessons of Love di Inggris — yang menandakan bahwa bagian marketingnya sendiri tak yakin bagaimana cara pemasaran yang tepat bagi film yang tak bermutu ini.

Menonton How to Make Love Like an Englishman akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Pengambilan gambar, akting, dan elemen musiknya sangat mirip dengan apa yang anda lihat di saluran TV swasta Indonesia. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

Pasca Bond, Pierce Brosnan tampaknya tak bisa lepas dari image pria tampan perayu wanita (yaa, memang tampan sih). Begitupun dalam film ini, dia juga menjadi penggoda ulung, yang saking ulungnya bisa merayu siapa saja termasuk mahasiswinya — BTW, Brosnan bermain sebagai Richard Haig, dosen sastra romantis di universitas Cambridge.

Cerita dibuka dengan adegan yang cukup membuat anda penasaran, dimana Richard tengah bercakap-cakap dengan anaknya, sementara tangannya diborgol. Bagaimana ini bisa terjadi? Melihat perilaku Richard yang akrab dengan minuman keras dan tidur dengan (hampir) semua wanita, hal ini tentunya tak mengejutkan. Namun masalah utamanya ternyata bukan ini, melainkan gara-gara visa. Bagaimana ceritanya?


Seperti yang saya ceritakan tadi, sang casanova kita pernah tidur dengan mahasiswinya. Mahasiswi yang berasal dari Amerika ini bernama Kate (Jessica Alba). Hubungan mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius saat Kate hamil, meski Richard sendiri kaget dan tak memprediksi hal ini. Singkat cerita, Kate harus pulang ke Amerika dan Richard setuju untuk ikut dengannya, meninggalkan karir cemerlangnya di Cambridge demi membesarkan anak di rahim Kate.

Selain rumah yang super mewah untuk ukuran dosen, kehidupan Richard bisa dibilang tak bagus di Amerika. Para mahasiswa Amerika tak peduli dengan mata kuliahnya, latar belakang pendidikannya tak dihargai, dan lebih buruk lagi, istrinya selingkuh dengan pria yang lebih muda, Brian (Ben McKenzie). Padahal anak mereka sudah menginjak usia kanak-kanak. Plotnya mulai terprediksi saat kemunculan kakak Kate, Olivia (Salma Hayek) yang juga punya hubungan tak harmonis dengan suaminya.

Sedikit drama ditambahkan dengan kedatangan ayah Richard, Gordon (Malcolm McDowell) yang punya prilaku sebelas dua belas dengan Richard. Sementara itu, dengan karir yang tak begitu bagus dan visa yang hampir habis, Richard juga harus menghadapi kemungkinan dideportasi ke Inggris.

Ironis bagaimana sutradara Tom Vaughan berhasil mengumpulkan nama-nama tenar untuk film konyol ini, yang membuat kita menjadi semakin prihatin. Naskah dari Matthew Newman ingin menyasar komedi romantis dengan sentuhan cerita family-bonding tapi pada akhirnya menjadi film amburadul yang menafikan genrenya, sengaja atau tidak.

Cerita utamanya adalah bagaimana Richard memperbaiki kehidupannya dan mencari cinta sejati. Namun sulit bagi penonton untuk merasa simpatik dengan semua tingkah tak terpuji Richard: mengumpat, mabuk, selingkuh.

Komedi yang ditawarkan sebagian besar adalah sarkasme atau komedi situasi saat para karakternya terjebak dalam kondisi yang canggung. Misalnya saja saat Olivia yang berlari telanjang ke luar rumah untuk menghindari kecurigaan Kate setelah dia tidur dengan Richard. Atau saat Olivia menirukan suara orgasme teraneh dari beberapa pria yang pernah dikencaninya yang kemudian didengar oleh dua orang guru. Anda bisa memperkirakan lelucon murahan seperti apa sisanya.

Salma Hayek bermain sebagai wanita mandiri, yang tampaknya cerdas — dia menjadi penulis di akhir film — namun dungu dalam memilih pria. Olivia juga punya selera dramatis aneh, yang membuatnya tersentuh saat melihat Richard bersama anak dan ayahnya kencing berbaris di pinggir pantai dengan gembira. Serius.

Kekacauan ini ditambah dengan scoring piano atau akordion dari Stephen Endelman yang bernada riang yang sepertinya diputar tanpa henti sepanjang film, seolah-olah mengatakan bahwa semua yang sedang terjadi disini adalah peristiwa yang menyenangkan.

Hal yang paling menyesatkan adalah film ini memberi kesan bahwa selingkuh itu manis. Jika judul film ini adalah pertanyaan, maka jawabannya adalah: you just do it, even if she is somebody's wife... or your wife's sister... or both. Iiihhh. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'How to Make Love Like an Englishman' |
|


IMDb | Rottentomatoes
99 menit | Dewasa

Sutradara: Tom Vaughan
Penulis: Matthew Newman
Pemain: Pierce Brosnan, Salma Hayek, Jessica Alba

Menonton 'How to Make Love Like an Englishman' akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

“It's about you, learning to find your own meaning.”
— Richard Haig
Film ini mempunyai 3 judul berbeda dalam bahasa Inggris — judul aslinya How to Make Love Like an Englishman, dirilis di Amerika dengan judul Some Kind of Beautiful namun diganti menjadi Lessons of Love di Inggris — yang menandakan bahwa bagian marketingnya sendiri tak yakin bagaimana cara pemasaran yang tepat bagi film yang tak bermutu ini.

Menonton How to Make Love Like an Englishman akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Pengambilan gambar, akting, dan elemen musiknya sangat mirip dengan apa yang anda lihat di saluran TV swasta Indonesia. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

Pasca Bond, Pierce Brosnan tampaknya tak bisa lepas dari image pria tampan perayu wanita (yaa, memang tampan sih). Begitupun dalam film ini, dia juga menjadi penggoda ulung, yang saking ulungnya bisa merayu siapa saja termasuk mahasiswinya — BTW, Brosnan bermain sebagai Richard Haig, dosen sastra romantis di universitas Cambridge.

Cerita dibuka dengan adegan yang cukup membuat anda penasaran, dimana Richard tengah bercakap-cakap dengan anaknya, sementara tangannya diborgol. Bagaimana ini bisa terjadi? Melihat perilaku Richard yang akrab dengan minuman keras dan tidur dengan (hampir) semua wanita, hal ini tentunya tak mengejutkan. Namun masalah utamanya ternyata bukan ini, melainkan gara-gara visa. Bagaimana ceritanya?


Seperti yang saya ceritakan tadi, sang casanova kita pernah tidur dengan mahasiswinya. Mahasiswi yang berasal dari Amerika ini bernama Kate (Jessica Alba). Hubungan mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius saat Kate hamil, meski Richard sendiri kaget dan tak memprediksi hal ini. Singkat cerita, Kate harus pulang ke Amerika dan Richard setuju untuk ikut dengannya, meninggalkan karir cemerlangnya di Cambridge demi membesarkan anak di rahim Kate.

Selain rumah yang super mewah untuk ukuran dosen, kehidupan Richard bisa dibilang tak bagus di Amerika. Para mahasiswa Amerika tak peduli dengan mata kuliahnya, latar belakang pendidikannya tak dihargai, dan lebih buruk lagi, istrinya selingkuh dengan pria yang lebih muda, Brian (Ben McKenzie). Padahal anak mereka sudah menginjak usia kanak-kanak. Plotnya mulai terprediksi saat kemunculan kakak Kate, Olivia (Salma Hayek) yang juga punya hubungan tak harmonis dengan suaminya.

Sedikit drama ditambahkan dengan kedatangan ayah Richard, Gordon (Malcolm McDowell) yang punya prilaku sebelas dua belas dengan Richard. Sementara itu, dengan karir yang tak begitu bagus dan visa yang hampir habis, Richard juga harus menghadapi kemungkinan dideportasi ke Inggris.

Ironis bagaimana sutradara Tom Vaughan berhasil mengumpulkan nama-nama tenar untuk film konyol ini, yang membuat kita menjadi semakin prihatin. Naskah dari Matthew Newman ingin menyasar komedi romantis dengan sentuhan cerita family-bonding tapi pada akhirnya menjadi film amburadul yang menafikan genrenya, sengaja atau tidak.

Cerita utamanya adalah bagaimana Richard memperbaiki kehidupannya dan mencari cinta sejati. Namun sulit bagi penonton untuk merasa simpatik dengan semua tingkah tak terpuji Richard: mengumpat, mabuk, selingkuh.

Komedi yang ditawarkan sebagian besar adalah sarkasme atau komedi situasi saat para karakternya terjebak dalam kondisi yang canggung. Misalnya saja saat Olivia yang berlari telanjang ke luar rumah untuk menghindari kecurigaan Kate setelah dia tidur dengan Richard. Atau saat Olivia menirukan suara orgasme teraneh dari beberapa pria yang pernah dikencaninya yang kemudian didengar oleh dua orang guru. Anda bisa memperkirakan lelucon murahan seperti apa sisanya.

Salma Hayek bermain sebagai wanita mandiri, yang tampaknya cerdas — dia menjadi penulis di akhir film — namun dungu dalam memilih pria. Olivia juga punya selera dramatis aneh, yang membuatnya tersentuh saat melihat Richard bersama anak dan ayahnya kencing berbaris di pinggir pantai dengan gembira. Serius.

Kekacauan ini ditambah dengan scoring piano atau akordion dari Stephen Endelman yang bernada riang yang sepertinya diputar tanpa henti sepanjang film, seolah-olah mengatakan bahwa semua yang sedang terjadi disini adalah peristiwa yang menyenangkan.

Hal yang paling menyesatkan adalah film ini memberi kesan bahwa selingkuh itu manis. Jika judul film ini adalah pertanyaan, maka jawabannya adalah: you just do it, even if she is somebody's wife... or your wife's sister... or both. Iiihhh. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'How to Make Love Like an Englishman' |
|


IMDb | Rottentomatoes
99 menit | Dewasa

Sutradara: Tom Vaughan
Penulis: Matthew Newman
Pemain: Pierce Brosnan, Salma Hayek, Jessica Alba