Showing posts with label Romance. Show all posts
Showing posts with label Romance. Show all posts

Saturday, September 23, 2017

Review Film: 'A Ghost Story' (2017)

Romance - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Romance, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Fantasi, Artikel Review, Artikel Romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'A Ghost Story' (2017)
link : Review Film: 'A Ghost Story' (2017)

Baca juga


Romance

Secara luas, 'A Ghost Story' mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

“I'm waiting for someone."
— Ghost 2
Rating UP:
Kalau hantu bisa membuat film, saya membayangkan filmnya akan seperti ini. A Ghost Story adalah jawaban mereka atas film horor haunted-house konvensional. Bagaimana jika penampakan atau barang-barang yang bergerak sendiri di rumah angker disebabkan lebih dari sekadar mereka yang ingin mengusik kita? Bagaimana jika ini bukan sekadar tindakan jahil? Bagaimana jika ternyata mereka punya motif yang tak hanya rasional tapi juga melankolis? Kita tak bisa bilang bahwa hantu tak punya perasaan. Siapa yang tahu.


Saya jadi melantur. Namun A Ghost Story memang mengangkat kisah supranatural dari sudut pandang yang jarang kita temui. Film ini mengambil perspektif dari hantu. Hantu yang sendu. Hantu yang tak bisa move-on, lantas menghantui rumah tempat ia dan istrinya tinggal semasa hidup dulu. Ia diam sepanjang film. Memang sesekali menganggu, tapi ia hanyalah pengamat pasif yang mencoba menemukan sesuatu. Apa itu? Ia juga tak yakin pada awalnya. Oleh karenanya, film ini sama sekali bukan film horor, alih-alih film drama yang mendayu-dayu tapi juga sangat dalam. Secara luas, A Ghost Story mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

Sejauh yang saya tahu, ini juga merupakan film serius pertama yang menampilkan hantu dalam wujud yang menggelikan. Benar sekali. Anda akan menyaksikan aktor terbaik Oscar tahun lalu, Casey Affleck menghabiskan sebagian besar durasi film dalam kostum hantu yang terbuat dari seprei yang tengahnya dilobangi untuk bagian mata (meski saya tak bisa memastikannya, karena siapapun bisa memakai kostum seprei dan kita takkan menyadari perbedaannya) DAN nomine dua kali aktris terbaik Oscar, Rooney Mara memakan pie selama 5 menit, in real time, dalam sebuah film yang menjadi kandidat kuat sebagai film terbaik tahun ini. Versi saya.

Kostum hantunya memang konyol, tapi ini esensial, saya pikir. Dengan mengurung Affleck (atau siapapun) di balik seprei, kita "dipaksa" memahami apa yang ia rasakan, tak terikat dengan ekspresi aktornya. Hal ini sangat sesuai dengan penceritaannya yang subtle; apa yang dirasakan sang seprei adalah apa yang kita pikir ia rasakan. Sang seprei seolah menjadi avatar dari perasaan kita. Pengalaman sang seprei menjadi pengalaman personal.

Pembuatnya adalah David Lowery, sutradara yang lebih akrab dengan film indie tapi tahun lalu sukses mencoba peruntungannya di blockbuster lewat Pete's Dragon. Seperti filmnya yang lalu, Ain't Them Bodies Saint, Lowery seperti mengacu pada gaya naratif Terence Malick. A Ghost Story pas sebagai padanan Tree of Life-nya Malick, karena ia bermaksud menangkap skema besar kehidupan melalui sekeping kisah kehidupan kecil di dalamnya, atau dalam hal ini: kematian. Ketika anda sudah beradaptasi dengan alurnya yang sangat pelan, anda akan merasakan tohokan emosional dan spiritualnya. Saya pikir takkan sulit, karena film ini adalah tentang cinta dan kehilangan; semua orang pernah kehilangan seseorang/sesuatu yang sangat mereka cintai bukan?

Affleck dan Mara bermain sebagai C dan M, pasangan yang tinggal di sebuah rumah usang di pinggiran kota yang sepi. Di malam hari, mereka mendengar suara-suara aneh. M ingin pindah rumah, sementara C suka dengan rumah yang sekarang. Mereka boleh jadi dalam konflik, tapi saat tidur masih berpelukan dengan mesra. Sebelum mengenal mereka lebih dekat lagi, di suatu pagi C tewas di belakang setirnya, tak jauh dari rumah.

Setelah diidentifikasi di rumah sakit oleh M, kita melihat C terbujur kaku. Kamera menyorotnya dengan statis dalam waktu yang lumayan lama. Namun tepat sebelum anda akan melempar layar karena kesal, seprei ini bangkit. Tanpa disadari oleh orang-orang, ia berjalan dan berjalan pulang ke rumahnya. Ia melihat M yang sedang berduka berat sampai memakan pie dalam satu lagi sorotan statis yang tak terputus (selama 5 menit, saya ingatkan lagi). Sang seprei mencoba menyentuhnya, tapi M tak merasakannya.

Tentu saja, akhirnya M move-on, lalu pindah rumah. Namun sang seprei tetap tinggal, sementara penghuni datang silih berganti, mulai dari keluarga Latino dengan dua orang anak sampai remaja tua yang gila pesta. Ia jadi arwah penasaran, mencari sesuatu yang terselip di balik dinding rumah. Waktu berjalan dengan cepat, tapi sang seprei masih terjebak disana, bahkan hingga rumahnya dihancurkan dan berganti menjadi apartemen mewah.

Film ini bermain dengan persepsi kita terhadap waktu. C sudah tewas; sang seprei bukan lagi manusia melainkan hantu. Hantu tidak terikat dengan peraturan waktu. Lowery menggambarkan bahwa persepsi mereka akan waktu berbeda dengan kita. Ia menggunakan cut mendadak, tak menjelaskan dengan gamblang seberapa lama waktu berlalu alih-alih menyerahkan pada kita untuk mencernanya sendiri. Bagi sang seprei, beberapa momen pendek terasa berlangsung lama, sementara beberapa momen panjang terasa berlangsung sebentar. Ia melihat setiap detik M memakan pie (selama 5 menit; kenapa saya terus-terusan membahas ini?), sementara di satu titik nanti ketika ia menyaksikan sejarah rumahnya, semua terjadi dalam hitungan detik. Menurut saya, sang seprei hanya melihat apa yang penting baginya.

Ada sebuah monolog menarik dari seorang remaja-tua-gila-pesta yang sedang mabuk (Will Oldham) kepada teman-temannya yang juga didengar oleh sang seprei. Awalnya mengapresiasi seni, si remaja tua malah melantur soal tempat manusia dalam perjalanan waktu. Saat manusia mati, ia meninggalkan karya, tapi kehidupan terus berjalan. Cinta kita, kehilangan kita, hidup kita tak ada apa-apanya di depan waktu. Meski demikian, semua itu juga merupakan momen berharga. Anda mungkin berpikir apa-apaan omong kosong filosofis ini, tapi A Ghost Story tak terasa pretensius karena tak menyuapi kita dengan filosofi. Film ini hanya menyuruh kita untuk merasa. Di satu adegan, sang seprei melihat hantu tetangga (yang juga dalam wujud seprei) mengakhiri perjalanannya saat sadar akan hakikatnya.

Luar biasa bagaimana film yang sesederhana ini bisa punya dampak emosional sebesar itu. Penggarapannya minimalis dengan akting yang simpel pula, tapi tak ada satupun rasanya scene yang disia-siakan. Kabarnya Lowery hanya melakukan proses syuting selama 19 hari saja. Ia menggunakan rasio yang nyaris persegi, 1,33:1 lalu menambahkan sisi bundar alih-alih tajam, memberi kesan bahwa kita adalah pengamat. Ini membuatnya semakin intim. Filmnya minim dialog dan nyaris tanpa konflik yang gamblang, tapi dengan brilian mengeksplorasi temanya. Eksposisi di awal saat M bercengkrama dengan C tentang masa kecilnya, ternyata punya peranan besar untuk menjawab ending yang tak berani saya ungkap disini, yang baru saya temukan saat menonton kedua kali.

A Ghost Story adalah film ganjil yang sepertinya ingin menguji kesabaran anda, tapi jangan biarkan fakta tersebut menghalangi anda menontonnya. Ini juga menyatakan bahwa filmnya sangat orisinal. Lowery baru saja mempresentasikan sesuatu yang besar yang bisa dirangkum oleh sebuah film dari sesuatu yang sedikit. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

A Ghost Story

92 menit
Remaja - BO
David Lowery
David Lowery
Toby Halbrooks, James M. Johnston, Adam Donaghey
Andrew Droz Palermo
Daniel Hart

Secara luas, 'A Ghost Story' mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

“I'm waiting for someone."
— Ghost 2
Rating UP:
Kalau hantu bisa membuat film, saya membayangkan filmnya akan seperti ini. A Ghost Story adalah jawaban mereka atas film horor haunted-house konvensional. Bagaimana jika penampakan atau barang-barang yang bergerak sendiri di rumah angker disebabkan lebih dari sekadar mereka yang ingin mengusik kita? Bagaimana jika ini bukan sekadar tindakan jahil? Bagaimana jika ternyata mereka punya motif yang tak hanya rasional tapi juga melankolis? Kita tak bisa bilang bahwa hantu tak punya perasaan. Siapa yang tahu.


Saya jadi melantur. Namun A Ghost Story memang mengangkat kisah supranatural dari sudut pandang yang jarang kita temui. Film ini mengambil perspektif dari hantu. Hantu yang sendu. Hantu yang tak bisa move-on, lantas menghantui rumah tempat ia dan istrinya tinggal semasa hidup dulu. Ia diam sepanjang film. Memang sesekali menganggu, tapi ia hanyalah pengamat pasif yang mencoba menemukan sesuatu. Apa itu? Ia juga tak yakin pada awalnya. Oleh karenanya, film ini sama sekali bukan film horor, alih-alih film drama yang mendayu-dayu tapi juga sangat dalam. Secara luas, A Ghost Story mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

Sejauh yang saya tahu, ini juga merupakan film serius pertama yang menampilkan hantu dalam wujud yang menggelikan. Benar sekali. Anda akan menyaksikan aktor terbaik Oscar tahun lalu, Casey Affleck menghabiskan sebagian besar durasi film dalam kostum hantu yang terbuat dari seprei yang tengahnya dilobangi untuk bagian mata (meski saya tak bisa memastikannya, karena siapapun bisa memakai kostum seprei dan kita takkan menyadari perbedaannya) DAN nomine dua kali aktris terbaik Oscar, Rooney Mara memakan pie selama 5 menit, in real time, dalam sebuah film yang menjadi kandidat kuat sebagai film terbaik tahun ini. Versi saya.

Kostum hantunya memang konyol, tapi ini esensial, saya pikir. Dengan mengurung Affleck (atau siapapun) di balik seprei, kita "dipaksa" memahami apa yang ia rasakan, tak terikat dengan ekspresi aktornya. Hal ini sangat sesuai dengan penceritaannya yang subtle; apa yang dirasakan sang seprei adalah apa yang kita pikir ia rasakan. Sang seprei seolah menjadi avatar dari perasaan kita. Pengalaman sang seprei menjadi pengalaman personal.

Pembuatnya adalah David Lowery, sutradara yang lebih akrab dengan film indie tapi tahun lalu sukses mencoba peruntungannya di blockbuster lewat Pete's Dragon. Seperti filmnya yang lalu, Ain't Them Bodies Saint, Lowery seperti mengacu pada gaya naratif Terence Malick. A Ghost Story pas sebagai padanan Tree of Life-nya Malick, karena ia bermaksud menangkap skema besar kehidupan melalui sekeping kisah kehidupan kecil di dalamnya, atau dalam hal ini: kematian. Ketika anda sudah beradaptasi dengan alurnya yang sangat pelan, anda akan merasakan tohokan emosional dan spiritualnya. Saya pikir takkan sulit, karena film ini adalah tentang cinta dan kehilangan; semua orang pernah kehilangan seseorang/sesuatu yang sangat mereka cintai bukan?

Affleck dan Mara bermain sebagai C dan M, pasangan yang tinggal di sebuah rumah usang di pinggiran kota yang sepi. Di malam hari, mereka mendengar suara-suara aneh. M ingin pindah rumah, sementara C suka dengan rumah yang sekarang. Mereka boleh jadi dalam konflik, tapi saat tidur masih berpelukan dengan mesra. Sebelum mengenal mereka lebih dekat lagi, di suatu pagi C tewas di belakang setirnya, tak jauh dari rumah.

Setelah diidentifikasi di rumah sakit oleh M, kita melihat C terbujur kaku. Kamera menyorotnya dengan statis dalam waktu yang lumayan lama. Namun tepat sebelum anda akan melempar layar karena kesal, seprei ini bangkit. Tanpa disadari oleh orang-orang, ia berjalan dan berjalan pulang ke rumahnya. Ia melihat M yang sedang berduka berat sampai memakan pie dalam satu lagi sorotan statis yang tak terputus (selama 5 menit, saya ingatkan lagi). Sang seprei mencoba menyentuhnya, tapi M tak merasakannya.

Tentu saja, akhirnya M move-on, lalu pindah rumah. Namun sang seprei tetap tinggal, sementara penghuni datang silih berganti, mulai dari keluarga Latino dengan dua orang anak sampai remaja tua yang gila pesta. Ia jadi arwah penasaran, mencari sesuatu yang terselip di balik dinding rumah. Waktu berjalan dengan cepat, tapi sang seprei masih terjebak disana, bahkan hingga rumahnya dihancurkan dan berganti menjadi apartemen mewah.

Film ini bermain dengan persepsi kita terhadap waktu. C sudah tewas; sang seprei bukan lagi manusia melainkan hantu. Hantu tidak terikat dengan peraturan waktu. Lowery menggambarkan bahwa persepsi mereka akan waktu berbeda dengan kita. Ia menggunakan cut mendadak, tak menjelaskan dengan gamblang seberapa lama waktu berlalu alih-alih menyerahkan pada kita untuk mencernanya sendiri. Bagi sang seprei, beberapa momen pendek terasa berlangsung lama, sementara beberapa momen panjang terasa berlangsung sebentar. Ia melihat setiap detik M memakan pie (selama 5 menit; kenapa saya terus-terusan membahas ini?), sementara di satu titik nanti ketika ia menyaksikan sejarah rumahnya, semua terjadi dalam hitungan detik. Menurut saya, sang seprei hanya melihat apa yang penting baginya.

Ada sebuah monolog menarik dari seorang remaja-tua-gila-pesta yang sedang mabuk (Will Oldham) kepada teman-temannya yang juga didengar oleh sang seprei. Awalnya mengapresiasi seni, si remaja tua malah melantur soal tempat manusia dalam perjalanan waktu. Saat manusia mati, ia meninggalkan karya, tapi kehidupan terus berjalan. Cinta kita, kehilangan kita, hidup kita tak ada apa-apanya di depan waktu. Meski demikian, semua itu juga merupakan momen berharga. Anda mungkin berpikir apa-apaan omong kosong filosofis ini, tapi A Ghost Story tak terasa pretensius karena tak menyuapi kita dengan filosofi. Film ini hanya menyuruh kita untuk merasa. Di satu adegan, sang seprei melihat hantu tetangga (yang juga dalam wujud seprei) mengakhiri perjalanannya saat sadar akan hakikatnya.

Luar biasa bagaimana film yang sesederhana ini bisa punya dampak emosional sebesar itu. Penggarapannya minimalis dengan akting yang simpel pula, tapi tak ada satupun rasanya scene yang disia-siakan. Kabarnya Lowery hanya melakukan proses syuting selama 19 hari saja. Ia menggunakan rasio yang nyaris persegi, 1,33:1 lalu menambahkan sisi bundar alih-alih tajam, memberi kesan bahwa kita adalah pengamat. Ini membuatnya semakin intim. Filmnya minim dialog dan nyaris tanpa konflik yang gamblang, tapi dengan brilian mengeksplorasi temanya. Eksposisi di awal saat M bercengkrama dengan C tentang masa kecilnya, ternyata punya peranan besar untuk menjawab ending yang tak berani saya ungkap disini, yang baru saya temukan saat menonton kedua kali.

A Ghost Story adalah film ganjil yang sepertinya ingin menguji kesabaran anda, tapi jangan biarkan fakta tersebut menghalangi anda menontonnya. Ini juga menyatakan bahwa filmnya sangat orisinal. Lowery baru saja mempresentasikan sesuatu yang besar yang bisa dirangkum oleh sebuah film dari sesuatu yang sedikit. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

A Ghost Story

92 menit
Remaja - BO
David Lowery
David Lowery
Toby Halbrooks, James M. Johnston, Adam Donaghey
Andrew Droz Palermo
Daniel Hart

Wednesday, August 26, 2015

Review Film: 'How to Make Love Like an Englishman' (2015)

Romance - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Romance, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Komedi, Artikel Review, Artikel Romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'How to Make Love Like an Englishman' (2015)
link : Review Film: 'How to Make Love Like an Englishman' (2015)

Baca juga


Romance

Menonton 'How to Make Love Like an Englishman' akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

“It's about you, learning to find your own meaning.”
— Richard Haig
Film ini mempunyai 3 judul berbeda dalam bahasa Inggris — judul aslinya How to Make Love Like an Englishman, dirilis di Amerika dengan judul Some Kind of Beautiful namun diganti menjadi Lessons of Love di Inggris — yang menandakan bahwa bagian marketingnya sendiri tak yakin bagaimana cara pemasaran yang tepat bagi film yang tak bermutu ini.

Menonton How to Make Love Like an Englishman akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Pengambilan gambar, akting, dan elemen musiknya sangat mirip dengan apa yang anda lihat di saluran TV swasta Indonesia. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

Pasca Bond, Pierce Brosnan tampaknya tak bisa lepas dari image pria tampan perayu wanita (yaa, memang tampan sih). Begitupun dalam film ini, dia juga menjadi penggoda ulung, yang saking ulungnya bisa merayu siapa saja termasuk mahasiswinya — BTW, Brosnan bermain sebagai Richard Haig, dosen sastra romantis di universitas Cambridge.

Cerita dibuka dengan adegan yang cukup membuat anda penasaran, dimana Richard tengah bercakap-cakap dengan anaknya, sementara tangannya diborgol. Bagaimana ini bisa terjadi? Melihat perilaku Richard yang akrab dengan minuman keras dan tidur dengan (hampir) semua wanita, hal ini tentunya tak mengejutkan. Namun masalah utamanya ternyata bukan ini, melainkan gara-gara visa. Bagaimana ceritanya?


Seperti yang saya ceritakan tadi, sang casanova kita pernah tidur dengan mahasiswinya. Mahasiswi yang berasal dari Amerika ini bernama Kate (Jessica Alba). Hubungan mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius saat Kate hamil, meski Richard sendiri kaget dan tak memprediksi hal ini. Singkat cerita, Kate harus pulang ke Amerika dan Richard setuju untuk ikut dengannya, meninggalkan karir cemerlangnya di Cambridge demi membesarkan anak di rahim Kate.

Selain rumah yang super mewah untuk ukuran dosen, kehidupan Richard bisa dibilang tak bagus di Amerika. Para mahasiswa Amerika tak peduli dengan mata kuliahnya, latar belakang pendidikannya tak dihargai, dan lebih buruk lagi, istrinya selingkuh dengan pria yang lebih muda, Brian (Ben McKenzie). Padahal anak mereka sudah menginjak usia kanak-kanak. Plotnya mulai terprediksi saat kemunculan kakak Kate, Olivia (Salma Hayek) yang juga punya hubungan tak harmonis dengan suaminya.

Sedikit drama ditambahkan dengan kedatangan ayah Richard, Gordon (Malcolm McDowell) yang punya prilaku sebelas dua belas dengan Richard. Sementara itu, dengan karir yang tak begitu bagus dan visa yang hampir habis, Richard juga harus menghadapi kemungkinan dideportasi ke Inggris.

Ironis bagaimana sutradara Tom Vaughan berhasil mengumpulkan nama-nama tenar untuk film konyol ini, yang membuat kita menjadi semakin prihatin. Naskah dari Matthew Newman ingin menyasar komedi romantis dengan sentuhan cerita family-bonding tapi pada akhirnya menjadi film amburadul yang menafikan genrenya, sengaja atau tidak.

Cerita utamanya adalah bagaimana Richard memperbaiki kehidupannya dan mencari cinta sejati. Namun sulit bagi penonton untuk merasa simpatik dengan semua tingkah tak terpuji Richard: mengumpat, mabuk, selingkuh.

Komedi yang ditawarkan sebagian besar adalah sarkasme atau komedi situasi saat para karakternya terjebak dalam kondisi yang canggung. Misalnya saja saat Olivia yang berlari telanjang ke luar rumah untuk menghindari kecurigaan Kate setelah dia tidur dengan Richard. Atau saat Olivia menirukan suara orgasme teraneh dari beberapa pria yang pernah dikencaninya yang kemudian didengar oleh dua orang guru. Anda bisa memperkirakan lelucon murahan seperti apa sisanya.

Salma Hayek bermain sebagai wanita mandiri, yang tampaknya cerdas — dia menjadi penulis di akhir film — namun dungu dalam memilih pria. Olivia juga punya selera dramatis aneh, yang membuatnya tersentuh saat melihat Richard bersama anak dan ayahnya kencing berbaris di pinggir pantai dengan gembira. Serius.

Kekacauan ini ditambah dengan scoring piano atau akordion dari Stephen Endelman yang bernada riang yang sepertinya diputar tanpa henti sepanjang film, seolah-olah mengatakan bahwa semua yang sedang terjadi disini adalah peristiwa yang menyenangkan.

Hal yang paling menyesatkan adalah film ini memberi kesan bahwa selingkuh itu manis. Jika judul film ini adalah pertanyaan, maka jawabannya adalah: you just do it, even if she is somebody's wife... or your wife's sister... or both. Iiihhh. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'How to Make Love Like an Englishman' |
|


IMDb | Rottentomatoes
99 menit | Dewasa

Sutradara: Tom Vaughan
Penulis: Matthew Newman
Pemain: Pierce Brosnan, Salma Hayek, Jessica Alba

Menonton 'How to Make Love Like an Englishman' akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

“It's about you, learning to find your own meaning.”
— Richard Haig
Film ini mempunyai 3 judul berbeda dalam bahasa Inggris — judul aslinya How to Make Love Like an Englishman, dirilis di Amerika dengan judul Some Kind of Beautiful namun diganti menjadi Lessons of Love di Inggris — yang menandakan bahwa bagian marketingnya sendiri tak yakin bagaimana cara pemasaran yang tepat bagi film yang tak bermutu ini.

Menonton How to Make Love Like an Englishman akan menjawab pertanyaan apa yang terjadi jika aktor Hollywood bermain dalam FTV. Pengambilan gambar, akting, dan elemen musiknya sangat mirip dengan apa yang anda lihat di saluran TV swasta Indonesia. Saya tak pernah merasa 99 menit menjadi selama ini.

Pasca Bond, Pierce Brosnan tampaknya tak bisa lepas dari image pria tampan perayu wanita (yaa, memang tampan sih). Begitupun dalam film ini, dia juga menjadi penggoda ulung, yang saking ulungnya bisa merayu siapa saja termasuk mahasiswinya — BTW, Brosnan bermain sebagai Richard Haig, dosen sastra romantis di universitas Cambridge.

Cerita dibuka dengan adegan yang cukup membuat anda penasaran, dimana Richard tengah bercakap-cakap dengan anaknya, sementara tangannya diborgol. Bagaimana ini bisa terjadi? Melihat perilaku Richard yang akrab dengan minuman keras dan tidur dengan (hampir) semua wanita, hal ini tentunya tak mengejutkan. Namun masalah utamanya ternyata bukan ini, melainkan gara-gara visa. Bagaimana ceritanya?


Seperti yang saya ceritakan tadi, sang casanova kita pernah tidur dengan mahasiswinya. Mahasiswi yang berasal dari Amerika ini bernama Kate (Jessica Alba). Hubungan mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius saat Kate hamil, meski Richard sendiri kaget dan tak memprediksi hal ini. Singkat cerita, Kate harus pulang ke Amerika dan Richard setuju untuk ikut dengannya, meninggalkan karir cemerlangnya di Cambridge demi membesarkan anak di rahim Kate.

Selain rumah yang super mewah untuk ukuran dosen, kehidupan Richard bisa dibilang tak bagus di Amerika. Para mahasiswa Amerika tak peduli dengan mata kuliahnya, latar belakang pendidikannya tak dihargai, dan lebih buruk lagi, istrinya selingkuh dengan pria yang lebih muda, Brian (Ben McKenzie). Padahal anak mereka sudah menginjak usia kanak-kanak. Plotnya mulai terprediksi saat kemunculan kakak Kate, Olivia (Salma Hayek) yang juga punya hubungan tak harmonis dengan suaminya.

Sedikit drama ditambahkan dengan kedatangan ayah Richard, Gordon (Malcolm McDowell) yang punya prilaku sebelas dua belas dengan Richard. Sementara itu, dengan karir yang tak begitu bagus dan visa yang hampir habis, Richard juga harus menghadapi kemungkinan dideportasi ke Inggris.

Ironis bagaimana sutradara Tom Vaughan berhasil mengumpulkan nama-nama tenar untuk film konyol ini, yang membuat kita menjadi semakin prihatin. Naskah dari Matthew Newman ingin menyasar komedi romantis dengan sentuhan cerita family-bonding tapi pada akhirnya menjadi film amburadul yang menafikan genrenya, sengaja atau tidak.

Cerita utamanya adalah bagaimana Richard memperbaiki kehidupannya dan mencari cinta sejati. Namun sulit bagi penonton untuk merasa simpatik dengan semua tingkah tak terpuji Richard: mengumpat, mabuk, selingkuh.

Komedi yang ditawarkan sebagian besar adalah sarkasme atau komedi situasi saat para karakternya terjebak dalam kondisi yang canggung. Misalnya saja saat Olivia yang berlari telanjang ke luar rumah untuk menghindari kecurigaan Kate setelah dia tidur dengan Richard. Atau saat Olivia menirukan suara orgasme teraneh dari beberapa pria yang pernah dikencaninya yang kemudian didengar oleh dua orang guru. Anda bisa memperkirakan lelucon murahan seperti apa sisanya.

Salma Hayek bermain sebagai wanita mandiri, yang tampaknya cerdas — dia menjadi penulis di akhir film — namun dungu dalam memilih pria. Olivia juga punya selera dramatis aneh, yang membuatnya tersentuh saat melihat Richard bersama anak dan ayahnya kencing berbaris di pinggir pantai dengan gembira. Serius.

Kekacauan ini ditambah dengan scoring piano atau akordion dari Stephen Endelman yang bernada riang yang sepertinya diputar tanpa henti sepanjang film, seolah-olah mengatakan bahwa semua yang sedang terjadi disini adalah peristiwa yang menyenangkan.

Hal yang paling menyesatkan adalah film ini memberi kesan bahwa selingkuh itu manis. Jika judul film ini adalah pertanyaan, maka jawabannya adalah: you just do it, even if she is somebody's wife... or your wife's sister... or both. Iiihhh. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'How to Make Love Like an Englishman' |
|


IMDb | Rottentomatoes
99 menit | Dewasa

Sutradara: Tom Vaughan
Penulis: Matthew Newman
Pemain: Pierce Brosnan, Salma Hayek, Jessica Alba

Saturday, August 8, 2015

Review Film: 'Serena' (2015)

Romance - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Romance, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Serena' (2015)
link : Review Film: 'Serena' (2015)

Baca juga


Romance

Dilihat sekilas, 'Serena' punya kualifikasi yang layak untuk ambil bagian dalam festival maupun ajang penghargaan film. Sayangnya, film ini menjadi melodrama tak jelas yang tak tahu arah.

“Nothing that happened before even exists.”
— Serena
Jennifer Lawrence dan Bradley Cooper mungkin adalah pasangan serasi dalam Silver Linings Playbook, namun dalam kolaborasi ketiga ini, hubungan keduanya payah, baik bagi mereka sendiri (dalam konteks film, tentunya) maupun bagi penonton. Diproduksi di sela-sela Silver Linings Playbook dan American Hustle, Serena harus mengalami proses pasca-produksi yang cukup panjang sejak 2012 dan baru bisa kita tonton 3 tahun kemudian.

Dilihat sekilas, Serena tampak sebagai tipikal film yang layak ambil bagian dalam festival maupun penghargaan film: diangkat dari novel best-seller karya Ron Rash, bercerita tentang drama berat ala Macbeth, disutradarai oleh sutradara pemenang Academy Award, Susanne Bier — yang memperoleh piala Best Foreign Language Film untuk In a Better World pada 2011 — serta dimainkan oleh 2 bintang muda favorit Academy. Hmm. Bahkan secara visual, film ini bisa dibilang merupakan suatu pencapaian yang cukup mengagumkan. Sayangnya, Serena menjadi film melodrama yang tak jelas. Ada banyak peristiwa yang terjadi, tapi hanya sedikit yang akan penonton pedulikan.

Dengan setting di era Depresi Amerika, Bradley Cooper bermain sebagai George Pemberton, seorang pengusaha perkayuan yang sangat sukses di North Carolina. Di awal film, kita melihatnya tengah berburu bersama partner bisnisnya, Buchanan (David Dencik) dan seorang tukang kayu kepercayaannya, Galloway (Rhys Ifans). Cerita beralih saat kemudian George pergi ke kota untuk memperoleh pinjaman dari bank dan bertemu dengan gadis misterius nan menawan, Serena (Lawrence).

Mungkin ini sulit dipercaya, namun tepat setelah George berujar "Kita sebaiknya menikah", kita melihat keduanya bercumbu dan memulai kehidupan baru sebagai keluarga. Entah di era Depresi, memang budayanya seperti itu, namun saya mengharapkan adanya sedikit relationship development.

Mempunyai masa lalu yang tragis, Serena adalah wanita yang mandiri dan punya mental yang kuat. Segera, dia ikut andil dalam bisnis sang suami. Masalah muncul saat sherif setempat (Toby Joness) berencana membeli lahan George untuk membuat taman nasional. Bersama dengan Buchanan, sherif ingin memanfaatkan kasus penyuapan yang dilakukan George untuk menjegalnya. Meski awalnya hanya sekedar memberi saran, Serena tak tinggal diam dan mulai bertindak aktif, yang pada akhirnya membuat kehamilannya mengalami keguguran. Serena divonis tak mempunyai anak. Situasi semakin rumit, saat masa lalu George yang ditutup rapat diketahui oleh Serena. Pada akhirnya, tendensi bengis Serena mengantarkan semua karakter kita pada akhir yang depresif.


Sangat sulit untuk benar-benar terikat dengan semua karakter dalam Serena, entah itu karena underdeveloped maupun karena kepribadian yang tak konsisten. Begitu juga dengan Cooper dan Lawrence. Keduanya memberikan penampilan yang solid. Kita bisa tahu mereka punya energi dan bakat yang mumpuni dari adegan dramatis masing-masing, tapi saat disandingkan berdua, mereka tak pernah klik. Ini menurut saya adalah faktor utama yang membuat film Serena terasa hambar. Hubungan keduanya tak meyakinkan sejak awal.

Sutradara Susanne Bier terkesan tak tahu harus membawa filmnya ke arah mana. Di satu momen, film ini terlihat seperti kisah cinta tragis, di momen yang lain seperti film drama nihilis, bahkan terkadang terasa seperti film thriller brutal. Saya tak tahu apakah ini disebabkan karena naskah yang ditulis oleh Christopher Kyle atau memang Bier yang tak mampu meng-handle filmnya sendiri. Bicara soal naskah, dialog-dialog garingnya mungkin bisa dimaafkan, tapi ada cukup banyak adegan tak relevan yang nyelip dimana-mana yang membuat film ini terkesan tak fokus.

Satu hal yang patut dipuji dari Serena adalah tata produksinya yang mengagumkan, yang mungkin setara dengan (jika tak mengalahkan) film macam 12 Years a Slave. Desain kostum dan set lokasinya luar biasa. Sinematografer Morten Soborg menangkap lanskap Smoky Mountain dengan lensa wide, menghasilkan sajian visual yang memuaskan.

Ending film membuat kita merasa kasihan dengan nasib tragis yang dialami masing-masing karakter, sebagaimana kita juga kasihan melihat bakat mereka yang tersia-siakan dalam film melodrama yang saya analogikan sebagai rangkaian puzzle berbeda yang dipaksa disatukan. ■ UP

'Serena' \
|


IMDb | Rottentomatoes
109 menit | Dewasa

Sutradara: Susanne Bier
Penulis: Christopher Kyle (screenplay), Ron Rash (buku)
Pemain: Jennifer Lawrence, Bradley Cooper, Rhys Ifans

Dilihat sekilas, 'Serena' punya kualifikasi yang layak untuk ambil bagian dalam festival maupun ajang penghargaan film. Sayangnya, film ini menjadi melodrama tak jelas yang tak tahu arah.

“Nothing that happened before even exists.”
— Serena
Jennifer Lawrence dan Bradley Cooper mungkin adalah pasangan serasi dalam Silver Linings Playbook, namun dalam kolaborasi ketiga ini, hubungan keduanya payah, baik bagi mereka sendiri (dalam konteks film, tentunya) maupun bagi penonton. Diproduksi di sela-sela Silver Linings Playbook dan American Hustle, Serena harus mengalami proses pasca-produksi yang cukup panjang sejak 2012 dan baru bisa kita tonton 3 tahun kemudian.

Dilihat sekilas, Serena tampak sebagai tipikal film yang layak ambil bagian dalam festival maupun penghargaan film: diangkat dari novel best-seller karya Ron Rash, bercerita tentang drama berat ala Macbeth, disutradarai oleh sutradara pemenang Academy Award, Susanne Bier — yang memperoleh piala Best Foreign Language Film untuk In a Better World pada 2011 — serta dimainkan oleh 2 bintang muda favorit Academy. Hmm. Bahkan secara visual, film ini bisa dibilang merupakan suatu pencapaian yang cukup mengagumkan. Sayangnya, Serena menjadi film melodrama yang tak jelas. Ada banyak peristiwa yang terjadi, tapi hanya sedikit yang akan penonton pedulikan.

Dengan setting di era Depresi Amerika, Bradley Cooper bermain sebagai George Pemberton, seorang pengusaha perkayuan yang sangat sukses di North Carolina. Di awal film, kita melihatnya tengah berburu bersama partner bisnisnya, Buchanan (David Dencik) dan seorang tukang kayu kepercayaannya, Galloway (Rhys Ifans). Cerita beralih saat kemudian George pergi ke kota untuk memperoleh pinjaman dari bank dan bertemu dengan gadis misterius nan menawan, Serena (Lawrence).

Mungkin ini sulit dipercaya, namun tepat setelah George berujar "Kita sebaiknya menikah", kita melihat keduanya bercumbu dan memulai kehidupan baru sebagai keluarga. Entah di era Depresi, memang budayanya seperti itu, namun saya mengharapkan adanya sedikit relationship development.

Mempunyai masa lalu yang tragis, Serena adalah wanita yang mandiri dan punya mental yang kuat. Segera, dia ikut andil dalam bisnis sang suami. Masalah muncul saat sherif setempat (Toby Joness) berencana membeli lahan George untuk membuat taman nasional. Bersama dengan Buchanan, sherif ingin memanfaatkan kasus penyuapan yang dilakukan George untuk menjegalnya. Meski awalnya hanya sekedar memberi saran, Serena tak tinggal diam dan mulai bertindak aktif, yang pada akhirnya membuat kehamilannya mengalami keguguran. Serena divonis tak mempunyai anak. Situasi semakin rumit, saat masa lalu George yang ditutup rapat diketahui oleh Serena. Pada akhirnya, tendensi bengis Serena mengantarkan semua karakter kita pada akhir yang depresif.


Sangat sulit untuk benar-benar terikat dengan semua karakter dalam Serena, entah itu karena underdeveloped maupun karena kepribadian yang tak konsisten. Begitu juga dengan Cooper dan Lawrence. Keduanya memberikan penampilan yang solid. Kita bisa tahu mereka punya energi dan bakat yang mumpuni dari adegan dramatis masing-masing, tapi saat disandingkan berdua, mereka tak pernah klik. Ini menurut saya adalah faktor utama yang membuat film Serena terasa hambar. Hubungan keduanya tak meyakinkan sejak awal.

Sutradara Susanne Bier terkesan tak tahu harus membawa filmnya ke arah mana. Di satu momen, film ini terlihat seperti kisah cinta tragis, di momen yang lain seperti film drama nihilis, bahkan terkadang terasa seperti film thriller brutal. Saya tak tahu apakah ini disebabkan karena naskah yang ditulis oleh Christopher Kyle atau memang Bier yang tak mampu meng-handle filmnya sendiri. Bicara soal naskah, dialog-dialog garingnya mungkin bisa dimaafkan, tapi ada cukup banyak adegan tak relevan yang nyelip dimana-mana yang membuat film ini terkesan tak fokus.

Satu hal yang patut dipuji dari Serena adalah tata produksinya yang mengagumkan, yang mungkin setara dengan (jika tak mengalahkan) film macam 12 Years a Slave. Desain kostum dan set lokasinya luar biasa. Sinematografer Morten Soborg menangkap lanskap Smoky Mountain dengan lensa wide, menghasilkan sajian visual yang memuaskan.

Ending film membuat kita merasa kasihan dengan nasib tragis yang dialami masing-masing karakter, sebagaimana kita juga kasihan melihat bakat mereka yang tersia-siakan dalam film melodrama yang saya analogikan sebagai rangkaian puzzle berbeda yang dipaksa disatukan. ■ UP

'Serena' \
|


IMDb | Rottentomatoes
109 menit | Dewasa

Sutradara: Susanne Bier
Penulis: Christopher Kyle (screenplay), Ron Rash (buku)
Pemain: Jennifer Lawrence, Bradley Cooper, Rhys Ifans

Friday, July 31, 2015

Review Film: 'The Loft' (2015)

Romance - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Romance, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Romance, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Loft' (2015)
link : Review Film: 'The Loft' (2015)

Baca juga


Romance

'The Loft' dieksekusi terlalu aman oleh sutradara Erik van Looy, menjadikannya erotic-thriller tanpa real thrill, padahal ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan.

“...but you're gonna survive. Cause we're friends, aren't we?”
— Chris
Jika anda ingin melihat betapa memuakkannya perilaku manusia — pria khususnya — maka tontonlah The Loft. Perselingkungan, pengkhianatan, dan kebohongan adalah tema yang diangkat dalam film yang katanya bergenre erotic thriller ini. The Loft diangkat dengan dari film Loft versi Belgia yang dirilis pada tahun 2008 yang juga pernah dibuat kembali dalam versi Belanda dengan sutradara yang berbeda 2 tahun kemudian.

Sang sutradara film orisinalnya, Erik van Looy menjadikan film ini sebagai jalan menuju Hollywood dan mengganti pemainnya dengan bintang-bintang yang familiar. Saya tak pernah menonton 2 film sebelumnya, tapi film yang terlihat seperti gabungan cerita novel Agatha Christie dengan film Reservoir Dogs ini taklah secerdas kelihatannya. Sulit untuk bilang bahwa The Loft adalah erotic thriller, mengingat filmnya yang tak memenuhi kedua kriteria tersebut.

Lima orang pria dewasa yang telah berkeluarga merupakan sahabat karib: arsitek lihai Vincent (Karl Urban), terapis melankolis Chris (James Marsden), si pendiam Luke (Wenthworth Miller), si gendut yang banyak omong Marty (Eric Stonestreet) serta psikopat temperamen Phillip (Matthias Schoenaerts). Agar mereka bebas melakukan berbagai "urusan" tanpa diketahui oleh keluarga, Chris sengaja menyiapkan satu ruangan khusus yang diberi nama Loft (=Loteng) dan berbagi kunci dengan keempat sahabatnya tersebut.

Situasi menjadi runyam saat kelimanya menemukan mayat wanita telanjang yang diborgol di kasur Loteng lengkap dengan kalimat Latin yang ditulis dengan darah. Tempat tersebut tak diketahui oleh siapapun selain mereka berlima dan hanya mereka berlima pulalah yang punya akses kesana. Sementara mereka saling beradu argumen, misteri mengenai siapa identitas wanita tersebut, kenapa dia dibunuh disana, dan siapa pelaku sebenarnya terungkap sedikit demi sedikit.


Film dibuka dengan adegan preposisi yang menjanjikan dan cukup menegangkan. Cerita sebenarnya dimulai saat kelimanya ditangkap dan diinterogasi oleh 2 polisi yaitu Detektif Huggins (Kristin Lehman) dan Detektif Cohagan (Robert Wisdom). Melalui investigasi ini penonton disajikan dengan adegan flashback ala The Usual Suspects yang berujung pada pengungkapan kasus.

Semakin lama kita mengenal masing-masing tokoh, semakin membuat kita membenci mereka melihat kebusukan yang perlahan muncul ke permukaan. Meski ada satu tokoh yang tampak seperti nice guy — Chris misalnya — tak membuatnya terlihat lebih baik dibanding 4 rekannya. Dalam The Loft, semua pria adalah si brengsek dan wanita selalu menjadi korban situasi.

Film tipikal misteri seperti ini sebenarnya adalah favorit saya. Saya bahkan juga suka membaca novel-novel detektif dari Agatha Christie dan Arthur Conan Doyle. Dan itu adalah satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan menonton film ini sampai akhir. Eksekusi filmnya biasa saja, aktingnya juga biasa, dan tak ada karakter yang benar-benar berkesan.

Karakter kelima tokoh utama kita yang one-note sangat berbeda satu sama lain dan mereka tampaknya saling membenci, sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana mungkin kelimanya menjadi sahabat karib. Senada dengan karakterisasinya, naskah dari Bart de Paw dan Wesley Strick juga one-note dengan diisi oleh dialog-dialog pendek klise yang repetitif.

Dilihat dari premisnya film ini mengangkat tema yang cukup berat dan saya sempat berekspektasi lebih bahwa The Loft akan menjadi drama-thriller yang mengangkat isu sosial provokatif semacam Gone Girl. Namun Van Looy bukanlah David Fincher. Alih-alih, eksekusinya terlalu aman dengan narasi yang linear yang disamarkan dengan penceritaan bolak-balik. Real thrill tak pernah tersaji, meski ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan. ■ UP

'The Loft' |
|

IMDb | Rottentomatoes
103 menit | Dewasa

Sutradara: Erik van Looy
Penulis: Bart De Pauw, Wesley Strick
Pemain: Karl Urban, James Marsden, Wentworth Miller

'The Loft' dieksekusi terlalu aman oleh sutradara Erik van Looy, menjadikannya erotic-thriller tanpa real thrill, padahal ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan.

“...but you're gonna survive. Cause we're friends, aren't we?”
— Chris
Jika anda ingin melihat betapa memuakkannya perilaku manusia — pria khususnya — maka tontonlah The Loft. Perselingkungan, pengkhianatan, dan kebohongan adalah tema yang diangkat dalam film yang katanya bergenre erotic thriller ini. The Loft diangkat dengan dari film Loft versi Belgia yang dirilis pada tahun 2008 yang juga pernah dibuat kembali dalam versi Belanda dengan sutradara yang berbeda 2 tahun kemudian.

Sang sutradara film orisinalnya, Erik van Looy menjadikan film ini sebagai jalan menuju Hollywood dan mengganti pemainnya dengan bintang-bintang yang familiar. Saya tak pernah menonton 2 film sebelumnya, tapi film yang terlihat seperti gabungan cerita novel Agatha Christie dengan film Reservoir Dogs ini taklah secerdas kelihatannya. Sulit untuk bilang bahwa The Loft adalah erotic thriller, mengingat filmnya yang tak memenuhi kedua kriteria tersebut.

Lima orang pria dewasa yang telah berkeluarga merupakan sahabat karib: arsitek lihai Vincent (Karl Urban), terapis melankolis Chris (James Marsden), si pendiam Luke (Wenthworth Miller), si gendut yang banyak omong Marty (Eric Stonestreet) serta psikopat temperamen Phillip (Matthias Schoenaerts). Agar mereka bebas melakukan berbagai "urusan" tanpa diketahui oleh keluarga, Chris sengaja menyiapkan satu ruangan khusus yang diberi nama Loft (=Loteng) dan berbagi kunci dengan keempat sahabatnya tersebut.

Situasi menjadi runyam saat kelimanya menemukan mayat wanita telanjang yang diborgol di kasur Loteng lengkap dengan kalimat Latin yang ditulis dengan darah. Tempat tersebut tak diketahui oleh siapapun selain mereka berlima dan hanya mereka berlima pulalah yang punya akses kesana. Sementara mereka saling beradu argumen, misteri mengenai siapa identitas wanita tersebut, kenapa dia dibunuh disana, dan siapa pelaku sebenarnya terungkap sedikit demi sedikit.


Film dibuka dengan adegan preposisi yang menjanjikan dan cukup menegangkan. Cerita sebenarnya dimulai saat kelimanya ditangkap dan diinterogasi oleh 2 polisi yaitu Detektif Huggins (Kristin Lehman) dan Detektif Cohagan (Robert Wisdom). Melalui investigasi ini penonton disajikan dengan adegan flashback ala The Usual Suspects yang berujung pada pengungkapan kasus.

Semakin lama kita mengenal masing-masing tokoh, semakin membuat kita membenci mereka melihat kebusukan yang perlahan muncul ke permukaan. Meski ada satu tokoh yang tampak seperti nice guy — Chris misalnya — tak membuatnya terlihat lebih baik dibanding 4 rekannya. Dalam The Loft, semua pria adalah si brengsek dan wanita selalu menjadi korban situasi.

Film tipikal misteri seperti ini sebenarnya adalah favorit saya. Saya bahkan juga suka membaca novel-novel detektif dari Agatha Christie dan Arthur Conan Doyle. Dan itu adalah satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan menonton film ini sampai akhir. Eksekusi filmnya biasa saja, aktingnya juga biasa, dan tak ada karakter yang benar-benar berkesan.

Karakter kelima tokoh utama kita yang one-note sangat berbeda satu sama lain dan mereka tampaknya saling membenci, sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana mungkin kelimanya menjadi sahabat karib. Senada dengan karakterisasinya, naskah dari Bart de Paw dan Wesley Strick juga one-note dengan diisi oleh dialog-dialog pendek klise yang repetitif.

Dilihat dari premisnya film ini mengangkat tema yang cukup berat dan saya sempat berekspektasi lebih bahwa The Loft akan menjadi drama-thriller yang mengangkat isu sosial provokatif semacam Gone Girl. Namun Van Looy bukanlah David Fincher. Alih-alih, eksekusinya terlalu aman dengan narasi yang linear yang disamarkan dengan penceritaan bolak-balik. Real thrill tak pernah tersaji, meski ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan. ■ UP

'The Loft' |
|

IMDb | Rottentomatoes
103 menit | Dewasa

Sutradara: Erik van Looy
Penulis: Bart De Pauw, Wesley Strick
Pemain: Karl Urban, James Marsden, Wentworth Miller

Wednesday, July 1, 2015

Review Film: 'The Age of Adaline' (2015)

Romance - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Romance, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Age of Adaline' (2015)
link : Review Film: 'The Age of Adaline' (2015)

Baca juga


Romance

Sebagai drama cinta dengan sentuhan fantasi, 'The Age of Adaline' takkan pernah bisa dicerna secara logika, tapi secara emosional cukup mengena, paling tidak di bagian akhir.

“Tell me something I can hold on to forever and never let me go”
— Adaline
Hidup abadi dan tak pernah menua adalah dua hal yang mungkin menjadi impian setiap orang. Namun bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi? Bagaimana cara membaur dengan orang-orang sekitar yang normal dan menua? Bagaimana menghadapi kehilangan orang-orang tersayang yang tergerus karena usia? The Age of Adaline mengangkat premis tersebut dengan menyuntikkan beberapa dosis romansa. Namun yang membuat film ini lebih superior dibanding roman picisan masa kini adalah unsur dramanya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Adaline Bowman (Blake Lively), seorang wanita muda yang lahir di tahun 1908, menjalani hidup normal, menikah dan punya anak. Sayangnya di usia 29 tahun, suaminya meninggal dalam proyek pembangunan jembatan Golden Gate. Tragedi ini mengantarkan Adaline mengalami kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya, tapi akibat suatu peristiwa magis — dijelaskan dengan narasi ilmiah yang tetap saja tak masuk akal — membuatnya menjadi manusia yang tak bisa menua. Adaline bisa mati, namun dia takkan termakan usia.

Beralih ke masa sekarang, Adaline berkenalan dengan seorang miliarder muda yang tampan, Ellis Jones (Michiel Huisman). Terpikat dengan pesona dan metode pedekate yang berbeda dengan pria lain, membuat Adaline mulai terpikat pada Ellis. Singkat cerita, keduanya menjalin hubungan asmara. Semua berjalan dengan lancar, hingga saat Ellis mengajak Adaline untuk mengunjungi kedua orangtuanya, memaksa Adaline untuk berhadapan dengan kekasih masa lalunya.


Kondisi Adaline ini mungkin memang terdengar too-good-to-be-true. Tapi, pastinya ini menghadirkan konflik tersendiri. Di awal film diceritakan bahwa Adaline nyaris menjadi objek penelitian oleh FBI. Selain itu, dia juga harus berpindah-pindah tempat tinggal agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain. Masalah terbesar (setidaknya bagi Adaline) adalah kondisinya yang membuatnya tak bisa menjalin hubungan cinta yang normal. Saya pikir menarik seandainya film ini mengeksplorasi bagaimana Adaline beradaptasi dan menghadapi lingkungannya. Sayangnya, penulis naskah J. Mills Goodloe dan Salvador Paskowitz mengambil jalan pintas dan menceritakannya dengan sekilas dan sederhana.

Melalui beberapa flashback yang efektif, kita diperlihatkan dengan masa lalu Adaline. Penggarapan film yang serius bisa dilihat dari desain produksi yang tak main-main, termasuk set lokasi, make-up dan tata busana yang menangkap dengan baik jaman yang tengah disorot. Sutradara Lee Toland Krieger dengan bantuan sinematografer David Lazenberg melakukan pengambilan gambar dengan indah, membuat The Age of Adaline menjadi film yang cantik secara visual, cocok dengan atmosfir fantasi yang diangkat filmnya.

Sebagai Adaline, Blake Lively memberikan penampilan yang meyakinkan. Dengan tampilan fisik yang tak berubah, Lively membawakan kematangan emosional dan beban moral dari seseorang yang telah hidup selama lebih dari 10 dekade. Menawan, karismatik, sangat dewasa, dan bijak. Dengan halus, Lively tampil ekspresif hanya dari sunggingan senyum, kerutan alis dan dialog yang minimalis. Sayang, skenario film membuatnya tak punya ruang gerak lebih banyak.

Paruh pertama The Age of Adaline menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menceritakan kisah asmara Adaline dengan Ellis. Mungkin ini dimaksudkan untuk membuat kita berinvestasi pada karakter, but really, tak ada hal yang benar-benar baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya dalam film romance lainnya.

Tepat saat saya mulai skeptis, The Age of Adaline bergerak ke arah yang tak saya duga. Pertemuannya dengan William Jones (Harrison Ford) membangkitkan kenangan masa lalunya, membuat Adaline harus mempertimbangkan kembali keputusannya untuk terus lari saat terlibat terlalu jauh dengan orang lain. Disinilah penonton dibuat merasakan konflik batin yang sebenarnya. Momen saat Lively dan Ford bertemu adalah momen paling mencuri perhatian dari keseluruhan film. Dan Ford memberikan penampilan terbaik dari screentime-nya yang hanya sebentar.

Ending film ini adalah salah satu dari banyak hal yang predictable dari The Age of Adaline. Di akhir film, lagi-lagi narator akan memberikan penjelasan tak rasional dengan istilah-istilah canggih untuk menutup kisah Adaline. Senada dengan narator tersebut, film ini takkan pernah bisa dicerna secara logika, tapi secara emosional cukup mengena, paling tidak di bagian akhir. Ah, kalau saja seluruh film ini punya bobot yang setara dengan paruh terakhirnya. ■UP

'The Age of Adaline' |
|

IMDb | Rottentomatoes
132 menit | Remaja

Sutradara: Lee Toland Krieger
Penulis: J. Mills Goodloe, Salvador Paskowitz
Pemain: Blake Lively, Michiel Huisman, Harrison Ford

Sebagai drama cinta dengan sentuhan fantasi, 'The Age of Adaline' takkan pernah bisa dicerna secara logika, tapi secara emosional cukup mengena, paling tidak di bagian akhir.

“Tell me something I can hold on to forever and never let me go”
— Adaline
Hidup abadi dan tak pernah menua adalah dua hal yang mungkin menjadi impian setiap orang. Namun bagaimana jika hal itu benar-benar terjadi? Bagaimana cara membaur dengan orang-orang sekitar yang normal dan menua? Bagaimana menghadapi kehilangan orang-orang tersayang yang tergerus karena usia? The Age of Adaline mengangkat premis tersebut dengan menyuntikkan beberapa dosis romansa. Namun yang membuat film ini lebih superior dibanding roman picisan masa kini adalah unsur dramanya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Adaline Bowman (Blake Lively), seorang wanita muda yang lahir di tahun 1908, menjalani hidup normal, menikah dan punya anak. Sayangnya di usia 29 tahun, suaminya meninggal dalam proyek pembangunan jembatan Golden Gate. Tragedi ini mengantarkan Adaline mengalami kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya, tapi akibat suatu peristiwa magis — dijelaskan dengan narasi ilmiah yang tetap saja tak masuk akal — membuatnya menjadi manusia yang tak bisa menua. Adaline bisa mati, namun dia takkan termakan usia.

Beralih ke masa sekarang, Adaline berkenalan dengan seorang miliarder muda yang tampan, Ellis Jones (Michiel Huisman). Terpikat dengan pesona dan metode pedekate yang berbeda dengan pria lain, membuat Adaline mulai terpikat pada Ellis. Singkat cerita, keduanya menjalin hubungan asmara. Semua berjalan dengan lancar, hingga saat Ellis mengajak Adaline untuk mengunjungi kedua orangtuanya, memaksa Adaline untuk berhadapan dengan kekasih masa lalunya.


Kondisi Adaline ini mungkin memang terdengar too-good-to-be-true. Tapi, pastinya ini menghadirkan konflik tersendiri. Di awal film diceritakan bahwa Adaline nyaris menjadi objek penelitian oleh FBI. Selain itu, dia juga harus berpindah-pindah tempat tinggal agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain. Masalah terbesar (setidaknya bagi Adaline) adalah kondisinya yang membuatnya tak bisa menjalin hubungan cinta yang normal. Saya pikir menarik seandainya film ini mengeksplorasi bagaimana Adaline beradaptasi dan menghadapi lingkungannya. Sayangnya, penulis naskah J. Mills Goodloe dan Salvador Paskowitz mengambil jalan pintas dan menceritakannya dengan sekilas dan sederhana.

Melalui beberapa flashback yang efektif, kita diperlihatkan dengan masa lalu Adaline. Penggarapan film yang serius bisa dilihat dari desain produksi yang tak main-main, termasuk set lokasi, make-up dan tata busana yang menangkap dengan baik jaman yang tengah disorot. Sutradara Lee Toland Krieger dengan bantuan sinematografer David Lazenberg melakukan pengambilan gambar dengan indah, membuat The Age of Adaline menjadi film yang cantik secara visual, cocok dengan atmosfir fantasi yang diangkat filmnya.

Sebagai Adaline, Blake Lively memberikan penampilan yang meyakinkan. Dengan tampilan fisik yang tak berubah, Lively membawakan kematangan emosional dan beban moral dari seseorang yang telah hidup selama lebih dari 10 dekade. Menawan, karismatik, sangat dewasa, dan bijak. Dengan halus, Lively tampil ekspresif hanya dari sunggingan senyum, kerutan alis dan dialog yang minimalis. Sayang, skenario film membuatnya tak punya ruang gerak lebih banyak.

Paruh pertama The Age of Adaline menghabiskan terlalu banyak waktu untuk menceritakan kisah asmara Adaline dengan Ellis. Mungkin ini dimaksudkan untuk membuat kita berinvestasi pada karakter, but really, tak ada hal yang benar-benar baru, yang belum pernah kita lihat sebelumnya dalam film romance lainnya.

Tepat saat saya mulai skeptis, The Age of Adaline bergerak ke arah yang tak saya duga. Pertemuannya dengan William Jones (Harrison Ford) membangkitkan kenangan masa lalunya, membuat Adaline harus mempertimbangkan kembali keputusannya untuk terus lari saat terlibat terlalu jauh dengan orang lain. Disinilah penonton dibuat merasakan konflik batin yang sebenarnya. Momen saat Lively dan Ford bertemu adalah momen paling mencuri perhatian dari keseluruhan film. Dan Ford memberikan penampilan terbaik dari screentime-nya yang hanya sebentar.

Ending film ini adalah salah satu dari banyak hal yang predictable dari The Age of Adaline. Di akhir film, lagi-lagi narator akan memberikan penjelasan tak rasional dengan istilah-istilah canggih untuk menutup kisah Adaline. Senada dengan narator tersebut, film ini takkan pernah bisa dicerna secara logika, tapi secara emosional cukup mengena, paling tidak di bagian akhir. Ah, kalau saja seluruh film ini punya bobot yang setara dengan paruh terakhirnya. ■UP

'The Age of Adaline' |
|

IMDb | Rottentomatoes
132 menit | Remaja

Sutradara: Lee Toland Krieger
Penulis: J. Mills Goodloe, Salvador Paskowitz
Pemain: Blake Lively, Michiel Huisman, Harrison Ford

Saturday, May 9, 2015

Review Film: 'Escobar: Paradise Lost' (2015)

Romance - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Romance, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Review, Artikel Romance, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Escobar: Paradise Lost' (2015)
link : Review Film: 'Escobar: Paradise Lost' (2015)

Baca juga


Romance

Meski judul dan posternya sedikit menyesatkan, karya debut sutradara Andrea DiStefano ini merupakan film romance-thriller dengan pace yang stabil dan menarik hingga akhir.

“Welcome to the family."
— Escobar
Pablo Escobar adalah mafia narkoba terkejam dan terkaya dalam sejarah Kolombia, dengan aset tercatat mencapai $30 miliar. Meski film ini sedikit menyoroti masa-masa kejatuhannya di tahun 1991, namun Escobar bukanlah tokoh utama. Alih-alih, dia menjadi latar belakang dari kisah cinta romantis bercampur thriller kriminal. Campuran yang aneh, namun sutradara Andrea DiStefano berhasil menggabungkannya dengan apik.

Dimulai dengan setting saat penyerahan dirinya pada pemerintah, Escobar (Benicio del Toro) memberikan misi pada seorang pemuda bernama Nick (Josh Hutcherson) untuk menyembunyikan hartanya. Adegan ini tentu membuat kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pemuda kulit putih menjadi tangan kanan "Raja Kokain" tersebut. Jangan kuatir, karena kita akan dibawa ke beberapa tahun sebelumnya dimana Nick bersama kakaknya untuk pertama kalinya datang ke Kolombia dan berencana menetap disana dengan membuka sekolah surfing.

Disana, Nick bertemu dengan gadis lokal nan menawan, Maria (Claudia Traisac), yang ternyata adalah keponakan dari Escobar. Nick yang naif awalnya menganggap Escobar sebagai politikus lokal biasa yang dermawan, namun saat melihat gaya hidupnya yang mewah dan saat Maria bilang bahwa pamannya tersebut berbisnis kokain, Nick menyadari bahwa pamannya tersebut tak seperti yang terlihat.


Sebenarnya saat pertama kali menonton saya sedikit kecewa, karena kisahnya bukan berfokus pada Escobar melainkan pada pemuda Kanada fiktif yang terlibat dalam rezim Escobar. Poster dan judul filmnya sedikit menyesatkan. Namun dengan mengesampingkan hal tersebut, film ini cukup menarik untuk dinikmati.

Poin yang saya suka dari film ini adalah bagaimana sinematografi dari Luis David Sansans menangkap dengan baik pemandangan lokasi tropis yang indah. Lanskap pantai yang menawan, hutan tropis, hingga matahari sore dan pencahayaan disorot dengan angle yang tepat, menegaskan seperti apa "surga" yang lenyap. Scoring dari Max Richter merupakan faktor penting yang menciptakan atmosfer film.

Dengan jargon "Welcome to the Family", film ini menjadi campuran inferior dari Godfather dan Scarface, dengan menyoroti kehidupan keluarga mafia pada paruh pertamanya. Mulai dari tengah film, diperlihatkan kelaliman Escobar yang tega melenyapkan semua kenalan demi keamanan dirinya.

Untuk ukuran karya debut sebagai sutradara dari DiStefano, Paradise Lost adalah film yang ambisius dan solid. Pace terjaga dengan stabil dari awal hingga akhir film. Transisi cerita dari kisah romantis menjadi tipikal thriller kucing-kucingan mengalir dengan baik. Dengan tujuan relevansi, DiStefano memakai aktor Hispanik dan sebagian besar bahasa yang digunakan dalam film adalah bahasa Spayol — yang merupakan bahasa nasional Kolombia. Hutcherson pun hanya di banyak scene bahkan harus berbicara dengan bahasa Spanyol.

Hutcherson memberikan penampilan yang tak beda jauh dengan perannya dalam The Hunger Games sebagai pria naif yang menjadi korban situasi. Di lain pihak, meski mendapat porsi yang lebih sedikit, Del Toro tampil lebih superior sebagai mafia karismatik yang multidimensi, seorang family-man, seorang dermawan ala Robin Hood, namun juga sebagai penguasa kartel kokain terbesar di dunia.

Film ini adalah kisah cinta, bagaimana seorang pemuda polos yang menjalin cinta dengan gadis lokal harus terlibat dalam jaringan kartel narkoba, dengan latar belakang era kejatuhan Escobar. Bagi anda yang tak terlalu tahu bagaimana seorang Escobar sebenarnya — seperti halnya saya, film ini takkan menambah wawasan selain dari apa yang telah kita tahu: bandar narkoba yang kejam, tanpa konpromi dan sangat berpengaruh. Pada akhirnya, Paradise Lost adalah film melodrama-thriller yang menarik dan menegangkan hingga akhir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Escobar: Paradise Lost' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Remaja

Sutradara Andrea DiStefano
Penulis Andrea DiStefano
Pemain Benicio Del Toro, Josh Hutcherson, Claudia Traisac

Meski judul dan posternya sedikit menyesatkan, karya debut sutradara Andrea DiStefano ini merupakan film romance-thriller dengan pace yang stabil dan menarik hingga akhir.

“Welcome to the family."
— Escobar
Pablo Escobar adalah mafia narkoba terkejam dan terkaya dalam sejarah Kolombia, dengan aset tercatat mencapai $30 miliar. Meski film ini sedikit menyoroti masa-masa kejatuhannya di tahun 1991, namun Escobar bukanlah tokoh utama. Alih-alih, dia menjadi latar belakang dari kisah cinta romantis bercampur thriller kriminal. Campuran yang aneh, namun sutradara Andrea DiStefano berhasil menggabungkannya dengan apik.

Dimulai dengan setting saat penyerahan dirinya pada pemerintah, Escobar (Benicio del Toro) memberikan misi pada seorang pemuda bernama Nick (Josh Hutcherson) untuk menyembunyikan hartanya. Adegan ini tentu membuat kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pemuda kulit putih menjadi tangan kanan "Raja Kokain" tersebut. Jangan kuatir, karena kita akan dibawa ke beberapa tahun sebelumnya dimana Nick bersama kakaknya untuk pertama kalinya datang ke Kolombia dan berencana menetap disana dengan membuka sekolah surfing.

Disana, Nick bertemu dengan gadis lokal nan menawan, Maria (Claudia Traisac), yang ternyata adalah keponakan dari Escobar. Nick yang naif awalnya menganggap Escobar sebagai politikus lokal biasa yang dermawan, namun saat melihat gaya hidupnya yang mewah dan saat Maria bilang bahwa pamannya tersebut berbisnis kokain, Nick menyadari bahwa pamannya tersebut tak seperti yang terlihat.


Sebenarnya saat pertama kali menonton saya sedikit kecewa, karena kisahnya bukan berfokus pada Escobar melainkan pada pemuda Kanada fiktif yang terlibat dalam rezim Escobar. Poster dan judul filmnya sedikit menyesatkan. Namun dengan mengesampingkan hal tersebut, film ini cukup menarik untuk dinikmati.

Poin yang saya suka dari film ini adalah bagaimana sinematografi dari Luis David Sansans menangkap dengan baik pemandangan lokasi tropis yang indah. Lanskap pantai yang menawan, hutan tropis, hingga matahari sore dan pencahayaan disorot dengan angle yang tepat, menegaskan seperti apa "surga" yang lenyap. Scoring dari Max Richter merupakan faktor penting yang menciptakan atmosfer film.

Dengan jargon "Welcome to the Family", film ini menjadi campuran inferior dari Godfather dan Scarface, dengan menyoroti kehidupan keluarga mafia pada paruh pertamanya. Mulai dari tengah film, diperlihatkan kelaliman Escobar yang tega melenyapkan semua kenalan demi keamanan dirinya.

Untuk ukuran karya debut sebagai sutradara dari DiStefano, Paradise Lost adalah film yang ambisius dan solid. Pace terjaga dengan stabil dari awal hingga akhir film. Transisi cerita dari kisah romantis menjadi tipikal thriller kucing-kucingan mengalir dengan baik. Dengan tujuan relevansi, DiStefano memakai aktor Hispanik dan sebagian besar bahasa yang digunakan dalam film adalah bahasa Spayol — yang merupakan bahasa nasional Kolombia. Hutcherson pun hanya di banyak scene bahkan harus berbicara dengan bahasa Spanyol.

Hutcherson memberikan penampilan yang tak beda jauh dengan perannya dalam The Hunger Games sebagai pria naif yang menjadi korban situasi. Di lain pihak, meski mendapat porsi yang lebih sedikit, Del Toro tampil lebih superior sebagai mafia karismatik yang multidimensi, seorang family-man, seorang dermawan ala Robin Hood, namun juga sebagai penguasa kartel kokain terbesar di dunia.

Film ini adalah kisah cinta, bagaimana seorang pemuda polos yang menjalin cinta dengan gadis lokal harus terlibat dalam jaringan kartel narkoba, dengan latar belakang era kejatuhan Escobar. Bagi anda yang tak terlalu tahu bagaimana seorang Escobar sebenarnya — seperti halnya saya, film ini takkan menambah wawasan selain dari apa yang telah kita tahu: bandar narkoba yang kejam, tanpa konpromi dan sangat berpengaruh. Pada akhirnya, Paradise Lost adalah film melodrama-thriller yang menarik dan menegangkan hingga akhir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Escobar: Paradise Lost' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Remaja

Sutradara Andrea DiStefano
Penulis Andrea DiStefano
Pemain Benicio Del Toro, Josh Hutcherson, Claudia Traisac