Showing posts with label Animasi. Show all posts
Showing posts with label Animasi. Show all posts

Wednesday, February 20, 2019

Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Fantasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)
link : Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)

Baca juga


Animasi

Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.

“There's no way I can stay at the same level, I'm at right now! I think I'd be all fired up!”
— Son Goku
Rating UP:
Dragon Ball Super: Broly menegur saya soal review (cenderung) negatif yang saya berikan buat Dragon Ball Z: Resurrection 'F'. Film ini mengingatkan saya kembali akan hakikat Dragon Ball. Manga karya Akira Toriyama tersebut dibuat untuk target yang sangat spesifik, dan film ini sendiri setia dengan hal itu. Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.


Manga Dragon Ball barangkali adalah manga shonen pertama yang punya kesuksesan spektakuler secara global. Namun yang lebih penting, Dragon Ball adalah bapaknya semua shonen yang kita jumpai sekarang. Kalau dirunut secara silsilah, Dragon Ball agaknya berada di posisi paling atas. Ia mempelopori semua karakteristik standar yang kita lihat di semua shonen: power-up dan pertarungan epik. Demi menghormati tradisi agar tetap lestari, semua isi Dragon Ball Super: Broly adalah soal itu.

Ingat bagaimana mayoritas karakternya bisa menambah kekuatan di berbagai tingkat Super Saiya, dimana mereka mengalami perubahan rambut mulai dari kuning, merah sampai biru? Saking banyak dan sudah sedemikian tingginya mode power-up terbaru, rasanya sudah tak ada yang lebih kuat daripada itu. Siapa sangka, film ini masih punya satu lagi.

Agar mode terkuat ini bisa keluar, tentu harus dipancing oleh musuh terkuat juga. Namanya Broly. Penggemar lama pasti kenal, karena ia pernah muncul dalam film ke-11, Dragon Ball Z: Broly - The Legendary Super Saiyan. Kisahnya relatif tak berhubungan langsung dengan Goku dkk, tapi berkat latar belakang yang dipermak langsung oleh Toriyama, Broly sekarang berada dalam kontinuitas cerita utama Dragon Ball.

Dengan ini, Toriyama juga berhasil menciptakan karakter paling keren dalam sejarah Dragon Ball. Broly adalah karakter superkuat (bahkan kekuatan mentahnya saja bisa melibas Goku dan Vegeta sekaligus) yang simpatik. Ia tak suka pamer kekuatan, apalagi bertarung *uhuk Goku dkk*. Alasannya duel semata-mata karena manipulasi dari ayahnya, Paragus, dan si jahat Frieza.

Awal mulanya adalah saat planet Saiya dijajah oleh Frieza. Frieza yang terancam oleh keberadaan manusia Saiya, memutuskan untuk menghancurkan planet tersebut beserta isinya. Goku dan Vegeta berhasil diselamatkan dengan dikirim ke bumi. Tapi sebelum itu, Broly bayi dan ayahnya sudah dikirim duluan ke planet terisolir bernama Vampa. Disana, Broly tumbuh menjadi manusia Saiya yang sangat tangguh. Sampai kemudian, Frieza menemukannya lalu mengutusnya ke bumi untuk duel melawan Goku.

Kehadiran Broly membawa kehancuran yang tak terbayangkan. Pertarungan antara tiga karakter superkuat ini (empat jika dihitung dengan Frieza yang nimbrung sebentar) cukup untuk memporak-porandakan bumi. Mereka adalah agen destruksi yang mampu mengubah antartika menjadi gunung berapi. Duel yang bahkan menembus dimensi. Saya sampai penasaran kenapa kok bumi gak kiamat-kiamat juga.

Saya tak akan merahasiakan jurus pamungkas dalam film ini. Sebab, pasti itu yang paling anda tunggu bukan? Lagipula, membicarakannya tentu tak sedahsyat menyaksikannya sendiri. Jurus tersebut adalah sesuatu bernama Gogeta, fusion antara Goku dan Vegeta. Nah, penggemar lama pasti sudah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya Gogeta muncul dalam saga Dragon Ball. Namun di film ini lah Toriyama akhirnya menempatkan Gogeta dalam kronologi resminya. Penampilannya sendiri diperlakukan sebagai pencapaian evolusi terkuat.

Saya tak perlu membeberkan akhir ceritanya karena anda pasti sudah tahu. Dragon Ball sepertinya memang tak punya cerita yang bisa diceritakan lagi. Jadi, yang kita dapatkan adalah fanservice belaka. Latar belakang yang sedikit merestrukturisasi mitologi Dragon Ball disini membuat film ini mudah dipahami oleh penonton yang bahkan cuma menyelesaikan satu semester jurusan Ilmu Perdragonballan. Separuh sisanya adalah hajar menghajar dengan energi tingkat tinggi. Buat saya, kalau ini terlalu lama juga jadi terasa sedikit melelahkan. Saya butuh sedikit drama.

*nyalain Liga Dangdut Indonesia* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dragon Ball Super: Broly

100 menit
Remaja
Tatsuya Nagamine
Akira Toriyama
Toei Animation
Norihito Sumitomo

Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.

“There's no way I can stay at the same level, I'm at right now! I think I'd be all fired up!”
— Son Goku
Rating UP:
Dragon Ball Super: Broly menegur saya soal review (cenderung) negatif yang saya berikan buat Dragon Ball Z: Resurrection 'F'. Film ini mengingatkan saya kembali akan hakikat Dragon Ball. Manga karya Akira Toriyama tersebut dibuat untuk target yang sangat spesifik, dan film ini sendiri setia dengan hal itu. Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.


Manga Dragon Ball barangkali adalah manga shonen pertama yang punya kesuksesan spektakuler secara global. Namun yang lebih penting, Dragon Ball adalah bapaknya semua shonen yang kita jumpai sekarang. Kalau dirunut secara silsilah, Dragon Ball agaknya berada di posisi paling atas. Ia mempelopori semua karakteristik standar yang kita lihat di semua shonen: power-up dan pertarungan epik. Demi menghormati tradisi agar tetap lestari, semua isi Dragon Ball Super: Broly adalah soal itu.

Ingat bagaimana mayoritas karakternya bisa menambah kekuatan di berbagai tingkat Super Saiya, dimana mereka mengalami perubahan rambut mulai dari kuning, merah sampai biru? Saking banyak dan sudah sedemikian tingginya mode power-up terbaru, rasanya sudah tak ada yang lebih kuat daripada itu. Siapa sangka, film ini masih punya satu lagi.

Agar mode terkuat ini bisa keluar, tentu harus dipancing oleh musuh terkuat juga. Namanya Broly. Penggemar lama pasti kenal, karena ia pernah muncul dalam film ke-11, Dragon Ball Z: Broly - The Legendary Super Saiyan. Kisahnya relatif tak berhubungan langsung dengan Goku dkk, tapi berkat latar belakang yang dipermak langsung oleh Toriyama, Broly sekarang berada dalam kontinuitas cerita utama Dragon Ball.

Dengan ini, Toriyama juga berhasil menciptakan karakter paling keren dalam sejarah Dragon Ball. Broly adalah karakter superkuat (bahkan kekuatan mentahnya saja bisa melibas Goku dan Vegeta sekaligus) yang simpatik. Ia tak suka pamer kekuatan, apalagi bertarung *uhuk Goku dkk*. Alasannya duel semata-mata karena manipulasi dari ayahnya, Paragus, dan si jahat Frieza.

Awal mulanya adalah saat planet Saiya dijajah oleh Frieza. Frieza yang terancam oleh keberadaan manusia Saiya, memutuskan untuk menghancurkan planet tersebut beserta isinya. Goku dan Vegeta berhasil diselamatkan dengan dikirim ke bumi. Tapi sebelum itu, Broly bayi dan ayahnya sudah dikirim duluan ke planet terisolir bernama Vampa. Disana, Broly tumbuh menjadi manusia Saiya yang sangat tangguh. Sampai kemudian, Frieza menemukannya lalu mengutusnya ke bumi untuk duel melawan Goku.

Kehadiran Broly membawa kehancuran yang tak terbayangkan. Pertarungan antara tiga karakter superkuat ini (empat jika dihitung dengan Frieza yang nimbrung sebentar) cukup untuk memporak-porandakan bumi. Mereka adalah agen destruksi yang mampu mengubah antartika menjadi gunung berapi. Duel yang bahkan menembus dimensi. Saya sampai penasaran kenapa kok bumi gak kiamat-kiamat juga.

Saya tak akan merahasiakan jurus pamungkas dalam film ini. Sebab, pasti itu yang paling anda tunggu bukan? Lagipula, membicarakannya tentu tak sedahsyat menyaksikannya sendiri. Jurus tersebut adalah sesuatu bernama Gogeta, fusion antara Goku dan Vegeta. Nah, penggemar lama pasti sudah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya Gogeta muncul dalam saga Dragon Ball. Namun di film ini lah Toriyama akhirnya menempatkan Gogeta dalam kronologi resminya. Penampilannya sendiri diperlakukan sebagai pencapaian evolusi terkuat.

Saya tak perlu membeberkan akhir ceritanya karena anda pasti sudah tahu. Dragon Ball sepertinya memang tak punya cerita yang bisa diceritakan lagi. Jadi, yang kita dapatkan adalah fanservice belaka. Latar belakang yang sedikit merestrukturisasi mitologi Dragon Ball disini membuat film ini mudah dipahami oleh penonton yang bahkan cuma menyelesaikan satu semester jurusan Ilmu Perdragonballan. Separuh sisanya adalah hajar menghajar dengan energi tingkat tinggi. Buat saya, kalau ini terlalu lama juga jadi terasa sedikit melelahkan. Saya butuh sedikit drama.

*nyalain Liga Dangdut Indonesia* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dragon Ball Super: Broly

100 menit
Remaja
Tatsuya Nagamine
Akira Toriyama
Toei Animation
Norihito Sumitomo

Wednesday, February 13, 2019

Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)
link : Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)

Baca juga


Animasi

Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama.

“It's like it knows our every move!”
— Lucy
Rating UP:
Dalam The Lego Movie 2: The Second Part, ada lagu baru yang merupakan versi plesetan dari lagu racun "Everything is Awesome"-nya The Lego Movie. Judulnya "Everything's Not Awesome". Saya tak tahu apakah ini memang sengaja dimaksudkan sebagai pengakuan akan kualitas filmnya dibandingkan film yang pertama, tapi yang jelas, saya menangkap potongan liriknya yang sangat ngeklik dengan hal tersebut:

♪ "Everything's not awesome. Things can't be awesome all of the time. It's not realistic expectation. But that doesn't mean we shouldn't try." ♪


Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama. Animasi yang dirilis di tahun 2014 tersebut sukses menghancurkan ekspektasi kita dengan menjadi film yang lucu, cerdas, dan hangat. Salah satu penyebabnya barangkali karena kitanya saja yang sudah berekspektasi duluan akan menyaksikan iklan lego sepanjang dua jam. Namun ternyata, lebih dari sekadar visual yang unik dan kreatif, The Lego Movie juga memperdaya kita dengan narasi dan pengungkapan yang dieksekusi dengan brilian.

Sekarang, kita sudah tahu cara main The Lego Movie. Tak ada lagi yang bisa membuat kita seterkejut dulu. Dan ya, ini menjadikan The Lego Movie 2 tak se-awesome The Lego Movie. Namun bukan berarti pembuat filmnya tak mencoba untuk menjadikannya awesome. Film ini bahkan menggali angle baru dari premisnya yang lalu, yang otomatis mengekspansi karakter dan semestanya menjadi lebih berwarna. Walau tak lagi terasa segar lagi, tapi ia masih fun.

Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, kita kembali ke Bricksburg. Kota Lego yang ceria ini diinvasi oleh alien imut tapi mematikan yang berasal dari planet Duplo. Bahkan pahlawan Lego Justice League tak bisa menangani ini (catatan: Lego Avengers tak memberi kabar). Lima tahu kemudian, Bricksburg berubah menjadi Apocalypseburg; reruntuhan gersang versi Lego dari Mad Max: Fury Road, lengkap dengan para karakter yang nyeleneh.

Jagoan kita, Emmett (Chris Pratt) masih seperti yang dulu kita kenal; polos dan penuh semangat. Tapi temannya, Lucy (Elizabeth Banks) berubah menjadi getir dan suram. Lucy suka menatap jauh ke depan dan berkontemplasi muram soal apa pun, bahkan soal kopi yang dibawa Emmett. Lucy bilang bahwa gak semua hal itu awesome dan cobalah dewasa dikit.

Tiba-tiba ada invasi lagi. Kali ini Jendral Mayhem (Stephanie Beatriz) berhasil menculik Lucy, Batman (Will Arnett), Unikitty (Alison Brie), MetalBeard (Nick Offerman), dan Spaceman Benny (Charlie Day). Emmett harus berjuang untuk menyelamatkan mereka ke Galaksi Sys-Tar, dimana Ratu Wateva Wan'abi (Tiffany Haddish) berencana untuk menikahi Batman. Untuk itu, Emmett untungnya dibantu oleh Rex Dangervest (juga disuarakan Pratt), jagoan yang sikapnya kebalikan dari Emmett. Macho, tangguh, dan percaya diri. Oh dan kebetulan ia juga space cowboy ala Star-Lord-nya Guardians of the Galaxy dan punya peliharaan velociraptor ala Owen Grady-nya Jurassic World.

Kebetulan yang gak disengaja.

Jadi... uhm, Bricksburg hancur... uhm, supaya Batman... mau nikah. Absurd memang. Tapi coba bayangkan dari sisi dunia nyata, dimana bocah yang punya Lego dari film pertama, Finn (Jadon Sand) disuruh main meladeni adiknya (Brooklyn Prince) yang punya mainan Duplo. Sama seperti film pertama, peristiwa di semesta Lego berlangsung paralel dengan dunia nyata. Anak cewek mana coba yang gak main nikah-nikahan? Ini membuka kesempatan bagi filmnya untuk menyajikan lebih banyak karakter, setpieces dan lelucon baru. Kapan lagi melihat Superman memotong rumput atau Batman memakai kostum berwarna putih?

Kreator film pertama, Phil Lord & Christopher Miller, kembali menangani film ini meski hanya sebatas penulis skrip, sementara posisi sutradara diambil alih oleh Mike Mitchell (Trolls). Mereka kembali memberikan pesan keluarga yang hangat soal pendewasaan tanpa melupakan kesenangan masa kanak-kanak. Kali ini soal adik-kakak, dimana Maya Rudolph bermain sebagai sang ibu. Namun hal ini tentu tak punya tohokan emosional sedahsyat film pertama. Dalam The Lego Movie 2, kita sudah tahu apa yang sedang dan bakal terjadi. Ini menimbulkan sedikit sensasi dragging dalam bercerita. 

Namun film ini juga punya semua yang mau dari sebuah sekuel The Lego Movie. Meski tak digarap langsung oleh tangan yang sama, ia tak lantas terasa lebih inferior secara teknis. Sekuens aksinya masih imajinatif. Dialog dan lelucon dilemparkan dengan gesit. Referensi budaya populer dan cameo bertebaran disana-sini. Di satu titik, Lucy harus kabur lewat saluran ventilasi, dan tebak ia ketemu siapa. Dan soal lagu. Film ini punya lebih banyak adegan musikal, terutama karena Ratu Wateva Wan'abi memang suka bernyanyi. Salah satunya adalah "Catchy Song" yang memang didesain untuk bersarang di kepala kita.

Semua ini fun. Namun tak lagi begitu mengejutkan; kita kurang lebih sudah melihat semuanya di film pertama. Petir tak menyambar di tempat yang sama dua kali walau sumber dan energinya sama. Kita bisa merasakan bahwa film ini dibuat dengan sangat telaten, lebih dari sekedar usaha gampangan untuk menjual merek. Hal ini membuatnya menjadi sekuel yang sangat pas untuk The Lego Movie pertama. Film ini enerjik, cerdik, dan punya pesan hangat. But yeah, things can't be awesome all of the time. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Movie 2: The Second Part

107 menit
Semua Umur - BO
Mike Mitchell
Phil Lord, Christopher Miller
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Roy Lee, Jinko Goto
Mark Mothersbaugh

Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama.

“It's like it knows our every move!”
— Lucy
Rating UP:
Dalam The Lego Movie 2: The Second Part, ada lagu baru yang merupakan versi plesetan dari lagu racun "Everything is Awesome"-nya The Lego Movie. Judulnya "Everything's Not Awesome". Saya tak tahu apakah ini memang sengaja dimaksudkan sebagai pengakuan akan kualitas filmnya dibandingkan film yang pertama, tapi yang jelas, saya menangkap potongan liriknya yang sangat ngeklik dengan hal tersebut:

♪ "Everything's not awesome. Things can't be awesome all of the time. It's not realistic expectation. But that doesn't mean we shouldn't try." ♪


Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama. Animasi yang dirilis di tahun 2014 tersebut sukses menghancurkan ekspektasi kita dengan menjadi film yang lucu, cerdas, dan hangat. Salah satu penyebabnya barangkali karena kitanya saja yang sudah berekspektasi duluan akan menyaksikan iklan lego sepanjang dua jam. Namun ternyata, lebih dari sekadar visual yang unik dan kreatif, The Lego Movie juga memperdaya kita dengan narasi dan pengungkapan yang dieksekusi dengan brilian.

Sekarang, kita sudah tahu cara main The Lego Movie. Tak ada lagi yang bisa membuat kita seterkejut dulu. Dan ya, ini menjadikan The Lego Movie 2 tak se-awesome The Lego Movie. Namun bukan berarti pembuat filmnya tak mencoba untuk menjadikannya awesome. Film ini bahkan menggali angle baru dari premisnya yang lalu, yang otomatis mengekspansi karakter dan semestanya menjadi lebih berwarna. Walau tak lagi terasa segar lagi, tapi ia masih fun.

Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, kita kembali ke Bricksburg. Kota Lego yang ceria ini diinvasi oleh alien imut tapi mematikan yang berasal dari planet Duplo. Bahkan pahlawan Lego Justice League tak bisa menangani ini (catatan: Lego Avengers tak memberi kabar). Lima tahu kemudian, Bricksburg berubah menjadi Apocalypseburg; reruntuhan gersang versi Lego dari Mad Max: Fury Road, lengkap dengan para karakter yang nyeleneh.

Jagoan kita, Emmett (Chris Pratt) masih seperti yang dulu kita kenal; polos dan penuh semangat. Tapi temannya, Lucy (Elizabeth Banks) berubah menjadi getir dan suram. Lucy suka menatap jauh ke depan dan berkontemplasi muram soal apa pun, bahkan soal kopi yang dibawa Emmett. Lucy bilang bahwa gak semua hal itu awesome dan cobalah dewasa dikit.

Tiba-tiba ada invasi lagi. Kali ini Jendral Mayhem (Stephanie Beatriz) berhasil menculik Lucy, Batman (Will Arnett), Unikitty (Alison Brie), MetalBeard (Nick Offerman), dan Spaceman Benny (Charlie Day). Emmett harus berjuang untuk menyelamatkan mereka ke Galaksi Sys-Tar, dimana Ratu Wateva Wan'abi (Tiffany Haddish) berencana untuk menikahi Batman. Untuk itu, Emmett untungnya dibantu oleh Rex Dangervest (juga disuarakan Pratt), jagoan yang sikapnya kebalikan dari Emmett. Macho, tangguh, dan percaya diri. Oh dan kebetulan ia juga space cowboy ala Star-Lord-nya Guardians of the Galaxy dan punya peliharaan velociraptor ala Owen Grady-nya Jurassic World.

Kebetulan yang gak disengaja.

Jadi... uhm, Bricksburg hancur... uhm, supaya Batman... mau nikah. Absurd memang. Tapi coba bayangkan dari sisi dunia nyata, dimana bocah yang punya Lego dari film pertama, Finn (Jadon Sand) disuruh main meladeni adiknya (Brooklyn Prince) yang punya mainan Duplo. Sama seperti film pertama, peristiwa di semesta Lego berlangsung paralel dengan dunia nyata. Anak cewek mana coba yang gak main nikah-nikahan? Ini membuka kesempatan bagi filmnya untuk menyajikan lebih banyak karakter, setpieces dan lelucon baru. Kapan lagi melihat Superman memotong rumput atau Batman memakai kostum berwarna putih?

Kreator film pertama, Phil Lord & Christopher Miller, kembali menangani film ini meski hanya sebatas penulis skrip, sementara posisi sutradara diambil alih oleh Mike Mitchell (Trolls). Mereka kembali memberikan pesan keluarga yang hangat soal pendewasaan tanpa melupakan kesenangan masa kanak-kanak. Kali ini soal adik-kakak, dimana Maya Rudolph bermain sebagai sang ibu. Namun hal ini tentu tak punya tohokan emosional sedahsyat film pertama. Dalam The Lego Movie 2, kita sudah tahu apa yang sedang dan bakal terjadi. Ini menimbulkan sedikit sensasi dragging dalam bercerita. 

Namun film ini juga punya semua yang mau dari sebuah sekuel The Lego Movie. Meski tak digarap langsung oleh tangan yang sama, ia tak lantas terasa lebih inferior secara teknis. Sekuens aksinya masih imajinatif. Dialog dan lelucon dilemparkan dengan gesit. Referensi budaya populer dan cameo bertebaran disana-sini. Di satu titik, Lucy harus kabur lewat saluran ventilasi, dan tebak ia ketemu siapa. Dan soal lagu. Film ini punya lebih banyak adegan musikal, terutama karena Ratu Wateva Wan'abi memang suka bernyanyi. Salah satunya adalah "Catchy Song" yang memang didesain untuk bersarang di kepala kita.

Semua ini fun. Namun tak lagi begitu mengejutkan; kita kurang lebih sudah melihat semuanya di film pertama. Petir tak menyambar di tempat yang sama dua kali walau sumber dan energinya sama. Kita bisa merasakan bahwa film ini dibuat dengan sangat telaten, lebih dari sekedar usaha gampangan untuk menjual merek. Hal ini membuatnya menjadi sekuel yang sangat pas untuk The Lego Movie pertama. Film ini enerjik, cerdik, dan punya pesan hangat. But yeah, things can't be awesome all of the time. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Movie 2: The Second Part

107 menit
Semua Umur - BO
Mike Mitchell
Phil Lord, Christopher Miller
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Roy Lee, Jinko Goto
Mark Mothersbaugh

Friday, February 8, 2019

Review Film: 'Mirai' (2018)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Keluarga, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Mirai' (2018)
link : Review Film: 'Mirai' (2018)

Baca juga


Animasi

Siapa pun yang menontonnya akan mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.

“Be nice to her, okay? ”
—Mum
Rating UP:
Mirai (atau dalam judul aslinya Mirai No Mirai) mungkin merupakan film paling menggemaskan tahun ini. Film ini secara konstan sukses memberikan senyum lebar di wajah saya yang lucu naudzubilah. Sutradara animasi handal dari Jepang, Mamoru Hosoda kembali memberikan film keluarga berbalut fantasi yang menjamin siapa pun yang menontonnya mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.


Semua film Hosoda adalah drama keluarga simpel yang dibungkus dalam kemasan fantasi yang anime banget. Namun Mirai adalah filmnya yang paling kecil. Sebagai perbandingan, kita harus meloncat kembali ke 2006 lewat film The Girl Who Leapt Through Time yang rasa-rasanya paling domestik dari semua film Hosoda, dan Mirai jauh lebih domestik daripada itu. Ceritanya hanya berkutat di satu keluarga kecil yang sederhana. Titik, tidak kemana-mana lagi. Namun berhubung ini adalah film Hosoda, tentu saja wajar kalau nantinya keajaiban akan terjadi dan waktu akan dibelokkan.

Mungkin ini karena kita hanya melihat dari sudut pandang karakter utamanya yang adalah seorang bocah berusia 4 tahun. Bagi anak umur segitu, keluarga memang adalah seluruh semesta. Namanya Kun (disuarakan oleh Moka Kamishiraishi). Sebagai anak tunggal, Kun merasa ia adalah pusat semesta; satu-satunya orang yang diperhatikan oleh ayah dan ibunya (Gen Hoshino dan Kumiko Aso). Sampai kemudian Kun kedatangan seorang adik bernama Mirai.

Dimadu itu sakit, sodara-sodara.

Kun berusaha caper dengan berantakin mainan, menangis, berteriak, berteriak sambil menangis, tapi ayah dan ibu lebih memperhatikan Mirai. Terlebih saat sang ibu sudah harus kembali masuk kerja. Sang ayah harus menjalankan kewajiban ganda; bekerja di rumah (ngomong-ngomong, ayah adalah seorang arsitek) sekaligus mengasuh dua anak. Kun makin dicuekin. Maka, Mirai berarti musuh. Dan melempar musuh dengan mainan bukanlah pantangan.

Sungguh, ini terlihat seperti keluarga muda mana pun yang punya anak rewel. Ralat, semua keluarga muda anaknya pasti rewel sih. Dalam filmnya yang lalu yang lebih ambisius, Hosoda terbukti punya keterampilan memberikan sekuens aksi yang spektakuler. Dan dalam film ini, ia dengan menakjubkan sukses menghadirkan dinamika keluarga yang sederhana dan intim. Kita bisa merasakan betapa hangatnya kelurga kecil ini.

Nah, keajaiban yang tadi saya bilang itu disini: di tengah rumah, ada sebuah taman yang bisa membawa Kun bertualang melintasi ruang dan waktu. Disini Kun berjumpa dengan beberapa orang dari masa yang berbeda. Yang pertama adalah anjingnya, Yukko (Mitsuo Yoshihara) yang rupanya bisa berubah menjadi manusia. Berikutnya, seorang anak SMP yang ternyata adalah Mirai dari masa depan (Haru Kuroki). Lalu, seorang pria macho misterius (Masaharu Fukuyama) yang mengajak Kun naik kuda dan sepeda motor. Dan seorang anak gadis seumuran Kun yang doyan berantakin rumah.

Tidak dijelaskan apakah ini benar-benar kejadian atau cuma imajinasi Kun saja. Hosoda mengemasnya dalam sekuens yang dreamy. Ini memang tak terasa sebagai sesuatu yang bisa diimajinasikan oleh anak-anak sungguhan di umur segitu. Namun poinnya adalah lewat perjumpaan ini Kun mendapat pelajaran soal bertumbuh besar dari berbagai generasi di keluarganya. Ada sebuah adegan menakjubkan di klimaks dimana Kun tersesat di sebuah stasiun raksasa. Ia berhasil bertemu dengan robot petugas stasiun, tapi terancam dibawa ke Negeri Kesendirian karena tak bisa mengingat satu pun nama anggota keluarganya.

Hosoda, yang kali ini memproduksi film hanya dengan studionya sendiri, Studio Chizu mengisi Mirai dengan detail yang sangat sangat menggemaskan. Animasinya terang, tajam, dan cantik. Setiap detail gerakan karakter sangat diperhatikan, dan tingkah polah dari para anak kecil di film ini sungguh terasa natural. Rumah dari keluarga ini merupakan karakter tersendiri yang terikat kuat dengan Kun, dan ia digambarkan dengan geografi yang jelas. Rumah modern yang minimalis ini terasa sangat hangat, membuat kita betah lama-lama berada disana.

Walau ceritanya didasarkan dengan kacamata anak-anak, saya tak tahu apakah Mirai betul-betul akan menarik bagi mereka dari segi esensi. Tentu, anak-anak bakal menikmati gambar dan animasinya yang lucu, tapi pesannya yang hangat soal keluarga barangkali belum akan mereka tangkap sepenuhnya. Saya merasa bahwa film ini lebih sebagai throwback bagi mantan anak-anak yang ingin bernostalgia dengan masa kanak-kanak. Ia mengingatkan kita kembali akan betapa berharganya keluarga lewat cara yang sederhana tapi sangat menyentuh.

Njiir, berasa udah bapak-bapak banget saya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Mirai

98 menit
Semua Umur
Mamoru Hosoda
Mamoru Hosoda
Nozomu Takahashi, Yūichirō Saitō, Takuya Itō, Yūichi Adachi, Genki Kawamura
Masakatsu Takagi

Siapa pun yang menontonnya akan mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.

“Be nice to her, okay? ”
—Mum
Rating UP:
Mirai (atau dalam judul aslinya Mirai No Mirai) mungkin merupakan film paling menggemaskan tahun ini. Film ini secara konstan sukses memberikan senyum lebar di wajah saya yang lucu naudzubilah. Sutradara animasi handal dari Jepang, Mamoru Hosoda kembali memberikan film keluarga berbalut fantasi yang menjamin siapa pun yang menontonnya mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.


Semua film Hosoda adalah drama keluarga simpel yang dibungkus dalam kemasan fantasi yang anime banget. Namun Mirai adalah filmnya yang paling kecil. Sebagai perbandingan, kita harus meloncat kembali ke 2006 lewat film The Girl Who Leapt Through Time yang rasa-rasanya paling domestik dari semua film Hosoda, dan Mirai jauh lebih domestik daripada itu. Ceritanya hanya berkutat di satu keluarga kecil yang sederhana. Titik, tidak kemana-mana lagi. Namun berhubung ini adalah film Hosoda, tentu saja wajar kalau nantinya keajaiban akan terjadi dan waktu akan dibelokkan.

Mungkin ini karena kita hanya melihat dari sudut pandang karakter utamanya yang adalah seorang bocah berusia 4 tahun. Bagi anak umur segitu, keluarga memang adalah seluruh semesta. Namanya Kun (disuarakan oleh Moka Kamishiraishi). Sebagai anak tunggal, Kun merasa ia adalah pusat semesta; satu-satunya orang yang diperhatikan oleh ayah dan ibunya (Gen Hoshino dan Kumiko Aso). Sampai kemudian Kun kedatangan seorang adik bernama Mirai.

Dimadu itu sakit, sodara-sodara.

Kun berusaha caper dengan berantakin mainan, menangis, berteriak, berteriak sambil menangis, tapi ayah dan ibu lebih memperhatikan Mirai. Terlebih saat sang ibu sudah harus kembali masuk kerja. Sang ayah harus menjalankan kewajiban ganda; bekerja di rumah (ngomong-ngomong, ayah adalah seorang arsitek) sekaligus mengasuh dua anak. Kun makin dicuekin. Maka, Mirai berarti musuh. Dan melempar musuh dengan mainan bukanlah pantangan.

Sungguh, ini terlihat seperti keluarga muda mana pun yang punya anak rewel. Ralat, semua keluarga muda anaknya pasti rewel sih. Dalam filmnya yang lalu yang lebih ambisius, Hosoda terbukti punya keterampilan memberikan sekuens aksi yang spektakuler. Dan dalam film ini, ia dengan menakjubkan sukses menghadirkan dinamika keluarga yang sederhana dan intim. Kita bisa merasakan betapa hangatnya kelurga kecil ini.

Nah, keajaiban yang tadi saya bilang itu disini: di tengah rumah, ada sebuah taman yang bisa membawa Kun bertualang melintasi ruang dan waktu. Disini Kun berjumpa dengan beberapa orang dari masa yang berbeda. Yang pertama adalah anjingnya, Yukko (Mitsuo Yoshihara) yang rupanya bisa berubah menjadi manusia. Berikutnya, seorang anak SMP yang ternyata adalah Mirai dari masa depan (Haru Kuroki). Lalu, seorang pria macho misterius (Masaharu Fukuyama) yang mengajak Kun naik kuda dan sepeda motor. Dan seorang anak gadis seumuran Kun yang doyan berantakin rumah.

Tidak dijelaskan apakah ini benar-benar kejadian atau cuma imajinasi Kun saja. Hosoda mengemasnya dalam sekuens yang dreamy. Ini memang tak terasa sebagai sesuatu yang bisa diimajinasikan oleh anak-anak sungguhan di umur segitu. Namun poinnya adalah lewat perjumpaan ini Kun mendapat pelajaran soal bertumbuh besar dari berbagai generasi di keluarganya. Ada sebuah adegan menakjubkan di klimaks dimana Kun tersesat di sebuah stasiun raksasa. Ia berhasil bertemu dengan robot petugas stasiun, tapi terancam dibawa ke Negeri Kesendirian karena tak bisa mengingat satu pun nama anggota keluarganya.

Hosoda, yang kali ini memproduksi film hanya dengan studionya sendiri, Studio Chizu mengisi Mirai dengan detail yang sangat sangat menggemaskan. Animasinya terang, tajam, dan cantik. Setiap detail gerakan karakter sangat diperhatikan, dan tingkah polah dari para anak kecil di film ini sungguh terasa natural. Rumah dari keluarga ini merupakan karakter tersendiri yang terikat kuat dengan Kun, dan ia digambarkan dengan geografi yang jelas. Rumah modern yang minimalis ini terasa sangat hangat, membuat kita betah lama-lama berada disana.

Walau ceritanya didasarkan dengan kacamata anak-anak, saya tak tahu apakah Mirai betul-betul akan menarik bagi mereka dari segi esensi. Tentu, anak-anak bakal menikmati gambar dan animasinya yang lucu, tapi pesannya yang hangat soal keluarga barangkali belum akan mereka tangkap sepenuhnya. Saya merasa bahwa film ini lebih sebagai throwback bagi mantan anak-anak yang ingin bernostalgia dengan masa kanak-kanak. Ia mengingatkan kita kembali akan betapa berharganya keluarga lewat cara yang sederhana tapi sangat menyentuh.

Njiir, berasa udah bapak-bapak banget saya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Mirai

98 menit
Semua Umur
Mamoru Hosoda
Mamoru Hosoda
Nozomu Takahashi, Yūichirō Saitō, Takuya Itō, Yūichi Adachi, Genki Kawamura
Masakatsu Takagi

Thursday, January 10, 2019

Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)
link : Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)

Baca juga


Animasi

'How to Train Your Dragon 3' punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan.

“Its you and me bud. Always.”
— Hiccup
Rating UP:
Setelah sembilan tahun belajar cara melatih naga, jagoan kita, Hiccup (Jay Baruchel) tentu saja seharusnya sudah lulus; kalau tidak, yaa dropout karena sudah lewat dari standar 7-tahun-nya Kemristekdikti. Jadi sekarang sudah bukan soal melatih naga lagi. Maka, senang menjumpai bahwa How to Train Your Dragon 3 yang merupakan film terakhir dari franchisenya, benar-benar berperan sebagai penutup yang hakiki. Film ini memberikan kita momen dramatis, yang memang tak bisa dihindari, dengan (((cukup))) pas. Ia sekaligus juga memberi jawaban memuaskan soal kenapa manusia tak lagi menjumpai naga saat ini.


Sudah banyak yang berubah selama hampir satu dekade. Hiccup sudah jadi kepala suku Berk, melanjutkan tongkat estafet dari ayahnya. Brewoknya sudah mulai tumbuh. Ia juga harus siap melanjutkan hubungannya dengan Astrid (America Ferrerra) ke jenjang yang lebih jauh, soalnya Astrid pasti juga gak mau digantung terus. Naga peliharaan Hiccup, seekor Night Fury yang diberi nama Toothless, sudah menjadi naga alfa, yang membuatnya bisa memerintah naga mana pun. Satu hal yang membuat How to Train Your Dragon menarik dicermati adalah karena filmnya bertumbuh bersama karakter. Para jagoan kita bertambah dewasa, demikian pula dengan masalah mereka. Ceritanya dibangun dengan menyadari perubahan dalam rentang waktu yang panjang.

Di film pertama, Hiccup berhasil membuat sukunya hidup harmonis dengan naga, merubah mereka dari pemburu naga menjadi penjinak naga. Di film berikutnya, ia sukses mengatasi ancaman dari tim pemburu naga yang dipimpin si sadis Drago Bludvist dengan naga raksasanya. Setelah semua itu, apalagi coba konflik yang bakal dihadapi Hiccup dan Toothless? Kayaknya sih tak ada yang bisa lebih besar.

Itulah kenapa ancaman baru dari Grimmel the Grisly (F. Murray Abraham) tak begitu menggigit, padahal ia punya pasukan naga kalajengking yang bisa menyemburkan asam korosif dari mulut mereka. "Kamu belum pernah ketemu yang seperti aku," ujar Grimmel kepada Hiccup saat ia nyaris berhasil menculik Toothless. Namun kita serasa sudah pernah. Film ini butuh sesuatu untuk menggerakkan Hiccup dan sukunya dari kampung halaman mereka. Dan Grimmel hanyalah duri kecil yang bertugas untuk itu.

Tujuan mereka adalah surga dunia bagi para naga, tempat misterius yang bernama "Hidden World". Gak hidden-hidden banget sih, soalnya kita sudah bisa melihatnya dengan utuh di pertengahan film. Tapi saya tak akan komplain. "Hidden World" benar-benar surga visual; tempat yang dibangun dengan CGI mempesona, dihiasi dengan warna-warni neon yang menyilaukan mata. Kualitas gambar di film ketiga ini melewati semua yang pernah kita lihat di film pendahulunya. Detailnya luar biasa. Sutradara Dean DeBlois, yang terbang solo sejak film kedua, memanfaatkan kedinamisan mediumnya untuk memberikan sekuens aerial yang imersif.

Menemukan "Hidden World" bukan satu-satunya masalah Hiccup. Sobat karibnya, Toothless sedang kasmaran karena baru berjumpa dengan naga satu spesies yang diberi nama Light Fury. Kasmarannya sudah kronis, sampai Toothless harus menggelinjang tak karuan demi menarik perhatian sang gebetan. Ini membuat Hiccup tertinggal, dengan konflik batin yang Hiccup sendiri pun tak tahu. Tanpa Toothless, Hiccup ternyata menjadi protagonis yang tak begitu menarik. Disini saya menyadari bahwa Hiccup ini sebetulnya adalah karakter yang lumayan membosankan. Ia tak *uhuk* bergigi tanpa naganya.

Hal yang sama barangkali juga berlaku untuk karakter yang sudah kita kenal dari film-film sebelumnya. Kita berjumpa kembali dengan si kembar Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishleg (Christopher Mintz-Plasse), Gobber (Craig Ferguson), Eret (Kit Harrington), Snotlout (Jonah Hill), serta ibu Hiccup, Valka (Cate Blanchett). Mereka *benar-benar* terasa seperti karakter pendukung saja, entah itu untuk memperumit situasi atau sekadar ngelawak.

Namun barangkali itu bukan poin utamanya. Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah mekanika plot agar Hiccup bisa meninjau kembali hubungannya dengan Toothless. Film ini tak ragu-ragu untuk memberikan pernyataan realistis tentang bagaimana arti sesungguhnya dari peduli terhadap seseorang/sesuatu. Menatap tujuan baru dan merelakan yang telah berlalu. Tak begitu emosional, tapi film memolesnya dengan cara melandaskan konflik internal ini lewat flashback yang melibatkan Hiccup kecil dengan ayahnya Stoick (Gerard Butler).

Meski plotnya tak begitu mengikat, ada banyak hal yang sangat layak untuk disaksikan dari film ini, khususnya kualitas animasinya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski demikian, How to Train Your Dragon 3 pantas eksis bukan cuma karena alasan itu saja; ia punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

How to Train Your Dragon: The Hidden World

104 menit
Semua Umur - BO
Dean DeBlois
Dean DeBlois (screenplay), Cressida Cowell (buku)
Bonnie Arnold, Brad Lewis
John Powell

'How to Train Your Dragon 3' punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan.

“Its you and me bud. Always.”
— Hiccup
Rating UP:
Setelah sembilan tahun belajar cara melatih naga, jagoan kita, Hiccup (Jay Baruchel) tentu saja seharusnya sudah lulus; kalau tidak, yaa dropout karena sudah lewat dari standar 7-tahun-nya Kemristekdikti. Jadi sekarang sudah bukan soal melatih naga lagi. Maka, senang menjumpai bahwa How to Train Your Dragon 3 yang merupakan film terakhir dari franchisenya, benar-benar berperan sebagai penutup yang hakiki. Film ini memberikan kita momen dramatis, yang memang tak bisa dihindari, dengan (((cukup))) pas. Ia sekaligus juga memberi jawaban memuaskan soal kenapa manusia tak lagi menjumpai naga saat ini.


Sudah banyak yang berubah selama hampir satu dekade. Hiccup sudah jadi kepala suku Berk, melanjutkan tongkat estafet dari ayahnya. Brewoknya sudah mulai tumbuh. Ia juga harus siap melanjutkan hubungannya dengan Astrid (America Ferrerra) ke jenjang yang lebih jauh, soalnya Astrid pasti juga gak mau digantung terus. Naga peliharaan Hiccup, seekor Night Fury yang diberi nama Toothless, sudah menjadi naga alfa, yang membuatnya bisa memerintah naga mana pun. Satu hal yang membuat How to Train Your Dragon menarik dicermati adalah karena filmnya bertumbuh bersama karakter. Para jagoan kita bertambah dewasa, demikian pula dengan masalah mereka. Ceritanya dibangun dengan menyadari perubahan dalam rentang waktu yang panjang.

Di film pertama, Hiccup berhasil membuat sukunya hidup harmonis dengan naga, merubah mereka dari pemburu naga menjadi penjinak naga. Di film berikutnya, ia sukses mengatasi ancaman dari tim pemburu naga yang dipimpin si sadis Drago Bludvist dengan naga raksasanya. Setelah semua itu, apalagi coba konflik yang bakal dihadapi Hiccup dan Toothless? Kayaknya sih tak ada yang bisa lebih besar.

Itulah kenapa ancaman baru dari Grimmel the Grisly (F. Murray Abraham) tak begitu menggigit, padahal ia punya pasukan naga kalajengking yang bisa menyemburkan asam korosif dari mulut mereka. "Kamu belum pernah ketemu yang seperti aku," ujar Grimmel kepada Hiccup saat ia nyaris berhasil menculik Toothless. Namun kita serasa sudah pernah. Film ini butuh sesuatu untuk menggerakkan Hiccup dan sukunya dari kampung halaman mereka. Dan Grimmel hanyalah duri kecil yang bertugas untuk itu.

Tujuan mereka adalah surga dunia bagi para naga, tempat misterius yang bernama "Hidden World". Gak hidden-hidden banget sih, soalnya kita sudah bisa melihatnya dengan utuh di pertengahan film. Tapi saya tak akan komplain. "Hidden World" benar-benar surga visual; tempat yang dibangun dengan CGI mempesona, dihiasi dengan warna-warni neon yang menyilaukan mata. Kualitas gambar di film ketiga ini melewati semua yang pernah kita lihat di film pendahulunya. Detailnya luar biasa. Sutradara Dean DeBlois, yang terbang solo sejak film kedua, memanfaatkan kedinamisan mediumnya untuk memberikan sekuens aerial yang imersif.

Menemukan "Hidden World" bukan satu-satunya masalah Hiccup. Sobat karibnya, Toothless sedang kasmaran karena baru berjumpa dengan naga satu spesies yang diberi nama Light Fury. Kasmarannya sudah kronis, sampai Toothless harus menggelinjang tak karuan demi menarik perhatian sang gebetan. Ini membuat Hiccup tertinggal, dengan konflik batin yang Hiccup sendiri pun tak tahu. Tanpa Toothless, Hiccup ternyata menjadi protagonis yang tak begitu menarik. Disini saya menyadari bahwa Hiccup ini sebetulnya adalah karakter yang lumayan membosankan. Ia tak *uhuk* bergigi tanpa naganya.

Hal yang sama barangkali juga berlaku untuk karakter yang sudah kita kenal dari film-film sebelumnya. Kita berjumpa kembali dengan si kembar Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishleg (Christopher Mintz-Plasse), Gobber (Craig Ferguson), Eret (Kit Harrington), Snotlout (Jonah Hill), serta ibu Hiccup, Valka (Cate Blanchett). Mereka *benar-benar* terasa seperti karakter pendukung saja, entah itu untuk memperumit situasi atau sekadar ngelawak.

Namun barangkali itu bukan poin utamanya. Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah mekanika plot agar Hiccup bisa meninjau kembali hubungannya dengan Toothless. Film ini tak ragu-ragu untuk memberikan pernyataan realistis tentang bagaimana arti sesungguhnya dari peduli terhadap seseorang/sesuatu. Menatap tujuan baru dan merelakan yang telah berlalu. Tak begitu emosional, tapi film memolesnya dengan cara melandaskan konflik internal ini lewat flashback yang melibatkan Hiccup kecil dengan ayahnya Stoick (Gerard Butler).

Meski plotnya tak begitu mengikat, ada banyak hal yang sangat layak untuk disaksikan dari film ini, khususnya kualitas animasinya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski demikian, How to Train Your Dragon 3 pantas eksis bukan cuma karena alasan itu saja; ia punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

How to Train Your Dragon: The Hidden World

104 menit
Semua Umur - BO
Dean DeBlois
Dean DeBlois (screenplay), Cressida Cowell (buku)
Bonnie Arnold, Brad Lewis
John Powell

Friday, June 15, 2018

Review Film: 'Incredibles 2' (2018)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Incredibles 2' (2018)
link : Review Film: 'Incredibles 2' (2018)

Baca juga


Animasi

'Incredibles 2' dengan mudahnya menjadi salah satu film superhero terbaik saat ini.

“Parenting, when done right, can be a heroic act.”
— Edna Mode
Rating UP:
Beberapa tahun sebelum dunia sinema diserbu film superhero, The Incredibles sudah hadir duluan sebagai film superhero yang tak cuma seru tapi juga relevan. Sekarang saat film superhero sudah hadir serutin cuitan Fadli Zon, Incredibles 2 dengan mudahnya menjadi salah satu dari beberapa film superhero terbaik. Oke, mungkin tidak seistimewa yang pertama, tapi hampir.


Sebelumnya, sutradara/penulis skrip The Incredibles, Brad Bird pernah bilang bahwa ia takkan membuat sekuel kalau tak punya cerita. Well, ia sekarang sudah punya cerita. Tak baru sih, makanya sensasi menontonnya tak segress dulu. Meski demikian, film ini juga bukan replay belaka. Idenya relatif masih sama, mengeskplorasi keseimbangan (atau malah ketidakseimbangan?) antara kehidupan keluarga dan kehidupan superhero, namun presentasinya segar dan sangat menghibur. Filmnya tak pernah terasa tumpul.

Kalau anda masih ingat, di akhir The Incredibles keluarga pahlawan kita membuktikan bahwa superhero memang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Namun ternyata ini baru wacana belaka, sebab di Incredibles 2, kehadiran mereka masih dinilai ilegal. Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, film ini dimulai dengan aksi keluarga Incredibles yang berusaha mengatasi villain bernama Underminer yang mengebor kota dengan mesin bor raksasa. Aksi sang penjahat berhasil dihentikan, tapi tindakan heroik mereka menimbulkan banyak kerusakan yang tentu saja tak direspon baik oleh pemerintah.

Namun masih ada pihak yang percaya pada superhero. Mereka adalah kakak beradik Winston dan Evelyn Deavor (Bob Odenkirk dan Catherine Keener). Mereka ingin membuat superhero kembali keren, dan caranya adalah lewat metode yang sudah teruji menggiring opini publik di Indonesia sejak tahun 2004, yakni kampanye. Dengan memasangkan kamera pada superhero maka masyarakat bisa melihat semua detil dari aksi heroik lalu mengapresiasinya. Agen kampanye yang mereka mau pastinya bukan Bob alias Mr Incredible (Craig T. Nelson) yang suka hajar sana-sini, melainkan Helen alias Elastigirl (Holly Hunter) yang mampu bekerja dengan sangat efektif.

Ini membuat Helen berada di garda terdepan dalam memberantas kejahatan, sementara Bob mau tak mau harus mengurus rumah tangga. Dan mengurus rumah tangga ternyata tak segampang itu; ia jadi superpenat dan kurang tidur. Si anak sulung, Violet (Sarah Vowell) tengah labil-labilnya, gusar karena sang gebetan lupa dengan namanya. Dash (Huck Milner) bermasalah dengan Matematika—hei, siapa yang tidak. Dan Jack-Jack... hmm, mengasuh bayi normal saja sudah bikin belingsatan, apalagi bayi yang bisa menembakkan laser, melayang, berpindah dimensi, mengeluarkan api, dan berubah jadi setan ungu.

Menyaksikan hiruk-pikuk rumah tangga keluarga superhero ini merupakan hiburan tersendiri. Film bahkan punya semacam segmen khusus bagi Jack-Jack untuk memamerkan kekuatannya lewat pertarungan epik dengan seekor rakun pengeruk sampah di belakang rumah—ini lucu dan jujur saja sedikit menakutkan. Namun di bagian yang berbeda, kita bisa melihat aksi khas film superhero lewat misi Elastigirl yang menyuguhkan tak cuma satu tapi setidaknya tiga sekuens aksi terbaik dan paling kinetik yang pernah saya lihat dalam film-film superhero belakangan ini.

Adegan-adegan tersebut adalah jenis adegan yang cuma bisa dipakai dalam film animasi. Dalam live-action ini akan jadi konyol, sebab Elastigirl memanfaatkan fleksibilitas tubuhnya jauh melewati batas yang bisa kita bayangkan. Imajinasi Bird menggila dalam mengkreasi probabilitas macam ini. Termasuk nanti saat muncul beberapa superhero baru yang punya kemampuan unik, diantaranya Voyd yang bisa bikin portal-kemana-saja, serta kawan lama keluarga Incredibles, Frozone (Samuel L. Jackson). Skala sekuens aksinya spektakuler, dan Bird mampu menyajikannya dengan keterampilan yang sedemikan rupa sehingga terasa mulus dan tetap menegangkan.

Ancaman paling membahayakan bagi keluarga Incredibles —selain gagal menidurkan bayi super yang hiperaktif— berasal dari villain berjuluk Screenslaver, yang sesuai namanya, bisa memperbudak orang dengan cara menghipnotis lewat layar apapun. Penjahat ini geram dengan masyarakat kekinian yang lebih suka menatap layar menyaksikan orang lain berbuat sesuatu daripada benar-benar melakukan sesuatu.

Sebentar, ini maksudnya apa? Nyindir?

Inilah kekuatan spesial yang diperlihatkan Bird dan juga studio Pixar sejak di The Incredibles, dan kemudian di Incredibles 2. Lewat animasi yang menawan, lelucon yang gurih, dan pengisi suara yang brilian, ia dengan cerdas menyelipkan beberapa isu-isu yang subversif tanpa terasa kentara atau mengganggu momentum film. Bagian-bagian ini, tentu saja, bakal lebih nampol bagi ayah dan ibu. Namun ada lebih dari cukup bagian seru yang akan membuat anak-anak kepincut. Sedangkan bagi anggota keluarga yang lain, film ini punya pertunjukan dinamika keluarga yang sangat asyik dan memikat. Tak sulit bagi saya untuk merekomendasikan film "paling keluarga" tahun ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Incredibles 2

118 menit
Semua Umur - BO
Brad Bird
Brad Bird
John Walker, Nicole Paradis Grindle
Michael Giacchino

'Incredibles 2' dengan mudahnya menjadi salah satu film superhero terbaik saat ini.

“Parenting, when done right, can be a heroic act.”
— Edna Mode
Rating UP:
Beberapa tahun sebelum dunia sinema diserbu film superhero, The Incredibles sudah hadir duluan sebagai film superhero yang tak cuma seru tapi juga relevan. Sekarang saat film superhero sudah hadir serutin cuitan Fadli Zon, Incredibles 2 dengan mudahnya menjadi salah satu dari beberapa film superhero terbaik. Oke, mungkin tidak seistimewa yang pertama, tapi hampir.


Sebelumnya, sutradara/penulis skrip The Incredibles, Brad Bird pernah bilang bahwa ia takkan membuat sekuel kalau tak punya cerita. Well, ia sekarang sudah punya cerita. Tak baru sih, makanya sensasi menontonnya tak segress dulu. Meski demikian, film ini juga bukan replay belaka. Idenya relatif masih sama, mengeskplorasi keseimbangan (atau malah ketidakseimbangan?) antara kehidupan keluarga dan kehidupan superhero, namun presentasinya segar dan sangat menghibur. Filmnya tak pernah terasa tumpul.

Kalau anda masih ingat, di akhir The Incredibles keluarga pahlawan kita membuktikan bahwa superhero memang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Namun ternyata ini baru wacana belaka, sebab di Incredibles 2, kehadiran mereka masih dinilai ilegal. Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, film ini dimulai dengan aksi keluarga Incredibles yang berusaha mengatasi villain bernama Underminer yang mengebor kota dengan mesin bor raksasa. Aksi sang penjahat berhasil dihentikan, tapi tindakan heroik mereka menimbulkan banyak kerusakan yang tentu saja tak direspon baik oleh pemerintah.

Namun masih ada pihak yang percaya pada superhero. Mereka adalah kakak beradik Winston dan Evelyn Deavor (Bob Odenkirk dan Catherine Keener). Mereka ingin membuat superhero kembali keren, dan caranya adalah lewat metode yang sudah teruji menggiring opini publik di Indonesia sejak tahun 2004, yakni kampanye. Dengan memasangkan kamera pada superhero maka masyarakat bisa melihat semua detil dari aksi heroik lalu mengapresiasinya. Agen kampanye yang mereka mau pastinya bukan Bob alias Mr Incredible (Craig T. Nelson) yang suka hajar sana-sini, melainkan Helen alias Elastigirl (Holly Hunter) yang mampu bekerja dengan sangat efektif.

Ini membuat Helen berada di garda terdepan dalam memberantas kejahatan, sementara Bob mau tak mau harus mengurus rumah tangga. Dan mengurus rumah tangga ternyata tak segampang itu; ia jadi superpenat dan kurang tidur. Si anak sulung, Violet (Sarah Vowell) tengah labil-labilnya, gusar karena sang gebetan lupa dengan namanya. Dash (Huck Milner) bermasalah dengan Matematika—hei, siapa yang tidak. Dan Jack-Jack... hmm, mengasuh bayi normal saja sudah bikin belingsatan, apalagi bayi yang bisa menembakkan laser, melayang, berpindah dimensi, mengeluarkan api, dan berubah jadi setan ungu.

Menyaksikan hiruk-pikuk rumah tangga keluarga superhero ini merupakan hiburan tersendiri. Film bahkan punya semacam segmen khusus bagi Jack-Jack untuk memamerkan kekuatannya lewat pertarungan epik dengan seekor rakun pengeruk sampah di belakang rumah—ini lucu dan jujur saja sedikit menakutkan. Namun di bagian yang berbeda, kita bisa melihat aksi khas film superhero lewat misi Elastigirl yang menyuguhkan tak cuma satu tapi setidaknya tiga sekuens aksi terbaik dan paling kinetik yang pernah saya lihat dalam film-film superhero belakangan ini.

Adegan-adegan tersebut adalah jenis adegan yang cuma bisa dipakai dalam film animasi. Dalam live-action ini akan jadi konyol, sebab Elastigirl memanfaatkan fleksibilitas tubuhnya jauh melewati batas yang bisa kita bayangkan. Imajinasi Bird menggila dalam mengkreasi probabilitas macam ini. Termasuk nanti saat muncul beberapa superhero baru yang punya kemampuan unik, diantaranya Voyd yang bisa bikin portal-kemana-saja, serta kawan lama keluarga Incredibles, Frozone (Samuel L. Jackson). Skala sekuens aksinya spektakuler, dan Bird mampu menyajikannya dengan keterampilan yang sedemikan rupa sehingga terasa mulus dan tetap menegangkan.

Ancaman paling membahayakan bagi keluarga Incredibles —selain gagal menidurkan bayi super yang hiperaktif— berasal dari villain berjuluk Screenslaver, yang sesuai namanya, bisa memperbudak orang dengan cara menghipnotis lewat layar apapun. Penjahat ini geram dengan masyarakat kekinian yang lebih suka menatap layar menyaksikan orang lain berbuat sesuatu daripada benar-benar melakukan sesuatu.

Sebentar, ini maksudnya apa? Nyindir?

Inilah kekuatan spesial yang diperlihatkan Bird dan juga studio Pixar sejak di The Incredibles, dan kemudian di Incredibles 2. Lewat animasi yang menawan, lelucon yang gurih, dan pengisi suara yang brilian, ia dengan cerdas menyelipkan beberapa isu-isu yang subversif tanpa terasa kentara atau mengganggu momentum film. Bagian-bagian ini, tentu saja, bakal lebih nampol bagi ayah dan ibu. Namun ada lebih dari cukup bagian seru yang akan membuat anak-anak kepincut. Sedangkan bagi anggota keluarga yang lain, film ini punya pertunjukan dinamika keluarga yang sangat asyik dan memikat. Tak sulit bagi saya untuk merekomendasikan film "paling keluarga" tahun ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Incredibles 2

118 menit
Semua Umur - BO
Brad Bird
Brad Bird
John Walker, Nicole Paradis Grindle
Michael Giacchino

Sunday, October 15, 2017

Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Musikal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)
link : Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)

Baca juga


Animasi

Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.

“We've got this together.”
— Twilight Sparkle
Rating UP:
Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.


Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.

Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.

Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.

Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.

Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).

Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.

Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.

Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

My Little Pony: The Movie

104 menit
Semua Umur - BO
Jayson Thiessen
Meghan McCarthy, Rita Hsiao, Michael Vogel (screenplay), Lauren Faust (serial)
Brian Goldner, Stephen Davis, Marcia Gwendolyn Jones, Haven Alexander
Anthony Di Ninno
Daniel Ingram

Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.

“We've got this together.”
— Twilight Sparkle
Rating UP:
Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.


Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.

Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.

Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.

Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.

Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).

Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.

Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.

Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

My Little Pony: The Movie

104 menit
Semua Umur - BO
Jayson Thiessen
Meghan McCarthy, Rita Hsiao, Michael Vogel (screenplay), Lauren Faust (serial)
Brian Goldner, Stephen Davis, Marcia Gwendolyn Jones, Haven Alexander
Anthony Di Ninno
Daniel Ingram

Thursday, September 21, 2017

Review Film: 'The Lego Ninjago Movie' (2017)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Lego Ninjago Movie' (2017)
link : Review Film: 'The Lego Ninjago Movie' (2017)

Baca juga


Animasi

Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan.

“That's not true! I haven't even been a part of your life, how could I ruin it? I wasn't even there.”
— Garmadon
Rating UP:
The Lego Ninjago Movie membuktikan bahwa sebuah film Lego, dengan formulanya yang unik, ternyata bisa juga gagal. Tiga tahun lalu, The Lego Movie membalikkan ekspektasi semua orang dengan menjadi film yang cerdas, lucu, dan menarik, terlepas dari materi aslinya yang cuma sekadar mainan blok buat anak-anak. Ninjago sama-sama punya karakter yang menarik, setpieces yang spektakuler, dan celutukan yang absurd. Bahkan lebih. Maksud saya, ada ninja dan mecha lho. Namun sebagian besar bagiannya tak lagi ngeklik dengan pas.


Sebenarnya, ini semua hanyalah cerita yang dikarang oleh Jackie Chan kepada seorang anak yang nyelonong masuk toko sovenirnya di sebuah daerah pecinan. Memangnya di Cina ada ninja ya? Tak usah dipikirkan. Lagipula, Ninjago sebenarnya tak terlalu berhubungan dengan ninja, tapi lebih mirip dengan Power Rangers. Para jagoan kita memakai kostum warna-warni untuk menyembunyikan identitasnya, lalu bertarung menumpas kejahatan dengan bantuan robot raksasa yang mereka kendalikan sendiri. Dan sama kota di Power Rangers, kota Ninjago diserang secara rutin oleh penjahat. Kaya minum susu, minimal sehari sekali.

Penjahat utamanya adalah Lord Garmadon (Justin Theroux), megalomaniak mirip Darth Vader tapi punya empat tangan. Tujuannya tentu saja untuk menguasai kota Ninjago dan cara terbaik untuk itu adalah, seperti halnya metode semua penjahat di film apapun, dengan menghancurkannya. Bersama dengan belasan anak buahnya, ia tinggal di gunung tak jauh dari pantai kota Ninjago. Sedemikian dekat hingga warga kota bisa meledeknya saat ia berhasil dikalahkan oleh para jagoan Ninjago.

Para Ninjago kita punya karakteristik tersendiri sesuai dengan elemen yang menjadi gaya silat mereka: ninja merah berelemen api Kai (Michael Pena), ninja abu-abu berelemen air Nya (Abbi Jacobson), ninja biru berelemen petir Jay (Kumail Nanjiani), ninja hitam berelemen bumi Cole (Fred Armisen), ninja putih berelemen es yang juga seorang android Zane (Zach Woods). Tokoh utama kita, ninja hijau Lloyd (Dave Franco) mendapat elemen, uhm, hijau. Mereka semua beraksi di bawah bimbingan Master Wu (Jackie Chan).

Satu hal patut diketahui adalah Lloyd sebenarnya anak dari Garmadon. Di sekolah, Lloyd kerap di-bully kawan sekelas karena statusnya sebagai anak penjahat terkeji sepanjang masa. Namun ketika memakai kostum ninja hijau, ia adalah pahlawan yang dielu-elukan oleh warga desa. Garmadon sendiri tak tahu dengan fakta ini dan menganggap ninja hijau sebagai musuh bebuyutannya.

Nah, sekarang kita akan membicarakan kucing, bukan kucing Lego melainkan kucing sungguhan, yang sudah dimunculkan sejak trailernya. Di satu titik, kucing ini datang dan memporak-porandakan kota Ninjago layaknya seekor Kaiju. Penyebabnya gara-gara Lloyd yang tak sengaja menggunakan “senjata pamungkas”. Bagi anak-anak, saat seekor peliharaan mengacaukan arena permainan, itu bikin kzl. Bagi orang dewasa, itu menghibur. Bagi warga Lego, sebuah bencana besar. Mungkin hanya inilah satu-satunya hal yang kreatif dari film Ninjago.

Jadi, para jagoan Ninjago kita harus melakukan petualangan untuk mencari “senjata pamungkasnya pamungkas” sembari menemukan kekuatan mereka sebagai tim, uhm, atau mungkin bakal lebih menarik jika mengenai isu ayah-anak antara Lloyd dan Garmadon? Penulis filmnya lebih suka opsi terakhir. Yang sebenarnya tak masalah bagi saya, hanya saja: (1) The Lego Movie sudah melakukannya dengan lebih baik, lagipula (2) untuk apa memasukkan banyak karakter pendukung yang menarik hanya untuk disia-siakan sebagai peramai pesta belaka? Para ninja yang lain hanya menjadi dekorasi. Meski penampilan pengisi suaranya solid, energi dan timing leluconnya seringkali kurang pas sehingga terdengar garing. Begitu pula dengan semestanya yang terkesan sempit dan tak imajinatif jika dibandingkan dengan semesta The Lego Movie atau The Lego Batman Movie.

Ninjago ini kok ya jadi mirip-mirip dengan Transformers. Mecha-nya yang keren terlihat spektakuler dan ketika beraksi dalam render stop-motion khas Lego tampak lebih epik lagi. Namun pengadeganannya begitu riuh, jadinya malah terlihat berantakan dan sulit dicerna kekerenannya. Akan tetapi, saya yakin ini sudah cukup untuk membuat penonton anak-anak nekat memaksa orangtua mereka membelikan robot-robotan Ninjago. Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Ninjago Movie

101 menit
Semua Umur
Charlie Bean, Paul Fisher, Bob Logan
Bob Logan, Paul Fisher, William Wheeler, Tom Wheeler, Jared Stern, John Whittington
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Chris McKay, Maryann Garger Roy Lee
Mark Mothersbaugh

Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan.

“That's not true! I haven't even been a part of your life, how could I ruin it? I wasn't even there.”
— Garmadon
Rating UP:
The Lego Ninjago Movie membuktikan bahwa sebuah film Lego, dengan formulanya yang unik, ternyata bisa juga gagal. Tiga tahun lalu, The Lego Movie membalikkan ekspektasi semua orang dengan menjadi film yang cerdas, lucu, dan menarik, terlepas dari materi aslinya yang cuma sekadar mainan blok buat anak-anak. Ninjago sama-sama punya karakter yang menarik, setpieces yang spektakuler, dan celutukan yang absurd. Bahkan lebih. Maksud saya, ada ninja dan mecha lho. Namun sebagian besar bagiannya tak lagi ngeklik dengan pas.


Sebenarnya, ini semua hanyalah cerita yang dikarang oleh Jackie Chan kepada seorang anak yang nyelonong masuk toko sovenirnya di sebuah daerah pecinan. Memangnya di Cina ada ninja ya? Tak usah dipikirkan. Lagipula, Ninjago sebenarnya tak terlalu berhubungan dengan ninja, tapi lebih mirip dengan Power Rangers. Para jagoan kita memakai kostum warna-warni untuk menyembunyikan identitasnya, lalu bertarung menumpas kejahatan dengan bantuan robot raksasa yang mereka kendalikan sendiri. Dan sama kota di Power Rangers, kota Ninjago diserang secara rutin oleh penjahat. Kaya minum susu, minimal sehari sekali.

Penjahat utamanya adalah Lord Garmadon (Justin Theroux), megalomaniak mirip Darth Vader tapi punya empat tangan. Tujuannya tentu saja untuk menguasai kota Ninjago dan cara terbaik untuk itu adalah, seperti halnya metode semua penjahat di film apapun, dengan menghancurkannya. Bersama dengan belasan anak buahnya, ia tinggal di gunung tak jauh dari pantai kota Ninjago. Sedemikian dekat hingga warga kota bisa meledeknya saat ia berhasil dikalahkan oleh para jagoan Ninjago.

Para Ninjago kita punya karakteristik tersendiri sesuai dengan elemen yang menjadi gaya silat mereka: ninja merah berelemen api Kai (Michael Pena), ninja abu-abu berelemen air Nya (Abbi Jacobson), ninja biru berelemen petir Jay (Kumail Nanjiani), ninja hitam berelemen bumi Cole (Fred Armisen), ninja putih berelemen es yang juga seorang android Zane (Zach Woods). Tokoh utama kita, ninja hijau Lloyd (Dave Franco) mendapat elemen, uhm, hijau. Mereka semua beraksi di bawah bimbingan Master Wu (Jackie Chan).

Satu hal patut diketahui adalah Lloyd sebenarnya anak dari Garmadon. Di sekolah, Lloyd kerap di-bully kawan sekelas karena statusnya sebagai anak penjahat terkeji sepanjang masa. Namun ketika memakai kostum ninja hijau, ia adalah pahlawan yang dielu-elukan oleh warga desa. Garmadon sendiri tak tahu dengan fakta ini dan menganggap ninja hijau sebagai musuh bebuyutannya.

Nah, sekarang kita akan membicarakan kucing, bukan kucing Lego melainkan kucing sungguhan, yang sudah dimunculkan sejak trailernya. Di satu titik, kucing ini datang dan memporak-porandakan kota Ninjago layaknya seekor Kaiju. Penyebabnya gara-gara Lloyd yang tak sengaja menggunakan “senjata pamungkas”. Bagi anak-anak, saat seekor peliharaan mengacaukan arena permainan, itu bikin kzl. Bagi orang dewasa, itu menghibur. Bagi warga Lego, sebuah bencana besar. Mungkin hanya inilah satu-satunya hal yang kreatif dari film Ninjago.

Jadi, para jagoan Ninjago kita harus melakukan petualangan untuk mencari “senjata pamungkasnya pamungkas” sembari menemukan kekuatan mereka sebagai tim, uhm, atau mungkin bakal lebih menarik jika mengenai isu ayah-anak antara Lloyd dan Garmadon? Penulis filmnya lebih suka opsi terakhir. Yang sebenarnya tak masalah bagi saya, hanya saja: (1) The Lego Movie sudah melakukannya dengan lebih baik, lagipula (2) untuk apa memasukkan banyak karakter pendukung yang menarik hanya untuk disia-siakan sebagai peramai pesta belaka? Para ninja yang lain hanya menjadi dekorasi. Meski penampilan pengisi suaranya solid, energi dan timing leluconnya seringkali kurang pas sehingga terdengar garing. Begitu pula dengan semestanya yang terkesan sempit dan tak imajinatif jika dibandingkan dengan semesta The Lego Movie atau The Lego Batman Movie.

Ninjago ini kok ya jadi mirip-mirip dengan Transformers. Mecha-nya yang keren terlihat spektakuler dan ketika beraksi dalam render stop-motion khas Lego tampak lebih epik lagi. Namun pengadeganannya begitu riuh, jadinya malah terlihat berantakan dan sulit dicerna kekerenannya. Akan tetapi, saya yakin ini sudah cukup untuk membuat penonton anak-anak nekat memaksa orangtua mereka membelikan robot-robotan Ninjago. Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Ninjago Movie

101 menit
Semua Umur
Charlie Bean, Paul Fisher, Bob Logan
Bob Logan, Paul Fisher, William Wheeler, Tom Wheeler, Jared Stern, John Whittington
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Chris McKay, Maryann Garger Roy Lee
Mark Mothersbaugh

Tuesday, August 15, 2017

Review Film: 'Cars 3' (2017)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Cars 3' (2017)
link : Review Film: 'Cars 3' (2017)

Baca juga


Animasi

Lightning McQueen membawa 'Cars 3' kembali ke arena, dan saya tak pernah se-enjoy ini menonton film 'Cars'.

“Life is a beach, and then you drive.”
— Lightning McQueen
Sekarang kita sudah berada di film ketiga dari franchise Cars, jadi saya pikir kita semua sudah belajar untuk menerima kenyataan, terlepas dari pertanyaan kenapa di semesta ini mobil-mobil bertingkah layaknya manusia, kenapa tak ada manusia yang tampak apalagi yang mengendarai mobil, atau bagaimana bos Pixar, John Lasseter bisa punya ide untuk membuat film tentang mobil yang bisa bicara. Oh, atau kenapa traktor menjadi hewan ternak bagi mobil, padahal traktor juga termasuk mobil. Iya, itu konyol. Namun Cars 3 adalah film Cars yang next-level. Kali ini jagoan kita dihadapkan pada problematika yang relevan dimana ia harus merengkuh masa lalu untuk bisa mengalahkan tantangan masa depan di dunia balap mobil.

Saya senang saat tahu bahwa Pixar kembali menempatkan Lightning McQueen (Owen Wilson) di jalur fitrahnya: trek balap. Meski di beberapa titik cukup menikmati kekonyolan McQueen dkk beraksi di dunia mata-mata dalam Cars 2, saya tak bisa menghilangkan perasaan bahwa itu bukanlah sesuatu yang seharusnya dilakukan McQueen. Lebih senang lagi ketika mendapati bahwa Cars 3 akhirnya merapat ke jalur Pixar, sort of; menyajikan kisah yang meyampaikan pesan yang bermakna yang akan membuat kita kepikiran sembari menonton. Ada sesuatu mengenai penerimaan diri dan adaptasi terhadap perubahan yang mengalir dengan subtil, namun filmnya tetap simpel dan ceria.


Lightning McQueen sekarang sudah menjadi legenda balap, dimana ia melesat di arena melewati pesaingnya sembari meledek mereka. Siap untuk menjadi yang pertama sampai di garis finis, tapi tunggu dulu — ia hanya berada di podium kedua. McQueen dikalahkan di saat-saat terakhir oleh mobil mewah, canggih, generasi terbaru bernama Jackson Storm (Armie Hammer). Giliran McQueen yang diledek karena ia adalah produk lama yang sudah ketinggalan jaman. Pembalap di generasi Storm bisa berlari di kecepatan 320 km/jam tanpa kesulitan, sementara McQueen hanyalah mantan jawara bermesin tua.

Apakah ini sudah waktunya untuk pensiun? Tidak juga, karena McQueen siap menggeber mesinnya lebih keras. Naasnya, dalam sebuah sekuens yang spektakuler, ia mengalami kecelakaan parah. Ia pulang kandang ke Radiator Spring. Apakah ini sudah waktunya untuk pensiun? Masih belum, karena McQueen mendapat satu kesempatan terakhir dari sponsor barunya, konglomerat bernama Sterling (Nathan Fillion). Sterling adalah penggemar berat McQueen, tapi ia juga seorang pebisnis. Jadi ia membuat kesepakatan: jika kalah, McQueen harus pensiun dan siap menjadi duta endorsement dari produk mobil milik Sterling.

Cars 3 adalah soal jaman yang sudah semakin berkembang dan bagaimana attitude kita terhadapnya. Tetap statis dan tak berubah tidaklah cukup, karena kita akan ditinggalkan oleh perubahan itu sendiri. McQueen tahu harus beradaptasi, tapi ia tak begitu siap untuk mencoba alat simulator yang disediakan di fasilitas canggih milik Sterling. McQueen memutuskan untuk melakukannya dengan “cara lama”, yaitu langsung turun ke jalanan yang penuh lumpur dan kerikil. Literally.

Film ini adalah debut bagi animator dan storyboard artist veteran di Pixar, Brian Fee. Fee menyajikan animasi yang detail dan, saya yakin, tetap sangat menarik bagi anak-anak. Sekuens latihan balap di pantai yang sangat cerah, misalnya. Kontras dengan itu, McQueen bergelap-gelapan (karena berlumur lumpur dan waktunya adalah malam hari) saat ikut dalam adu mobil semacam kontes Crush Gear bagi Cars. Adegan flashback juga membawa kita melihat footage jadul saat mentor McQueen, Doc Hudson balapan di sirkuit tanah.

Di fasilitas pelatihan, McQueen mendapat pelatih Cruz (Cristela Alonzo) yang penuh semangat, namun kerap memperlakukannya sebagai mobil jompo, alih-alih legenda hidup. McQueen membawa kabur Cruz untuk ikut dalam pelatihan “cara lama”-nya, tapi Cruz tak sedemikian kompeten dalam hal balapan berkotor-kotoran. Perlahan-lahan, saya mulai heran akan apa yang ingin dituju film ini. Di satu titik, saya merasa McQueen-lah yang mengajari Cruz. Dan akhirnya menjelang balapan akhir, semua menjadi jelas: adaptasi bagi McQueen tak seperti yang saya duga. Klimaksnya yang tak bisa dibilang super-emosional tapi sampai dengan memuaskan ini, relatif mengejutkan untuk ukuran film yang ditujukan khusus untuk anak-anak.

Tanpa bermaksud untuk mengungkap poin penting, film ini adalah mengenai guru dan murid. McQueen butuh mentor tapi Doc sudah tiada. Karakter yang diisikan suaranya oleh mendiang Paul Newman ini hanya muncul dalam flashback, tapi krusial dalam membawa narasi film. McQueen pergi ke kampung halaman Doc, kemudian bertemu dengan mentor Doc, Smokey (Chris Cooper), dan di satu momen yang menarik, juga bersua dengan para mantan legenda balap yang sedang nongkrong. Sementara itu, hubungan McQueen-Cruz semakin mirip dengan hubungan Doc-McQueen. Ternyata Cruz sendiri juga bermimpi menjadi pembalap, tapi ia tak percaya diri di industri ini. McQueen pribadi tak bisa lagi hanya bergantung pada kejayaan masa lalu, ia harus melesat ke depan.

Cars 3 adalah film yang ringan tapi berisi, dan tak terbatas untuk anak-anak (atau orang dewasa dengan semangat anak-anak) saja. Dengan durasi yang singkat dan plot yang sederhana, pacing-nya mantap. Pelajarannya mungkin akan lebih beresonansi bagi orang dewasa, tapi saya takkan komplain karena saya memang tak hanya sekedar ingin melihat mobil saling ber-bruum-bruum ria sampai durasi berakhir. Memang tak ada bagian yang akan membuat saraf emosi anda trauma sebagaimana beberapa film luar biasa Pixar, tapi saya tak pernah sefokus dan se-enjoy ini menonton film-film Cars.

Catatan: Cars 3 dibuka dengan film pendek berjudul Lou, tentang seorang tukang bully sekolah yang akhirnya mendapat pelajaran. Pesan moralnya sangat bagus, tapi tak secerdas Sanjay’s Super Team dalam bercerita. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cars 3

109 menit
Semua Umur
Brian Fee
Kiel Murray, Bob Peterson, Mike Rich
Kevin Reher
Jeremy Lasky, Kim White
Randy Newman

Lightning McQueen membawa 'Cars 3' kembali ke arena, dan saya tak pernah se-enjoy ini menonton film 'Cars'.

“Life is a beach, and then you drive.”
— Lightning McQueen
Sekarang kita sudah berada di film ketiga dari franchise Cars, jadi saya pikir kita semua sudah belajar untuk menerima kenyataan, terlepas dari pertanyaan kenapa di semesta ini mobil-mobil bertingkah layaknya manusia, kenapa tak ada manusia yang tampak apalagi yang mengendarai mobil, atau bagaimana bos Pixar, John Lasseter bisa punya ide untuk membuat film tentang mobil yang bisa bicara. Oh, atau kenapa traktor menjadi hewan ternak bagi mobil, padahal traktor juga termasuk mobil. Iya, itu konyol. Namun Cars 3 adalah film Cars yang next-level. Kali ini jagoan kita dihadapkan pada problematika yang relevan dimana ia harus merengkuh masa lalu untuk bisa mengalahkan tantangan masa depan di dunia balap mobil.

Saya senang saat tahu bahwa Pixar kembali menempatkan Lightning McQueen (Owen Wilson) di jalur fitrahnya: trek balap. Meski di beberapa titik cukup menikmati kekonyolan McQueen dkk beraksi di dunia mata-mata dalam Cars 2, saya tak bisa menghilangkan perasaan bahwa itu bukanlah sesuatu yang seharusnya dilakukan McQueen. Lebih senang lagi ketika mendapati bahwa Cars 3 akhirnya merapat ke jalur Pixar, sort of; menyajikan kisah yang meyampaikan pesan yang bermakna yang akan membuat kita kepikiran sembari menonton. Ada sesuatu mengenai penerimaan diri dan adaptasi terhadap perubahan yang mengalir dengan subtil, namun filmnya tetap simpel dan ceria.


Lightning McQueen sekarang sudah menjadi legenda balap, dimana ia melesat di arena melewati pesaingnya sembari meledek mereka. Siap untuk menjadi yang pertama sampai di garis finis, tapi tunggu dulu — ia hanya berada di podium kedua. McQueen dikalahkan di saat-saat terakhir oleh mobil mewah, canggih, generasi terbaru bernama Jackson Storm (Armie Hammer). Giliran McQueen yang diledek karena ia adalah produk lama yang sudah ketinggalan jaman. Pembalap di generasi Storm bisa berlari di kecepatan 320 km/jam tanpa kesulitan, sementara McQueen hanyalah mantan jawara bermesin tua.

Apakah ini sudah waktunya untuk pensiun? Tidak juga, karena McQueen siap menggeber mesinnya lebih keras. Naasnya, dalam sebuah sekuens yang spektakuler, ia mengalami kecelakaan parah. Ia pulang kandang ke Radiator Spring. Apakah ini sudah waktunya untuk pensiun? Masih belum, karena McQueen mendapat satu kesempatan terakhir dari sponsor barunya, konglomerat bernama Sterling (Nathan Fillion). Sterling adalah penggemar berat McQueen, tapi ia juga seorang pebisnis. Jadi ia membuat kesepakatan: jika kalah, McQueen harus pensiun dan siap menjadi duta endorsement dari produk mobil milik Sterling.

Cars 3 adalah soal jaman yang sudah semakin berkembang dan bagaimana attitude kita terhadapnya. Tetap statis dan tak berubah tidaklah cukup, karena kita akan ditinggalkan oleh perubahan itu sendiri. McQueen tahu harus beradaptasi, tapi ia tak begitu siap untuk mencoba alat simulator yang disediakan di fasilitas canggih milik Sterling. McQueen memutuskan untuk melakukannya dengan “cara lama”, yaitu langsung turun ke jalanan yang penuh lumpur dan kerikil. Literally.

Film ini adalah debut bagi animator dan storyboard artist veteran di Pixar, Brian Fee. Fee menyajikan animasi yang detail dan, saya yakin, tetap sangat menarik bagi anak-anak. Sekuens latihan balap di pantai yang sangat cerah, misalnya. Kontras dengan itu, McQueen bergelap-gelapan (karena berlumur lumpur dan waktunya adalah malam hari) saat ikut dalam adu mobil semacam kontes Crush Gear bagi Cars. Adegan flashback juga membawa kita melihat footage jadul saat mentor McQueen, Doc Hudson balapan di sirkuit tanah.

Di fasilitas pelatihan, McQueen mendapat pelatih Cruz (Cristela Alonzo) yang penuh semangat, namun kerap memperlakukannya sebagai mobil jompo, alih-alih legenda hidup. McQueen membawa kabur Cruz untuk ikut dalam pelatihan “cara lama”-nya, tapi Cruz tak sedemikian kompeten dalam hal balapan berkotor-kotoran. Perlahan-lahan, saya mulai heran akan apa yang ingin dituju film ini. Di satu titik, saya merasa McQueen-lah yang mengajari Cruz. Dan akhirnya menjelang balapan akhir, semua menjadi jelas: adaptasi bagi McQueen tak seperti yang saya duga. Klimaksnya yang tak bisa dibilang super-emosional tapi sampai dengan memuaskan ini, relatif mengejutkan untuk ukuran film yang ditujukan khusus untuk anak-anak.

Tanpa bermaksud untuk mengungkap poin penting, film ini adalah mengenai guru dan murid. McQueen butuh mentor tapi Doc sudah tiada. Karakter yang diisikan suaranya oleh mendiang Paul Newman ini hanya muncul dalam flashback, tapi krusial dalam membawa narasi film. McQueen pergi ke kampung halaman Doc, kemudian bertemu dengan mentor Doc, Smokey (Chris Cooper), dan di satu momen yang menarik, juga bersua dengan para mantan legenda balap yang sedang nongkrong. Sementara itu, hubungan McQueen-Cruz semakin mirip dengan hubungan Doc-McQueen. Ternyata Cruz sendiri juga bermimpi menjadi pembalap, tapi ia tak percaya diri di industri ini. McQueen pribadi tak bisa lagi hanya bergantung pada kejayaan masa lalu, ia harus melesat ke depan.

Cars 3 adalah film yang ringan tapi berisi, dan tak terbatas untuk anak-anak (atau orang dewasa dengan semangat anak-anak) saja. Dengan durasi yang singkat dan plot yang sederhana, pacing-nya mantap. Pelajarannya mungkin akan lebih beresonansi bagi orang dewasa, tapi saya takkan komplain karena saya memang tak hanya sekedar ingin melihat mobil saling ber-bruum-bruum ria sampai durasi berakhir. Memang tak ada bagian yang akan membuat saraf emosi anda trauma sebagaimana beberapa film luar biasa Pixar, tapi saya tak pernah sefokus dan se-enjoy ini menonton film-film Cars.

Catatan: Cars 3 dibuka dengan film pendek berjudul Lou, tentang seorang tukang bully sekolah yang akhirnya mendapat pelajaran. Pesan moralnya sangat bagus, tapi tak secerdas Sanjay’s Super Team dalam bercerita. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cars 3

109 menit
Semua Umur
Brian Fee
Kiel Murray, Bob Peterson, Mike Rich
Kevin Reher
Jeremy Lasky, Kim White
Randy Newman

Friday, August 11, 2017

Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)
link : Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)

Baca juga


Animasi

'The Emoji Movie' bukan film yang *poop emoji*, melainkan hanya film yang *meh emoji*.

“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion!”
— Gene
Emoji memang berfungsi untuk membumbui komunikasi teks agar lebih ekspresif, bisa menyampaikan emosi dengan lebih sigap dan simpel daripada mengetik teks panjang lebar. Namun setiap emoji hanya berlaku untuk satu ekspresi. Emoji "Cry" dipakai untuk ekspresi sedih. "Blush" untuk tersipu. "Angry" untuk marah. "Laughing" untuk tertawa. Dan "Meh" cocok digunakan ketika kita tak terkesan. Entah itu saat mendengar tren baru yang tak kita pahami darimana hebohnya (Fidget Spinner, misalnya), dikirimi lelucon khas grup WA keluarga, atau saat menonton film The Emoji Movie.

The Emoji Movie, yang sudah dirilis 2 minggu lebih awal di Amerika, mendapat prediket buruk sebagai salah satu film sampah yang pernah dibuat. Saya tak melebih-lebihkan, silakan baca review luar negeri. Telah menontonnya sendiri, saya pikir film ini tak seburuk itu. Tapi saya juga tak bilang ini film yang bagus. The Emoji Movie bukan film yang 💩, melainkan hanya film yang 😒. Filmnya cuma membosankan dan malas saja.


Saya tak bisa menyalahkan anak-anak yang sangat-sangat kecil yang kemungkinan besar akan menikmati film ini sebagai hiburan ringan. Filmnya berisi apa yang mereka suka: warna-warni mencolok dan animasi hiperaktif. Namun The Emoji Movie hanya bermain di permukaan. Filmnya tak menawarkan sesuatu yang benar-benar kreatif atau greget. Leluconnya sangat basic, pembangunan semestanya tak imajinatif, dan plotnya relatif predictable. Filmnya terlalu dangkal dan cenderung bodoh di era dimana film animasi sudah berada di level lebih tinggi. Jika anda pikir anda bisa menebak plotnya hanya dengan mendengar premisnya, maka kemungkinan besar tebakan anda benar.

Nah, coba yang ini. Di dalam sebuah aplikasi perpesanan dalam smartphone, ada kota Textopolis yang populasinya diisi oleh semua emoji. Tugas mereka masing-masing adalah mengekspresikan satu emosi, yang akan di-scan oleh aplikasi kemudian dikirim oleh pemilik smartphone. Tapi Gene (TJ Miller), sebuah emoji "Meh" punya banyak ekspresi, tak seperti emoji normal. Jadi apa yang akan dia lakukan? Tentu saja, melakukan perjalanan untuk mencari jati diri. Tak lengkap jika ia tak ditemani satu teman sebagai tukang ngelawak: Hi-5 (James Corden), dan satu teman lagi yang rasional tapi dalam hal ini sedikit rebel: Jailbreak (Anna Faris).

Sembari menonton, pikiran saya menerawang. Pemilik smartphone ini adalah remaja tanggung bernama Alex (Jake T. Austin) yang selalu ragu saat ingin mengirim emoji kepada gebetannya, Addie (Tati Gabrielle). Karena film hanya berlangsung di smartphone Alex, saya jadi penasaran bagaimana suasana Textopolis di smartphone orang lain. Saat emoji yang dikirim sampai ke smartphone penerima, apa yang terjadi disana? Mungkin tak terjadi apa-apa kali ya, karena di Textopolis Alex tak ada keanehan semacam itu. Entah karena memang mekanikanya begitu, atau justru Alex yang tak pernah mendapat kiriman emoji dari orang lain. Puk puk.

Gene membuat kekacauan saat terlalu grogi sampai menampilkan ekspresi gado-gado saat dikirim Alex. Ini memancing amarah diktator negeri emoji, Smiler (Maya Rudolph) sehingga ia mengutus bot antivirus untuk melenyapkan Gene. Premis film mengijinkan karakter kita berpindah-pindah dari satu area ke area lain. Jika Wreck-It Ralph menyuguhkan set-pieces variatif yang imajinatif, di The Emoji Movie saya curiga ini merupakan promosi komersial untuk beberapa aplikasi. Gene harus menjadi pemain —sebagai candy— di Candy Crush. Gene mengajarkan Jailbreak berdansa di game Just Dance. Di satu momen, mereka berlayar di Spotify (cause it's STREAMING, get it?). Dan tujuan mereka adalah cloud milik aplikasi Dropbox yang "bebas malware dan aman". Ada satu lagi karakter dari aplikasi berlogo burung yang menjadi penyelamat. Bukan, bukan Traveloka.

Film ini tak sedemikian beracun sampai memaksa saya mencuci mata sehabis menonton. Tapi cukup membuat saya menguap berkali-kali. Pembuat The Emoji Movie tak mengisi filmnya dengan humor berbobot, gaya visual, atau perspektif narasi segar yang membuat kita terikat. Kentara sekali film ini adalah produk rapat eksekutif yang oportunis. Sasarannya plot dan humor gampangan. Emoji "Poop" yang dimainkan oleh Yang Terhormat Patrick Stewart punya permainan kata tentang eek yang akan lebih mengena dalam bahasa Inggris. Lalu, apa yang dilakukan emoji "Monkey" yang berpakaian jas? "Monkey business", tentu saja. Hi-5 terutama, terjebak dalam running-gag mengenai memakan muntahan kembali. Dan ngomong-ngomong, film ini dibuka dengan film pendek dari Hotel Transylvania yang berjudul "Puppy!", tentang Drakula yang membelikan cucunya seekor anjing raksasa. Film ini selucu lelucon "monkey business".

Anak-anak mungkin juga takkan keberatan dengan pesan moral mengenai penerimaan diri dan kasih sayang orangtua (yap, Gene punya orangtua yang juga emoji Meh yang diisikan suaranya oleh Steven Wright dan Jennifer Coolidge) yang sudah sering mereka lihat di film yang lebih bagus. Tapi tolong nasihati mereka agar tak salah tanggap mengira bahwa mengirim emoji bisa dengan mudah membuat mereka di-notice seseorang. Oh satu lagi. Candy Crush is awesome, but not that awesome. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Emoji Movie

91 menit
Semua Umur - BO
Tony Leondis
Tony Leondis, Eric Siegel, Mike White
Michelle Raimo Kouyate
Patrick Doyle

'The Emoji Movie' bukan film yang *poop emoji*, melainkan hanya film yang *meh emoji*.

“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion!”
— Gene
Emoji memang berfungsi untuk membumbui komunikasi teks agar lebih ekspresif, bisa menyampaikan emosi dengan lebih sigap dan simpel daripada mengetik teks panjang lebar. Namun setiap emoji hanya berlaku untuk satu ekspresi. Emoji "Cry" dipakai untuk ekspresi sedih. "Blush" untuk tersipu. "Angry" untuk marah. "Laughing" untuk tertawa. Dan "Meh" cocok digunakan ketika kita tak terkesan. Entah itu saat mendengar tren baru yang tak kita pahami darimana hebohnya (Fidget Spinner, misalnya), dikirimi lelucon khas grup WA keluarga, atau saat menonton film The Emoji Movie.

The Emoji Movie, yang sudah dirilis 2 minggu lebih awal di Amerika, mendapat prediket buruk sebagai salah satu film sampah yang pernah dibuat. Saya tak melebih-lebihkan, silakan baca review luar negeri. Telah menontonnya sendiri, saya pikir film ini tak seburuk itu. Tapi saya juga tak bilang ini film yang bagus. The Emoji Movie bukan film yang 💩, melainkan hanya film yang 😒. Filmnya cuma membosankan dan malas saja.


Saya tak bisa menyalahkan anak-anak yang sangat-sangat kecil yang kemungkinan besar akan menikmati film ini sebagai hiburan ringan. Filmnya berisi apa yang mereka suka: warna-warni mencolok dan animasi hiperaktif. Namun The Emoji Movie hanya bermain di permukaan. Filmnya tak menawarkan sesuatu yang benar-benar kreatif atau greget. Leluconnya sangat basic, pembangunan semestanya tak imajinatif, dan plotnya relatif predictable. Filmnya terlalu dangkal dan cenderung bodoh di era dimana film animasi sudah berada di level lebih tinggi. Jika anda pikir anda bisa menebak plotnya hanya dengan mendengar premisnya, maka kemungkinan besar tebakan anda benar.

Nah, coba yang ini. Di dalam sebuah aplikasi perpesanan dalam smartphone, ada kota Textopolis yang populasinya diisi oleh semua emoji. Tugas mereka masing-masing adalah mengekspresikan satu emosi, yang akan di-scan oleh aplikasi kemudian dikirim oleh pemilik smartphone. Tapi Gene (TJ Miller), sebuah emoji "Meh" punya banyak ekspresi, tak seperti emoji normal. Jadi apa yang akan dia lakukan? Tentu saja, melakukan perjalanan untuk mencari jati diri. Tak lengkap jika ia tak ditemani satu teman sebagai tukang ngelawak: Hi-5 (James Corden), dan satu teman lagi yang rasional tapi dalam hal ini sedikit rebel: Jailbreak (Anna Faris).

Sembari menonton, pikiran saya menerawang. Pemilik smartphone ini adalah remaja tanggung bernama Alex (Jake T. Austin) yang selalu ragu saat ingin mengirim emoji kepada gebetannya, Addie (Tati Gabrielle). Karena film hanya berlangsung di smartphone Alex, saya jadi penasaran bagaimana suasana Textopolis di smartphone orang lain. Saat emoji yang dikirim sampai ke smartphone penerima, apa yang terjadi disana? Mungkin tak terjadi apa-apa kali ya, karena di Textopolis Alex tak ada keanehan semacam itu. Entah karena memang mekanikanya begitu, atau justru Alex yang tak pernah mendapat kiriman emoji dari orang lain. Puk puk.

Gene membuat kekacauan saat terlalu grogi sampai menampilkan ekspresi gado-gado saat dikirim Alex. Ini memancing amarah diktator negeri emoji, Smiler (Maya Rudolph) sehingga ia mengutus bot antivirus untuk melenyapkan Gene. Premis film mengijinkan karakter kita berpindah-pindah dari satu area ke area lain. Jika Wreck-It Ralph menyuguhkan set-pieces variatif yang imajinatif, di The Emoji Movie saya curiga ini merupakan promosi komersial untuk beberapa aplikasi. Gene harus menjadi pemain —sebagai candy— di Candy Crush. Gene mengajarkan Jailbreak berdansa di game Just Dance. Di satu momen, mereka berlayar di Spotify (cause it's STREAMING, get it?). Dan tujuan mereka adalah cloud milik aplikasi Dropbox yang "bebas malware dan aman". Ada satu lagi karakter dari aplikasi berlogo burung yang menjadi penyelamat. Bukan, bukan Traveloka.

Film ini tak sedemikian beracun sampai memaksa saya mencuci mata sehabis menonton. Tapi cukup membuat saya menguap berkali-kali. Pembuat The Emoji Movie tak mengisi filmnya dengan humor berbobot, gaya visual, atau perspektif narasi segar yang membuat kita terikat. Kentara sekali film ini adalah produk rapat eksekutif yang oportunis. Sasarannya plot dan humor gampangan. Emoji "Poop" yang dimainkan oleh Yang Terhormat Patrick Stewart punya permainan kata tentang eek yang akan lebih mengena dalam bahasa Inggris. Lalu, apa yang dilakukan emoji "Monkey" yang berpakaian jas? "Monkey business", tentu saja. Hi-5 terutama, terjebak dalam running-gag mengenai memakan muntahan kembali. Dan ngomong-ngomong, film ini dibuka dengan film pendek dari Hotel Transylvania yang berjudul "Puppy!", tentang Drakula yang membelikan cucunya seekor anjing raksasa. Film ini selucu lelucon "monkey business".

Anak-anak mungkin juga takkan keberatan dengan pesan moral mengenai penerimaan diri dan kasih sayang orangtua (yap, Gene punya orangtua yang juga emoji Meh yang diisikan suaranya oleh Steven Wright dan Jennifer Coolidge) yang sudah sering mereka lihat di film yang lebih bagus. Tapi tolong nasihati mereka agar tak salah tanggap mengira bahwa mengirim emoji bisa dengan mudah membuat mereka di-notice seseorang. Oh satu lagi. Candy Crush is awesome, but not that awesome. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Emoji Movie

91 menit
Semua Umur - BO
Tony Leondis
Tony Leondis, Eric Siegel, Mike White
Michelle Raimo Kouyate
Patrick Doyle

Tuesday, August 18, 2015

Review Film: 'Inside Out' (2015)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Inside Out' (2015)
link : Review Film: 'Inside Out' (2015)

Baca juga


Animasi

'Inside Out' punya konsep yang ambisius dan nyaris eksperimental, tapi sutradara Pete Docter berhasil membuat film animasi yang imajinatif namun juga menyentuh, yang layak disandingkan dengan film-film berkualitas Pixar lainnya.

“C'mon! Think positive!”
— Joy
Dikenal sebagai studio pionir dan terdepan dalam animasi 3D, formula yang hampir selalu digunakan Pixar di beberapa film terbaiknya adalah EMOSI. Apakah itu mainan yang punya emosi, robot pembersih sampah yang punya emosi, atau permainan emosi lintas-generasi, semua membuktikan bahwa formula ini telah teruji dan dijamin sukses. Dalam Inside Out, kali ini Pixar mengangkat tema yang tampaknya sulit ditangani di atas kertas: bagaimana jika emosi itu sendiri mempunyai emosi? Konsep yang ambisius dan nyaris eksperimental, tapi sutradara Pete Docter bersama Ronnie del Carmen berhasil membuat film animasi yang imajinatif namun juga menyentuh, yang layak disandingkan dengan film-film trademark Pixar lainnya.

Basis cerita sebenarnya cukup sederhana. Seorang gadis berusia 11 tahun yang bernama Riley (diisikan suaranya oleh Kaitlyn Dias) harus beradaptasi dengan kehidupan baru dikarenakan kedua orangtuanya yang pindah kerja ke San Fransisco. Lahir dan besar di Minnesota, Riley punya kenangan yang membahagiakan disana.

Namun cerita sebenarnya bukanlah dari sudut pandang Riley melainkan terjadi di dalam pikirannya. Secara harfiah digambarkan bahwa dalam pikiran Riley — dan manusia lainnya, termasuk binatang juga — pikiran dikendalikan melalui Ruang Kontrol oleh 5 emosi utama: Joy/Bahagia (Amy Poehler), Sadness/Sedih (Phyllis Smith), Fear/Takut (Bill Hader), Disgust/Jijik (Mindy Kailing), dan Anger/Marah (Lewis Black). Kelima emosi utama ini akan memandu Riley melewati masa remaja dalam transisi kehidupannya di San Fransisco. Atau paling tidak, begitulah seharusnya.

Memori yang diperoleh Riley dari pengalamannya sehari-hari akan disimpan dalam bentuk bola-bola kristal sebagai Memori Jangka Pendek, Memori Jangka Panjang, atau dibuang untuk dilupakan. Memori yang paling penting disimpan sebagai Memori Inti dan digunakan sebagai "bahan bakar" dari sifat utama Riley yang direpresentasikan sebagai "Pulau Kepribadian": Honesty, Friendship, Family, Goofball dan Hockey. Situasi menjadi kacau saat Memori Inti terpencar keluar dari Ruang Kontrol. Joy dan Sadness harus membawanya kembali, sementara Fear, Disgust, dan Anger mengambil alih kendali.


Mempunyai nama karakter yang sesuai dengan sifatnya masing-masing, pastinya 5 emosi utama ini punya karakterisasi yang one-note dan lima pengisi suaranya tampil dengan sangat baik sekali menangkap personanya masing-masing. Yang mencolok tentu saja penampilan Poehler dan Smith yang menjadi tokoh utama. Namun favorit saya adalah Black yang membawakan energi Anger yang meledak-ledak.

Narasi film ini bergantian menceritakan bagaimana Riley beradaptasi dengan rumah baru, sekolah baru, dan teman baru sementara Joy dan Sadness bertualang melewati berbagai bagian dari pikiran Riley seperti Departemen Pikiran Abstrak, Departemen Mimpi hingga Pembuangan Memori — yang digambarkan dengan representasi visual yang brilian — untuk mengembalikan Memori Inti ke Ruang Kontrol. Transisi keduanya tak pernah terasa dipaksakan.

Bagian paling menyentuh ditambahkan dengan kemunculan teman khayalan masa kecil Riley, Bing Bong. Bersama Riley, makhluk hibrid — gajah, lumba-lumba, dan lain-lain — berwarna pink ini dulunya sering membuat roket khayalan berbahan bakar nyanyian. Sama seperti Toy Story, bagian tersedih adalah saat Bing Bong akhirnya tak punya tempat lagi di pikiran Riley yang semakin dewasa.

Dengan dunia yang inventif seperti ini, Docter dan para animator Pixar punya kebebasan untuk menciptakan konsep sendiri. Semakin jauh petualangan Joy, semakin kita terpesona dengan pengejawantahan kreatif dari dunia dalam pikiran Riley, bahkan untuk hal-hal kecil yang terkadang hanya dipakai untuk lelucon kecil. Pacar ideal khayalan misalnya, yang tampaknya diambil dari model personil boyband. Atau lelucon mengenai lagu tema iklan permen yang dipakai berkali-kali sepanjang film. Atau Bing Bong yang sedikit bingung memilih antara Kotak Fakta dengan Opini.

Kebebasan yang bisa dibilang tanpa batas ini, tentu bisa menjadi kesulitan tersendiri karena Inside Out harus menjelaskan konsep dan mekanisme kerjanya pada penonton agar mudah dicerna. Docter mengambil jalan aman dengan tak pernah menyinggung hal-hal bersifat teknis sehingga film ini tak terasa memaksakan konsepnya.

Faktor utama yang membuat penonton bisa melahap konsep yang kompleks ini adalah karena Inside Out mengambil observasi emosional yang berhubungan dengan kehidupan kita. Film ini juga menunjukkan bahwa penilaian terhadap suatu peristiwa tergantung dari perspektif yang kita ambil. Penonton anak-anak mungkin akan melewatkan hal ini, tapi akan terpuaskan dengan karakter lucu dengan aksi dan interaksinya yang kocak. Inside Out adalah animasi yang unik, menghibur, dan juga menyentuh. Film ini mungkin belum bisa menggeser Toy Story, WALL-E, dan Up dari posisi film favorit saya, namun sekali lagi Pixar menunjukkan tajinya menelurkan animasi berkualitas. ■UP

'Inside Out' |
|


IMDb | Rottentomatoes
94 menit | Semua Umur

Sutradara: Pete Docter
Penulis: Pete Docter, Meg LeFauve, Josh Cooley
Pemain: Amy Poehler, Phyllis Smith, Bill Hader, Lewis Black

'Inside Out' punya konsep yang ambisius dan nyaris eksperimental, tapi sutradara Pete Docter berhasil membuat film animasi yang imajinatif namun juga menyentuh, yang layak disandingkan dengan film-film berkualitas Pixar lainnya.

“C'mon! Think positive!”
— Joy
Dikenal sebagai studio pionir dan terdepan dalam animasi 3D, formula yang hampir selalu digunakan Pixar di beberapa film terbaiknya adalah EMOSI. Apakah itu mainan yang punya emosi, robot pembersih sampah yang punya emosi, atau permainan emosi lintas-generasi, semua membuktikan bahwa formula ini telah teruji dan dijamin sukses. Dalam Inside Out, kali ini Pixar mengangkat tema yang tampaknya sulit ditangani di atas kertas: bagaimana jika emosi itu sendiri mempunyai emosi? Konsep yang ambisius dan nyaris eksperimental, tapi sutradara Pete Docter bersama Ronnie del Carmen berhasil membuat film animasi yang imajinatif namun juga menyentuh, yang layak disandingkan dengan film-film trademark Pixar lainnya.

Basis cerita sebenarnya cukup sederhana. Seorang gadis berusia 11 tahun yang bernama Riley (diisikan suaranya oleh Kaitlyn Dias) harus beradaptasi dengan kehidupan baru dikarenakan kedua orangtuanya yang pindah kerja ke San Fransisco. Lahir dan besar di Minnesota, Riley punya kenangan yang membahagiakan disana.

Namun cerita sebenarnya bukanlah dari sudut pandang Riley melainkan terjadi di dalam pikirannya. Secara harfiah digambarkan bahwa dalam pikiran Riley — dan manusia lainnya, termasuk binatang juga — pikiran dikendalikan melalui Ruang Kontrol oleh 5 emosi utama: Joy/Bahagia (Amy Poehler), Sadness/Sedih (Phyllis Smith), Fear/Takut (Bill Hader), Disgust/Jijik (Mindy Kailing), dan Anger/Marah (Lewis Black). Kelima emosi utama ini akan memandu Riley melewati masa remaja dalam transisi kehidupannya di San Fransisco. Atau paling tidak, begitulah seharusnya.

Memori yang diperoleh Riley dari pengalamannya sehari-hari akan disimpan dalam bentuk bola-bola kristal sebagai Memori Jangka Pendek, Memori Jangka Panjang, atau dibuang untuk dilupakan. Memori yang paling penting disimpan sebagai Memori Inti dan digunakan sebagai "bahan bakar" dari sifat utama Riley yang direpresentasikan sebagai "Pulau Kepribadian": Honesty, Friendship, Family, Goofball dan Hockey. Situasi menjadi kacau saat Memori Inti terpencar keluar dari Ruang Kontrol. Joy dan Sadness harus membawanya kembali, sementara Fear, Disgust, dan Anger mengambil alih kendali.


Mempunyai nama karakter yang sesuai dengan sifatnya masing-masing, pastinya 5 emosi utama ini punya karakterisasi yang one-note dan lima pengisi suaranya tampil dengan sangat baik sekali menangkap personanya masing-masing. Yang mencolok tentu saja penampilan Poehler dan Smith yang menjadi tokoh utama. Namun favorit saya adalah Black yang membawakan energi Anger yang meledak-ledak.

Narasi film ini bergantian menceritakan bagaimana Riley beradaptasi dengan rumah baru, sekolah baru, dan teman baru sementara Joy dan Sadness bertualang melewati berbagai bagian dari pikiran Riley seperti Departemen Pikiran Abstrak, Departemen Mimpi hingga Pembuangan Memori — yang digambarkan dengan representasi visual yang brilian — untuk mengembalikan Memori Inti ke Ruang Kontrol. Transisi keduanya tak pernah terasa dipaksakan.

Bagian paling menyentuh ditambahkan dengan kemunculan teman khayalan masa kecil Riley, Bing Bong. Bersama Riley, makhluk hibrid — gajah, lumba-lumba, dan lain-lain — berwarna pink ini dulunya sering membuat roket khayalan berbahan bakar nyanyian. Sama seperti Toy Story, bagian tersedih adalah saat Bing Bong akhirnya tak punya tempat lagi di pikiran Riley yang semakin dewasa.

Dengan dunia yang inventif seperti ini, Docter dan para animator Pixar punya kebebasan untuk menciptakan konsep sendiri. Semakin jauh petualangan Joy, semakin kita terpesona dengan pengejawantahan kreatif dari dunia dalam pikiran Riley, bahkan untuk hal-hal kecil yang terkadang hanya dipakai untuk lelucon kecil. Pacar ideal khayalan misalnya, yang tampaknya diambil dari model personil boyband. Atau lelucon mengenai lagu tema iklan permen yang dipakai berkali-kali sepanjang film. Atau Bing Bong yang sedikit bingung memilih antara Kotak Fakta dengan Opini.

Kebebasan yang bisa dibilang tanpa batas ini, tentu bisa menjadi kesulitan tersendiri karena Inside Out harus menjelaskan konsep dan mekanisme kerjanya pada penonton agar mudah dicerna. Docter mengambil jalan aman dengan tak pernah menyinggung hal-hal bersifat teknis sehingga film ini tak terasa memaksakan konsepnya.

Faktor utama yang membuat penonton bisa melahap konsep yang kompleks ini adalah karena Inside Out mengambil observasi emosional yang berhubungan dengan kehidupan kita. Film ini juga menunjukkan bahwa penilaian terhadap suatu peristiwa tergantung dari perspektif yang kita ambil. Penonton anak-anak mungkin akan melewatkan hal ini, tapi akan terpuaskan dengan karakter lucu dengan aksi dan interaksinya yang kocak. Inside Out adalah animasi yang unik, menghibur, dan juga menyentuh. Film ini mungkin belum bisa menggeser Toy Story, WALL-E, dan Up dari posisi film favorit saya, namun sekali lagi Pixar menunjukkan tajinya menelurkan animasi berkualitas. ■UP

'Inside Out' |
|


IMDb | Rottentomatoes
94 menit | Semua Umur

Sutradara: Pete Docter
Penulis: Pete Docter, Meg LeFauve, Josh Cooley
Pemain: Amy Poehler, Phyllis Smith, Bill Hader, Lewis Black

Thursday, August 13, 2015

Review Film: 'Dragon Ball Z: Resurrection 'F'' (2015)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Dragon Ball Z: Resurrection 'F'' (2015)
link : Review Film: 'Dragon Ball Z: Resurrection 'F'' (2015)

Baca juga


Animasi

Tak ada hal baru yang ditawarkan 'Resurrection F' selain pertarungan spektakuler para makhluk super yang sekarang punya kekuatan yang lebih besar.

“Is that the best you can do?”
— Goku
Tak berlebihan rasanya jika Dragon Ball disebut sebagai manga / anime paling populer di dunia. Dari 42 volume manga, franchise ini telah berkembang menjadi 344 serial anime (belum termasuk GT), 45 judul video game, serta 19 film layar lebar. Tak mengherankan popularitasnya ini bisa menarik distributor besar macam 20th Century Fox untuk mengedarakan film ini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Sub-judul Resurrection F telah menggambarkan dengan jelas esensi dari filmnya yang sebenarnya sangat sederhana, dimana Goku dkk harus berhadapan kembali dengan salah satu musuh terkuatnya dulu. Jalan ceritanya yang ringan membuat film ini terkesan hanya ingin menyajikan pertarungan Goku melawan Frieza sekali lagi.

Beberapa tahun setelah kejadian di film Battle of Gods, bumi kembali damai berkat Beerus yang tak lagi berminat menghancurkan bumi. Namun kedamaian ini tak berlangsung lama, karena salah satu antek Frieza (Ryusei Nakao), Sorbet berniat untuk membangkitkan kembali tuannya dengan mengumpulkan seluruh bola naga. Singkat cerita, 7 bola naga terkumpul dan ritual pemanggilan Shenlong dilakukan.

Frieza yang telah bangkit kembali dengan kekuatan yang lebih besar berniat balas dendam pada manusia Saiya yang telah membunuhnya — jika anda ingat, Trunks-lah yang memotong-motong tubuh Frieza — dengan mengirim ribuan pasukannya untuk menyerang bumi. Seperti biasa, saat semua ini terjadi Goku (Masako Nozawa) sedang tak di tempat karena tengah berlatih bersama Vegeta (Ryo Horikawa) dan tangan kanan Beerus, Whis, sehingga Master Roshi, Krillin, Piccolo, Gohan, dan Tenshinhan harus berusaha sekuat tenaga menahan gempuran pasukan Frieza sebelum Goku datang.


Demografi film ini ditujukan khusus untuk penggemar atau setidaknya penonton yang pernah mengenal franchise ini. Dengan banyaknya karakter pendukung yang hanya tampil sebentar, mungkin akan membuat penonton yang belum familiar sedikit kebingungan (walau saya meragukannya).

Inti cerita disini adalah pertarungan melawan Frieza yang menghabiskan hampir dua pertiga film, sementara sepertiga awal untuk membangun cerita tanpa characters development sama sekali. Mungkin memang pertarungan lah yang ingin disajikan oleh Akira Toriyama yang langsung turun tangan untuk menulis naskah.

Sutradara Tadayoshi Yamamuro menghadirkan adegan pertarungan yang cepat dan inventif namun lumayan repetitif. Secara garis besar, tak ada peningkatan yang signifikan di departemen animasi dibandingan serialnya, selain warna yang lebih cerah dan efek suara yang berlebihan.

Masalah terbesar adalah beberapa protagonis yang saking kuatnya menjadikan tak ada lagi situasi yang genting, padahal Frieza sengaja telah dibuat lebih tangguh dibanding sebelumnya. Dengan mengesampingkan Goku dan Vegeta yang punya kemampuan perubahan baru, keberadaan Beerus dan Whis yang campur tangan di bagian akhir yang membuat ending-nya antiklimaks. Ancaman Frieza tak terasa mematikan, dan pertarungan menjadi menjemukan.

Meski begitu, saya merasa penggemar Dragon Ball akan terpuaskan dengan Resurrection F, meski secara naratif tak banyak hal baru yang ditawarkan. Apalagi dengan banyaknya lelucon, yang bahkan diselipkan di sela-sela pertarungan. Ada pula karakter tambahan Jaco sang polisi galaksi dengan penampilannya yang mirip Ultraman versi mini, yang tak hanya bertindak sebagai comic relief namun juga bisa bertarung. Sayangnya, mengingat keterlibatan langsung dari penulis manga-nya, saya pikir sungguh sia-sia film ini hanya menjadi sekedar filler dari petualangan yang telah melegenda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Dragon Ball: Resurrection'F'' |
|

IMDb | Rottentomatoes
93 menit | Semua Umur (BO)

Sutradara: Tadayoshi Yamamuro
Penulis: Akira Toriyama
Pemain: Masako Nozawa, Ryō Horikawa, Toshio Furukawa, Ryūsei Nakao

Tak ada hal baru yang ditawarkan 'Resurrection F' selain pertarungan spektakuler para makhluk super yang sekarang punya kekuatan yang lebih besar.

“Is that the best you can do?”
— Goku
Tak berlebihan rasanya jika Dragon Ball disebut sebagai manga / anime paling populer di dunia. Dari 42 volume manga, franchise ini telah berkembang menjadi 344 serial anime (belum termasuk GT), 45 judul video game, serta 19 film layar lebar. Tak mengherankan popularitasnya ini bisa menarik distributor besar macam 20th Century Fox untuk mengedarakan film ini di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Sub-judul Resurrection F telah menggambarkan dengan jelas esensi dari filmnya yang sebenarnya sangat sederhana, dimana Goku dkk harus berhadapan kembali dengan salah satu musuh terkuatnya dulu. Jalan ceritanya yang ringan membuat film ini terkesan hanya ingin menyajikan pertarungan Goku melawan Frieza sekali lagi.

Beberapa tahun setelah kejadian di film Battle of Gods, bumi kembali damai berkat Beerus yang tak lagi berminat menghancurkan bumi. Namun kedamaian ini tak berlangsung lama, karena salah satu antek Frieza (Ryusei Nakao), Sorbet berniat untuk membangkitkan kembali tuannya dengan mengumpulkan seluruh bola naga. Singkat cerita, 7 bola naga terkumpul dan ritual pemanggilan Shenlong dilakukan.

Frieza yang telah bangkit kembali dengan kekuatan yang lebih besar berniat balas dendam pada manusia Saiya yang telah membunuhnya — jika anda ingat, Trunks-lah yang memotong-motong tubuh Frieza — dengan mengirim ribuan pasukannya untuk menyerang bumi. Seperti biasa, saat semua ini terjadi Goku (Masako Nozawa) sedang tak di tempat karena tengah berlatih bersama Vegeta (Ryo Horikawa) dan tangan kanan Beerus, Whis, sehingga Master Roshi, Krillin, Piccolo, Gohan, dan Tenshinhan harus berusaha sekuat tenaga menahan gempuran pasukan Frieza sebelum Goku datang.


Demografi film ini ditujukan khusus untuk penggemar atau setidaknya penonton yang pernah mengenal franchise ini. Dengan banyaknya karakter pendukung yang hanya tampil sebentar, mungkin akan membuat penonton yang belum familiar sedikit kebingungan (walau saya meragukannya).

Inti cerita disini adalah pertarungan melawan Frieza yang menghabiskan hampir dua pertiga film, sementara sepertiga awal untuk membangun cerita tanpa characters development sama sekali. Mungkin memang pertarungan lah yang ingin disajikan oleh Akira Toriyama yang langsung turun tangan untuk menulis naskah.

Sutradara Tadayoshi Yamamuro menghadirkan adegan pertarungan yang cepat dan inventif namun lumayan repetitif. Secara garis besar, tak ada peningkatan yang signifikan di departemen animasi dibandingan serialnya, selain warna yang lebih cerah dan efek suara yang berlebihan.

Masalah terbesar adalah beberapa protagonis yang saking kuatnya menjadikan tak ada lagi situasi yang genting, padahal Frieza sengaja telah dibuat lebih tangguh dibanding sebelumnya. Dengan mengesampingkan Goku dan Vegeta yang punya kemampuan perubahan baru, keberadaan Beerus dan Whis yang campur tangan di bagian akhir yang membuat ending-nya antiklimaks. Ancaman Frieza tak terasa mematikan, dan pertarungan menjadi menjemukan.

Meski begitu, saya merasa penggemar Dragon Ball akan terpuaskan dengan Resurrection F, meski secara naratif tak banyak hal baru yang ditawarkan. Apalagi dengan banyaknya lelucon, yang bahkan diselipkan di sela-sela pertarungan. Ada pula karakter tambahan Jaco sang polisi galaksi dengan penampilannya yang mirip Ultraman versi mini, yang tak hanya bertindak sebagai comic relief namun juga bisa bertarung. Sayangnya, mengingat keterlibatan langsung dari penulis manga-nya, saya pikir sungguh sia-sia film ini hanya menjadi sekedar filler dari petualangan yang telah melegenda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Dragon Ball: Resurrection'F'' |
|

IMDb | Rottentomatoes
93 menit | Semua Umur (BO)

Sutradara: Tadayoshi Yamamuro
Penulis: Akira Toriyama
Pemain: Masako Nozawa, Ryō Horikawa, Toshio Furukawa, Ryūsei Nakao

Wednesday, June 17, 2015

Review Film: 'Minions' (2015)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Animasi, Artikel Keluarga, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Minions' (2015)
link : Review Film: 'Minions' (2015)

Baca juga


Animasi

'Minions' memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir.

“Doesn't it feel so good to be bad.”
— Scarlett Overkill
Jika ditanya apa yang paling diingat dari dua film Despicable Me, mungkin banyak yang akan menjawab: karakter kuning lucu bernama Minion dengan tingkah mereka yang konyol. Ya, Minion sangat terkenal, bahkan mungkin popularitasnya melebihi sang tokoh utama, Gru. Universal kemudian bermaksud menjadikan Minion sebagai tokoh utama dalam filmnya sendiri. Sebagai figuran, Minions menjadi karakter yang sangat digandrungi, namun menjadi tokoh utama? Ternyata tidak juga.

Kekhawatiran utama (sekaligus hal yang paling membuat saya penasaran) adalah bagaimana para pembuat film akan membawakan narasi melalui karakter yang berkomunikasi dengan kosakata yang tidak kita mengerti. Menonton film solonya ini, saya tak perlu memusingkan hal tersebut karena narasinya nyaris omong kosong. Selama 90 menit, kita disajikan dengan aksi konyol mereka menyiksa diri sendiri (dan/atau rekannya) tanpa arah yang jelas.

Di awal film diceritakan bahwa Minions ternyata sudah ada semenjak jaman purbakala. Mereka terlahir dengan insting mengabdi pada penjahat terkejam, mulai dari T-Rex, Manusia Gua, Firaun hingga Drakula. Bagaimana mereka punya insting tersebut adalah pertanyaan yang takkan pernah anda temukan jawabannya hingga akhir film. Yang pasti, kedunguan Minions berujung pada nasib buruk bagi bos mereka.


Para Minion ini kemudian memilih tinggal di gua es. Namun tanpa adanya majikan untuk dilayani, hidup mereka tak bergairah. Hingga suatu ketika, salah seorang Minion yang bernama Kevin memutuskan untuk mengembara mencari bos baru, ditemani dengan Stuart dan Bob. Pengembaraan ini berujung pada pertemuan mereka dengan Scarlett Overkill (Sandra Bullock) dalam Villain-Con, konferensi penjahat terbesar di dunia.

Dari sinopsis di atas, mungkin anda bisa melihat bahwa cerita ini paling tidak punya sedikit plot. Bahkan di paruh pertama, cerita dibawakan dengan narasi dari Geoffrey Rush agar plotnya mudah dicerna. Namun plot ini terasa percuma, karena sutradara Pierre Coffin tampaknya tak bisa (atau tak mau repot-repot) memberikan narasi yang baik, dan lebih fokus pada kelakuan bodoh Minions. Cerita utama tentang pertemuan mereka dengan Scarlett hanya ditujukan agar karakter kuning ini bisa bertualang di jalanan London sambil bertingkah bodoh dan menimbulkan kekacauan dimana-mana, namun tak pernah dianggap aneh oleh para manusia di dalam filmnya.

Dari sisi komedinya pun tak mengena. Jika anda telah menonton beberapa trailer yang dirilis, maka nyaris tak ada hal baru yang bisa membuat tertawa. Bagian terbaik sudah diumbar dalam trailer, sementara sisanya adalah lelucon slapstick yang membosankan.

Saya rasa di beberapa poin, penulis skrip Brian Lynch (Hop, Puss in Boots) ingin memberikan komedi karakter dari 3 Minions ini. Kevin yang sedikit pintar namun agak serius, Stuart yang melankolis dengan ukulelenya, dan Bob yang polos. Tapi ini tak pernah dieksplorasi lagi, selain permukaannya saja. Di awal film, disebutkan bahwa ada satu Minion (saya lupa namanya) yang paling bodoh. Pada akhirnya, saya seharusnya menyadari bahwa satu-satunya sifat yang konsisten dari Minions adalah kebodohannya. Ups.

Penampilan Bullock sebagai Scarlett terasa disia-siakan. Punya kualifikasi yang hampir sama dengan Gru, Scarlett juga punya peralatan canggih yang mematikan, seperti gaun berlapis baja yang bisa menembakkan roket, topi penghipnotis, dan pistol lava. Dia bahkan punya kemampuan martial arts yang tak main-main. Scarlett adalah salah satu karakter penjahat yang paling mudah terlupakan. Backstory yang diberikan juga sedikit bias.

Jika ingin menyebutkan beberapa hal yang saya suka, itu adalah selipan cameo dan plesetan yang mungkin akan terlewatkan bagi anda yang tak begitu awas. Dengan setting tahun 60-an, petualangan Minions menyentil The Beatles di Abbey Road hingga kontroversi pendaratan NASA di bulan. Film ini juga menyindir secara vulgar mengenai stereotip orang Inggris yang sangat akrab dengan teh. Entah disengaja atau tidak, Geoffrey Rush disini juga mengisi suara sebagai asisten penguasa Inggris, sebagaimana perannya dalam The King's Speech. Ada juga penampilan Stuart yang membawakan solo Van Halen dengan "mega ukulele"-nya. Kru di belakang layar tahu benar bahwa para fans Minions berasal dari berbagai negara, dan dengan cerdas menyelipkan kosakata seperti "Mazeltov", "Gracias" bahkan "Terima Kasih" diantara gumaman gajenya.

Dari sisi teknis saya tak bisa bilang macam-macam. Animasinya dirender dengan halus dan punya kualitas yang setara dengan Despicable Me. Desain karakternya juga unik dan variatif, termasuk para penjahat-penjahat yang menghadiri Villain-Con. Bagi yang suka melihat karakter kuning ini, mungkin bakalan girang karena disini akan melihat ratusan Minions dalam satu frame.

Banyak yang membela film ini dengan menyebutnya sebagai dumb-fun entertainment. Well, Minions memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Film ini jauh dari kata fun. Di akhir film, saya sedikit lega dengan kemuculan Gru sebagai cameo. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Minions' |
|

IMDb | Rottentomatoes
91 menit | Semua Umur - BO

Sutradara Pierre Coffin, Kyle Balda
Penulis Bryan Lynch
Pemain Pierre Coffin, Sandra Bullock, Jon Hamm, Michael Keaton

'Minions' memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir.

“Doesn't it feel so good to be bad.”
— Scarlett Overkill
Jika ditanya apa yang paling diingat dari dua film Despicable Me, mungkin banyak yang akan menjawab: karakter kuning lucu bernama Minion dengan tingkah mereka yang konyol. Ya, Minion sangat terkenal, bahkan mungkin popularitasnya melebihi sang tokoh utama, Gru. Universal kemudian bermaksud menjadikan Minion sebagai tokoh utama dalam filmnya sendiri. Sebagai figuran, Minions menjadi karakter yang sangat digandrungi, namun menjadi tokoh utama? Ternyata tidak juga.

Kekhawatiran utama (sekaligus hal yang paling membuat saya penasaran) adalah bagaimana para pembuat film akan membawakan narasi melalui karakter yang berkomunikasi dengan kosakata yang tidak kita mengerti. Menonton film solonya ini, saya tak perlu memusingkan hal tersebut karena narasinya nyaris omong kosong. Selama 90 menit, kita disajikan dengan aksi konyol mereka menyiksa diri sendiri (dan/atau rekannya) tanpa arah yang jelas.

Di awal film diceritakan bahwa Minions ternyata sudah ada semenjak jaman purbakala. Mereka terlahir dengan insting mengabdi pada penjahat terkejam, mulai dari T-Rex, Manusia Gua, Firaun hingga Drakula. Bagaimana mereka punya insting tersebut adalah pertanyaan yang takkan pernah anda temukan jawabannya hingga akhir film. Yang pasti, kedunguan Minions berujung pada nasib buruk bagi bos mereka.


Para Minion ini kemudian memilih tinggal di gua es. Namun tanpa adanya majikan untuk dilayani, hidup mereka tak bergairah. Hingga suatu ketika, salah seorang Minion yang bernama Kevin memutuskan untuk mengembara mencari bos baru, ditemani dengan Stuart dan Bob. Pengembaraan ini berujung pada pertemuan mereka dengan Scarlett Overkill (Sandra Bullock) dalam Villain-Con, konferensi penjahat terbesar di dunia.

Dari sinopsis di atas, mungkin anda bisa melihat bahwa cerita ini paling tidak punya sedikit plot. Bahkan di paruh pertama, cerita dibawakan dengan narasi dari Geoffrey Rush agar plotnya mudah dicerna. Namun plot ini terasa percuma, karena sutradara Pierre Coffin tampaknya tak bisa (atau tak mau repot-repot) memberikan narasi yang baik, dan lebih fokus pada kelakuan bodoh Minions. Cerita utama tentang pertemuan mereka dengan Scarlett hanya ditujukan agar karakter kuning ini bisa bertualang di jalanan London sambil bertingkah bodoh dan menimbulkan kekacauan dimana-mana, namun tak pernah dianggap aneh oleh para manusia di dalam filmnya.

Dari sisi komedinya pun tak mengena. Jika anda telah menonton beberapa trailer yang dirilis, maka nyaris tak ada hal baru yang bisa membuat tertawa. Bagian terbaik sudah diumbar dalam trailer, sementara sisanya adalah lelucon slapstick yang membosankan.

Saya rasa di beberapa poin, penulis skrip Brian Lynch (Hop, Puss in Boots) ingin memberikan komedi karakter dari 3 Minions ini. Kevin yang sedikit pintar namun agak serius, Stuart yang melankolis dengan ukulelenya, dan Bob yang polos. Tapi ini tak pernah dieksplorasi lagi, selain permukaannya saja. Di awal film, disebutkan bahwa ada satu Minion (saya lupa namanya) yang paling bodoh. Pada akhirnya, saya seharusnya menyadari bahwa satu-satunya sifat yang konsisten dari Minions adalah kebodohannya. Ups.

Penampilan Bullock sebagai Scarlett terasa disia-siakan. Punya kualifikasi yang hampir sama dengan Gru, Scarlett juga punya peralatan canggih yang mematikan, seperti gaun berlapis baja yang bisa menembakkan roket, topi penghipnotis, dan pistol lava. Dia bahkan punya kemampuan martial arts yang tak main-main. Scarlett adalah salah satu karakter penjahat yang paling mudah terlupakan. Backstory yang diberikan juga sedikit bias.

Jika ingin menyebutkan beberapa hal yang saya suka, itu adalah selipan cameo dan plesetan yang mungkin akan terlewatkan bagi anda yang tak begitu awas. Dengan setting tahun 60-an, petualangan Minions menyentil The Beatles di Abbey Road hingga kontroversi pendaratan NASA di bulan. Film ini juga menyindir secara vulgar mengenai stereotip orang Inggris yang sangat akrab dengan teh. Entah disengaja atau tidak, Geoffrey Rush disini juga mengisi suara sebagai asisten penguasa Inggris, sebagaimana perannya dalam The King's Speech. Ada juga penampilan Stuart yang membawakan solo Van Halen dengan "mega ukulele"-nya. Kru di belakang layar tahu benar bahwa para fans Minions berasal dari berbagai negara, dan dengan cerdas menyelipkan kosakata seperti "Mazeltov", "Gracias" bahkan "Terima Kasih" diantara gumaman gajenya.

Dari sisi teknis saya tak bisa bilang macam-macam. Animasinya dirender dengan halus dan punya kualitas yang setara dengan Despicable Me. Desain karakternya juga unik dan variatif, termasuk para penjahat-penjahat yang menghadiri Villain-Con. Bagi yang suka melihat karakter kuning ini, mungkin bakalan girang karena disini akan melihat ratusan Minions dalam satu frame.

Banyak yang membela film ini dengan menyebutnya sebagai dumb-fun entertainment. Well, Minions memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Film ini jauh dari kata fun. Di akhir film, saya sedikit lega dengan kemuculan Gru sebagai cameo. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Minions' |
|

IMDb | Rottentomatoes
91 menit | Semua Umur - BO

Sutradara Pierre Coffin, Kyle Balda
Penulis Bryan Lynch
Pemain Pierre Coffin, Sandra Bullock, Jon Hamm, Michael Keaton

Thursday, April 30, 2015

Review Film: 'The Last: Naruto the Movie' (2015)

Animasi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Animasi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Last: Naruto the Movie' (2015)
link : Review Film: 'The Last: Naruto the Movie' (2015)

Baca juga


Animasi

Masashi Kishimoto melakukan pendekatan segar yang menjadikan 'The Last: Naruto the Movie' sebagai kisah romance yang dibumbui aksi. Bukan tipikal film Naruto, tapi efektif menyentuh penonton.

“I will never, ever let you go”
— Hinata
Sebagai seorang anak yang sedari kecil tumbuh dengan kisah petualangan Naruto — saya mengikuti komik tersebut sejak masih SD — saya merasa sedikit sentimentil saat sang pengarang komik Masashi Kishimoto menamatkan serial tersebut. Sentimentil, namun juga lega, karena Kishimoto menutup Naruto di saat yang tepat, sebelum menjadi membosankan karena dipanjang-panjangkan. The Last: Naruto the Movie bisa dibilang sebagai pelepas rindu dan penutup yang manis bagi saga ninja ini.

Dibuat sebagai benang merah antara chapter 699 dengan chapter 700 dari komiknya, film ini akan menjawab pertanyaan: apa yang terjadi hingga akhirnya Naruto bisa jadian dengan Hinata. Terjalinnya hubungan ini bukanlah hal yang mengejutkan sebenarnya, mengingat Hinata memang sudah menyukai Naruto sejak lama. Namun bagaimana keduanya menikah hingga punya 2 anak, tentu membuat para pembaca sedikit penasaran.

Film ini dibuka dengan adegan bersekuens kaligrafi yang indah yang menceritakan asal mula dunia shinobi, yang melibatkan Pohon Cakra dan leluhur para ninja, Hagoromo Ootsuki. Cerita dengan cepat beralih waktu Naruto dkk masih menginjak bangku sekolah dasar ninja. Sedikit berbeda dengan versi komiknya, disini Hinata telah mengenal Naruto sejak lama dan jatuh hati karena prinsipnya yang tak segan-segan membantu orang yang kesulitan. Bersetting 2 tahun setelah Perang Besar Shinobi ke-4, Naruto sekarang adalah pemuda yang populer, dan ini membuat Hinata semakin kesulitan mendekati Naruto.


Musuh kali ini cukup digdaya, pemuda bernama Toneri Ootsuki yang merupakan keturunan dari Hamura Ootsuki. Hamura adalah adik dari Hagoromo dimana klannya memilih untuk hidup di bulan (serius!). Dengan jurusnya, Toneri tengah berusaha menabrakkan bulan ke bumi untuk menghancurkan dunia shinobi (demi kedamaian tentunya, klise). Dia juga menculik Hanabi Hyuga untuk merampas mata Byakugan dan membangkitkan mata Tenseigan, yang selama ini disegel oleh Hamura.

Karena ini adalah film layar lebar, maka untuk kualitas animasi pastinya lebih baik dibandingkan kualitas serial. Desain para karakter dibuat menarik dan detil setiap pergerakan serta koreografi pertarungan berjalan dengan halus. Perlu dicermati juga penggunaan CGI untuk beberapa efek jurus yang tak terasa janggal menyatu dengan animasi konvensional.

Bagi yang menunggu reuni Tim 7 (Naruto, Sakura, dan Sasuke), anda akan dibikin kecele, karena Sasuke nyaris tak disorot — kecuali muncul seiprit sebagai cameo. Dengan semakin besarnya bahaya yang mendekat, banyak karakter-karakter lama yang dimunculkan, meski harus senasib dengan Sasuke. Kakashi yang sekarang merupakan Hokage ke-6 menugaskan Shikamaru, Sai, dan Hinata bersama dengan Naruto dan Sakura untuk menyelamatkan Hanabi. Cerita kemudian lebih berfokus pada Naruto dan Hinata.

The Last bukanlah tipikal film Naruto yang biasa anda tonton. Film ini adalah kisah cinta, meskipun tetap tak meninggalkan adegan aksi khas ninjanya. Tentu saja, Naruto bukan terkenal gara-gara romansa, dan mungkin beberapa dari anda akan kecewa karena porsi aksinya yang lebih sedikit. Di awal memang terasa sedikit aneh, namun drama yang dihadirkan ternyata cukup menyentuh, sebagian besar karena usaha Hinata yang dengan canggung berusaha menunjukkan perasaannya pada Naruto.

Seperti yang kita tahu, cinta Hinata bertepuk sebelah tangan karena Naruto menyukai Sakura. Disini terungkap motif asli Naruto mengejar-ngejar Sakura — yang ternyata berhubungan dengan rivalitasnya terhadap Sasuke. Akibat genjutsu yang dipasang musuh, dan berkat peran Sakura, Naruto akhirnya menyadari perasaan Hinata padanya. Semua tak berjalan mulus sayangnya, karena terjadi kisah tarik-ulur, bahkan sedikit bumbu cinta segitiga dengan terlibatnya Toneri.

Pendekatan Masashi Kishimoto yang mengangkat kisah cinta ini cukup segar sebenarnya, sayangnya mulai dari tengah film, narasinya menjadi repetitif dan datar, karena narasi dramanya yang tipikal sinetron. Sedikit banyak membuat penonton teralihkan dengan kasus yang lebih besar (hei, Toneri bakal menubrukkan bulan ke bumi!). Ditambah dengan fakta bahwa kita sudah mengetahui akhir drama cinta mereka (saya berasumsi anda telah membaca Chapter 700) membuat kita ingin cepat-cepat sampai di klimaks film.

The Last kembali menemukan energinya kembali saat mendekati bagian akhir. Dengan mengesampingkan rasionalitas (menentang gravitasi dan bernapas tanpa oksigen), pertarungan di bulan yang melibatkan puluhan boneka, meteor, monster raksasa dan adu jurus dahsyat, adalah pertarungan paling seru di antara movie Naruto lainnya.

Walaupun berjudul The Last, ternyata film ini bukanlah penutup, melainkan pembuka dari Naruto New Era Project, yang akan berlanjut di tahun ini dengan movie Boruto: Naruto the Movie. Menarik melihat karakter yang sudah akrab dengan kita, tumbuh dan menjadi dewasa, dengan konflik yang berbeda pula. Memang ini bukan film Naruto yang biasanya, namun perlu diingat bahwa basis film ini adalah kisah cinta Naruto dan Hinata. Alih-alih aksi yang dibumbui romance, The Last adalah romance yang dibumbui aksi. Dan dari perasaan hangat yang saya rasakan saat credit title bergulir, setidaknya Kishimoto berhasil menyajikan penutup yang menyentuh. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Last: Naruto the Movie' |
|

IMDb | Rottentomatoes
112 menit | Remaja

Sutradara Tsuneo Kobayashi
Penulis Kyozuka Maruo (screenplay), Masashi Kishimoto (original idea)
Pemain Junko Takeuchi, Nana Mizuki, Jun Fukuyama

Masashi Kishimoto melakukan pendekatan segar yang menjadikan 'The Last: Naruto the Movie' sebagai kisah romance yang dibumbui aksi. Bukan tipikal film Naruto, tapi efektif menyentuh penonton.

“I will never, ever let you go”
— Hinata
Sebagai seorang anak yang sedari kecil tumbuh dengan kisah petualangan Naruto — saya mengikuti komik tersebut sejak masih SD — saya merasa sedikit sentimentil saat sang pengarang komik Masashi Kishimoto menamatkan serial tersebut. Sentimentil, namun juga lega, karena Kishimoto menutup Naruto di saat yang tepat, sebelum menjadi membosankan karena dipanjang-panjangkan. The Last: Naruto the Movie bisa dibilang sebagai pelepas rindu dan penutup yang manis bagi saga ninja ini.

Dibuat sebagai benang merah antara chapter 699 dengan chapter 700 dari komiknya, film ini akan menjawab pertanyaan: apa yang terjadi hingga akhirnya Naruto bisa jadian dengan Hinata. Terjalinnya hubungan ini bukanlah hal yang mengejutkan sebenarnya, mengingat Hinata memang sudah menyukai Naruto sejak lama. Namun bagaimana keduanya menikah hingga punya 2 anak, tentu membuat para pembaca sedikit penasaran.

Film ini dibuka dengan adegan bersekuens kaligrafi yang indah yang menceritakan asal mula dunia shinobi, yang melibatkan Pohon Cakra dan leluhur para ninja, Hagoromo Ootsuki. Cerita dengan cepat beralih waktu Naruto dkk masih menginjak bangku sekolah dasar ninja. Sedikit berbeda dengan versi komiknya, disini Hinata telah mengenal Naruto sejak lama dan jatuh hati karena prinsipnya yang tak segan-segan membantu orang yang kesulitan. Bersetting 2 tahun setelah Perang Besar Shinobi ke-4, Naruto sekarang adalah pemuda yang populer, dan ini membuat Hinata semakin kesulitan mendekati Naruto.


Musuh kali ini cukup digdaya, pemuda bernama Toneri Ootsuki yang merupakan keturunan dari Hamura Ootsuki. Hamura adalah adik dari Hagoromo dimana klannya memilih untuk hidup di bulan (serius!). Dengan jurusnya, Toneri tengah berusaha menabrakkan bulan ke bumi untuk menghancurkan dunia shinobi (demi kedamaian tentunya, klise). Dia juga menculik Hanabi Hyuga untuk merampas mata Byakugan dan membangkitkan mata Tenseigan, yang selama ini disegel oleh Hamura.

Karena ini adalah film layar lebar, maka untuk kualitas animasi pastinya lebih baik dibandingkan kualitas serial. Desain para karakter dibuat menarik dan detil setiap pergerakan serta koreografi pertarungan berjalan dengan halus. Perlu dicermati juga penggunaan CGI untuk beberapa efek jurus yang tak terasa janggal menyatu dengan animasi konvensional.

Bagi yang menunggu reuni Tim 7 (Naruto, Sakura, dan Sasuke), anda akan dibikin kecele, karena Sasuke nyaris tak disorot — kecuali muncul seiprit sebagai cameo. Dengan semakin besarnya bahaya yang mendekat, banyak karakter-karakter lama yang dimunculkan, meski harus senasib dengan Sasuke. Kakashi yang sekarang merupakan Hokage ke-6 menugaskan Shikamaru, Sai, dan Hinata bersama dengan Naruto dan Sakura untuk menyelamatkan Hanabi. Cerita kemudian lebih berfokus pada Naruto dan Hinata.

The Last bukanlah tipikal film Naruto yang biasa anda tonton. Film ini adalah kisah cinta, meskipun tetap tak meninggalkan adegan aksi khas ninjanya. Tentu saja, Naruto bukan terkenal gara-gara romansa, dan mungkin beberapa dari anda akan kecewa karena porsi aksinya yang lebih sedikit. Di awal memang terasa sedikit aneh, namun drama yang dihadirkan ternyata cukup menyentuh, sebagian besar karena usaha Hinata yang dengan canggung berusaha menunjukkan perasaannya pada Naruto.

Seperti yang kita tahu, cinta Hinata bertepuk sebelah tangan karena Naruto menyukai Sakura. Disini terungkap motif asli Naruto mengejar-ngejar Sakura — yang ternyata berhubungan dengan rivalitasnya terhadap Sasuke. Akibat genjutsu yang dipasang musuh, dan berkat peran Sakura, Naruto akhirnya menyadari perasaan Hinata padanya. Semua tak berjalan mulus sayangnya, karena terjadi kisah tarik-ulur, bahkan sedikit bumbu cinta segitiga dengan terlibatnya Toneri.

Pendekatan Masashi Kishimoto yang mengangkat kisah cinta ini cukup segar sebenarnya, sayangnya mulai dari tengah film, narasinya menjadi repetitif dan datar, karena narasi dramanya yang tipikal sinetron. Sedikit banyak membuat penonton teralihkan dengan kasus yang lebih besar (hei, Toneri bakal menubrukkan bulan ke bumi!). Ditambah dengan fakta bahwa kita sudah mengetahui akhir drama cinta mereka (saya berasumsi anda telah membaca Chapter 700) membuat kita ingin cepat-cepat sampai di klimaks film.

The Last kembali menemukan energinya kembali saat mendekati bagian akhir. Dengan mengesampingkan rasionalitas (menentang gravitasi dan bernapas tanpa oksigen), pertarungan di bulan yang melibatkan puluhan boneka, meteor, monster raksasa dan adu jurus dahsyat, adalah pertarungan paling seru di antara movie Naruto lainnya.

Walaupun berjudul The Last, ternyata film ini bukanlah penutup, melainkan pembuka dari Naruto New Era Project, yang akan berlanjut di tahun ini dengan movie Boruto: Naruto the Movie. Menarik melihat karakter yang sudah akrab dengan kita, tumbuh dan menjadi dewasa, dengan konflik yang berbeda pula. Memang ini bukan film Naruto yang biasanya, namun perlu diingat bahwa basis film ini adalah kisah cinta Naruto dan Hinata. Alih-alih aksi yang dibumbui romance, The Last adalah romance yang dibumbui aksi. Dan dari perasaan hangat yang saya rasakan saat credit title bergulir, setidaknya Kishimoto berhasil menyajikan penutup yang menyentuh. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Last: Naruto the Movie' |
|

IMDb | Rottentomatoes
112 menit | Remaja

Sutradara Tsuneo Kobayashi
Penulis Kyozuka Maruo (screenplay), Masashi Kishimoto (original idea)
Pemain Junko Takeuchi, Nana Mizuki, Jun Fukuyama