Showing posts with label Misteri. Show all posts
Showing posts with label Misteri. Show all posts

Saturday, February 16, 2019

Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)
link : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Baca juga


Misteri

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Friday, February 1, 2019

Review Film: 'Burning' (2018)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Burning' (2018)
link : Review Film: 'Burning' (2018)

Baca juga


Misteri

'Burning' adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens.

“Why do we live? What is the significance of living?”
— Shin Hae-mi
Rating UP:
Sepanjang sejarah perfilman thriller, Burning barangkali merupakan salah satu film yang paling tak konklusif dari segi misteri. Namun, secara emosional, ia sangat memuaskan. Film ini dibangun dengan perlahan tapi sangat terukur, mencekat kita lewat cara yang tak terduga sembari memberi cukup ruang agar bobot emosionalnya terakumulasi dengan begitu hebat. Semua ini kemudian mengantarkan kita ke momen puncak yang saking gregetnya kita merasa sangat butuh sebuah pelepasan. Tidak bisa tidak. Wajib.

"Ya Tuhan, satu pelepasan saja dan saya akan lega," kita pikir.

Dan BAM! Burning memberikannya dengan cara dan waktu yang tepat.


Saya bisa menggambarkan Burning dengan deskripsi sederhana: sebuah cinta segitiga yang berujung pada cerita kriminal. Tapi saya bakal sotoy. Film ini jauh lebih kompleks daripada itu. Lagipula, saya tak tahu apakah deskripsi tersebut memang mewakili atau tidak. Saya bisa saja menonton film ini lebih dari 10 kali, dan ujung-ujungnya tetap saja tak bakal sepenuhnya yakin dengan apa yang (saya kira) saya lihat. Burning penuh dengan ketidakpastian dan justru itulah yang membuatnya sangat menegangkan.

Kita sebagai penonton, sama seperti para karakter di dalam film, tak persis tahu apa yang sebenarnya terjadi dan melihat karakter lain lewat kacamata masing-masing; persepsi yang sebetulnya hanyalah produk ambigu dari pengalaman hidup yang cuma sebentar dengan orang yang dimaksud. Apakah mereka memang betul seperti apa yang kita kira?

Mari kita mulai dengan karakter utama kita, Jongsu (Yoo Ah-in), pria kampung yang bercita-cita menjadi penulis walau saat ini hanya berkutat sebagai kurir di kota Seoul. Jongsu pendiam dan tak begitu ekspresif. Ia hanyalah pria biasa yang sama sekali tak mencolok. Namun seorang SPG seksi yang ditemuinya tak sengaja di jalan bilang bahwa mereka saling kenal. Katanya mereka dulu adalah teman sekelas di kampung. Jongsu melongo.

"Aku operasi plastik," celoteh si SPG. Cewek ini namanya Haemi (Jeon Jong-seo), seorang optimis, penuh semangat, dan tampaknya sangat polos. Saat nongkrong, Haemi kemudian bilang kepada Jongsu bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Tak butuh lama, Jongsu diajak main ke apartemen Haemi dan mereka melakukan hal yang iya-iya disana.

Jelas sekali kalau Jongsu langsung merasa terikat dengan Haemi. Ia bahkan mau saja saat dimintai tolong untuk memberi makan kucing Haemi selama Haemi pergi ke Afrika dalam sebuah perjalanan mencari jati diri. Setiap hari Jongsu mengunjungi apartemen Haemi, dan setiap hari itu pula ia merancap sambil membayangkan Haemi.

Iya. Merancap. Jongsu memang punya kehidupan yang sedikit, ehm, ganjil. Ia seperti selalu sendirian dan tak punya satu pun teman. Kita mendengar bahwa ayahnya sedang dalam masalah, tapi kita tak perlu tahu persisnya apa. Kita tahu bahwa sang ibu sudah meninggalkannya. Kita tahu Jongsu rutin mengunjungi kebun ayahnya di kampung. Film menuturkan detail kehidupan Jongsu dengan perlahan dan telaten, tapi rasa-rasanya gambaran besarnya masih saja buram.

Namun yang lebih buram adalah Ben (Steven Yeun). Jongsu ketemu Ben saat menjemput Haemi di bandara sekembalinya dari Afrika. Situasi ini menciptakan hubungan segitiga yang tak nyaman. Ben adalah teman seperjalanan Haemi. Tapi mereka sepertinya sangat akrab. Apakah mereka jadian? Entahlah. Haemi sepertinya menikmati sekali saat jalan dengan Ben, tapi ia juga berusaha untuk selalu mengajak Jongsu. Ben tampaknya juga tak pernah keberatan.

Jongsu punya firasat buruk soal Ben. Ada sesuatu yang janggal dengan Ben; ia sosialita, punya mobil Porsche dan apartemen mewah, tapi kelihatannya tak punya pekerjaan. Kepribadiannya mulus tapi nyaris hampa, bahkan mungkin punya bakat psikopat. Ben memberitahu Jongsu dan Haemi bahwa ia tak pernah menangis seumur hidup. Penampilan Steven Yeun luar biasa; ia menciptakan karakter dingin yang penuh misteri.

Film ini memang punya kemasan thriller kriminal. Namun ia lebih terasa seperti studi psikologi karakter. Atau barangkali lebih tepat: permainan studi psikologi karakter. Kita melihat sesuatu cukup banyak, tapi kita tetap saja tak tahu banyak. Apa maksud Ben terhadap Jongsu? Atau terhadap Haemi?

Atau soal Haemi sendiri. Apakah ia benar bisa dipercaya? Apakah Jongsu dulu memang pernah menyelamatkan Haemi saat terjebak di sumur? Atau itu hanya karangan Haemi belaka? Cerita film ini seolah cerita antara dua orang pria yang sangat berbeda dengan satu wanita polos terjebak di tengahnya. Apa benar begitu? Kebenaran hakiki adalah sebuah kemustahilan dalam Burning. Kita diperdaya untuk membuat asumsi yang belum tentu kebenarannya.

Ketika Haemi tiba-tiba menghilang, Jongsu hampir sepenuhnya yakin bahwa pelakunya adalah Ben, walau tak ada bukti yang jelas. Ini memancing Jongsu untuk membuntuti Ben. Jongsu ingat bahwa Ben pernah bilang bahwa ia suka membakar greenhouse; bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk sekadar melihat greenhouse tersebut terbakar. Dan target selanjutnya, kata Ben sembari tersenyum, berada sangat dekat dengan Jongsu. Jongsu sangat percaya dengan ini sampai ia mengecek semua greenhouse di kampungnya. Jongsu tak menemukan apapun. Apakah Ben benar-benar tukang bakar atau cuma sedang mempermainkannya?

Film ini digarap oleh sutradara Lee Chang-dong dari cerita pendek karya penulis kenamaan Jepang, Haruki Murakami. Plotnya terasa berjalan dengan alami meski latarnya diubah menjadi di Korea. Film Lee dengan luar biasa menangkap nuansa kesendirian dan hasrat terpendam yang kerap ditemui dalam karya Murakami. Poin utamanya adalah apa yang diutarakan Haemi kepada Jongsu sebelum berangkat ke Afrika: "Semua orang lapar akan sesuatu."

Burning adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens. Kita sukses dijaga untuk merasa tak nyaman dalam durasinya yang sangat panjang, nyaris 3 jam. Metode narasinya barangkali adalah aplikasi sinematis dari teori Kucing Schrodinger. Teori ini menyebutkan bahwa seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kotak radioaktif, berada dalam kondisi hidup dan mati secara simultan. Kita belum tahu status kucingnya almarhum atau bukan sebelum kita melihat isi kotak tersebut. Entah sengaja atau tidak, Lee bahkan menyelipkan Kucing Schrodinger ala-ala ke dalam Burning. Jongsu dengan rutin memberi makan kucing Haemi, tapi ia tak pernah melihat wujud kucing tersebut. Meski begitu, makanannya selalu habis.

Saya sengaja bawa-bawa teori fisika kuantum biar dibilang intelek.

Lee tidak menciptakan Kucing Schrodinger-nya dengan manipulasi palsu. Alih-alih, ia melakukannya dengan memberikan latar situasi yang sedemikian kompleks demi menciptakan tensi. Ada perbedaan strata sosial dan kepribadian yang mencolok antara Jongsu dengan Ben. Apakah Jongsu merasa iri terhadap Ben? Ataukah Jongsu murka karena Ben tak mengapresiasi Haemi seperti ia menyukai Haemi? Saat Haemi bercerita di depan teman-teman Ben, Jongsu melihat sekilas Ben yang menguap bosan. Dan barangkali tak tahu itu semua, Haemi malah dengan nyaman menari bertelanjang dada di depan Ben.

Ada semacam sensasi bahaya yang mengendap-endap di dalam Burning. Dan kita tak tahu pasti apa itu. Saya lebih suka untuk berpikir bahwa apa yang terjadi tak seperti kelihatannya. Karena pilihan tersebut memang lebih nyaman. Namun, tetap ada rasa yang mengganjal bahwa apa yang terjadi memang seperti yang kita kira. Lebih mengerikan untuk dibayangkan, tapi tak apa, karena Jongsu sudah mendapat sebuah pelepasan. Kotak radioaktif kucing Schrodinger diputuskan untuk dimusnahkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Burning

148 menit
Dewasa
Lee Chang-dong
Oh Jung-mi, Lee Chang-dong (screenplay), Haruki Murakami (cerita)
Lee Joon-dong, Lee Chang-dong
Hong Kyung-pyo
Mowg

'Burning' adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens.

“Why do we live? What is the significance of living?”
— Shin Hae-mi
Rating UP:
Sepanjang sejarah perfilman thriller, Burning barangkali merupakan salah satu film yang paling tak konklusif dari segi misteri. Namun, secara emosional, ia sangat memuaskan. Film ini dibangun dengan perlahan tapi sangat terukur, mencekat kita lewat cara yang tak terduga sembari memberi cukup ruang agar bobot emosionalnya terakumulasi dengan begitu hebat. Semua ini kemudian mengantarkan kita ke momen puncak yang saking gregetnya kita merasa sangat butuh sebuah pelepasan. Tidak bisa tidak. Wajib.

"Ya Tuhan, satu pelepasan saja dan saya akan lega," kita pikir.

Dan BAM! Burning memberikannya dengan cara dan waktu yang tepat.


Saya bisa menggambarkan Burning dengan deskripsi sederhana: sebuah cinta segitiga yang berujung pada cerita kriminal. Tapi saya bakal sotoy. Film ini jauh lebih kompleks daripada itu. Lagipula, saya tak tahu apakah deskripsi tersebut memang mewakili atau tidak. Saya bisa saja menonton film ini lebih dari 10 kali, dan ujung-ujungnya tetap saja tak bakal sepenuhnya yakin dengan apa yang (saya kira) saya lihat. Burning penuh dengan ketidakpastian dan justru itulah yang membuatnya sangat menegangkan.

Kita sebagai penonton, sama seperti para karakter di dalam film, tak persis tahu apa yang sebenarnya terjadi dan melihat karakter lain lewat kacamata masing-masing; persepsi yang sebetulnya hanyalah produk ambigu dari pengalaman hidup yang cuma sebentar dengan orang yang dimaksud. Apakah mereka memang betul seperti apa yang kita kira?

Mari kita mulai dengan karakter utama kita, Jongsu (Yoo Ah-in), pria kampung yang bercita-cita menjadi penulis walau saat ini hanya berkutat sebagai kurir di kota Seoul. Jongsu pendiam dan tak begitu ekspresif. Ia hanyalah pria biasa yang sama sekali tak mencolok. Namun seorang SPG seksi yang ditemuinya tak sengaja di jalan bilang bahwa mereka saling kenal. Katanya mereka dulu adalah teman sekelas di kampung. Jongsu melongo.

"Aku operasi plastik," celoteh si SPG. Cewek ini namanya Haemi (Jeon Jong-seo), seorang optimis, penuh semangat, dan tampaknya sangat polos. Saat nongkrong, Haemi kemudian bilang kepada Jongsu bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Tak butuh lama, Jongsu diajak main ke apartemen Haemi dan mereka melakukan hal yang iya-iya disana.

Jelas sekali kalau Jongsu langsung merasa terikat dengan Haemi. Ia bahkan mau saja saat dimintai tolong untuk memberi makan kucing Haemi selama Haemi pergi ke Afrika dalam sebuah perjalanan mencari jati diri. Setiap hari Jongsu mengunjungi apartemen Haemi, dan setiap hari itu pula ia merancap sambil membayangkan Haemi.

Iya. Merancap. Jongsu memang punya kehidupan yang sedikit, ehm, ganjil. Ia seperti selalu sendirian dan tak punya satu pun teman. Kita mendengar bahwa ayahnya sedang dalam masalah, tapi kita tak perlu tahu persisnya apa. Kita tahu bahwa sang ibu sudah meninggalkannya. Kita tahu Jongsu rutin mengunjungi kebun ayahnya di kampung. Film menuturkan detail kehidupan Jongsu dengan perlahan dan telaten, tapi rasa-rasanya gambaran besarnya masih saja buram.

Namun yang lebih buram adalah Ben (Steven Yeun). Jongsu ketemu Ben saat menjemput Haemi di bandara sekembalinya dari Afrika. Situasi ini menciptakan hubungan segitiga yang tak nyaman. Ben adalah teman seperjalanan Haemi. Tapi mereka sepertinya sangat akrab. Apakah mereka jadian? Entahlah. Haemi sepertinya menikmati sekali saat jalan dengan Ben, tapi ia juga berusaha untuk selalu mengajak Jongsu. Ben tampaknya juga tak pernah keberatan.

Jongsu punya firasat buruk soal Ben. Ada sesuatu yang janggal dengan Ben; ia sosialita, punya mobil Porsche dan apartemen mewah, tapi kelihatannya tak punya pekerjaan. Kepribadiannya mulus tapi nyaris hampa, bahkan mungkin punya bakat psikopat. Ben memberitahu Jongsu dan Haemi bahwa ia tak pernah menangis seumur hidup. Penampilan Steven Yeun luar biasa; ia menciptakan karakter dingin yang penuh misteri.

Film ini memang punya kemasan thriller kriminal. Namun ia lebih terasa seperti studi psikologi karakter. Atau barangkali lebih tepat: permainan studi psikologi karakter. Kita melihat sesuatu cukup banyak, tapi kita tetap saja tak tahu banyak. Apa maksud Ben terhadap Jongsu? Atau terhadap Haemi?

Atau soal Haemi sendiri. Apakah ia benar bisa dipercaya? Apakah Jongsu dulu memang pernah menyelamatkan Haemi saat terjebak di sumur? Atau itu hanya karangan Haemi belaka? Cerita film ini seolah cerita antara dua orang pria yang sangat berbeda dengan satu wanita polos terjebak di tengahnya. Apa benar begitu? Kebenaran hakiki adalah sebuah kemustahilan dalam Burning. Kita diperdaya untuk membuat asumsi yang belum tentu kebenarannya.

Ketika Haemi tiba-tiba menghilang, Jongsu hampir sepenuhnya yakin bahwa pelakunya adalah Ben, walau tak ada bukti yang jelas. Ini memancing Jongsu untuk membuntuti Ben. Jongsu ingat bahwa Ben pernah bilang bahwa ia suka membakar greenhouse; bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk sekadar melihat greenhouse tersebut terbakar. Dan target selanjutnya, kata Ben sembari tersenyum, berada sangat dekat dengan Jongsu. Jongsu sangat percaya dengan ini sampai ia mengecek semua greenhouse di kampungnya. Jongsu tak menemukan apapun. Apakah Ben benar-benar tukang bakar atau cuma sedang mempermainkannya?

Film ini digarap oleh sutradara Lee Chang-dong dari cerita pendek karya penulis kenamaan Jepang, Haruki Murakami. Plotnya terasa berjalan dengan alami meski latarnya diubah menjadi di Korea. Film Lee dengan luar biasa menangkap nuansa kesendirian dan hasrat terpendam yang kerap ditemui dalam karya Murakami. Poin utamanya adalah apa yang diutarakan Haemi kepada Jongsu sebelum berangkat ke Afrika: "Semua orang lapar akan sesuatu."

Burning adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens. Kita sukses dijaga untuk merasa tak nyaman dalam durasinya yang sangat panjang, nyaris 3 jam. Metode narasinya barangkali adalah aplikasi sinematis dari teori Kucing Schrodinger. Teori ini menyebutkan bahwa seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kotak radioaktif, berada dalam kondisi hidup dan mati secara simultan. Kita belum tahu status kucingnya almarhum atau bukan sebelum kita melihat isi kotak tersebut. Entah sengaja atau tidak, Lee bahkan menyelipkan Kucing Schrodinger ala-ala ke dalam Burning. Jongsu dengan rutin memberi makan kucing Haemi, tapi ia tak pernah melihat wujud kucing tersebut. Meski begitu, makanannya selalu habis.

Saya sengaja bawa-bawa teori fisika kuantum biar dibilang intelek.

Lee tidak menciptakan Kucing Schrodinger-nya dengan manipulasi palsu. Alih-alih, ia melakukannya dengan memberikan latar situasi yang sedemikian kompleks demi menciptakan tensi. Ada perbedaan strata sosial dan kepribadian yang mencolok antara Jongsu dengan Ben. Apakah Jongsu merasa iri terhadap Ben? Ataukah Jongsu murka karena Ben tak mengapresiasi Haemi seperti ia menyukai Haemi? Saat Haemi bercerita di depan teman-teman Ben, Jongsu melihat sekilas Ben yang menguap bosan. Dan barangkali tak tahu itu semua, Haemi malah dengan nyaman menari bertelanjang dada di depan Ben.

Ada semacam sensasi bahaya yang mengendap-endap di dalam Burning. Dan kita tak tahu pasti apa itu. Saya lebih suka untuk berpikir bahwa apa yang terjadi tak seperti kelihatannya. Karena pilihan tersebut memang lebih nyaman. Namun, tetap ada rasa yang mengganjal bahwa apa yang terjadi memang seperti yang kita kira. Lebih mengerikan untuk dibayangkan, tapi tak apa, karena Jongsu sudah mendapat sebuah pelepasan. Kotak radioaktif kucing Schrodinger diputuskan untuk dimusnahkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Burning

148 menit
Dewasa
Lee Chang-dong
Oh Jung-mi, Lee Chang-dong (screenplay), Haruki Murakami (cerita)
Lee Joon-dong, Lee Chang-dong
Hong Kyung-pyo
Mowg

Saturday, January 26, 2019

Review Film: 'Glass' (2019)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Glass' (2019)
link : Review Film: 'Glass' (2019)

Baca juga


Misteri

Masalah utama dari 'Glass' adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur.

“This is not a cartoon. This is the real world.”
— Elijah Price
Rating UP:
Apakah kekuatan super itu nyata? Ataukah hal tersebut cuma sugesti yang dipercaya oleh orang-orang yang merasa dirinya superhero? Obsesi yang berlebihan kadang memang bisa menciptakan delusi. Dan hal inilah yang menjadi salah satu poin dari Glass, film penutup dari trilogi "superhero realistis" besutan M Night Shyamalan. Konsep yang menarik karena ia melakukan pendekatan kontemplatif terhadap subgenre yang sangat fantasi. Bagaimana kalau ternyata kemampuan terbang Superman hanyalah imajinasi di kepala Clark Kent?


Sayangnya, kedahsyatan Glass cuma sebatas ide. Konsep tersebut sama sekali tak nampol sedikitpun. Masalah utama dari Glass adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur, padahal jelas-jelas ia adalah bubur. Sebuah usaha unfaedah yang sama manfaatnya dengan memperdebatkan Paslon Presiden mana yang paling sempurna. Semakin ngeselin karena usaha ini menghabiskan sebagian besar durasi film.

Film ini dimaksudkan sebagai kulminasi dari film Unbreakable-nya Shyamalan yang dirilis di tahun 2000 dan Split, satu lagi filmnya yang membuat kita kaget dengan ending-nya yang mengisyaratkan bahwa kedua film tersebut berada di semesta yang sama. David Dunn (Bruce Willis) akhirnya akan berhadapan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), dimana Mr Glass (Samuel L Jackson) berada di tengah konflik. Dua film sebelumnya memperlihatkan dengan kepada kita mengenai tiga individu dengan kekuatan super. Di Unbreakable, David berhasil menangani rencaha jahat dari si jenius Mr Glass berkat kekuatan tubuhnya yang "tak bisa patah". Dalam Split, kita menyaksikan bahwa salah satu dari dua lusin kepribadian Kevin memberikannya kemampuan memanjat dinding.

Namun Glass mencoba untuk meng-undo semuanya; mencoba memutarbalikkan semua yang kita tahu. Bahwa para individu super ini sebenarnya bukanlah individu super, melainkan hanya orang-orang gila dengan imajinasi yang besar. "Ini adalah semacam delusi yang spesifik," kata Dr Ellie (Sarah Paulson). Lha, trus yang kita tonton di dua film sebelumnya apa dong Udiiiiiin! Ia menjelaskannya dengan metode spesial yang biasa dipakai pacar saat tercyduk jalan sama orang lain: panjang lebar dan rumit, hingga kita langsung tahu kalau itu cuma ngeles belaka.

Hal tersebut yang membuat Glass gagal dengan spektakuler. Glass menjadi film yang membosankan bagi penonton baru dan penonton lama. Penonton baru akan kebingungan karena film ini sangat bergantung pada film sebelumnya. Sedangkan penonton lama tak mendapat hal yang baru selain dari yang mereka dapat dari film sebelumnya, sebab Shyamalan tak mengembangkan cerita dari pondasi yang sudah ia buat melainkan hanya mencekoki kita dengan lagu lama. Kesannya, Shyamalan tak punya cerita dan tak bisa menemukan cara untuk menghubungkan film-filmnya.

Padahal karakter utama kita sudah terasa alami berada di satu semesta. David Dunn sekarang adalah Batman-nya Philadelphia; memberantas kejahatan jalanan dengan samaran kostum jas hujan yang membuatnya diberi julukan Sang Pengawas. Ia berhasil melacak keberadaan Kevin, psikopat dengan 24 kepribadian yang masih suka menculik dan membunuhi gadis-gadis muda. Mereka berkonfrontasi. Namun tak ada gedung yang akan meledak atau mobil yang akan berhamburan, karena mereka segera ditangkap dan dijebloskan ke sebuah rumah sakit jiwa.

Siapa sangka rumah sakit tersebut ternyata adalah tempat dimana Elijah Pryce alias Mr Glass ditahan. Ini adalah rumah sakit jiwa dengan penjagaan maksimal. Ada kamera di setiap sudut untuk mengawasi setiap pergerakan pasien. Untuk mengatasi ide-ide jenius nan licik meluncur keluar dari otaknya, Elijah dibius dengan obat, membuatnya berada dalam keadaan katatonik. Ada lampu khusus yang bisa menahan agar kepribadian Sang Monster dari Kevin tidak keluar. Sedangkan sel David dilengkapi dengan saluran yang bisa menyemprotkan air yang bisa membuatnya lemas.

Sebagian besar film menghabiskan waktu di rumah sakit ini. Disini lah Dr Ellie berusaha untuk merasionalisasi kemampuan super mereka. Spesialisasinya adalah menangani orang-orang yang merasa dirinya spesial. Ini menginjikankan filmnya untuk melakukan pendekatan yang sama seperti Unbreakable. Meski filmnya mengacu ke arah subgenre superhero, Shyamalan tak mengandalkan efek spesial. Kebanyakan aksinya digerakkan oleh dialog, tapi... GAK KAYAK GINI JUGA KELES! Hampir keseluruhan durasi didominasi dengan sesi terapi verbal yang membahas secara berulang-ulang soal kondisi mental mereka yang sudah kita khatamkan. Bahkan ada dialog gak guna yang menjelaskan dengan gamblang sesuatu yang telah dan sedang terjadi.

Ada pula percakapan ganjil mengenai hakikat superhero, buku komik, dll yang agaknya berhubungan dengan ending film, tapi saya sudah gak peduli lagi. Dan menjelaskan ini menjadi satu-satunya tugas penting bagi Spencer Treat Clark, Anya Taylor-Joy, dan Charlayne Woodard yang kembali membawakan peran mereka masing-masing dari film sebelumnya. Di satu sisi, Shyamalan terkesan tak ingin membuat filmnya terasa seperti film superhero. Ia tak menampilkan sekuens aksi yang barangkali kita semua harapkan. Namun di sisi lain, ia menekankan banget nget nget soal konsep superhero. Ambisinya untuk membuat film supehero tanpa memakai elemen standar superhero patut diapresiasi. Cuma sayang, filmnya tak punya energi.

Meski berjudul "Glass", Mr Glass sendiri tak mendapat sorotan berarti, setidaknya hingga menjelang akhir. Film ini kebanyakan diambil alih oleh Kevin dan kepribadian jamaknya. Penampilan James McAvoy menyuntikkan sedikit keseruan, dan Shyamalan dengan cerdik mengeksploitasi kemampuannya untuk berganti aksen dan gestur dalam sekejap mata lewat beberapa adegan one-take. Film ini menjadi wadah bagi Shyamalan untuk menunjukkan kemahirannya dalam mengeksekusi adegan, pemanfaatan angle, serta pembangunan suspens yang membuat kita merasa bahwa film ini terlihat lebih bagus dari sebenarnya.

Glass menjadi film dengan ide bagus dan penanganan mantap yang digoreng separo matang. Konsepnya lebih kaya dan tajam daripada apa yang kita tonton. Shayamalan dikenal sebagai tukang twist, tapi twist terbesarnya adalah bagaimana ia membangun trilogi film superhero tanpa sepengetahuan kita dalam rentang waktu hampir dua dekade. Artinya, Glass adalah sebuah klimaks. Dan kalau ini adalah klimaks yang ingin diberikan sedari awal oleh Shyamalan, maka foreplay bertahun-tahun rasanya sia-sia. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Glass

129 menit
Remaja - BO
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan, Jason Blum, Marc Bienstock, Ashwin Rajan
Mike Gioulakis
West Dylan Thordson

Masalah utama dari 'Glass' adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur.

“This is not a cartoon. This is the real world.”
— Elijah Price
Rating UP:
Apakah kekuatan super itu nyata? Ataukah hal tersebut cuma sugesti yang dipercaya oleh orang-orang yang merasa dirinya superhero? Obsesi yang berlebihan kadang memang bisa menciptakan delusi. Dan hal inilah yang menjadi salah satu poin dari Glass, film penutup dari trilogi "superhero realistis" besutan M Night Shyamalan. Konsep yang menarik karena ia melakukan pendekatan kontemplatif terhadap subgenre yang sangat fantasi. Bagaimana kalau ternyata kemampuan terbang Superman hanyalah imajinasi di kepala Clark Kent?


Sayangnya, kedahsyatan Glass cuma sebatas ide. Konsep tersebut sama sekali tak nampol sedikitpun. Masalah utama dari Glass adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur, padahal jelas-jelas ia adalah bubur. Sebuah usaha unfaedah yang sama manfaatnya dengan memperdebatkan Paslon Presiden mana yang paling sempurna. Semakin ngeselin karena usaha ini menghabiskan sebagian besar durasi film.

Film ini dimaksudkan sebagai kulminasi dari film Unbreakable-nya Shyamalan yang dirilis di tahun 2000 dan Split, satu lagi filmnya yang membuat kita kaget dengan ending-nya yang mengisyaratkan bahwa kedua film tersebut berada di semesta yang sama. David Dunn (Bruce Willis) akhirnya akan berhadapan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), dimana Mr Glass (Samuel L Jackson) berada di tengah konflik. Dua film sebelumnya memperlihatkan dengan kepada kita mengenai tiga individu dengan kekuatan super. Di Unbreakable, David berhasil menangani rencaha jahat dari si jenius Mr Glass berkat kekuatan tubuhnya yang "tak bisa patah". Dalam Split, kita menyaksikan bahwa salah satu dari dua lusin kepribadian Kevin memberikannya kemampuan memanjat dinding.

Namun Glass mencoba untuk meng-undo semuanya; mencoba memutarbalikkan semua yang kita tahu. Bahwa para individu super ini sebenarnya bukanlah individu super, melainkan hanya orang-orang gila dengan imajinasi yang besar. "Ini adalah semacam delusi yang spesifik," kata Dr Ellie (Sarah Paulson). Lha, trus yang kita tonton di dua film sebelumnya apa dong Udiiiiiin! Ia menjelaskannya dengan metode spesial yang biasa dipakai pacar saat tercyduk jalan sama orang lain: panjang lebar dan rumit, hingga kita langsung tahu kalau itu cuma ngeles belaka.

Hal tersebut yang membuat Glass gagal dengan spektakuler. Glass menjadi film yang membosankan bagi penonton baru dan penonton lama. Penonton baru akan kebingungan karena film ini sangat bergantung pada film sebelumnya. Sedangkan penonton lama tak mendapat hal yang baru selain dari yang mereka dapat dari film sebelumnya, sebab Shyamalan tak mengembangkan cerita dari pondasi yang sudah ia buat melainkan hanya mencekoki kita dengan lagu lama. Kesannya, Shyamalan tak punya cerita dan tak bisa menemukan cara untuk menghubungkan film-filmnya.

Padahal karakter utama kita sudah terasa alami berada di satu semesta. David Dunn sekarang adalah Batman-nya Philadelphia; memberantas kejahatan jalanan dengan samaran kostum jas hujan yang membuatnya diberi julukan Sang Pengawas. Ia berhasil melacak keberadaan Kevin, psikopat dengan 24 kepribadian yang masih suka menculik dan membunuhi gadis-gadis muda. Mereka berkonfrontasi. Namun tak ada gedung yang akan meledak atau mobil yang akan berhamburan, karena mereka segera ditangkap dan dijebloskan ke sebuah rumah sakit jiwa.

Siapa sangka rumah sakit tersebut ternyata adalah tempat dimana Elijah Pryce alias Mr Glass ditahan. Ini adalah rumah sakit jiwa dengan penjagaan maksimal. Ada kamera di setiap sudut untuk mengawasi setiap pergerakan pasien. Untuk mengatasi ide-ide jenius nan licik meluncur keluar dari otaknya, Elijah dibius dengan obat, membuatnya berada dalam keadaan katatonik. Ada lampu khusus yang bisa menahan agar kepribadian Sang Monster dari Kevin tidak keluar. Sedangkan sel David dilengkapi dengan saluran yang bisa menyemprotkan air yang bisa membuatnya lemas.

Sebagian besar film menghabiskan waktu di rumah sakit ini. Disini lah Dr Ellie berusaha untuk merasionalisasi kemampuan super mereka. Spesialisasinya adalah menangani orang-orang yang merasa dirinya spesial. Ini menginjikankan filmnya untuk melakukan pendekatan yang sama seperti Unbreakable. Meski filmnya mengacu ke arah subgenre superhero, Shyamalan tak mengandalkan efek spesial. Kebanyakan aksinya digerakkan oleh dialog, tapi... GAK KAYAK GINI JUGA KELES! Hampir keseluruhan durasi didominasi dengan sesi terapi verbal yang membahas secara berulang-ulang soal kondisi mental mereka yang sudah kita khatamkan. Bahkan ada dialog gak guna yang menjelaskan dengan gamblang sesuatu yang telah dan sedang terjadi.

Ada pula percakapan ganjil mengenai hakikat superhero, buku komik, dll yang agaknya berhubungan dengan ending film, tapi saya sudah gak peduli lagi. Dan menjelaskan ini menjadi satu-satunya tugas penting bagi Spencer Treat Clark, Anya Taylor-Joy, dan Charlayne Woodard yang kembali membawakan peran mereka masing-masing dari film sebelumnya. Di satu sisi, Shyamalan terkesan tak ingin membuat filmnya terasa seperti film superhero. Ia tak menampilkan sekuens aksi yang barangkali kita semua harapkan. Namun di sisi lain, ia menekankan banget nget nget soal konsep superhero. Ambisinya untuk membuat film supehero tanpa memakai elemen standar superhero patut diapresiasi. Cuma sayang, filmnya tak punya energi.

Meski berjudul "Glass", Mr Glass sendiri tak mendapat sorotan berarti, setidaknya hingga menjelang akhir. Film ini kebanyakan diambil alih oleh Kevin dan kepribadian jamaknya. Penampilan James McAvoy menyuntikkan sedikit keseruan, dan Shyamalan dengan cerdik mengeksploitasi kemampuannya untuk berganti aksen dan gestur dalam sekejap mata lewat beberapa adegan one-take. Film ini menjadi wadah bagi Shyamalan untuk menunjukkan kemahirannya dalam mengeksekusi adegan, pemanfaatan angle, serta pembangunan suspens yang membuat kita merasa bahwa film ini terlihat lebih bagus dari sebenarnya.

Glass menjadi film dengan ide bagus dan penanganan mantap yang digoreng separo matang. Konsepnya lebih kaya dan tajam daripada apa yang kita tonton. Shayamalan dikenal sebagai tukang twist, tapi twist terbesarnya adalah bagaimana ia membangun trilogi film superhero tanpa sepengetahuan kita dalam rentang waktu hampir dua dekade. Artinya, Glass adalah sebuah klimaks. Dan kalau ini adalah klimaks yang ingin diberikan sedari awal oleh Shyamalan, maka foreplay bertahun-tahun rasanya sia-sia. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Glass

129 menit
Remaja - BO
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan, Jason Blum, Marc Bienstock, Ashwin Rajan
Mike Gioulakis
West Dylan Thordson

Thursday, June 28, 2018

Review Film: 'Hereditary' (2018)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Hereditary' (2018)
link : Review Film: 'Hereditary' (2018)

Baca juga


Misteri

Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim 'yang terseram', tunggu dulu.

“Who's going to take care of me?”
— Charlie Graham
Rating UP:
Kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir. Ada beberapa hal yang mau tak mau harus kita terima begitu saja. Tak bisa protes, karena itu sudah turunan. Demikianlah yang dialami keluarga Graham. Keluarga ini sepertinya selalu dikutuk dengan kemalangan dalam bentuk penyakit kejiwaan. Hereditary membawa istilah "warisan" ke sisi yang paling ekstrim, dan untuk itu, Ari Aster menyajikannya lewat pendekatan yang sangat intens. Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim "yang terseram", tunggu dulu.

Seram itu relatif. Bagi saya yang anak kosan, hal yang terseram tetaplah tanggal tua. Okefine, garing. Lanjut.


Menyebutnya plek sebagai film horor mungkin akan membuat sebagian penonton kasual kecele. Horor memang, bahkan di satu titik masuk ke ranah supranatural, tapi bukan horor yang berfokus pada hantu-hantuan atau sadis-sadisan belaka. Memang ada adegan penampakan dan barang yang bergerak sendiri serta bagian yang berdarah-darah, namun bukan aktivitas paranormal yang membuat kita takut. Alih-alih, ia menggunakan elemen supranatural untuk mengeksplorasi tragedi emosional. Kita ngeri akan apa yang mungkin bakal menimpa mereka atau apa yang mungkin bakal mereka lakukan.

Ini sukses membuat kita duduk tak nyaman nyaris sepanjang durasi berkat kelihaian pembuatnya dalam membangun atmosfer. Kita langsung bisa menyadari bahwa kita berada di tangan sutradara yang mantap, terlepas dari fakta bahwa ini adalah film panjang pertamanya. Horornya berasal dari sumber teror yang paling hakiki, yaitu realitas jiwa manusia itu sendiri. Namun ini juga membuatnya menjadi film yang pelik. Ia berusaha begitu dekat dengan dunia nyata sampai printilan-printilan cela yang biasanya saya abaikan dalam sebuah film horor tradisional menyentil logika saya berkali-kali, yang jujur saja mengganggu kenikmatan menonton.

Apa yang akan menimpa keluarga Graham, silakan anda temukan sendiri. Tapi saya bisa memberi tahu apa yang baru saja mereka alami. Film dibuka dengan pemakaman. Nenek baru saja meninggal. Meski berduka, Annie (Toni Collette) bilang bahwa ia tak pernah dekat-dekat amat dengan ibunya tersebut. Sang ibu, katanya, adalah orang tertutup yang hanya mau bergaul dengan teman-teman eksklusifnya.

Yang bermasalah bukan cuma si nenek. Anak sulung Annie, Peter (Alex Wolff) adalah remaja canggung yang suka bengong dan ngerokok ganja. Sementara anak bungsunya, Charlie (Milly Shapiro)... sangat aneh. Betul-betul aneh. Ia suka bikin suara "klok" dengan mulut, rajin membuat gambar-gambar seram di buku catatan, dan itu buat apa potongan kepala dari bangkai burung dikantongin. Cuma si ayah (Gabriel Byrne) yang kelihatan agak normal.

Bagaimana dengan Annie? Ia sendiri bahkan tak yakin dengan kesehatan mentalnya. Pernah dulu ia melakukan sesuatu saat sleepwalking yang nyaris membahayakan nyawa kedua anaknya. Di hari biasa, Annie adalah seniman miniatur yang sedang punya proyek komersil, tapi malah membuat membuat miniatur rumahnya sendiri, termasuk reka ulang dari beberapa tragedi yang menimpa keluarganya. Apakah ini perwujudan dari hasratnya yang ingin mengontrol nasib keluarga yang tak bisa ia kendalikan? Atau... atau...

Yang jelas, kematian si nenek memicu kemalangan berturut-turut yang tak terduga buat mereka, yang sebaiknya tak saya ungkap. Film ini bahkan berani mengambil pilihan naratif yang sangat mengejutkan di paruh awal film, saya sampai tak mempercayai apa yang baru saja saya lihat. Setiap tragedi baru terjadi, keluarga ini semakin hancur dan anggotanya semakin menjauh. Kemudian masuklah Joan (Ann Dowd), ibu-ibu simpatik yang baru saja kehilangan anaknya, yang kemudian menunjukkan Annie cara untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah mati.

Ada semacam sense of confusion yang terasa hadir, namun agaknya ini disengaja karena Aster menempatkan kita langsung di tengah-tengah keluarga Graham. Setidaknya sampai momen klimaks, kita tak tahu apakah yang kita lihat benar-benar terjadi atau tidak. Yang menuntun kita adalah penampilan kuat dari pemainnya, terutama Collette. Annie Graham adalah karakter yang kompleks, dan Collette sukses membawakannya. Ia mampu berpindah emosi secara ekstrim dalam waktu singkat, bahkan dalam satu adegan. Ini adalah akting yang istimewa, bukan hanya dalam konteks horor saja. Penampilannya menyayat hati. Wolff memberikan akting yang sangat ganjil, tak seperti akting yang biasa kita lihat. Tapi worked dan sangat intens.

Tak hanya urusan aktor, Aster juga mengomandoi penuh filmnya secara teknis. Secara audio-visual, film ini sempurna. Sinematografi suram dari Pawel Pogorzleski, scoring mencekam dari Colin Stetson, dan penguasaan ruang dan tempat oleh Aster menciptakan sensasi kengerian nanggung-nanggung sedap dimana kita selalu mengantisipasi sesuatu yang buruk bakal terjadi. Kita dikondisikan berada di posisi "hampir" sepanjang waktu; tegang tapi berhenti tepat sebelum klimaks. Begitu terus, berulang-ulang. Sedari awal, Aster sudah menanamkan beberapa foreshadowing dan petunjuk untuk membantu kita mencerna detil plot sekaligus memainkan ekspektasi. Dan ketika itu terjadi, ia tak disajikan lewat jumpscares melainkan imagery pembuat syok yang kemungkinan besar akan terpatri lama di benak kita.

Meski begitu, saya tak menyukai film ini sebesar yang saya harapkan. Film ini menjaga ketegangannya hampir selama satu jam lebih, tapi kemudian meloncat keluar rel di paruh akhir. Meteran suspension of disbelief saya sudah hampir lewat batas maksimal saat film beberapa kali menyederhanakan logika demi kenyamanan plot, dan akhirnya jebol juga di bagian klimaks. Saya tak bisa bicara secara detail karena ini mengharuskan saya membeberkan spoiler. Namun yang jelas, ini mengingatkan saya pada The Witch. Namun The Witch punya keuntungan karena skalanya yang sempit; ia sukses berkat setting-nya di masa lampau dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hereditary tak punya keuntungan ini dan jelas sulit bagi Aster untuk membuat situasi yang mencengangkan nanti bisa meyakinkan.

Sekarang, saya bingung. Saya kagum dengan keterampilan pembuatnya. Maksud saya, atmosfernya benar-benar membuat bergidik. Saya juga sangat larut dengan dinamika keluarga Graham. Namun cela logika dasar dan loncatan tone di bagian akhir meninggalkan rasa asam setelah menonton. Mungkin kalau nonton sekali lagi bakal lebih suka.

Eh tunggu, kayaknya tidak jadi deh. Nontonnya capek. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hereditary

127 menit
Dewasa
Ari Aster
Ari Aster
Kevin Frakes, Lars Knudsen, Buddy Patrick
Pawel Pogorzelski
Colin Stetson

Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim 'yang terseram', tunggu dulu.

“Who's going to take care of me?”
— Charlie Graham
Rating UP:
Kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir. Ada beberapa hal yang mau tak mau harus kita terima begitu saja. Tak bisa protes, karena itu sudah turunan. Demikianlah yang dialami keluarga Graham. Keluarga ini sepertinya selalu dikutuk dengan kemalangan dalam bentuk penyakit kejiwaan. Hereditary membawa istilah "warisan" ke sisi yang paling ekstrim, dan untuk itu, Ari Aster menyajikannya lewat pendekatan yang sangat intens. Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim "yang terseram", tunggu dulu.

Seram itu relatif. Bagi saya yang anak kosan, hal yang terseram tetaplah tanggal tua. Okefine, garing. Lanjut.


Menyebutnya plek sebagai film horor mungkin akan membuat sebagian penonton kasual kecele. Horor memang, bahkan di satu titik masuk ke ranah supranatural, tapi bukan horor yang berfokus pada hantu-hantuan atau sadis-sadisan belaka. Memang ada adegan penampakan dan barang yang bergerak sendiri serta bagian yang berdarah-darah, namun bukan aktivitas paranormal yang membuat kita takut. Alih-alih, ia menggunakan elemen supranatural untuk mengeksplorasi tragedi emosional. Kita ngeri akan apa yang mungkin bakal menimpa mereka atau apa yang mungkin bakal mereka lakukan.

Ini sukses membuat kita duduk tak nyaman nyaris sepanjang durasi berkat kelihaian pembuatnya dalam membangun atmosfer. Kita langsung bisa menyadari bahwa kita berada di tangan sutradara yang mantap, terlepas dari fakta bahwa ini adalah film panjang pertamanya. Horornya berasal dari sumber teror yang paling hakiki, yaitu realitas jiwa manusia itu sendiri. Namun ini juga membuatnya menjadi film yang pelik. Ia berusaha begitu dekat dengan dunia nyata sampai printilan-printilan cela yang biasanya saya abaikan dalam sebuah film horor tradisional menyentil logika saya berkali-kali, yang jujur saja mengganggu kenikmatan menonton.

Apa yang akan menimpa keluarga Graham, silakan anda temukan sendiri. Tapi saya bisa memberi tahu apa yang baru saja mereka alami. Film dibuka dengan pemakaman. Nenek baru saja meninggal. Meski berduka, Annie (Toni Collette) bilang bahwa ia tak pernah dekat-dekat amat dengan ibunya tersebut. Sang ibu, katanya, adalah orang tertutup yang hanya mau bergaul dengan teman-teman eksklusifnya.

Yang bermasalah bukan cuma si nenek. Anak sulung Annie, Peter (Alex Wolff) adalah remaja canggung yang suka bengong dan ngerokok ganja. Sementara anak bungsunya, Charlie (Milly Shapiro)... sangat aneh. Betul-betul aneh. Ia suka bikin suara "klok" dengan mulut, rajin membuat gambar-gambar seram di buku catatan, dan itu buat apa potongan kepala dari bangkai burung dikantongin. Cuma si ayah (Gabriel Byrne) yang kelihatan agak normal.

Bagaimana dengan Annie? Ia sendiri bahkan tak yakin dengan kesehatan mentalnya. Pernah dulu ia melakukan sesuatu saat sleepwalking yang nyaris membahayakan nyawa kedua anaknya. Di hari biasa, Annie adalah seniman miniatur yang sedang punya proyek komersil, tapi malah membuat membuat miniatur rumahnya sendiri, termasuk reka ulang dari beberapa tragedi yang menimpa keluarganya. Apakah ini perwujudan dari hasratnya yang ingin mengontrol nasib keluarga yang tak bisa ia kendalikan? Atau... atau...

Yang jelas, kematian si nenek memicu kemalangan berturut-turut yang tak terduga buat mereka, yang sebaiknya tak saya ungkap. Film ini bahkan berani mengambil pilihan naratif yang sangat mengejutkan di paruh awal film, saya sampai tak mempercayai apa yang baru saja saya lihat. Setiap tragedi baru terjadi, keluarga ini semakin hancur dan anggotanya semakin menjauh. Kemudian masuklah Joan (Ann Dowd), ibu-ibu simpatik yang baru saja kehilangan anaknya, yang kemudian menunjukkan Annie cara untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah mati.

Ada semacam sense of confusion yang terasa hadir, namun agaknya ini disengaja karena Aster menempatkan kita langsung di tengah-tengah keluarga Graham. Setidaknya sampai momen klimaks, kita tak tahu apakah yang kita lihat benar-benar terjadi atau tidak. Yang menuntun kita adalah penampilan kuat dari pemainnya, terutama Collette. Annie Graham adalah karakter yang kompleks, dan Collette sukses membawakannya. Ia mampu berpindah emosi secara ekstrim dalam waktu singkat, bahkan dalam satu adegan. Ini adalah akting yang istimewa, bukan hanya dalam konteks horor saja. Penampilannya menyayat hati. Wolff memberikan akting yang sangat ganjil, tak seperti akting yang biasa kita lihat. Tapi worked dan sangat intens.

Tak hanya urusan aktor, Aster juga mengomandoi penuh filmnya secara teknis. Secara audio-visual, film ini sempurna. Sinematografi suram dari Pawel Pogorzleski, scoring mencekam dari Colin Stetson, dan penguasaan ruang dan tempat oleh Aster menciptakan sensasi kengerian nanggung-nanggung sedap dimana kita selalu mengantisipasi sesuatu yang buruk bakal terjadi. Kita dikondisikan berada di posisi "hampir" sepanjang waktu; tegang tapi berhenti tepat sebelum klimaks. Begitu terus, berulang-ulang. Sedari awal, Aster sudah menanamkan beberapa foreshadowing dan petunjuk untuk membantu kita mencerna detil plot sekaligus memainkan ekspektasi. Dan ketika itu terjadi, ia tak disajikan lewat jumpscares melainkan imagery pembuat syok yang kemungkinan besar akan terpatri lama di benak kita.

Meski begitu, saya tak menyukai film ini sebesar yang saya harapkan. Film ini menjaga ketegangannya hampir selama satu jam lebih, tapi kemudian meloncat keluar rel di paruh akhir. Meteran suspension of disbelief saya sudah hampir lewat batas maksimal saat film beberapa kali menyederhanakan logika demi kenyamanan plot, dan akhirnya jebol juga di bagian klimaks. Saya tak bisa bicara secara detail karena ini mengharuskan saya membeberkan spoiler. Namun yang jelas, ini mengingatkan saya pada The Witch. Namun The Witch punya keuntungan karena skalanya yang sempit; ia sukses berkat setting-nya di masa lampau dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hereditary tak punya keuntungan ini dan jelas sulit bagi Aster untuk membuat situasi yang mencengangkan nanti bisa meyakinkan.

Sekarang, saya bingung. Saya kagum dengan keterampilan pembuatnya. Maksud saya, atmosfernya benar-benar membuat bergidik. Saya juga sangat larut dengan dinamika keluarga Graham. Namun cela logika dasar dan loncatan tone di bagian akhir meninggalkan rasa asam setelah menonton. Mungkin kalau nonton sekali lagi bakal lebih suka.

Eh tunggu, kayaknya tidak jadi deh. Nontonnya capek. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hereditary

127 menit
Dewasa
Ari Aster
Ari Aster
Kevin Frakes, Lars Knudsen, Buddy Patrick
Pawel Pogorzelski
Colin Stetson

Tuesday, September 26, 2017

Review Film: 'Wind River' (2017)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Wind River' (2017)
link : Review Film: 'Wind River' (2017)

Baca juga


Misteri

Taylor Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa.

“Luck don't live out here.”
— Cory Lambert
Rating UP:
Bagian awal Wind River sepertinya mengingatkan kita pada Fargo-nya Coen Brothers. Mengambil lokasi di daerah persaljuan yang terpencil, adegan pembuka menyatakan dengan jelas bahwa ini akan menjadi film kriminal. Kesamaan juga saya lihat dari klaimnya: “inspired by true events”. Meski begitu, jika Coen menggunakan klaim “this is a true story”-nya untuk menggoda kita karena kita tahu bahwa mereka baru saja melebaikan drama manusiawi menjadi komedi, maka untuk Wind River kita perlu lebih awas. Cermati penambahan tanda jamak “s” di belakang kata “event”. Ini bukan kisah nyata, tapi kisahnya memang banyak terjadi di dunia nyata. Sang sutradara, Taylor Sheridan mengaku bahwa pernyataan tersebut merupakan referensi terhadap “ribuan kasus serupa” yang melibatkan kekerasan seksual pada wanita. Ya. Sheridan seserius itu. Wind River adalah film serius. Serius setengah mati. Tak ada ruang untuk bercanda.


Ini adalah naskah ketiga Sheridan sekaligus debutnya menyutradarai film yang ditulisnya sendiri. Saya ingin tahu apa nama yang akan diberikan Sheridan pada trilogi tematis yang juga berisi Sicario dan Hell or High Water ini. Trilogi Western Nihilistik, kalau boleh usul. Tapi besar kemungkinan akan bersilangan dengan film adaptasi novel Cormac McCarthy. Trilogi Keadilan Amerika, mungkin lebih cocok. Ketiga film tersebut berlangsung di Amerika yang jauh dari keadilan, sehingga para karakter yang terlibat di dalamnya harus mencari sendiri keadilan mereka.

Wind River merupakan nama sebuah reservasi suku Indian yang terletak di daerah persaljuan di Wyoming. Namun ini adalah tempat yang sama dengan perbatasan Amerika/Meksiko-nya Sicario atau gurun Texas-nya Hell or High Water; ketiganya sama-sama tempat yang jauh, sepi, asing, dan relatif berbahaya. Di tempat ini, petugas yang berwenang tak bisa berbuat banyak. Sheridan cakap sekali dalam membangun sense of place yang mantap. Mendengar Wind River kita langsung mengasosiasikannya dengan salju. Dibantu dengan sinematografi dari Ben Richardson, pemandangannya imersif, sampai kita bisa merasakan betapa menyengat dinginnya salju. Cantik di mata tapi mematikan.

Oleh karenanya, ini bukan tempat yang ramah bagi seorang gadis dengan pakaian tipis dan tanpa alas kaki untuk berlarian di tengah malam. Ia berlari mati-matian seperti menghindari sesuatu yang sangat mengerikan. Apapun itu, pasti berbahaya karena memaksanya terus berlari sampai udara dingin merusak paru-paru lalu membuatnya tewas.

Beberapa hari kemudian, almarhumah ditemukan oleh Cory Lambert (Jeremy Renner), seorang petugas hutan yang dimintai warga untuk memburu singa gunung yang memakan ternak. Kita pertama kali mengenal Cory saat berkamuflase dengan jas hujan putih lalu menembakkan senapannya dengan akurat pada serigala yang tengah mengincar domba. Dor! Simbolisme. Kita tahu ia sudah begitu dekat dengan pribumi (mantan istrinya seorang Indian), kenal betul dengan setiap jengkal Wind River, dan seseorang yang bisa diandalkan.

Cory kenal dengan almarhumah. Namanya Natalie (Kelsey Asbille), gadis Indian teman karib anaknya, Emily yang tiga tahun lalu meninggal dengan penyebab yang hampir sama. Visum mengungkap bahwa sebelum tewas, Natalie mengalami perkosaan. Disini Sheridan menyentil protokol dan birokrasi yang ribet. Karena TKP-nya tanah reservasi Indian, maka kasus ini menjadi kriminal federal, kewenangan FBI, yang kemudian hanya mengutus satu agennya saja. Forensik setempat tak bisa menuliskan perkosaan sebagai penyebab kematian, karena Natalie secara teknis meninggal gara-gara cuaca dingin. Jika begitu, maka kasus akan kembali dilimpahkan ke kepolisian lokal yang anggotanya tak lebih banyak daripada anggota Power Rangers.

Tentu saja, agen FBI tadi, Jane Banner (Elizabeth Olsen) jadi pusing. Jane boleh jadi punya kapabilitas mumpuni, tapi ia tak siap dengan situasi di Wind River. Saat datang saja, ia memakai blus yang modis dan sepatu hak tinggi. “Dia akan koit dalam lima menit,” kata Cory. Penyelidikan adalah tanggung jawab Jane, tapi ia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan dari kepala polisi lokal, Ben (Graham Greene) dan terutama Cory yang dengan kalem bilang berkali-kali bahwa ia adalah “sang pemburu”. Iya, iya Cory, kami sudah tahu.

Sama seperti saya yang menjabarkan set-up tadi dengan panjang lebar dan perlahan-lahan, Sheridan juga menyajikan filmnya tanpa terburu-buru. Plot Wind River sebenarnya sangat sederhana, tapi Sheridan menceritakannya dengan tenang, tahap demi tahap sehingga kita bisa mendapatkan cengkeraman yang kuat akan lokasi dan karakternya. Tak banyak adegan yang berorientasi aksi, tapi filmnya menjaga perhatian kita dengan pembangunan plot yang pelan-tapi-pasti, sampai kemudian meledak di sekuens yang melibatkan adu tembak dan tembakan sniper yang gahar. Ini memuaskan karena kita sudah begitu larut dengan filmnya.

Filmnya merupakan thriller yang berbasis pada karakter, bahkan desa Wind River menjadi karakter tersendiri. Lokasi mengijinkannya menyentil isu sensitif soal diskriminasi pribumi. Ini adalah tempat yang sangat spesifik, tapi situasi sosialnya terasa universal. Karakter Jane, yang adalah seorang wanita, juga bukan sekadar pemanis layar apalagi penyedia romantisme/seks bagi Cory. Ia punya fungsi yang kuat untuk memberi penonton perspektif akan bagaimana memandang kasus yang melibatkan pembunuhan seorang wanita tersebut. Olsen mendapat peran yang mirip dengan Emily Blunt dalam Sicario: wanita tangguh yang terjebak di dunia yang keras yang belum siap ia hadapi.

Renner memberikan penampilan yang menarik. Karakternya tak menunjukkan banyak ekspresi, tapi kita bisa merasakan banyak emosi yang dibawanya. “Perburuan” ini menjadi personal bagi Cory karena ia punya motif yang lebih dalam. Ia tahu bahwa anak gadisnya yang tewas dengan misterius tetap takkan terselesaikan, namun mungkin saja resolusi kasus Natalie akan memberikannya semacam penebusan. Mungkin tidak baginya, karena ia mengaku sadar bahwa hidup harus terus berlanjut apapun yang terjadi, tapi setidaknya buat ayah Natalie (Gil Birmingham). Birmingham punya dua adegan minimalis yang sangat kuat.

Ceritanya boleh jadi merupakan yang paling blak-blakan secara naratif di antara trilogi Sheridan, karena kita disuguhkan dengan monolog dan dialog puitis yang banyak untuk menangkap subteks dan apa yang karakternya rasakan. Bagian ending terkesan dipanjangkan, mungkin Sheridan merasa bahwa film belum terselesaikan dengan sempurna. Namun ada sesuatu yang mengagumkan dari caranya bercerita. Setiap sorotan gambar, setiap perkembangan plot, setiap interaksi karakter, semua terkendali. Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Wind River

111 menit
Dewasa
Taylor Sheridan
Taylor Sheridan
Matthew George, Basil Iwanyk, Peter Berg, Wayne L. Rogers
Ben Richardson
Nick Cave, Warren Ellis

Taylor Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa.

“Luck don't live out here.”
— Cory Lambert
Rating UP:
Bagian awal Wind River sepertinya mengingatkan kita pada Fargo-nya Coen Brothers. Mengambil lokasi di daerah persaljuan yang terpencil, adegan pembuka menyatakan dengan jelas bahwa ini akan menjadi film kriminal. Kesamaan juga saya lihat dari klaimnya: “inspired by true events”. Meski begitu, jika Coen menggunakan klaim “this is a true story”-nya untuk menggoda kita karena kita tahu bahwa mereka baru saja melebaikan drama manusiawi menjadi komedi, maka untuk Wind River kita perlu lebih awas. Cermati penambahan tanda jamak “s” di belakang kata “event”. Ini bukan kisah nyata, tapi kisahnya memang banyak terjadi di dunia nyata. Sang sutradara, Taylor Sheridan mengaku bahwa pernyataan tersebut merupakan referensi terhadap “ribuan kasus serupa” yang melibatkan kekerasan seksual pada wanita. Ya. Sheridan seserius itu. Wind River adalah film serius. Serius setengah mati. Tak ada ruang untuk bercanda.


Ini adalah naskah ketiga Sheridan sekaligus debutnya menyutradarai film yang ditulisnya sendiri. Saya ingin tahu apa nama yang akan diberikan Sheridan pada trilogi tematis yang juga berisi Sicario dan Hell or High Water ini. Trilogi Western Nihilistik, kalau boleh usul. Tapi besar kemungkinan akan bersilangan dengan film adaptasi novel Cormac McCarthy. Trilogi Keadilan Amerika, mungkin lebih cocok. Ketiga film tersebut berlangsung di Amerika yang jauh dari keadilan, sehingga para karakter yang terlibat di dalamnya harus mencari sendiri keadilan mereka.

Wind River merupakan nama sebuah reservasi suku Indian yang terletak di daerah persaljuan di Wyoming. Namun ini adalah tempat yang sama dengan perbatasan Amerika/Meksiko-nya Sicario atau gurun Texas-nya Hell or High Water; ketiganya sama-sama tempat yang jauh, sepi, asing, dan relatif berbahaya. Di tempat ini, petugas yang berwenang tak bisa berbuat banyak. Sheridan cakap sekali dalam membangun sense of place yang mantap. Mendengar Wind River kita langsung mengasosiasikannya dengan salju. Dibantu dengan sinematografi dari Ben Richardson, pemandangannya imersif, sampai kita bisa merasakan betapa menyengat dinginnya salju. Cantik di mata tapi mematikan.

Oleh karenanya, ini bukan tempat yang ramah bagi seorang gadis dengan pakaian tipis dan tanpa alas kaki untuk berlarian di tengah malam. Ia berlari mati-matian seperti menghindari sesuatu yang sangat mengerikan. Apapun itu, pasti berbahaya karena memaksanya terus berlari sampai udara dingin merusak paru-paru lalu membuatnya tewas.

Beberapa hari kemudian, almarhumah ditemukan oleh Cory Lambert (Jeremy Renner), seorang petugas hutan yang dimintai warga untuk memburu singa gunung yang memakan ternak. Kita pertama kali mengenal Cory saat berkamuflase dengan jas hujan putih lalu menembakkan senapannya dengan akurat pada serigala yang tengah mengincar domba. Dor! Simbolisme. Kita tahu ia sudah begitu dekat dengan pribumi (mantan istrinya seorang Indian), kenal betul dengan setiap jengkal Wind River, dan seseorang yang bisa diandalkan.

Cory kenal dengan almarhumah. Namanya Natalie (Kelsey Asbille), gadis Indian teman karib anaknya, Emily yang tiga tahun lalu meninggal dengan penyebab yang hampir sama. Visum mengungkap bahwa sebelum tewas, Natalie mengalami perkosaan. Disini Sheridan menyentil protokol dan birokrasi yang ribet. Karena TKP-nya tanah reservasi Indian, maka kasus ini menjadi kriminal federal, kewenangan FBI, yang kemudian hanya mengutus satu agennya saja. Forensik setempat tak bisa menuliskan perkosaan sebagai penyebab kematian, karena Natalie secara teknis meninggal gara-gara cuaca dingin. Jika begitu, maka kasus akan kembali dilimpahkan ke kepolisian lokal yang anggotanya tak lebih banyak daripada anggota Power Rangers.

Tentu saja, agen FBI tadi, Jane Banner (Elizabeth Olsen) jadi pusing. Jane boleh jadi punya kapabilitas mumpuni, tapi ia tak siap dengan situasi di Wind River. Saat datang saja, ia memakai blus yang modis dan sepatu hak tinggi. “Dia akan koit dalam lima menit,” kata Cory. Penyelidikan adalah tanggung jawab Jane, tapi ia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan dari kepala polisi lokal, Ben (Graham Greene) dan terutama Cory yang dengan kalem bilang berkali-kali bahwa ia adalah “sang pemburu”. Iya, iya Cory, kami sudah tahu.

Sama seperti saya yang menjabarkan set-up tadi dengan panjang lebar dan perlahan-lahan, Sheridan juga menyajikan filmnya tanpa terburu-buru. Plot Wind River sebenarnya sangat sederhana, tapi Sheridan menceritakannya dengan tenang, tahap demi tahap sehingga kita bisa mendapatkan cengkeraman yang kuat akan lokasi dan karakternya. Tak banyak adegan yang berorientasi aksi, tapi filmnya menjaga perhatian kita dengan pembangunan plot yang pelan-tapi-pasti, sampai kemudian meledak di sekuens yang melibatkan adu tembak dan tembakan sniper yang gahar. Ini memuaskan karena kita sudah begitu larut dengan filmnya.

Filmnya merupakan thriller yang berbasis pada karakter, bahkan desa Wind River menjadi karakter tersendiri. Lokasi mengijinkannya menyentil isu sensitif soal diskriminasi pribumi. Ini adalah tempat yang sangat spesifik, tapi situasi sosialnya terasa universal. Karakter Jane, yang adalah seorang wanita, juga bukan sekadar pemanis layar apalagi penyedia romantisme/seks bagi Cory. Ia punya fungsi yang kuat untuk memberi penonton perspektif akan bagaimana memandang kasus yang melibatkan pembunuhan seorang wanita tersebut. Olsen mendapat peran yang mirip dengan Emily Blunt dalam Sicario: wanita tangguh yang terjebak di dunia yang keras yang belum siap ia hadapi.

Renner memberikan penampilan yang menarik. Karakternya tak menunjukkan banyak ekspresi, tapi kita bisa merasakan banyak emosi yang dibawanya. “Perburuan” ini menjadi personal bagi Cory karena ia punya motif yang lebih dalam. Ia tahu bahwa anak gadisnya yang tewas dengan misterius tetap takkan terselesaikan, namun mungkin saja resolusi kasus Natalie akan memberikannya semacam penebusan. Mungkin tidak baginya, karena ia mengaku sadar bahwa hidup harus terus berlanjut apapun yang terjadi, tapi setidaknya buat ayah Natalie (Gil Birmingham). Birmingham punya dua adegan minimalis yang sangat kuat.

Ceritanya boleh jadi merupakan yang paling blak-blakan secara naratif di antara trilogi Sheridan, karena kita disuguhkan dengan monolog dan dialog puitis yang banyak untuk menangkap subteks dan apa yang karakternya rasakan. Bagian ending terkesan dipanjangkan, mungkin Sheridan merasa bahwa film belum terselesaikan dengan sempurna. Namun ada sesuatu yang mengagumkan dari caranya bercerita. Setiap sorotan gambar, setiap perkembangan plot, setiap interaksi karakter, semua terkendali. Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Wind River

111 menit
Dewasa
Taylor Sheridan
Taylor Sheridan
Matthew George, Basil Iwanyk, Peter Berg, Wayne L. Rogers
Ben Richardson
Nick Cave, Warren Ellis

Sunday, September 10, 2017

Review Film: 'It Comes at Night' (2017)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'It Comes at Night' (2017)
link : Review Film: 'It Comes at Night' (2017)

Baca juga


Misteri

Penonton yang menunggu setan di 'It Comes at Night' akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis.

“You can't trust anyone but family.”
— Paul
Rating UP:
It Comes at Night membuktikan bahwa kadangkala horor yang lebih besar itu datang dari paranoia diri sendiri. Apakah sesuatu yang kita dengar itu benar “sesuatu” yang kita dengar atau sesuatu yang kita PIKIR kita dengar? “It” pada judul film ini tak butuh definisi. Ia adalah apa yang kita takutkan. Prasangkalah yang membuatnya mengerikan. Penonton yang menunggu setan di It Comes at Night akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis. Ia didesain untuk membuat kita tidak nyaman hanya lewat suspens dan atmosfer. Ini bukan sesuatu yang kita expect dari sebuah film horor.


Coba tengok adegan pembuka dari filmnya. Seorang pak tua yang letih tampak pasrah menerima nasibnya. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Dua orang pria memakai topeng gas kemudian menggotongnya ke hutan. Pria yang lebih dewasa menembak pak tua, lalu membakarnya di lubang yang telah mereka gali sebelumnya. Apa yang terjadi disini, kita belum tahu. Tetapi kita bisa melihat bahwa pembunuhan ini juga meninggalkan duka bagi pelakunya.

Ternyata, dua orang tadi adalah menantu dan cucu dari pak tua, Paul (Joel Edgerton) dan Travis (Kelvin Harrison Jr.). Pak tua juga meninggalkan satu anak kandungnya, Sarah (Carmen Ejogo) yang adalah istri Paul serta seekor anjing bernama Stanley. Mereka takut akan sesuatu yang telah menimpa pak tua. Dari percakapan mereka dan keharusan untuk selalu menggunakan masker di luar rumah, tampaknya ada semacam virus yang telah mewabah di daerah mereka. Apakah ini virus zombie? Tak penting. Yang jelas ini mematikan, sampai mereka harus menahan apapun di luar sana agar tak masuk ke dalam rumah mereka yang berada di tengah hutan.

Pembuat film ini adalah Trey Edward Shults yang mengangkat premis yang halu menjadi film yang halu, tapi sangat menegangkan. Film Shults sebelumnya, Krisha adalah thriller psikologis yang minimalis tentang keluarga, dimana dimainkan olehnya dan kerabatnya sendiri. Dengan bujet yang lebih besar, untuk It Comes at Night ia bisa menggandeng aktor sungguhan dan merancang gambar-gambar yang lebih kompeten. Namun skala filmnya relatif tetap sama. Ini adalah film thriller kecil tentang keluarga —dua keluarga tepatnya— dalam satu lingkungan yang klaustrofobik. Semua jendela dipalang, pencahayaan sangat terbatas, dan hanya ada satu jalan masuk, yaitu pintu bercat merah.

Keluarga kedua datang setelah seseorang menggedor pintu rumah mereka. Pria asing ini berhasil dirubuhkan oleh Paul untuk kemudian diinterogasi. Mengaku bernama Will (Christopher Abbott), si pria tadi bilang bahwa ia hanya ingin mencari minum untuk anak dan istrinya. “Mereka tidak “sakit”,” klaimnya. Namun Paul tak percaya begitu saja. Namun akhirnya Paul setuju untuk menampung istri Will, Kim (Riley Keough) dan anaknya yang masih kecil, Andrew (Griffin Robert Faulkner).

Bereenam mereka tinggal di satu rumah, namun ketegangan justru semakin meninggi, karena mereka tak kenal satu sama lain dan kita tak tahu apa motif masing-masing. Paul adalah pria tegas yang hanya ingin melindungi keluarganya, dan ini yang membuat Edgerton begitu menyeramkan. Ia bisa melakukan apa saja. Will tampaknya pria yang baik-baik saja, namun ada pengakuannya yang sedikit janggal. Si Travis yang memasuki usia puber, mulai menunjukkan ketertarikan pada istri Will, bahkan sampai bermimpi erotis. Sudah menjadi peraturan, bahwa saat malam tiba tak ada yang keluar kamar. Namun ketika mendengar suara-suara dari luar, Travis membawa lenteranya, selalu ingin mengecek kalau-kalau...

Yah, saya akan berhenti disini. Yang jelas, film ini lebih akan membuat anda merinding alih-alih berteriak ngeri. Setting-nya yang sempit dan pencahayaan yang minim membuat suasana filmnya angker. Shults menggunakan sorotan panjang dan pelan untuk menekankan keseraman koridor yang gelap atau barisan pepohonan yang lebat. Untuk mengeskalasi tensi dan ekspektasi penonton, ia juga menerapkan beberapa permainan aspect ratio. Cermati bagaimana rasio gambar berubah menjelang klimaks film. Mengagumkan bagaimana ia bisa mengeluarkan teror dari sesuatu yang practically nothing.

Shults tak banyak memberi penjelasan. Ia memancing imajinasi kita untuk menerka apa yang sebenarnya ada di luar sana. Namun ia sepertinya lebih ingin menyampaikan bahwa teror sesungguhnya datang dari manusia itu sendiri, dan teror ini tak butuh konteks. Terornya ada di dalam pikiran, semacam basic instinct. Manusia itu hidup untuk diri sendiri. Dalam situasi genting seperti ini, mana yang lebih penting: moralitas atau bertahan hidup?

Meski demikian, metode Schults ini juga membuat filmnya seperti tak berisi. Saya tak boleh bicara banyak mengenai hal ini. Di akhir film, saya tak bisa menghilangkan sedikit perasaan mengganjal bahwa terornya adalah "Deus ex Machina", atau lebih parah "MacGuffin" belaka. Shults bisa pergi begitu saja setelah membangun filmnya. Terkadang misteri memang lebih mencekat saat ia tidak dijelaskan lebih lanjut. Terkadang kita perlu tahu apa sebenarnya yang membuat suara-suara gaduh di malam hari. Pilihan ada di tangan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It Comes at Night

91 menit
Dewasa
Trey Edward Shults
Trey Edward Shults
David Kaplan, Andrea Roa
Drew Daniels
Brian McOmber

Penonton yang menunggu setan di 'It Comes at Night' akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis.

“You can't trust anyone but family.”
— Paul
Rating UP:
It Comes at Night membuktikan bahwa kadangkala horor yang lebih besar itu datang dari paranoia diri sendiri. Apakah sesuatu yang kita dengar itu benar “sesuatu” yang kita dengar atau sesuatu yang kita PIKIR kita dengar? “It” pada judul film ini tak butuh definisi. Ia adalah apa yang kita takutkan. Prasangkalah yang membuatnya mengerikan. Penonton yang menunggu setan di It Comes at Night akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis. Ia didesain untuk membuat kita tidak nyaman hanya lewat suspens dan atmosfer. Ini bukan sesuatu yang kita expect dari sebuah film horor.


Coba tengok adegan pembuka dari filmnya. Seorang pak tua yang letih tampak pasrah menerima nasibnya. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Dua orang pria memakai topeng gas kemudian menggotongnya ke hutan. Pria yang lebih dewasa menembak pak tua, lalu membakarnya di lubang yang telah mereka gali sebelumnya. Apa yang terjadi disini, kita belum tahu. Tetapi kita bisa melihat bahwa pembunuhan ini juga meninggalkan duka bagi pelakunya.

Ternyata, dua orang tadi adalah menantu dan cucu dari pak tua, Paul (Joel Edgerton) dan Travis (Kelvin Harrison Jr.). Pak tua juga meninggalkan satu anak kandungnya, Sarah (Carmen Ejogo) yang adalah istri Paul serta seekor anjing bernama Stanley. Mereka takut akan sesuatu yang telah menimpa pak tua. Dari percakapan mereka dan keharusan untuk selalu menggunakan masker di luar rumah, tampaknya ada semacam virus yang telah mewabah di daerah mereka. Apakah ini virus zombie? Tak penting. Yang jelas ini mematikan, sampai mereka harus menahan apapun di luar sana agar tak masuk ke dalam rumah mereka yang berada di tengah hutan.

Pembuat film ini adalah Trey Edward Shults yang mengangkat premis yang halu menjadi film yang halu, tapi sangat menegangkan. Film Shults sebelumnya, Krisha adalah thriller psikologis yang minimalis tentang keluarga, dimana dimainkan olehnya dan kerabatnya sendiri. Dengan bujet yang lebih besar, untuk It Comes at Night ia bisa menggandeng aktor sungguhan dan merancang gambar-gambar yang lebih kompeten. Namun skala filmnya relatif tetap sama. Ini adalah film thriller kecil tentang keluarga —dua keluarga tepatnya— dalam satu lingkungan yang klaustrofobik. Semua jendela dipalang, pencahayaan sangat terbatas, dan hanya ada satu jalan masuk, yaitu pintu bercat merah.

Keluarga kedua datang setelah seseorang menggedor pintu rumah mereka. Pria asing ini berhasil dirubuhkan oleh Paul untuk kemudian diinterogasi. Mengaku bernama Will (Christopher Abbott), si pria tadi bilang bahwa ia hanya ingin mencari minum untuk anak dan istrinya. “Mereka tidak “sakit”,” klaimnya. Namun Paul tak percaya begitu saja. Namun akhirnya Paul setuju untuk menampung istri Will, Kim (Riley Keough) dan anaknya yang masih kecil, Andrew (Griffin Robert Faulkner).

Bereenam mereka tinggal di satu rumah, namun ketegangan justru semakin meninggi, karena mereka tak kenal satu sama lain dan kita tak tahu apa motif masing-masing. Paul adalah pria tegas yang hanya ingin melindungi keluarganya, dan ini yang membuat Edgerton begitu menyeramkan. Ia bisa melakukan apa saja. Will tampaknya pria yang baik-baik saja, namun ada pengakuannya yang sedikit janggal. Si Travis yang memasuki usia puber, mulai menunjukkan ketertarikan pada istri Will, bahkan sampai bermimpi erotis. Sudah menjadi peraturan, bahwa saat malam tiba tak ada yang keluar kamar. Namun ketika mendengar suara-suara dari luar, Travis membawa lenteranya, selalu ingin mengecek kalau-kalau...

Yah, saya akan berhenti disini. Yang jelas, film ini lebih akan membuat anda merinding alih-alih berteriak ngeri. Setting-nya yang sempit dan pencahayaan yang minim membuat suasana filmnya angker. Shults menggunakan sorotan panjang dan pelan untuk menekankan keseraman koridor yang gelap atau barisan pepohonan yang lebat. Untuk mengeskalasi tensi dan ekspektasi penonton, ia juga menerapkan beberapa permainan aspect ratio. Cermati bagaimana rasio gambar berubah menjelang klimaks film. Mengagumkan bagaimana ia bisa mengeluarkan teror dari sesuatu yang practically nothing.

Shults tak banyak memberi penjelasan. Ia memancing imajinasi kita untuk menerka apa yang sebenarnya ada di luar sana. Namun ia sepertinya lebih ingin menyampaikan bahwa teror sesungguhnya datang dari manusia itu sendiri, dan teror ini tak butuh konteks. Terornya ada di dalam pikiran, semacam basic instinct. Manusia itu hidup untuk diri sendiri. Dalam situasi genting seperti ini, mana yang lebih penting: moralitas atau bertahan hidup?

Meski demikian, metode Schults ini juga membuat filmnya seperti tak berisi. Saya tak boleh bicara banyak mengenai hal ini. Di akhir film, saya tak bisa menghilangkan sedikit perasaan mengganjal bahwa terornya adalah "Deus ex Machina", atau lebih parah "MacGuffin" belaka. Shults bisa pergi begitu saja setelah membangun filmnya. Terkadang misteri memang lebih mencekat saat ia tidak dijelaskan lebih lanjut. Terkadang kita perlu tahu apa sebenarnya yang membuat suara-suara gaduh di malam hari. Pilihan ada di tangan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It Comes at Night

91 menit
Dewasa
Trey Edward Shults
Trey Edward Shults
David Kaplan, Andrea Roa
Drew Daniels
Brian McOmber

Saturday, August 26, 2017

Review Film: 'Death Note' (2017)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Fantasi, Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Death Note' (2017)
link : Review Film: 'Death Note' (2017)

Baca juga


Misteri

Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya.

“It's like you said, sometimes you gotta choose the lesser of the two evils.”
— Light Turner
Rating UP:
Film Death Note apa ini? Semacam parodi? Kalau iya, dimana saya seharusnya tertawa? Death Note versi Netflix adalah lelucon yang tak lucu. Mungkin inilah yang akan terjadi jika Shinigami Ryuk menjatuhkan buku kematiannya di Amerika dan kepada remaja yang lebih dungu daripada remaja dalam film horor Friday the 13th. Ketika pertama kali melihat Dewa Kematian, tokoh utama kita berteriak sekencang-kencangnya dengan ekspresi yang sedemikian menggelikan, saya curiga jangan-jangan Nat Wolff sedang casting untuk film Scary Movie berikutnya. Apakah film ini main-main? Tidak juga, karena para karakter kita membicarakan perkara serius seperti tindakan meniru Tuhan serta masa depan umat manusia.


Saya sangat menggemari manga Death Note karya Takeshi Obata dan Tsugumi Ohba yang sangat cerdas dan atmosferik. Mungkin semangat fanboy saya akan membuat review ini sedikit bias. Meski demikian, saya juga tak sebegitu fanatik sampai merasa perlu bahwa adaptasi Hollywood-nya harus setia dengan materi asli. Ini adalah adaptasi dan pembuat filmnya bisa melakukan apa saja asalkan filmnya bagus. Namun, Death Note versi ini memang kacau dalam segala aspek. Tone-nya berantakan, motif karakternya tak jelas, plotnya amburadul, dan yang lebih keji lagi, perubahan yang dilakukan oleh pembuat film terhadap materi aslinya sama sekali tak memberikan signifikansi apapun.

Awalnya, film ini bermain kurang lebih seperti manga-nya. Seorang remaja bernama Light Turner (Wolff) menemukan sebuah buku hitam yang berbalut kaver kulit dengan judul "DEATH NOTE" di depannya. Sebenarnya buku ini adalah buku kematian yang dijatuhkan oleh Shinigami alias Dewa Kematian bernama Ryuk (diperankan oleh Willem Dafoe). Buku ini berisi banyak nama orang, tapi yang lebih penting, di dalamnya tercantum peraturan. Peraturannya ada banyak, namun yang paling mendasar dari semuanya adalah: tulis nama seseorang sambil membayangkan wajahnya, maka orang tersebut akan mati.

Sutradara Adam Wingard mengklaim bahwa setting Death Note asli terlalu ke-Jepang-an dan tak mungkin diadopsi mentah-mentah untuk film Hollywood. Jadi bersama penulis skrip Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater, ia melakukan penyesuaian agar lebih relevan dengan situasi sosiopolitis Amerika. Diamerikanisasi, katanya, untuk memberikan perspektif baru. Oke, baiklah. Ini dia perspektif baru yang saya dapat dari Death Note versi baru yang saya bandingkan dengan versi manga. Peringatan: saya tak bermaksud menggeneralisasi Amerika, ini hanyalah poin yang saya simpulkan dari filmnya.

  • Bullying. Menjadi anak SMA di Amerika tak ada artinya kalau anda bukan preman sekolah. Jika di manga, kepintaran Light membuatnya dengan gampang melewati masa sekolah dan menjadi idola di kelas, maka di film, hal ini menjadi bahan bully-an. Ini Amerika, Light! Harusnya ototmu yang dilatih.

  • Broken home. Tak lengkap seorang remaja Amerika jika keluarganya tak mengalami masalah. Ibu Light diceritakan meninggal karena dibunuh preman, sehingga membuat hubungan Light dengan ayahnya yang seorang kepala polisi (Shea Whigham) menjadi sangat buruk. “Ayah sama sekali tak peduli!”.

  • Pacar. Bro, SMA itu waktunya mencari pacar. Pacar adalah pencapaian tertinggi di sekolah. Jadi setelah menemukan "Death Note", Light segera membeberkan semua, termasuk keberadaan Ryuk, kepada salah satu cewek paling hot di sekolah, Mia (Margaret Qualley). Alasannya: Light naksir Mia dan, saya yakin, Light merasa inilah satu-satunya cara mendekatinya. Sabar Light, tahan nafsumu! Awalnya saya pikir Mia adalah pengganti karakter Misa Amane dari manga, namun kepribadian dan fungsinya bagi cerita sama sekali berbeda. Mia tidak gampang dimanfaatkan seperti Misa, karena ia lebih psikopat daripada Light. Dan Light sendiri tampak menyedihkan karena boleh dibilang tak bisa berbuat apa-apa di samping Mia.

  • Brutalisme. Melihat Light yang seperti ini, wajar saja jika yang ia bunuh pertama kali adalah preman sekolah yang kerap mem-bully-nya. Kalau anda merasa moralitas Light versi manga menyimpang karena membunuh banyak kriminal dan terkadang menggunakan kematian mereka demi kelancaran misinya menjadi Dewa, tunggu sampai anda melihat cara Light versi film membunuh. Salah satu kelebihan "Death Note" adalah bisa mengatur kondisi seseorang terbunuh, dan Light memanfaatkannya untuk menciptakan sekuens kematian sesadis mungkin, yang tampaknya terinspirasi karena terlalu banyak menonton Final Destination. Preman sekolah, misalnya, mati dengan kepala terpotong tangga portable. Apakah penonton Amerika memang secandu itu dengan darah dan potongan tubuh?
Pasangan psikopat ini memastikan agar tindakan mereka dilihat dan dipuja masyarakat dengan menciptakan figur Tuhan berjuluk “Kira”. Namun di lain pihak, ini juga memancing perhatian polisi serta detektif terhebat di dunia yang eksentrik, L (Keith Stanfield). L cukup cerdas untuk menyembunyikan wajah nama dan aslinya. Penyelidikan segera mengarah kepada Light. Kok bisa secepat itu? Entahlah. Jika di manga, skala ceritanya yang global mengerucut dengan logis ke Jepang, namun film langsung menyempitkannya dengan mendadak sampai anda bisa menyelipkan meme “Boy, that escalated quickly”.

Wingard dan penulis skripnya sepertinya sama sekali tak tahu apa yang mereka sasar. Karakter yang mereka buat relatif sama dengan versi manga-nya, namun mereka ogah untuk merengkuh esensi dari materi aslinya. Manga Death Note memang punya elemen supranatural, namun ini hanyalah gimmick karena yang membuat kita tercekat dengan cerita adalah adu kecerdasan dan ambiguitas moral antara Light/Kira dengan L. Permainan kucing-kucingan ini merupakan bagian terbaik dari manga, namun disini dikesampingkan karena cerita lebih berfokus pada masalah cewek yang dialami Light. Kenapa melakukan ini? Filmnya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Perubahan poin plot ini terasa serampangan, tanpa tujuan. Kenapa tak sekalian mengganti mereka dengan karakter yang sama sekali baru?

Meski banyak yang tak setuju dengan pergantian latar belakang ras L, saya kira tak ada yang akan protes dengan pemilihan Dafoe sebagai Ryuk. Ini adalah casting yang luar biasa cocok. Suara asli Dafoe sudah mengumbar aura sadis yang sesuai sekali dengan gaya Ryuk yang suka bercelutuk dan terkekeh keji. Namun filmnya tak tahu dimana harus menempatkan karakter ikonik ini. Kita tak pernah benar-benar tahu alasan kenapa Ryuk menjatuhkan bukunya atau kenapa ia tertarik dengan Light, karena seperti yang saya bilang tadi, Light dan Mia adalah karakter yang membosankan. Secara umum, film mengabaikan Ryuk di banyak kesempatan hingga ia bisa dihilangkan sama sekali dari plot dan kita takkan begitu merasakan perbedaannya.

Saya suka dengan karya Wingard sebelumnya. You’re Next dan The Guest adalah produk yang setingkat lebih tinggi dibanding film-film di genrenya. Ia punya gaya visual menarik, yang sebenarnya tak pula ketinggalan dalam Death Note ini. Coba lihat pergerakan kameranya yang unik, penggunaan warna neonnya yang mencolok, serta pemilihan lagu jadul semacam "Power of Love"-nya Air Supply untuk menegaskan ironi di adegan brutal. Namun ia mengabaikan semua hal selain itu. Film bergerak sekenanya dengan menyelipkan mitologi Death Note disana-sini tanpa fungsi yang jelas. Saya rasa Wingard dkk membuat film ini tanpa mempelajari materi orisinalnya, hanya membaca premisnya dari Wikipedia. Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Death Note

100 menit
Remaja - BO
Adam Wingard
Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, Jeremy Slater (screenplay), Tsugumi Ohba, Takeshi Obata (manga)
Masi Oka, Roy Lee, Dan Lin, Jason Hoffs
David Tattersall
Atticus Ross, Leopold Ross

Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya.

“It's like you said, sometimes you gotta choose the lesser of the two evils.”
— Light Turner
Rating UP:
Film Death Note apa ini? Semacam parodi? Kalau iya, dimana saya seharusnya tertawa? Death Note versi Netflix adalah lelucon yang tak lucu. Mungkin inilah yang akan terjadi jika Shinigami Ryuk menjatuhkan buku kematiannya di Amerika dan kepada remaja yang lebih dungu daripada remaja dalam film horor Friday the 13th. Ketika pertama kali melihat Dewa Kematian, tokoh utama kita berteriak sekencang-kencangnya dengan ekspresi yang sedemikian menggelikan, saya curiga jangan-jangan Nat Wolff sedang casting untuk film Scary Movie berikutnya. Apakah film ini main-main? Tidak juga, karena para karakter kita membicarakan perkara serius seperti tindakan meniru Tuhan serta masa depan umat manusia.


Saya sangat menggemari manga Death Note karya Takeshi Obata dan Tsugumi Ohba yang sangat cerdas dan atmosferik. Mungkin semangat fanboy saya akan membuat review ini sedikit bias. Meski demikian, saya juga tak sebegitu fanatik sampai merasa perlu bahwa adaptasi Hollywood-nya harus setia dengan materi asli. Ini adalah adaptasi dan pembuat filmnya bisa melakukan apa saja asalkan filmnya bagus. Namun, Death Note versi ini memang kacau dalam segala aspek. Tone-nya berantakan, motif karakternya tak jelas, plotnya amburadul, dan yang lebih keji lagi, perubahan yang dilakukan oleh pembuat film terhadap materi aslinya sama sekali tak memberikan signifikansi apapun.

Awalnya, film ini bermain kurang lebih seperti manga-nya. Seorang remaja bernama Light Turner (Wolff) menemukan sebuah buku hitam yang berbalut kaver kulit dengan judul "DEATH NOTE" di depannya. Sebenarnya buku ini adalah buku kematian yang dijatuhkan oleh Shinigami alias Dewa Kematian bernama Ryuk (diperankan oleh Willem Dafoe). Buku ini berisi banyak nama orang, tapi yang lebih penting, di dalamnya tercantum peraturan. Peraturannya ada banyak, namun yang paling mendasar dari semuanya adalah: tulis nama seseorang sambil membayangkan wajahnya, maka orang tersebut akan mati.

Sutradara Adam Wingard mengklaim bahwa setting Death Note asli terlalu ke-Jepang-an dan tak mungkin diadopsi mentah-mentah untuk film Hollywood. Jadi bersama penulis skrip Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater, ia melakukan penyesuaian agar lebih relevan dengan situasi sosiopolitis Amerika. Diamerikanisasi, katanya, untuk memberikan perspektif baru. Oke, baiklah. Ini dia perspektif baru yang saya dapat dari Death Note versi baru yang saya bandingkan dengan versi manga. Peringatan: saya tak bermaksud menggeneralisasi Amerika, ini hanyalah poin yang saya simpulkan dari filmnya.

  • Bullying. Menjadi anak SMA di Amerika tak ada artinya kalau anda bukan preman sekolah. Jika di manga, kepintaran Light membuatnya dengan gampang melewati masa sekolah dan menjadi idola di kelas, maka di film, hal ini menjadi bahan bully-an. Ini Amerika, Light! Harusnya ototmu yang dilatih.

  • Broken home. Tak lengkap seorang remaja Amerika jika keluarganya tak mengalami masalah. Ibu Light diceritakan meninggal karena dibunuh preman, sehingga membuat hubungan Light dengan ayahnya yang seorang kepala polisi (Shea Whigham) menjadi sangat buruk. “Ayah sama sekali tak peduli!”.

  • Pacar. Bro, SMA itu waktunya mencari pacar. Pacar adalah pencapaian tertinggi di sekolah. Jadi setelah menemukan "Death Note", Light segera membeberkan semua, termasuk keberadaan Ryuk, kepada salah satu cewek paling hot di sekolah, Mia (Margaret Qualley). Alasannya: Light naksir Mia dan, saya yakin, Light merasa inilah satu-satunya cara mendekatinya. Sabar Light, tahan nafsumu! Awalnya saya pikir Mia adalah pengganti karakter Misa Amane dari manga, namun kepribadian dan fungsinya bagi cerita sama sekali berbeda. Mia tidak gampang dimanfaatkan seperti Misa, karena ia lebih psikopat daripada Light. Dan Light sendiri tampak menyedihkan karena boleh dibilang tak bisa berbuat apa-apa di samping Mia.

  • Brutalisme. Melihat Light yang seperti ini, wajar saja jika yang ia bunuh pertama kali adalah preman sekolah yang kerap mem-bully-nya. Kalau anda merasa moralitas Light versi manga menyimpang karena membunuh banyak kriminal dan terkadang menggunakan kematian mereka demi kelancaran misinya menjadi Dewa, tunggu sampai anda melihat cara Light versi film membunuh. Salah satu kelebihan "Death Note" adalah bisa mengatur kondisi seseorang terbunuh, dan Light memanfaatkannya untuk menciptakan sekuens kematian sesadis mungkin, yang tampaknya terinspirasi karena terlalu banyak menonton Final Destination. Preman sekolah, misalnya, mati dengan kepala terpotong tangga portable. Apakah penonton Amerika memang secandu itu dengan darah dan potongan tubuh?
Pasangan psikopat ini memastikan agar tindakan mereka dilihat dan dipuja masyarakat dengan menciptakan figur Tuhan berjuluk “Kira”. Namun di lain pihak, ini juga memancing perhatian polisi serta detektif terhebat di dunia yang eksentrik, L (Keith Stanfield). L cukup cerdas untuk menyembunyikan wajah nama dan aslinya. Penyelidikan segera mengarah kepada Light. Kok bisa secepat itu? Entahlah. Jika di manga, skala ceritanya yang global mengerucut dengan logis ke Jepang, namun film langsung menyempitkannya dengan mendadak sampai anda bisa menyelipkan meme “Boy, that escalated quickly”.

Wingard dan penulis skripnya sepertinya sama sekali tak tahu apa yang mereka sasar. Karakter yang mereka buat relatif sama dengan versi manga-nya, namun mereka ogah untuk merengkuh esensi dari materi aslinya. Manga Death Note memang punya elemen supranatural, namun ini hanyalah gimmick karena yang membuat kita tercekat dengan cerita adalah adu kecerdasan dan ambiguitas moral antara Light/Kira dengan L. Permainan kucing-kucingan ini merupakan bagian terbaik dari manga, namun disini dikesampingkan karena cerita lebih berfokus pada masalah cewek yang dialami Light. Kenapa melakukan ini? Filmnya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Perubahan poin plot ini terasa serampangan, tanpa tujuan. Kenapa tak sekalian mengganti mereka dengan karakter yang sama sekali baru?

Meski banyak yang tak setuju dengan pergantian latar belakang ras L, saya kira tak ada yang akan protes dengan pemilihan Dafoe sebagai Ryuk. Ini adalah casting yang luar biasa cocok. Suara asli Dafoe sudah mengumbar aura sadis yang sesuai sekali dengan gaya Ryuk yang suka bercelutuk dan terkekeh keji. Namun filmnya tak tahu dimana harus menempatkan karakter ikonik ini. Kita tak pernah benar-benar tahu alasan kenapa Ryuk menjatuhkan bukunya atau kenapa ia tertarik dengan Light, karena seperti yang saya bilang tadi, Light dan Mia adalah karakter yang membosankan. Secara umum, film mengabaikan Ryuk di banyak kesempatan hingga ia bisa dihilangkan sama sekali dari plot dan kita takkan begitu merasakan perbedaannya.

Saya suka dengan karya Wingard sebelumnya. You’re Next dan The Guest adalah produk yang setingkat lebih tinggi dibanding film-film di genrenya. Ia punya gaya visual menarik, yang sebenarnya tak pula ketinggalan dalam Death Note ini. Coba lihat pergerakan kameranya yang unik, penggunaan warna neonnya yang mencolok, serta pemilihan lagu jadul semacam "Power of Love"-nya Air Supply untuk menegaskan ironi di adegan brutal. Namun ia mengabaikan semua hal selain itu. Film bergerak sekenanya dengan menyelipkan mitologi Death Note disana-sini tanpa fungsi yang jelas. Saya rasa Wingard dkk membuat film ini tanpa mempelajari materi orisinalnya, hanya membaca premisnya dari Wikipedia. Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Death Note

100 menit
Remaja - BO
Adam Wingard
Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, Jeremy Slater (screenplay), Tsugumi Ohba, Takeshi Obata (manga)
Masi Oka, Roy Lee, Dan Lin, Jason Hoffs
David Tattersall
Atticus Ross, Leopold Ross

Monday, September 14, 2015

Review Film: 'Self/less' (2015)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Self/less' (2015)
link : Review Film: 'Self/less' (2015)

Baca juga


Misteri

Mempunyai premis yang menawarkan kompleksitas naratif yang bisa digali, 'Self/less' hanya menjadi film aksi-thriller standar yang mengandalkan kejar-kejaran mobil dan tembak-tembakan.

“That's another way to say mediocre.”
— Damian Hale
Ryan Reynolds kembali harus berganti tubuh setelah The Change-Up. Namun kali ini bukan dengan Jason Bateman, melainkan Ben Kingsley, dalam sebuah film yang mengangkat tema yang serupa namun genre yang berbeda. Sutradara Tarsem Singh mencoba membuktikan bahwa dia tak hanya mahir di ranah film artistik seperti The Fall, namun juga dalam film yang lebih mainstream dalam Self/less. Ekspektasi boleh berlebih tapi apa yang kita peroleh justru sebaliknya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Damian Hale (Ben Kingsley), pengusaha real estate super kaya yang ketegasannya ditunjukkan dengan adegan pembuka saat dia memecat salah satu karyawan yang suka berkomentar buruk. Sayang kekayaan tak bisa menyelamatkannya dari kanker yang menggerogoti tubuhnya, ataupun memperbaiki hubungan yang buruk dengan putri semata wayangnya, Claire (Michelle Dockery).

Kesempatan datang saat Damian mendapat kartu nama misterius yang mengarahkannya pada Profesior Albright (Matthew Goode). Albright mempunyai perusahaan yang mengkhususkan pada "shedding", sebuah proses yang bisa memindahkan pikiran dari satu tubuh ke tubuh yang lain.


Dengan biaya $250 juta, Damian dibantu memalsukan kematiannya kemudian dibawa ke instalasi shedding untuk memindahkan pikiran dan memorinya ke tubuh baru yang "katanya" dikembangkan secara genetis. Meski proses ini punya efek samping yang menyebabkan pelakunya harus mengkonsumsi obat secara berkesinambungan, Damian setuju untuk melakukannya (well, siapa juga yang bakal protes kalau bisa mendapatkan tubuh Ryan Reynolds?).

Dengan pengecualian adegan shedding-nya yang terlihat murahan, Singh menunjukkan kelihaiannya di seksi visual, paling tidak di bagian awal film. Euforia Damian yang telah berganti tubuh dengan identitas baru sebagai Edward direpresentasikan secara harfiah dengan musik pengiring berirama jazz dari para musisi jalanan. Punya mobil baru dan rumah baru, Edward benar-benar menikmati hidup. Dia tidur dengan banyak wanita, yang digambarkan dengan potongan adegan yang stylish.

Self/less lalu berbelok menjadi film aksi-thriller standar, saat Edwards kabur bersama istri dan anak dari pemilik tubuh sebelumnya (yang ternyata mantan tentara), sementara dikejar oleh antek-antek Albright dengan alasan yang sedikit bias. Film ini melepaskan konsep filosofisnya dan menggantinya dengan adegan mobil terbalik, adu tembakan, serta — tadaa — flamethrower. Ada cukup plot twist yang disajikan. Ini juga terasa hambar karena repetitif dan kita tak pernah dibuat terikat dengan karakternya sejak awal.

Reynolds punya 3 nama yang berbeda, dan setidaknya memainkan 2 kepribadian yang berbeda pula, yang sebenarnya tak sebegitu berbedanya. Mungkin cocok dalam adu jotos, namun Reynolds tak mewakili karakter Ben Kingsley yang tegas dan tanpa kompromi yang tampil di awal. Keduanya terlihat sebagai orang yang benar-benar berbeda.

Film ini tak mengeksplorasi kompleksitas tema yang mungkin bisa digali lebih jauh, seperti krisis identitas dan penebusan. Penambahan tanda slash di tengah judulnya mungkin untuk membuatnya lebih menarik, sama seperti Singh yang berusaha memuaskan lebih banyak penonton dengan film aksi generik ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Self/less' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Tarsem Singh
Penulis: David Pastor, Àlex Pastor
Pemain: Ryan Reynolds, Natalie Martinez, Matthew Goode, Ben Kingsley

Mempunyai premis yang menawarkan kompleksitas naratif yang bisa digali, 'Self/less' hanya menjadi film aksi-thriller standar yang mengandalkan kejar-kejaran mobil dan tembak-tembakan.

“That's another way to say mediocre.”
— Damian Hale
Ryan Reynolds kembali harus berganti tubuh setelah The Change-Up. Namun kali ini bukan dengan Jason Bateman, melainkan Ben Kingsley, dalam sebuah film yang mengangkat tema yang serupa namun genre yang berbeda. Sutradara Tarsem Singh mencoba membuktikan bahwa dia tak hanya mahir di ranah film artistik seperti The Fall, namun juga dalam film yang lebih mainstream dalam Self/less. Ekspektasi boleh berlebih tapi apa yang kita peroleh justru sebaliknya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Damian Hale (Ben Kingsley), pengusaha real estate super kaya yang ketegasannya ditunjukkan dengan adegan pembuka saat dia memecat salah satu karyawan yang suka berkomentar buruk. Sayang kekayaan tak bisa menyelamatkannya dari kanker yang menggerogoti tubuhnya, ataupun memperbaiki hubungan yang buruk dengan putri semata wayangnya, Claire (Michelle Dockery).

Kesempatan datang saat Damian mendapat kartu nama misterius yang mengarahkannya pada Profesior Albright (Matthew Goode). Albright mempunyai perusahaan yang mengkhususkan pada "shedding", sebuah proses yang bisa memindahkan pikiran dari satu tubuh ke tubuh yang lain.


Dengan biaya $250 juta, Damian dibantu memalsukan kematiannya kemudian dibawa ke instalasi shedding untuk memindahkan pikiran dan memorinya ke tubuh baru yang "katanya" dikembangkan secara genetis. Meski proses ini punya efek samping yang menyebabkan pelakunya harus mengkonsumsi obat secara berkesinambungan, Damian setuju untuk melakukannya (well, siapa juga yang bakal protes kalau bisa mendapatkan tubuh Ryan Reynolds?).

Dengan pengecualian adegan shedding-nya yang terlihat murahan, Singh menunjukkan kelihaiannya di seksi visual, paling tidak di bagian awal film. Euforia Damian yang telah berganti tubuh dengan identitas baru sebagai Edward direpresentasikan secara harfiah dengan musik pengiring berirama jazz dari para musisi jalanan. Punya mobil baru dan rumah baru, Edward benar-benar menikmati hidup. Dia tidur dengan banyak wanita, yang digambarkan dengan potongan adegan yang stylish.

Self/less lalu berbelok menjadi film aksi-thriller standar, saat Edwards kabur bersama istri dan anak dari pemilik tubuh sebelumnya (yang ternyata mantan tentara), sementara dikejar oleh antek-antek Albright dengan alasan yang sedikit bias. Film ini melepaskan konsep filosofisnya dan menggantinya dengan adegan mobil terbalik, adu tembakan, serta — tadaa — flamethrower. Ada cukup plot twist yang disajikan. Ini juga terasa hambar karena repetitif dan kita tak pernah dibuat terikat dengan karakternya sejak awal.

Reynolds punya 3 nama yang berbeda, dan setidaknya memainkan 2 kepribadian yang berbeda pula, yang sebenarnya tak sebegitu berbedanya. Mungkin cocok dalam adu jotos, namun Reynolds tak mewakili karakter Ben Kingsley yang tegas dan tanpa kompromi yang tampil di awal. Keduanya terlihat sebagai orang yang benar-benar berbeda.

Film ini tak mengeksplorasi kompleksitas tema yang mungkin bisa digali lebih jauh, seperti krisis identitas dan penebusan. Penambahan tanda slash di tengah judulnya mungkin untuk membuatnya lebih menarik, sama seperti Singh yang berusaha memuaskan lebih banyak penonton dengan film aksi generik ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Self/less' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Tarsem Singh
Penulis: David Pastor, Àlex Pastor
Pemain: Ryan Reynolds, Natalie Martinez, Matthew Goode, Ben Kingsley

Friday, July 31, 2015

Review Film: 'The Loft' (2015)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Romance, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Loft' (2015)
link : Review Film: 'The Loft' (2015)

Baca juga


Misteri

'The Loft' dieksekusi terlalu aman oleh sutradara Erik van Looy, menjadikannya erotic-thriller tanpa real thrill, padahal ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan.

“...but you're gonna survive. Cause we're friends, aren't we?”
— Chris
Jika anda ingin melihat betapa memuakkannya perilaku manusia — pria khususnya — maka tontonlah The Loft. Perselingkungan, pengkhianatan, dan kebohongan adalah tema yang diangkat dalam film yang katanya bergenre erotic thriller ini. The Loft diangkat dengan dari film Loft versi Belgia yang dirilis pada tahun 2008 yang juga pernah dibuat kembali dalam versi Belanda dengan sutradara yang berbeda 2 tahun kemudian.

Sang sutradara film orisinalnya, Erik van Looy menjadikan film ini sebagai jalan menuju Hollywood dan mengganti pemainnya dengan bintang-bintang yang familiar. Saya tak pernah menonton 2 film sebelumnya, tapi film yang terlihat seperti gabungan cerita novel Agatha Christie dengan film Reservoir Dogs ini taklah secerdas kelihatannya. Sulit untuk bilang bahwa The Loft adalah erotic thriller, mengingat filmnya yang tak memenuhi kedua kriteria tersebut.

Lima orang pria dewasa yang telah berkeluarga merupakan sahabat karib: arsitek lihai Vincent (Karl Urban), terapis melankolis Chris (James Marsden), si pendiam Luke (Wenthworth Miller), si gendut yang banyak omong Marty (Eric Stonestreet) serta psikopat temperamen Phillip (Matthias Schoenaerts). Agar mereka bebas melakukan berbagai "urusan" tanpa diketahui oleh keluarga, Chris sengaja menyiapkan satu ruangan khusus yang diberi nama Loft (=Loteng) dan berbagi kunci dengan keempat sahabatnya tersebut.

Situasi menjadi runyam saat kelimanya menemukan mayat wanita telanjang yang diborgol di kasur Loteng lengkap dengan kalimat Latin yang ditulis dengan darah. Tempat tersebut tak diketahui oleh siapapun selain mereka berlima dan hanya mereka berlima pulalah yang punya akses kesana. Sementara mereka saling beradu argumen, misteri mengenai siapa identitas wanita tersebut, kenapa dia dibunuh disana, dan siapa pelaku sebenarnya terungkap sedikit demi sedikit.


Film dibuka dengan adegan preposisi yang menjanjikan dan cukup menegangkan. Cerita sebenarnya dimulai saat kelimanya ditangkap dan diinterogasi oleh 2 polisi yaitu Detektif Huggins (Kristin Lehman) dan Detektif Cohagan (Robert Wisdom). Melalui investigasi ini penonton disajikan dengan adegan flashback ala The Usual Suspects yang berujung pada pengungkapan kasus.

Semakin lama kita mengenal masing-masing tokoh, semakin membuat kita membenci mereka melihat kebusukan yang perlahan muncul ke permukaan. Meski ada satu tokoh yang tampak seperti nice guy — Chris misalnya — tak membuatnya terlihat lebih baik dibanding 4 rekannya. Dalam The Loft, semua pria adalah si brengsek dan wanita selalu menjadi korban situasi.

Film tipikal misteri seperti ini sebenarnya adalah favorit saya. Saya bahkan juga suka membaca novel-novel detektif dari Agatha Christie dan Arthur Conan Doyle. Dan itu adalah satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan menonton film ini sampai akhir. Eksekusi filmnya biasa saja, aktingnya juga biasa, dan tak ada karakter yang benar-benar berkesan.

Karakter kelima tokoh utama kita yang one-note sangat berbeda satu sama lain dan mereka tampaknya saling membenci, sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana mungkin kelimanya menjadi sahabat karib. Senada dengan karakterisasinya, naskah dari Bart de Paw dan Wesley Strick juga one-note dengan diisi oleh dialog-dialog pendek klise yang repetitif.

Dilihat dari premisnya film ini mengangkat tema yang cukup berat dan saya sempat berekspektasi lebih bahwa The Loft akan menjadi drama-thriller yang mengangkat isu sosial provokatif semacam Gone Girl. Namun Van Looy bukanlah David Fincher. Alih-alih, eksekusinya terlalu aman dengan narasi yang linear yang disamarkan dengan penceritaan bolak-balik. Real thrill tak pernah tersaji, meski ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan. ■ UP

'The Loft' |
|

IMDb | Rottentomatoes
103 menit | Dewasa

Sutradara: Erik van Looy
Penulis: Bart De Pauw, Wesley Strick
Pemain: Karl Urban, James Marsden, Wentworth Miller

'The Loft' dieksekusi terlalu aman oleh sutradara Erik van Looy, menjadikannya erotic-thriller tanpa real thrill, padahal ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan.

“...but you're gonna survive. Cause we're friends, aren't we?”
— Chris
Jika anda ingin melihat betapa memuakkannya perilaku manusia — pria khususnya — maka tontonlah The Loft. Perselingkungan, pengkhianatan, dan kebohongan adalah tema yang diangkat dalam film yang katanya bergenre erotic thriller ini. The Loft diangkat dengan dari film Loft versi Belgia yang dirilis pada tahun 2008 yang juga pernah dibuat kembali dalam versi Belanda dengan sutradara yang berbeda 2 tahun kemudian.

Sang sutradara film orisinalnya, Erik van Looy menjadikan film ini sebagai jalan menuju Hollywood dan mengganti pemainnya dengan bintang-bintang yang familiar. Saya tak pernah menonton 2 film sebelumnya, tapi film yang terlihat seperti gabungan cerita novel Agatha Christie dengan film Reservoir Dogs ini taklah secerdas kelihatannya. Sulit untuk bilang bahwa The Loft adalah erotic thriller, mengingat filmnya yang tak memenuhi kedua kriteria tersebut.

Lima orang pria dewasa yang telah berkeluarga merupakan sahabat karib: arsitek lihai Vincent (Karl Urban), terapis melankolis Chris (James Marsden), si pendiam Luke (Wenthworth Miller), si gendut yang banyak omong Marty (Eric Stonestreet) serta psikopat temperamen Phillip (Matthias Schoenaerts). Agar mereka bebas melakukan berbagai "urusan" tanpa diketahui oleh keluarga, Chris sengaja menyiapkan satu ruangan khusus yang diberi nama Loft (=Loteng) dan berbagi kunci dengan keempat sahabatnya tersebut.

Situasi menjadi runyam saat kelimanya menemukan mayat wanita telanjang yang diborgol di kasur Loteng lengkap dengan kalimat Latin yang ditulis dengan darah. Tempat tersebut tak diketahui oleh siapapun selain mereka berlima dan hanya mereka berlima pulalah yang punya akses kesana. Sementara mereka saling beradu argumen, misteri mengenai siapa identitas wanita tersebut, kenapa dia dibunuh disana, dan siapa pelaku sebenarnya terungkap sedikit demi sedikit.


Film dibuka dengan adegan preposisi yang menjanjikan dan cukup menegangkan. Cerita sebenarnya dimulai saat kelimanya ditangkap dan diinterogasi oleh 2 polisi yaitu Detektif Huggins (Kristin Lehman) dan Detektif Cohagan (Robert Wisdom). Melalui investigasi ini penonton disajikan dengan adegan flashback ala The Usual Suspects yang berujung pada pengungkapan kasus.

Semakin lama kita mengenal masing-masing tokoh, semakin membuat kita membenci mereka melihat kebusukan yang perlahan muncul ke permukaan. Meski ada satu tokoh yang tampak seperti nice guy — Chris misalnya — tak membuatnya terlihat lebih baik dibanding 4 rekannya. Dalam The Loft, semua pria adalah si brengsek dan wanita selalu menjadi korban situasi.

Film tipikal misteri seperti ini sebenarnya adalah favorit saya. Saya bahkan juga suka membaca novel-novel detektif dari Agatha Christie dan Arthur Conan Doyle. Dan itu adalah satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan menonton film ini sampai akhir. Eksekusi filmnya biasa saja, aktingnya juga biasa, dan tak ada karakter yang benar-benar berkesan.

Karakter kelima tokoh utama kita yang one-note sangat berbeda satu sama lain dan mereka tampaknya saling membenci, sehingga sangat sulit membayangkan bagaimana mungkin kelimanya menjadi sahabat karib. Senada dengan karakterisasinya, naskah dari Bart de Paw dan Wesley Strick juga one-note dengan diisi oleh dialog-dialog pendek klise yang repetitif.

Dilihat dari premisnya film ini mengangkat tema yang cukup berat dan saya sempat berekspektasi lebih bahwa The Loft akan menjadi drama-thriller yang mengangkat isu sosial provokatif semacam Gone Girl. Namun Van Looy bukanlah David Fincher. Alih-alih, eksekusinya terlalu aman dengan narasi yang linear yang disamarkan dengan penceritaan bolak-balik. Real thrill tak pernah tersaji, meski ada cukup banyak plot twist yang dihadirkan. ■ UP

'The Loft' |
|

IMDb | Rottentomatoes
103 menit | Dewasa

Sutradara: Erik van Looy
Penulis: Bart De Pauw, Wesley Strick
Pemain: Karl Urban, James Marsden, Wentworth Miller

Tuesday, May 26, 2015

Review Film: 'It Follows' (2015)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'It Follows' (2015)
link : Review Film: 'It Follows' (2015)

Baca juga


Misteri

Didukung dengan scoring dan komposisi yang intens, 'It Follows' adalah film horor minimalis yang sangat mencekam berkat atmosfer dan permainan mood dari David Robert Mitchell.

““It doesn't think. It doesn't feel. It doesn't give up.””
Masih ingat dulu di awal tahun 2000-an ada fenomena pesan berantai yang jika kita baca namun tidak diteruskan maka akan mendapat kemalangan? Kurang lebih tema seperti itulah yang diangkat oleh sutradara David Robert Mitchell dalam film horor It Follows. Bedanya, disini kutukan berpindah melalui hubungan seksual. Di tangan Mitchell, ini bukan hanya menjadi sekedar gimmick, alih-alih penonton akan disuguhkan sebuah horor minimalis yang benar-benar membuat bulu kuduk merinding.

Sama halnya dengan judulnya yang misterius, film dibuka dengan adegan yang membuat penonton bertanya-tanya. Dengan sorotan yang steady dengan jarak yang terjaga, kamera berputar pelan mengawasi sekitar. Di lingkungan perumahan pinggir kota, seorang gadis kepanikan dan seolah-olah dikejar sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Sang gadis kabur tergesa-gesa dengan mobilnya, dan keesokan harinya ditemukan tewas dengan kondisi (sangat) mengenaskan.

Cerita beralih ke gadis lain yang bernama Jay (Maika Monroe) yang baru berpacaran dengan Hugh (Jake Weary). Setelah beberapa kali kencan, Hugh dan Jay melakukan hubungan badan. Sehabis berhubungan, bukannya bercengkerama Hugh malah membius Jay dan mengikatnya di sebuah kursi. Hugh kemudian menceritakan sebuah fakta mengejutkan bahwa dia mendapat kutukan yang membuatnya diikuti makhluk misterius (di film direferensikan sebagai "It / Dia") dimana satu-satunya cara untuk menghilangkan kutukan itu adalah dengan memindahkannya pada orang lain melalui hubungan seks.


Sebelum kabur, Hugh menjelaskan karakteristik makhluk tersebut secara garis besar: 1) Bisa berubah wujud menjadi siapa saja, namun tak bisa dilihat orang lain selain yang terkena kutukan; 2) Hanya bisa dipindahkan melalui hubungan seks; 3) Berjalan pelan namun pasti, dan mengincar orang yang terkena kutukan; 4) Jika yang kena kutukan mati, maka kutukan berpindah kembali ke orang sebelumnya. Tentu saja awalnya Jay tidak percaya, namun setelah muncul beberapa kejadian aneh di sekitarnya, Jay dengan bantuan teman-temannya berusaha menghilangkan kutukan tersebut.

Sedikit menyoroti gaya hidup anak muda yang bebas, banyak yang menginterpretasikan film ini sebagai metafora penyakit menular seksual seperti AIDS atau semacamnya dan seolah-olah menanamkan ide untuk menjadi parno terhadap seks bebas. Pesan ini mungkin akan mengena di dunia Barat yang cenderung lebih bebas dibandingkan dengan kita yang menganut budaya Timur yang notabene masih menganggap hubungan seksual sebagai hal yang tabu. Tanpa perlu mencerna metafora tersebut, anda tetap bisa menikmati film ini.

It Follows tak seperti film horor konvensional yang menggunakan metode jump scares, seperti wujud mengerikan yang muncul mendadak atau suara jreng jreng bervolume besar. Suara pintu berderit atau kucing yang meloncat tiba-tiba memang akan membuat kaget namun anda menonton horor untuk ditakut-takuti bukan dibuat kaget bukan?

Mengambil inspirasi dari film horor era 70-an dengan sedikit nuansa dari filmnya David Lynch, Mitchell menakuti dengan membangun atmosfer mencekam. Di film ini nyaris tak ada penampakan seram yang ditampilkan. Melalui karakteristik "Dia" yang bisa mengambil wujud siapa saja: wanita, pria tinggi, dan anak-anak — kita dibuat untuk selalu mewaspadai sekitar. Sama seperti Jay, kita menjadi paranoid karena tak tahu kapan dan dimana "Dia" akan muncul — yap, bahkan di siang hari dan di tempat ramai.

Dengan bujet minim, Mitchell yang juga menulis naskah, menangani film ini dengan terampil. Tak menggunakan horor visual tapi justru menakuti dengan memainkan emosi penonton. Adegan pembuka yang mengerikan membuat ekspektasi tinggi di benak penonton. Pemilihan setting di pinggiran kota yang suram juga pas karena lekat dengan suasana supranatural.

Untuk memberikan atmosfer tersebut, Mitchell juga memanfaatkan hal teknis seperti metode pengambilan gambar dan scoring. Dengan lensa widescreen, pergerakan kamera, dan komposisi gambar yang sedemikian rupa, sinematografer Mike Gioulakis membuat penonton agar selalu mewaspadai sekitar, merasakan keberadaan "Dia", walaupun tak mucul di layar. Alih-alih menciptakan tensi dengan gerakan kamera, Gioulakis memilih metode steady long-shot yang memberikan suasana hening nan mencekam. Scoring adalah faktor paling krusial disini. Disasterpeace yang biasa menangani score game, menggunakan score eletronik ala film John Carpenter, yang punya feel asing namun pas dengan intensitas film.

Tak seperti film horor eksploitatif lain yang menjadikan karakternya saling bertengkar untuk menyelesaikan masalah, disini justru saling bahu-membahu. Teman-teman Jay: Paul (Keir Gilchrist), Greg (Daniel Zovatto), Kelly (Lili Sepe) dan adiknya, Yara (Olivia Luccardi) tak hanya memberi dukungan moril terhadap tragedi yang tak bisa mereka lihat dan mengerti. Penampilan Monroe yang mendapat porsi lebih besar juga menarik, dengan memberikan konflik internal. Dengan parasnya yang menarik memang mudah memindahkan kutukannya ke orang lain, namun jika resikonya membuat orang tersebut meninggal (apalagi temannya sendiri) tentu Jay harus berpikir dua kali.

Mendekati akhir, tensi It Follows terasa sedikit menurun. "Dia" yang merupakan makhluk tak jelas tanpa motif yang jelas dan nyaris tak mampu dikalahkan — meski masih bisa ditembak — sedikit membuat para tokoh desperate karena pada akhirnya tak banyak yang bisa dilakukan. Perlawanan terakhir juga sedikit kontradiktif dengan plot di tengah film.

It Follows yang fokus pada permainan mood dibandingkan adegan seram, mungkin akan membosankan bagi sebagian penonton. Namun di lain sisi, ini memberi penyegaran bagi film horor jaman sekarang yang menggunakan metode klise untuk menakut-nakuti. Jika anda mencari film yang benar-benar menyeramkan, It Follows adalah film horor yang membuat merinding di kesunyian. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'It Follows' |
|

IMDb | Rottentomatoes
100 menit | Dewasa

Sutradara: David Robert Mitchell
Penulis: David Robert Mitchell
Pemain: Maika Monroe, Keir Gilchrist, Daniel Zovatto

Didukung dengan scoring dan komposisi yang intens, 'It Follows' adalah film horor minimalis yang sangat mencekam berkat atmosfer dan permainan mood dari David Robert Mitchell.

““It doesn't think. It doesn't feel. It doesn't give up.””
Masih ingat dulu di awal tahun 2000-an ada fenomena pesan berantai yang jika kita baca namun tidak diteruskan maka akan mendapat kemalangan? Kurang lebih tema seperti itulah yang diangkat oleh sutradara David Robert Mitchell dalam film horor It Follows. Bedanya, disini kutukan berpindah melalui hubungan seksual. Di tangan Mitchell, ini bukan hanya menjadi sekedar gimmick, alih-alih penonton akan disuguhkan sebuah horor minimalis yang benar-benar membuat bulu kuduk merinding.

Sama halnya dengan judulnya yang misterius, film dibuka dengan adegan yang membuat penonton bertanya-tanya. Dengan sorotan yang steady dengan jarak yang terjaga, kamera berputar pelan mengawasi sekitar. Di lingkungan perumahan pinggir kota, seorang gadis kepanikan dan seolah-olah dikejar sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Sang gadis kabur tergesa-gesa dengan mobilnya, dan keesokan harinya ditemukan tewas dengan kondisi (sangat) mengenaskan.

Cerita beralih ke gadis lain yang bernama Jay (Maika Monroe) yang baru berpacaran dengan Hugh (Jake Weary). Setelah beberapa kali kencan, Hugh dan Jay melakukan hubungan badan. Sehabis berhubungan, bukannya bercengkerama Hugh malah membius Jay dan mengikatnya di sebuah kursi. Hugh kemudian menceritakan sebuah fakta mengejutkan bahwa dia mendapat kutukan yang membuatnya diikuti makhluk misterius (di film direferensikan sebagai "It / Dia") dimana satu-satunya cara untuk menghilangkan kutukan itu adalah dengan memindahkannya pada orang lain melalui hubungan seks.


Sebelum kabur, Hugh menjelaskan karakteristik makhluk tersebut secara garis besar: 1) Bisa berubah wujud menjadi siapa saja, namun tak bisa dilihat orang lain selain yang terkena kutukan; 2) Hanya bisa dipindahkan melalui hubungan seks; 3) Berjalan pelan namun pasti, dan mengincar orang yang terkena kutukan; 4) Jika yang kena kutukan mati, maka kutukan berpindah kembali ke orang sebelumnya. Tentu saja awalnya Jay tidak percaya, namun setelah muncul beberapa kejadian aneh di sekitarnya, Jay dengan bantuan teman-temannya berusaha menghilangkan kutukan tersebut.

Sedikit menyoroti gaya hidup anak muda yang bebas, banyak yang menginterpretasikan film ini sebagai metafora penyakit menular seksual seperti AIDS atau semacamnya dan seolah-olah menanamkan ide untuk menjadi parno terhadap seks bebas. Pesan ini mungkin akan mengena di dunia Barat yang cenderung lebih bebas dibandingkan dengan kita yang menganut budaya Timur yang notabene masih menganggap hubungan seksual sebagai hal yang tabu. Tanpa perlu mencerna metafora tersebut, anda tetap bisa menikmati film ini.

It Follows tak seperti film horor konvensional yang menggunakan metode jump scares, seperti wujud mengerikan yang muncul mendadak atau suara jreng jreng bervolume besar. Suara pintu berderit atau kucing yang meloncat tiba-tiba memang akan membuat kaget namun anda menonton horor untuk ditakut-takuti bukan dibuat kaget bukan?

Mengambil inspirasi dari film horor era 70-an dengan sedikit nuansa dari filmnya David Lynch, Mitchell menakuti dengan membangun atmosfer mencekam. Di film ini nyaris tak ada penampakan seram yang ditampilkan. Melalui karakteristik "Dia" yang bisa mengambil wujud siapa saja: wanita, pria tinggi, dan anak-anak — kita dibuat untuk selalu mewaspadai sekitar. Sama seperti Jay, kita menjadi paranoid karena tak tahu kapan dan dimana "Dia" akan muncul — yap, bahkan di siang hari dan di tempat ramai.

Dengan bujet minim, Mitchell yang juga menulis naskah, menangani film ini dengan terampil. Tak menggunakan horor visual tapi justru menakuti dengan memainkan emosi penonton. Adegan pembuka yang mengerikan membuat ekspektasi tinggi di benak penonton. Pemilihan setting di pinggiran kota yang suram juga pas karena lekat dengan suasana supranatural.

Untuk memberikan atmosfer tersebut, Mitchell juga memanfaatkan hal teknis seperti metode pengambilan gambar dan scoring. Dengan lensa widescreen, pergerakan kamera, dan komposisi gambar yang sedemikian rupa, sinematografer Mike Gioulakis membuat penonton agar selalu mewaspadai sekitar, merasakan keberadaan "Dia", walaupun tak mucul di layar. Alih-alih menciptakan tensi dengan gerakan kamera, Gioulakis memilih metode steady long-shot yang memberikan suasana hening nan mencekam. Scoring adalah faktor paling krusial disini. Disasterpeace yang biasa menangani score game, menggunakan score eletronik ala film John Carpenter, yang punya feel asing namun pas dengan intensitas film.

Tak seperti film horor eksploitatif lain yang menjadikan karakternya saling bertengkar untuk menyelesaikan masalah, disini justru saling bahu-membahu. Teman-teman Jay: Paul (Keir Gilchrist), Greg (Daniel Zovatto), Kelly (Lili Sepe) dan adiknya, Yara (Olivia Luccardi) tak hanya memberi dukungan moril terhadap tragedi yang tak bisa mereka lihat dan mengerti. Penampilan Monroe yang mendapat porsi lebih besar juga menarik, dengan memberikan konflik internal. Dengan parasnya yang menarik memang mudah memindahkan kutukannya ke orang lain, namun jika resikonya membuat orang tersebut meninggal (apalagi temannya sendiri) tentu Jay harus berpikir dua kali.

Mendekati akhir, tensi It Follows terasa sedikit menurun. "Dia" yang merupakan makhluk tak jelas tanpa motif yang jelas dan nyaris tak mampu dikalahkan — meski masih bisa ditembak — sedikit membuat para tokoh desperate karena pada akhirnya tak banyak yang bisa dilakukan. Perlawanan terakhir juga sedikit kontradiktif dengan plot di tengah film.

It Follows yang fokus pada permainan mood dibandingkan adegan seram, mungkin akan membosankan bagi sebagian penonton. Namun di lain sisi, ini memberi penyegaran bagi film horor jaman sekarang yang menggunakan metode klise untuk menakut-nakuti. Jika anda mencari film yang benar-benar menyeramkan, It Follows adalah film horor yang membuat merinding di kesunyian. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'It Follows' |
|

IMDb | Rottentomatoes
100 menit | Dewasa

Sutradara: David Robert Mitchell
Penulis: David Robert Mitchell
Pemain: Maika Monroe, Keir Gilchrist, Daniel Zovatto

Thursday, May 21, 2015

Review Film: 'Tomorrowland' (2015)

Misteri - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Misteri, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Tomorrowland' (2015)
link : Review Film: 'Tomorrowland' (2015)

Baca juga


Misteri

Terlalu sibuk menyajikan santapan visual bagi penonton hingga lupa dengan narasi, tak mampu mengejawantahkan pesan inovasi dan optimisme yang digaungkan secara verbal sepanjang film.

“Imagination is more important than knowledge.”
— Albert Einstein
Hingga premiernya kemarin (20/5), Disney menyimpan rapat-rapat mengenai film Tomorrowland, yang semakin meningkatkan antusiasme dan ekspektasi. Nah sekarang film yang telah lama ditunggu-tunggu dengan bujet besar, kru berbakat, tema futuristik yang menjanjikan, desain produksi yang tinggi, dan visual effects yang canggih, apa yang bisa salah dari Tomorrowland? Sebenarnya ada banyak, setidaknya menurut saya.

Diangkat dari salah satu wahana Disney, film ini mungkin diproyeksikan menjadi franchise sukses semacam Pirates of the Caribbean. Meskipun punya production value yang setara, namun Tomorrowland tak punya energi yang sama. Beberapa product placement yang diselipkan di dalam film — seperti produk kue dan minuman terkenal — sebenarnya bisa dimaklumi, namun pada akhirnya, Tomorrowland terasa seperti sekedar iklan wahana Disney.

Sedikit membuat penasaran, di depan sebuah alat countdown berdesain unik, Frank (George Clooney) dan Casey (Britt Robertson) tengah berdebat bagaimana cara menceritakan kisah mereka. Frank memulai dengan menceritakan masa kecilnya saat dia tengah menghadiri World's Fair di tahun 1964.

Frank kecil (yang dipilih dengan tepat untuk diperankan oleh Thomas Robison) adalah bocah jenius penuh semangat yang membawa jetpack buatannya untuk mengikuti kontes di World's Fair. Masih punya kekurangan teknis, penemuan Frank ditolak oleh juri David Nix (Hugh Laurie), namun dia bertemu dengan seorang gadis kecil misterius bernama Athena (Raffey Cassidy) yang memberinya sebuah pin. Berbekal pin ini, Frank masuk ke dunia futuristik nan higienis dengan gedung pencakar langit, kendaraan yang bisa melayang di udara, serta teknologi maju lainnya.


Sementara kita tak tahu bagaimana nasib Frank disana, Casey kemudian mengambil alih dengan ceritanya yang menyabotase usaha pemerintah untuk menghancurkan landasan peluncuran roket NASA yang tak dipakai lagi. Tak hanya menyangkut masa depan ayahnya, Eddie (Tim McGraw) yang akan menjadi pengangguran, penghancuran ini juga merepresentasikan keputusasaan manusia untuk menjelajah angkasa.

Dalam usaha sabotase yang kedua, Casey ditangkap oleh pihak keamanan. Saat pelepasannya, Casey memperoleh pin yang sama dengan Frank dulu, yang saat disentuh memperlihatkannya dunia paralel Tomorrowland, yang dihadirkan oleh para kru melalui sebuah efek visual keren.

Dari durasinya yang 130 menit, film ini menghabiskan sekitar separuh waktunya untuk menceritakan backstory yang seharusnya bisa diringkas. Cerita sebenarnya baru dimulai saat Frank dan Casey bersama dengan Athena berusaha untuk menyelamatkan masa depan dunia nyata yang bergantung pada dunia paralel tersebut. Cukup janggal film yang mengangkat judul Tomorrowland namun tak banyak bercerita di Tomorrowland.

Film ini punya sedikit kemiripan dengan film animasi Up, dengan adanya karakter Frank sebagai si tua yang pesimis dan Casey sebagai anak muda yang optimis dan penuh semangat. Interaksi keduanya stereotip dengan sedikit perselisihan kecil. Yang mengejutkan adalah penampilan Raffey Cassidy sebagai Athena yang sangat mencolok dan mampu mengimbangi akting Clooney dan Robertson.

Brad Bird adalah sutradara yang pas menurut Disney untuk menyutradarai film utopia semacam ini melihat trackrecord-nya dalam The Iron Giant dan The Incredibles. Dengan bantuan desainer produksi Scott Chambliss dan sinematografer Claudio Miranda, Bird menghadirkan dunia fantasi futuristik yang menjadi impian semua orang, kontras dengan masa depan dunia nyata di ambang kehancuran, yang diperlihatkan sekilas mendekati ending. Tampaknya sedikit menyenggol isu global warming dan perubahan iklim akibat gaya hidup manusia, namun pesan ini tak pernah tersampaikan dengan baik.

Naskah yang ditulis oleh Bird bersama Damon Lindelof (Prometheus, serial Lost) terkesan berantakan. Dimulai dari pemilihan sudut pandang narasi, hingga usaha menggabungkan pesan moral (yang selalu diulang-ulang sampai membuat bosan) dengan sekuens aksi yang tak pas. Adegan di toko jadul milik Kathryn Hahn dan Keegan-Michael Key seharusnya menjadi pengantar konflik utama film, tapi terasa janggal melihat posisinya dari narasi secara keseluruhan. Mengejutkan melihat fakta bahwa Bird pernah menangani film Mission: Impossible - Ghost Protocol yang notabene adalah film aksi.

Dengan mengesampingkan hal di atas, Tomorrowland adalah sebuah sajian visual yang apik. Desain dunia futuristik yang impresif dengan gedung-gedung dan kendaraan yang unik mengundang kekaguman layaknya anak kecil. Secara teknis, film ini mengagumkan. Nuansa fiksi ilmiahnya sangat terasa dengan kehadiran pistol laser, bom plasma, serta kapsul lintas waktu dan dimensi. Pastinya hal seperti ini akan mengundang decak kagum adik/anak-anak anda, meski tak menutup kemungkinan anda juga akan tertarik.

Bagi anda yang sudah berumur (seperti saya), adegan di toko Blast from the Past akan sedikit mengundang nostalgia. Ada banyak referensi sci-fi klasik yang dihadirkan, seperti Star Wars, Flash Gordon, dan Planet of the Apes yang tentunya mengundang sensasi nostalgia. Salah satu trivia fiktif menarik yang dihadirkan adalah terungkapnya perkumpulan rahasia yang dinamakan "Plus Ultra" yang beranggotakan Thomas Alva Edison dan Nikola Tesla yang berujung pada peluncuran roket oleh Frank dkk melalui Menara Eiffel.

Tomorrowland terlalu sibuk menyajikan santapan visual bagi penonton hingga lupa dengan narasi. Pesan moral tentang inovasi dan optimisme yang selalu digaungkan secara verbal sepanjang film tak pernah mengena bagi penonton, karena filmnya sendiri tak pernah mengejawantahkan pesan besar tersebut dengan baik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Tomorrowland' |
|

IMDb | Rottentomatoes
130 menit | Semua Umur - BO

Sutradara Brad Bird
Penulis Damon Lindelof, Brad Bird
Pemain George Clooney, Hugh Laurie, Britt Robertson, Raffey Cassidy

Terlalu sibuk menyajikan santapan visual bagi penonton hingga lupa dengan narasi, tak mampu mengejawantahkan pesan inovasi dan optimisme yang digaungkan secara verbal sepanjang film.

“Imagination is more important than knowledge.”
— Albert Einstein
Hingga premiernya kemarin (20/5), Disney menyimpan rapat-rapat mengenai film Tomorrowland, yang semakin meningkatkan antusiasme dan ekspektasi. Nah sekarang film yang telah lama ditunggu-tunggu dengan bujet besar, kru berbakat, tema futuristik yang menjanjikan, desain produksi yang tinggi, dan visual effects yang canggih, apa yang bisa salah dari Tomorrowland? Sebenarnya ada banyak, setidaknya menurut saya.

Diangkat dari salah satu wahana Disney, film ini mungkin diproyeksikan menjadi franchise sukses semacam Pirates of the Caribbean. Meskipun punya production value yang setara, namun Tomorrowland tak punya energi yang sama. Beberapa product placement yang diselipkan di dalam film — seperti produk kue dan minuman terkenal — sebenarnya bisa dimaklumi, namun pada akhirnya, Tomorrowland terasa seperti sekedar iklan wahana Disney.

Sedikit membuat penasaran, di depan sebuah alat countdown berdesain unik, Frank (George Clooney) dan Casey (Britt Robertson) tengah berdebat bagaimana cara menceritakan kisah mereka. Frank memulai dengan menceritakan masa kecilnya saat dia tengah menghadiri World's Fair di tahun 1964.

Frank kecil (yang dipilih dengan tepat untuk diperankan oleh Thomas Robison) adalah bocah jenius penuh semangat yang membawa jetpack buatannya untuk mengikuti kontes di World's Fair. Masih punya kekurangan teknis, penemuan Frank ditolak oleh juri David Nix (Hugh Laurie), namun dia bertemu dengan seorang gadis kecil misterius bernama Athena (Raffey Cassidy) yang memberinya sebuah pin. Berbekal pin ini, Frank masuk ke dunia futuristik nan higienis dengan gedung pencakar langit, kendaraan yang bisa melayang di udara, serta teknologi maju lainnya.


Sementara kita tak tahu bagaimana nasib Frank disana, Casey kemudian mengambil alih dengan ceritanya yang menyabotase usaha pemerintah untuk menghancurkan landasan peluncuran roket NASA yang tak dipakai lagi. Tak hanya menyangkut masa depan ayahnya, Eddie (Tim McGraw) yang akan menjadi pengangguran, penghancuran ini juga merepresentasikan keputusasaan manusia untuk menjelajah angkasa.

Dalam usaha sabotase yang kedua, Casey ditangkap oleh pihak keamanan. Saat pelepasannya, Casey memperoleh pin yang sama dengan Frank dulu, yang saat disentuh memperlihatkannya dunia paralel Tomorrowland, yang dihadirkan oleh para kru melalui sebuah efek visual keren.

Dari durasinya yang 130 menit, film ini menghabiskan sekitar separuh waktunya untuk menceritakan backstory yang seharusnya bisa diringkas. Cerita sebenarnya baru dimulai saat Frank dan Casey bersama dengan Athena berusaha untuk menyelamatkan masa depan dunia nyata yang bergantung pada dunia paralel tersebut. Cukup janggal film yang mengangkat judul Tomorrowland namun tak banyak bercerita di Tomorrowland.

Film ini punya sedikit kemiripan dengan film animasi Up, dengan adanya karakter Frank sebagai si tua yang pesimis dan Casey sebagai anak muda yang optimis dan penuh semangat. Interaksi keduanya stereotip dengan sedikit perselisihan kecil. Yang mengejutkan adalah penampilan Raffey Cassidy sebagai Athena yang sangat mencolok dan mampu mengimbangi akting Clooney dan Robertson.

Brad Bird adalah sutradara yang pas menurut Disney untuk menyutradarai film utopia semacam ini melihat trackrecord-nya dalam The Iron Giant dan The Incredibles. Dengan bantuan desainer produksi Scott Chambliss dan sinematografer Claudio Miranda, Bird menghadirkan dunia fantasi futuristik yang menjadi impian semua orang, kontras dengan masa depan dunia nyata di ambang kehancuran, yang diperlihatkan sekilas mendekati ending. Tampaknya sedikit menyenggol isu global warming dan perubahan iklim akibat gaya hidup manusia, namun pesan ini tak pernah tersampaikan dengan baik.

Naskah yang ditulis oleh Bird bersama Damon Lindelof (Prometheus, serial Lost) terkesan berantakan. Dimulai dari pemilihan sudut pandang narasi, hingga usaha menggabungkan pesan moral (yang selalu diulang-ulang sampai membuat bosan) dengan sekuens aksi yang tak pas. Adegan di toko jadul milik Kathryn Hahn dan Keegan-Michael Key seharusnya menjadi pengantar konflik utama film, tapi terasa janggal melihat posisinya dari narasi secara keseluruhan. Mengejutkan melihat fakta bahwa Bird pernah menangani film Mission: Impossible - Ghost Protocol yang notabene adalah film aksi.

Dengan mengesampingkan hal di atas, Tomorrowland adalah sebuah sajian visual yang apik. Desain dunia futuristik yang impresif dengan gedung-gedung dan kendaraan yang unik mengundang kekaguman layaknya anak kecil. Secara teknis, film ini mengagumkan. Nuansa fiksi ilmiahnya sangat terasa dengan kehadiran pistol laser, bom plasma, serta kapsul lintas waktu dan dimensi. Pastinya hal seperti ini akan mengundang decak kagum adik/anak-anak anda, meski tak menutup kemungkinan anda juga akan tertarik.

Bagi anda yang sudah berumur (seperti saya), adegan di toko Blast from the Past akan sedikit mengundang nostalgia. Ada banyak referensi sci-fi klasik yang dihadirkan, seperti Star Wars, Flash Gordon, dan Planet of the Apes yang tentunya mengundang sensasi nostalgia. Salah satu trivia fiktif menarik yang dihadirkan adalah terungkapnya perkumpulan rahasia yang dinamakan "Plus Ultra" yang beranggotakan Thomas Alva Edison dan Nikola Tesla yang berujung pada peluncuran roket oleh Frank dkk melalui Menara Eiffel.

Tomorrowland terlalu sibuk menyajikan santapan visual bagi penonton hingga lupa dengan narasi. Pesan moral tentang inovasi dan optimisme yang selalu digaungkan secara verbal sepanjang film tak pernah mengena bagi penonton, karena filmnya sendiri tak pernah mengejawantahkan pesan besar tersebut dengan baik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Tomorrowland' |
|

IMDb | Rottentomatoes
130 menit | Semua Umur - BO

Sutradara Brad Bird
Penulis Damon Lindelof, Brad Bird
Pemain George Clooney, Hugh Laurie, Britt Robertson, Raffey Cassidy