Judul : Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)
link : Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)
Musikal
Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
“We've got this together.”Rating UP:
— Twilight Sparkle
Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.
Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.
Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.
Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.
Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).
Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.
Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.
Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem
My Little Pony: The Movie
104 menit
Semua Umur - BO
Jayson Thiessen
Meghan McCarthy, Rita Hsiao, Michael Vogel (screenplay), Lauren Faust (serial)
Brian Goldner, Stephen Davis, Marcia Gwendolyn Jones, Haven Alexander
Anthony Di Ninno
Daniel Ingram
Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
“We've got this together.”Rating UP:
— Twilight Sparkle
Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.
Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.
Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.
Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.
Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).
Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.
Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.
Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem