Showing posts with label Horor. Show all posts
Showing posts with label Horor. Show all posts

Wednesday, March 20, 2019

Review Film: 'Us' (2019)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Us' (2019)
link : Review Film: 'Us' (2019)

Baca juga


Horor

'Us' adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan.

“... looks like one f***up performance art.”
— Gabe Wilson
Rating UP:
Mungkin baru sekitar setengah film Us berjalan, teman nonton saya tiba-tiba komplain:

"Yank, nontonnya capek yah".

Saya —sebagai seorang blogger film, seorang penikmat film, dan seseorang yang mengaku-ngaku paham banget soal film padahal bukan— tidak terkejut, apalagi marah. Sebab, saya juga capek. Lha gimana, jantung saya yang sudah tua ini digedor terus, hampir secara konstan sepanjang film. Us adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan. Saya pernah melihat film yang adegannya lebih sadis. Saya pernah melihat film yang jump-scares-nya lebih berisik. Namun, Us lebih berhak mendapat predikat horor sejati di antara semuanya. Jarang-jarang saya nonton setegang ini.


Dua tahun lalu, Jordan Peele memulai debutnya sebagai penulis dan sutradara dengan menghadirkan salah satu horor/thriller paling orisinal, Get Out. Film tersebut sangat tajam dalam menyampaikan pesan sosiopolitisnya, tapi buat saya tak begitu menakutkan. Sekarang ia membawakan Us, film yang tak begitu orisinal tapi anjir sangat menakutkan. Film ini menempeleng saya yang awalnya masih meragukan soal kapabilitasnya sebagai sutradara hqq di Get Out, karena sekarang ia membuktikan bahwa ia bisa membuat film horor yang benar-benar horor jika dibutuhkan.

Peele menangani premis klise home-invasion dari filmnya menjadi horor yang cerdas dan terasa segar. Sebagaimana yang kita harapkan dari seorang motor penggerak sketsa legendaris Key & Peele-nya Comedy Central, ia kembali dengan piawai menggabungkan horor dengan komedi, bukan lewat adegan "eh, gue pengen ngelucu nih" melainkan lewat kecanggungan situasi. Ini menjamin bahwa kita ketawa bukan berarti lepas dari cengkeraman film. Namun yang lebih saya kagumi adalah bagaimana ia dengan brilian menciptakan kengerian yang sangat nampol lewat sesuatu yang relatif sederhana. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh kita. Us.

Lebih tepatnya, terornya dibawa oleh sesuatu yang terlihat persis seperti kita. Atau, apa memang begitu? Seorang gadis kecil (Madison Curry) menemukan hal ini saat nyasar di sebuah taman bermain di pantai Santa Cruz. Peristiwa ini meninggalkan trauma sedemikian mendalam sehingga membuat sang gadis kecil yang tumbuh menjadi Lupita Nyong'o, gampang resah serta overprotektif terhadap kedua anaknya (Shahadi Wright Joseph dan Evan Alex). Sialnya, sang suami yang selow abis (Winston Duke) membawanya sekeluarga untuk liburan di wisma yang dekat dengan pantai naas tersebut.

Sungguh awal cerita yang klise. Tapi saya tidak mendelik. Pasalnya, Peele menuturkan ini dengan sangat cakap. Ia membangun karakter dan situasi dengan perlahan tapi mantap. Saya kira poin krusial dari film ini adalah membawa kita masuk ke dalam kondisi pikiran karakter Nyong'o. Dan Peele berhasil melakukannya. Ia sepertinya sangat menguasai komando di setiap lini. Ketegangan tercipta secara simultan lewat akting, pemilihan gambar, dan scoring, dengan kontibusi besar dari semua aktor, sinematografer Mike Gioulakis dan komposer Michael Abels. Baru beberapa menit berjalan, film sudah mencengkeram saya.

Dikarenakan ini adalah spoiler, maka saya takkan memberitahu anda bahwa keluarga Nyong'o akan diinvasi oleh satu keluarga yang sangat mirip dengan mereka. Sial, saya keceplosan. Mereka berdiri di luar rumah dengan posisi kaku, memakai baju terusan warna merah dan bersenjatakan gunting besar berwarna emas. Maksud kedatangan mereka adalah berkunjung dan bercengkerama sambil ngopi santai... tentu saja bukan! Mereka tidak datang dalam damai.

Istilah yang kerap diasosiasikan dengan film Us —meski filmnya sendiri tak pernah menyebut kata ini— adalah Doppelganger. Doppelganger adalah orang yang sangat mirip dengan kita padahal kita tak punya hubungan sama sekali dengan mereka. Konon, bertemu dengan doppelganger adalah pertanda buruk yang bisa berujung pada kematian. Dan sebagaimana resep jitu yang sudah diterapkan oleh manusia sejak jaman dahulu kala; kalau ada sesuatu yang mirip dengan kita, bergerak seperti kita, berbicara seperti kita, bernapas seperti kita, tapi bukan bagian dari kita, maka layak, wajar, dan pantas kita serbu. Uhuk #PesanMoral.

Kembali ke topik, premis ini mengijinkan hampir semua aktornya punya peran ganda. Ternyata menakutkan juga melihat versi jahat dari kita menyerang diri kita sendiri. Semua mendapat momen masing-masing, termasuk Elisabeth Moss dan Tim Heidecker yang bermain sebagai pasangan yang merupakan teman keluarga Nyong'o. Namun yang paling spektakuler, tentunya Nyong'o. Penampilan dobelnya punya kualitas emosional dan fisik yang fantastis. Versi jahatnya barangkali merupakan satu-satunya doppelganger yang bisa bicara; itupun dalam suara yang serak ke dalam. Saat hubungan mereka terungkap lebih dalam, ini membeberkan sesuatu yang lebih mengerikan.

Skala ceritanya pun meluas, lebih dari sekadar home-invasion, karena ia kemudian melibatkan konsep scifi yang sangat ambisius. Dan dengan lebih banyak simbolisme dan subteks. Inilah saat kita teringat kembali dengan teks di awal film yang memberitahu soal banyaknya terowongan rahasia di bawah Amerika. Atau soal berita di televisi jadul yang mewartakan soal aksi "Hands Across America", kegiatan amal yang melibatkan 6 juta warga Amerika bergandeng tangan di seluruh negeri (entah jumlahnya betul atau tidak). Atau soal surat Jeremiah 11:11 tentang Tuhan yang memberi bencana. Atau soal puluhan kelinci dalam kandang yang menjadi adegan pengantar judul film. Semuanya seperti mengisyaratkan... uhm, sesuatu, tapi rasa-rasanya tak nyambung dalam satu konsep yang jelas. Us seperti ingin menyampaikan soal sesuatu, tapi tak tahu apa yang ingin disampaikannya.

Apakah ini soal dualitas dari kualitas pribadi manusia? Atau soal sindiran terhadap kemunafikan beberapa dari kita dalam setiap aksi amal? Atau soal pembalasan dari orang-orang yang direpresi di Amerika? Saya tak bisa menemukan tohokan utamanya. Mitologinya agak memusingkan kalau dipikirkan. Tapi, anda tahu? Saya tak begitu terpikir soal ini saat menonton. Setiap perkembangan cerita dalam Us membuat saya penasaran hanya untuk melihat kemana lagi Peele bisa membawa saya. Ia tak berhenti untuk menjanjikan sesuatu yang tak terduga. Dan ia tak pernah membuat saya kecewa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Us

116 menit
Remaja - BO
Jordan Peele
Jordan Peele
Jason Blum, Ian Cooper, Sean McKittrick, Jordan Peele
Mike Gioulakis
Michael Abels

Diulas oleh

'Us' adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan.

“... looks like one f***up performance art.”
— Gabe Wilson
Rating UP:
Mungkin baru sekitar setengah film Us berjalan, teman nonton saya tiba-tiba komplain:

"Yank, nontonnya capek yah".

Saya —sebagai seorang blogger film, seorang penikmat film, dan seseorang yang mengaku-ngaku paham banget soal film padahal bukan— tidak terkejut, apalagi marah. Sebab, saya juga capek. Lha gimana, jantung saya yang sudah tua ini digedor terus, hampir secara konstan sepanjang film. Us adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan. Saya pernah melihat film yang adegannya lebih sadis. Saya pernah melihat film yang jump-scares-nya lebih berisik. Namun, Us lebih berhak mendapat predikat horor sejati di antara semuanya. Jarang-jarang saya nonton setegang ini.


Dua tahun lalu, Jordan Peele memulai debutnya sebagai penulis dan sutradara dengan menghadirkan salah satu horor/thriller paling orisinal, Get Out. Film tersebut sangat tajam dalam menyampaikan pesan sosiopolitisnya, tapi buat saya tak begitu menakutkan. Sekarang ia membawakan Us, film yang tak begitu orisinal tapi anjir sangat menakutkan. Film ini menempeleng saya yang awalnya masih meragukan soal kapabilitasnya sebagai sutradara hqq di Get Out, karena sekarang ia membuktikan bahwa ia bisa membuat film horor yang benar-benar horor jika dibutuhkan.

Peele menangani premis klise home-invasion dari filmnya menjadi horor yang cerdas dan terasa segar. Sebagaimana yang kita harapkan dari seorang motor penggerak sketsa legendaris Key & Peele-nya Comedy Central, ia kembali dengan piawai menggabungkan horor dengan komedi, bukan lewat adegan "eh, gue pengen ngelucu nih" melainkan lewat kecanggungan situasi. Ini menjamin bahwa kita ketawa bukan berarti lepas dari cengkeraman film. Namun yang lebih saya kagumi adalah bagaimana ia dengan brilian menciptakan kengerian yang sangat nampol lewat sesuatu yang relatif sederhana. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh kita. Us.

Lebih tepatnya, terornya dibawa oleh sesuatu yang terlihat persis seperti kita. Atau, apa memang begitu? Seorang gadis kecil (Madison Curry) menemukan hal ini saat nyasar di sebuah taman bermain di pantai Santa Cruz. Peristiwa ini meninggalkan trauma sedemikian mendalam sehingga membuat sang gadis kecil yang tumbuh menjadi Lupita Nyong'o, gampang resah serta overprotektif terhadap kedua anaknya (Shahadi Wright Joseph dan Evan Alex). Sialnya, sang suami yang selow abis (Winston Duke) membawanya sekeluarga untuk liburan di wisma yang dekat dengan pantai naas tersebut.

Sungguh awal cerita yang klise. Tapi saya tidak mendelik. Pasalnya, Peele menuturkan ini dengan sangat cakap. Ia membangun karakter dan situasi dengan perlahan tapi mantap. Saya kira poin krusial dari film ini adalah membawa kita masuk ke dalam kondisi pikiran karakter Nyong'o. Dan Peele berhasil melakukannya. Ia sepertinya sangat menguasai komando di setiap lini. Ketegangan tercipta secara simultan lewat akting, pemilihan gambar, dan scoring, dengan kontibusi besar dari semua aktor, sinematografer Mike Gioulakis dan komposer Michael Abels. Baru beberapa menit berjalan, film sudah mencengkeram saya.

Dikarenakan ini adalah spoiler, maka saya takkan memberitahu anda bahwa keluarga Nyong'o akan diinvasi oleh satu keluarga yang sangat mirip dengan mereka. Sial, saya keceplosan. Mereka berdiri di luar rumah dengan posisi kaku, memakai baju terusan warna merah dan bersenjatakan gunting besar berwarna emas. Maksud kedatangan mereka adalah berkunjung dan bercengkerama sambil ngopi santai... tentu saja bukan! Mereka tidak datang dalam damai.

Istilah yang kerap diasosiasikan dengan film Us —meski filmnya sendiri tak pernah menyebut kata ini— adalah Doppelganger. Doppelganger adalah orang yang sangat mirip dengan kita padahal kita tak punya hubungan sama sekali dengan mereka. Konon, bertemu dengan doppelganger adalah pertanda buruk yang bisa berujung pada kematian. Dan sebagaimana resep jitu yang sudah diterapkan oleh manusia sejak jaman dahulu kala; kalau ada sesuatu yang mirip dengan kita, bergerak seperti kita, berbicara seperti kita, bernapas seperti kita, tapi bukan bagian dari kita, maka layak, wajar, dan pantas kita serbu. Uhuk #PesanMoral.

Kembali ke topik, premis ini mengijinkan hampir semua aktornya punya peran ganda. Ternyata menakutkan juga melihat versi jahat dari kita menyerang diri kita sendiri. Semua mendapat momen masing-masing, termasuk Elisabeth Moss dan Tim Heidecker yang bermain sebagai pasangan yang merupakan teman keluarga Nyong'o. Namun yang paling spektakuler, tentunya Nyong'o. Penampilan dobelnya punya kualitas emosional dan fisik yang fantastis. Versi jahatnya barangkali merupakan satu-satunya doppelganger yang bisa bicara; itupun dalam suara yang serak ke dalam. Saat hubungan mereka terungkap lebih dalam, ini membeberkan sesuatu yang lebih mengerikan.

Skala ceritanya pun meluas, lebih dari sekadar home-invasion, karena ia kemudian melibatkan konsep scifi yang sangat ambisius. Dan dengan lebih banyak simbolisme dan subteks. Inilah saat kita teringat kembali dengan teks di awal film yang memberitahu soal banyaknya terowongan rahasia di bawah Amerika. Atau soal berita di televisi jadul yang mewartakan soal aksi "Hands Across America", kegiatan amal yang melibatkan 6 juta warga Amerika bergandeng tangan di seluruh negeri (entah jumlahnya betul atau tidak). Atau soal surat Jeremiah 11:11 tentang Tuhan yang memberi bencana. Atau soal puluhan kelinci dalam kandang yang menjadi adegan pengantar judul film. Semuanya seperti mengisyaratkan... uhm, sesuatu, tapi rasa-rasanya tak nyambung dalam satu konsep yang jelas. Us seperti ingin menyampaikan soal sesuatu, tapi tak tahu apa yang ingin disampaikannya.

Apakah ini soal dualitas dari kualitas pribadi manusia? Atau soal sindiran terhadap kemunafikan beberapa dari kita dalam setiap aksi amal? Atau soal pembalasan dari orang-orang yang direpresi di Amerika? Saya tak bisa menemukan tohokan utamanya. Mitologinya agak memusingkan kalau dipikirkan. Tapi, anda tahu? Saya tak begitu terpikir soal ini saat menonton. Setiap perkembangan cerita dalam Us membuat saya penasaran hanya untuk melihat kemana lagi Peele bisa membawa saya. Ia tak berhenti untuk menjanjikan sesuatu yang tak terduga. Dan ia tak pernah membuat saya kecewa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Us

116 menit
Remaja - BO
Jordan Peele
Jordan Peele
Jason Blum, Ian Cooper, Sean McKittrick, Jordan Peele
Mike Gioulakis
Michael Abels

Diulas oleh

Saturday, February 16, 2019

Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)
link : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Baca juga


Horor

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Thursday, June 28, 2018

Review Film: 'Hereditary' (2018)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Hereditary' (2018)
link : Review Film: 'Hereditary' (2018)

Baca juga


Horor

Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim 'yang terseram', tunggu dulu.

“Who's going to take care of me?”
— Charlie Graham
Rating UP:
Kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir. Ada beberapa hal yang mau tak mau harus kita terima begitu saja. Tak bisa protes, karena itu sudah turunan. Demikianlah yang dialami keluarga Graham. Keluarga ini sepertinya selalu dikutuk dengan kemalangan dalam bentuk penyakit kejiwaan. Hereditary membawa istilah "warisan" ke sisi yang paling ekstrim, dan untuk itu, Ari Aster menyajikannya lewat pendekatan yang sangat intens. Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim "yang terseram", tunggu dulu.

Seram itu relatif. Bagi saya yang anak kosan, hal yang terseram tetaplah tanggal tua. Okefine, garing. Lanjut.


Menyebutnya plek sebagai film horor mungkin akan membuat sebagian penonton kasual kecele. Horor memang, bahkan di satu titik masuk ke ranah supranatural, tapi bukan horor yang berfokus pada hantu-hantuan atau sadis-sadisan belaka. Memang ada adegan penampakan dan barang yang bergerak sendiri serta bagian yang berdarah-darah, namun bukan aktivitas paranormal yang membuat kita takut. Alih-alih, ia menggunakan elemen supranatural untuk mengeksplorasi tragedi emosional. Kita ngeri akan apa yang mungkin bakal menimpa mereka atau apa yang mungkin bakal mereka lakukan.

Ini sukses membuat kita duduk tak nyaman nyaris sepanjang durasi berkat kelihaian pembuatnya dalam membangun atmosfer. Kita langsung bisa menyadari bahwa kita berada di tangan sutradara yang mantap, terlepas dari fakta bahwa ini adalah film panjang pertamanya. Horornya berasal dari sumber teror yang paling hakiki, yaitu realitas jiwa manusia itu sendiri. Namun ini juga membuatnya menjadi film yang pelik. Ia berusaha begitu dekat dengan dunia nyata sampai printilan-printilan cela yang biasanya saya abaikan dalam sebuah film horor tradisional menyentil logika saya berkali-kali, yang jujur saja mengganggu kenikmatan menonton.

Apa yang akan menimpa keluarga Graham, silakan anda temukan sendiri. Tapi saya bisa memberi tahu apa yang baru saja mereka alami. Film dibuka dengan pemakaman. Nenek baru saja meninggal. Meski berduka, Annie (Toni Collette) bilang bahwa ia tak pernah dekat-dekat amat dengan ibunya tersebut. Sang ibu, katanya, adalah orang tertutup yang hanya mau bergaul dengan teman-teman eksklusifnya.

Yang bermasalah bukan cuma si nenek. Anak sulung Annie, Peter (Alex Wolff) adalah remaja canggung yang suka bengong dan ngerokok ganja. Sementara anak bungsunya, Charlie (Milly Shapiro)... sangat aneh. Betul-betul aneh. Ia suka bikin suara "klok" dengan mulut, rajin membuat gambar-gambar seram di buku catatan, dan itu buat apa potongan kepala dari bangkai burung dikantongin. Cuma si ayah (Gabriel Byrne) yang kelihatan agak normal.

Bagaimana dengan Annie? Ia sendiri bahkan tak yakin dengan kesehatan mentalnya. Pernah dulu ia melakukan sesuatu saat sleepwalking yang nyaris membahayakan nyawa kedua anaknya. Di hari biasa, Annie adalah seniman miniatur yang sedang punya proyek komersil, tapi malah membuat membuat miniatur rumahnya sendiri, termasuk reka ulang dari beberapa tragedi yang menimpa keluarganya. Apakah ini perwujudan dari hasratnya yang ingin mengontrol nasib keluarga yang tak bisa ia kendalikan? Atau... atau...

Yang jelas, kematian si nenek memicu kemalangan berturut-turut yang tak terduga buat mereka, yang sebaiknya tak saya ungkap. Film ini bahkan berani mengambil pilihan naratif yang sangat mengejutkan di paruh awal film, saya sampai tak mempercayai apa yang baru saja saya lihat. Setiap tragedi baru terjadi, keluarga ini semakin hancur dan anggotanya semakin menjauh. Kemudian masuklah Joan (Ann Dowd), ibu-ibu simpatik yang baru saja kehilangan anaknya, yang kemudian menunjukkan Annie cara untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah mati.

Ada semacam sense of confusion yang terasa hadir, namun agaknya ini disengaja karena Aster menempatkan kita langsung di tengah-tengah keluarga Graham. Setidaknya sampai momen klimaks, kita tak tahu apakah yang kita lihat benar-benar terjadi atau tidak. Yang menuntun kita adalah penampilan kuat dari pemainnya, terutama Collette. Annie Graham adalah karakter yang kompleks, dan Collette sukses membawakannya. Ia mampu berpindah emosi secara ekstrim dalam waktu singkat, bahkan dalam satu adegan. Ini adalah akting yang istimewa, bukan hanya dalam konteks horor saja. Penampilannya menyayat hati. Wolff memberikan akting yang sangat ganjil, tak seperti akting yang biasa kita lihat. Tapi worked dan sangat intens.

Tak hanya urusan aktor, Aster juga mengomandoi penuh filmnya secara teknis. Secara audio-visual, film ini sempurna. Sinematografi suram dari Pawel Pogorzleski, scoring mencekam dari Colin Stetson, dan penguasaan ruang dan tempat oleh Aster menciptakan sensasi kengerian nanggung-nanggung sedap dimana kita selalu mengantisipasi sesuatu yang buruk bakal terjadi. Kita dikondisikan berada di posisi "hampir" sepanjang waktu; tegang tapi berhenti tepat sebelum klimaks. Begitu terus, berulang-ulang. Sedari awal, Aster sudah menanamkan beberapa foreshadowing dan petunjuk untuk membantu kita mencerna detil plot sekaligus memainkan ekspektasi. Dan ketika itu terjadi, ia tak disajikan lewat jumpscares melainkan imagery pembuat syok yang kemungkinan besar akan terpatri lama di benak kita.

Meski begitu, saya tak menyukai film ini sebesar yang saya harapkan. Film ini menjaga ketegangannya hampir selama satu jam lebih, tapi kemudian meloncat keluar rel di paruh akhir. Meteran suspension of disbelief saya sudah hampir lewat batas maksimal saat film beberapa kali menyederhanakan logika demi kenyamanan plot, dan akhirnya jebol juga di bagian klimaks. Saya tak bisa bicara secara detail karena ini mengharuskan saya membeberkan spoiler. Namun yang jelas, ini mengingatkan saya pada The Witch. Namun The Witch punya keuntungan karena skalanya yang sempit; ia sukses berkat setting-nya di masa lampau dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hereditary tak punya keuntungan ini dan jelas sulit bagi Aster untuk membuat situasi yang mencengangkan nanti bisa meyakinkan.

Sekarang, saya bingung. Saya kagum dengan keterampilan pembuatnya. Maksud saya, atmosfernya benar-benar membuat bergidik. Saya juga sangat larut dengan dinamika keluarga Graham. Namun cela logika dasar dan loncatan tone di bagian akhir meninggalkan rasa asam setelah menonton. Mungkin kalau nonton sekali lagi bakal lebih suka.

Eh tunggu, kayaknya tidak jadi deh. Nontonnya capek. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hereditary

127 menit
Dewasa
Ari Aster
Ari Aster
Kevin Frakes, Lars Knudsen, Buddy Patrick
Pawel Pogorzelski
Colin Stetson

Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim 'yang terseram', tunggu dulu.

“Who's going to take care of me?”
— Charlie Graham
Rating UP:
Kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir. Ada beberapa hal yang mau tak mau harus kita terima begitu saja. Tak bisa protes, karena itu sudah turunan. Demikianlah yang dialami keluarga Graham. Keluarga ini sepertinya selalu dikutuk dengan kemalangan dalam bentuk penyakit kejiwaan. Hereditary membawa istilah "warisan" ke sisi yang paling ekstrim, dan untuk itu, Ari Aster menyajikannya lewat pendekatan yang sangat intens. Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim "yang terseram", tunggu dulu.

Seram itu relatif. Bagi saya yang anak kosan, hal yang terseram tetaplah tanggal tua. Okefine, garing. Lanjut.


Menyebutnya plek sebagai film horor mungkin akan membuat sebagian penonton kasual kecele. Horor memang, bahkan di satu titik masuk ke ranah supranatural, tapi bukan horor yang berfokus pada hantu-hantuan atau sadis-sadisan belaka. Memang ada adegan penampakan dan barang yang bergerak sendiri serta bagian yang berdarah-darah, namun bukan aktivitas paranormal yang membuat kita takut. Alih-alih, ia menggunakan elemen supranatural untuk mengeksplorasi tragedi emosional. Kita ngeri akan apa yang mungkin bakal menimpa mereka atau apa yang mungkin bakal mereka lakukan.

Ini sukses membuat kita duduk tak nyaman nyaris sepanjang durasi berkat kelihaian pembuatnya dalam membangun atmosfer. Kita langsung bisa menyadari bahwa kita berada di tangan sutradara yang mantap, terlepas dari fakta bahwa ini adalah film panjang pertamanya. Horornya berasal dari sumber teror yang paling hakiki, yaitu realitas jiwa manusia itu sendiri. Namun ini juga membuatnya menjadi film yang pelik. Ia berusaha begitu dekat dengan dunia nyata sampai printilan-printilan cela yang biasanya saya abaikan dalam sebuah film horor tradisional menyentil logika saya berkali-kali, yang jujur saja mengganggu kenikmatan menonton.

Apa yang akan menimpa keluarga Graham, silakan anda temukan sendiri. Tapi saya bisa memberi tahu apa yang baru saja mereka alami. Film dibuka dengan pemakaman. Nenek baru saja meninggal. Meski berduka, Annie (Toni Collette) bilang bahwa ia tak pernah dekat-dekat amat dengan ibunya tersebut. Sang ibu, katanya, adalah orang tertutup yang hanya mau bergaul dengan teman-teman eksklusifnya.

Yang bermasalah bukan cuma si nenek. Anak sulung Annie, Peter (Alex Wolff) adalah remaja canggung yang suka bengong dan ngerokok ganja. Sementara anak bungsunya, Charlie (Milly Shapiro)... sangat aneh. Betul-betul aneh. Ia suka bikin suara "klok" dengan mulut, rajin membuat gambar-gambar seram di buku catatan, dan itu buat apa potongan kepala dari bangkai burung dikantongin. Cuma si ayah (Gabriel Byrne) yang kelihatan agak normal.

Bagaimana dengan Annie? Ia sendiri bahkan tak yakin dengan kesehatan mentalnya. Pernah dulu ia melakukan sesuatu saat sleepwalking yang nyaris membahayakan nyawa kedua anaknya. Di hari biasa, Annie adalah seniman miniatur yang sedang punya proyek komersil, tapi malah membuat membuat miniatur rumahnya sendiri, termasuk reka ulang dari beberapa tragedi yang menimpa keluarganya. Apakah ini perwujudan dari hasratnya yang ingin mengontrol nasib keluarga yang tak bisa ia kendalikan? Atau... atau...

Yang jelas, kematian si nenek memicu kemalangan berturut-turut yang tak terduga buat mereka, yang sebaiknya tak saya ungkap. Film ini bahkan berani mengambil pilihan naratif yang sangat mengejutkan di paruh awal film, saya sampai tak mempercayai apa yang baru saja saya lihat. Setiap tragedi baru terjadi, keluarga ini semakin hancur dan anggotanya semakin menjauh. Kemudian masuklah Joan (Ann Dowd), ibu-ibu simpatik yang baru saja kehilangan anaknya, yang kemudian menunjukkan Annie cara untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah mati.

Ada semacam sense of confusion yang terasa hadir, namun agaknya ini disengaja karena Aster menempatkan kita langsung di tengah-tengah keluarga Graham. Setidaknya sampai momen klimaks, kita tak tahu apakah yang kita lihat benar-benar terjadi atau tidak. Yang menuntun kita adalah penampilan kuat dari pemainnya, terutama Collette. Annie Graham adalah karakter yang kompleks, dan Collette sukses membawakannya. Ia mampu berpindah emosi secara ekstrim dalam waktu singkat, bahkan dalam satu adegan. Ini adalah akting yang istimewa, bukan hanya dalam konteks horor saja. Penampilannya menyayat hati. Wolff memberikan akting yang sangat ganjil, tak seperti akting yang biasa kita lihat. Tapi worked dan sangat intens.

Tak hanya urusan aktor, Aster juga mengomandoi penuh filmnya secara teknis. Secara audio-visual, film ini sempurna. Sinematografi suram dari Pawel Pogorzleski, scoring mencekam dari Colin Stetson, dan penguasaan ruang dan tempat oleh Aster menciptakan sensasi kengerian nanggung-nanggung sedap dimana kita selalu mengantisipasi sesuatu yang buruk bakal terjadi. Kita dikondisikan berada di posisi "hampir" sepanjang waktu; tegang tapi berhenti tepat sebelum klimaks. Begitu terus, berulang-ulang. Sedari awal, Aster sudah menanamkan beberapa foreshadowing dan petunjuk untuk membantu kita mencerna detil plot sekaligus memainkan ekspektasi. Dan ketika itu terjadi, ia tak disajikan lewat jumpscares melainkan imagery pembuat syok yang kemungkinan besar akan terpatri lama di benak kita.

Meski begitu, saya tak menyukai film ini sebesar yang saya harapkan. Film ini menjaga ketegangannya hampir selama satu jam lebih, tapi kemudian meloncat keluar rel di paruh akhir. Meteran suspension of disbelief saya sudah hampir lewat batas maksimal saat film beberapa kali menyederhanakan logika demi kenyamanan plot, dan akhirnya jebol juga di bagian klimaks. Saya tak bisa bicara secara detail karena ini mengharuskan saya membeberkan spoiler. Namun yang jelas, ini mengingatkan saya pada The Witch. Namun The Witch punya keuntungan karena skalanya yang sempit; ia sukses berkat setting-nya di masa lampau dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hereditary tak punya keuntungan ini dan jelas sulit bagi Aster untuk membuat situasi yang mencengangkan nanti bisa meyakinkan.

Sekarang, saya bingung. Saya kagum dengan keterampilan pembuatnya. Maksud saya, atmosfernya benar-benar membuat bergidik. Saya juga sangat larut dengan dinamika keluarga Graham. Namun cela logika dasar dan loncatan tone di bagian akhir meninggalkan rasa asam setelah menonton. Mungkin kalau nonton sekali lagi bakal lebih suka.

Eh tunggu, kayaknya tidak jadi deh. Nontonnya capek. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hereditary

127 menit
Dewasa
Ari Aster
Ari Aster
Kevin Frakes, Lars Knudsen, Buddy Patrick
Pawel Pogorzelski
Colin Stetson

Wednesday, June 13, 2018

Review Film: 'Unsane' (2018)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Unsane' (2018)
link : Review Film: 'Unsane' (2018)

Baca juga


Horor

Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses.

“I'm not crazy!”
— Sawyer Valentini
Rating UP:
Pak Steven Soderbergh, kalau boleh tahu Apple bayar berapa untuk ini? Kalau bukan di-endorse, saya hampir-hampir tak percaya. Soalnya film ini terlihat mulus seperti film sungguhan. Setelah ini, pasti banyak yang percaya bahwa mudah untuk membuat film "sungguhan" dengan menggunakan iPhone 7. Apalagi yang punya versi terbaru, iPhone 23.


Yang jelas, selama menonton Unsane saya lupa kalau film ini disorot pakai iPhone. Yaa, tentu dengan dilengkapi beberapa alat penunjang, sebab film ini jelas terlihat berkali lipat lebih bagus dari video InstaStory kita yang paling oke. Barangkali gemas setelah menyaksikan Tangerine-nya Sean Baker, Soderbergh pun ikut-ikutan membuktikan bahwa kita tak butuh kamera yang mutakhir untuk membuat film. Cukup pemain serta kru yang kompeten, dan pastinya sentuhan sutradara yang piawai. Dalam hal ini, keterampilan Soderbergh bahkan mampu menanggulangi materinya yang absurd.

Mudah untuk menge-judge film ini atas gimiknya, tapi Soderbergh menggunakan gimik yang tepat untuk film yang tepat. Sebagai informasi, plotnya tentang seseorang yang parno gara-gara dikuntit oleh stalker maniak. Karena disorot dengan iPhone, film ini punya rasio aspek yang agak ganjil; nyaris persegi seperti film-film lawas. Ini memberikan nuansa klaustrofobik. Pinggiran gambar sedikit mengalami distorsi sehingga terlihat agak cembung; cocok sekali menegaskan surealitas dan rasa paranoid yang dialami oleh tokoh utama kita. Semakin nendang karena sorotan dengan iPhone membuat filmnya tampak raw, tak seperti film "sungguhan" yang bling-bling, sehingga adegan-adegannya terkesan spontan.

Dan spontan adalah kata yang paling mewakili film ini. Lihat saja apa yang dialami oleh karakter utama kita, Sawyer Valentini (Claire Foy). Ia punya pekerjaan yang mapan sebagai analis finansial. Ia cerdas dan tampaknya selalu tahu dengan apa yang sedang dan akan dilakukan. Namun, saat datang waktunya nge-date, Sawyer rubuh. Rupanya ia masih trauma dengan pengalaman di-stalking oleh seseorang beberapa tahun lalu. Sawyer tahu bahwa ia butuh bantuan profesional. Dan itulah yang ia lakukan. Eh ladalah, ujung-ujungnya Sawyer malah dikira punya gangguan jiwa.

Cuma mau main-main kok malah jatuh hati, eh jadi curhat. Maksudnya, cuma mau konsul kok malah dimasukin ke rumah sakit jiwa.

Yaa jelas Sawyer protes. Namun usahanya untuk bebas justru membuat situasi semakin buruk. Sawyer ditengarai mengancam keselamatan perawat dan pasien. Penahanan yang awalnya cuma 24 jam diperpanjang menjadi 7 hari. Namun yang lebih parah, Sawyer kemudian mendapati bahwa salah satu perawat ternyata adalah stalker-nya dulu. Kontradiktifnya, perawat ini (Joshua Leonard) dinilai oleh rekan-rekannya sebagai pekerja yang tekun. Sawyer sekarang punya dua masalah: (1) tak bisa kemana-mana dari rumah sakit jiwa, dan (2) terjebak bersama stalker-nya.

Apakah yang dilihat Saywer ini benar begitu atau jangan-jangan stalker tersebut cuma delusinya saja? Film bermain tarik-ulur dengan premis ini, dan Claire Foy tampil brilian lewat karakternya. Ia sukses membawakan karakter yang cerdas tapi juga histeris dan mungkin punya tendensi delusional. Kita tak pernah yakin apakah yang dilihatnya itu benar atau tidak, tapi kita percaya dengan setiap tindakannya. Ada waktu dimana karakter seharusnya berbuat benar, tapi tak dilakukan supaya filmnya tidak langsung beres. Namun dalam Unsane, karakter Claire Foy selalu melakukan tindakan yang benar: ia mencoba menghubungi polisi atau meminta bantuan kepada ibunya.

Faktanya, setidaknya sampai paruh terakhir, Unsane berjalan dengan padat dan efektif. Skrip Jonathan Bernstein & James Greer punya beberapa skenario yang cukup mengejutkan. Nah, rupanya mereka tak ingin kita berlarut-larut tenggelam dalam ambiguitas, sebab film punya resolusi pasti mengenai keadaan mental Sawyer. Saya sebetulnya tak begitu masalah dengan hal ini. Namun saat film memilih berpijak pada realita, kita sewajarnya menaikkan sedikit level suspension of disbelief. Sedangkan Unsane ditutup dengan beberapa hal-hal absurd dan lubang plot yang kentara jika ditinjau dalam konteks realita.

Jadi, plot barangkali cuma merupakan mekanika bagi Soderbergh untuk memamerkan keterampilan filmmaking-nya, mencoba memanfaatkan fleksibilitas smartphone untuk memberikan efek yang spesifik. Bujet film ini kabarnya cuma $1,2 juta saja, sama dengan film pertamanya yang eksperimental, Sex, Lies, and Videotapes yang memenangkan Palme d'Or Cannes hampir tiga dekade yang lalu. Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Unsane

98 menit
Dewasa
Steven Soderbergh
Jonathan Bernstein, James Greer
Joseph Malloch
Steven Soderbergh (sebagai Peter Andrews
Thomas Newman (sebagai David Wilder Savage)

Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses.

“I'm not crazy!”
— Sawyer Valentini
Rating UP:
Pak Steven Soderbergh, kalau boleh tahu Apple bayar berapa untuk ini? Kalau bukan di-endorse, saya hampir-hampir tak percaya. Soalnya film ini terlihat mulus seperti film sungguhan. Setelah ini, pasti banyak yang percaya bahwa mudah untuk membuat film "sungguhan" dengan menggunakan iPhone 7. Apalagi yang punya versi terbaru, iPhone 23.


Yang jelas, selama menonton Unsane saya lupa kalau film ini disorot pakai iPhone. Yaa, tentu dengan dilengkapi beberapa alat penunjang, sebab film ini jelas terlihat berkali lipat lebih bagus dari video InstaStory kita yang paling oke. Barangkali gemas setelah menyaksikan Tangerine-nya Sean Baker, Soderbergh pun ikut-ikutan membuktikan bahwa kita tak butuh kamera yang mutakhir untuk membuat film. Cukup pemain serta kru yang kompeten, dan pastinya sentuhan sutradara yang piawai. Dalam hal ini, keterampilan Soderbergh bahkan mampu menanggulangi materinya yang absurd.

Mudah untuk menge-judge film ini atas gimiknya, tapi Soderbergh menggunakan gimik yang tepat untuk film yang tepat. Sebagai informasi, plotnya tentang seseorang yang parno gara-gara dikuntit oleh stalker maniak. Karena disorot dengan iPhone, film ini punya rasio aspek yang agak ganjil; nyaris persegi seperti film-film lawas. Ini memberikan nuansa klaustrofobik. Pinggiran gambar sedikit mengalami distorsi sehingga terlihat agak cembung; cocok sekali menegaskan surealitas dan rasa paranoid yang dialami oleh tokoh utama kita. Semakin nendang karena sorotan dengan iPhone membuat filmnya tampak raw, tak seperti film "sungguhan" yang bling-bling, sehingga adegan-adegannya terkesan spontan.

Dan spontan adalah kata yang paling mewakili film ini. Lihat saja apa yang dialami oleh karakter utama kita, Sawyer Valentini (Claire Foy). Ia punya pekerjaan yang mapan sebagai analis finansial. Ia cerdas dan tampaknya selalu tahu dengan apa yang sedang dan akan dilakukan. Namun, saat datang waktunya nge-date, Sawyer rubuh. Rupanya ia masih trauma dengan pengalaman di-stalking oleh seseorang beberapa tahun lalu. Sawyer tahu bahwa ia butuh bantuan profesional. Dan itulah yang ia lakukan. Eh ladalah, ujung-ujungnya Sawyer malah dikira punya gangguan jiwa.

Cuma mau main-main kok malah jatuh hati, eh jadi curhat. Maksudnya, cuma mau konsul kok malah dimasukin ke rumah sakit jiwa.

Yaa jelas Sawyer protes. Namun usahanya untuk bebas justru membuat situasi semakin buruk. Sawyer ditengarai mengancam keselamatan perawat dan pasien. Penahanan yang awalnya cuma 24 jam diperpanjang menjadi 7 hari. Namun yang lebih parah, Sawyer kemudian mendapati bahwa salah satu perawat ternyata adalah stalker-nya dulu. Kontradiktifnya, perawat ini (Joshua Leonard) dinilai oleh rekan-rekannya sebagai pekerja yang tekun. Sawyer sekarang punya dua masalah: (1) tak bisa kemana-mana dari rumah sakit jiwa, dan (2) terjebak bersama stalker-nya.

Apakah yang dilihat Saywer ini benar begitu atau jangan-jangan stalker tersebut cuma delusinya saja? Film bermain tarik-ulur dengan premis ini, dan Claire Foy tampil brilian lewat karakternya. Ia sukses membawakan karakter yang cerdas tapi juga histeris dan mungkin punya tendensi delusional. Kita tak pernah yakin apakah yang dilihatnya itu benar atau tidak, tapi kita percaya dengan setiap tindakannya. Ada waktu dimana karakter seharusnya berbuat benar, tapi tak dilakukan supaya filmnya tidak langsung beres. Namun dalam Unsane, karakter Claire Foy selalu melakukan tindakan yang benar: ia mencoba menghubungi polisi atau meminta bantuan kepada ibunya.

Faktanya, setidaknya sampai paruh terakhir, Unsane berjalan dengan padat dan efektif. Skrip Jonathan Bernstein & James Greer punya beberapa skenario yang cukup mengejutkan. Nah, rupanya mereka tak ingin kita berlarut-larut tenggelam dalam ambiguitas, sebab film punya resolusi pasti mengenai keadaan mental Sawyer. Saya sebetulnya tak begitu masalah dengan hal ini. Namun saat film memilih berpijak pada realita, kita sewajarnya menaikkan sedikit level suspension of disbelief. Sedangkan Unsane ditutup dengan beberapa hal-hal absurd dan lubang plot yang kentara jika ditinjau dalam konteks realita.

Jadi, plot barangkali cuma merupakan mekanika bagi Soderbergh untuk memamerkan keterampilan filmmaking-nya, mencoba memanfaatkan fleksibilitas smartphone untuk memberikan efek yang spesifik. Bujet film ini kabarnya cuma $1,2 juta saja, sama dengan film pertamanya yang eksperimental, Sex, Lies, and Videotapes yang memenangkan Palme d'Or Cannes hampir tiga dekade yang lalu. Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Unsane

98 menit
Dewasa
Steven Soderbergh
Jonathan Bernstein, James Greer
Joseph Malloch
Steven Soderbergh (sebagai Peter Andrews
Thomas Newman (sebagai David Wilder Savage)

Tuesday, May 1, 2018

Review Film: 'Truth or Dare' (2018)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Truth or Dare' (2018)
link : Review Film: 'Truth or Dare' (2018)

Baca juga


Horor

Filmnya kayak 'Final Destination', tapi lebih payah dan membosankan.

“Once you're asked, you're in.”
— Olivia
Rating UP:
Kita sudah berkali-kali berada disini: Horor Remaja Dungu—remajanya yang dungu, bukan horornya, tapi di beberapa kasus memang keduanya sih. Kita akan melihat para remaja dungu berbuat dungu sehingga mereka nanti akan mati satu per satu. Namun saya bisa membayangkan bagaimana sineasnya bikin proposal kepada produser: "Filmnya kayak Final Destination, tapi dengan gimik permainan "Truth or Dare"". Ini memang bukan ide film paling kreatif sepanjang masa, tapi terus terang, lumayan menarik.

Kalau saja kreativitas tersebut juga ditumpahkan buat filmnya sendiri. Oleh karena saya sudah melakukan "Dare" yaitu dengan nekat menonton film ini meski sudah diperingatkan dengan rating naudzubillah dari IMDb, maka saya akan membeberkan "Truth". Ini proposal saya buat anda yang berencana menonton filmnya: "Filmnya kayak Final Destination, tapi lebih payah dan membosankan."


Terlebih dahulu kita akan berkenalan dengan karakter stok klise dari film horor remaja. Tokoh utama yang baik (setidaknya dibandingkan dengan teman-temannya) Olivia (Lucy Hale), gadis hedon Markie (Violett Beane), gadis yang satunya Penelope (Sophia Ali), bujang dungu Ronnie (Sam Lerner) serta bujang macho. Faktanya, film ini sangat suka dengan bujang macho sampai kita mendapatkan 3 bujang macho: Lucas (Tyler Posey) yang juga pacar Markie, Brad (Hayden Szeto), serta... Ronnie. Ya, bahkan Ronnie yang barangkali tak mau diperteman oleh siapapun itu tak alpa untuk nge-gym.

Singkat cerita, mereka menghabiskan liburan musim panas ke Meksiko. Kenapa si baik Olivia mau ikut? Karena Markie mengecohnya dengan bilang bahwa mereka akan melakukan semacam aksi sosial. Kenapa Meksiko? Kenapa pula mereka mau saja menerima ajakan dari seorang pria asing untuk minum-minum di sebuah tempat gelap dan sepi yang sepertinya merupakan bekas gereja tua yang berhantu? Lalu, kok ya mau saja main "Truth or Dare" di tempat seperti itu, kayak gak ada tempat lain saja. Tentu saja, biar kita bisa mendapatkan film Truth or Dare.

Memang sudah ada tanda-tandanya sejak awal sih, tapi mereka baru menyadari bahwa setan ikut nimbrung dalam permainan ini saat mereka kembali ke kampus. Namanya Setan Truth or Dare. Mungkin. Caranya menghantui adalah dengan mengubah ekspresi orang-orang di sekeliling remaja kita menjadi seperti ekspresi Jack Nicholson dari film The Shining atau dengan menanyakan "Truth or Dare?" lewat SMS. Tolong jangan ketawa, ini film horor. Tidak sopan.

Kalau tidak dijawab, setannya makin getol nanya. Kalau dijawab, anda harus melakukan apa yang diminta dan tidak bisa tidak. Pilih "Truth", atau pilih "Dare", atau pilih mati. Untuk membuat permainan lebih sulit, tentu saja "Truth" atau "Dare" yang dilakukan tidak segampang itu. Sayangnya, setannya tak sepintar Sang Takdir dari Final Destination.

Saya awalnya mengira film ini akan menjadi film siapa-mati-berikutnya yang cukup seru, karena kita mungkin akan melihat bagaimana remaja dungu ini menemui ajal dengan cara supranatural yang menghibur. Tak seperti yang saya duga, film ini ternyata lebih condong ke "Truth". Cocok sekali saat remaja kita diberi konflik interpersonal. Olivia jatuh hati pada Lucas apalagi Markie sendiri suka selingkuh. Brad gay sementara ayahnya seorang homofobia.

Ini akan berhasil jika filmnya dibuat berbobot. Kita dikondisikan untuk dibuat terikat dengan karakternya, yang mana tidak demikian halnya dengan remaja dalam Truth or Dare. Mereka dangkal, bahkan Olivia sendiri tak punya dimensi. Satu lagi cara untuk membuatnya berhasil, yaa itu tadi, dengan membuatnya campy seperti film horor kelas B, yang mana tak berani (ehem) dilakukan oleh filmnya. Film ini tak mengikat, tak mengibur, dan juga tak membuat syok. Satu-satunya alasan saya tidak memberi rating 1 adalah karena ia tidak insulting. Saya mungkin bosan, tapi saya tak sampai terdorong untuk menjedotkan kepala.

Mitosnya sendiri cukup seram, lho. Menjelang akhir, seorang wanita tua Meksiko akan menjelaskan dari mana asal setan "Truth or Dare" tersebut. Telan saja, penjelasannya yang ribet, termasuk penggunaannya untuk twist di akhir. Anda tahu, setan ini ternyata tak hanya bespesialisasi di "Truth or Dare" saja, melainkan juga di permainan "Petak Umpet"! Bayangkan spin-off yang bisa dibuat: "Lompat Tali", "Congklak", "Engklek", "Ludo", atau "Monopoli".

Tapi yang terakhir memang sudah bisa disebut permainan setan sih. Lha gimana, dari dulu "Monopoli" sudah sukses memutus tali silaturrahmi antarpemain. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Truth or Dare

100 menit
Remaja
Jeff Wadlow
Michael Reisz, Jillian Jacobs, Chris Roach, Jeff Wadlow
Jason Blum
Jacques Jouffret
Matthew Margeson

Filmnya kayak 'Final Destination', tapi lebih payah dan membosankan.

“Once you're asked, you're in.”
— Olivia
Rating UP:
Kita sudah berkali-kali berada disini: Horor Remaja Dungu—remajanya yang dungu, bukan horornya, tapi di beberapa kasus memang keduanya sih. Kita akan melihat para remaja dungu berbuat dungu sehingga mereka nanti akan mati satu per satu. Namun saya bisa membayangkan bagaimana sineasnya bikin proposal kepada produser: "Filmnya kayak Final Destination, tapi dengan gimik permainan "Truth or Dare"". Ini memang bukan ide film paling kreatif sepanjang masa, tapi terus terang, lumayan menarik.

Kalau saja kreativitas tersebut juga ditumpahkan buat filmnya sendiri. Oleh karena saya sudah melakukan "Dare" yaitu dengan nekat menonton film ini meski sudah diperingatkan dengan rating naudzubillah dari IMDb, maka saya akan membeberkan "Truth". Ini proposal saya buat anda yang berencana menonton filmnya: "Filmnya kayak Final Destination, tapi lebih payah dan membosankan."


Terlebih dahulu kita akan berkenalan dengan karakter stok klise dari film horor remaja. Tokoh utama yang baik (setidaknya dibandingkan dengan teman-temannya) Olivia (Lucy Hale), gadis hedon Markie (Violett Beane), gadis yang satunya Penelope (Sophia Ali), bujang dungu Ronnie (Sam Lerner) serta bujang macho. Faktanya, film ini sangat suka dengan bujang macho sampai kita mendapatkan 3 bujang macho: Lucas (Tyler Posey) yang juga pacar Markie, Brad (Hayden Szeto), serta... Ronnie. Ya, bahkan Ronnie yang barangkali tak mau diperteman oleh siapapun itu tak alpa untuk nge-gym.

Singkat cerita, mereka menghabiskan liburan musim panas ke Meksiko. Kenapa si baik Olivia mau ikut? Karena Markie mengecohnya dengan bilang bahwa mereka akan melakukan semacam aksi sosial. Kenapa Meksiko? Kenapa pula mereka mau saja menerima ajakan dari seorang pria asing untuk minum-minum di sebuah tempat gelap dan sepi yang sepertinya merupakan bekas gereja tua yang berhantu? Lalu, kok ya mau saja main "Truth or Dare" di tempat seperti itu, kayak gak ada tempat lain saja. Tentu saja, biar kita bisa mendapatkan film Truth or Dare.

Memang sudah ada tanda-tandanya sejak awal sih, tapi mereka baru menyadari bahwa setan ikut nimbrung dalam permainan ini saat mereka kembali ke kampus. Namanya Setan Truth or Dare. Mungkin. Caranya menghantui adalah dengan mengubah ekspresi orang-orang di sekeliling remaja kita menjadi seperti ekspresi Jack Nicholson dari film The Shining atau dengan menanyakan "Truth or Dare?" lewat SMS. Tolong jangan ketawa, ini film horor. Tidak sopan.

Kalau tidak dijawab, setannya makin getol nanya. Kalau dijawab, anda harus melakukan apa yang diminta dan tidak bisa tidak. Pilih "Truth", atau pilih "Dare", atau pilih mati. Untuk membuat permainan lebih sulit, tentu saja "Truth" atau "Dare" yang dilakukan tidak segampang itu. Sayangnya, setannya tak sepintar Sang Takdir dari Final Destination.

Saya awalnya mengira film ini akan menjadi film siapa-mati-berikutnya yang cukup seru, karena kita mungkin akan melihat bagaimana remaja dungu ini menemui ajal dengan cara supranatural yang menghibur. Tak seperti yang saya duga, film ini ternyata lebih condong ke "Truth". Cocok sekali saat remaja kita diberi konflik interpersonal. Olivia jatuh hati pada Lucas apalagi Markie sendiri suka selingkuh. Brad gay sementara ayahnya seorang homofobia.

Ini akan berhasil jika filmnya dibuat berbobot. Kita dikondisikan untuk dibuat terikat dengan karakternya, yang mana tidak demikian halnya dengan remaja dalam Truth or Dare. Mereka dangkal, bahkan Olivia sendiri tak punya dimensi. Satu lagi cara untuk membuatnya berhasil, yaa itu tadi, dengan membuatnya campy seperti film horor kelas B, yang mana tak berani (ehem) dilakukan oleh filmnya. Film ini tak mengikat, tak mengibur, dan juga tak membuat syok. Satu-satunya alasan saya tidak memberi rating 1 adalah karena ia tidak insulting. Saya mungkin bosan, tapi saya tak sampai terdorong untuk menjedotkan kepala.

Mitosnya sendiri cukup seram, lho. Menjelang akhir, seorang wanita tua Meksiko akan menjelaskan dari mana asal setan "Truth or Dare" tersebut. Telan saja, penjelasannya yang ribet, termasuk penggunaannya untuk twist di akhir. Anda tahu, setan ini ternyata tak hanya bespesialisasi di "Truth or Dare" saja, melainkan juga di permainan "Petak Umpet"! Bayangkan spin-off yang bisa dibuat: "Lompat Tali", "Congklak", "Engklek", "Ludo", atau "Monopoli".

Tapi yang terakhir memang sudah bisa disebut permainan setan sih. Lha gimana, dari dulu "Monopoli" sudah sukses memutus tali silaturrahmi antarpemain. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Truth or Dare

100 menit
Remaja
Jeff Wadlow
Michael Reisz, Jillian Jacobs, Chris Roach, Jeff Wadlow
Jason Blum
Jacques Jouffret
Matthew Margeson

Sunday, September 10, 2017

Review Film: 'It Comes at Night' (2017)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'It Comes at Night' (2017)
link : Review Film: 'It Comes at Night' (2017)

Baca juga


Horor

Penonton yang menunggu setan di 'It Comes at Night' akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis.

“You can't trust anyone but family.”
— Paul
Rating UP:
It Comes at Night membuktikan bahwa kadangkala horor yang lebih besar itu datang dari paranoia diri sendiri. Apakah sesuatu yang kita dengar itu benar “sesuatu” yang kita dengar atau sesuatu yang kita PIKIR kita dengar? “It” pada judul film ini tak butuh definisi. Ia adalah apa yang kita takutkan. Prasangkalah yang membuatnya mengerikan. Penonton yang menunggu setan di It Comes at Night akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis. Ia didesain untuk membuat kita tidak nyaman hanya lewat suspens dan atmosfer. Ini bukan sesuatu yang kita expect dari sebuah film horor.


Coba tengok adegan pembuka dari filmnya. Seorang pak tua yang letih tampak pasrah menerima nasibnya. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Dua orang pria memakai topeng gas kemudian menggotongnya ke hutan. Pria yang lebih dewasa menembak pak tua, lalu membakarnya di lubang yang telah mereka gali sebelumnya. Apa yang terjadi disini, kita belum tahu. Tetapi kita bisa melihat bahwa pembunuhan ini juga meninggalkan duka bagi pelakunya.

Ternyata, dua orang tadi adalah menantu dan cucu dari pak tua, Paul (Joel Edgerton) dan Travis (Kelvin Harrison Jr.). Pak tua juga meninggalkan satu anak kandungnya, Sarah (Carmen Ejogo) yang adalah istri Paul serta seekor anjing bernama Stanley. Mereka takut akan sesuatu yang telah menimpa pak tua. Dari percakapan mereka dan keharusan untuk selalu menggunakan masker di luar rumah, tampaknya ada semacam virus yang telah mewabah di daerah mereka. Apakah ini virus zombie? Tak penting. Yang jelas ini mematikan, sampai mereka harus menahan apapun di luar sana agar tak masuk ke dalam rumah mereka yang berada di tengah hutan.

Pembuat film ini adalah Trey Edward Shults yang mengangkat premis yang halu menjadi film yang halu, tapi sangat menegangkan. Film Shults sebelumnya, Krisha adalah thriller psikologis yang minimalis tentang keluarga, dimana dimainkan olehnya dan kerabatnya sendiri. Dengan bujet yang lebih besar, untuk It Comes at Night ia bisa menggandeng aktor sungguhan dan merancang gambar-gambar yang lebih kompeten. Namun skala filmnya relatif tetap sama. Ini adalah film thriller kecil tentang keluarga —dua keluarga tepatnya— dalam satu lingkungan yang klaustrofobik. Semua jendela dipalang, pencahayaan sangat terbatas, dan hanya ada satu jalan masuk, yaitu pintu bercat merah.

Keluarga kedua datang setelah seseorang menggedor pintu rumah mereka. Pria asing ini berhasil dirubuhkan oleh Paul untuk kemudian diinterogasi. Mengaku bernama Will (Christopher Abbott), si pria tadi bilang bahwa ia hanya ingin mencari minum untuk anak dan istrinya. “Mereka tidak “sakit”,” klaimnya. Namun Paul tak percaya begitu saja. Namun akhirnya Paul setuju untuk menampung istri Will, Kim (Riley Keough) dan anaknya yang masih kecil, Andrew (Griffin Robert Faulkner).

Bereenam mereka tinggal di satu rumah, namun ketegangan justru semakin meninggi, karena mereka tak kenal satu sama lain dan kita tak tahu apa motif masing-masing. Paul adalah pria tegas yang hanya ingin melindungi keluarganya, dan ini yang membuat Edgerton begitu menyeramkan. Ia bisa melakukan apa saja. Will tampaknya pria yang baik-baik saja, namun ada pengakuannya yang sedikit janggal. Si Travis yang memasuki usia puber, mulai menunjukkan ketertarikan pada istri Will, bahkan sampai bermimpi erotis. Sudah menjadi peraturan, bahwa saat malam tiba tak ada yang keluar kamar. Namun ketika mendengar suara-suara dari luar, Travis membawa lenteranya, selalu ingin mengecek kalau-kalau...

Yah, saya akan berhenti disini. Yang jelas, film ini lebih akan membuat anda merinding alih-alih berteriak ngeri. Setting-nya yang sempit dan pencahayaan yang minim membuat suasana filmnya angker. Shults menggunakan sorotan panjang dan pelan untuk menekankan keseraman koridor yang gelap atau barisan pepohonan yang lebat. Untuk mengeskalasi tensi dan ekspektasi penonton, ia juga menerapkan beberapa permainan aspect ratio. Cermati bagaimana rasio gambar berubah menjelang klimaks film. Mengagumkan bagaimana ia bisa mengeluarkan teror dari sesuatu yang practically nothing.

Shults tak banyak memberi penjelasan. Ia memancing imajinasi kita untuk menerka apa yang sebenarnya ada di luar sana. Namun ia sepertinya lebih ingin menyampaikan bahwa teror sesungguhnya datang dari manusia itu sendiri, dan teror ini tak butuh konteks. Terornya ada di dalam pikiran, semacam basic instinct. Manusia itu hidup untuk diri sendiri. Dalam situasi genting seperti ini, mana yang lebih penting: moralitas atau bertahan hidup?

Meski demikian, metode Schults ini juga membuat filmnya seperti tak berisi. Saya tak boleh bicara banyak mengenai hal ini. Di akhir film, saya tak bisa menghilangkan sedikit perasaan mengganjal bahwa terornya adalah "Deus ex Machina", atau lebih parah "MacGuffin" belaka. Shults bisa pergi begitu saja setelah membangun filmnya. Terkadang misteri memang lebih mencekat saat ia tidak dijelaskan lebih lanjut. Terkadang kita perlu tahu apa sebenarnya yang membuat suara-suara gaduh di malam hari. Pilihan ada di tangan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It Comes at Night

91 menit
Dewasa
Trey Edward Shults
Trey Edward Shults
David Kaplan, Andrea Roa
Drew Daniels
Brian McOmber

Penonton yang menunggu setan di 'It Comes at Night' akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis.

“You can't trust anyone but family.”
— Paul
Rating UP:
It Comes at Night membuktikan bahwa kadangkala horor yang lebih besar itu datang dari paranoia diri sendiri. Apakah sesuatu yang kita dengar itu benar “sesuatu” yang kita dengar atau sesuatu yang kita PIKIR kita dengar? “It” pada judul film ini tak butuh definisi. Ia adalah apa yang kita takutkan. Prasangkalah yang membuatnya mengerikan. Penonton yang menunggu setan di It Comes at Night akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis. Ia didesain untuk membuat kita tidak nyaman hanya lewat suspens dan atmosfer. Ini bukan sesuatu yang kita expect dari sebuah film horor.


Coba tengok adegan pembuka dari filmnya. Seorang pak tua yang letih tampak pasrah menerima nasibnya. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Dua orang pria memakai topeng gas kemudian menggotongnya ke hutan. Pria yang lebih dewasa menembak pak tua, lalu membakarnya di lubang yang telah mereka gali sebelumnya. Apa yang terjadi disini, kita belum tahu. Tetapi kita bisa melihat bahwa pembunuhan ini juga meninggalkan duka bagi pelakunya.

Ternyata, dua orang tadi adalah menantu dan cucu dari pak tua, Paul (Joel Edgerton) dan Travis (Kelvin Harrison Jr.). Pak tua juga meninggalkan satu anak kandungnya, Sarah (Carmen Ejogo) yang adalah istri Paul serta seekor anjing bernama Stanley. Mereka takut akan sesuatu yang telah menimpa pak tua. Dari percakapan mereka dan keharusan untuk selalu menggunakan masker di luar rumah, tampaknya ada semacam virus yang telah mewabah di daerah mereka. Apakah ini virus zombie? Tak penting. Yang jelas ini mematikan, sampai mereka harus menahan apapun di luar sana agar tak masuk ke dalam rumah mereka yang berada di tengah hutan.

Pembuat film ini adalah Trey Edward Shults yang mengangkat premis yang halu menjadi film yang halu, tapi sangat menegangkan. Film Shults sebelumnya, Krisha adalah thriller psikologis yang minimalis tentang keluarga, dimana dimainkan olehnya dan kerabatnya sendiri. Dengan bujet yang lebih besar, untuk It Comes at Night ia bisa menggandeng aktor sungguhan dan merancang gambar-gambar yang lebih kompeten. Namun skala filmnya relatif tetap sama. Ini adalah film thriller kecil tentang keluarga —dua keluarga tepatnya— dalam satu lingkungan yang klaustrofobik. Semua jendela dipalang, pencahayaan sangat terbatas, dan hanya ada satu jalan masuk, yaitu pintu bercat merah.

Keluarga kedua datang setelah seseorang menggedor pintu rumah mereka. Pria asing ini berhasil dirubuhkan oleh Paul untuk kemudian diinterogasi. Mengaku bernama Will (Christopher Abbott), si pria tadi bilang bahwa ia hanya ingin mencari minum untuk anak dan istrinya. “Mereka tidak “sakit”,” klaimnya. Namun Paul tak percaya begitu saja. Namun akhirnya Paul setuju untuk menampung istri Will, Kim (Riley Keough) dan anaknya yang masih kecil, Andrew (Griffin Robert Faulkner).

Bereenam mereka tinggal di satu rumah, namun ketegangan justru semakin meninggi, karena mereka tak kenal satu sama lain dan kita tak tahu apa motif masing-masing. Paul adalah pria tegas yang hanya ingin melindungi keluarganya, dan ini yang membuat Edgerton begitu menyeramkan. Ia bisa melakukan apa saja. Will tampaknya pria yang baik-baik saja, namun ada pengakuannya yang sedikit janggal. Si Travis yang memasuki usia puber, mulai menunjukkan ketertarikan pada istri Will, bahkan sampai bermimpi erotis. Sudah menjadi peraturan, bahwa saat malam tiba tak ada yang keluar kamar. Namun ketika mendengar suara-suara dari luar, Travis membawa lenteranya, selalu ingin mengecek kalau-kalau...

Yah, saya akan berhenti disini. Yang jelas, film ini lebih akan membuat anda merinding alih-alih berteriak ngeri. Setting-nya yang sempit dan pencahayaan yang minim membuat suasana filmnya angker. Shults menggunakan sorotan panjang dan pelan untuk menekankan keseraman koridor yang gelap atau barisan pepohonan yang lebat. Untuk mengeskalasi tensi dan ekspektasi penonton, ia juga menerapkan beberapa permainan aspect ratio. Cermati bagaimana rasio gambar berubah menjelang klimaks film. Mengagumkan bagaimana ia bisa mengeluarkan teror dari sesuatu yang practically nothing.

Shults tak banyak memberi penjelasan. Ia memancing imajinasi kita untuk menerka apa yang sebenarnya ada di luar sana. Namun ia sepertinya lebih ingin menyampaikan bahwa teror sesungguhnya datang dari manusia itu sendiri, dan teror ini tak butuh konteks. Terornya ada di dalam pikiran, semacam basic instinct. Manusia itu hidup untuk diri sendiri. Dalam situasi genting seperti ini, mana yang lebih penting: moralitas atau bertahan hidup?

Meski demikian, metode Schults ini juga membuat filmnya seperti tak berisi. Saya tak boleh bicara banyak mengenai hal ini. Di akhir film, saya tak bisa menghilangkan sedikit perasaan mengganjal bahwa terornya adalah "Deus ex Machina", atau lebih parah "MacGuffin" belaka. Shults bisa pergi begitu saja setelah membangun filmnya. Terkadang misteri memang lebih mencekat saat ia tidak dijelaskan lebih lanjut. Terkadang kita perlu tahu apa sebenarnya yang membuat suara-suara gaduh di malam hari. Pilihan ada di tangan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It Comes at Night

91 menit
Dewasa
Trey Edward Shults
Trey Edward Shults
David Kaplan, Andrea Roa
Drew Daniels
Brian McOmber

Friday, September 8, 2017

Review Film: 'The Evil Within' (2017)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Evil Within' (2017)
link : Review Film: 'The Evil Within' (2017)

Baca juga


Horor

'The Evil Within' memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja.

“Let me show you the one that I had last night.”
— Dennis
Rating UP:
Holys**t! Anda benar-benar harus membaca cerita di balik layar dari produksi The Evil Within. Film ini digarap oleh Andrew Getty, anak dari keluarga Getty yang terkenal kaya di Amerika, yang menghabiskan hidupnya selama 15 tahun untuk membeli peralatan, merancang tata produksi, mengulik gambar, dan memoles efek spesial selagi krunya datang dan pergi silih berganti, demi menyempurnakan proyek personalnya ini. Dan semua dilakukannya dengan merogoh kocek sendiri, hingga mencapai $6 juta. Ini adalah bukti dari ambisi gila dari seorang auteur sejati. Jadi kalau nanti ada sutradara yang mencak-mencak saat passion project-nya tak mendapat lampu hijau dari studio, mereka seharusnya mengaca pada Getty.


Hasil akhirnya tak sehancur yang kita kira, karena cerita filmnya relatif koheren dan masih bisa dicerna.  Meski proses syutingnya sangat panjang, ia tak seperti film yang disusun dari potongan-potongan yang tak saling berhubungan. Namun The Evil Within memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja. Film ini dibuka dengan sekuens mimpi yang sangat ganjil, dimana Getty menggunakan beberapa manipulasi gambar yang ajaib padahal hanya untuk bagian yang berdurasi beberapa menit saja. Sampai akhir film, Getty menggunakan begitu banyak trik untuk memberikan kesan sureal. Ini adalah film bunuh-bunuhan, tapi Getty merengkuh absurditas filmnya dengan totalitas, sehingga memberikan kesan sureal yang serius. Anda mungkin akan teringat pada film-film lama David Lynch. Gambar-gambarnya selalu akan mengejutkan kita, bahkan saat ia tak masuk akal sama sekali.

Ceritanya tentang Dennis (Frederick Koehler) yang awalnya kita kira sebagai tokoh utama yang pintar karena narasinya yang tegas dan berwibawa. Ia memberikan penjelasan meyakinkan tentang mimpinya dulu. "Jangan kaget, karena itu cuma suara hatiku. Aslinya aku berbeda," kata Dennis. Sebenarnya Dennis adalah pria yang sedikit mengalami keterbelakangan mental. Ia tinggal serumah bersama sang kakak, John (Sean Patrick Flannery) yang bersikeras untuk merawatnya langsung, walau John sendiri sebenarnya adalah perawat yang payah. Kerjanya cuma nongrong dari satu restoran ke restoran lain, lalu berantem dengan pacarnya soal pernikahan.

Suatu hari, John menaruh cermin antik besar di kamar Dennis, tak peduli dengan protes dari adiknya tersebut. Saat dalam sebuah film horor kita mendengar kata "antik", kata tersebut juga berarti "angker". Dan ya. Dennis mulai melihat hal-hal aneh dalam cermin tersebut. Mulai dari bayangannya sendiri yang terlihat lebih kejam, hingga makhluk semacam setan (John Berryman dalam balutan make-up yang akan selalu terbayang di ingatan kita) yang menyugesti pikiran Dennis dengan hal-hal keji. Lewat cermin, Dennis sering berkomunikasi dengan mereka. Ada cara bagi Dennis untuk bisa hidup normal dan tak menjadi beban bagi orang lain, tetapi ia harus membunuh makhluk hidup; hewan dulu, lalu anak-anak, baru kemudian orang dewasa.

Apakah ini setan ini benar-benar ada atau hanya halusinasi Dennis saja? Saya sendiri tak yakin, namun mungkin memang begitulah yang dimaksudkan oleh pembuat filmnya. Apa yang dialami Dennis begitu abstrak, kita tak lagi bisa membedakan antara mimpi dengan kenyataan. Namun kisah Dennis memang "mimpi buruk", entah secara harfiah atau kiasan. Di awal film kita mempelajari bahwa mimpi itu tak terkendali, tak berbentuk. Saat Dennis merasa sudah berhenti bermimpi, ia malah diberitahu "siapa bilang mimpimu sudah berakhir?". Menarik untuk mempertimbangkan apakah mimpi buruk ini adalah memang hasutan dari suatu entitas supranatural atau kreasi pikirannya sendiri.

Katanya The Evil Within adalah film yang sangat personal bagi Getty. Bukan saja karena ini merupakan satu-satunya skrip yang berhasil ia produksi menjadi sebuah film, namun juga karena ini berasal dari mimpinya sendiri. Benar sekali. Getty mengklaim memimpikan langsung semua yang terjadi disini dan merangkainya dalam satu skrip. Holys**t! Mimpi buruk yang luar biasa, jika dilihat dari horor yang disajikan. Saya tak bisa membayangkan mengalami mimpi buruk sesinting ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hobi Getty mengkonsumsi sabu, saya juga tak tahu.

Getty melempar semua yang ia punya agar film ini menangkap persis visinya. Ia merancang sendiri practical effects yang dipakai, termasuk make-up dan beberapa animatronik yang menyeramkan. Nyaris tak ada tipu daya komputer; hampir semua dibuat dengan tangan. Untuk ukuran sutradara debutan, mencengangkan melihatnya yang dengan lihai menerapkan beberapa teknik filmmaking yang sulit. Ada adegan dimana Dennis dikelilingi cermin yang menciptakan bayangan tak berhingga. Di satu titik, kamera tanpa kentara bergerak di antara cermin mempermainkan perspektif kita, menciptakan ilusi yang meneror. Saya jadi kagum melihat berapa akurat perhitungannya dalam penempatan kamera. Imagery yang seperti ini menciptakan atmosfer asing yang tak nyaman.

Sekarang, Getty sudah menjadi almarhum. Ia meninggal dua tahun yang lalu gara-gara pendarahan akibat komplikasi narkoba, sehingga filmnya harus dibereskan oleh sang produser, Michael Luceri. Jadi The Evil Within adalah film pertamanya dan satu-satunya. Ini film yang kacau mengingat ceritanya yang melebar ke beberapa subplot gaje. Namun secara visual, ia sangat menggigit karena dibuat oleh orang yang tak terikat dengan sistem studio Hollywood. Ia tak terbatasi dengan materi yang mungkin akan terjegal dalam skala produksi industri. Getty hanya ingin filmnya dibuat, "mimpi buruk"-nya termanifestasi. Konsumennya adalah yang ingin melihat some bats**t crazy stuff. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Evil Within

98 menit
Dewasa
Andrew Getty
Andrew Getty
Robert Hickey, Kent Van Vleet, Michael Luceri
Stephen Sheridan
Mario Grigorov

'The Evil Within' memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja.

“Let me show you the one that I had last night.”
— Dennis
Rating UP:
Holys**t! Anda benar-benar harus membaca cerita di balik layar dari produksi The Evil Within. Film ini digarap oleh Andrew Getty, anak dari keluarga Getty yang terkenal kaya di Amerika, yang menghabiskan hidupnya selama 15 tahun untuk membeli peralatan, merancang tata produksi, mengulik gambar, dan memoles efek spesial selagi krunya datang dan pergi silih berganti, demi menyempurnakan proyek personalnya ini. Dan semua dilakukannya dengan merogoh kocek sendiri, hingga mencapai $6 juta. Ini adalah bukti dari ambisi gila dari seorang auteur sejati. Jadi kalau nanti ada sutradara yang mencak-mencak saat passion project-nya tak mendapat lampu hijau dari studio, mereka seharusnya mengaca pada Getty.


Hasil akhirnya tak sehancur yang kita kira, karena cerita filmnya relatif koheren dan masih bisa dicerna.  Meski proses syutingnya sangat panjang, ia tak seperti film yang disusun dari potongan-potongan yang tak saling berhubungan. Namun The Evil Within memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja. Film ini dibuka dengan sekuens mimpi yang sangat ganjil, dimana Getty menggunakan beberapa manipulasi gambar yang ajaib padahal hanya untuk bagian yang berdurasi beberapa menit saja. Sampai akhir film, Getty menggunakan begitu banyak trik untuk memberikan kesan sureal. Ini adalah film bunuh-bunuhan, tapi Getty merengkuh absurditas filmnya dengan totalitas, sehingga memberikan kesan sureal yang serius. Anda mungkin akan teringat pada film-film lama David Lynch. Gambar-gambarnya selalu akan mengejutkan kita, bahkan saat ia tak masuk akal sama sekali.

Ceritanya tentang Dennis (Frederick Koehler) yang awalnya kita kira sebagai tokoh utama yang pintar karena narasinya yang tegas dan berwibawa. Ia memberikan penjelasan meyakinkan tentang mimpinya dulu. "Jangan kaget, karena itu cuma suara hatiku. Aslinya aku berbeda," kata Dennis. Sebenarnya Dennis adalah pria yang sedikit mengalami keterbelakangan mental. Ia tinggal serumah bersama sang kakak, John (Sean Patrick Flannery) yang bersikeras untuk merawatnya langsung, walau John sendiri sebenarnya adalah perawat yang payah. Kerjanya cuma nongrong dari satu restoran ke restoran lain, lalu berantem dengan pacarnya soal pernikahan.

Suatu hari, John menaruh cermin antik besar di kamar Dennis, tak peduli dengan protes dari adiknya tersebut. Saat dalam sebuah film horor kita mendengar kata "antik", kata tersebut juga berarti "angker". Dan ya. Dennis mulai melihat hal-hal aneh dalam cermin tersebut. Mulai dari bayangannya sendiri yang terlihat lebih kejam, hingga makhluk semacam setan (John Berryman dalam balutan make-up yang akan selalu terbayang di ingatan kita) yang menyugesti pikiran Dennis dengan hal-hal keji. Lewat cermin, Dennis sering berkomunikasi dengan mereka. Ada cara bagi Dennis untuk bisa hidup normal dan tak menjadi beban bagi orang lain, tetapi ia harus membunuh makhluk hidup; hewan dulu, lalu anak-anak, baru kemudian orang dewasa.

Apakah ini setan ini benar-benar ada atau hanya halusinasi Dennis saja? Saya sendiri tak yakin, namun mungkin memang begitulah yang dimaksudkan oleh pembuat filmnya. Apa yang dialami Dennis begitu abstrak, kita tak lagi bisa membedakan antara mimpi dengan kenyataan. Namun kisah Dennis memang "mimpi buruk", entah secara harfiah atau kiasan. Di awal film kita mempelajari bahwa mimpi itu tak terkendali, tak berbentuk. Saat Dennis merasa sudah berhenti bermimpi, ia malah diberitahu "siapa bilang mimpimu sudah berakhir?". Menarik untuk mempertimbangkan apakah mimpi buruk ini adalah memang hasutan dari suatu entitas supranatural atau kreasi pikirannya sendiri.

Katanya The Evil Within adalah film yang sangat personal bagi Getty. Bukan saja karena ini merupakan satu-satunya skrip yang berhasil ia produksi menjadi sebuah film, namun juga karena ini berasal dari mimpinya sendiri. Benar sekali. Getty mengklaim memimpikan langsung semua yang terjadi disini dan merangkainya dalam satu skrip. Holys**t! Mimpi buruk yang luar biasa, jika dilihat dari horor yang disajikan. Saya tak bisa membayangkan mengalami mimpi buruk sesinting ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hobi Getty mengkonsumsi sabu, saya juga tak tahu.

Getty melempar semua yang ia punya agar film ini menangkap persis visinya. Ia merancang sendiri practical effects yang dipakai, termasuk make-up dan beberapa animatronik yang menyeramkan. Nyaris tak ada tipu daya komputer; hampir semua dibuat dengan tangan. Untuk ukuran sutradara debutan, mencengangkan melihatnya yang dengan lihai menerapkan beberapa teknik filmmaking yang sulit. Ada adegan dimana Dennis dikelilingi cermin yang menciptakan bayangan tak berhingga. Di satu titik, kamera tanpa kentara bergerak di antara cermin mempermainkan perspektif kita, menciptakan ilusi yang meneror. Saya jadi kagum melihat berapa akurat perhitungannya dalam penempatan kamera. Imagery yang seperti ini menciptakan atmosfer asing yang tak nyaman.

Sekarang, Getty sudah menjadi almarhum. Ia meninggal dua tahun yang lalu gara-gara pendarahan akibat komplikasi narkoba, sehingga filmnya harus dibereskan oleh sang produser, Michael Luceri. Jadi The Evil Within adalah film pertamanya dan satu-satunya. Ini film yang kacau mengingat ceritanya yang melebar ke beberapa subplot gaje. Namun secara visual, ia sangat menggigit karena dibuat oleh orang yang tak terikat dengan sistem studio Hollywood. Ia tak terbatasi dengan materi yang mungkin akan terjegal dalam skala produksi industri. Getty hanya ingin filmnya dibuat, "mimpi buruk"-nya termanifestasi. Konsumennya adalah yang ingin melihat some bats**t crazy stuff. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Evil Within

98 menit
Dewasa
Andrew Getty
Andrew Getty
Robert Hickey, Kent Van Vleet, Michael Luceri
Stephen Sheridan
Mario Grigorov

Thursday, September 7, 2017

Review Film: 'It' (2017)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Horor, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'It' (2017)
link : Review Film: 'It' (2017)

Baca juga


Horor

'It' adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol.

“You'll float, too.”
— Pennywise
Rating UP:
Badut setan pemakan anak-anak. Terdengar seperti premis yang menggelikan, dan ini yang membuat saya tak sepenuhnya tercekat dengan horor dalam It. It adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol. Pembuat filmnya pasti menyasar kata pertama, tetapi saya mendapati bahwa ia sering tersasar di kata kedua. Mungkin karena saya, di dunia nyata, lumayan suka dengan badut. Entahlah, horor itu subyektif. Beberapa teknik menakut-nakutinya menggunakan efek spesial yang kompeten, tapi terasa berlebihan di beberapa bagian.


Mungkin ini karena materi sumbernya? Saya tak bisa memastikannya, karena belum membaca novel tahun 1986 yang dikarang oleh penulis horor ternama, Stephen King. Namun saya sudah menonton adaptasi miniserinya yang dirilis di tahun 1990 dimana Tim Curry berperan sebagai Pennywise si Badut. Miniseri ini berdurasi hampir 4 jam dan jika menimbang pernyataan Wikipedia dimana penulis skripnya “harus mengabaikan banyak subplot karena durasi”, maka saya menyimpulkan bahwa novelnya pastilah padat dan tebal. Jadi masuk akal saat versi film yang ini hanya mengambil separuh cerita dari novel. Tak perlu khawatir kalau pemotongannya janggal, karena cerita di novelnya memang terdiri dari dua lingkup waktu yang berbeda.

Meski begitu, ini menjadi dilema. Bagian pertama yang kita tonton sekarang mengambil waktu saat para tokohnya masih anak-anak, sementara bagian kedua (di sekuel yang sudah direncanakan) menceritakan bagaimana anak-anak ini sudah dewasa dan “dipanggil kembali” oleh si Badut. Motivasi karakter baru lebih dari sekadar mengigit di bagian kedua, karena mereka harus berhadapan dengan trauma masa kecil. Hal ini membuat film yang ini tidak komplit. Ada sesuatu yang kurang yang mungkin juga akan anda rasakan saat credit title mulai bergulir.

Anak-anak yang harus menaklukkan badut setan adalah Klub Pecundang yang beranggotan si gagap Bill (Jaeden Lieberher), si cerewet berkacamata Richie (Finn Wolfhard), si takut kuman Eddie (Jack Dylan Grazer), dan si pendiam Stanley (Wyatt Oleff). Nantinya, anggota mereka akan bertambah dengan kedatangan si gendut cerdas Ben (Jeremy Ray Taylor), si cewek cantik yang digosipkan genit Beverly (Sophia Lillis), dan si anak berkulit hitam Mike (Chosen Jacobs). Jika anda mendapati perasaan familiar saat melihat anak-anak ini, mungkin karena anda sudah menyaksikan serial Stranger Things dari Netflix. Sekarang kita tahu mereka dapat inspirasi dari mana.

Untuk film ini, latar waktunya dirubah, dari yang aslinya di tahun 50-an diganti menjadi 80-an. Tak begitu berpengaruh sebenarnya, karena filmnya masih menangkap esensi dari materi aslinya. Rating “R/Dewasa” mengijinkan filmnya untuk menampilkan beberapa bagian yang tak berani diangkat oleh miniserinya. Akan ada banyak adegan relatif brutal dimana anak-anak yang menjadi objek atau beberapa kata-kata jorok yang dilemparkan oleh anak-anak. Ia juga menyentuh hal-hal subversif semacam pelecehan seksual dan KDRT. Namun anda pasti tahu bahwa ini adalah potret yang realistis. Anak-anak memang tak semanis kelihatannya dan orangtua tak semuanya selalu mengayomi. Bahkan, semua orang dewasa di film ini digambarkan sebagai semacam monster tersendiri. Bagi saya, horor dunia nyata yang harus dihadapi anak-anak prapubertas ini jauh lebih meyeramkan. Oleh karenanya, tolong jangan dulu bawa anak/adik anda menonton It. Mereka belum siap.

Film dibuka dengan hujan deras di kota kecil Derry. Bill ogah diajak oleh adiknya, Georgie untuk main perahu kertas di luar rumah. Georgie main sendirian, mengejar perahu kertas yang hanyut di aliran air di sepanjang jalan. Namun, perahunya masuk ke dalam selokan. Georgie bermaksud mengambilnya, sebelum tiba-tiba muncullah Pennywise si Badut dari dalam gorong-gorong. Ia merayu Georgie, dan kemudian kita akan disuguhkan sebuah pemandangan mengerikan yang tak kita sangka akan kita dapatkan dalam sebuah film yang dibintangi anak-anak. Georgie menjadi salah satu dari banyak anak-anak yang menghilang di kota Derry.

Beberapa bulan kemudian, Bill percaya bahwa adiknya tersebut masih hidup. Namun seluruh kota sudah melupakannya, tertutupi oleh kasus kehilangan berikutnya. Jadi bersama teman-temannya di Klub Pecundang, Bill menghabiskan liburan musim panasnya untuk menemukan Georgie. Tentu saja, teman-temannya juga tak ada yang percaya, tetapi, hei, itulah gunanya teman, kan?

Yang sangat menarik dari film ini adalah bagaimana ia mengambil waktu yang cukup banyak bagi kita untuk mengenal para anak-anak ini. Kita benar-benar dibuat percaya dengan persahabatan mereka. Mereka nongkrong bareng, main sepeda bareng, dan saat dalam bahaya, mereka khawatir satu sama lain dan kita juga mengkhawatirkan keselamatan mereka. Film ini didominasi oleh aktor cilik, dan anda penasaran melihat bagaimana proses castingnya. Para aktor cilik ini begitu pandai berakting, setiap karakternya yang unik terasa nyata dan dekat dengan kita.

Pennywise ternyata hanyalah salah satu wujud dari “dia”, makhluk supranatural yang bisa berubah bentuk sesuai dengan apa yang paling kita takuti. Ia memangsa ketakutan terdalam dari korbannya. Oleh karenanya, kita akan menyaksikan anak-anak ini diteror saat mereka sedang sendirian di gudang bawah tanah atau di kamar mandi, melihat sesuatu yang paling mereka takuti, entah itu hantu Georgie, wastafel berdarah, penderita lepra, dan badut setan, pastinya. Terornya random. Meski secara terpisah sekuens ini lumayan membuat ngeri, namun ia tak menyatu secara keseluruhan dalam kerangka naratif yang lebih besar. Klimaksnya tak terasa sebagai sebuah kulminasi dari semua teror di awal.

Mungkin ini karena “dia” itu sendiri yang tak terejawantahkan dengan mantap. Bill Skarsgard tampil sensasional sebagai sang badut setan, tapi ia tak diberi porsi yang pas. Pennywise hanya berakhir sebatas “teknik” menakuti, alih-alih entitas teror yang berwujud. Kengerian yang dibawa “dia”, semakin lama semakin berkurang, terlebih saat muncul dengan blak-blakan terlalu sering. Sutradaranya adalah Andy Muschietti yang pernah menghadirkan makhluk berkaki dan berlengan kurus panjang (entah apapun namanya) dalam film Mama. Muschietti memanfaatkan apa yang bisa dilakukan efek komputer masa kini. Ada adegan dimana Pennywise membuka mulut sedemikian lebar, menunjukkan ratusan gigi tajamnya yang dihadirkan lewat CGI. Ini menakutkan tapi juga komikal di saat bersamaan. Efek spesialnya over-the-top, membuat kita sangat menyadari bahwa kita sedang melihat efek spesial. Tak banyak orang yang takut dengan efek spesial.

It memang hanya adaptasi separuh dari novelnya, namun filmnya sendiri sudah berisi materi dari dua film. Yang pertama adalah mengenai anak-anak yang harus menghadapi permasalahan mereka di dunia nyata yang begitu menarik sampai saya mau nongkrong lagi di musim panas berikutnya bersama mereka. Untuk yang kedua, karena melibatkan badut setan, indikasinya adalah saya tak ingin berlama-lama “nongkrong” dengan setannya saking takutnya. Saya cuma akan bilang bahwa saya masih sanggup melihat Pennywise selama dua jam lagi. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It

135 menit
Dewasa
Andy Muschietti
Chase Palmer, Cary Fukunaga, Gary Dauberman (screenplay), Stephen King (novel)
Roy Lee, Dan Lin, Seth Grahame-Smith, David Katzenberg, Barbara Muschietti
Chung-hoon Chung
Benjamin Wallfisch

'It' adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol.

“You'll float, too.”
— Pennywise
Rating UP:
Badut setan pemakan anak-anak. Terdengar seperti premis yang menggelikan, dan ini yang membuat saya tak sepenuhnya tercekat dengan horor dalam It. It adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol. Pembuat filmnya pasti menyasar kata pertama, tetapi saya mendapati bahwa ia sering tersasar di kata kedua. Mungkin karena saya, di dunia nyata, lumayan suka dengan badut. Entahlah, horor itu subyektif. Beberapa teknik menakut-nakutinya menggunakan efek spesial yang kompeten, tapi terasa berlebihan di beberapa bagian.


Mungkin ini karena materi sumbernya? Saya tak bisa memastikannya, karena belum membaca novel tahun 1986 yang dikarang oleh penulis horor ternama, Stephen King. Namun saya sudah menonton adaptasi miniserinya yang dirilis di tahun 1990 dimana Tim Curry berperan sebagai Pennywise si Badut. Miniseri ini berdurasi hampir 4 jam dan jika menimbang pernyataan Wikipedia dimana penulis skripnya “harus mengabaikan banyak subplot karena durasi”, maka saya menyimpulkan bahwa novelnya pastilah padat dan tebal. Jadi masuk akal saat versi film yang ini hanya mengambil separuh cerita dari novel. Tak perlu khawatir kalau pemotongannya janggal, karena cerita di novelnya memang terdiri dari dua lingkup waktu yang berbeda.

Meski begitu, ini menjadi dilema. Bagian pertama yang kita tonton sekarang mengambil waktu saat para tokohnya masih anak-anak, sementara bagian kedua (di sekuel yang sudah direncanakan) menceritakan bagaimana anak-anak ini sudah dewasa dan “dipanggil kembali” oleh si Badut. Motivasi karakter baru lebih dari sekadar mengigit di bagian kedua, karena mereka harus berhadapan dengan trauma masa kecil. Hal ini membuat film yang ini tidak komplit. Ada sesuatu yang kurang yang mungkin juga akan anda rasakan saat credit title mulai bergulir.

Anak-anak yang harus menaklukkan badut setan adalah Klub Pecundang yang beranggotan si gagap Bill (Jaeden Lieberher), si cerewet berkacamata Richie (Finn Wolfhard), si takut kuman Eddie (Jack Dylan Grazer), dan si pendiam Stanley (Wyatt Oleff). Nantinya, anggota mereka akan bertambah dengan kedatangan si gendut cerdas Ben (Jeremy Ray Taylor), si cewek cantik yang digosipkan genit Beverly (Sophia Lillis), dan si anak berkulit hitam Mike (Chosen Jacobs). Jika anda mendapati perasaan familiar saat melihat anak-anak ini, mungkin karena anda sudah menyaksikan serial Stranger Things dari Netflix. Sekarang kita tahu mereka dapat inspirasi dari mana.

Untuk film ini, latar waktunya dirubah, dari yang aslinya di tahun 50-an diganti menjadi 80-an. Tak begitu berpengaruh sebenarnya, karena filmnya masih menangkap esensi dari materi aslinya. Rating “R/Dewasa” mengijinkan filmnya untuk menampilkan beberapa bagian yang tak berani diangkat oleh miniserinya. Akan ada banyak adegan relatif brutal dimana anak-anak yang menjadi objek atau beberapa kata-kata jorok yang dilemparkan oleh anak-anak. Ia juga menyentuh hal-hal subversif semacam pelecehan seksual dan KDRT. Namun anda pasti tahu bahwa ini adalah potret yang realistis. Anak-anak memang tak semanis kelihatannya dan orangtua tak semuanya selalu mengayomi. Bahkan, semua orang dewasa di film ini digambarkan sebagai semacam monster tersendiri. Bagi saya, horor dunia nyata yang harus dihadapi anak-anak prapubertas ini jauh lebih meyeramkan. Oleh karenanya, tolong jangan dulu bawa anak/adik anda menonton It. Mereka belum siap.

Film dibuka dengan hujan deras di kota kecil Derry. Bill ogah diajak oleh adiknya, Georgie untuk main perahu kertas di luar rumah. Georgie main sendirian, mengejar perahu kertas yang hanyut di aliran air di sepanjang jalan. Namun, perahunya masuk ke dalam selokan. Georgie bermaksud mengambilnya, sebelum tiba-tiba muncullah Pennywise si Badut dari dalam gorong-gorong. Ia merayu Georgie, dan kemudian kita akan disuguhkan sebuah pemandangan mengerikan yang tak kita sangka akan kita dapatkan dalam sebuah film yang dibintangi anak-anak. Georgie menjadi salah satu dari banyak anak-anak yang menghilang di kota Derry.

Beberapa bulan kemudian, Bill percaya bahwa adiknya tersebut masih hidup. Namun seluruh kota sudah melupakannya, tertutupi oleh kasus kehilangan berikutnya. Jadi bersama teman-temannya di Klub Pecundang, Bill menghabiskan liburan musim panasnya untuk menemukan Georgie. Tentu saja, teman-temannya juga tak ada yang percaya, tetapi, hei, itulah gunanya teman, kan?

Yang sangat menarik dari film ini adalah bagaimana ia mengambil waktu yang cukup banyak bagi kita untuk mengenal para anak-anak ini. Kita benar-benar dibuat percaya dengan persahabatan mereka. Mereka nongkrong bareng, main sepeda bareng, dan saat dalam bahaya, mereka khawatir satu sama lain dan kita juga mengkhawatirkan keselamatan mereka. Film ini didominasi oleh aktor cilik, dan anda penasaran melihat bagaimana proses castingnya. Para aktor cilik ini begitu pandai berakting, setiap karakternya yang unik terasa nyata dan dekat dengan kita.

Pennywise ternyata hanyalah salah satu wujud dari “dia”, makhluk supranatural yang bisa berubah bentuk sesuai dengan apa yang paling kita takuti. Ia memangsa ketakutan terdalam dari korbannya. Oleh karenanya, kita akan menyaksikan anak-anak ini diteror saat mereka sedang sendirian di gudang bawah tanah atau di kamar mandi, melihat sesuatu yang paling mereka takuti, entah itu hantu Georgie, wastafel berdarah, penderita lepra, dan badut setan, pastinya. Terornya random. Meski secara terpisah sekuens ini lumayan membuat ngeri, namun ia tak menyatu secara keseluruhan dalam kerangka naratif yang lebih besar. Klimaksnya tak terasa sebagai sebuah kulminasi dari semua teror di awal.

Mungkin ini karena “dia” itu sendiri yang tak terejawantahkan dengan mantap. Bill Skarsgard tampil sensasional sebagai sang badut setan, tapi ia tak diberi porsi yang pas. Pennywise hanya berakhir sebatas “teknik” menakuti, alih-alih entitas teror yang berwujud. Kengerian yang dibawa “dia”, semakin lama semakin berkurang, terlebih saat muncul dengan blak-blakan terlalu sering. Sutradaranya adalah Andy Muschietti yang pernah menghadirkan makhluk berkaki dan berlengan kurus panjang (entah apapun namanya) dalam film Mama. Muschietti memanfaatkan apa yang bisa dilakukan efek komputer masa kini. Ada adegan dimana Pennywise membuka mulut sedemikian lebar, menunjukkan ratusan gigi tajamnya yang dihadirkan lewat CGI. Ini menakutkan tapi juga komikal di saat bersamaan. Efek spesialnya over-the-top, membuat kita sangat menyadari bahwa kita sedang melihat efek spesial. Tak banyak orang yang takut dengan efek spesial.

It memang hanya adaptasi separuh dari novelnya, namun filmnya sendiri sudah berisi materi dari dua film. Yang pertama adalah mengenai anak-anak yang harus menghadapi permasalahan mereka di dunia nyata yang begitu menarik sampai saya mau nongkrong lagi di musim panas berikutnya bersama mereka. Untuk yang kedua, karena melibatkan badut setan, indikasinya adalah saya tak ingin berlama-lama “nongkrong” dengan setannya saking takutnya. Saya cuma akan bilang bahwa saya masih sanggup melihat Pennywise selama dua jam lagi. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It

135 menit
Dewasa
Andy Muschietti
Chase Palmer, Cary Fukunaga, Gary Dauberman (screenplay), Stephen King (novel)
Roy Lee, Dan Lin, Seth Grahame-Smith, David Katzenberg, Barbara Muschietti
Chung-hoon Chung
Benjamin Wallfisch

Saturday, August 26, 2017

Review Film: 'Death Note' (2017)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Fantasi, Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Death Note' (2017)
link : Review Film: 'Death Note' (2017)

Baca juga


Horor

Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya.

“It's like you said, sometimes you gotta choose the lesser of the two evils.”
— Light Turner
Rating UP:
Film Death Note apa ini? Semacam parodi? Kalau iya, dimana saya seharusnya tertawa? Death Note versi Netflix adalah lelucon yang tak lucu. Mungkin inilah yang akan terjadi jika Shinigami Ryuk menjatuhkan buku kematiannya di Amerika dan kepada remaja yang lebih dungu daripada remaja dalam film horor Friday the 13th. Ketika pertama kali melihat Dewa Kematian, tokoh utama kita berteriak sekencang-kencangnya dengan ekspresi yang sedemikian menggelikan, saya curiga jangan-jangan Nat Wolff sedang casting untuk film Scary Movie berikutnya. Apakah film ini main-main? Tidak juga, karena para karakter kita membicarakan perkara serius seperti tindakan meniru Tuhan serta masa depan umat manusia.


Saya sangat menggemari manga Death Note karya Takeshi Obata dan Tsugumi Ohba yang sangat cerdas dan atmosferik. Mungkin semangat fanboy saya akan membuat review ini sedikit bias. Meski demikian, saya juga tak sebegitu fanatik sampai merasa perlu bahwa adaptasi Hollywood-nya harus setia dengan materi asli. Ini adalah adaptasi dan pembuat filmnya bisa melakukan apa saja asalkan filmnya bagus. Namun, Death Note versi ini memang kacau dalam segala aspek. Tone-nya berantakan, motif karakternya tak jelas, plotnya amburadul, dan yang lebih keji lagi, perubahan yang dilakukan oleh pembuat film terhadap materi aslinya sama sekali tak memberikan signifikansi apapun.

Awalnya, film ini bermain kurang lebih seperti manga-nya. Seorang remaja bernama Light Turner (Wolff) menemukan sebuah buku hitam yang berbalut kaver kulit dengan judul "DEATH NOTE" di depannya. Sebenarnya buku ini adalah buku kematian yang dijatuhkan oleh Shinigami alias Dewa Kematian bernama Ryuk (diperankan oleh Willem Dafoe). Buku ini berisi banyak nama orang, tapi yang lebih penting, di dalamnya tercantum peraturan. Peraturannya ada banyak, namun yang paling mendasar dari semuanya adalah: tulis nama seseorang sambil membayangkan wajahnya, maka orang tersebut akan mati.

Sutradara Adam Wingard mengklaim bahwa setting Death Note asli terlalu ke-Jepang-an dan tak mungkin diadopsi mentah-mentah untuk film Hollywood. Jadi bersama penulis skrip Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater, ia melakukan penyesuaian agar lebih relevan dengan situasi sosiopolitis Amerika. Diamerikanisasi, katanya, untuk memberikan perspektif baru. Oke, baiklah. Ini dia perspektif baru yang saya dapat dari Death Note versi baru yang saya bandingkan dengan versi manga. Peringatan: saya tak bermaksud menggeneralisasi Amerika, ini hanyalah poin yang saya simpulkan dari filmnya.

  • Bullying. Menjadi anak SMA di Amerika tak ada artinya kalau anda bukan preman sekolah. Jika di manga, kepintaran Light membuatnya dengan gampang melewati masa sekolah dan menjadi idola di kelas, maka di film, hal ini menjadi bahan bully-an. Ini Amerika, Light! Harusnya ototmu yang dilatih.

  • Broken home. Tak lengkap seorang remaja Amerika jika keluarganya tak mengalami masalah. Ibu Light diceritakan meninggal karena dibunuh preman, sehingga membuat hubungan Light dengan ayahnya yang seorang kepala polisi (Shea Whigham) menjadi sangat buruk. “Ayah sama sekali tak peduli!”.

  • Pacar. Bro, SMA itu waktunya mencari pacar. Pacar adalah pencapaian tertinggi di sekolah. Jadi setelah menemukan "Death Note", Light segera membeberkan semua, termasuk keberadaan Ryuk, kepada salah satu cewek paling hot di sekolah, Mia (Margaret Qualley). Alasannya: Light naksir Mia dan, saya yakin, Light merasa inilah satu-satunya cara mendekatinya. Sabar Light, tahan nafsumu! Awalnya saya pikir Mia adalah pengganti karakter Misa Amane dari manga, namun kepribadian dan fungsinya bagi cerita sama sekali berbeda. Mia tidak gampang dimanfaatkan seperti Misa, karena ia lebih psikopat daripada Light. Dan Light sendiri tampak menyedihkan karena boleh dibilang tak bisa berbuat apa-apa di samping Mia.

  • Brutalisme. Melihat Light yang seperti ini, wajar saja jika yang ia bunuh pertama kali adalah preman sekolah yang kerap mem-bully-nya. Kalau anda merasa moralitas Light versi manga menyimpang karena membunuh banyak kriminal dan terkadang menggunakan kematian mereka demi kelancaran misinya menjadi Dewa, tunggu sampai anda melihat cara Light versi film membunuh. Salah satu kelebihan "Death Note" adalah bisa mengatur kondisi seseorang terbunuh, dan Light memanfaatkannya untuk menciptakan sekuens kematian sesadis mungkin, yang tampaknya terinspirasi karena terlalu banyak menonton Final Destination. Preman sekolah, misalnya, mati dengan kepala terpotong tangga portable. Apakah penonton Amerika memang secandu itu dengan darah dan potongan tubuh?
Pasangan psikopat ini memastikan agar tindakan mereka dilihat dan dipuja masyarakat dengan menciptakan figur Tuhan berjuluk “Kira”. Namun di lain pihak, ini juga memancing perhatian polisi serta detektif terhebat di dunia yang eksentrik, L (Keith Stanfield). L cukup cerdas untuk menyembunyikan wajah nama dan aslinya. Penyelidikan segera mengarah kepada Light. Kok bisa secepat itu? Entahlah. Jika di manga, skala ceritanya yang global mengerucut dengan logis ke Jepang, namun film langsung menyempitkannya dengan mendadak sampai anda bisa menyelipkan meme “Boy, that escalated quickly”.

Wingard dan penulis skripnya sepertinya sama sekali tak tahu apa yang mereka sasar. Karakter yang mereka buat relatif sama dengan versi manga-nya, namun mereka ogah untuk merengkuh esensi dari materi aslinya. Manga Death Note memang punya elemen supranatural, namun ini hanyalah gimmick karena yang membuat kita tercekat dengan cerita adalah adu kecerdasan dan ambiguitas moral antara Light/Kira dengan L. Permainan kucing-kucingan ini merupakan bagian terbaik dari manga, namun disini dikesampingkan karena cerita lebih berfokus pada masalah cewek yang dialami Light. Kenapa melakukan ini? Filmnya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Perubahan poin plot ini terasa serampangan, tanpa tujuan. Kenapa tak sekalian mengganti mereka dengan karakter yang sama sekali baru?

Meski banyak yang tak setuju dengan pergantian latar belakang ras L, saya kira tak ada yang akan protes dengan pemilihan Dafoe sebagai Ryuk. Ini adalah casting yang luar biasa cocok. Suara asli Dafoe sudah mengumbar aura sadis yang sesuai sekali dengan gaya Ryuk yang suka bercelutuk dan terkekeh keji. Namun filmnya tak tahu dimana harus menempatkan karakter ikonik ini. Kita tak pernah benar-benar tahu alasan kenapa Ryuk menjatuhkan bukunya atau kenapa ia tertarik dengan Light, karena seperti yang saya bilang tadi, Light dan Mia adalah karakter yang membosankan. Secara umum, film mengabaikan Ryuk di banyak kesempatan hingga ia bisa dihilangkan sama sekali dari plot dan kita takkan begitu merasakan perbedaannya.

Saya suka dengan karya Wingard sebelumnya. You’re Next dan The Guest adalah produk yang setingkat lebih tinggi dibanding film-film di genrenya. Ia punya gaya visual menarik, yang sebenarnya tak pula ketinggalan dalam Death Note ini. Coba lihat pergerakan kameranya yang unik, penggunaan warna neonnya yang mencolok, serta pemilihan lagu jadul semacam "Power of Love"-nya Air Supply untuk menegaskan ironi di adegan brutal. Namun ia mengabaikan semua hal selain itu. Film bergerak sekenanya dengan menyelipkan mitologi Death Note disana-sini tanpa fungsi yang jelas. Saya rasa Wingard dkk membuat film ini tanpa mempelajari materi orisinalnya, hanya membaca premisnya dari Wikipedia. Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Death Note

100 menit
Remaja - BO
Adam Wingard
Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, Jeremy Slater (screenplay), Tsugumi Ohba, Takeshi Obata (manga)
Masi Oka, Roy Lee, Dan Lin, Jason Hoffs
David Tattersall
Atticus Ross, Leopold Ross

Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya.

“It's like you said, sometimes you gotta choose the lesser of the two evils.”
— Light Turner
Rating UP:
Film Death Note apa ini? Semacam parodi? Kalau iya, dimana saya seharusnya tertawa? Death Note versi Netflix adalah lelucon yang tak lucu. Mungkin inilah yang akan terjadi jika Shinigami Ryuk menjatuhkan buku kematiannya di Amerika dan kepada remaja yang lebih dungu daripada remaja dalam film horor Friday the 13th. Ketika pertama kali melihat Dewa Kematian, tokoh utama kita berteriak sekencang-kencangnya dengan ekspresi yang sedemikian menggelikan, saya curiga jangan-jangan Nat Wolff sedang casting untuk film Scary Movie berikutnya. Apakah film ini main-main? Tidak juga, karena para karakter kita membicarakan perkara serius seperti tindakan meniru Tuhan serta masa depan umat manusia.


Saya sangat menggemari manga Death Note karya Takeshi Obata dan Tsugumi Ohba yang sangat cerdas dan atmosferik. Mungkin semangat fanboy saya akan membuat review ini sedikit bias. Meski demikian, saya juga tak sebegitu fanatik sampai merasa perlu bahwa adaptasi Hollywood-nya harus setia dengan materi asli. Ini adalah adaptasi dan pembuat filmnya bisa melakukan apa saja asalkan filmnya bagus. Namun, Death Note versi ini memang kacau dalam segala aspek. Tone-nya berantakan, motif karakternya tak jelas, plotnya amburadul, dan yang lebih keji lagi, perubahan yang dilakukan oleh pembuat film terhadap materi aslinya sama sekali tak memberikan signifikansi apapun.

Awalnya, film ini bermain kurang lebih seperti manga-nya. Seorang remaja bernama Light Turner (Wolff) menemukan sebuah buku hitam yang berbalut kaver kulit dengan judul "DEATH NOTE" di depannya. Sebenarnya buku ini adalah buku kematian yang dijatuhkan oleh Shinigami alias Dewa Kematian bernama Ryuk (diperankan oleh Willem Dafoe). Buku ini berisi banyak nama orang, tapi yang lebih penting, di dalamnya tercantum peraturan. Peraturannya ada banyak, namun yang paling mendasar dari semuanya adalah: tulis nama seseorang sambil membayangkan wajahnya, maka orang tersebut akan mati.

Sutradara Adam Wingard mengklaim bahwa setting Death Note asli terlalu ke-Jepang-an dan tak mungkin diadopsi mentah-mentah untuk film Hollywood. Jadi bersama penulis skrip Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater, ia melakukan penyesuaian agar lebih relevan dengan situasi sosiopolitis Amerika. Diamerikanisasi, katanya, untuk memberikan perspektif baru. Oke, baiklah. Ini dia perspektif baru yang saya dapat dari Death Note versi baru yang saya bandingkan dengan versi manga. Peringatan: saya tak bermaksud menggeneralisasi Amerika, ini hanyalah poin yang saya simpulkan dari filmnya.

  • Bullying. Menjadi anak SMA di Amerika tak ada artinya kalau anda bukan preman sekolah. Jika di manga, kepintaran Light membuatnya dengan gampang melewati masa sekolah dan menjadi idola di kelas, maka di film, hal ini menjadi bahan bully-an. Ini Amerika, Light! Harusnya ototmu yang dilatih.

  • Broken home. Tak lengkap seorang remaja Amerika jika keluarganya tak mengalami masalah. Ibu Light diceritakan meninggal karena dibunuh preman, sehingga membuat hubungan Light dengan ayahnya yang seorang kepala polisi (Shea Whigham) menjadi sangat buruk. “Ayah sama sekali tak peduli!”.

  • Pacar. Bro, SMA itu waktunya mencari pacar. Pacar adalah pencapaian tertinggi di sekolah. Jadi setelah menemukan "Death Note", Light segera membeberkan semua, termasuk keberadaan Ryuk, kepada salah satu cewek paling hot di sekolah, Mia (Margaret Qualley). Alasannya: Light naksir Mia dan, saya yakin, Light merasa inilah satu-satunya cara mendekatinya. Sabar Light, tahan nafsumu! Awalnya saya pikir Mia adalah pengganti karakter Misa Amane dari manga, namun kepribadian dan fungsinya bagi cerita sama sekali berbeda. Mia tidak gampang dimanfaatkan seperti Misa, karena ia lebih psikopat daripada Light. Dan Light sendiri tampak menyedihkan karena boleh dibilang tak bisa berbuat apa-apa di samping Mia.

  • Brutalisme. Melihat Light yang seperti ini, wajar saja jika yang ia bunuh pertama kali adalah preman sekolah yang kerap mem-bully-nya. Kalau anda merasa moralitas Light versi manga menyimpang karena membunuh banyak kriminal dan terkadang menggunakan kematian mereka demi kelancaran misinya menjadi Dewa, tunggu sampai anda melihat cara Light versi film membunuh. Salah satu kelebihan "Death Note" adalah bisa mengatur kondisi seseorang terbunuh, dan Light memanfaatkannya untuk menciptakan sekuens kematian sesadis mungkin, yang tampaknya terinspirasi karena terlalu banyak menonton Final Destination. Preman sekolah, misalnya, mati dengan kepala terpotong tangga portable. Apakah penonton Amerika memang secandu itu dengan darah dan potongan tubuh?
Pasangan psikopat ini memastikan agar tindakan mereka dilihat dan dipuja masyarakat dengan menciptakan figur Tuhan berjuluk “Kira”. Namun di lain pihak, ini juga memancing perhatian polisi serta detektif terhebat di dunia yang eksentrik, L (Keith Stanfield). L cukup cerdas untuk menyembunyikan wajah nama dan aslinya. Penyelidikan segera mengarah kepada Light. Kok bisa secepat itu? Entahlah. Jika di manga, skala ceritanya yang global mengerucut dengan logis ke Jepang, namun film langsung menyempitkannya dengan mendadak sampai anda bisa menyelipkan meme “Boy, that escalated quickly”.

Wingard dan penulis skripnya sepertinya sama sekali tak tahu apa yang mereka sasar. Karakter yang mereka buat relatif sama dengan versi manga-nya, namun mereka ogah untuk merengkuh esensi dari materi aslinya. Manga Death Note memang punya elemen supranatural, namun ini hanyalah gimmick karena yang membuat kita tercekat dengan cerita adalah adu kecerdasan dan ambiguitas moral antara Light/Kira dengan L. Permainan kucing-kucingan ini merupakan bagian terbaik dari manga, namun disini dikesampingkan karena cerita lebih berfokus pada masalah cewek yang dialami Light. Kenapa melakukan ini? Filmnya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Perubahan poin plot ini terasa serampangan, tanpa tujuan. Kenapa tak sekalian mengganti mereka dengan karakter yang sama sekali baru?

Meski banyak yang tak setuju dengan pergantian latar belakang ras L, saya kira tak ada yang akan protes dengan pemilihan Dafoe sebagai Ryuk. Ini adalah casting yang luar biasa cocok. Suara asli Dafoe sudah mengumbar aura sadis yang sesuai sekali dengan gaya Ryuk yang suka bercelutuk dan terkekeh keji. Namun filmnya tak tahu dimana harus menempatkan karakter ikonik ini. Kita tak pernah benar-benar tahu alasan kenapa Ryuk menjatuhkan bukunya atau kenapa ia tertarik dengan Light, karena seperti yang saya bilang tadi, Light dan Mia adalah karakter yang membosankan. Secara umum, film mengabaikan Ryuk di banyak kesempatan hingga ia bisa dihilangkan sama sekali dari plot dan kita takkan begitu merasakan perbedaannya.

Saya suka dengan karya Wingard sebelumnya. You’re Next dan The Guest adalah produk yang setingkat lebih tinggi dibanding film-film di genrenya. Ia punya gaya visual menarik, yang sebenarnya tak pula ketinggalan dalam Death Note ini. Coba lihat pergerakan kameranya yang unik, penggunaan warna neonnya yang mencolok, serta pemilihan lagu jadul semacam "Power of Love"-nya Air Supply untuk menegaskan ironi di adegan brutal. Namun ia mengabaikan semua hal selain itu. Film bergerak sekenanya dengan menyelipkan mitologi Death Note disana-sini tanpa fungsi yang jelas. Saya rasa Wingard dkk membuat film ini tanpa mempelajari materi orisinalnya, hanya membaca premisnya dari Wikipedia. Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Death Note

100 menit
Remaja - BO
Adam Wingard
Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, Jeremy Slater (screenplay), Tsugumi Ohba, Takeshi Obata (manga)
Masi Oka, Roy Lee, Dan Lin, Jason Hoffs
David Tattersall
Atticus Ross, Leopold Ross

Thursday, September 3, 2015

Review Film: 'Sinister 2' (2015)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Sinister 2' (2015)
link : Review Film: 'Sinister 2' (2015)

Baca juga


Horor

'Sinister 2' mengulang kisah lama dengan sudut pandang dan karakter yang berbeda. Ini justru memudarkan sisi misterius yang membuat kadar keseramannya anjlok.

“I'm not gonna let him finish that movie!”
— Ex-Deputy
Sinister adalah film horor yang lumayan dan seharusnya tak perlu dibuatkan sekuel. Endingnya yang kabur menutup film dengan baik. Namun penulis skrip Scott Derrickson dan C. Robert Cargill merasa perlu untuk menjelaskan semua — atau hanya ingin meraup dolar lebih banyak — dalam film kedua yang lebih inert dan tumpul ini.

Sebenarnya, Sinister 2 punya ide yang cukup bagus. Derrickson dan Cargill mengakali kisahnya yang tak lagi baru dengan menceritakannya dari sudut pandang berbeda. Namun di lain pihak, ini justru memudarkan sisi misteriusnya yang membuat kadar keseramannya anjlok.

Yang menjadi benang merah Sinister 2 dengan film pertamanya adalah deputi (James Ransone) yang pernah membantu keluarga Oswalt. Namun sekarang dia telah dibebastugaskan dan fokus untuk menyelidiki teror Bughuul, iblis dari dunia lain — yang mempunyai wujud sangat mirip salah satu personil band Slipknot. Penyelidikan ini mengantarkannya pada keluarga Collins yang baru saja pindah ke sebelah gereja tua yang dulunya pernah menjadi lokasi pembunuhan tragis.


Courtney Collins (Shannyn Sossamon) baru saja bercerai dengan suaminya, Clint (Lea Coco) dan membawa kedua anaknya, Zach (Dartanian Sloan) dan Dylan (Robert Daniel Sloan) pindah ke sebuah rumah di daerah pinggiran. Zach sering mem-bully Dylan yang lemah dan dinilai aneh, karena bisa melihat makhluk halus. Setiap malam, Dylan didatangi oleh hantu anak kecil bernama Milo, yang memaksanya untuk menonton video snuff yang berisi pembunuhan sadis.

Ada 2 cerita utama dalam film ini. Di balik plot supranatural Bughuul, ada subplot mengenai kisah keluarga yang berantakan: seorang anak yang menjadi korban KDRT sementara yang lainnya iri dengan saudaranya, serta ibu yang berusaha menghindari suaminya yang abusif. Deputi kita tak hanya berusaha membantu mereka dari teror mistis namun juga melibatkan diri untuk menengahi masalah keluarga ini. Sentuhan yang bagus, yang sayangnya tak terlalu dieksplorasi sehingga membuat subplot ini terkesan hanya berfungsi sebagai tempelan, alih-alih memperbaharui narasi.

Dalam film pertamanya, Derrickson menyimpan misterinya rapat-rapat hingga momen puncak yang sukses membuat kita terhenyak, tapi disini, Ciaran Foy yang mengambil alih posisi sutradara malah mengumbar penampilan Bughuul dengan adegan jump-scares yang malah tak masuk akal. Kita tahu bahwa Bughuul punya beberapa aturan — entahlah, tampaknya iblis punya kode etik dalam modus operandinya — : misalnya teror dimulai saat kemunculan logo ikoniknya, atau Bughuul yang hanya menghantui calon korbannya. Namun entah kenapa, disini deputi pun juga dihantui padahal dia berada jauh dari TKP dan bahkan bukan calon korban. Konyolnya, teror dilakukan lewat monitor laptop! Oh, sekarang iblis pun sudah melek teknologi.

Tak ada momen yang benar-benar menyeramkan, selain beberapa jump-scares yang membuat anda kaget setengah mati akibat suara yang menggelegar. Dibanding hantunya, rekaman snuff films dalam video super-8 yang ditayangkan jauh lebih mengerikan dengan porsi yang lebih banyak, diantaranya melibatkan buaya, kabel listrik, salju, dan bor gigi.

Penampilan Ransone sebagai tokoh utama terasa kurang kuat, meski aktingnya sendiri tak terlalu buruk. Yang lebih buruk adalah akting dari Sloan bersaudara yang terlalu dibuat-buat. Ketidakharmonisan keduanya tak meyakinkan dan sulit untuk bersimpati bagi keduanya, berbeda dengan keluarga Oswalt dari Sinister.

Ending yang tak solid — disorot bergantian dengan kamera konvensional dan super-8 — pada akhirnya malah melemahkan karakter sang iblis. Bughuul tak punya peran apa-apa — selain membuat kita jantungan dengan kemunculannya yang tiba-tiba, dan malah menyerahkan tugas sepenuhnya pada anak-anak. Kekuatannya hanyalah sebatas kamera, jadi kenapa mereka terlihat setakut itu?!!

Elemen yang membuat Sinister menjadi film horor yang menyeramkan masih digunakan, namun tak lagi mengena disini. Terkadang sesuatu jauh lebih mengerikan berkat misteri dan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Dalam Sinister 2, kita menonton kejadian yang sama dengan sudut pandang dan karakter yang berbeda. Perlukah? Saya rasa tidak. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Sinister 2' |
|

IMDb | Rottentomatoes
97 menit | Dewasa

Sutradara: Ciaran Foy
Penulis: C. Robert Cargill, Scott Derrickson
Pemain: James Ransone, Shannyn Sossamon

'Sinister 2' mengulang kisah lama dengan sudut pandang dan karakter yang berbeda. Ini justru memudarkan sisi misterius yang membuat kadar keseramannya anjlok.

“I'm not gonna let him finish that movie!”
— Ex-Deputy
Sinister adalah film horor yang lumayan dan seharusnya tak perlu dibuatkan sekuel. Endingnya yang kabur menutup film dengan baik. Namun penulis skrip Scott Derrickson dan C. Robert Cargill merasa perlu untuk menjelaskan semua — atau hanya ingin meraup dolar lebih banyak — dalam film kedua yang lebih inert dan tumpul ini.

Sebenarnya, Sinister 2 punya ide yang cukup bagus. Derrickson dan Cargill mengakali kisahnya yang tak lagi baru dengan menceritakannya dari sudut pandang berbeda. Namun di lain pihak, ini justru memudarkan sisi misteriusnya yang membuat kadar keseramannya anjlok.

Yang menjadi benang merah Sinister 2 dengan film pertamanya adalah deputi (James Ransone) yang pernah membantu keluarga Oswalt. Namun sekarang dia telah dibebastugaskan dan fokus untuk menyelidiki teror Bughuul, iblis dari dunia lain — yang mempunyai wujud sangat mirip salah satu personil band Slipknot. Penyelidikan ini mengantarkannya pada keluarga Collins yang baru saja pindah ke sebelah gereja tua yang dulunya pernah menjadi lokasi pembunuhan tragis.


Courtney Collins (Shannyn Sossamon) baru saja bercerai dengan suaminya, Clint (Lea Coco) dan membawa kedua anaknya, Zach (Dartanian Sloan) dan Dylan (Robert Daniel Sloan) pindah ke sebuah rumah di daerah pinggiran. Zach sering mem-bully Dylan yang lemah dan dinilai aneh, karena bisa melihat makhluk halus. Setiap malam, Dylan didatangi oleh hantu anak kecil bernama Milo, yang memaksanya untuk menonton video snuff yang berisi pembunuhan sadis.

Ada 2 cerita utama dalam film ini. Di balik plot supranatural Bughuul, ada subplot mengenai kisah keluarga yang berantakan: seorang anak yang menjadi korban KDRT sementara yang lainnya iri dengan saudaranya, serta ibu yang berusaha menghindari suaminya yang abusif. Deputi kita tak hanya berusaha membantu mereka dari teror mistis namun juga melibatkan diri untuk menengahi masalah keluarga ini. Sentuhan yang bagus, yang sayangnya tak terlalu dieksplorasi sehingga membuat subplot ini terkesan hanya berfungsi sebagai tempelan, alih-alih memperbaharui narasi.

Dalam film pertamanya, Derrickson menyimpan misterinya rapat-rapat hingga momen puncak yang sukses membuat kita terhenyak, tapi disini, Ciaran Foy yang mengambil alih posisi sutradara malah mengumbar penampilan Bughuul dengan adegan jump-scares yang malah tak masuk akal. Kita tahu bahwa Bughuul punya beberapa aturan — entahlah, tampaknya iblis punya kode etik dalam modus operandinya — : misalnya teror dimulai saat kemunculan logo ikoniknya, atau Bughuul yang hanya menghantui calon korbannya. Namun entah kenapa, disini deputi pun juga dihantui padahal dia berada jauh dari TKP dan bahkan bukan calon korban. Konyolnya, teror dilakukan lewat monitor laptop! Oh, sekarang iblis pun sudah melek teknologi.

Tak ada momen yang benar-benar menyeramkan, selain beberapa jump-scares yang membuat anda kaget setengah mati akibat suara yang menggelegar. Dibanding hantunya, rekaman snuff films dalam video super-8 yang ditayangkan jauh lebih mengerikan dengan porsi yang lebih banyak, diantaranya melibatkan buaya, kabel listrik, salju, dan bor gigi.

Penampilan Ransone sebagai tokoh utama terasa kurang kuat, meski aktingnya sendiri tak terlalu buruk. Yang lebih buruk adalah akting dari Sloan bersaudara yang terlalu dibuat-buat. Ketidakharmonisan keduanya tak meyakinkan dan sulit untuk bersimpati bagi keduanya, berbeda dengan keluarga Oswalt dari Sinister.

Ending yang tak solid — disorot bergantian dengan kamera konvensional dan super-8 — pada akhirnya malah melemahkan karakter sang iblis. Bughuul tak punya peran apa-apa — selain membuat kita jantungan dengan kemunculannya yang tiba-tiba, dan malah menyerahkan tugas sepenuhnya pada anak-anak. Kekuatannya hanyalah sebatas kamera, jadi kenapa mereka terlihat setakut itu?!!

Elemen yang membuat Sinister menjadi film horor yang menyeramkan masih digunakan, namun tak lagi mengena disini. Terkadang sesuatu jauh lebih mengerikan berkat misteri dan rahasia yang tersimpan di dalamnya. Dalam Sinister 2, kita menonton kejadian yang sama dengan sudut pandang dan karakter yang berbeda. Perlukah? Saya rasa tidak. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Sinister 2' |
|

IMDb | Rottentomatoes
97 menit | Dewasa

Sutradara: Ciaran Foy
Penulis: C. Robert Cargill, Scott Derrickson
Pemain: James Ransone, Shannyn Sossamon

Tuesday, August 11, 2015

Review Film: 'Demonic' (2015)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Demonic' (2015)
link : Review Film: 'Demonic' (2015)

Baca juga


Horor

Mengangkat premis yang basi dengan formula horor yang klise, 'Demonic' adalah film horor yang tak terlalu bagus tapi lumayan bisa dinikmati berkat gaya narasi non-linearnya yang cukup berbeda.

“I want to put a baby in you.”
— Donnie
Nama James Wan memang terpampang di posternya, tapi jangan tertipu karena disini dia hanya bertindak sebagai produser. Tentu saja film ini tak punya tingkat keseraman sekelas film-film arahan Wan seperti Insidious dan The Conjuring. Film ini bahkan bukan film horor yang bagus, kalau boleh jujur. Meski mengangkat premis yang sudah basi, namun Demonic mengambil gaya narasi non-linear yang menurut saya cukup segar, dan akhirnya lumayan bisa dinikmati.

Dalam film ini, Frank Grillo bermain sebagai detektif Mark Lewis. Di tengah malam, dia mendapat panggilan darurat saat ada indikasi pembunuhan di sebuah rumah kosong. Sesampainya di TKP, Mark menemukan beberapa mayat anak muda dan satu korban selamat yang sedang panik yang bernama John (Dustin Milligan). Mark kemudian memanggil bala bantuan dan meminta tolong pada psikologis kriminal yang juga mantan pacarnya, Dr. Elizabeth Klein (Maria Bello) untuk menginterogasi John.

Ternyata John bukanlah satu-satunya korban yang selamat. Berdasarkan ceritanya, ada 2 orang yang berhasil melarikan diri: pacarnya yang tengah hamil, Michelle (Cody Horn) dan mantan pacar Michelle, Bryan (Scott Mechlowicz), satu diantaranya dicurigai sebagai pelaku.

Sementara itu polisi berusaha melakukan penyelidikan melalui video yang — secara kebetulan — direkam oleh rombongan anak muda tersebut. Dari sini terungkap bahwa mulanya mereka iseng untuk melakukan ritual pemanggilan roh di sebuah rumah kosong, dimana dulunya terjadi kasus pembunuhan sadis oleh keluarga Livingston. Dan tak terlalu mengejutkan sebenarnya bagaimana kebodohan mereka ini berujung nasib naas.


Dengan menggabungkan metode konvensional dengan gaya found-footage, film ini diceritakan bergantian antara penyidikan dan interogasi yang tengah berlangsung dengan flashback mengenai awal mula tragedi ini terjadi. Demonic mengambil gaya narasi ala The Usual Suspects dimana kita dibuat menerka-nerka siapa pelaku sebenarnya. Paruh awal sebenarnya tak terlalu menjanjikan, namun dengan pendekatan non-linear seperti ini membuat penonton sedikit terikat dengan ceritanya walau stereotip.

Selain dari faktor di atas, nyaris tak ada lagi alasan yang bagus bagi anda untuk menonton Demonic. Film ini mengambil resep-resep film horor kekinian. Jump scares, setting sekitar yang luar biasa gelap — serius, kenapa hampir di semua film horor ga ada yang kepikiran membawa penerangan yang mumpuni, dan tak lupa, music box. Memang di beberapa scene, terasa sedikit sentuhan khas Wan untuk membangun atmosfir, tapi lagi-lagi sutradara Will Canon kembali ke formula jump-scares.

Penampilan Grillo dan Bello cukup lumayan. Karakternya yang sejak awal memang one-note dan tak membutuhkan kapabilitas akting yang muluk-muluk. Milligan yang punya peran krusial justru tak tampil maksimal. Secara singkat rumus akting Milligan di film ini adalah gerak bola mata tak beraturan + omongan terbata-bata + bibir bergetar. WTF. Karakter John tak pernah terlihat benar-benar takut, membuat penonton yang awas bisa mengantisipasi plot-twist di bagian endingnya dengan mudah.

Suspens dari horor-nya memang tak terlalu terasa. Tapi setidaknya Demonic bisa memberikan ketegangan berkat premis "siapa pelakunya". Jika anda adalah penggemar berat film horor, mungkin tak perlu menonton film ini. Namun jika ingin melihat horor yang sedikit berbeda, Demonic adalah pengisi waktu luang yang lumayan. ■ UP

'Demonic' |
|


IMDb | Rottentomatoes
83 menit | Dewasa

Sutradara: Will Canon
Penulis: Max La Bella, Will Canon, Doug Simon
Pemain: Maria Bello, Frank Grillo, Dustin Milligan

Mengangkat premis yang basi dengan formula horor yang klise, 'Demonic' adalah film horor yang tak terlalu bagus tapi lumayan bisa dinikmati berkat gaya narasi non-linearnya yang cukup berbeda.

“I want to put a baby in you.”
— Donnie
Nama James Wan memang terpampang di posternya, tapi jangan tertipu karena disini dia hanya bertindak sebagai produser. Tentu saja film ini tak punya tingkat keseraman sekelas film-film arahan Wan seperti Insidious dan The Conjuring. Film ini bahkan bukan film horor yang bagus, kalau boleh jujur. Meski mengangkat premis yang sudah basi, namun Demonic mengambil gaya narasi non-linear yang menurut saya cukup segar, dan akhirnya lumayan bisa dinikmati.

Dalam film ini, Frank Grillo bermain sebagai detektif Mark Lewis. Di tengah malam, dia mendapat panggilan darurat saat ada indikasi pembunuhan di sebuah rumah kosong. Sesampainya di TKP, Mark menemukan beberapa mayat anak muda dan satu korban selamat yang sedang panik yang bernama John (Dustin Milligan). Mark kemudian memanggil bala bantuan dan meminta tolong pada psikologis kriminal yang juga mantan pacarnya, Dr. Elizabeth Klein (Maria Bello) untuk menginterogasi John.

Ternyata John bukanlah satu-satunya korban yang selamat. Berdasarkan ceritanya, ada 2 orang yang berhasil melarikan diri: pacarnya yang tengah hamil, Michelle (Cody Horn) dan mantan pacar Michelle, Bryan (Scott Mechlowicz), satu diantaranya dicurigai sebagai pelaku.

Sementara itu polisi berusaha melakukan penyelidikan melalui video yang — secara kebetulan — direkam oleh rombongan anak muda tersebut. Dari sini terungkap bahwa mulanya mereka iseng untuk melakukan ritual pemanggilan roh di sebuah rumah kosong, dimana dulunya terjadi kasus pembunuhan sadis oleh keluarga Livingston. Dan tak terlalu mengejutkan sebenarnya bagaimana kebodohan mereka ini berujung nasib naas.


Dengan menggabungkan metode konvensional dengan gaya found-footage, film ini diceritakan bergantian antara penyidikan dan interogasi yang tengah berlangsung dengan flashback mengenai awal mula tragedi ini terjadi. Demonic mengambil gaya narasi ala The Usual Suspects dimana kita dibuat menerka-nerka siapa pelaku sebenarnya. Paruh awal sebenarnya tak terlalu menjanjikan, namun dengan pendekatan non-linear seperti ini membuat penonton sedikit terikat dengan ceritanya walau stereotip.

Selain dari faktor di atas, nyaris tak ada lagi alasan yang bagus bagi anda untuk menonton Demonic. Film ini mengambil resep-resep film horor kekinian. Jump scares, setting sekitar yang luar biasa gelap — serius, kenapa hampir di semua film horor ga ada yang kepikiran membawa penerangan yang mumpuni, dan tak lupa, music box. Memang di beberapa scene, terasa sedikit sentuhan khas Wan untuk membangun atmosfir, tapi lagi-lagi sutradara Will Canon kembali ke formula jump-scares.

Penampilan Grillo dan Bello cukup lumayan. Karakternya yang sejak awal memang one-note dan tak membutuhkan kapabilitas akting yang muluk-muluk. Milligan yang punya peran krusial justru tak tampil maksimal. Secara singkat rumus akting Milligan di film ini adalah gerak bola mata tak beraturan + omongan terbata-bata + bibir bergetar. WTF. Karakter John tak pernah terlihat benar-benar takut, membuat penonton yang awas bisa mengantisipasi plot-twist di bagian endingnya dengan mudah.

Suspens dari horor-nya memang tak terlalu terasa. Tapi setidaknya Demonic bisa memberikan ketegangan berkat premis "siapa pelakunya". Jika anda adalah penggemar berat film horor, mungkin tak perlu menonton film ini. Namun jika ingin melihat horor yang sedikit berbeda, Demonic adalah pengisi waktu luang yang lumayan. ■ UP

'Demonic' |
|


IMDb | Rottentomatoes
83 menit | Dewasa

Sutradara: Will Canon
Penulis: Max La Bella, Will Canon, Doug Simon
Pemain: Maria Bello, Frank Grillo, Dustin Milligan

Friday, July 24, 2015

Review Film: 'Maggie' (2015)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Horor, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Maggie' (2015)
link : Review Film: 'Maggie' (2015)

Baca juga


Horor

'Maggie' dengan cerdas mengambil pendekatan baru dari tema yang sudah sering dieksploitasi. Namun produk finalnya, mungkin akan dinilai sebagai drama yang suram dan membosankan bagi sebagian penonton.

“Don't come looking for me. I'm safe. I'm fine.”
— Maggie
Arnold Schwarzenegger main film selain film aksi mungkin bukanlah hal yang baru. Namun dalam Maggie, Arnie benar-benar harus menunjukkan kapabilitasnya bermain film pure drama. Anda mungkin berharap Arnie bakalan menghajar gerombolan zombi, dan itu memang terjadi, tapi hanya di satu scene saja. Selebihnya Maggie adalah drama ayah-anak bersetting horor post-apocalyptic.

Latar belakang cerita diceritakan dengan cukup cepat dimana seluruh dunia terkena wabah Necroambulist yang mematikan. Wabah ini membuat penderitanya mengalami degradasi fisik dan mental hingga berubah menjadi makhluk yang lebih dikenal sebagai zombi — kata yang tak pernah digunakan dalam film. Namun transformasi ini tak terjadi dengan spontan, melainkan perlahan-lahan sehingga keluarga penderita bisa menghabiskan waktu bersama penderita sampai dia benar-benar berubah total.

Wade (Arnold Schwarzenegger) yang telah mencari anaknya, Maggie (Abigail Breslin) selama lebih dari 2 minggu akhirnya menemukan anaknya tersebut di sebuah rumah sakit. Dokter memvonis bahwa Maggie telah terinfeksi wabah dan hanya punya waktu sedikit hingga dia berubah total dan harus dimasukkan ke karantina. Mendengar rumor yang tak baik mengenai karantina, Wade membawa Maggie pulang ke rumah istrinya, Caroline (Joely Richardson) yang merupakan ibu tiri Maggie. Dengan kondisi Maggie yang perlahan-lahan berubah, Wade harus memutuskan bagaimana masa depannya.


Menjadi penyutradaraan debutan bagi Henry Hobson yang veteran di bagian art designer, Maggie mengagumkan secara visual. Dengan menggunakan warna palet pucat dan efek langit yang suram — sepanjang film —, film ini menampilkan dunia post-apocalyptic dengan baik. Tata produksinya tampak profesional di balik bujetnya yang minim.

Meski berdurasi cukup pendek, alurnya terasa pelan dan membosankan mengingat sedikitnya bahan untuk diceritakan. Namun berkat penampilan solid dari Arnie dan Breslin, membuat film ini menjadi lebih menarik. Film ini mungkin merupakan penampilan paling melodramatis dari Arnie. Sebagai Wade, Arnie menunjukkan betapa berat bebannya untuk menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan putrinya. Di satu scene, saat perubahan Maggie semakin parah, terlihat Wade yang tertidur sambil memegang shotgun. Adegan yang minimalis, tapi kompleks secara emosional. Wade tahu bahwa Maggie tak bisa kembali lagi dan dia tak mampu mengambil keputusan yang dia tahu, paling rasional.

Hubungan Wade-Maggie terlihat believable dan anda akan langsung bersimpati pada keduanya. Transformasi Maggie mau tak mau akan membuat kita tersentuh. Breslin menampilkan bahwa Maggie tak hanya kehilangan jati dirinya sebagai manusia, tapi juga kehilangan masa depan dan impian. Meski demikian, Maggie semakin mawas diri yang pada akhirnya berujung pada ending yang heartbreaking.

Maggie dengan cerdas mengambil pendekatan baru dari tema yang lebih sering dieksploitasi sebagai cerita horor maupun aksi. Namun produk finalnya, mungkin akan dinilai sebagai drama ayah-anak yang terlalu suram dan membosankan bagi sebagian penonton yang berekspektasi lebih. ■UP

'Maggie' |
|

IMDb | Rottentomatoes
95 menit | Remaja

Sutradara: Henry Hobson
Penulis: John Scott III
Pemain: Arnold Schwarzenegger, Abigail Breslin, Joely Richardson

'Maggie' dengan cerdas mengambil pendekatan baru dari tema yang sudah sering dieksploitasi. Namun produk finalnya, mungkin akan dinilai sebagai drama yang suram dan membosankan bagi sebagian penonton.

“Don't come looking for me. I'm safe. I'm fine.”
— Maggie
Arnold Schwarzenegger main film selain film aksi mungkin bukanlah hal yang baru. Namun dalam Maggie, Arnie benar-benar harus menunjukkan kapabilitasnya bermain film pure drama. Anda mungkin berharap Arnie bakalan menghajar gerombolan zombi, dan itu memang terjadi, tapi hanya di satu scene saja. Selebihnya Maggie adalah drama ayah-anak bersetting horor post-apocalyptic.

Latar belakang cerita diceritakan dengan cukup cepat dimana seluruh dunia terkena wabah Necroambulist yang mematikan. Wabah ini membuat penderitanya mengalami degradasi fisik dan mental hingga berubah menjadi makhluk yang lebih dikenal sebagai zombi — kata yang tak pernah digunakan dalam film. Namun transformasi ini tak terjadi dengan spontan, melainkan perlahan-lahan sehingga keluarga penderita bisa menghabiskan waktu bersama penderita sampai dia benar-benar berubah total.

Wade (Arnold Schwarzenegger) yang telah mencari anaknya, Maggie (Abigail Breslin) selama lebih dari 2 minggu akhirnya menemukan anaknya tersebut di sebuah rumah sakit. Dokter memvonis bahwa Maggie telah terinfeksi wabah dan hanya punya waktu sedikit hingga dia berubah total dan harus dimasukkan ke karantina. Mendengar rumor yang tak baik mengenai karantina, Wade membawa Maggie pulang ke rumah istrinya, Caroline (Joely Richardson) yang merupakan ibu tiri Maggie. Dengan kondisi Maggie yang perlahan-lahan berubah, Wade harus memutuskan bagaimana masa depannya.


Menjadi penyutradaraan debutan bagi Henry Hobson yang veteran di bagian art designer, Maggie mengagumkan secara visual. Dengan menggunakan warna palet pucat dan efek langit yang suram — sepanjang film —, film ini menampilkan dunia post-apocalyptic dengan baik. Tata produksinya tampak profesional di balik bujetnya yang minim.

Meski berdurasi cukup pendek, alurnya terasa pelan dan membosankan mengingat sedikitnya bahan untuk diceritakan. Namun berkat penampilan solid dari Arnie dan Breslin, membuat film ini menjadi lebih menarik. Film ini mungkin merupakan penampilan paling melodramatis dari Arnie. Sebagai Wade, Arnie menunjukkan betapa berat bebannya untuk menerima kenyataan bahwa ia harus kehilangan putrinya. Di satu scene, saat perubahan Maggie semakin parah, terlihat Wade yang tertidur sambil memegang shotgun. Adegan yang minimalis, tapi kompleks secara emosional. Wade tahu bahwa Maggie tak bisa kembali lagi dan dia tak mampu mengambil keputusan yang dia tahu, paling rasional.

Hubungan Wade-Maggie terlihat believable dan anda akan langsung bersimpati pada keduanya. Transformasi Maggie mau tak mau akan membuat kita tersentuh. Breslin menampilkan bahwa Maggie tak hanya kehilangan jati dirinya sebagai manusia, tapi juga kehilangan masa depan dan impian. Meski demikian, Maggie semakin mawas diri yang pada akhirnya berujung pada ending yang heartbreaking.

Maggie dengan cerdas mengambil pendekatan baru dari tema yang lebih sering dieksploitasi sebagai cerita horor maupun aksi. Namun produk finalnya, mungkin akan dinilai sebagai drama ayah-anak yang terlalu suram dan membosankan bagi sebagian penonton yang berekspektasi lebih. ■UP

'Maggie' |
|

IMDb | Rottentomatoes
95 menit | Remaja

Sutradara: Henry Hobson
Penulis: John Scott III
Pemain: Arnold Schwarzenegger, Abigail Breslin, Joely Richardson

Friday, July 10, 2015

Review Film: 'The Gallows' (2015)

Horor - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Horor, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Gallows' (2015)
link : Review Film: 'The Gallows' (2015)

Baca juga


Horor

'The Gallows' adalah film horor found-footage yang tak berbeda dengan film horor kekinian yang klise. Namun premis dan ending-nya cukup menjanjikan meski masih bisa diprediksi.

“Don't say his name!”
— Reese Houser
Dengan durasi yang sangat singkat, The Gallows adalah film horor found-footage kekinian yang telah sering kita lihat sebelumnya. Benar, yang buruknya. Hal terbaik yang mungkin bisa diperoleh dari film ini adalah premis yang lumayan dan twist-ending yang walaupun bisa terprediksi, namun dikemas sedikit lebih baik dibanding paruh keduanya yang membosankan.

Cerita dibuka dengan video rekaman yang menampilkan adegan pementasan drama "The Gallows" di SMA Beatrice. Dalam acara ini, terjadi malfungsi properti yang mengakibatkan salah satu pemainnya, Charlie Grimille tewas tergantung, dimana peristiwa ini disaksikan oleh seluruh penonton.

Tanpa alasan yang jelas dan takkan kita mengerti, 20 tahun kemudian, pementasan ini kembali dilakukan. Reese Houser (Reese Mishler) mendapat peran yang dulunya dimainkan oleh Charlie, hanya untuk menarik perhatian Pfeifer Ross (Pfeifer Brown) yang menjadi pemeran utama. Reese adalah aktor yang jelek dan sudah dipastikan akan mengacaukan pementasan, sehingga saat teman baiknya, Ryan Shoos (Ryan Shoos) menawarkan bantuan untuk menggagalkan pementasan, dia menyetujuinya.

Ditambah dengan pacar Ryan, Cassidy Spilker (Cassidy Gifford), ketiganya menyelinap ke gedung sekolah di malam sebelum pementasan dan segera mereka menyadari bahwa ini bukanlah ide yang bagus. Usaha mereka mengobrak-abrik properti ketahuan oleh Pfeifer yang tiba-tiba datang. Namun bukan hal ini yang harus dikhawatirkan, sebab peristiwa gaib mulai meneror keempat remaja tanggung ini.


Setting yang sebagian besar hanya di satu lokasi mungkin dimaksudkan untuk memberi nuansa klaustrofobik yang menyeramkan. Ada sedikit usaha untuk membangun atmosfer yang didayagunakan oleh sutradara Travis Cluff dan Chris Lofing dengan metode sorotan steady-long-shot di beberapa bagian.

Namun, kemudian kita kembali disuguhkan dengan gaya rutin film horor kekinian yang klise. Suara menggelegar, televisi yang menyala tiba-tiba, pintu menutup atau membuka sendiri, suara langkah, kelebatan bayangan dan jump-scares. Semuanya dihadirkan dengan cara yang mudah ditebak yang membuat level kengeriannya anjlok.

Cluff dan Lofing juga tak terlihat serius dengan naskahnya filmnya yang asal-asalan. Perkembangan karakternya dangkal dengan karakter stereotip: si polos Reese, si baik Pfeifer, si slengekan Ryan dan si seksi nan bodoh Cassidy. Anda pasti bisa menerka siapa yang mati duluan. Sulit untuk bersimpati dan terikat dengan karakternya.

Untuk ukuran subgenre found-footage sendiri, The Gallows terkesan setengah-setengah. Terkadang penggunaan satu kamera berganti ke kamera lain di sudut yang berbeda yang tak koheren dengan narasi. Yah, tentu saja ini dilakukan agar penonton mendapatatkan view yang lebih baik, tapi tetap saja jadinya janggal. Sorotan found-footage-nya pun tak lebih baik. Found-footage ditujukan agar memberikan kesan realisme, namun gerak kamera yang tak fokus dan sembarangan membuat penonton sulit untuk mengamati apa yang sedang terjadi. Apalagi hampir keseluruhan film ini disorot dalam gelap.

Film ditutup dengan ending yang cukup mengerikan. Mengerikan bukan dari sisi visualnya, melainkan dari sisi konsepnya. Saya tahu bagaimana kerangka berpikir pembuat filmnya: premis dan ending duluan, lalu mari kita tambah sedikit cerita nonsens di antara keduanya. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Gallows' |
|

IMDb | Rottentomatoes
81 menit | Remaja

Sutradara: Travis Cluff, Chris Lofing
Penulis: Travis Cluff, Chris Lofing
Pemain: Reese Mishler, Pfeifer Brown, Ryan Shoos, Cassidy Gifford

'The Gallows' adalah film horor found-footage yang tak berbeda dengan film horor kekinian yang klise. Namun premis dan ending-nya cukup menjanjikan meski masih bisa diprediksi.

“Don't say his name!”
— Reese Houser
Dengan durasi yang sangat singkat, The Gallows adalah film horor found-footage kekinian yang telah sering kita lihat sebelumnya. Benar, yang buruknya. Hal terbaik yang mungkin bisa diperoleh dari film ini adalah premis yang lumayan dan twist-ending yang walaupun bisa terprediksi, namun dikemas sedikit lebih baik dibanding paruh keduanya yang membosankan.

Cerita dibuka dengan video rekaman yang menampilkan adegan pementasan drama "The Gallows" di SMA Beatrice. Dalam acara ini, terjadi malfungsi properti yang mengakibatkan salah satu pemainnya, Charlie Grimille tewas tergantung, dimana peristiwa ini disaksikan oleh seluruh penonton.

Tanpa alasan yang jelas dan takkan kita mengerti, 20 tahun kemudian, pementasan ini kembali dilakukan. Reese Houser (Reese Mishler) mendapat peran yang dulunya dimainkan oleh Charlie, hanya untuk menarik perhatian Pfeifer Ross (Pfeifer Brown) yang menjadi pemeran utama. Reese adalah aktor yang jelek dan sudah dipastikan akan mengacaukan pementasan, sehingga saat teman baiknya, Ryan Shoos (Ryan Shoos) menawarkan bantuan untuk menggagalkan pementasan, dia menyetujuinya.

Ditambah dengan pacar Ryan, Cassidy Spilker (Cassidy Gifford), ketiganya menyelinap ke gedung sekolah di malam sebelum pementasan dan segera mereka menyadari bahwa ini bukanlah ide yang bagus. Usaha mereka mengobrak-abrik properti ketahuan oleh Pfeifer yang tiba-tiba datang. Namun bukan hal ini yang harus dikhawatirkan, sebab peristiwa gaib mulai meneror keempat remaja tanggung ini.


Setting yang sebagian besar hanya di satu lokasi mungkin dimaksudkan untuk memberi nuansa klaustrofobik yang menyeramkan. Ada sedikit usaha untuk membangun atmosfer yang didayagunakan oleh sutradara Travis Cluff dan Chris Lofing dengan metode sorotan steady-long-shot di beberapa bagian.

Namun, kemudian kita kembali disuguhkan dengan gaya rutin film horor kekinian yang klise. Suara menggelegar, televisi yang menyala tiba-tiba, pintu menutup atau membuka sendiri, suara langkah, kelebatan bayangan dan jump-scares. Semuanya dihadirkan dengan cara yang mudah ditebak yang membuat level kengeriannya anjlok.

Cluff dan Lofing juga tak terlihat serius dengan naskahnya filmnya yang asal-asalan. Perkembangan karakternya dangkal dengan karakter stereotip: si polos Reese, si baik Pfeifer, si slengekan Ryan dan si seksi nan bodoh Cassidy. Anda pasti bisa menerka siapa yang mati duluan. Sulit untuk bersimpati dan terikat dengan karakternya.

Untuk ukuran subgenre found-footage sendiri, The Gallows terkesan setengah-setengah. Terkadang penggunaan satu kamera berganti ke kamera lain di sudut yang berbeda yang tak koheren dengan narasi. Yah, tentu saja ini dilakukan agar penonton mendapatatkan view yang lebih baik, tapi tetap saja jadinya janggal. Sorotan found-footage-nya pun tak lebih baik. Found-footage ditujukan agar memberikan kesan realisme, namun gerak kamera yang tak fokus dan sembarangan membuat penonton sulit untuk mengamati apa yang sedang terjadi. Apalagi hampir keseluruhan film ini disorot dalam gelap.

Film ditutup dengan ending yang cukup mengerikan. Mengerikan bukan dari sisi visualnya, melainkan dari sisi konsepnya. Saya tahu bagaimana kerangka berpikir pembuat filmnya: premis dan ending duluan, lalu mari kita tambah sedikit cerita nonsens di antara keduanya. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Gallows' |
|

IMDb | Rottentomatoes
81 menit | Remaja

Sutradara: Travis Cluff, Chris Lofing
Penulis: Travis Cluff, Chris Lofing
Pemain: Reese Mishler, Pfeifer Brown, Ryan Shoos, Cassidy Gifford