Showing posts with label Review. Show all posts
Showing posts with label Review. Show all posts

Wednesday, March 20, 2019

Review Film: 'Us' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Us' (2019)
link : Review Film: 'Us' (2019)

Baca juga


Review

'Us' adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan.

“... looks like one f***up performance art.”
— Gabe Wilson
Rating UP:
Mungkin baru sekitar setengah film Us berjalan, teman nonton saya tiba-tiba komplain:

"Yank, nontonnya capek yah".

Saya —sebagai seorang blogger film, seorang penikmat film, dan seseorang yang mengaku-ngaku paham banget soal film padahal bukan— tidak terkejut, apalagi marah. Sebab, saya juga capek. Lha gimana, jantung saya yang sudah tua ini digedor terus, hampir secara konstan sepanjang film. Us adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan. Saya pernah melihat film yang adegannya lebih sadis. Saya pernah melihat film yang jump-scares-nya lebih berisik. Namun, Us lebih berhak mendapat predikat horor sejati di antara semuanya. Jarang-jarang saya nonton setegang ini.


Dua tahun lalu, Jordan Peele memulai debutnya sebagai penulis dan sutradara dengan menghadirkan salah satu horor/thriller paling orisinal, Get Out. Film tersebut sangat tajam dalam menyampaikan pesan sosiopolitisnya, tapi buat saya tak begitu menakutkan. Sekarang ia membawakan Us, film yang tak begitu orisinal tapi anjir sangat menakutkan. Film ini menempeleng saya yang awalnya masih meragukan soal kapabilitasnya sebagai sutradara hqq di Get Out, karena sekarang ia membuktikan bahwa ia bisa membuat film horor yang benar-benar horor jika dibutuhkan.

Peele menangani premis klise home-invasion dari filmnya menjadi horor yang cerdas dan terasa segar. Sebagaimana yang kita harapkan dari seorang motor penggerak sketsa legendaris Key & Peele-nya Comedy Central, ia kembali dengan piawai menggabungkan horor dengan komedi, bukan lewat adegan "eh, gue pengen ngelucu nih" melainkan lewat kecanggungan situasi. Ini menjamin bahwa kita ketawa bukan berarti lepas dari cengkeraman film. Namun yang lebih saya kagumi adalah bagaimana ia dengan brilian menciptakan kengerian yang sangat nampol lewat sesuatu yang relatif sederhana. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh kita. Us.

Lebih tepatnya, terornya dibawa oleh sesuatu yang terlihat persis seperti kita. Atau, apa memang begitu? Seorang gadis kecil (Madison Curry) menemukan hal ini saat nyasar di sebuah taman bermain di pantai Santa Cruz. Peristiwa ini meninggalkan trauma sedemikian mendalam sehingga membuat sang gadis kecil yang tumbuh menjadi Lupita Nyong'o, gampang resah serta overprotektif terhadap kedua anaknya (Shahadi Wright Joseph dan Evan Alex). Sialnya, sang suami yang selow abis (Winston Duke) membawanya sekeluarga untuk liburan di wisma yang dekat dengan pantai naas tersebut.

Sungguh awal cerita yang klise. Tapi saya tidak mendelik. Pasalnya, Peele menuturkan ini dengan sangat cakap. Ia membangun karakter dan situasi dengan perlahan tapi mantap. Saya kira poin krusial dari film ini adalah membawa kita masuk ke dalam kondisi pikiran karakter Nyong'o. Dan Peele berhasil melakukannya. Ia sepertinya sangat menguasai komando di setiap lini. Ketegangan tercipta secara simultan lewat akting, pemilihan gambar, dan scoring, dengan kontibusi besar dari semua aktor, sinematografer Mike Gioulakis dan komposer Michael Abels. Baru beberapa menit berjalan, film sudah mencengkeram saya.

Dikarenakan ini adalah spoiler, maka saya takkan memberitahu anda bahwa keluarga Nyong'o akan diinvasi oleh satu keluarga yang sangat mirip dengan mereka. Sial, saya keceplosan. Mereka berdiri di luar rumah dengan posisi kaku, memakai baju terusan warna merah dan bersenjatakan gunting besar berwarna emas. Maksud kedatangan mereka adalah berkunjung dan bercengkerama sambil ngopi santai... tentu saja bukan! Mereka tidak datang dalam damai.

Istilah yang kerap diasosiasikan dengan film Us —meski filmnya sendiri tak pernah menyebut kata ini— adalah Doppelganger. Doppelganger adalah orang yang sangat mirip dengan kita padahal kita tak punya hubungan sama sekali dengan mereka. Konon, bertemu dengan doppelganger adalah pertanda buruk yang bisa berujung pada kematian. Dan sebagaimana resep jitu yang sudah diterapkan oleh manusia sejak jaman dahulu kala; kalau ada sesuatu yang mirip dengan kita, bergerak seperti kita, berbicara seperti kita, bernapas seperti kita, tapi bukan bagian dari kita, maka layak, wajar, dan pantas kita serbu. Uhuk #PesanMoral.

Kembali ke topik, premis ini mengijinkan hampir semua aktornya punya peran ganda. Ternyata menakutkan juga melihat versi jahat dari kita menyerang diri kita sendiri. Semua mendapat momen masing-masing, termasuk Elisabeth Moss dan Tim Heidecker yang bermain sebagai pasangan yang merupakan teman keluarga Nyong'o. Namun yang paling spektakuler, tentunya Nyong'o. Penampilan dobelnya punya kualitas emosional dan fisik yang fantastis. Versi jahatnya barangkali merupakan satu-satunya doppelganger yang bisa bicara; itupun dalam suara yang serak ke dalam. Saat hubungan mereka terungkap lebih dalam, ini membeberkan sesuatu yang lebih mengerikan.

Skala ceritanya pun meluas, lebih dari sekadar home-invasion, karena ia kemudian melibatkan konsep scifi yang sangat ambisius. Dan dengan lebih banyak simbolisme dan subteks. Inilah saat kita teringat kembali dengan teks di awal film yang memberitahu soal banyaknya terowongan rahasia di bawah Amerika. Atau soal berita di televisi jadul yang mewartakan soal aksi "Hands Across America", kegiatan amal yang melibatkan 6 juta warga Amerika bergandeng tangan di seluruh negeri (entah jumlahnya betul atau tidak). Atau soal surat Jeremiah 11:11 tentang Tuhan yang memberi bencana. Atau soal puluhan kelinci dalam kandang yang menjadi adegan pengantar judul film. Semuanya seperti mengisyaratkan... uhm, sesuatu, tapi rasa-rasanya tak nyambung dalam satu konsep yang jelas. Us seperti ingin menyampaikan soal sesuatu, tapi tak tahu apa yang ingin disampaikannya.

Apakah ini soal dualitas dari kualitas pribadi manusia? Atau soal sindiran terhadap kemunafikan beberapa dari kita dalam setiap aksi amal? Atau soal pembalasan dari orang-orang yang direpresi di Amerika? Saya tak bisa menemukan tohokan utamanya. Mitologinya agak memusingkan kalau dipikirkan. Tapi, anda tahu? Saya tak begitu terpikir soal ini saat menonton. Setiap perkembangan cerita dalam Us membuat saya penasaran hanya untuk melihat kemana lagi Peele bisa membawa saya. Ia tak berhenti untuk menjanjikan sesuatu yang tak terduga. Dan ia tak pernah membuat saya kecewa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Us

116 menit
Remaja - BO
Jordan Peele
Jordan Peele
Jason Blum, Ian Cooper, Sean McKittrick, Jordan Peele
Mike Gioulakis
Michael Abels

Diulas oleh

'Us' adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan.

“... looks like one f***up performance art.”
— Gabe Wilson
Rating UP:
Mungkin baru sekitar setengah film Us berjalan, teman nonton saya tiba-tiba komplain:

"Yank, nontonnya capek yah".

Saya —sebagai seorang blogger film, seorang penikmat film, dan seseorang yang mengaku-ngaku paham banget soal film padahal bukan— tidak terkejut, apalagi marah. Sebab, saya juga capek. Lha gimana, jantung saya yang sudah tua ini digedor terus, hampir secara konstan sepanjang film. Us adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan. Saya pernah melihat film yang adegannya lebih sadis. Saya pernah melihat film yang jump-scares-nya lebih berisik. Namun, Us lebih berhak mendapat predikat horor sejati di antara semuanya. Jarang-jarang saya nonton setegang ini.


Dua tahun lalu, Jordan Peele memulai debutnya sebagai penulis dan sutradara dengan menghadirkan salah satu horor/thriller paling orisinal, Get Out. Film tersebut sangat tajam dalam menyampaikan pesan sosiopolitisnya, tapi buat saya tak begitu menakutkan. Sekarang ia membawakan Us, film yang tak begitu orisinal tapi anjir sangat menakutkan. Film ini menempeleng saya yang awalnya masih meragukan soal kapabilitasnya sebagai sutradara hqq di Get Out, karena sekarang ia membuktikan bahwa ia bisa membuat film horor yang benar-benar horor jika dibutuhkan.

Peele menangani premis klise home-invasion dari filmnya menjadi horor yang cerdas dan terasa segar. Sebagaimana yang kita harapkan dari seorang motor penggerak sketsa legendaris Key & Peele-nya Comedy Central, ia kembali dengan piawai menggabungkan horor dengan komedi, bukan lewat adegan "eh, gue pengen ngelucu nih" melainkan lewat kecanggungan situasi. Ini menjamin bahwa kita ketawa bukan berarti lepas dari cengkeraman film. Namun yang lebih saya kagumi adalah bagaimana ia dengan brilian menciptakan kengerian yang sangat nampol lewat sesuatu yang relatif sederhana. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh kita. Us.

Lebih tepatnya, terornya dibawa oleh sesuatu yang terlihat persis seperti kita. Atau, apa memang begitu? Seorang gadis kecil (Madison Curry) menemukan hal ini saat nyasar di sebuah taman bermain di pantai Santa Cruz. Peristiwa ini meninggalkan trauma sedemikian mendalam sehingga membuat sang gadis kecil yang tumbuh menjadi Lupita Nyong'o, gampang resah serta overprotektif terhadap kedua anaknya (Shahadi Wright Joseph dan Evan Alex). Sialnya, sang suami yang selow abis (Winston Duke) membawanya sekeluarga untuk liburan di wisma yang dekat dengan pantai naas tersebut.

Sungguh awal cerita yang klise. Tapi saya tidak mendelik. Pasalnya, Peele menuturkan ini dengan sangat cakap. Ia membangun karakter dan situasi dengan perlahan tapi mantap. Saya kira poin krusial dari film ini adalah membawa kita masuk ke dalam kondisi pikiran karakter Nyong'o. Dan Peele berhasil melakukannya. Ia sepertinya sangat menguasai komando di setiap lini. Ketegangan tercipta secara simultan lewat akting, pemilihan gambar, dan scoring, dengan kontibusi besar dari semua aktor, sinematografer Mike Gioulakis dan komposer Michael Abels. Baru beberapa menit berjalan, film sudah mencengkeram saya.

Dikarenakan ini adalah spoiler, maka saya takkan memberitahu anda bahwa keluarga Nyong'o akan diinvasi oleh satu keluarga yang sangat mirip dengan mereka. Sial, saya keceplosan. Mereka berdiri di luar rumah dengan posisi kaku, memakai baju terusan warna merah dan bersenjatakan gunting besar berwarna emas. Maksud kedatangan mereka adalah berkunjung dan bercengkerama sambil ngopi santai... tentu saja bukan! Mereka tidak datang dalam damai.

Istilah yang kerap diasosiasikan dengan film Us —meski filmnya sendiri tak pernah menyebut kata ini— adalah Doppelganger. Doppelganger adalah orang yang sangat mirip dengan kita padahal kita tak punya hubungan sama sekali dengan mereka. Konon, bertemu dengan doppelganger adalah pertanda buruk yang bisa berujung pada kematian. Dan sebagaimana resep jitu yang sudah diterapkan oleh manusia sejak jaman dahulu kala; kalau ada sesuatu yang mirip dengan kita, bergerak seperti kita, berbicara seperti kita, bernapas seperti kita, tapi bukan bagian dari kita, maka layak, wajar, dan pantas kita serbu. Uhuk #PesanMoral.

Kembali ke topik, premis ini mengijinkan hampir semua aktornya punya peran ganda. Ternyata menakutkan juga melihat versi jahat dari kita menyerang diri kita sendiri. Semua mendapat momen masing-masing, termasuk Elisabeth Moss dan Tim Heidecker yang bermain sebagai pasangan yang merupakan teman keluarga Nyong'o. Namun yang paling spektakuler, tentunya Nyong'o. Penampilan dobelnya punya kualitas emosional dan fisik yang fantastis. Versi jahatnya barangkali merupakan satu-satunya doppelganger yang bisa bicara; itupun dalam suara yang serak ke dalam. Saat hubungan mereka terungkap lebih dalam, ini membeberkan sesuatu yang lebih mengerikan.

Skala ceritanya pun meluas, lebih dari sekadar home-invasion, karena ia kemudian melibatkan konsep scifi yang sangat ambisius. Dan dengan lebih banyak simbolisme dan subteks. Inilah saat kita teringat kembali dengan teks di awal film yang memberitahu soal banyaknya terowongan rahasia di bawah Amerika. Atau soal berita di televisi jadul yang mewartakan soal aksi "Hands Across America", kegiatan amal yang melibatkan 6 juta warga Amerika bergandeng tangan di seluruh negeri (entah jumlahnya betul atau tidak). Atau soal surat Jeremiah 11:11 tentang Tuhan yang memberi bencana. Atau soal puluhan kelinci dalam kandang yang menjadi adegan pengantar judul film. Semuanya seperti mengisyaratkan... uhm, sesuatu, tapi rasa-rasanya tak nyambung dalam satu konsep yang jelas. Us seperti ingin menyampaikan soal sesuatu, tapi tak tahu apa yang ingin disampaikannya.

Apakah ini soal dualitas dari kualitas pribadi manusia? Atau soal sindiran terhadap kemunafikan beberapa dari kita dalam setiap aksi amal? Atau soal pembalasan dari orang-orang yang direpresi di Amerika? Saya tak bisa menemukan tohokan utamanya. Mitologinya agak memusingkan kalau dipikirkan. Tapi, anda tahu? Saya tak begitu terpikir soal ini saat menonton. Setiap perkembangan cerita dalam Us membuat saya penasaran hanya untuk melihat kemana lagi Peele bisa membawa saya. Ia tak berhenti untuk menjanjikan sesuatu yang tak terduga. Dan ia tak pernah membuat saya kecewa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Us

116 menit
Remaja - BO
Jordan Peele
Jordan Peele
Jason Blum, Ian Cooper, Sean McKittrick, Jordan Peele
Mike Gioulakis
Michael Abels

Diulas oleh

Thursday, March 7, 2019

Review Film: 'Captain Marvel' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Captain Marvel' (2019)
link : Review Film: 'Captain Marvel' (2019)

Baca juga


Review

Film ini berhasil memperkenalkan kita dengan Captain Marvel, tapi tidak dengan Carol Danvers.

“I think I have a life here. But I can't tell if it's real.”
— Carol Danvers
Rating UP:
Hal terbaik yang dilakukan film ini adalah ia berhasil memperkenalkan kita pada salah satu entitas terkuat dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang bernama Captain Marvel. Namun, ia gagal memperkenalkan kita kepada pahlawan bernama Carol Danvers. Kita banyak melihat bagaimana sang karakter memamerkan kekuatannya dan mengalahkan musuh dengan begitu mudah. Di balik kostum, sayangnya, kita tak tahu banyak soal siapa yang sudah menyelamatkan planet kita. Dari yang bisa saya simpulkan, ia hanyalah superhero yang sangat generik.


Saya sebetulnya tak ingin mempercayai itu. Captain Marvel adalah film resmi Marvel pertama yang menampilkan superhero wanita sebagai pusatnya. Ia juga merupakan pahlawan yang (barangkali) mampu mengatasi ancaman Thanos dalam Avengers: Endgame nanti. Captain Marvel layak mendapatkan film yang lebih baik, film yang punya dimensi dan bobot. Ia seharusnya adalah superhero yang juga lebih baik, pahlawan yang punya kepribadian dan tekad yang membuatnya pantas kita elu-elukan.

Bukan berarti film ini tak banyak memberitahu kita soal siapa Captain Marvel. Nama aslinya adalah Vers (Brie Larson), anggota tim militer bangsa Kree, Starforce, yang dikomandoi oleh Yon-Rogg (Jude Law) yang juga merupakan mentornya. Kree, sebagaimana yang kita ingat dari Guardians of the Galaxy, adalah alien berdarah biru (dan kadang berkulit biru) mirip manusia yang tinggal di Planet Hala. Vers punya kemampuan untuk menembakkan laser foton dari tangannya. Dan ini tentu saja sangat membantu, karena kaum Kree tengah berperang melawan bangsa Skrull yang punya tampang menyeramkan mirip goblin.

Sebuah misi yang gagal mengantarkan Vers terdampar ke bumi. Peristiwa ini juga membawa serta beberapa Skrull. Seramnya, Skrull punya kemampuan untuk berganti wujud, bisa berubah menjadi siapa saja dengan kemiripan sampai ke DNA. Ada masalah lain: di bumi, tak ada orang yang punya kekuatan kosmik. Tidak juga dengan Nick Fury (Samuel L Jackson) yang masih belum pernah ketemu Iron Man, Captain Amerika, dkk. Mari kita jeda sejenak untuk mengapresiasi apa yang dilakukan studio Marvel terhadap Nick Fury ini. Dengan sihir digital, Samuel L Jackson dijadikan jauh lebih muda hingga 3 dekade. Hasilnya sangat mulus, dan ini dilakukan hampir sepanjang durasi. Saya tak terasa sedang menyaksikan polesan komputer.

Betul sekali, waktunya jauh sebelum Avengers diciptakan. Nick Fury juga masih menjadi karyawan level rendah di SHIELD. Terus, ada juga anak baru yang bernama Coulson (siapa yah?). Setting ini sayangnya cuma dipakai untuk polesan saja, tak nempel denga sempurna seperti Captain America: The First Avengers. Bagian ini hanya untuk seru-seruan menampilkan beberapa referensi budaya pop di era tersebut, mulai dari rental video, pager, hingga warnet. Ini juga jadi jebakan umur, dimana beberapa penonton yang bareng saya terkekeh saat mendengar lagu-lagu dari band 90-an macam Nirvana dan No Doubt. Saya tidak. Apaan sih Nirvana?! Gak kenal tuh saya.

Vers tidak tahu siapa dirinya karena ia hilang ingatan. Tapi kita agaknya lebih tahu. Nama asli-aslinya adalah Carol Danvers. Lewat beberapa kilasan masa lalu, kita tahu bahwa ia dulunya adalah seorang pilot militer. Kita melihatnya menjalani latihan, digoda di bar bahkan jauh hingga ia nekat ngebut-ngebutan dengan gokart saat masih kecil. Jadi, sebetulnya origin story Captain Marvel lebih rumit dari superhero kebanyakan. Ia punya dua origin story. Sutradara Anna Boden & Ryan Fleck yang juga bertindak sebagai salah dua penulis naskah, menemukan solusi untuk memecahkan masalah ini. Ada pula sedikit detail cantik soal bagaimana mereka bermain dengan struktur untuk menghandel beberapa klise. Namun, setelah paruh pertama, film ini serasa terbang dengan mode autopilot.

Boden & Fleck adalah sutradara di balik Half Nelson dan Mississippi Grind, film-film yang boleh dibilang sangat berbasis pada karakter. Ini adalah film besar perdana mereka, dan kepribadian mereka hilang ditelan hingar-bingar blockbuster. Brie Larson adalah aktris yang kompeten, ekspresi spontannya sangat nampol. Namun ia tak diberi cukup ruang untuk mengejawantahkan Carol Danvers sebagai karakter yang kompleks dan manusiawi. Ada beberapa momen dramatis, misalnya pertemuan Carol dengan dua orang penting dalam hidupnya (diperankan oleh Lashana Lynch dan Annette Benning), tapi Carol tetap terasa sebagai karakter yang cenderung kosong. Memang pada akhirnya ia menemukan determinasi, tapi pasti ada cara yang lebih elegan untuk menceritakannya. Yang tersisa untuk dinikmati adalah chemistry ala buddy-movie antara Larson dengan Jackson yang sangat asyik. Oh, dan ada kucing lucu yang siap mencuri perhatian kita setiap kali ia muncul.

Mungkin karena sang karakter tituler terlalu kuat, atau musuhnya yang terlalu lemah. Pahlawan spesial butuh musuh spesial. Skrull merupakan villain yang menarik dan "berbeda", tapi film ini tak punya villain yang bisa mendorong pahlawan kita ke titik nadir. Cerita besarnya terlalu familiar. Adegan aksinya monoton dan tak imajinatif walau sudah melibatkan efek spesial dan jurus lvl kosmik. Tak ada bobot, ruang, dan stake yang berarti. Barangkali karena saya sudah terlalu banyak menonton film superhero. Saat ini, superhero rasa-rasanya memang menyelamatkan dunia seperti makan obat saja, sehari tiga kali.

Film ini tak bisa saya bilang jelek. Pace-nya lumayan cepat dan tak bertele-tele, sehingga tak begitu membosankan. Hanya saja, kesannya secara keseluruhan yaa hambar. Filmnya terasa seperti diproduksi oleh pabrik otomatis Marvel. Tugas paling sukses yang dilakukannya adalah menjadi ekstensi yang memadai bagi mitologi Marvel; menyusul ketertinggalan dari para Avengers lain dan mengisi potongan puzzle dari MCU. Carol Danvers alias Captain Marvel punya potensi, tapi misinya disini agaknya hanya untuk memanaskan mesin Avengers: Endgame. Mungkin lain kali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Captain Marvel

124 menit
Remaja - BO
Anna Boden, Ryan Fleck
Anna Boden, Ryan Fleck, Geneva Robertson-Dworet (screenplay), Stan Lee, Roy Thomas, Gene Colan (komik)
Kevin Feige
Ben Davis
Pinar Toprak

Diulas oleh

Film ini berhasil memperkenalkan kita dengan Captain Marvel, tapi tidak dengan Carol Danvers.

“I think I have a life here. But I can't tell if it's real.”
— Carol Danvers
Rating UP:
Hal terbaik yang dilakukan film ini adalah ia berhasil memperkenalkan kita pada salah satu entitas terkuat dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang bernama Captain Marvel. Namun, ia gagal memperkenalkan kita kepada pahlawan bernama Carol Danvers. Kita banyak melihat bagaimana sang karakter memamerkan kekuatannya dan mengalahkan musuh dengan begitu mudah. Di balik kostum, sayangnya, kita tak tahu banyak soal siapa yang sudah menyelamatkan planet kita. Dari yang bisa saya simpulkan, ia hanyalah superhero yang sangat generik.


Saya sebetulnya tak ingin mempercayai itu. Captain Marvel adalah film resmi Marvel pertama yang menampilkan superhero wanita sebagai pusatnya. Ia juga merupakan pahlawan yang (barangkali) mampu mengatasi ancaman Thanos dalam Avengers: Endgame nanti. Captain Marvel layak mendapatkan film yang lebih baik, film yang punya dimensi dan bobot. Ia seharusnya adalah superhero yang juga lebih baik, pahlawan yang punya kepribadian dan tekad yang membuatnya pantas kita elu-elukan.

Bukan berarti film ini tak banyak memberitahu kita soal siapa Captain Marvel. Nama aslinya adalah Vers (Brie Larson), anggota tim militer bangsa Kree, Starforce, yang dikomandoi oleh Yon-Rogg (Jude Law) yang juga merupakan mentornya. Kree, sebagaimana yang kita ingat dari Guardians of the Galaxy, adalah alien berdarah biru (dan kadang berkulit biru) mirip manusia yang tinggal di Planet Hala. Vers punya kemampuan untuk menembakkan laser foton dari tangannya. Dan ini tentu saja sangat membantu, karena kaum Kree tengah berperang melawan bangsa Skrull yang punya tampang menyeramkan mirip goblin.

Sebuah misi yang gagal mengantarkan Vers terdampar ke bumi. Peristiwa ini juga membawa serta beberapa Skrull. Seramnya, Skrull punya kemampuan untuk berganti wujud, bisa berubah menjadi siapa saja dengan kemiripan sampai ke DNA. Ada masalah lain: di bumi, tak ada orang yang punya kekuatan kosmik. Tidak juga dengan Nick Fury (Samuel L Jackson) yang masih belum pernah ketemu Iron Man, Captain Amerika, dkk. Mari kita jeda sejenak untuk mengapresiasi apa yang dilakukan studio Marvel terhadap Nick Fury ini. Dengan sihir digital, Samuel L Jackson dijadikan jauh lebih muda hingga 3 dekade. Hasilnya sangat mulus, dan ini dilakukan hampir sepanjang durasi. Saya tak terasa sedang menyaksikan polesan komputer.

Betul sekali, waktunya jauh sebelum Avengers diciptakan. Nick Fury juga masih menjadi karyawan level rendah di SHIELD. Terus, ada juga anak baru yang bernama Coulson (siapa yah?). Setting ini sayangnya cuma dipakai untuk polesan saja, tak nempel denga sempurna seperti Captain America: The First Avengers. Bagian ini hanya untuk seru-seruan menampilkan beberapa referensi budaya pop di era tersebut, mulai dari rental video, pager, hingga warnet. Ini juga jadi jebakan umur, dimana beberapa penonton yang bareng saya terkekeh saat mendengar lagu-lagu dari band 90-an macam Nirvana dan No Doubt. Saya tidak. Apaan sih Nirvana?! Gak kenal tuh saya.

Vers tidak tahu siapa dirinya karena ia hilang ingatan. Tapi kita agaknya lebih tahu. Nama asli-aslinya adalah Carol Danvers. Lewat beberapa kilasan masa lalu, kita tahu bahwa ia dulunya adalah seorang pilot militer. Kita melihatnya menjalani latihan, digoda di bar bahkan jauh hingga ia nekat ngebut-ngebutan dengan gokart saat masih kecil. Jadi, sebetulnya origin story Captain Marvel lebih rumit dari superhero kebanyakan. Ia punya dua origin story. Sutradara Anna Boden & Ryan Fleck yang juga bertindak sebagai salah dua penulis naskah, menemukan solusi untuk memecahkan masalah ini. Ada pula sedikit detail cantik soal bagaimana mereka bermain dengan struktur untuk menghandel beberapa klise. Namun, setelah paruh pertama, film ini serasa terbang dengan mode autopilot.

Boden & Fleck adalah sutradara di balik Half Nelson dan Mississippi Grind, film-film yang boleh dibilang sangat berbasis pada karakter. Ini adalah film besar perdana mereka, dan kepribadian mereka hilang ditelan hingar-bingar blockbuster. Brie Larson adalah aktris yang kompeten, ekspresi spontannya sangat nampol. Namun ia tak diberi cukup ruang untuk mengejawantahkan Carol Danvers sebagai karakter yang kompleks dan manusiawi. Ada beberapa momen dramatis, misalnya pertemuan Carol dengan dua orang penting dalam hidupnya (diperankan oleh Lashana Lynch dan Annette Benning), tapi Carol tetap terasa sebagai karakter yang cenderung kosong. Memang pada akhirnya ia menemukan determinasi, tapi pasti ada cara yang lebih elegan untuk menceritakannya. Yang tersisa untuk dinikmati adalah chemistry ala buddy-movie antara Larson dengan Jackson yang sangat asyik. Oh, dan ada kucing lucu yang siap mencuri perhatian kita setiap kali ia muncul.

Mungkin karena sang karakter tituler terlalu kuat, atau musuhnya yang terlalu lemah. Pahlawan spesial butuh musuh spesial. Skrull merupakan villain yang menarik dan "berbeda", tapi film ini tak punya villain yang bisa mendorong pahlawan kita ke titik nadir. Cerita besarnya terlalu familiar. Adegan aksinya monoton dan tak imajinatif walau sudah melibatkan efek spesial dan jurus lvl kosmik. Tak ada bobot, ruang, dan stake yang berarti. Barangkali karena saya sudah terlalu banyak menonton film superhero. Saat ini, superhero rasa-rasanya memang menyelamatkan dunia seperti makan obat saja, sehari tiga kali.

Film ini tak bisa saya bilang jelek. Pace-nya lumayan cepat dan tak bertele-tele, sehingga tak begitu membosankan. Hanya saja, kesannya secara keseluruhan yaa hambar. Filmnya terasa seperti diproduksi oleh pabrik otomatis Marvel. Tugas paling sukses yang dilakukannya adalah menjadi ekstensi yang memadai bagi mitologi Marvel; menyusul ketertinggalan dari para Avengers lain dan mengisi potongan puzzle dari MCU. Carol Danvers alias Captain Marvel punya potensi, tapi misinya disini agaknya hanya untuk memanaskan mesin Avengers: Endgame. Mungkin lain kali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Captain Marvel

124 menit
Remaja - BO
Anna Boden, Ryan Fleck
Anna Boden, Ryan Fleck, Geneva Robertson-Dworet (screenplay), Stan Lee, Roy Thomas, Gene Colan (komik)
Kevin Feige
Ben Davis
Pinar Toprak

Diulas oleh

Wednesday, February 20, 2019

Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Fantasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)
link : Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)

Baca juga


Review

Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.

“There's no way I can stay at the same level, I'm at right now! I think I'd be all fired up!”
— Son Goku
Rating UP:
Dragon Ball Super: Broly menegur saya soal review (cenderung) negatif yang saya berikan buat Dragon Ball Z: Resurrection 'F'. Film ini mengingatkan saya kembali akan hakikat Dragon Ball. Manga karya Akira Toriyama tersebut dibuat untuk target yang sangat spesifik, dan film ini sendiri setia dengan hal itu. Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.


Manga Dragon Ball barangkali adalah manga shonen pertama yang punya kesuksesan spektakuler secara global. Namun yang lebih penting, Dragon Ball adalah bapaknya semua shonen yang kita jumpai sekarang. Kalau dirunut secara silsilah, Dragon Ball agaknya berada di posisi paling atas. Ia mempelopori semua karakteristik standar yang kita lihat di semua shonen: power-up dan pertarungan epik. Demi menghormati tradisi agar tetap lestari, semua isi Dragon Ball Super: Broly adalah soal itu.

Ingat bagaimana mayoritas karakternya bisa menambah kekuatan di berbagai tingkat Super Saiya, dimana mereka mengalami perubahan rambut mulai dari kuning, merah sampai biru? Saking banyak dan sudah sedemikian tingginya mode power-up terbaru, rasanya sudah tak ada yang lebih kuat daripada itu. Siapa sangka, film ini masih punya satu lagi.

Agar mode terkuat ini bisa keluar, tentu harus dipancing oleh musuh terkuat juga. Namanya Broly. Penggemar lama pasti kenal, karena ia pernah muncul dalam film ke-11, Dragon Ball Z: Broly - The Legendary Super Saiyan. Kisahnya relatif tak berhubungan langsung dengan Goku dkk, tapi berkat latar belakang yang dipermak langsung oleh Toriyama, Broly sekarang berada dalam kontinuitas cerita utama Dragon Ball.

Dengan ini, Toriyama juga berhasil menciptakan karakter paling keren dalam sejarah Dragon Ball. Broly adalah karakter superkuat (bahkan kekuatan mentahnya saja bisa melibas Goku dan Vegeta sekaligus) yang simpatik. Ia tak suka pamer kekuatan, apalagi bertarung *uhuk Goku dkk*. Alasannya duel semata-mata karena manipulasi dari ayahnya, Paragus, dan si jahat Frieza.

Awal mulanya adalah saat planet Saiya dijajah oleh Frieza. Frieza yang terancam oleh keberadaan manusia Saiya, memutuskan untuk menghancurkan planet tersebut beserta isinya. Goku dan Vegeta berhasil diselamatkan dengan dikirim ke bumi. Tapi sebelum itu, Broly bayi dan ayahnya sudah dikirim duluan ke planet terisolir bernama Vampa. Disana, Broly tumbuh menjadi manusia Saiya yang sangat tangguh. Sampai kemudian, Frieza menemukannya lalu mengutusnya ke bumi untuk duel melawan Goku.

Kehadiran Broly membawa kehancuran yang tak terbayangkan. Pertarungan antara tiga karakter superkuat ini (empat jika dihitung dengan Frieza yang nimbrung sebentar) cukup untuk memporak-porandakan bumi. Mereka adalah agen destruksi yang mampu mengubah antartika menjadi gunung berapi. Duel yang bahkan menembus dimensi. Saya sampai penasaran kenapa kok bumi gak kiamat-kiamat juga.

Saya tak akan merahasiakan jurus pamungkas dalam film ini. Sebab, pasti itu yang paling anda tunggu bukan? Lagipula, membicarakannya tentu tak sedahsyat menyaksikannya sendiri. Jurus tersebut adalah sesuatu bernama Gogeta, fusion antara Goku dan Vegeta. Nah, penggemar lama pasti sudah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya Gogeta muncul dalam saga Dragon Ball. Namun di film ini lah Toriyama akhirnya menempatkan Gogeta dalam kronologi resminya. Penampilannya sendiri diperlakukan sebagai pencapaian evolusi terkuat.

Saya tak perlu membeberkan akhir ceritanya karena anda pasti sudah tahu. Dragon Ball sepertinya memang tak punya cerita yang bisa diceritakan lagi. Jadi, yang kita dapatkan adalah fanservice belaka. Latar belakang yang sedikit merestrukturisasi mitologi Dragon Ball disini membuat film ini mudah dipahami oleh penonton yang bahkan cuma menyelesaikan satu semester jurusan Ilmu Perdragonballan. Separuh sisanya adalah hajar menghajar dengan energi tingkat tinggi. Buat saya, kalau ini terlalu lama juga jadi terasa sedikit melelahkan. Saya butuh sedikit drama.

*nyalain Liga Dangdut Indonesia* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dragon Ball Super: Broly

100 menit
Remaja
Tatsuya Nagamine
Akira Toriyama
Toei Animation
Norihito Sumitomo

Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.

“There's no way I can stay at the same level, I'm at right now! I think I'd be all fired up!”
— Son Goku
Rating UP:
Dragon Ball Super: Broly menegur saya soal review (cenderung) negatif yang saya berikan buat Dragon Ball Z: Resurrection 'F'. Film ini mengingatkan saya kembali akan hakikat Dragon Ball. Manga karya Akira Toriyama tersebut dibuat untuk target yang sangat spesifik, dan film ini sendiri setia dengan hal itu. Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.


Manga Dragon Ball barangkali adalah manga shonen pertama yang punya kesuksesan spektakuler secara global. Namun yang lebih penting, Dragon Ball adalah bapaknya semua shonen yang kita jumpai sekarang. Kalau dirunut secara silsilah, Dragon Ball agaknya berada di posisi paling atas. Ia mempelopori semua karakteristik standar yang kita lihat di semua shonen: power-up dan pertarungan epik. Demi menghormati tradisi agar tetap lestari, semua isi Dragon Ball Super: Broly adalah soal itu.

Ingat bagaimana mayoritas karakternya bisa menambah kekuatan di berbagai tingkat Super Saiya, dimana mereka mengalami perubahan rambut mulai dari kuning, merah sampai biru? Saking banyak dan sudah sedemikian tingginya mode power-up terbaru, rasanya sudah tak ada yang lebih kuat daripada itu. Siapa sangka, film ini masih punya satu lagi.

Agar mode terkuat ini bisa keluar, tentu harus dipancing oleh musuh terkuat juga. Namanya Broly. Penggemar lama pasti kenal, karena ia pernah muncul dalam film ke-11, Dragon Ball Z: Broly - The Legendary Super Saiyan. Kisahnya relatif tak berhubungan langsung dengan Goku dkk, tapi berkat latar belakang yang dipermak langsung oleh Toriyama, Broly sekarang berada dalam kontinuitas cerita utama Dragon Ball.

Dengan ini, Toriyama juga berhasil menciptakan karakter paling keren dalam sejarah Dragon Ball. Broly adalah karakter superkuat (bahkan kekuatan mentahnya saja bisa melibas Goku dan Vegeta sekaligus) yang simpatik. Ia tak suka pamer kekuatan, apalagi bertarung *uhuk Goku dkk*. Alasannya duel semata-mata karena manipulasi dari ayahnya, Paragus, dan si jahat Frieza.

Awal mulanya adalah saat planet Saiya dijajah oleh Frieza. Frieza yang terancam oleh keberadaan manusia Saiya, memutuskan untuk menghancurkan planet tersebut beserta isinya. Goku dan Vegeta berhasil diselamatkan dengan dikirim ke bumi. Tapi sebelum itu, Broly bayi dan ayahnya sudah dikirim duluan ke planet terisolir bernama Vampa. Disana, Broly tumbuh menjadi manusia Saiya yang sangat tangguh. Sampai kemudian, Frieza menemukannya lalu mengutusnya ke bumi untuk duel melawan Goku.

Kehadiran Broly membawa kehancuran yang tak terbayangkan. Pertarungan antara tiga karakter superkuat ini (empat jika dihitung dengan Frieza yang nimbrung sebentar) cukup untuk memporak-porandakan bumi. Mereka adalah agen destruksi yang mampu mengubah antartika menjadi gunung berapi. Duel yang bahkan menembus dimensi. Saya sampai penasaran kenapa kok bumi gak kiamat-kiamat juga.

Saya tak akan merahasiakan jurus pamungkas dalam film ini. Sebab, pasti itu yang paling anda tunggu bukan? Lagipula, membicarakannya tentu tak sedahsyat menyaksikannya sendiri. Jurus tersebut adalah sesuatu bernama Gogeta, fusion antara Goku dan Vegeta. Nah, penggemar lama pasti sudah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya Gogeta muncul dalam saga Dragon Ball. Namun di film ini lah Toriyama akhirnya menempatkan Gogeta dalam kronologi resminya. Penampilannya sendiri diperlakukan sebagai pencapaian evolusi terkuat.

Saya tak perlu membeberkan akhir ceritanya karena anda pasti sudah tahu. Dragon Ball sepertinya memang tak punya cerita yang bisa diceritakan lagi. Jadi, yang kita dapatkan adalah fanservice belaka. Latar belakang yang sedikit merestrukturisasi mitologi Dragon Ball disini membuat film ini mudah dipahami oleh penonton yang bahkan cuma menyelesaikan satu semester jurusan Ilmu Perdragonballan. Separuh sisanya adalah hajar menghajar dengan energi tingkat tinggi. Buat saya, kalau ini terlalu lama juga jadi terasa sedikit melelahkan. Saya butuh sedikit drama.

*nyalain Liga Dangdut Indonesia* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dragon Ball Super: Broly

100 menit
Remaja
Tatsuya Nagamine
Akira Toriyama
Toei Animation
Norihito Sumitomo

Saturday, February 16, 2019

Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)
link : Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)

Baca juga


Review

Yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya mampu memeras humor dari aktivitas kriminal yang brutal.

“I picked a good road early and I stayed on it.”
— Nelson Coxman
Rating UP:
Cold Pursuit seolah sudah meminta agar kita menyebutnya sebagai Taken On Ice. Premisnya terdengar seperti satu lagi variasi dari Film Dimana Liam Neeson Beraksi Kaya Taken Tapi Di ... [isi sendiri]. Kita dibawa ke Istanbul, atau naik kereta pesawat, tapi ujung-ujungnya, filmnya yaa soal Liam Neeson yang menjadi mesin pembunuh berkat particular set of skills-nya. Tidak kali ini. Betul, ia membantai banyak orang. Tapi yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya yang mampu memeras humor dari aktivitas brutal dan tak patut diteladani tersebut.


Neeson bermain sebagai Nels Coxman, pria biasa yang baru saja dianugerahi piala "Warga Terbaik Tahun Ini". Pekerjaannya adalah supir mobil pengeruk salju di resort ski di Kehoe, Colorado. Kalau bukan karena Nels, jalanan disana tak bakal bisa dilalui kendaraan. Dataran bersalju tebal ini tentu menjadi latar yang indah dan sangat cocok bagi darah untuk bermuncratan.

Awal perkaranya adalah kematian anak Nels. Hasil visum menunjukkan bahwa anaknya meninggal karena overdosis. Tapi setahu Nels, anaknya bukanlah seorang pemakai. Nels bermaksud bunuh diri, tapi batal setelah tahu bahwa anaknya sebetulnya dibunuh oleh anggota kartel narkoba. Ganti rencana; sekarang ia bersumpah akan membunuh semua anggota kartel, mulai dari kroco-kroco sampai sang bos yang dikenal dengan julukan Viking (Tom Bateman).

Anda sudah tahu bagaimana prosedurnya... atau apa memang begitu? Memang akan ada banyak mayat berjatuhan, tapi bukan lewat cara yang anda kira anda dapatkan dari film aksi Liam Neeson. Cold Pursuit adalah cuma soal killing list. Adegan aksinya berada di posisi sekunder. Film ini menegaskan itu dengan menampilkan daftar bertuliskan nama serta julukan norak semacam Speedo, Limbo, dll lengkap dengan lambang salib, setiap ada karakter yang mati. Karena yang berangkat ke alam sana ada banyak, maka kita akan sering membaca layar. Film bahkan menggunakan hal ini sebagai punchline nantinya.

Film ini digarap oleh Hans Petter Moland. Ia membuat ulang film ini dari filmnya sendiri, In Order of Disappearance yang berbahasa Norwegia. Judul tersebut barangkali lebih tepat. Karena plotnya hampir sama persis dengan film tersebut, film ini punya humor gelap yang bersumber dari aksi kriminal. Namun film ini bukan film komedi, karena tak ada satu pun karakter yang mencoba melucu. Kekontrasan banyak situasi nyeleneh dengan keseriusan di layar lah yang terasa sangat aneh sampai jadinya lucu. Moland memancing kita ketawa di tengah pembantaian.

Killing list tadi bukan menjadi milik karakter Liam Neeson semata. Pasalnya, balas dendamnya membuat situasi menjadi kacau. Viking malah menuduh bahwa kematian kroconya adalah perbuatan rivalnya, kartel Indian yang diketuai White Bull (Tom Jackson). Film ini melipir cukup lama supaya kita bisa nongkrong dengan anggota geng-geng ini dan melihat kesibukan mereka. Kita juga bakal berkenalan dengan kakak Coxman, mantan kriminal berjuluk Wingman (William Forsyth) yang punya istri Asia yang doyan ngomong kasar. Ada pula dua polisi Kehoe (Emily Rossum dan John Doman) yang mencoba mencerna segala kekacauan ini.

Semuanya kurang lebih hanya bertugas untuk melontarkan satu atau dua dialog lucu. Namun seringkali kita menghabiskan waktu terlalu lama dengan mereka, sehingga mau tak mau mereka terkesan sebagai bagian dari subplot yang sayangnya tak berjalan kemana-mana. Karakter Neeson menghilang cukup lama di pertengahan film, dan ini terasa sangat kentara. Jadinya, konfrontasi di klimaks terkesan agak canggung secara naratif, walau merupakan akhir yang memuaskan.

Neeson bermain lurus seperti biasanya ia bermain di film-film aksi. Namun ia tak punya one-liner disini. Berbanding terbalik, Tom Bateman memainkan karakternya begitu maniak sampai terlihat seperti karikatur dari penjahat paling penjahat sepanjang sejarah sinema; ia tak punya empati sama anak buah, suka memukul (mantan) istri dan memberi nasihat yang salah buat sang anak. Dan vegetarian. Di atas kertas, film ini nyaris terkesan seperti parodi dari genrenya, tapi ia berhasil menjadi film thriller yang serius. Mungkin tak sesukses Fargo-nya Coen Brothers, yang agaknya menjadi inspirasi utamanya. Yang jelas, saya tetap ketawa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cold Pursuit

118 menit
Remaja
Hans Petter Moland
Frank Baldwin
Finn Gjerdrum, Stein B. Kvae, Michael Shamberg, Ameet Shukla
Philip Øgaard
George Fenton

Yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya mampu memeras humor dari aktivitas kriminal yang brutal.

“I picked a good road early and I stayed on it.”
— Nelson Coxman
Rating UP:
Cold Pursuit seolah sudah meminta agar kita menyebutnya sebagai Taken On Ice. Premisnya terdengar seperti satu lagi variasi dari Film Dimana Liam Neeson Beraksi Kaya Taken Tapi Di ... [isi sendiri]. Kita dibawa ke Istanbul, atau naik kereta pesawat, tapi ujung-ujungnya, filmnya yaa soal Liam Neeson yang menjadi mesin pembunuh berkat particular set of skills-nya. Tidak kali ini. Betul, ia membantai banyak orang. Tapi yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya yang mampu memeras humor dari aktivitas brutal dan tak patut diteladani tersebut.


Neeson bermain sebagai Nels Coxman, pria biasa yang baru saja dianugerahi piala "Warga Terbaik Tahun Ini". Pekerjaannya adalah supir mobil pengeruk salju di resort ski di Kehoe, Colorado. Kalau bukan karena Nels, jalanan disana tak bakal bisa dilalui kendaraan. Dataran bersalju tebal ini tentu menjadi latar yang indah dan sangat cocok bagi darah untuk bermuncratan.

Awal perkaranya adalah kematian anak Nels. Hasil visum menunjukkan bahwa anaknya meninggal karena overdosis. Tapi setahu Nels, anaknya bukanlah seorang pemakai. Nels bermaksud bunuh diri, tapi batal setelah tahu bahwa anaknya sebetulnya dibunuh oleh anggota kartel narkoba. Ganti rencana; sekarang ia bersumpah akan membunuh semua anggota kartel, mulai dari kroco-kroco sampai sang bos yang dikenal dengan julukan Viking (Tom Bateman).

Anda sudah tahu bagaimana prosedurnya... atau apa memang begitu? Memang akan ada banyak mayat berjatuhan, tapi bukan lewat cara yang anda kira anda dapatkan dari film aksi Liam Neeson. Cold Pursuit adalah cuma soal killing list. Adegan aksinya berada di posisi sekunder. Film ini menegaskan itu dengan menampilkan daftar bertuliskan nama serta julukan norak semacam Speedo, Limbo, dll lengkap dengan lambang salib, setiap ada karakter yang mati. Karena yang berangkat ke alam sana ada banyak, maka kita akan sering membaca layar. Film bahkan menggunakan hal ini sebagai punchline nantinya.

Film ini digarap oleh Hans Petter Moland. Ia membuat ulang film ini dari filmnya sendiri, In Order of Disappearance yang berbahasa Norwegia. Judul tersebut barangkali lebih tepat. Karena plotnya hampir sama persis dengan film tersebut, film ini punya humor gelap yang bersumber dari aksi kriminal. Namun film ini bukan film komedi, karena tak ada satu pun karakter yang mencoba melucu. Kekontrasan banyak situasi nyeleneh dengan keseriusan di layar lah yang terasa sangat aneh sampai jadinya lucu. Moland memancing kita ketawa di tengah pembantaian.

Killing list tadi bukan menjadi milik karakter Liam Neeson semata. Pasalnya, balas dendamnya membuat situasi menjadi kacau. Viking malah menuduh bahwa kematian kroconya adalah perbuatan rivalnya, kartel Indian yang diketuai White Bull (Tom Jackson). Film ini melipir cukup lama supaya kita bisa nongkrong dengan anggota geng-geng ini dan melihat kesibukan mereka. Kita juga bakal berkenalan dengan kakak Coxman, mantan kriminal berjuluk Wingman (William Forsyth) yang punya istri Asia yang doyan ngomong kasar. Ada pula dua polisi Kehoe (Emily Rossum dan John Doman) yang mencoba mencerna segala kekacauan ini.

Semuanya kurang lebih hanya bertugas untuk melontarkan satu atau dua dialog lucu. Namun seringkali kita menghabiskan waktu terlalu lama dengan mereka, sehingga mau tak mau mereka terkesan sebagai bagian dari subplot yang sayangnya tak berjalan kemana-mana. Karakter Neeson menghilang cukup lama di pertengahan film, dan ini terasa sangat kentara. Jadinya, konfrontasi di klimaks terkesan agak canggung secara naratif, walau merupakan akhir yang memuaskan.

Neeson bermain lurus seperti biasanya ia bermain di film-film aksi. Namun ia tak punya one-liner disini. Berbanding terbalik, Tom Bateman memainkan karakternya begitu maniak sampai terlihat seperti karikatur dari penjahat paling penjahat sepanjang sejarah sinema; ia tak punya empati sama anak buah, suka memukul (mantan) istri dan memberi nasihat yang salah buat sang anak. Dan vegetarian. Di atas kertas, film ini nyaris terkesan seperti parodi dari genrenya, tapi ia berhasil menjadi film thriller yang serius. Mungkin tak sesukses Fargo-nya Coen Brothers, yang agaknya menjadi inspirasi utamanya. Yang jelas, saya tetap ketawa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cold Pursuit

118 menit
Remaja
Hans Petter Moland
Frank Baldwin
Finn Gjerdrum, Stein B. Kvae, Michael Shamberg, Ameet Shukla
Philip Øgaard
George Fenton

Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)
link : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Baca juga


Review

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Wednesday, February 13, 2019

Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)
link : Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)

Baca juga


Review

Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama.

“It's like it knows our every move!”
— Lucy
Rating UP:
Dalam The Lego Movie 2: The Second Part, ada lagu baru yang merupakan versi plesetan dari lagu racun "Everything is Awesome"-nya The Lego Movie. Judulnya "Everything's Not Awesome". Saya tak tahu apakah ini memang sengaja dimaksudkan sebagai pengakuan akan kualitas filmnya dibandingkan film yang pertama, tapi yang jelas, saya menangkap potongan liriknya yang sangat ngeklik dengan hal tersebut:

♪ "Everything's not awesome. Things can't be awesome all of the time. It's not realistic expectation. But that doesn't mean we shouldn't try." ♪


Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama. Animasi yang dirilis di tahun 2014 tersebut sukses menghancurkan ekspektasi kita dengan menjadi film yang lucu, cerdas, dan hangat. Salah satu penyebabnya barangkali karena kitanya saja yang sudah berekspektasi duluan akan menyaksikan iklan lego sepanjang dua jam. Namun ternyata, lebih dari sekadar visual yang unik dan kreatif, The Lego Movie juga memperdaya kita dengan narasi dan pengungkapan yang dieksekusi dengan brilian.

Sekarang, kita sudah tahu cara main The Lego Movie. Tak ada lagi yang bisa membuat kita seterkejut dulu. Dan ya, ini menjadikan The Lego Movie 2 tak se-awesome The Lego Movie. Namun bukan berarti pembuat filmnya tak mencoba untuk menjadikannya awesome. Film ini bahkan menggali angle baru dari premisnya yang lalu, yang otomatis mengekspansi karakter dan semestanya menjadi lebih berwarna. Walau tak lagi terasa segar lagi, tapi ia masih fun.

Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, kita kembali ke Bricksburg. Kota Lego yang ceria ini diinvasi oleh alien imut tapi mematikan yang berasal dari planet Duplo. Bahkan pahlawan Lego Justice League tak bisa menangani ini (catatan: Lego Avengers tak memberi kabar). Lima tahu kemudian, Bricksburg berubah menjadi Apocalypseburg; reruntuhan gersang versi Lego dari Mad Max: Fury Road, lengkap dengan para karakter yang nyeleneh.

Jagoan kita, Emmett (Chris Pratt) masih seperti yang dulu kita kenal; polos dan penuh semangat. Tapi temannya, Lucy (Elizabeth Banks) berubah menjadi getir dan suram. Lucy suka menatap jauh ke depan dan berkontemplasi muram soal apa pun, bahkan soal kopi yang dibawa Emmett. Lucy bilang bahwa gak semua hal itu awesome dan cobalah dewasa dikit.

Tiba-tiba ada invasi lagi. Kali ini Jendral Mayhem (Stephanie Beatriz) berhasil menculik Lucy, Batman (Will Arnett), Unikitty (Alison Brie), MetalBeard (Nick Offerman), dan Spaceman Benny (Charlie Day). Emmett harus berjuang untuk menyelamatkan mereka ke Galaksi Sys-Tar, dimana Ratu Wateva Wan'abi (Tiffany Haddish) berencana untuk menikahi Batman. Untuk itu, Emmett untungnya dibantu oleh Rex Dangervest (juga disuarakan Pratt), jagoan yang sikapnya kebalikan dari Emmett. Macho, tangguh, dan percaya diri. Oh dan kebetulan ia juga space cowboy ala Star-Lord-nya Guardians of the Galaxy dan punya peliharaan velociraptor ala Owen Grady-nya Jurassic World.

Kebetulan yang gak disengaja.

Jadi... uhm, Bricksburg hancur... uhm, supaya Batman... mau nikah. Absurd memang. Tapi coba bayangkan dari sisi dunia nyata, dimana bocah yang punya Lego dari film pertama, Finn (Jadon Sand) disuruh main meladeni adiknya (Brooklyn Prince) yang punya mainan Duplo. Sama seperti film pertama, peristiwa di semesta Lego berlangsung paralel dengan dunia nyata. Anak cewek mana coba yang gak main nikah-nikahan? Ini membuka kesempatan bagi filmnya untuk menyajikan lebih banyak karakter, setpieces dan lelucon baru. Kapan lagi melihat Superman memotong rumput atau Batman memakai kostum berwarna putih?

Kreator film pertama, Phil Lord & Christopher Miller, kembali menangani film ini meski hanya sebatas penulis skrip, sementara posisi sutradara diambil alih oleh Mike Mitchell (Trolls). Mereka kembali memberikan pesan keluarga yang hangat soal pendewasaan tanpa melupakan kesenangan masa kanak-kanak. Kali ini soal adik-kakak, dimana Maya Rudolph bermain sebagai sang ibu. Namun hal ini tentu tak punya tohokan emosional sedahsyat film pertama. Dalam The Lego Movie 2, kita sudah tahu apa yang sedang dan bakal terjadi. Ini menimbulkan sedikit sensasi dragging dalam bercerita. 

Namun film ini juga punya semua yang mau dari sebuah sekuel The Lego Movie. Meski tak digarap langsung oleh tangan yang sama, ia tak lantas terasa lebih inferior secara teknis. Sekuens aksinya masih imajinatif. Dialog dan lelucon dilemparkan dengan gesit. Referensi budaya populer dan cameo bertebaran disana-sini. Di satu titik, Lucy harus kabur lewat saluran ventilasi, dan tebak ia ketemu siapa. Dan soal lagu. Film ini punya lebih banyak adegan musikal, terutama karena Ratu Wateva Wan'abi memang suka bernyanyi. Salah satunya adalah "Catchy Song" yang memang didesain untuk bersarang di kepala kita.

Semua ini fun. Namun tak lagi begitu mengejutkan; kita kurang lebih sudah melihat semuanya di film pertama. Petir tak menyambar di tempat yang sama dua kali walau sumber dan energinya sama. Kita bisa merasakan bahwa film ini dibuat dengan sangat telaten, lebih dari sekedar usaha gampangan untuk menjual merek. Hal ini membuatnya menjadi sekuel yang sangat pas untuk The Lego Movie pertama. Film ini enerjik, cerdik, dan punya pesan hangat. But yeah, things can't be awesome all of the time. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Movie 2: The Second Part

107 menit
Semua Umur - BO
Mike Mitchell
Phil Lord, Christopher Miller
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Roy Lee, Jinko Goto
Mark Mothersbaugh

Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama.

“It's like it knows our every move!”
— Lucy
Rating UP:
Dalam The Lego Movie 2: The Second Part, ada lagu baru yang merupakan versi plesetan dari lagu racun "Everything is Awesome"-nya The Lego Movie. Judulnya "Everything's Not Awesome". Saya tak tahu apakah ini memang sengaja dimaksudkan sebagai pengakuan akan kualitas filmnya dibandingkan film yang pertama, tapi yang jelas, saya menangkap potongan liriknya yang sangat ngeklik dengan hal tersebut:

♪ "Everything's not awesome. Things can't be awesome all of the time. It's not realistic expectation. But that doesn't mean we shouldn't try." ♪


Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama. Animasi yang dirilis di tahun 2014 tersebut sukses menghancurkan ekspektasi kita dengan menjadi film yang lucu, cerdas, dan hangat. Salah satu penyebabnya barangkali karena kitanya saja yang sudah berekspektasi duluan akan menyaksikan iklan lego sepanjang dua jam. Namun ternyata, lebih dari sekadar visual yang unik dan kreatif, The Lego Movie juga memperdaya kita dengan narasi dan pengungkapan yang dieksekusi dengan brilian.

Sekarang, kita sudah tahu cara main The Lego Movie. Tak ada lagi yang bisa membuat kita seterkejut dulu. Dan ya, ini menjadikan The Lego Movie 2 tak se-awesome The Lego Movie. Namun bukan berarti pembuat filmnya tak mencoba untuk menjadikannya awesome. Film ini bahkan menggali angle baru dari premisnya yang lalu, yang otomatis mengekspansi karakter dan semestanya menjadi lebih berwarna. Walau tak lagi terasa segar lagi, tapi ia masih fun.

Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, kita kembali ke Bricksburg. Kota Lego yang ceria ini diinvasi oleh alien imut tapi mematikan yang berasal dari planet Duplo. Bahkan pahlawan Lego Justice League tak bisa menangani ini (catatan: Lego Avengers tak memberi kabar). Lima tahu kemudian, Bricksburg berubah menjadi Apocalypseburg; reruntuhan gersang versi Lego dari Mad Max: Fury Road, lengkap dengan para karakter yang nyeleneh.

Jagoan kita, Emmett (Chris Pratt) masih seperti yang dulu kita kenal; polos dan penuh semangat. Tapi temannya, Lucy (Elizabeth Banks) berubah menjadi getir dan suram. Lucy suka menatap jauh ke depan dan berkontemplasi muram soal apa pun, bahkan soal kopi yang dibawa Emmett. Lucy bilang bahwa gak semua hal itu awesome dan cobalah dewasa dikit.

Tiba-tiba ada invasi lagi. Kali ini Jendral Mayhem (Stephanie Beatriz) berhasil menculik Lucy, Batman (Will Arnett), Unikitty (Alison Brie), MetalBeard (Nick Offerman), dan Spaceman Benny (Charlie Day). Emmett harus berjuang untuk menyelamatkan mereka ke Galaksi Sys-Tar, dimana Ratu Wateva Wan'abi (Tiffany Haddish) berencana untuk menikahi Batman. Untuk itu, Emmett untungnya dibantu oleh Rex Dangervest (juga disuarakan Pratt), jagoan yang sikapnya kebalikan dari Emmett. Macho, tangguh, dan percaya diri. Oh dan kebetulan ia juga space cowboy ala Star-Lord-nya Guardians of the Galaxy dan punya peliharaan velociraptor ala Owen Grady-nya Jurassic World.

Kebetulan yang gak disengaja.

Jadi... uhm, Bricksburg hancur... uhm, supaya Batman... mau nikah. Absurd memang. Tapi coba bayangkan dari sisi dunia nyata, dimana bocah yang punya Lego dari film pertama, Finn (Jadon Sand) disuruh main meladeni adiknya (Brooklyn Prince) yang punya mainan Duplo. Sama seperti film pertama, peristiwa di semesta Lego berlangsung paralel dengan dunia nyata. Anak cewek mana coba yang gak main nikah-nikahan? Ini membuka kesempatan bagi filmnya untuk menyajikan lebih banyak karakter, setpieces dan lelucon baru. Kapan lagi melihat Superman memotong rumput atau Batman memakai kostum berwarna putih?

Kreator film pertama, Phil Lord & Christopher Miller, kembali menangani film ini meski hanya sebatas penulis skrip, sementara posisi sutradara diambil alih oleh Mike Mitchell (Trolls). Mereka kembali memberikan pesan keluarga yang hangat soal pendewasaan tanpa melupakan kesenangan masa kanak-kanak. Kali ini soal adik-kakak, dimana Maya Rudolph bermain sebagai sang ibu. Namun hal ini tentu tak punya tohokan emosional sedahsyat film pertama. Dalam The Lego Movie 2, kita sudah tahu apa yang sedang dan bakal terjadi. Ini menimbulkan sedikit sensasi dragging dalam bercerita. 

Namun film ini juga punya semua yang mau dari sebuah sekuel The Lego Movie. Meski tak digarap langsung oleh tangan yang sama, ia tak lantas terasa lebih inferior secara teknis. Sekuens aksinya masih imajinatif. Dialog dan lelucon dilemparkan dengan gesit. Referensi budaya populer dan cameo bertebaran disana-sini. Di satu titik, Lucy harus kabur lewat saluran ventilasi, dan tebak ia ketemu siapa. Dan soal lagu. Film ini punya lebih banyak adegan musikal, terutama karena Ratu Wateva Wan'abi memang suka bernyanyi. Salah satunya adalah "Catchy Song" yang memang didesain untuk bersarang di kepala kita.

Semua ini fun. Namun tak lagi begitu mengejutkan; kita kurang lebih sudah melihat semuanya di film pertama. Petir tak menyambar di tempat yang sama dua kali walau sumber dan energinya sama. Kita bisa merasakan bahwa film ini dibuat dengan sangat telaten, lebih dari sekedar usaha gampangan untuk menjual merek. Hal ini membuatnya menjadi sekuel yang sangat pas untuk The Lego Movie pertama. Film ini enerjik, cerdik, dan punya pesan hangat. But yeah, things can't be awesome all of the time. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Movie 2: The Second Part

107 menit
Semua Umur - BO
Mike Mitchell
Phil Lord, Christopher Miller
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Roy Lee, Jinko Goto
Mark Mothersbaugh

Friday, February 8, 2019

Review Film: 'Mirai' (2018)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Keluarga, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Mirai' (2018)
link : Review Film: 'Mirai' (2018)

Baca juga


Review

Siapa pun yang menontonnya akan mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.

“Be nice to her, okay? ”
—Mum
Rating UP:
Mirai (atau dalam judul aslinya Mirai No Mirai) mungkin merupakan film paling menggemaskan tahun ini. Film ini secara konstan sukses memberikan senyum lebar di wajah saya yang lucu naudzubilah. Sutradara animasi handal dari Jepang, Mamoru Hosoda kembali memberikan film keluarga berbalut fantasi yang menjamin siapa pun yang menontonnya mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.


Semua film Hosoda adalah drama keluarga simpel yang dibungkus dalam kemasan fantasi yang anime banget. Namun Mirai adalah filmnya yang paling kecil. Sebagai perbandingan, kita harus meloncat kembali ke 2006 lewat film The Girl Who Leapt Through Time yang rasa-rasanya paling domestik dari semua film Hosoda, dan Mirai jauh lebih domestik daripada itu. Ceritanya hanya berkutat di satu keluarga kecil yang sederhana. Titik, tidak kemana-mana lagi. Namun berhubung ini adalah film Hosoda, tentu saja wajar kalau nantinya keajaiban akan terjadi dan waktu akan dibelokkan.

Mungkin ini karena kita hanya melihat dari sudut pandang karakter utamanya yang adalah seorang bocah berusia 4 tahun. Bagi anak umur segitu, keluarga memang adalah seluruh semesta. Namanya Kun (disuarakan oleh Moka Kamishiraishi). Sebagai anak tunggal, Kun merasa ia adalah pusat semesta; satu-satunya orang yang diperhatikan oleh ayah dan ibunya (Gen Hoshino dan Kumiko Aso). Sampai kemudian Kun kedatangan seorang adik bernama Mirai.

Dimadu itu sakit, sodara-sodara.

Kun berusaha caper dengan berantakin mainan, menangis, berteriak, berteriak sambil menangis, tapi ayah dan ibu lebih memperhatikan Mirai. Terlebih saat sang ibu sudah harus kembali masuk kerja. Sang ayah harus menjalankan kewajiban ganda; bekerja di rumah (ngomong-ngomong, ayah adalah seorang arsitek) sekaligus mengasuh dua anak. Kun makin dicuekin. Maka, Mirai berarti musuh. Dan melempar musuh dengan mainan bukanlah pantangan.

Sungguh, ini terlihat seperti keluarga muda mana pun yang punya anak rewel. Ralat, semua keluarga muda anaknya pasti rewel sih. Dalam filmnya yang lalu yang lebih ambisius, Hosoda terbukti punya keterampilan memberikan sekuens aksi yang spektakuler. Dan dalam film ini, ia dengan menakjubkan sukses menghadirkan dinamika keluarga yang sederhana dan intim. Kita bisa merasakan betapa hangatnya kelurga kecil ini.

Nah, keajaiban yang tadi saya bilang itu disini: di tengah rumah, ada sebuah taman yang bisa membawa Kun bertualang melintasi ruang dan waktu. Disini Kun berjumpa dengan beberapa orang dari masa yang berbeda. Yang pertama adalah anjingnya, Yukko (Mitsuo Yoshihara) yang rupanya bisa berubah menjadi manusia. Berikutnya, seorang anak SMP yang ternyata adalah Mirai dari masa depan (Haru Kuroki). Lalu, seorang pria macho misterius (Masaharu Fukuyama) yang mengajak Kun naik kuda dan sepeda motor. Dan seorang anak gadis seumuran Kun yang doyan berantakin rumah.

Tidak dijelaskan apakah ini benar-benar kejadian atau cuma imajinasi Kun saja. Hosoda mengemasnya dalam sekuens yang dreamy. Ini memang tak terasa sebagai sesuatu yang bisa diimajinasikan oleh anak-anak sungguhan di umur segitu. Namun poinnya adalah lewat perjumpaan ini Kun mendapat pelajaran soal bertumbuh besar dari berbagai generasi di keluarganya. Ada sebuah adegan menakjubkan di klimaks dimana Kun tersesat di sebuah stasiun raksasa. Ia berhasil bertemu dengan robot petugas stasiun, tapi terancam dibawa ke Negeri Kesendirian karena tak bisa mengingat satu pun nama anggota keluarganya.

Hosoda, yang kali ini memproduksi film hanya dengan studionya sendiri, Studio Chizu mengisi Mirai dengan detail yang sangat sangat menggemaskan. Animasinya terang, tajam, dan cantik. Setiap detail gerakan karakter sangat diperhatikan, dan tingkah polah dari para anak kecil di film ini sungguh terasa natural. Rumah dari keluarga ini merupakan karakter tersendiri yang terikat kuat dengan Kun, dan ia digambarkan dengan geografi yang jelas. Rumah modern yang minimalis ini terasa sangat hangat, membuat kita betah lama-lama berada disana.

Walau ceritanya didasarkan dengan kacamata anak-anak, saya tak tahu apakah Mirai betul-betul akan menarik bagi mereka dari segi esensi. Tentu, anak-anak bakal menikmati gambar dan animasinya yang lucu, tapi pesannya yang hangat soal keluarga barangkali belum akan mereka tangkap sepenuhnya. Saya merasa bahwa film ini lebih sebagai throwback bagi mantan anak-anak yang ingin bernostalgia dengan masa kanak-kanak. Ia mengingatkan kita kembali akan betapa berharganya keluarga lewat cara yang sederhana tapi sangat menyentuh.

Njiir, berasa udah bapak-bapak banget saya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Mirai

98 menit
Semua Umur
Mamoru Hosoda
Mamoru Hosoda
Nozomu Takahashi, Yūichirō Saitō, Takuya Itō, Yūichi Adachi, Genki Kawamura
Masakatsu Takagi

Siapa pun yang menontonnya akan mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.

“Be nice to her, okay? ”
—Mum
Rating UP:
Mirai (atau dalam judul aslinya Mirai No Mirai) mungkin merupakan film paling menggemaskan tahun ini. Film ini secara konstan sukses memberikan senyum lebar di wajah saya yang lucu naudzubilah. Sutradara animasi handal dari Jepang, Mamoru Hosoda kembali memberikan film keluarga berbalut fantasi yang menjamin siapa pun yang menontonnya mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.


Semua film Hosoda adalah drama keluarga simpel yang dibungkus dalam kemasan fantasi yang anime banget. Namun Mirai adalah filmnya yang paling kecil. Sebagai perbandingan, kita harus meloncat kembali ke 2006 lewat film The Girl Who Leapt Through Time yang rasa-rasanya paling domestik dari semua film Hosoda, dan Mirai jauh lebih domestik daripada itu. Ceritanya hanya berkutat di satu keluarga kecil yang sederhana. Titik, tidak kemana-mana lagi. Namun berhubung ini adalah film Hosoda, tentu saja wajar kalau nantinya keajaiban akan terjadi dan waktu akan dibelokkan.

Mungkin ini karena kita hanya melihat dari sudut pandang karakter utamanya yang adalah seorang bocah berusia 4 tahun. Bagi anak umur segitu, keluarga memang adalah seluruh semesta. Namanya Kun (disuarakan oleh Moka Kamishiraishi). Sebagai anak tunggal, Kun merasa ia adalah pusat semesta; satu-satunya orang yang diperhatikan oleh ayah dan ibunya (Gen Hoshino dan Kumiko Aso). Sampai kemudian Kun kedatangan seorang adik bernama Mirai.

Dimadu itu sakit, sodara-sodara.

Kun berusaha caper dengan berantakin mainan, menangis, berteriak, berteriak sambil menangis, tapi ayah dan ibu lebih memperhatikan Mirai. Terlebih saat sang ibu sudah harus kembali masuk kerja. Sang ayah harus menjalankan kewajiban ganda; bekerja di rumah (ngomong-ngomong, ayah adalah seorang arsitek) sekaligus mengasuh dua anak. Kun makin dicuekin. Maka, Mirai berarti musuh. Dan melempar musuh dengan mainan bukanlah pantangan.

Sungguh, ini terlihat seperti keluarga muda mana pun yang punya anak rewel. Ralat, semua keluarga muda anaknya pasti rewel sih. Dalam filmnya yang lalu yang lebih ambisius, Hosoda terbukti punya keterampilan memberikan sekuens aksi yang spektakuler. Dan dalam film ini, ia dengan menakjubkan sukses menghadirkan dinamika keluarga yang sederhana dan intim. Kita bisa merasakan betapa hangatnya kelurga kecil ini.

Nah, keajaiban yang tadi saya bilang itu disini: di tengah rumah, ada sebuah taman yang bisa membawa Kun bertualang melintasi ruang dan waktu. Disini Kun berjumpa dengan beberapa orang dari masa yang berbeda. Yang pertama adalah anjingnya, Yukko (Mitsuo Yoshihara) yang rupanya bisa berubah menjadi manusia. Berikutnya, seorang anak SMP yang ternyata adalah Mirai dari masa depan (Haru Kuroki). Lalu, seorang pria macho misterius (Masaharu Fukuyama) yang mengajak Kun naik kuda dan sepeda motor. Dan seorang anak gadis seumuran Kun yang doyan berantakin rumah.

Tidak dijelaskan apakah ini benar-benar kejadian atau cuma imajinasi Kun saja. Hosoda mengemasnya dalam sekuens yang dreamy. Ini memang tak terasa sebagai sesuatu yang bisa diimajinasikan oleh anak-anak sungguhan di umur segitu. Namun poinnya adalah lewat perjumpaan ini Kun mendapat pelajaran soal bertumbuh besar dari berbagai generasi di keluarganya. Ada sebuah adegan menakjubkan di klimaks dimana Kun tersesat di sebuah stasiun raksasa. Ia berhasil bertemu dengan robot petugas stasiun, tapi terancam dibawa ke Negeri Kesendirian karena tak bisa mengingat satu pun nama anggota keluarganya.

Hosoda, yang kali ini memproduksi film hanya dengan studionya sendiri, Studio Chizu mengisi Mirai dengan detail yang sangat sangat menggemaskan. Animasinya terang, tajam, dan cantik. Setiap detail gerakan karakter sangat diperhatikan, dan tingkah polah dari para anak kecil di film ini sungguh terasa natural. Rumah dari keluarga ini merupakan karakter tersendiri yang terikat kuat dengan Kun, dan ia digambarkan dengan geografi yang jelas. Rumah modern yang minimalis ini terasa sangat hangat, membuat kita betah lama-lama berada disana.

Walau ceritanya didasarkan dengan kacamata anak-anak, saya tak tahu apakah Mirai betul-betul akan menarik bagi mereka dari segi esensi. Tentu, anak-anak bakal menikmati gambar dan animasinya yang lucu, tapi pesannya yang hangat soal keluarga barangkali belum akan mereka tangkap sepenuhnya. Saya merasa bahwa film ini lebih sebagai throwback bagi mantan anak-anak yang ingin bernostalgia dengan masa kanak-kanak. Ia mengingatkan kita kembali akan betapa berharganya keluarga lewat cara yang sederhana tapi sangat menyentuh.

Njiir, berasa udah bapak-bapak banget saya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Mirai

98 menit
Semua Umur
Mamoru Hosoda
Mamoru Hosoda
Nozomu Takahashi, Yūichirō Saitō, Takuya Itō, Yūichi Adachi, Genki Kawamura
Masakatsu Takagi

Tuesday, February 5, 2019

Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)
link : Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)

Baca juga


Review

Semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. 'Alita: Battle Angel' belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris.

“This is just your body. It's not bad or good. That part's up to you.”
— Dr. Dyson Ido
Rating UP:
Alita: Battle Angel diadaptasi dari manga. Anda barangkali bisa menebak ini saat menonton filmnya. Menyaksikannya serasa membaca komik serial yang penuh dengan banyak cerita dan episode kecil. Semuanya dijejalkan ke dalam satu film berdurasi 2 jam, dan tentu saja hasilnya bakal penuh sesak dan tak karuan. Namun, kualifikasi tadi juga saya maksudkan sebagai pujian; Alita punya karakter, semesta, dan sekuens aksi menarik yang agaknya jarang sekali kita dapatkan di media selain manga. Atau anime.


Film ini merupakan adaptasi Hollywood dari manga karya Yukito Kishiro yang dirilis pada tahun 90an. Selama hampir dua dekade, James Cameron berusaha mengembangkannya, tapi sayangnya terhenti saat ia memilih fokus pada Avatar yang kemudian menjadi film terlaris sepanjang masa. Sekarang ia hanya hanya bertindak sebagai (salah satu) penulis skrip dan produser, dengan Robert Rodriguez sebagai sutradara. Anda mungkin akan terkejut melihat bagaimana Rodriguez, sutradara yang memberikan kita Desperado, Spy Kids, dan Machete, dengan entengnya bisa masuk ke ranah blockbuster berskala masif.

Semestanya adalah kota bernama Iron City di tahun 2563. Iron City merupakan kota kumuh yang selamat pasca bencana besar yang disebut Kejatuhan. Populasinya padat dan konon katanya semua orang dari pelosok bumi berkumpul disini untuk mencari pekerjaan. Pekerjaannya adalah apapun, entah itu memasok energi, berkebun atau jadi tentara bayaran, pokoknya yang berkontribusi dalam menunjang operasional Zalem, kota misterius yang melayang di atas Iron City. Dengan kata lain; Iron City adalah budak Zalem.

Di pembuangan sampah Zalem di Iron City, karakter utama kita ditemukan oleh Dr Dyson Ido (Christoph Waltz), seorang dokter mekanik yang bespesialisasi membuat dan memperbaiki organ robotik atau cyborg. Ido memasangkan tubuh ke kepala karakter utama kita yang ternyata masih aktif, lalu memberinya nama Alita. Alita tak ingat apa pun, tapi entah bagaimana muscle memory-nya menyimpan kemampuan bertarung yang dahsyat.

Alita bukanlah cyborg dengan penampilan semanusiawi, katakanlah, Scarlett Johansson-nya Ghost in the Shell. Berkat kecanggihan teknologi sinema saat ini, Alita dihadirkan sebagai kreasi CGI fotorealistik, mungkin ditambah dengan bantuan motion-capture, yang punya tubuh ceking dan mata superbelo. Barangkali sekalian mau kasih penghormatan ke manga-nya. Terlihat ganjil iya, tapi beberapa menit kemudian saya sudah terbiasa. Penghantaran dialog yang ekspresif dari pemerannya, Rosa Salazar, menghidupkan Alita untuk lebih jadi sekadar karakter yang sebetulnya datar.

Bahkan, Rodriguez dan Cameron tak tanggung-tanggung dalam menghadirkan keanehan desain karakter lain. Cyborg disini benar-benar cyborg. Dengan anggota tubuh, bentuk dan proporsi badan yang tak masuk akal, mereka sama sekali sudah tak terlihat seperti manusia. Sungguh sangat seru melihat wajah manusia yang bicara di atas tubuh hibrida antara traktor dengan gergaji mesin. Kota futuristik mereka juga dihadirkan dengan detail yang luar biasa.

Sebagaimana biasa, Rodriguez selalu tahu bagaimana cara mendapatkan pemain pendukung mentereng yang overqualified. Ada Jennifer Connelly sebagai Chiren, mantan istri Ido yang menjalin hubungan dengan seorang promotor yang mencurigakan, Vector (Mahershala Ali). Ed Skrein mendapat bagian sebagai cyborg sengak yang berprofesi sebagai seorang Kesatria-Pemburu. Apapun itu, bodoamat. Eiza Gonzalez sebagai cyborg seksi yang mematikan. Dan Jackie Earl Haley meminjamkan suara dan wajahnya untuk menjadi cyborg gempal yang haus darah.

Saya tak begitu ingat apa pengaruh signifikan mereka bagi Alita. Sebab pertama, karena mereka emang gak ngaruh-ngaruh banget, dan yang kedua, karena ada banyak hal lain yang harus kita perhatikan dalam sekali tonton. Anda tahu, Alita tak cuma ingin mencari tahu soal masa lalunya. Ia juga disibukkan dengan keberadaan cowok tampan bernama Hugo (Keean Johnson) yang punya latar belakang misterius. Lalu Alita sempat mendaftarkan diri untuk menjadi Kesatria-Pemburu. Dan masih sempat-sempatnya pula ia menjadi kontestan dalam olahraga mematikan bernama Motorball, semacam hasil dari rollerblade + rugby + Nascar + Transformers. Anda akan paham saat menyaksikannya sendiri.

Ada banyak hal yang berjalan dalam Alita: Battle Angel, dan pembuatnya seperti tak bisa menemukan fokus. Rodriguez dan Cameron bisa saja membuat tiga film yang berbeda dari film ini. Barangkali dengan sedikit modifikasi atau bahkan skrip yang lebih baik, ceritanya bakal lebih enak diikuti. Saat durasi film sudah memasuki satu setengah jam, saya sempat mengecek jam lalu kepikiran bahwa kayaknya filmnya masih panjang. Ada banyak jalinan plot yang belum disimpulkan dan agaknya tak mungkin berakhir dalam setengah jam. Eehh, rupanya saya keliru... tapi juga tak salah.

Yang lebih saya nikmati adalah bagaimana Rodriguez menghandel adegan aksinya. Ada film yang terselamatkan berkat efek spesial, dan Alita adalah salah satunya. Tim efek spesial dari Weta Digital-nya Peter Jackson menghadirkan CGI yang terang, jelas, dan meyakinkan. Dan Rodriguez menyajikan sekuens aksinya, yang kerap kali sangat kompleks, dengan koheren dan elegan. Dalam film Desperado dkk, Rodriguez sering memakai angle dan gerakan kamera yang eksesif, tapi ia seperti menahan diri disini. Kok sampai saat ini kita tak melihat lebih banyak Rodriguez yah di lanskap blockbuster modern? Struktur ceritanya agak kacau, tapi siapa peduli selagi keren dilihat; rasa-rasanya begini juga sih kebanyakan film superhero sekarang.

Sejauh ini, semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. Alita: Battle Angel belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris. Rodriguez merupakan salah satu sutradara yang sangat cepat merangkul kemajuan teknologi film digital saat sineas lain masih gagap memakainya, dan dia sepertinya sangat nyaman sekali menangani film dengan konsep dan skala yang seepik ini. Beberapa aspek tidak bekerja dalam Alita, tapi aspek-aspek yang bekerja membuat saya merasa bahwa Rodriguez bukanlah pilihan yang keliru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Alita: Battle Angel

122 menit
Remaja
Robert Rodriguez
James Cameron, Laeta Kalogridis (screenplay), Yukito Kishiro (manga)
James Cameron, Jon Landau
Bill Pope
Tom Holkenborg

Semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. 'Alita: Battle Angel' belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris.

“This is just your body. It's not bad or good. That part's up to you.”
— Dr. Dyson Ido
Rating UP:
Alita: Battle Angel diadaptasi dari manga. Anda barangkali bisa menebak ini saat menonton filmnya. Menyaksikannya serasa membaca komik serial yang penuh dengan banyak cerita dan episode kecil. Semuanya dijejalkan ke dalam satu film berdurasi 2 jam, dan tentu saja hasilnya bakal penuh sesak dan tak karuan. Namun, kualifikasi tadi juga saya maksudkan sebagai pujian; Alita punya karakter, semesta, dan sekuens aksi menarik yang agaknya jarang sekali kita dapatkan di media selain manga. Atau anime.


Film ini merupakan adaptasi Hollywood dari manga karya Yukito Kishiro yang dirilis pada tahun 90an. Selama hampir dua dekade, James Cameron berusaha mengembangkannya, tapi sayangnya terhenti saat ia memilih fokus pada Avatar yang kemudian menjadi film terlaris sepanjang masa. Sekarang ia hanya hanya bertindak sebagai (salah satu) penulis skrip dan produser, dengan Robert Rodriguez sebagai sutradara. Anda mungkin akan terkejut melihat bagaimana Rodriguez, sutradara yang memberikan kita Desperado, Spy Kids, dan Machete, dengan entengnya bisa masuk ke ranah blockbuster berskala masif.

Semestanya adalah kota bernama Iron City di tahun 2563. Iron City merupakan kota kumuh yang selamat pasca bencana besar yang disebut Kejatuhan. Populasinya padat dan konon katanya semua orang dari pelosok bumi berkumpul disini untuk mencari pekerjaan. Pekerjaannya adalah apapun, entah itu memasok energi, berkebun atau jadi tentara bayaran, pokoknya yang berkontribusi dalam menunjang operasional Zalem, kota misterius yang melayang di atas Iron City. Dengan kata lain; Iron City adalah budak Zalem.

Di pembuangan sampah Zalem di Iron City, karakter utama kita ditemukan oleh Dr Dyson Ido (Christoph Waltz), seorang dokter mekanik yang bespesialisasi membuat dan memperbaiki organ robotik atau cyborg. Ido memasangkan tubuh ke kepala karakter utama kita yang ternyata masih aktif, lalu memberinya nama Alita. Alita tak ingat apa pun, tapi entah bagaimana muscle memory-nya menyimpan kemampuan bertarung yang dahsyat.

Alita bukanlah cyborg dengan penampilan semanusiawi, katakanlah, Scarlett Johansson-nya Ghost in the Shell. Berkat kecanggihan teknologi sinema saat ini, Alita dihadirkan sebagai kreasi CGI fotorealistik, mungkin ditambah dengan bantuan motion-capture, yang punya tubuh ceking dan mata superbelo. Barangkali sekalian mau kasih penghormatan ke manga-nya. Terlihat ganjil iya, tapi beberapa menit kemudian saya sudah terbiasa. Penghantaran dialog yang ekspresif dari pemerannya, Rosa Salazar, menghidupkan Alita untuk lebih jadi sekadar karakter yang sebetulnya datar.

Bahkan, Rodriguez dan Cameron tak tanggung-tanggung dalam menghadirkan keanehan desain karakter lain. Cyborg disini benar-benar cyborg. Dengan anggota tubuh, bentuk dan proporsi badan yang tak masuk akal, mereka sama sekali sudah tak terlihat seperti manusia. Sungguh sangat seru melihat wajah manusia yang bicara di atas tubuh hibrida antara traktor dengan gergaji mesin. Kota futuristik mereka juga dihadirkan dengan detail yang luar biasa.

Sebagaimana biasa, Rodriguez selalu tahu bagaimana cara mendapatkan pemain pendukung mentereng yang overqualified. Ada Jennifer Connelly sebagai Chiren, mantan istri Ido yang menjalin hubungan dengan seorang promotor yang mencurigakan, Vector (Mahershala Ali). Ed Skrein mendapat bagian sebagai cyborg sengak yang berprofesi sebagai seorang Kesatria-Pemburu. Apapun itu, bodoamat. Eiza Gonzalez sebagai cyborg seksi yang mematikan. Dan Jackie Earl Haley meminjamkan suara dan wajahnya untuk menjadi cyborg gempal yang haus darah.

Saya tak begitu ingat apa pengaruh signifikan mereka bagi Alita. Sebab pertama, karena mereka emang gak ngaruh-ngaruh banget, dan yang kedua, karena ada banyak hal lain yang harus kita perhatikan dalam sekali tonton. Anda tahu, Alita tak cuma ingin mencari tahu soal masa lalunya. Ia juga disibukkan dengan keberadaan cowok tampan bernama Hugo (Keean Johnson) yang punya latar belakang misterius. Lalu Alita sempat mendaftarkan diri untuk menjadi Kesatria-Pemburu. Dan masih sempat-sempatnya pula ia menjadi kontestan dalam olahraga mematikan bernama Motorball, semacam hasil dari rollerblade + rugby + Nascar + Transformers. Anda akan paham saat menyaksikannya sendiri.

Ada banyak hal yang berjalan dalam Alita: Battle Angel, dan pembuatnya seperti tak bisa menemukan fokus. Rodriguez dan Cameron bisa saja membuat tiga film yang berbeda dari film ini. Barangkali dengan sedikit modifikasi atau bahkan skrip yang lebih baik, ceritanya bakal lebih enak diikuti. Saat durasi film sudah memasuki satu setengah jam, saya sempat mengecek jam lalu kepikiran bahwa kayaknya filmnya masih panjang. Ada banyak jalinan plot yang belum disimpulkan dan agaknya tak mungkin berakhir dalam setengah jam. Eehh, rupanya saya keliru... tapi juga tak salah.

Yang lebih saya nikmati adalah bagaimana Rodriguez menghandel adegan aksinya. Ada film yang terselamatkan berkat efek spesial, dan Alita adalah salah satunya. Tim efek spesial dari Weta Digital-nya Peter Jackson menghadirkan CGI yang terang, jelas, dan meyakinkan. Dan Rodriguez menyajikan sekuens aksinya, yang kerap kali sangat kompleks, dengan koheren dan elegan. Dalam film Desperado dkk, Rodriguez sering memakai angle dan gerakan kamera yang eksesif, tapi ia seperti menahan diri disini. Kok sampai saat ini kita tak melihat lebih banyak Rodriguez yah di lanskap blockbuster modern? Struktur ceritanya agak kacau, tapi siapa peduli selagi keren dilihat; rasa-rasanya begini juga sih kebanyakan film superhero sekarang.

Sejauh ini, semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. Alita: Battle Angel belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris. Rodriguez merupakan salah satu sutradara yang sangat cepat merangkul kemajuan teknologi film digital saat sineas lain masih gagap memakainya, dan dia sepertinya sangat nyaman sekali menangani film dengan konsep dan skala yang seepik ini. Beberapa aspek tidak bekerja dalam Alita, tapi aspek-aspek yang bekerja membuat saya merasa bahwa Rodriguez bukanlah pilihan yang keliru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Alita: Battle Angel

122 menit
Remaja
Robert Rodriguez
James Cameron, Laeta Kalogridis (screenplay), Yukito Kishiro (manga)
James Cameron, Jon Landau
Bill Pope
Tom Holkenborg

Friday, February 1, 2019

Review Film: 'Burning' (2018)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Burning' (2018)
link : Review Film: 'Burning' (2018)

Baca juga


Review

'Burning' adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens.

“Why do we live? What is the significance of living?”
— Shin Hae-mi
Rating UP:
Sepanjang sejarah perfilman thriller, Burning barangkali merupakan salah satu film yang paling tak konklusif dari segi misteri. Namun, secara emosional, ia sangat memuaskan. Film ini dibangun dengan perlahan tapi sangat terukur, mencekat kita lewat cara yang tak terduga sembari memberi cukup ruang agar bobot emosionalnya terakumulasi dengan begitu hebat. Semua ini kemudian mengantarkan kita ke momen puncak yang saking gregetnya kita merasa sangat butuh sebuah pelepasan. Tidak bisa tidak. Wajib.

"Ya Tuhan, satu pelepasan saja dan saya akan lega," kita pikir.

Dan BAM! Burning memberikannya dengan cara dan waktu yang tepat.


Saya bisa menggambarkan Burning dengan deskripsi sederhana: sebuah cinta segitiga yang berujung pada cerita kriminal. Tapi saya bakal sotoy. Film ini jauh lebih kompleks daripada itu. Lagipula, saya tak tahu apakah deskripsi tersebut memang mewakili atau tidak. Saya bisa saja menonton film ini lebih dari 10 kali, dan ujung-ujungnya tetap saja tak bakal sepenuhnya yakin dengan apa yang (saya kira) saya lihat. Burning penuh dengan ketidakpastian dan justru itulah yang membuatnya sangat menegangkan.

Kita sebagai penonton, sama seperti para karakter di dalam film, tak persis tahu apa yang sebenarnya terjadi dan melihat karakter lain lewat kacamata masing-masing; persepsi yang sebetulnya hanyalah produk ambigu dari pengalaman hidup yang cuma sebentar dengan orang yang dimaksud. Apakah mereka memang betul seperti apa yang kita kira?

Mari kita mulai dengan karakter utama kita, Jongsu (Yoo Ah-in), pria kampung yang bercita-cita menjadi penulis walau saat ini hanya berkutat sebagai kurir di kota Seoul. Jongsu pendiam dan tak begitu ekspresif. Ia hanyalah pria biasa yang sama sekali tak mencolok. Namun seorang SPG seksi yang ditemuinya tak sengaja di jalan bilang bahwa mereka saling kenal. Katanya mereka dulu adalah teman sekelas di kampung. Jongsu melongo.

"Aku operasi plastik," celoteh si SPG. Cewek ini namanya Haemi (Jeon Jong-seo), seorang optimis, penuh semangat, dan tampaknya sangat polos. Saat nongkrong, Haemi kemudian bilang kepada Jongsu bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Tak butuh lama, Jongsu diajak main ke apartemen Haemi dan mereka melakukan hal yang iya-iya disana.

Jelas sekali kalau Jongsu langsung merasa terikat dengan Haemi. Ia bahkan mau saja saat dimintai tolong untuk memberi makan kucing Haemi selama Haemi pergi ke Afrika dalam sebuah perjalanan mencari jati diri. Setiap hari Jongsu mengunjungi apartemen Haemi, dan setiap hari itu pula ia merancap sambil membayangkan Haemi.

Iya. Merancap. Jongsu memang punya kehidupan yang sedikit, ehm, ganjil. Ia seperti selalu sendirian dan tak punya satu pun teman. Kita mendengar bahwa ayahnya sedang dalam masalah, tapi kita tak perlu tahu persisnya apa. Kita tahu bahwa sang ibu sudah meninggalkannya. Kita tahu Jongsu rutin mengunjungi kebun ayahnya di kampung. Film menuturkan detail kehidupan Jongsu dengan perlahan dan telaten, tapi rasa-rasanya gambaran besarnya masih saja buram.

Namun yang lebih buram adalah Ben (Steven Yeun). Jongsu ketemu Ben saat menjemput Haemi di bandara sekembalinya dari Afrika. Situasi ini menciptakan hubungan segitiga yang tak nyaman. Ben adalah teman seperjalanan Haemi. Tapi mereka sepertinya sangat akrab. Apakah mereka jadian? Entahlah. Haemi sepertinya menikmati sekali saat jalan dengan Ben, tapi ia juga berusaha untuk selalu mengajak Jongsu. Ben tampaknya juga tak pernah keberatan.

Jongsu punya firasat buruk soal Ben. Ada sesuatu yang janggal dengan Ben; ia sosialita, punya mobil Porsche dan apartemen mewah, tapi kelihatannya tak punya pekerjaan. Kepribadiannya mulus tapi nyaris hampa, bahkan mungkin punya bakat psikopat. Ben memberitahu Jongsu dan Haemi bahwa ia tak pernah menangis seumur hidup. Penampilan Steven Yeun luar biasa; ia menciptakan karakter dingin yang penuh misteri.

Film ini memang punya kemasan thriller kriminal. Namun ia lebih terasa seperti studi psikologi karakter. Atau barangkali lebih tepat: permainan studi psikologi karakter. Kita melihat sesuatu cukup banyak, tapi kita tetap saja tak tahu banyak. Apa maksud Ben terhadap Jongsu? Atau terhadap Haemi?

Atau soal Haemi sendiri. Apakah ia benar bisa dipercaya? Apakah Jongsu dulu memang pernah menyelamatkan Haemi saat terjebak di sumur? Atau itu hanya karangan Haemi belaka? Cerita film ini seolah cerita antara dua orang pria yang sangat berbeda dengan satu wanita polos terjebak di tengahnya. Apa benar begitu? Kebenaran hakiki adalah sebuah kemustahilan dalam Burning. Kita diperdaya untuk membuat asumsi yang belum tentu kebenarannya.

Ketika Haemi tiba-tiba menghilang, Jongsu hampir sepenuhnya yakin bahwa pelakunya adalah Ben, walau tak ada bukti yang jelas. Ini memancing Jongsu untuk membuntuti Ben. Jongsu ingat bahwa Ben pernah bilang bahwa ia suka membakar greenhouse; bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk sekadar melihat greenhouse tersebut terbakar. Dan target selanjutnya, kata Ben sembari tersenyum, berada sangat dekat dengan Jongsu. Jongsu sangat percaya dengan ini sampai ia mengecek semua greenhouse di kampungnya. Jongsu tak menemukan apapun. Apakah Ben benar-benar tukang bakar atau cuma sedang mempermainkannya?

Film ini digarap oleh sutradara Lee Chang-dong dari cerita pendek karya penulis kenamaan Jepang, Haruki Murakami. Plotnya terasa berjalan dengan alami meski latarnya diubah menjadi di Korea. Film Lee dengan luar biasa menangkap nuansa kesendirian dan hasrat terpendam yang kerap ditemui dalam karya Murakami. Poin utamanya adalah apa yang diutarakan Haemi kepada Jongsu sebelum berangkat ke Afrika: "Semua orang lapar akan sesuatu."

Burning adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens. Kita sukses dijaga untuk merasa tak nyaman dalam durasinya yang sangat panjang, nyaris 3 jam. Metode narasinya barangkali adalah aplikasi sinematis dari teori Kucing Schrodinger. Teori ini menyebutkan bahwa seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kotak radioaktif, berada dalam kondisi hidup dan mati secara simultan. Kita belum tahu status kucingnya almarhum atau bukan sebelum kita melihat isi kotak tersebut. Entah sengaja atau tidak, Lee bahkan menyelipkan Kucing Schrodinger ala-ala ke dalam Burning. Jongsu dengan rutin memberi makan kucing Haemi, tapi ia tak pernah melihat wujud kucing tersebut. Meski begitu, makanannya selalu habis.

Saya sengaja bawa-bawa teori fisika kuantum biar dibilang intelek.

Lee tidak menciptakan Kucing Schrodinger-nya dengan manipulasi palsu. Alih-alih, ia melakukannya dengan memberikan latar situasi yang sedemikian kompleks demi menciptakan tensi. Ada perbedaan strata sosial dan kepribadian yang mencolok antara Jongsu dengan Ben. Apakah Jongsu merasa iri terhadap Ben? Ataukah Jongsu murka karena Ben tak mengapresiasi Haemi seperti ia menyukai Haemi? Saat Haemi bercerita di depan teman-teman Ben, Jongsu melihat sekilas Ben yang menguap bosan. Dan barangkali tak tahu itu semua, Haemi malah dengan nyaman menari bertelanjang dada di depan Ben.

Ada semacam sensasi bahaya yang mengendap-endap di dalam Burning. Dan kita tak tahu pasti apa itu. Saya lebih suka untuk berpikir bahwa apa yang terjadi tak seperti kelihatannya. Karena pilihan tersebut memang lebih nyaman. Namun, tetap ada rasa yang mengganjal bahwa apa yang terjadi memang seperti yang kita kira. Lebih mengerikan untuk dibayangkan, tapi tak apa, karena Jongsu sudah mendapat sebuah pelepasan. Kotak radioaktif kucing Schrodinger diputuskan untuk dimusnahkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Burning

148 menit
Dewasa
Lee Chang-dong
Oh Jung-mi, Lee Chang-dong (screenplay), Haruki Murakami (cerita)
Lee Joon-dong, Lee Chang-dong
Hong Kyung-pyo
Mowg

'Burning' adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens.

“Why do we live? What is the significance of living?”
— Shin Hae-mi
Rating UP:
Sepanjang sejarah perfilman thriller, Burning barangkali merupakan salah satu film yang paling tak konklusif dari segi misteri. Namun, secara emosional, ia sangat memuaskan. Film ini dibangun dengan perlahan tapi sangat terukur, mencekat kita lewat cara yang tak terduga sembari memberi cukup ruang agar bobot emosionalnya terakumulasi dengan begitu hebat. Semua ini kemudian mengantarkan kita ke momen puncak yang saking gregetnya kita merasa sangat butuh sebuah pelepasan. Tidak bisa tidak. Wajib.

"Ya Tuhan, satu pelepasan saja dan saya akan lega," kita pikir.

Dan BAM! Burning memberikannya dengan cara dan waktu yang tepat.


Saya bisa menggambarkan Burning dengan deskripsi sederhana: sebuah cinta segitiga yang berujung pada cerita kriminal. Tapi saya bakal sotoy. Film ini jauh lebih kompleks daripada itu. Lagipula, saya tak tahu apakah deskripsi tersebut memang mewakili atau tidak. Saya bisa saja menonton film ini lebih dari 10 kali, dan ujung-ujungnya tetap saja tak bakal sepenuhnya yakin dengan apa yang (saya kira) saya lihat. Burning penuh dengan ketidakpastian dan justru itulah yang membuatnya sangat menegangkan.

Kita sebagai penonton, sama seperti para karakter di dalam film, tak persis tahu apa yang sebenarnya terjadi dan melihat karakter lain lewat kacamata masing-masing; persepsi yang sebetulnya hanyalah produk ambigu dari pengalaman hidup yang cuma sebentar dengan orang yang dimaksud. Apakah mereka memang betul seperti apa yang kita kira?

Mari kita mulai dengan karakter utama kita, Jongsu (Yoo Ah-in), pria kampung yang bercita-cita menjadi penulis walau saat ini hanya berkutat sebagai kurir di kota Seoul. Jongsu pendiam dan tak begitu ekspresif. Ia hanyalah pria biasa yang sama sekali tak mencolok. Namun seorang SPG seksi yang ditemuinya tak sengaja di jalan bilang bahwa mereka saling kenal. Katanya mereka dulu adalah teman sekelas di kampung. Jongsu melongo.

"Aku operasi plastik," celoteh si SPG. Cewek ini namanya Haemi (Jeon Jong-seo), seorang optimis, penuh semangat, dan tampaknya sangat polos. Saat nongkrong, Haemi kemudian bilang kepada Jongsu bahwa ia sedang mempelajari pantomim. Tak butuh lama, Jongsu diajak main ke apartemen Haemi dan mereka melakukan hal yang iya-iya disana.

Jelas sekali kalau Jongsu langsung merasa terikat dengan Haemi. Ia bahkan mau saja saat dimintai tolong untuk memberi makan kucing Haemi selama Haemi pergi ke Afrika dalam sebuah perjalanan mencari jati diri. Setiap hari Jongsu mengunjungi apartemen Haemi, dan setiap hari itu pula ia merancap sambil membayangkan Haemi.

Iya. Merancap. Jongsu memang punya kehidupan yang sedikit, ehm, ganjil. Ia seperti selalu sendirian dan tak punya satu pun teman. Kita mendengar bahwa ayahnya sedang dalam masalah, tapi kita tak perlu tahu persisnya apa. Kita tahu bahwa sang ibu sudah meninggalkannya. Kita tahu Jongsu rutin mengunjungi kebun ayahnya di kampung. Film menuturkan detail kehidupan Jongsu dengan perlahan dan telaten, tapi rasa-rasanya gambaran besarnya masih saja buram.

Namun yang lebih buram adalah Ben (Steven Yeun). Jongsu ketemu Ben saat menjemput Haemi di bandara sekembalinya dari Afrika. Situasi ini menciptakan hubungan segitiga yang tak nyaman. Ben adalah teman seperjalanan Haemi. Tapi mereka sepertinya sangat akrab. Apakah mereka jadian? Entahlah. Haemi sepertinya menikmati sekali saat jalan dengan Ben, tapi ia juga berusaha untuk selalu mengajak Jongsu. Ben tampaknya juga tak pernah keberatan.

Jongsu punya firasat buruk soal Ben. Ada sesuatu yang janggal dengan Ben; ia sosialita, punya mobil Porsche dan apartemen mewah, tapi kelihatannya tak punya pekerjaan. Kepribadiannya mulus tapi nyaris hampa, bahkan mungkin punya bakat psikopat. Ben memberitahu Jongsu dan Haemi bahwa ia tak pernah menangis seumur hidup. Penampilan Steven Yeun luar biasa; ia menciptakan karakter dingin yang penuh misteri.

Film ini memang punya kemasan thriller kriminal. Namun ia lebih terasa seperti studi psikologi karakter. Atau barangkali lebih tepat: permainan studi psikologi karakter. Kita melihat sesuatu cukup banyak, tapi kita tetap saja tak tahu banyak. Apa maksud Ben terhadap Jongsu? Atau terhadap Haemi?

Atau soal Haemi sendiri. Apakah ia benar bisa dipercaya? Apakah Jongsu dulu memang pernah menyelamatkan Haemi saat terjebak di sumur? Atau itu hanya karangan Haemi belaka? Cerita film ini seolah cerita antara dua orang pria yang sangat berbeda dengan satu wanita polos terjebak di tengahnya. Apa benar begitu? Kebenaran hakiki adalah sebuah kemustahilan dalam Burning. Kita diperdaya untuk membuat asumsi yang belum tentu kebenarannya.

Ketika Haemi tiba-tiba menghilang, Jongsu hampir sepenuhnya yakin bahwa pelakunya adalah Ben, walau tak ada bukti yang jelas. Ini memancing Jongsu untuk membuntuti Ben. Jongsu ingat bahwa Ben pernah bilang bahwa ia suka membakar greenhouse; bukan untuk apa-apa, melainkan hanya untuk sekadar melihat greenhouse tersebut terbakar. Dan target selanjutnya, kata Ben sembari tersenyum, berada sangat dekat dengan Jongsu. Jongsu sangat percaya dengan ini sampai ia mengecek semua greenhouse di kampungnya. Jongsu tak menemukan apapun. Apakah Ben benar-benar tukang bakar atau cuma sedang mempermainkannya?

Film ini digarap oleh sutradara Lee Chang-dong dari cerita pendek karya penulis kenamaan Jepang, Haruki Murakami. Plotnya terasa berjalan dengan alami meski latarnya diubah menjadi di Korea. Film Lee dengan luar biasa menangkap nuansa kesendirian dan hasrat terpendam yang kerap ditemui dalam karya Murakami. Poin utamanya adalah apa yang diutarakan Haemi kepada Jongsu sebelum berangkat ke Afrika: "Semua orang lapar akan sesuatu."

Burning adalah pencapaian hebat dalam hal penciptaan suspens. Kita sukses dijaga untuk merasa tak nyaman dalam durasinya yang sangat panjang, nyaris 3 jam. Metode narasinya barangkali adalah aplikasi sinematis dari teori Kucing Schrodinger. Teori ini menyebutkan bahwa seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kotak radioaktif, berada dalam kondisi hidup dan mati secara simultan. Kita belum tahu status kucingnya almarhum atau bukan sebelum kita melihat isi kotak tersebut. Entah sengaja atau tidak, Lee bahkan menyelipkan Kucing Schrodinger ala-ala ke dalam Burning. Jongsu dengan rutin memberi makan kucing Haemi, tapi ia tak pernah melihat wujud kucing tersebut. Meski begitu, makanannya selalu habis.

Saya sengaja bawa-bawa teori fisika kuantum biar dibilang intelek.

Lee tidak menciptakan Kucing Schrodinger-nya dengan manipulasi palsu. Alih-alih, ia melakukannya dengan memberikan latar situasi yang sedemikian kompleks demi menciptakan tensi. Ada perbedaan strata sosial dan kepribadian yang mencolok antara Jongsu dengan Ben. Apakah Jongsu merasa iri terhadap Ben? Ataukah Jongsu murka karena Ben tak mengapresiasi Haemi seperti ia menyukai Haemi? Saat Haemi bercerita di depan teman-teman Ben, Jongsu melihat sekilas Ben yang menguap bosan. Dan barangkali tak tahu itu semua, Haemi malah dengan nyaman menari bertelanjang dada di depan Ben.

Ada semacam sensasi bahaya yang mengendap-endap di dalam Burning. Dan kita tak tahu pasti apa itu. Saya lebih suka untuk berpikir bahwa apa yang terjadi tak seperti kelihatannya. Karena pilihan tersebut memang lebih nyaman. Namun, tetap ada rasa yang mengganjal bahwa apa yang terjadi memang seperti yang kita kira. Lebih mengerikan untuk dibayangkan, tapi tak apa, karena Jongsu sudah mendapat sebuah pelepasan. Kotak radioaktif kucing Schrodinger diputuskan untuk dimusnahkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Burning

148 menit
Dewasa
Lee Chang-dong
Oh Jung-mi, Lee Chang-dong (screenplay), Haruki Murakami (cerita)
Lee Joon-dong, Lee Chang-dong
Hong Kyung-pyo
Mowg

Saturday, January 26, 2019

Review Film: 'Glass' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Glass' (2019)
link : Review Film: 'Glass' (2019)

Baca juga


Review

Masalah utama dari 'Glass' adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur.

“This is not a cartoon. This is the real world.”
— Elijah Price
Rating UP:
Apakah kekuatan super itu nyata? Ataukah hal tersebut cuma sugesti yang dipercaya oleh orang-orang yang merasa dirinya superhero? Obsesi yang berlebihan kadang memang bisa menciptakan delusi. Dan hal inilah yang menjadi salah satu poin dari Glass, film penutup dari trilogi "superhero realistis" besutan M Night Shyamalan. Konsep yang menarik karena ia melakukan pendekatan kontemplatif terhadap subgenre yang sangat fantasi. Bagaimana kalau ternyata kemampuan terbang Superman hanyalah imajinasi di kepala Clark Kent?


Sayangnya, kedahsyatan Glass cuma sebatas ide. Konsep tersebut sama sekali tak nampol sedikitpun. Masalah utama dari Glass adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur, padahal jelas-jelas ia adalah bubur. Sebuah usaha unfaedah yang sama manfaatnya dengan memperdebatkan Paslon Presiden mana yang paling sempurna. Semakin ngeselin karena usaha ini menghabiskan sebagian besar durasi film.

Film ini dimaksudkan sebagai kulminasi dari film Unbreakable-nya Shyamalan yang dirilis di tahun 2000 dan Split, satu lagi filmnya yang membuat kita kaget dengan ending-nya yang mengisyaratkan bahwa kedua film tersebut berada di semesta yang sama. David Dunn (Bruce Willis) akhirnya akan berhadapan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), dimana Mr Glass (Samuel L Jackson) berada di tengah konflik. Dua film sebelumnya memperlihatkan dengan kepada kita mengenai tiga individu dengan kekuatan super. Di Unbreakable, David berhasil menangani rencaha jahat dari si jenius Mr Glass berkat kekuatan tubuhnya yang "tak bisa patah". Dalam Split, kita menyaksikan bahwa salah satu dari dua lusin kepribadian Kevin memberikannya kemampuan memanjat dinding.

Namun Glass mencoba untuk meng-undo semuanya; mencoba memutarbalikkan semua yang kita tahu. Bahwa para individu super ini sebenarnya bukanlah individu super, melainkan hanya orang-orang gila dengan imajinasi yang besar. "Ini adalah semacam delusi yang spesifik," kata Dr Ellie (Sarah Paulson). Lha, trus yang kita tonton di dua film sebelumnya apa dong Udiiiiiin! Ia menjelaskannya dengan metode spesial yang biasa dipakai pacar saat tercyduk jalan sama orang lain: panjang lebar dan rumit, hingga kita langsung tahu kalau itu cuma ngeles belaka.

Hal tersebut yang membuat Glass gagal dengan spektakuler. Glass menjadi film yang membosankan bagi penonton baru dan penonton lama. Penonton baru akan kebingungan karena film ini sangat bergantung pada film sebelumnya. Sedangkan penonton lama tak mendapat hal yang baru selain dari yang mereka dapat dari film sebelumnya, sebab Shyamalan tak mengembangkan cerita dari pondasi yang sudah ia buat melainkan hanya mencekoki kita dengan lagu lama. Kesannya, Shyamalan tak punya cerita dan tak bisa menemukan cara untuk menghubungkan film-filmnya.

Padahal karakter utama kita sudah terasa alami berada di satu semesta. David Dunn sekarang adalah Batman-nya Philadelphia; memberantas kejahatan jalanan dengan samaran kostum jas hujan yang membuatnya diberi julukan Sang Pengawas. Ia berhasil melacak keberadaan Kevin, psikopat dengan 24 kepribadian yang masih suka menculik dan membunuhi gadis-gadis muda. Mereka berkonfrontasi. Namun tak ada gedung yang akan meledak atau mobil yang akan berhamburan, karena mereka segera ditangkap dan dijebloskan ke sebuah rumah sakit jiwa.

Siapa sangka rumah sakit tersebut ternyata adalah tempat dimana Elijah Pryce alias Mr Glass ditahan. Ini adalah rumah sakit jiwa dengan penjagaan maksimal. Ada kamera di setiap sudut untuk mengawasi setiap pergerakan pasien. Untuk mengatasi ide-ide jenius nan licik meluncur keluar dari otaknya, Elijah dibius dengan obat, membuatnya berada dalam keadaan katatonik. Ada lampu khusus yang bisa menahan agar kepribadian Sang Monster dari Kevin tidak keluar. Sedangkan sel David dilengkapi dengan saluran yang bisa menyemprotkan air yang bisa membuatnya lemas.

Sebagian besar film menghabiskan waktu di rumah sakit ini. Disini lah Dr Ellie berusaha untuk merasionalisasi kemampuan super mereka. Spesialisasinya adalah menangani orang-orang yang merasa dirinya spesial. Ini menginjikankan filmnya untuk melakukan pendekatan yang sama seperti Unbreakable. Meski filmnya mengacu ke arah subgenre superhero, Shyamalan tak mengandalkan efek spesial. Kebanyakan aksinya digerakkan oleh dialog, tapi... GAK KAYAK GINI JUGA KELES! Hampir keseluruhan durasi didominasi dengan sesi terapi verbal yang membahas secara berulang-ulang soal kondisi mental mereka yang sudah kita khatamkan. Bahkan ada dialog gak guna yang menjelaskan dengan gamblang sesuatu yang telah dan sedang terjadi.

Ada pula percakapan ganjil mengenai hakikat superhero, buku komik, dll yang agaknya berhubungan dengan ending film, tapi saya sudah gak peduli lagi. Dan menjelaskan ini menjadi satu-satunya tugas penting bagi Spencer Treat Clark, Anya Taylor-Joy, dan Charlayne Woodard yang kembali membawakan peran mereka masing-masing dari film sebelumnya. Di satu sisi, Shyamalan terkesan tak ingin membuat filmnya terasa seperti film superhero. Ia tak menampilkan sekuens aksi yang barangkali kita semua harapkan. Namun di sisi lain, ia menekankan banget nget nget soal konsep superhero. Ambisinya untuk membuat film supehero tanpa memakai elemen standar superhero patut diapresiasi. Cuma sayang, filmnya tak punya energi.

Meski berjudul "Glass", Mr Glass sendiri tak mendapat sorotan berarti, setidaknya hingga menjelang akhir. Film ini kebanyakan diambil alih oleh Kevin dan kepribadian jamaknya. Penampilan James McAvoy menyuntikkan sedikit keseruan, dan Shyamalan dengan cerdik mengeksploitasi kemampuannya untuk berganti aksen dan gestur dalam sekejap mata lewat beberapa adegan one-take. Film ini menjadi wadah bagi Shyamalan untuk menunjukkan kemahirannya dalam mengeksekusi adegan, pemanfaatan angle, serta pembangunan suspens yang membuat kita merasa bahwa film ini terlihat lebih bagus dari sebenarnya.

Glass menjadi film dengan ide bagus dan penanganan mantap yang digoreng separo matang. Konsepnya lebih kaya dan tajam daripada apa yang kita tonton. Shayamalan dikenal sebagai tukang twist, tapi twist terbesarnya adalah bagaimana ia membangun trilogi film superhero tanpa sepengetahuan kita dalam rentang waktu hampir dua dekade. Artinya, Glass adalah sebuah klimaks. Dan kalau ini adalah klimaks yang ingin diberikan sedari awal oleh Shyamalan, maka foreplay bertahun-tahun rasanya sia-sia. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Glass

129 menit
Remaja - BO
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan, Jason Blum, Marc Bienstock, Ashwin Rajan
Mike Gioulakis
West Dylan Thordson

Masalah utama dari 'Glass' adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur.

“This is not a cartoon. This is the real world.”
— Elijah Price
Rating UP:
Apakah kekuatan super itu nyata? Ataukah hal tersebut cuma sugesti yang dipercaya oleh orang-orang yang merasa dirinya superhero? Obsesi yang berlebihan kadang memang bisa menciptakan delusi. Dan hal inilah yang menjadi salah satu poin dari Glass, film penutup dari trilogi "superhero realistis" besutan M Night Shyamalan. Konsep yang menarik karena ia melakukan pendekatan kontemplatif terhadap subgenre yang sangat fantasi. Bagaimana kalau ternyata kemampuan terbang Superman hanyalah imajinasi di kepala Clark Kent?


Sayangnya, kedahsyatan Glass cuma sebatas ide. Konsep tersebut sama sekali tak nampol sedikitpun. Masalah utama dari Glass adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur, padahal jelas-jelas ia adalah bubur. Sebuah usaha unfaedah yang sama manfaatnya dengan memperdebatkan Paslon Presiden mana yang paling sempurna. Semakin ngeselin karena usaha ini menghabiskan sebagian besar durasi film.

Film ini dimaksudkan sebagai kulminasi dari film Unbreakable-nya Shyamalan yang dirilis di tahun 2000 dan Split, satu lagi filmnya yang membuat kita kaget dengan ending-nya yang mengisyaratkan bahwa kedua film tersebut berada di semesta yang sama. David Dunn (Bruce Willis) akhirnya akan berhadapan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), dimana Mr Glass (Samuel L Jackson) berada di tengah konflik. Dua film sebelumnya memperlihatkan dengan kepada kita mengenai tiga individu dengan kekuatan super. Di Unbreakable, David berhasil menangani rencaha jahat dari si jenius Mr Glass berkat kekuatan tubuhnya yang "tak bisa patah". Dalam Split, kita menyaksikan bahwa salah satu dari dua lusin kepribadian Kevin memberikannya kemampuan memanjat dinding.

Namun Glass mencoba untuk meng-undo semuanya; mencoba memutarbalikkan semua yang kita tahu. Bahwa para individu super ini sebenarnya bukanlah individu super, melainkan hanya orang-orang gila dengan imajinasi yang besar. "Ini adalah semacam delusi yang spesifik," kata Dr Ellie (Sarah Paulson). Lha, trus yang kita tonton di dua film sebelumnya apa dong Udiiiiiin! Ia menjelaskannya dengan metode spesial yang biasa dipakai pacar saat tercyduk jalan sama orang lain: panjang lebar dan rumit, hingga kita langsung tahu kalau itu cuma ngeles belaka.

Hal tersebut yang membuat Glass gagal dengan spektakuler. Glass menjadi film yang membosankan bagi penonton baru dan penonton lama. Penonton baru akan kebingungan karena film ini sangat bergantung pada film sebelumnya. Sedangkan penonton lama tak mendapat hal yang baru selain dari yang mereka dapat dari film sebelumnya, sebab Shyamalan tak mengembangkan cerita dari pondasi yang sudah ia buat melainkan hanya mencekoki kita dengan lagu lama. Kesannya, Shyamalan tak punya cerita dan tak bisa menemukan cara untuk menghubungkan film-filmnya.

Padahal karakter utama kita sudah terasa alami berada di satu semesta. David Dunn sekarang adalah Batman-nya Philadelphia; memberantas kejahatan jalanan dengan samaran kostum jas hujan yang membuatnya diberi julukan Sang Pengawas. Ia berhasil melacak keberadaan Kevin, psikopat dengan 24 kepribadian yang masih suka menculik dan membunuhi gadis-gadis muda. Mereka berkonfrontasi. Namun tak ada gedung yang akan meledak atau mobil yang akan berhamburan, karena mereka segera ditangkap dan dijebloskan ke sebuah rumah sakit jiwa.

Siapa sangka rumah sakit tersebut ternyata adalah tempat dimana Elijah Pryce alias Mr Glass ditahan. Ini adalah rumah sakit jiwa dengan penjagaan maksimal. Ada kamera di setiap sudut untuk mengawasi setiap pergerakan pasien. Untuk mengatasi ide-ide jenius nan licik meluncur keluar dari otaknya, Elijah dibius dengan obat, membuatnya berada dalam keadaan katatonik. Ada lampu khusus yang bisa menahan agar kepribadian Sang Monster dari Kevin tidak keluar. Sedangkan sel David dilengkapi dengan saluran yang bisa menyemprotkan air yang bisa membuatnya lemas.

Sebagian besar film menghabiskan waktu di rumah sakit ini. Disini lah Dr Ellie berusaha untuk merasionalisasi kemampuan super mereka. Spesialisasinya adalah menangani orang-orang yang merasa dirinya spesial. Ini menginjikankan filmnya untuk melakukan pendekatan yang sama seperti Unbreakable. Meski filmnya mengacu ke arah subgenre superhero, Shyamalan tak mengandalkan efek spesial. Kebanyakan aksinya digerakkan oleh dialog, tapi... GAK KAYAK GINI JUGA KELES! Hampir keseluruhan durasi didominasi dengan sesi terapi verbal yang membahas secara berulang-ulang soal kondisi mental mereka yang sudah kita khatamkan. Bahkan ada dialog gak guna yang menjelaskan dengan gamblang sesuatu yang telah dan sedang terjadi.

Ada pula percakapan ganjil mengenai hakikat superhero, buku komik, dll yang agaknya berhubungan dengan ending film, tapi saya sudah gak peduli lagi. Dan menjelaskan ini menjadi satu-satunya tugas penting bagi Spencer Treat Clark, Anya Taylor-Joy, dan Charlayne Woodard yang kembali membawakan peran mereka masing-masing dari film sebelumnya. Di satu sisi, Shyamalan terkesan tak ingin membuat filmnya terasa seperti film superhero. Ia tak menampilkan sekuens aksi yang barangkali kita semua harapkan. Namun di sisi lain, ia menekankan banget nget nget soal konsep superhero. Ambisinya untuk membuat film supehero tanpa memakai elemen standar superhero patut diapresiasi. Cuma sayang, filmnya tak punya energi.

Meski berjudul "Glass", Mr Glass sendiri tak mendapat sorotan berarti, setidaknya hingga menjelang akhir. Film ini kebanyakan diambil alih oleh Kevin dan kepribadian jamaknya. Penampilan James McAvoy menyuntikkan sedikit keseruan, dan Shyamalan dengan cerdik mengeksploitasi kemampuannya untuk berganti aksen dan gestur dalam sekejap mata lewat beberapa adegan one-take. Film ini menjadi wadah bagi Shyamalan untuk menunjukkan kemahirannya dalam mengeksekusi adegan, pemanfaatan angle, serta pembangunan suspens yang membuat kita merasa bahwa film ini terlihat lebih bagus dari sebenarnya.

Glass menjadi film dengan ide bagus dan penanganan mantap yang digoreng separo matang. Konsepnya lebih kaya dan tajam daripada apa yang kita tonton. Shayamalan dikenal sebagai tukang twist, tapi twist terbesarnya adalah bagaimana ia membangun trilogi film superhero tanpa sepengetahuan kita dalam rentang waktu hampir dua dekade. Artinya, Glass adalah sebuah klimaks. Dan kalau ini adalah klimaks yang ingin diberikan sedari awal oleh Shyamalan, maka foreplay bertahun-tahun rasanya sia-sia. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Glass

129 menit
Remaja - BO
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan, Jason Blum, Marc Bienstock, Ashwin Rajan
Mike Gioulakis
West Dylan Thordson

Thursday, January 10, 2019

Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)
link : Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)

Baca juga


Review

'How to Train Your Dragon 3' punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan.

“Its you and me bud. Always.”
— Hiccup
Rating UP:
Setelah sembilan tahun belajar cara melatih naga, jagoan kita, Hiccup (Jay Baruchel) tentu saja seharusnya sudah lulus; kalau tidak, yaa dropout karena sudah lewat dari standar 7-tahun-nya Kemristekdikti. Jadi sekarang sudah bukan soal melatih naga lagi. Maka, senang menjumpai bahwa How to Train Your Dragon 3 yang merupakan film terakhir dari franchisenya, benar-benar berperan sebagai penutup yang hakiki. Film ini memberikan kita momen dramatis, yang memang tak bisa dihindari, dengan (((cukup))) pas. Ia sekaligus juga memberi jawaban memuaskan soal kenapa manusia tak lagi menjumpai naga saat ini.


Sudah banyak yang berubah selama hampir satu dekade. Hiccup sudah jadi kepala suku Berk, melanjutkan tongkat estafet dari ayahnya. Brewoknya sudah mulai tumbuh. Ia juga harus siap melanjutkan hubungannya dengan Astrid (America Ferrerra) ke jenjang yang lebih jauh, soalnya Astrid pasti juga gak mau digantung terus. Naga peliharaan Hiccup, seekor Night Fury yang diberi nama Toothless, sudah menjadi naga alfa, yang membuatnya bisa memerintah naga mana pun. Satu hal yang membuat How to Train Your Dragon menarik dicermati adalah karena filmnya bertumbuh bersama karakter. Para jagoan kita bertambah dewasa, demikian pula dengan masalah mereka. Ceritanya dibangun dengan menyadari perubahan dalam rentang waktu yang panjang.

Di film pertama, Hiccup berhasil membuat sukunya hidup harmonis dengan naga, merubah mereka dari pemburu naga menjadi penjinak naga. Di film berikutnya, ia sukses mengatasi ancaman dari tim pemburu naga yang dipimpin si sadis Drago Bludvist dengan naga raksasanya. Setelah semua itu, apalagi coba konflik yang bakal dihadapi Hiccup dan Toothless? Kayaknya sih tak ada yang bisa lebih besar.

Itulah kenapa ancaman baru dari Grimmel the Grisly (F. Murray Abraham) tak begitu menggigit, padahal ia punya pasukan naga kalajengking yang bisa menyemburkan asam korosif dari mulut mereka. "Kamu belum pernah ketemu yang seperti aku," ujar Grimmel kepada Hiccup saat ia nyaris berhasil menculik Toothless. Namun kita serasa sudah pernah. Film ini butuh sesuatu untuk menggerakkan Hiccup dan sukunya dari kampung halaman mereka. Dan Grimmel hanyalah duri kecil yang bertugas untuk itu.

Tujuan mereka adalah surga dunia bagi para naga, tempat misterius yang bernama "Hidden World". Gak hidden-hidden banget sih, soalnya kita sudah bisa melihatnya dengan utuh di pertengahan film. Tapi saya tak akan komplain. "Hidden World" benar-benar surga visual; tempat yang dibangun dengan CGI mempesona, dihiasi dengan warna-warni neon yang menyilaukan mata. Kualitas gambar di film ketiga ini melewati semua yang pernah kita lihat di film pendahulunya. Detailnya luar biasa. Sutradara Dean DeBlois, yang terbang solo sejak film kedua, memanfaatkan kedinamisan mediumnya untuk memberikan sekuens aerial yang imersif.

Menemukan "Hidden World" bukan satu-satunya masalah Hiccup. Sobat karibnya, Toothless sedang kasmaran karena baru berjumpa dengan naga satu spesies yang diberi nama Light Fury. Kasmarannya sudah kronis, sampai Toothless harus menggelinjang tak karuan demi menarik perhatian sang gebetan. Ini membuat Hiccup tertinggal, dengan konflik batin yang Hiccup sendiri pun tak tahu. Tanpa Toothless, Hiccup ternyata menjadi protagonis yang tak begitu menarik. Disini saya menyadari bahwa Hiccup ini sebetulnya adalah karakter yang lumayan membosankan. Ia tak *uhuk* bergigi tanpa naganya.

Hal yang sama barangkali juga berlaku untuk karakter yang sudah kita kenal dari film-film sebelumnya. Kita berjumpa kembali dengan si kembar Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishleg (Christopher Mintz-Plasse), Gobber (Craig Ferguson), Eret (Kit Harrington), Snotlout (Jonah Hill), serta ibu Hiccup, Valka (Cate Blanchett). Mereka *benar-benar* terasa seperti karakter pendukung saja, entah itu untuk memperumit situasi atau sekadar ngelawak.

Namun barangkali itu bukan poin utamanya. Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah mekanika plot agar Hiccup bisa meninjau kembali hubungannya dengan Toothless. Film ini tak ragu-ragu untuk memberikan pernyataan realistis tentang bagaimana arti sesungguhnya dari peduli terhadap seseorang/sesuatu. Menatap tujuan baru dan merelakan yang telah berlalu. Tak begitu emosional, tapi film memolesnya dengan cara melandaskan konflik internal ini lewat flashback yang melibatkan Hiccup kecil dengan ayahnya Stoick (Gerard Butler).

Meski plotnya tak begitu mengikat, ada banyak hal yang sangat layak untuk disaksikan dari film ini, khususnya kualitas animasinya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski demikian, How to Train Your Dragon 3 pantas eksis bukan cuma karena alasan itu saja; ia punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

How to Train Your Dragon: The Hidden World

104 menit
Semua Umur - BO
Dean DeBlois
Dean DeBlois (screenplay), Cressida Cowell (buku)
Bonnie Arnold, Brad Lewis
John Powell

'How to Train Your Dragon 3' punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan.

“Its you and me bud. Always.”
— Hiccup
Rating UP:
Setelah sembilan tahun belajar cara melatih naga, jagoan kita, Hiccup (Jay Baruchel) tentu saja seharusnya sudah lulus; kalau tidak, yaa dropout karena sudah lewat dari standar 7-tahun-nya Kemristekdikti. Jadi sekarang sudah bukan soal melatih naga lagi. Maka, senang menjumpai bahwa How to Train Your Dragon 3 yang merupakan film terakhir dari franchisenya, benar-benar berperan sebagai penutup yang hakiki. Film ini memberikan kita momen dramatis, yang memang tak bisa dihindari, dengan (((cukup))) pas. Ia sekaligus juga memberi jawaban memuaskan soal kenapa manusia tak lagi menjumpai naga saat ini.


Sudah banyak yang berubah selama hampir satu dekade. Hiccup sudah jadi kepala suku Berk, melanjutkan tongkat estafet dari ayahnya. Brewoknya sudah mulai tumbuh. Ia juga harus siap melanjutkan hubungannya dengan Astrid (America Ferrerra) ke jenjang yang lebih jauh, soalnya Astrid pasti juga gak mau digantung terus. Naga peliharaan Hiccup, seekor Night Fury yang diberi nama Toothless, sudah menjadi naga alfa, yang membuatnya bisa memerintah naga mana pun. Satu hal yang membuat How to Train Your Dragon menarik dicermati adalah karena filmnya bertumbuh bersama karakter. Para jagoan kita bertambah dewasa, demikian pula dengan masalah mereka. Ceritanya dibangun dengan menyadari perubahan dalam rentang waktu yang panjang.

Di film pertama, Hiccup berhasil membuat sukunya hidup harmonis dengan naga, merubah mereka dari pemburu naga menjadi penjinak naga. Di film berikutnya, ia sukses mengatasi ancaman dari tim pemburu naga yang dipimpin si sadis Drago Bludvist dengan naga raksasanya. Setelah semua itu, apalagi coba konflik yang bakal dihadapi Hiccup dan Toothless? Kayaknya sih tak ada yang bisa lebih besar.

Itulah kenapa ancaman baru dari Grimmel the Grisly (F. Murray Abraham) tak begitu menggigit, padahal ia punya pasukan naga kalajengking yang bisa menyemburkan asam korosif dari mulut mereka. "Kamu belum pernah ketemu yang seperti aku," ujar Grimmel kepada Hiccup saat ia nyaris berhasil menculik Toothless. Namun kita serasa sudah pernah. Film ini butuh sesuatu untuk menggerakkan Hiccup dan sukunya dari kampung halaman mereka. Dan Grimmel hanyalah duri kecil yang bertugas untuk itu.

Tujuan mereka adalah surga dunia bagi para naga, tempat misterius yang bernama "Hidden World". Gak hidden-hidden banget sih, soalnya kita sudah bisa melihatnya dengan utuh di pertengahan film. Tapi saya tak akan komplain. "Hidden World" benar-benar surga visual; tempat yang dibangun dengan CGI mempesona, dihiasi dengan warna-warni neon yang menyilaukan mata. Kualitas gambar di film ketiga ini melewati semua yang pernah kita lihat di film pendahulunya. Detailnya luar biasa. Sutradara Dean DeBlois, yang terbang solo sejak film kedua, memanfaatkan kedinamisan mediumnya untuk memberikan sekuens aerial yang imersif.

Menemukan "Hidden World" bukan satu-satunya masalah Hiccup. Sobat karibnya, Toothless sedang kasmaran karena baru berjumpa dengan naga satu spesies yang diberi nama Light Fury. Kasmarannya sudah kronis, sampai Toothless harus menggelinjang tak karuan demi menarik perhatian sang gebetan. Ini membuat Hiccup tertinggal, dengan konflik batin yang Hiccup sendiri pun tak tahu. Tanpa Toothless, Hiccup ternyata menjadi protagonis yang tak begitu menarik. Disini saya menyadari bahwa Hiccup ini sebetulnya adalah karakter yang lumayan membosankan. Ia tak *uhuk* bergigi tanpa naganya.

Hal yang sama barangkali juga berlaku untuk karakter yang sudah kita kenal dari film-film sebelumnya. Kita berjumpa kembali dengan si kembar Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishleg (Christopher Mintz-Plasse), Gobber (Craig Ferguson), Eret (Kit Harrington), Snotlout (Jonah Hill), serta ibu Hiccup, Valka (Cate Blanchett). Mereka *benar-benar* terasa seperti karakter pendukung saja, entah itu untuk memperumit situasi atau sekadar ngelawak.

Namun barangkali itu bukan poin utamanya. Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah mekanika plot agar Hiccup bisa meninjau kembali hubungannya dengan Toothless. Film ini tak ragu-ragu untuk memberikan pernyataan realistis tentang bagaimana arti sesungguhnya dari peduli terhadap seseorang/sesuatu. Menatap tujuan baru dan merelakan yang telah berlalu. Tak begitu emosional, tapi film memolesnya dengan cara melandaskan konflik internal ini lewat flashback yang melibatkan Hiccup kecil dengan ayahnya Stoick (Gerard Butler).

Meski plotnya tak begitu mengikat, ada banyak hal yang sangat layak untuk disaksikan dari film ini, khususnya kualitas animasinya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski demikian, How to Train Your Dragon 3 pantas eksis bukan cuma karena alasan itu saja; ia punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

How to Train Your Dragon: The Hidden World

104 menit
Semua Umur - BO
Dean DeBlois
Dean DeBlois (screenplay), Cressida Cowell (buku)
Bonnie Arnold, Brad Lewis
John Powell

Saturday, January 5, 2019

Review Film: 'Green Book' (2018)

Review - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Biografi, Artikel Drama, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Green Book' (2018)
link : Review Film: 'Green Book' (2018)

Baca juga


Review

Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers

Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers