Saturday, August 26, 2017

Review Film: 'Death Note' (2017)

Review Film: 'Death Note' (2017) - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review Film: 'Death Note' (2017), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Fantasi, Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Death Note' (2017)
link : Review Film: 'Death Note' (2017)

Baca juga


Review Film: 'Death Note' (2017)

Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya.

“It's like you said, sometimes you gotta choose the lesser of the two evils.”
— Light Turner
Rating UP:
Film Death Note apa ini? Semacam parodi? Kalau iya, dimana saya seharusnya tertawa? Death Note versi Netflix adalah lelucon yang tak lucu. Mungkin inilah yang akan terjadi jika Shinigami Ryuk menjatuhkan buku kematiannya di Amerika dan kepada remaja yang lebih dungu daripada remaja dalam film horor Friday the 13th. Ketika pertama kali melihat Dewa Kematian, tokoh utama kita berteriak sekencang-kencangnya dengan ekspresi yang sedemikian menggelikan, saya curiga jangan-jangan Nat Wolff sedang casting untuk film Scary Movie berikutnya. Apakah film ini main-main? Tidak juga, karena para karakter kita membicarakan perkara serius seperti tindakan meniru Tuhan serta masa depan umat manusia.


Saya sangat menggemari manga Death Note karya Takeshi Obata dan Tsugumi Ohba yang sangat cerdas dan atmosferik. Mungkin semangat fanboy saya akan membuat review ini sedikit bias. Meski demikian, saya juga tak sebegitu fanatik sampai merasa perlu bahwa adaptasi Hollywood-nya harus setia dengan materi asli. Ini adalah adaptasi dan pembuat filmnya bisa melakukan apa saja asalkan filmnya bagus. Namun, Death Note versi ini memang kacau dalam segala aspek. Tone-nya berantakan, motif karakternya tak jelas, plotnya amburadul, dan yang lebih keji lagi, perubahan yang dilakukan oleh pembuat film terhadap materi aslinya sama sekali tak memberikan signifikansi apapun.

Awalnya, film ini bermain kurang lebih seperti manga-nya. Seorang remaja bernama Light Turner (Wolff) menemukan sebuah buku hitam yang berbalut kaver kulit dengan judul "DEATH NOTE" di depannya. Sebenarnya buku ini adalah buku kematian yang dijatuhkan oleh Shinigami alias Dewa Kematian bernama Ryuk (diperankan oleh Willem Dafoe). Buku ini berisi banyak nama orang, tapi yang lebih penting, di dalamnya tercantum peraturan. Peraturannya ada banyak, namun yang paling mendasar dari semuanya adalah: tulis nama seseorang sambil membayangkan wajahnya, maka orang tersebut akan mati.

Sutradara Adam Wingard mengklaim bahwa setting Death Note asli terlalu ke-Jepang-an dan tak mungkin diadopsi mentah-mentah untuk film Hollywood. Jadi bersama penulis skrip Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater, ia melakukan penyesuaian agar lebih relevan dengan situasi sosiopolitis Amerika. Diamerikanisasi, katanya, untuk memberikan perspektif baru. Oke, baiklah. Ini dia perspektif baru yang saya dapat dari Death Note versi baru yang saya bandingkan dengan versi manga. Peringatan: saya tak bermaksud menggeneralisasi Amerika, ini hanyalah poin yang saya simpulkan dari filmnya.

  • Bullying. Menjadi anak SMA di Amerika tak ada artinya kalau anda bukan preman sekolah. Jika di manga, kepintaran Light membuatnya dengan gampang melewati masa sekolah dan menjadi idola di kelas, maka di film, hal ini menjadi bahan bully-an. Ini Amerika, Light! Harusnya ototmu yang dilatih.

  • Broken home. Tak lengkap seorang remaja Amerika jika keluarganya tak mengalami masalah. Ibu Light diceritakan meninggal karena dibunuh preman, sehingga membuat hubungan Light dengan ayahnya yang seorang kepala polisi (Shea Whigham) menjadi sangat buruk. “Ayah sama sekali tak peduli!”.

  • Pacar. Bro, SMA itu waktunya mencari pacar. Pacar adalah pencapaian tertinggi di sekolah. Jadi setelah menemukan "Death Note", Light segera membeberkan semua, termasuk keberadaan Ryuk, kepada salah satu cewek paling hot di sekolah, Mia (Margaret Qualley). Alasannya: Light naksir Mia dan, saya yakin, Light merasa inilah satu-satunya cara mendekatinya. Sabar Light, tahan nafsumu! Awalnya saya pikir Mia adalah pengganti karakter Misa Amane dari manga, namun kepribadian dan fungsinya bagi cerita sama sekali berbeda. Mia tidak gampang dimanfaatkan seperti Misa, karena ia lebih psikopat daripada Light. Dan Light sendiri tampak menyedihkan karena boleh dibilang tak bisa berbuat apa-apa di samping Mia.

  • Brutalisme. Melihat Light yang seperti ini, wajar saja jika yang ia bunuh pertama kali adalah preman sekolah yang kerap mem-bully-nya. Kalau anda merasa moralitas Light versi manga menyimpang karena membunuh banyak kriminal dan terkadang menggunakan kematian mereka demi kelancaran misinya menjadi Dewa, tunggu sampai anda melihat cara Light versi film membunuh. Salah satu kelebihan "Death Note" adalah bisa mengatur kondisi seseorang terbunuh, dan Light memanfaatkannya untuk menciptakan sekuens kematian sesadis mungkin, yang tampaknya terinspirasi karena terlalu banyak menonton Final Destination. Preman sekolah, misalnya, mati dengan kepala terpotong tangga portable. Apakah penonton Amerika memang secandu itu dengan darah dan potongan tubuh?
Pasangan psikopat ini memastikan agar tindakan mereka dilihat dan dipuja masyarakat dengan menciptakan figur Tuhan berjuluk “Kira”. Namun di lain pihak, ini juga memancing perhatian polisi serta detektif terhebat di dunia yang eksentrik, L (Keith Stanfield). L cukup cerdas untuk menyembunyikan wajah nama dan aslinya. Penyelidikan segera mengarah kepada Light. Kok bisa secepat itu? Entahlah. Jika di manga, skala ceritanya yang global mengerucut dengan logis ke Jepang, namun film langsung menyempitkannya dengan mendadak sampai anda bisa menyelipkan meme “Boy, that escalated quickly”.

Wingard dan penulis skripnya sepertinya sama sekali tak tahu apa yang mereka sasar. Karakter yang mereka buat relatif sama dengan versi manga-nya, namun mereka ogah untuk merengkuh esensi dari materi aslinya. Manga Death Note memang punya elemen supranatural, namun ini hanyalah gimmick karena yang membuat kita tercekat dengan cerita adalah adu kecerdasan dan ambiguitas moral antara Light/Kira dengan L. Permainan kucing-kucingan ini merupakan bagian terbaik dari manga, namun disini dikesampingkan karena cerita lebih berfokus pada masalah cewek yang dialami Light. Kenapa melakukan ini? Filmnya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Perubahan poin plot ini terasa serampangan, tanpa tujuan. Kenapa tak sekalian mengganti mereka dengan karakter yang sama sekali baru?

Meski banyak yang tak setuju dengan pergantian latar belakang ras L, saya kira tak ada yang akan protes dengan pemilihan Dafoe sebagai Ryuk. Ini adalah casting yang luar biasa cocok. Suara asli Dafoe sudah mengumbar aura sadis yang sesuai sekali dengan gaya Ryuk yang suka bercelutuk dan terkekeh keji. Namun filmnya tak tahu dimana harus menempatkan karakter ikonik ini. Kita tak pernah benar-benar tahu alasan kenapa Ryuk menjatuhkan bukunya atau kenapa ia tertarik dengan Light, karena seperti yang saya bilang tadi, Light dan Mia adalah karakter yang membosankan. Secara umum, film mengabaikan Ryuk di banyak kesempatan hingga ia bisa dihilangkan sama sekali dari plot dan kita takkan begitu merasakan perbedaannya.

Saya suka dengan karya Wingard sebelumnya. You’re Next dan The Guest adalah produk yang setingkat lebih tinggi dibanding film-film di genrenya. Ia punya gaya visual menarik, yang sebenarnya tak pula ketinggalan dalam Death Note ini. Coba lihat pergerakan kameranya yang unik, penggunaan warna neonnya yang mencolok, serta pemilihan lagu jadul semacam "Power of Love"-nya Air Supply untuk menegaskan ironi di adegan brutal. Namun ia mengabaikan semua hal selain itu. Film bergerak sekenanya dengan menyelipkan mitologi Death Note disana-sini tanpa fungsi yang jelas. Saya rasa Wingard dkk membuat film ini tanpa mempelajari materi orisinalnya, hanya membaca premisnya dari Wikipedia. Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Death Note

100 menit
Remaja - BO
Adam Wingard
Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, Jeremy Slater (screenplay), Tsugumi Ohba, Takeshi Obata (manga)
Masi Oka, Roy Lee, Dan Lin, Jason Hoffs
David Tattersall
Atticus Ross, Leopold Ross


Demikianlah Artikel Review Film: 'Death Note' (2017)

Sekianlah artikel Review Film: 'Death Note' (2017) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Review Film: 'Death Note' (2017) dengan alamat link https://moviefilm99.blogspot.com/2017/08/review-film-note-2017.html

No comments:

Post a Comment