Showing posts with label Musikal. Show all posts
Showing posts with label Musikal. Show all posts

Sunday, October 15, 2017

Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)

Musikal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Musikal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Musikal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)
link : Review Film: 'My Little Pony: The Movie' (2017)

Baca juga


Musikal

Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.

“We've got this together.”
— Twilight Sparkle
Rating UP:
Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.


Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.

Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.

Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.

Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.

Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).

Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.

Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.

Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

My Little Pony: The Movie

104 menit
Semua Umur - BO
Jayson Thiessen
Meghan McCarthy, Rita Hsiao, Michael Vogel (screenplay), Lauren Faust (serial)
Brian Goldner, Stephen Davis, Marcia Gwendolyn Jones, Haven Alexander
Anthony Di Ninno
Daniel Ingram

Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.

“We've got this together.”
— Twilight Sparkle
Rating UP:
Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.


Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.

Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.

Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.

Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.

Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).

Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.

Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.

Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

My Little Pony: The Movie

104 menit
Semua Umur - BO
Jayson Thiessen
Meghan McCarthy, Rita Hsiao, Michael Vogel (screenplay), Lauren Faust (serial)
Brian Goldner, Stephen Davis, Marcia Gwendolyn Jones, Haven Alexander
Anthony Di Ninno
Daniel Ingram

Tuesday, August 29, 2017

Review Film: 'Baby Driver' (2017)

Musikal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Musikal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Musikal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Baby Driver' (2017)
link : Review Film: 'Baby Driver' (2017)

Baca juga


Musikal

Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.

“You and I are a team.”
— Baby
Rating UP:
Memang tertunda 2 bulan dari Amerika, namun akhirnya kita mendapatkan film paling asyik dan paling enerjik tahun ini di layar lebar. Kita ke bioskop seringkali karena hanya ingin dibuat tertawa, bersorak-sorai, berdebar-debar, atau seru-seruan bareng. Baby Driver adalah film seperti itu. Filmnya penuh energi dan gaya. Menonton film ini seperti mendengar lagu rock favorit bersama kerumunan yang satu selera. Atau lagu pop, elektro, dangdut, atau lagu apapun. Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.


Saya kira analogi saya tak begitu keliru. Penulis/sutradara Edgar Wright menggabungkan film aksi kejar-kejaran mobil yang menegangkan dengan album kompilasi lagu yang diseleksi dengan telaten. Namun Baby Driver bukan sekadar film aksi dengan trek lagu keren, alih-alih kebalikannya. Biasanya, sutradara memilih trek lagu berdasarkan adegan, namun saya yakin Wright merancang adegannya setelah mendengar lagu terlebih dahulu. Lagu lah yang membangun film. Setiap sekuensnya dieksekusi dengan timing yang presisi, sinkron antara pergerakan di layar dengan ritme lagu. Filmnya melesat hebat dengan panduan dari tembang-tembang pilihan, yang juga menegaskan momen dari setiap adegan.

Tokoh utama kita adalah Baby (Ansel Elgort) yang harus selalu memakai earphone karena punya gangguan pendengaran. Well, sebenarnya ini alasan saja bagi Wright untuk menyelipkan puluhan lagu ke dalam filmnya secara natural. Gara-gara kecelakaan semasa kecil, Baby menderita tinnitus. Berkat musik, suara dengingan di telinganya berkurang, dan untuk itu, Baby punya banyak iPod sesuai dengan mood-nya. Ia pendiam, namun saat berada di belakang setir, Baby sekelas dengan Ryan Gosling dalam Drive. Ia memacu mobil dengan cantik, lolos dari kejaran polisi, atau menghindari blokade paku dengan manuver mulus yang tak perlu sampai meledakkan separuh populasi jalan raya.

Sekuens pertama semacam versi extended dari video klip “Blue Song”-nya Mint Royale yang disutradarai oleh Wright sendiri pada tahun 2003. Baby sedang menunggu sembari mendengar “Bellbottoms”-nya Jon Spencer Blues Explosion. Tiga perampok bank lalu masuk ke dalam mobilnya, dan tepat saat interlude lagu, Baby membesarkan volume, menginjak pedal gas, dan mempersembahkan kejar-kejaran mobil yang stylish, penuh adrenalin dan mungkin salah satu yang terbaik yang pernah saya tonton.

Mereka bagi-bagi hasil rampokan di sebuah gudang. Ada Griff (Jon Bernthal), Buddy (Jon Hamm), dan pacar Buddy, Darling (Eiza Gonzalez). Yang mengatur semuanya adalah seorang bos kriminal berjuluk Doc (Kevin Spacey). Baby sebenarnya tak seperti orang-orang ini, namun ia berhutang banyak pada Doc, dan ini adalah satu-satunya cara untuk melunasi. Doc selalu merekrut orang yang berbeda untuk setiap perampokannya, namun Baby menjadi kru reguler karena sedemikian mahir menyetir. Oh, dan Baby adalah jimat keberuntungan bagi Doc.

Tinggal satu misi lagi dan hutang Baby lunas, kata Doc. Namun tak ada yang namanya one last job dalam semesta film kriminal. Bahkan pekerjaan kali ini bakal lebih berat gara-gara kru baru yang sinting, Bats (Jamie Foxx). Alasan Baby untuk keluar dari dunia kriminal semakin kuat saat ia berjumpa dengan pramusaji cantik bernama Deborah (Lily James) yang juga punya selera musik yang bagus.

Bagian selanjutnya berisi dengan tembak-tembakan, kejar-kejaran mobil, sampai kejar-kejaran dengan kaki yang diiringi dengan lagu “Harlem Shuffle”-nya Bob & Earl, “Let’s Go Away for a While”-nya The Beach Boys, “Debra”-nya Beck, “Easy”-nya The Commodores, “Nowhere to Run”-nya Martha Reeves a& the Vandellas, “Hocus Pocus”-nya Focus, “Brighton Rock”-nya Queen, dan tentu saja “Baby Driver” milik Simon & Garfunkel. Tak semuanya saya tahu dan sebagian besar infonya saya dapatkan dari IMDb, namun percayalah, semuanya keren dan sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi di layar. Di satu adegan tembak-tembakan, suara letupan pistol seirama dengan suara drum solo dari “Tequilla”-nya Button Down Brass. Konyol tapi keren.

Wright adalah sutradara yang brilian dan Baby Driver adalah satu lagi parade keterampilannya dalam pop nerd filmmaking. Dalam Scott Pilgrim vs. The World, ia membuat inovasi visual yang mendefinisikan hibrid antara video game dengan sinema. Hot Fuzz yang merupakan film Wright favorit saya (maafkan saya), adalah plesetan buddy cop dengan komedi menyengat tapi tetap punya aura misteri yang mencekat sepanjang film. Untuk Baby Driver, Wright menciptakan film aksi-musikal yang menyentuh tiga elemen yang kita cari dalam sebuah film —romansa, komedi, thriller— dan ketiganya sukses sampai di tujuan dengan mulus dan penuh gaya. Wright bilang bahwa pengadegannya sebagian besar dilakukan di depan kamera, tanpa CGI, demi memberikan kejar-kejaran mobil yang sudah lama tak kita lihat dalam film aksi kekinian. Bagian klimaks yang melibatkan banyak tabrakan mobil menyajikan ketegangan maksimal dengan stake yang riil. Ancaman yang dirasakan Baby tak main-main.

Intensitas ini juga berhasil dibangun oleh Wright berkat karakterisasi yang simpel tapi sangat efektif. Semua karakter pendukung bisa dibilang misterius sehingga menyuguhkan sesuatu yang tak kita duga. Ada ketidakpastian karena sedikit percikan saja bisa menimbulkan kekacauan bagi semua. Foxx tampil luar biasa sebagai maniak sinis yang tampaknya suka membuat masalah dengan siapapun. Doc ternyata bukan sekadar bos berdarah dingin seperti yang kita lihat di awal. Sementara Hamm berjalan dari latar belakang dengan elegan tapi menyimpan sesuatu yang membuat bergidik. Di satu bagian, kita penasaran bagaimana gaya berpacaran sehari-hari antara Buddy dan Darling.

Tak ada momen yang begitu berbobot, tapi Baby Driver sangat asyik sekali sebagai hiburan ringan. Di linimasa Twitter, saya sempat melihat komentar salah satu kritikus internasional yang bilang bahwa Baby-nya Elgort adalah karakter yang tumpul. Namun saya yakin anda takkan kepikiran hal itu saat menonton, setelah menonton bahkan. Saya misalnya, hanya ingin segera pulang, menghantam pedal gas, dan kebut-kebutan di jalan raya diiringi lagu rock favorit yang menggelegar.

Setelah dipikir-pikir, mungkin tidak jadi. Saya belum punya SIM A. Mobil juga belum punya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Baby Driver

113 menit
Remaja - BO
Edgar Wright
Edgar Wright
Nira Park, Tim Bevan, Eric Fellner
Bill Pope
Steven Price

Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.

“You and I are a team.”
— Baby
Rating UP:
Memang tertunda 2 bulan dari Amerika, namun akhirnya kita mendapatkan film paling asyik dan paling enerjik tahun ini di layar lebar. Kita ke bioskop seringkali karena hanya ingin dibuat tertawa, bersorak-sorai, berdebar-debar, atau seru-seruan bareng. Baby Driver adalah film seperti itu. Filmnya penuh energi dan gaya. Menonton film ini seperti mendengar lagu rock favorit bersama kerumunan yang satu selera. Atau lagu pop, elektro, dangdut, atau lagu apapun. Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.


Saya kira analogi saya tak begitu keliru. Penulis/sutradara Edgar Wright menggabungkan film aksi kejar-kejaran mobil yang menegangkan dengan album kompilasi lagu yang diseleksi dengan telaten. Namun Baby Driver bukan sekadar film aksi dengan trek lagu keren, alih-alih kebalikannya. Biasanya, sutradara memilih trek lagu berdasarkan adegan, namun saya yakin Wright merancang adegannya setelah mendengar lagu terlebih dahulu. Lagu lah yang membangun film. Setiap sekuensnya dieksekusi dengan timing yang presisi, sinkron antara pergerakan di layar dengan ritme lagu. Filmnya melesat hebat dengan panduan dari tembang-tembang pilihan, yang juga menegaskan momen dari setiap adegan.

Tokoh utama kita adalah Baby (Ansel Elgort) yang harus selalu memakai earphone karena punya gangguan pendengaran. Well, sebenarnya ini alasan saja bagi Wright untuk menyelipkan puluhan lagu ke dalam filmnya secara natural. Gara-gara kecelakaan semasa kecil, Baby menderita tinnitus. Berkat musik, suara dengingan di telinganya berkurang, dan untuk itu, Baby punya banyak iPod sesuai dengan mood-nya. Ia pendiam, namun saat berada di belakang setir, Baby sekelas dengan Ryan Gosling dalam Drive. Ia memacu mobil dengan cantik, lolos dari kejaran polisi, atau menghindari blokade paku dengan manuver mulus yang tak perlu sampai meledakkan separuh populasi jalan raya.

Sekuens pertama semacam versi extended dari video klip “Blue Song”-nya Mint Royale yang disutradarai oleh Wright sendiri pada tahun 2003. Baby sedang menunggu sembari mendengar “Bellbottoms”-nya Jon Spencer Blues Explosion. Tiga perampok bank lalu masuk ke dalam mobilnya, dan tepat saat interlude lagu, Baby membesarkan volume, menginjak pedal gas, dan mempersembahkan kejar-kejaran mobil yang stylish, penuh adrenalin dan mungkin salah satu yang terbaik yang pernah saya tonton.

Mereka bagi-bagi hasil rampokan di sebuah gudang. Ada Griff (Jon Bernthal), Buddy (Jon Hamm), dan pacar Buddy, Darling (Eiza Gonzalez). Yang mengatur semuanya adalah seorang bos kriminal berjuluk Doc (Kevin Spacey). Baby sebenarnya tak seperti orang-orang ini, namun ia berhutang banyak pada Doc, dan ini adalah satu-satunya cara untuk melunasi. Doc selalu merekrut orang yang berbeda untuk setiap perampokannya, namun Baby menjadi kru reguler karena sedemikian mahir menyetir. Oh, dan Baby adalah jimat keberuntungan bagi Doc.

Tinggal satu misi lagi dan hutang Baby lunas, kata Doc. Namun tak ada yang namanya one last job dalam semesta film kriminal. Bahkan pekerjaan kali ini bakal lebih berat gara-gara kru baru yang sinting, Bats (Jamie Foxx). Alasan Baby untuk keluar dari dunia kriminal semakin kuat saat ia berjumpa dengan pramusaji cantik bernama Deborah (Lily James) yang juga punya selera musik yang bagus.

Bagian selanjutnya berisi dengan tembak-tembakan, kejar-kejaran mobil, sampai kejar-kejaran dengan kaki yang diiringi dengan lagu “Harlem Shuffle”-nya Bob & Earl, “Let’s Go Away for a While”-nya The Beach Boys, “Debra”-nya Beck, “Easy”-nya The Commodores, “Nowhere to Run”-nya Martha Reeves a& the Vandellas, “Hocus Pocus”-nya Focus, “Brighton Rock”-nya Queen, dan tentu saja “Baby Driver” milik Simon & Garfunkel. Tak semuanya saya tahu dan sebagian besar infonya saya dapatkan dari IMDb, namun percayalah, semuanya keren dan sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi di layar. Di satu adegan tembak-tembakan, suara letupan pistol seirama dengan suara drum solo dari “Tequilla”-nya Button Down Brass. Konyol tapi keren.

Wright adalah sutradara yang brilian dan Baby Driver adalah satu lagi parade keterampilannya dalam pop nerd filmmaking. Dalam Scott Pilgrim vs. The World, ia membuat inovasi visual yang mendefinisikan hibrid antara video game dengan sinema. Hot Fuzz yang merupakan film Wright favorit saya (maafkan saya), adalah plesetan buddy cop dengan komedi menyengat tapi tetap punya aura misteri yang mencekat sepanjang film. Untuk Baby Driver, Wright menciptakan film aksi-musikal yang menyentuh tiga elemen yang kita cari dalam sebuah film —romansa, komedi, thriller— dan ketiganya sukses sampai di tujuan dengan mulus dan penuh gaya. Wright bilang bahwa pengadegannya sebagian besar dilakukan di depan kamera, tanpa CGI, demi memberikan kejar-kejaran mobil yang sudah lama tak kita lihat dalam film aksi kekinian. Bagian klimaks yang melibatkan banyak tabrakan mobil menyajikan ketegangan maksimal dengan stake yang riil. Ancaman yang dirasakan Baby tak main-main.

Intensitas ini juga berhasil dibangun oleh Wright berkat karakterisasi yang simpel tapi sangat efektif. Semua karakter pendukung bisa dibilang misterius sehingga menyuguhkan sesuatu yang tak kita duga. Ada ketidakpastian karena sedikit percikan saja bisa menimbulkan kekacauan bagi semua. Foxx tampil luar biasa sebagai maniak sinis yang tampaknya suka membuat masalah dengan siapapun. Doc ternyata bukan sekadar bos berdarah dingin seperti yang kita lihat di awal. Sementara Hamm berjalan dari latar belakang dengan elegan tapi menyimpan sesuatu yang membuat bergidik. Di satu bagian, kita penasaran bagaimana gaya berpacaran sehari-hari antara Buddy dan Darling.

Tak ada momen yang begitu berbobot, tapi Baby Driver sangat asyik sekali sebagai hiburan ringan. Di linimasa Twitter, saya sempat melihat komentar salah satu kritikus internasional yang bilang bahwa Baby-nya Elgort adalah karakter yang tumpul. Namun saya yakin anda takkan kepikiran hal itu saat menonton, setelah menonton bahkan. Saya misalnya, hanya ingin segera pulang, menghantam pedal gas, dan kebut-kebutan di jalan raya diiringi lagu rock favorit yang menggelegar.

Setelah dipikir-pikir, mungkin tidak jadi. Saya belum punya SIM A. Mobil juga belum punya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Baby Driver

113 menit
Remaja - BO
Edgar Wright
Edgar Wright
Nira Park, Tim Bevan, Eric Fellner
Bill Pope
Steven Price

Sunday, May 31, 2015

Review Film: 'Pitch Perfect 2' (2015)

Musikal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Musikal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Komedi, Artikel Musikal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Pitch Perfect 2' (2015)
link : Review Film: 'Pitch Perfect 2' (2015)

Baca juga


Musikal

Secara musikal dan cerita, 'Pitch Perfect 2' kurang lebih sama seperti film pertamanya. Sayangnya, tak punya energi, drama, dan sisi komedi yang selevel dengan pendahulunya tersebut.

“You are one of us, you paid the registration fee.”
Saya teringat pada 2012 lalu betapa saya sangat menikmati Pitch Perfect. Komedinya, lagu-lagunya, dramanya. Saya tak berharap film ini akan dibuatkan sekuel, karena endingnya sendiri sudah cukup memuaskan. Meski begitu, masuk akal juga jika kemudian Universal Pictures membuat sekuelnya Pitch Perfect 2 mengingat laba yang diraih film pertama. Secara musikal dan cerita, film ini sama saja dengan pendahulunya, tapi minus dari sisi drama dan komedi.

Barden Bellas telah menjadi juara kompetisi acapella nasional 3 kali berturut-turut dan mendapat kesempatan untuk tampil di hadapan Presiden Barrack Obama. Nah di tengah-tengah penampilan mereka membawakan lagu "Wrecking Ball", terjadi tragedi memalukan yang melibatkan Fat Amy (Rebel Wilson) dan "area pribadi"-nya yang membuat Bellas diskors dari semua acara dan kompetisi acapella. Namun berkat komentator John (John Michael Higgins) dan (Elizabeth Banks) — meski mereka pun sedikit skeptis, Bellas mendapat kesempatan untuk menebus kesalahan mereka dalam turnamen acapella dunia, dimana belum pernah ada tim Amerika yang menjadi pemenang di ajang tersebut.

Sementara para Bellas berlatih untuk memenangkan kompetisi, Beca (Anna Kendrick) juga sibuk mengejar ambisi pribadinya untuk menjadi produser musik. Hal ini memberikan sedikit konflik yang awalnya sedikit dipaksakan, namun terasa pas seiring berjalannya cerita.

Karena memang tak ada lagi yang bisa dieksplor di dunia Pitch Perfect, penulis skrip Kay Cannon — yang juga menulis skrip film pertama — memberikan cerita yang kurang lebih sama seperti film pertama: tim acapella underdog yang berjuang keras untuk meraih nama di kompetisi, dengan sedikit bumbu drama dan romance. Dalam film ini, musuh berat yang harus dihadapi adalah juara acapella Jerman, Das Sound Machine (DSM). Meski skalanya lebih besar, naskah Cannon tak terlalu energik karena rivalitas Bellas vs DSM yang terkesan remeh dan kompetisi yang kurang menantang. Padahal, ini kompetisi dunia lho.


Jika di film pertama lebih fokus pada usaha Beca untuk masuk dalam Barden Bellas dan bagaimana karismanya mengubah grup acapella tersebut menjadi lebih baik, maka di film ini Beca hanya menjadi semacam karakter pendukung. Kendrick masih memberikan penampilan yang karismatik dan lovable, namun porsinya lebih sedikit dan tertutupi oleh tokoh Rebel Wilson. Bahkan di film ini, Fat Amy mendapatkan sub-plot kisah cinta dengan Bumper (Adam DeVine).

Dibintangi oleh sebagian besar pemain orisinalnya, kita akan melihat kembali Chloe (Brittany Snow) sang leader, Cynthia (Easter Dean) yang lesbian, Lilly (Hana Mae Lee) yang bersuara kecil dan anggota lainnya. Semuanya nyaris one-note dan saya tak mempermasahkan hal tersebut, karena meskipun one-note, diversitivitas karakter mereka memberikan nuansa tersendiri.

Dihadirkan pula anggota baru Emily Junk (Hailee Steinfeld) yang merupakan anak dari seorang mantan anggota Bellas jaman dulu. Meski perannya tak terlalu signifikan sebagaimana harusnya, namun karakter Emily sedikit memberi penyegaran dengan karakternya yang lucu dan ceplas-ceplos.

Ada banyak alasan kenapa saya sangat menikmati film pertama, dan tak terlalu menyukai film keduanya ini. Film pertamanya lebih superior karena fokus pada karakter dengan sedikit sentuhan komedi. Namun disini, sutradara Elizabeth Banks — ini adalah film debutnya — mencoba untuk menyuguhkan komedi lebih banyak, melewatkan eksplorasi karakter dan melupakan narasi. Komedi yang disuguhkan pun tak terlalu lucu, bahkan semua lelucon yang melibatkan Fat Amy menurut saya malah garing. Joke-joke kecil bernuansa rasis dan vulgar yang biasanya dilemparkan oleh komentator John dan Gail juga kasar. Lelucon rasis yang disampaikan dengan tepat akan menjadi kocak. Dalam kasus ini, sayangnya tidak.

Terlepas dari semua kekurangannya, saya sangat menikmati semua penampilan acapella dari film ini seperti halnya film pertama. Memang tak ada yang penampilan yang selevel dengan "Cup"-nya Beca dari film pertama, namun Kendrick kembali menunjukkan kapabilitasnya bernyanyi bersama Snoop Dogg yang membawakan lagu Natal beraransemen baru. Penampilan terbaik adalah adegan klimaks saat Bella tampil di panggung kompetisi dunia menyanyikan mash-up lagu Beyonce dengan lagu orisinal yang dikoreografi dengan detail dan sangat baik. Ah, kalau saja sepanjang filmnya punya energi seperti itu. ■UP

'Pitch Perfect 2' |
|

IMDb | Rottentomatoes
114 menit | Remaja

Sutradara Elizabeth Banks
Penulis Kay Cannon
Pemain Anna Kendrick, Rebel Wilson, Brittany Snow, Hailee Steinfeld

Secara musikal dan cerita, 'Pitch Perfect 2' kurang lebih sama seperti film pertamanya. Sayangnya, tak punya energi, drama, dan sisi komedi yang selevel dengan pendahulunya tersebut.

“You are one of us, you paid the registration fee.”
Saya teringat pada 2012 lalu betapa saya sangat menikmati Pitch Perfect. Komedinya, lagu-lagunya, dramanya. Saya tak berharap film ini akan dibuatkan sekuel, karena endingnya sendiri sudah cukup memuaskan. Meski begitu, masuk akal juga jika kemudian Universal Pictures membuat sekuelnya Pitch Perfect 2 mengingat laba yang diraih film pertama. Secara musikal dan cerita, film ini sama saja dengan pendahulunya, tapi minus dari sisi drama dan komedi.

Barden Bellas telah menjadi juara kompetisi acapella nasional 3 kali berturut-turut dan mendapat kesempatan untuk tampil di hadapan Presiden Barrack Obama. Nah di tengah-tengah penampilan mereka membawakan lagu "Wrecking Ball", terjadi tragedi memalukan yang melibatkan Fat Amy (Rebel Wilson) dan "area pribadi"-nya yang membuat Bellas diskors dari semua acara dan kompetisi acapella. Namun berkat komentator John (John Michael Higgins) dan (Elizabeth Banks) — meski mereka pun sedikit skeptis, Bellas mendapat kesempatan untuk menebus kesalahan mereka dalam turnamen acapella dunia, dimana belum pernah ada tim Amerika yang menjadi pemenang di ajang tersebut.

Sementara para Bellas berlatih untuk memenangkan kompetisi, Beca (Anna Kendrick) juga sibuk mengejar ambisi pribadinya untuk menjadi produser musik. Hal ini memberikan sedikit konflik yang awalnya sedikit dipaksakan, namun terasa pas seiring berjalannya cerita.

Karena memang tak ada lagi yang bisa dieksplor di dunia Pitch Perfect, penulis skrip Kay Cannon — yang juga menulis skrip film pertama — memberikan cerita yang kurang lebih sama seperti film pertama: tim acapella underdog yang berjuang keras untuk meraih nama di kompetisi, dengan sedikit bumbu drama dan romance. Dalam film ini, musuh berat yang harus dihadapi adalah juara acapella Jerman, Das Sound Machine (DSM). Meski skalanya lebih besar, naskah Cannon tak terlalu energik karena rivalitas Bellas vs DSM yang terkesan remeh dan kompetisi yang kurang menantang. Padahal, ini kompetisi dunia lho.


Jika di film pertama lebih fokus pada usaha Beca untuk masuk dalam Barden Bellas dan bagaimana karismanya mengubah grup acapella tersebut menjadi lebih baik, maka di film ini Beca hanya menjadi semacam karakter pendukung. Kendrick masih memberikan penampilan yang karismatik dan lovable, namun porsinya lebih sedikit dan tertutupi oleh tokoh Rebel Wilson. Bahkan di film ini, Fat Amy mendapatkan sub-plot kisah cinta dengan Bumper (Adam DeVine).

Dibintangi oleh sebagian besar pemain orisinalnya, kita akan melihat kembali Chloe (Brittany Snow) sang leader, Cynthia (Easter Dean) yang lesbian, Lilly (Hana Mae Lee) yang bersuara kecil dan anggota lainnya. Semuanya nyaris one-note dan saya tak mempermasahkan hal tersebut, karena meskipun one-note, diversitivitas karakter mereka memberikan nuansa tersendiri.

Dihadirkan pula anggota baru Emily Junk (Hailee Steinfeld) yang merupakan anak dari seorang mantan anggota Bellas jaman dulu. Meski perannya tak terlalu signifikan sebagaimana harusnya, namun karakter Emily sedikit memberi penyegaran dengan karakternya yang lucu dan ceplas-ceplos.

Ada banyak alasan kenapa saya sangat menikmati film pertama, dan tak terlalu menyukai film keduanya ini. Film pertamanya lebih superior karena fokus pada karakter dengan sedikit sentuhan komedi. Namun disini, sutradara Elizabeth Banks — ini adalah film debutnya — mencoba untuk menyuguhkan komedi lebih banyak, melewatkan eksplorasi karakter dan melupakan narasi. Komedi yang disuguhkan pun tak terlalu lucu, bahkan semua lelucon yang melibatkan Fat Amy menurut saya malah garing. Joke-joke kecil bernuansa rasis dan vulgar yang biasanya dilemparkan oleh komentator John dan Gail juga kasar. Lelucon rasis yang disampaikan dengan tepat akan menjadi kocak. Dalam kasus ini, sayangnya tidak.

Terlepas dari semua kekurangannya, saya sangat menikmati semua penampilan acapella dari film ini seperti halnya film pertama. Memang tak ada yang penampilan yang selevel dengan "Cup"-nya Beca dari film pertama, namun Kendrick kembali menunjukkan kapabilitasnya bernyanyi bersama Snoop Dogg yang membawakan lagu Natal beraransemen baru. Penampilan terbaik adalah adegan klimaks saat Bella tampil di panggung kompetisi dunia menyanyikan mash-up lagu Beyonce dengan lagu orisinal yang dikoreografi dengan detail dan sangat baik. Ah, kalau saja sepanjang filmnya punya energi seperti itu. ■UP

'Pitch Perfect 2' |
|

IMDb | Rottentomatoes
114 menit | Remaja

Sutradara Elizabeth Banks
Penulis Kay Cannon
Pemain Anna Kendrick, Rebel Wilson, Brittany Snow, Hailee Steinfeld