Showing posts with label Aksi. Show all posts
Showing posts with label Aksi. Show all posts

Thursday, March 7, 2019

Review Film: 'Captain Marvel' (2019)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Captain Marvel' (2019)
link : Review Film: 'Captain Marvel' (2019)

Baca juga


Aksi

Film ini berhasil memperkenalkan kita dengan Captain Marvel, tapi tidak dengan Carol Danvers.

“I think I have a life here. But I can't tell if it's real.”
— Carol Danvers
Rating UP:
Hal terbaik yang dilakukan film ini adalah ia berhasil memperkenalkan kita pada salah satu entitas terkuat dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang bernama Captain Marvel. Namun, ia gagal memperkenalkan kita kepada pahlawan bernama Carol Danvers. Kita banyak melihat bagaimana sang karakter memamerkan kekuatannya dan mengalahkan musuh dengan begitu mudah. Di balik kostum, sayangnya, kita tak tahu banyak soal siapa yang sudah menyelamatkan planet kita. Dari yang bisa saya simpulkan, ia hanyalah superhero yang sangat generik.


Saya sebetulnya tak ingin mempercayai itu. Captain Marvel adalah film resmi Marvel pertama yang menampilkan superhero wanita sebagai pusatnya. Ia juga merupakan pahlawan yang (barangkali) mampu mengatasi ancaman Thanos dalam Avengers: Endgame nanti. Captain Marvel layak mendapatkan film yang lebih baik, film yang punya dimensi dan bobot. Ia seharusnya adalah superhero yang juga lebih baik, pahlawan yang punya kepribadian dan tekad yang membuatnya pantas kita elu-elukan.

Bukan berarti film ini tak banyak memberitahu kita soal siapa Captain Marvel. Nama aslinya adalah Vers (Brie Larson), anggota tim militer bangsa Kree, Starforce, yang dikomandoi oleh Yon-Rogg (Jude Law) yang juga merupakan mentornya. Kree, sebagaimana yang kita ingat dari Guardians of the Galaxy, adalah alien berdarah biru (dan kadang berkulit biru) mirip manusia yang tinggal di Planet Hala. Vers punya kemampuan untuk menembakkan laser foton dari tangannya. Dan ini tentu saja sangat membantu, karena kaum Kree tengah berperang melawan bangsa Skrull yang punya tampang menyeramkan mirip goblin.

Sebuah misi yang gagal mengantarkan Vers terdampar ke bumi. Peristiwa ini juga membawa serta beberapa Skrull. Seramnya, Skrull punya kemampuan untuk berganti wujud, bisa berubah menjadi siapa saja dengan kemiripan sampai ke DNA. Ada masalah lain: di bumi, tak ada orang yang punya kekuatan kosmik. Tidak juga dengan Nick Fury (Samuel L Jackson) yang masih belum pernah ketemu Iron Man, Captain Amerika, dkk. Mari kita jeda sejenak untuk mengapresiasi apa yang dilakukan studio Marvel terhadap Nick Fury ini. Dengan sihir digital, Samuel L Jackson dijadikan jauh lebih muda hingga 3 dekade. Hasilnya sangat mulus, dan ini dilakukan hampir sepanjang durasi. Saya tak terasa sedang menyaksikan polesan komputer.

Betul sekali, waktunya jauh sebelum Avengers diciptakan. Nick Fury juga masih menjadi karyawan level rendah di SHIELD. Terus, ada juga anak baru yang bernama Coulson (siapa yah?). Setting ini sayangnya cuma dipakai untuk polesan saja, tak nempel denga sempurna seperti Captain America: The First Avengers. Bagian ini hanya untuk seru-seruan menampilkan beberapa referensi budaya pop di era tersebut, mulai dari rental video, pager, hingga warnet. Ini juga jadi jebakan umur, dimana beberapa penonton yang bareng saya terkekeh saat mendengar lagu-lagu dari band 90-an macam Nirvana dan No Doubt. Saya tidak. Apaan sih Nirvana?! Gak kenal tuh saya.

Vers tidak tahu siapa dirinya karena ia hilang ingatan. Tapi kita agaknya lebih tahu. Nama asli-aslinya adalah Carol Danvers. Lewat beberapa kilasan masa lalu, kita tahu bahwa ia dulunya adalah seorang pilot militer. Kita melihatnya menjalani latihan, digoda di bar bahkan jauh hingga ia nekat ngebut-ngebutan dengan gokart saat masih kecil. Jadi, sebetulnya origin story Captain Marvel lebih rumit dari superhero kebanyakan. Ia punya dua origin story. Sutradara Anna Boden & Ryan Fleck yang juga bertindak sebagai salah dua penulis naskah, menemukan solusi untuk memecahkan masalah ini. Ada pula sedikit detail cantik soal bagaimana mereka bermain dengan struktur untuk menghandel beberapa klise. Namun, setelah paruh pertama, film ini serasa terbang dengan mode autopilot.

Boden & Fleck adalah sutradara di balik Half Nelson dan Mississippi Grind, film-film yang boleh dibilang sangat berbasis pada karakter. Ini adalah film besar perdana mereka, dan kepribadian mereka hilang ditelan hingar-bingar blockbuster. Brie Larson adalah aktris yang kompeten, ekspresi spontannya sangat nampol. Namun ia tak diberi cukup ruang untuk mengejawantahkan Carol Danvers sebagai karakter yang kompleks dan manusiawi. Ada beberapa momen dramatis, misalnya pertemuan Carol dengan dua orang penting dalam hidupnya (diperankan oleh Lashana Lynch dan Annette Benning), tapi Carol tetap terasa sebagai karakter yang cenderung kosong. Memang pada akhirnya ia menemukan determinasi, tapi pasti ada cara yang lebih elegan untuk menceritakannya. Yang tersisa untuk dinikmati adalah chemistry ala buddy-movie antara Larson dengan Jackson yang sangat asyik. Oh, dan ada kucing lucu yang siap mencuri perhatian kita setiap kali ia muncul.

Mungkin karena sang karakter tituler terlalu kuat, atau musuhnya yang terlalu lemah. Pahlawan spesial butuh musuh spesial. Skrull merupakan villain yang menarik dan "berbeda", tapi film ini tak punya villain yang bisa mendorong pahlawan kita ke titik nadir. Cerita besarnya terlalu familiar. Adegan aksinya monoton dan tak imajinatif walau sudah melibatkan efek spesial dan jurus lvl kosmik. Tak ada bobot, ruang, dan stake yang berarti. Barangkali karena saya sudah terlalu banyak menonton film superhero. Saat ini, superhero rasa-rasanya memang menyelamatkan dunia seperti makan obat saja, sehari tiga kali.

Film ini tak bisa saya bilang jelek. Pace-nya lumayan cepat dan tak bertele-tele, sehingga tak begitu membosankan. Hanya saja, kesannya secara keseluruhan yaa hambar. Filmnya terasa seperti diproduksi oleh pabrik otomatis Marvel. Tugas paling sukses yang dilakukannya adalah menjadi ekstensi yang memadai bagi mitologi Marvel; menyusul ketertinggalan dari para Avengers lain dan mengisi potongan puzzle dari MCU. Carol Danvers alias Captain Marvel punya potensi, tapi misinya disini agaknya hanya untuk memanaskan mesin Avengers: Endgame. Mungkin lain kali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Captain Marvel

124 menit
Remaja - BO
Anna Boden, Ryan Fleck
Anna Boden, Ryan Fleck, Geneva Robertson-Dworet (screenplay), Stan Lee, Roy Thomas, Gene Colan (komik)
Kevin Feige
Ben Davis
Pinar Toprak

Diulas oleh

Film ini berhasil memperkenalkan kita dengan Captain Marvel, tapi tidak dengan Carol Danvers.

“I think I have a life here. But I can't tell if it's real.”
— Carol Danvers
Rating UP:
Hal terbaik yang dilakukan film ini adalah ia berhasil memperkenalkan kita pada salah satu entitas terkuat dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang bernama Captain Marvel. Namun, ia gagal memperkenalkan kita kepada pahlawan bernama Carol Danvers. Kita banyak melihat bagaimana sang karakter memamerkan kekuatannya dan mengalahkan musuh dengan begitu mudah. Di balik kostum, sayangnya, kita tak tahu banyak soal siapa yang sudah menyelamatkan planet kita. Dari yang bisa saya simpulkan, ia hanyalah superhero yang sangat generik.


Saya sebetulnya tak ingin mempercayai itu. Captain Marvel adalah film resmi Marvel pertama yang menampilkan superhero wanita sebagai pusatnya. Ia juga merupakan pahlawan yang (barangkali) mampu mengatasi ancaman Thanos dalam Avengers: Endgame nanti. Captain Marvel layak mendapatkan film yang lebih baik, film yang punya dimensi dan bobot. Ia seharusnya adalah superhero yang juga lebih baik, pahlawan yang punya kepribadian dan tekad yang membuatnya pantas kita elu-elukan.

Bukan berarti film ini tak banyak memberitahu kita soal siapa Captain Marvel. Nama aslinya adalah Vers (Brie Larson), anggota tim militer bangsa Kree, Starforce, yang dikomandoi oleh Yon-Rogg (Jude Law) yang juga merupakan mentornya. Kree, sebagaimana yang kita ingat dari Guardians of the Galaxy, adalah alien berdarah biru (dan kadang berkulit biru) mirip manusia yang tinggal di Planet Hala. Vers punya kemampuan untuk menembakkan laser foton dari tangannya. Dan ini tentu saja sangat membantu, karena kaum Kree tengah berperang melawan bangsa Skrull yang punya tampang menyeramkan mirip goblin.

Sebuah misi yang gagal mengantarkan Vers terdampar ke bumi. Peristiwa ini juga membawa serta beberapa Skrull. Seramnya, Skrull punya kemampuan untuk berganti wujud, bisa berubah menjadi siapa saja dengan kemiripan sampai ke DNA. Ada masalah lain: di bumi, tak ada orang yang punya kekuatan kosmik. Tidak juga dengan Nick Fury (Samuel L Jackson) yang masih belum pernah ketemu Iron Man, Captain Amerika, dkk. Mari kita jeda sejenak untuk mengapresiasi apa yang dilakukan studio Marvel terhadap Nick Fury ini. Dengan sihir digital, Samuel L Jackson dijadikan jauh lebih muda hingga 3 dekade. Hasilnya sangat mulus, dan ini dilakukan hampir sepanjang durasi. Saya tak terasa sedang menyaksikan polesan komputer.

Betul sekali, waktunya jauh sebelum Avengers diciptakan. Nick Fury juga masih menjadi karyawan level rendah di SHIELD. Terus, ada juga anak baru yang bernama Coulson (siapa yah?). Setting ini sayangnya cuma dipakai untuk polesan saja, tak nempel denga sempurna seperti Captain America: The First Avengers. Bagian ini hanya untuk seru-seruan menampilkan beberapa referensi budaya pop di era tersebut, mulai dari rental video, pager, hingga warnet. Ini juga jadi jebakan umur, dimana beberapa penonton yang bareng saya terkekeh saat mendengar lagu-lagu dari band 90-an macam Nirvana dan No Doubt. Saya tidak. Apaan sih Nirvana?! Gak kenal tuh saya.

Vers tidak tahu siapa dirinya karena ia hilang ingatan. Tapi kita agaknya lebih tahu. Nama asli-aslinya adalah Carol Danvers. Lewat beberapa kilasan masa lalu, kita tahu bahwa ia dulunya adalah seorang pilot militer. Kita melihatnya menjalani latihan, digoda di bar bahkan jauh hingga ia nekat ngebut-ngebutan dengan gokart saat masih kecil. Jadi, sebetulnya origin story Captain Marvel lebih rumit dari superhero kebanyakan. Ia punya dua origin story. Sutradara Anna Boden & Ryan Fleck yang juga bertindak sebagai salah dua penulis naskah, menemukan solusi untuk memecahkan masalah ini. Ada pula sedikit detail cantik soal bagaimana mereka bermain dengan struktur untuk menghandel beberapa klise. Namun, setelah paruh pertama, film ini serasa terbang dengan mode autopilot.

Boden & Fleck adalah sutradara di balik Half Nelson dan Mississippi Grind, film-film yang boleh dibilang sangat berbasis pada karakter. Ini adalah film besar perdana mereka, dan kepribadian mereka hilang ditelan hingar-bingar blockbuster. Brie Larson adalah aktris yang kompeten, ekspresi spontannya sangat nampol. Namun ia tak diberi cukup ruang untuk mengejawantahkan Carol Danvers sebagai karakter yang kompleks dan manusiawi. Ada beberapa momen dramatis, misalnya pertemuan Carol dengan dua orang penting dalam hidupnya (diperankan oleh Lashana Lynch dan Annette Benning), tapi Carol tetap terasa sebagai karakter yang cenderung kosong. Memang pada akhirnya ia menemukan determinasi, tapi pasti ada cara yang lebih elegan untuk menceritakannya. Yang tersisa untuk dinikmati adalah chemistry ala buddy-movie antara Larson dengan Jackson yang sangat asyik. Oh, dan ada kucing lucu yang siap mencuri perhatian kita setiap kali ia muncul.

Mungkin karena sang karakter tituler terlalu kuat, atau musuhnya yang terlalu lemah. Pahlawan spesial butuh musuh spesial. Skrull merupakan villain yang menarik dan "berbeda", tapi film ini tak punya villain yang bisa mendorong pahlawan kita ke titik nadir. Cerita besarnya terlalu familiar. Adegan aksinya monoton dan tak imajinatif walau sudah melibatkan efek spesial dan jurus lvl kosmik. Tak ada bobot, ruang, dan stake yang berarti. Barangkali karena saya sudah terlalu banyak menonton film superhero. Saat ini, superhero rasa-rasanya memang menyelamatkan dunia seperti makan obat saja, sehari tiga kali.

Film ini tak bisa saya bilang jelek. Pace-nya lumayan cepat dan tak bertele-tele, sehingga tak begitu membosankan. Hanya saja, kesannya secara keseluruhan yaa hambar. Filmnya terasa seperti diproduksi oleh pabrik otomatis Marvel. Tugas paling sukses yang dilakukannya adalah menjadi ekstensi yang memadai bagi mitologi Marvel; menyusul ketertinggalan dari para Avengers lain dan mengisi potongan puzzle dari MCU. Carol Danvers alias Captain Marvel punya potensi, tapi misinya disini agaknya hanya untuk memanaskan mesin Avengers: Endgame. Mungkin lain kali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Captain Marvel

124 menit
Remaja - BO
Anna Boden, Ryan Fleck
Anna Boden, Ryan Fleck, Geneva Robertson-Dworet (screenplay), Stan Lee, Roy Thomas, Gene Colan (komik)
Kevin Feige
Ben Davis
Pinar Toprak

Diulas oleh

Wednesday, February 20, 2019

Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Fantasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)
link : Review Film: 'Dragon Ball Super: Broly' (2019)

Baca juga


Aksi

Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.

“There's no way I can stay at the same level, I'm at right now! I think I'd be all fired up!”
— Son Goku
Rating UP:
Dragon Ball Super: Broly menegur saya soal review (cenderung) negatif yang saya berikan buat Dragon Ball Z: Resurrection 'F'. Film ini mengingatkan saya kembali akan hakikat Dragon Ball. Manga karya Akira Toriyama tersebut dibuat untuk target yang sangat spesifik, dan film ini sendiri setia dengan hal itu. Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.


Manga Dragon Ball barangkali adalah manga shonen pertama yang punya kesuksesan spektakuler secara global. Namun yang lebih penting, Dragon Ball adalah bapaknya semua shonen yang kita jumpai sekarang. Kalau dirunut secara silsilah, Dragon Ball agaknya berada di posisi paling atas. Ia mempelopori semua karakteristik standar yang kita lihat di semua shonen: power-up dan pertarungan epik. Demi menghormati tradisi agar tetap lestari, semua isi Dragon Ball Super: Broly adalah soal itu.

Ingat bagaimana mayoritas karakternya bisa menambah kekuatan di berbagai tingkat Super Saiya, dimana mereka mengalami perubahan rambut mulai dari kuning, merah sampai biru? Saking banyak dan sudah sedemikian tingginya mode power-up terbaru, rasanya sudah tak ada yang lebih kuat daripada itu. Siapa sangka, film ini masih punya satu lagi.

Agar mode terkuat ini bisa keluar, tentu harus dipancing oleh musuh terkuat juga. Namanya Broly. Penggemar lama pasti kenal, karena ia pernah muncul dalam film ke-11, Dragon Ball Z: Broly - The Legendary Super Saiyan. Kisahnya relatif tak berhubungan langsung dengan Goku dkk, tapi berkat latar belakang yang dipermak langsung oleh Toriyama, Broly sekarang berada dalam kontinuitas cerita utama Dragon Ball.

Dengan ini, Toriyama juga berhasil menciptakan karakter paling keren dalam sejarah Dragon Ball. Broly adalah karakter superkuat (bahkan kekuatan mentahnya saja bisa melibas Goku dan Vegeta sekaligus) yang simpatik. Ia tak suka pamer kekuatan, apalagi bertarung *uhuk Goku dkk*. Alasannya duel semata-mata karena manipulasi dari ayahnya, Paragus, dan si jahat Frieza.

Awal mulanya adalah saat planet Saiya dijajah oleh Frieza. Frieza yang terancam oleh keberadaan manusia Saiya, memutuskan untuk menghancurkan planet tersebut beserta isinya. Goku dan Vegeta berhasil diselamatkan dengan dikirim ke bumi. Tapi sebelum itu, Broly bayi dan ayahnya sudah dikirim duluan ke planet terisolir bernama Vampa. Disana, Broly tumbuh menjadi manusia Saiya yang sangat tangguh. Sampai kemudian, Frieza menemukannya lalu mengutusnya ke bumi untuk duel melawan Goku.

Kehadiran Broly membawa kehancuran yang tak terbayangkan. Pertarungan antara tiga karakter superkuat ini (empat jika dihitung dengan Frieza yang nimbrung sebentar) cukup untuk memporak-porandakan bumi. Mereka adalah agen destruksi yang mampu mengubah antartika menjadi gunung berapi. Duel yang bahkan menembus dimensi. Saya sampai penasaran kenapa kok bumi gak kiamat-kiamat juga.

Saya tak akan merahasiakan jurus pamungkas dalam film ini. Sebab, pasti itu yang paling anda tunggu bukan? Lagipula, membicarakannya tentu tak sedahsyat menyaksikannya sendiri. Jurus tersebut adalah sesuatu bernama Gogeta, fusion antara Goku dan Vegeta. Nah, penggemar lama pasti sudah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya Gogeta muncul dalam saga Dragon Ball. Namun di film ini lah Toriyama akhirnya menempatkan Gogeta dalam kronologi resminya. Penampilannya sendiri diperlakukan sebagai pencapaian evolusi terkuat.

Saya tak perlu membeberkan akhir ceritanya karena anda pasti sudah tahu. Dragon Ball sepertinya memang tak punya cerita yang bisa diceritakan lagi. Jadi, yang kita dapatkan adalah fanservice belaka. Latar belakang yang sedikit merestrukturisasi mitologi Dragon Ball disini membuat film ini mudah dipahami oleh penonton yang bahkan cuma menyelesaikan satu semester jurusan Ilmu Perdragonballan. Separuh sisanya adalah hajar menghajar dengan energi tingkat tinggi. Buat saya, kalau ini terlalu lama juga jadi terasa sedikit melelahkan. Saya butuh sedikit drama.

*nyalain Liga Dangdut Indonesia* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dragon Ball Super: Broly

100 menit
Remaja
Tatsuya Nagamine
Akira Toriyama
Toei Animation
Norihito Sumitomo

Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.

“There's no way I can stay at the same level, I'm at right now! I think I'd be all fired up!”
— Son Goku
Rating UP:
Dragon Ball Super: Broly menegur saya soal review (cenderung) negatif yang saya berikan buat Dragon Ball Z: Resurrection 'F'. Film ini mengingatkan saya kembali akan hakikat Dragon Ball. Manga karya Akira Toriyama tersebut dibuat untuk target yang sangat spesifik, dan film ini sendiri setia dengan hal itu. Penggemar lama pasti bakal sangat puas. Sayanya saja yang sudah mulai uzur.


Manga Dragon Ball barangkali adalah manga shonen pertama yang punya kesuksesan spektakuler secara global. Namun yang lebih penting, Dragon Ball adalah bapaknya semua shonen yang kita jumpai sekarang. Kalau dirunut secara silsilah, Dragon Ball agaknya berada di posisi paling atas. Ia mempelopori semua karakteristik standar yang kita lihat di semua shonen: power-up dan pertarungan epik. Demi menghormati tradisi agar tetap lestari, semua isi Dragon Ball Super: Broly adalah soal itu.

Ingat bagaimana mayoritas karakternya bisa menambah kekuatan di berbagai tingkat Super Saiya, dimana mereka mengalami perubahan rambut mulai dari kuning, merah sampai biru? Saking banyak dan sudah sedemikian tingginya mode power-up terbaru, rasanya sudah tak ada yang lebih kuat daripada itu. Siapa sangka, film ini masih punya satu lagi.

Agar mode terkuat ini bisa keluar, tentu harus dipancing oleh musuh terkuat juga. Namanya Broly. Penggemar lama pasti kenal, karena ia pernah muncul dalam film ke-11, Dragon Ball Z: Broly - The Legendary Super Saiyan. Kisahnya relatif tak berhubungan langsung dengan Goku dkk, tapi berkat latar belakang yang dipermak langsung oleh Toriyama, Broly sekarang berada dalam kontinuitas cerita utama Dragon Ball.

Dengan ini, Toriyama juga berhasil menciptakan karakter paling keren dalam sejarah Dragon Ball. Broly adalah karakter superkuat (bahkan kekuatan mentahnya saja bisa melibas Goku dan Vegeta sekaligus) yang simpatik. Ia tak suka pamer kekuatan, apalagi bertarung *uhuk Goku dkk*. Alasannya duel semata-mata karena manipulasi dari ayahnya, Paragus, dan si jahat Frieza.

Awal mulanya adalah saat planet Saiya dijajah oleh Frieza. Frieza yang terancam oleh keberadaan manusia Saiya, memutuskan untuk menghancurkan planet tersebut beserta isinya. Goku dan Vegeta berhasil diselamatkan dengan dikirim ke bumi. Tapi sebelum itu, Broly bayi dan ayahnya sudah dikirim duluan ke planet terisolir bernama Vampa. Disana, Broly tumbuh menjadi manusia Saiya yang sangat tangguh. Sampai kemudian, Frieza menemukannya lalu mengutusnya ke bumi untuk duel melawan Goku.

Kehadiran Broly membawa kehancuran yang tak terbayangkan. Pertarungan antara tiga karakter superkuat ini (empat jika dihitung dengan Frieza yang nimbrung sebentar) cukup untuk memporak-porandakan bumi. Mereka adalah agen destruksi yang mampu mengubah antartika menjadi gunung berapi. Duel yang bahkan menembus dimensi. Saya sampai penasaran kenapa kok bumi gak kiamat-kiamat juga.

Saya tak akan merahasiakan jurus pamungkas dalam film ini. Sebab, pasti itu yang paling anda tunggu bukan? Lagipula, membicarakannya tentu tak sedahsyat menyaksikannya sendiri. Jurus tersebut adalah sesuatu bernama Gogeta, fusion antara Goku dan Vegeta. Nah, penggemar lama pasti sudah tahu bahwa ini bukan pertama kalinya Gogeta muncul dalam saga Dragon Ball. Namun di film ini lah Toriyama akhirnya menempatkan Gogeta dalam kronologi resminya. Penampilannya sendiri diperlakukan sebagai pencapaian evolusi terkuat.

Saya tak perlu membeberkan akhir ceritanya karena anda pasti sudah tahu. Dragon Ball sepertinya memang tak punya cerita yang bisa diceritakan lagi. Jadi, yang kita dapatkan adalah fanservice belaka. Latar belakang yang sedikit merestrukturisasi mitologi Dragon Ball disini membuat film ini mudah dipahami oleh penonton yang bahkan cuma menyelesaikan satu semester jurusan Ilmu Perdragonballan. Separuh sisanya adalah hajar menghajar dengan energi tingkat tinggi. Buat saya, kalau ini terlalu lama juga jadi terasa sedikit melelahkan. Saya butuh sedikit drama.

*nyalain Liga Dangdut Indonesia* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dragon Ball Super: Broly

100 menit
Remaja
Tatsuya Nagamine
Akira Toriyama
Toei Animation
Norihito Sumitomo

Saturday, February 16, 2019

Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)
link : Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)

Baca juga


Aksi

Yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya mampu memeras humor dari aktivitas kriminal yang brutal.

“I picked a good road early and I stayed on it.”
— Nelson Coxman
Rating UP:
Cold Pursuit seolah sudah meminta agar kita menyebutnya sebagai Taken On Ice. Premisnya terdengar seperti satu lagi variasi dari Film Dimana Liam Neeson Beraksi Kaya Taken Tapi Di ... [isi sendiri]. Kita dibawa ke Istanbul, atau naik kereta pesawat, tapi ujung-ujungnya, filmnya yaa soal Liam Neeson yang menjadi mesin pembunuh berkat particular set of skills-nya. Tidak kali ini. Betul, ia membantai banyak orang. Tapi yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya yang mampu memeras humor dari aktivitas brutal dan tak patut diteladani tersebut.


Neeson bermain sebagai Nels Coxman, pria biasa yang baru saja dianugerahi piala "Warga Terbaik Tahun Ini". Pekerjaannya adalah supir mobil pengeruk salju di resort ski di Kehoe, Colorado. Kalau bukan karena Nels, jalanan disana tak bakal bisa dilalui kendaraan. Dataran bersalju tebal ini tentu menjadi latar yang indah dan sangat cocok bagi darah untuk bermuncratan.

Awal perkaranya adalah kematian anak Nels. Hasil visum menunjukkan bahwa anaknya meninggal karena overdosis. Tapi setahu Nels, anaknya bukanlah seorang pemakai. Nels bermaksud bunuh diri, tapi batal setelah tahu bahwa anaknya sebetulnya dibunuh oleh anggota kartel narkoba. Ganti rencana; sekarang ia bersumpah akan membunuh semua anggota kartel, mulai dari kroco-kroco sampai sang bos yang dikenal dengan julukan Viking (Tom Bateman).

Anda sudah tahu bagaimana prosedurnya... atau apa memang begitu? Memang akan ada banyak mayat berjatuhan, tapi bukan lewat cara yang anda kira anda dapatkan dari film aksi Liam Neeson. Cold Pursuit adalah cuma soal killing list. Adegan aksinya berada di posisi sekunder. Film ini menegaskan itu dengan menampilkan daftar bertuliskan nama serta julukan norak semacam Speedo, Limbo, dll lengkap dengan lambang salib, setiap ada karakter yang mati. Karena yang berangkat ke alam sana ada banyak, maka kita akan sering membaca layar. Film bahkan menggunakan hal ini sebagai punchline nantinya.

Film ini digarap oleh Hans Petter Moland. Ia membuat ulang film ini dari filmnya sendiri, In Order of Disappearance yang berbahasa Norwegia. Judul tersebut barangkali lebih tepat. Karena plotnya hampir sama persis dengan film tersebut, film ini punya humor gelap yang bersumber dari aksi kriminal. Namun film ini bukan film komedi, karena tak ada satu pun karakter yang mencoba melucu. Kekontrasan banyak situasi nyeleneh dengan keseriusan di layar lah yang terasa sangat aneh sampai jadinya lucu. Moland memancing kita ketawa di tengah pembantaian.

Killing list tadi bukan menjadi milik karakter Liam Neeson semata. Pasalnya, balas dendamnya membuat situasi menjadi kacau. Viking malah menuduh bahwa kematian kroconya adalah perbuatan rivalnya, kartel Indian yang diketuai White Bull (Tom Jackson). Film ini melipir cukup lama supaya kita bisa nongkrong dengan anggota geng-geng ini dan melihat kesibukan mereka. Kita juga bakal berkenalan dengan kakak Coxman, mantan kriminal berjuluk Wingman (William Forsyth) yang punya istri Asia yang doyan ngomong kasar. Ada pula dua polisi Kehoe (Emily Rossum dan John Doman) yang mencoba mencerna segala kekacauan ini.

Semuanya kurang lebih hanya bertugas untuk melontarkan satu atau dua dialog lucu. Namun seringkali kita menghabiskan waktu terlalu lama dengan mereka, sehingga mau tak mau mereka terkesan sebagai bagian dari subplot yang sayangnya tak berjalan kemana-mana. Karakter Neeson menghilang cukup lama di pertengahan film, dan ini terasa sangat kentara. Jadinya, konfrontasi di klimaks terkesan agak canggung secara naratif, walau merupakan akhir yang memuaskan.

Neeson bermain lurus seperti biasanya ia bermain di film-film aksi. Namun ia tak punya one-liner disini. Berbanding terbalik, Tom Bateman memainkan karakternya begitu maniak sampai terlihat seperti karikatur dari penjahat paling penjahat sepanjang sejarah sinema; ia tak punya empati sama anak buah, suka memukul (mantan) istri dan memberi nasihat yang salah buat sang anak. Dan vegetarian. Di atas kertas, film ini nyaris terkesan seperti parodi dari genrenya, tapi ia berhasil menjadi film thriller yang serius. Mungkin tak sesukses Fargo-nya Coen Brothers, yang agaknya menjadi inspirasi utamanya. Yang jelas, saya tetap ketawa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cold Pursuit

118 menit
Remaja
Hans Petter Moland
Frank Baldwin
Finn Gjerdrum, Stein B. Kvae, Michael Shamberg, Ameet Shukla
Philip Øgaard
George Fenton

Yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya mampu memeras humor dari aktivitas kriminal yang brutal.

“I picked a good road early and I stayed on it.”
— Nelson Coxman
Rating UP:
Cold Pursuit seolah sudah meminta agar kita menyebutnya sebagai Taken On Ice. Premisnya terdengar seperti satu lagi variasi dari Film Dimana Liam Neeson Beraksi Kaya Taken Tapi Di ... [isi sendiri]. Kita dibawa ke Istanbul, atau naik kereta pesawat, tapi ujung-ujungnya, filmnya yaa soal Liam Neeson yang menjadi mesin pembunuh berkat particular set of skills-nya. Tidak kali ini. Betul, ia membantai banyak orang. Tapi yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya yang mampu memeras humor dari aktivitas brutal dan tak patut diteladani tersebut.


Neeson bermain sebagai Nels Coxman, pria biasa yang baru saja dianugerahi piala "Warga Terbaik Tahun Ini". Pekerjaannya adalah supir mobil pengeruk salju di resort ski di Kehoe, Colorado. Kalau bukan karena Nels, jalanan disana tak bakal bisa dilalui kendaraan. Dataran bersalju tebal ini tentu menjadi latar yang indah dan sangat cocok bagi darah untuk bermuncratan.

Awal perkaranya adalah kematian anak Nels. Hasil visum menunjukkan bahwa anaknya meninggal karena overdosis. Tapi setahu Nels, anaknya bukanlah seorang pemakai. Nels bermaksud bunuh diri, tapi batal setelah tahu bahwa anaknya sebetulnya dibunuh oleh anggota kartel narkoba. Ganti rencana; sekarang ia bersumpah akan membunuh semua anggota kartel, mulai dari kroco-kroco sampai sang bos yang dikenal dengan julukan Viking (Tom Bateman).

Anda sudah tahu bagaimana prosedurnya... atau apa memang begitu? Memang akan ada banyak mayat berjatuhan, tapi bukan lewat cara yang anda kira anda dapatkan dari film aksi Liam Neeson. Cold Pursuit adalah cuma soal killing list. Adegan aksinya berada di posisi sekunder. Film ini menegaskan itu dengan menampilkan daftar bertuliskan nama serta julukan norak semacam Speedo, Limbo, dll lengkap dengan lambang salib, setiap ada karakter yang mati. Karena yang berangkat ke alam sana ada banyak, maka kita akan sering membaca layar. Film bahkan menggunakan hal ini sebagai punchline nantinya.

Film ini digarap oleh Hans Petter Moland. Ia membuat ulang film ini dari filmnya sendiri, In Order of Disappearance yang berbahasa Norwegia. Judul tersebut barangkali lebih tepat. Karena plotnya hampir sama persis dengan film tersebut, film ini punya humor gelap yang bersumber dari aksi kriminal. Namun film ini bukan film komedi, karena tak ada satu pun karakter yang mencoba melucu. Kekontrasan banyak situasi nyeleneh dengan keseriusan di layar lah yang terasa sangat aneh sampai jadinya lucu. Moland memancing kita ketawa di tengah pembantaian.

Killing list tadi bukan menjadi milik karakter Liam Neeson semata. Pasalnya, balas dendamnya membuat situasi menjadi kacau. Viking malah menuduh bahwa kematian kroconya adalah perbuatan rivalnya, kartel Indian yang diketuai White Bull (Tom Jackson). Film ini melipir cukup lama supaya kita bisa nongkrong dengan anggota geng-geng ini dan melihat kesibukan mereka. Kita juga bakal berkenalan dengan kakak Coxman, mantan kriminal berjuluk Wingman (William Forsyth) yang punya istri Asia yang doyan ngomong kasar. Ada pula dua polisi Kehoe (Emily Rossum dan John Doman) yang mencoba mencerna segala kekacauan ini.

Semuanya kurang lebih hanya bertugas untuk melontarkan satu atau dua dialog lucu. Namun seringkali kita menghabiskan waktu terlalu lama dengan mereka, sehingga mau tak mau mereka terkesan sebagai bagian dari subplot yang sayangnya tak berjalan kemana-mana. Karakter Neeson menghilang cukup lama di pertengahan film, dan ini terasa sangat kentara. Jadinya, konfrontasi di klimaks terkesan agak canggung secara naratif, walau merupakan akhir yang memuaskan.

Neeson bermain lurus seperti biasanya ia bermain di film-film aksi. Namun ia tak punya one-liner disini. Berbanding terbalik, Tom Bateman memainkan karakternya begitu maniak sampai terlihat seperti karikatur dari penjahat paling penjahat sepanjang sejarah sinema; ia tak punya empati sama anak buah, suka memukul (mantan) istri dan memberi nasihat yang salah buat sang anak. Dan vegetarian. Di atas kertas, film ini nyaris terkesan seperti parodi dari genrenya, tapi ia berhasil menjadi film thriller yang serius. Mungkin tak sesukses Fargo-nya Coen Brothers, yang agaknya menjadi inspirasi utamanya. Yang jelas, saya tetap ketawa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cold Pursuit

118 menit
Remaja
Hans Petter Moland
Frank Baldwin
Finn Gjerdrum, Stein B. Kvae, Michael Shamberg, Ameet Shukla
Philip Øgaard
George Fenton

Wednesday, February 13, 2019

Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)
link : Review Film: 'The Lego Movie 2: The Second Part' (2019)

Baca juga


Aksi

Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama.

“It's like it knows our every move!”
— Lucy
Rating UP:
Dalam The Lego Movie 2: The Second Part, ada lagu baru yang merupakan versi plesetan dari lagu racun "Everything is Awesome"-nya The Lego Movie. Judulnya "Everything's Not Awesome". Saya tak tahu apakah ini memang sengaja dimaksudkan sebagai pengakuan akan kualitas filmnya dibandingkan film yang pertama, tapi yang jelas, saya menangkap potongan liriknya yang sangat ngeklik dengan hal tersebut:

♪ "Everything's not awesome. Things can't be awesome all of the time. It's not realistic expectation. But that doesn't mean we shouldn't try." ♪


Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama. Animasi yang dirilis di tahun 2014 tersebut sukses menghancurkan ekspektasi kita dengan menjadi film yang lucu, cerdas, dan hangat. Salah satu penyebabnya barangkali karena kitanya saja yang sudah berekspektasi duluan akan menyaksikan iklan lego sepanjang dua jam. Namun ternyata, lebih dari sekadar visual yang unik dan kreatif, The Lego Movie juga memperdaya kita dengan narasi dan pengungkapan yang dieksekusi dengan brilian.

Sekarang, kita sudah tahu cara main The Lego Movie. Tak ada lagi yang bisa membuat kita seterkejut dulu. Dan ya, ini menjadikan The Lego Movie 2 tak se-awesome The Lego Movie. Namun bukan berarti pembuat filmnya tak mencoba untuk menjadikannya awesome. Film ini bahkan menggali angle baru dari premisnya yang lalu, yang otomatis mengekspansi karakter dan semestanya menjadi lebih berwarna. Walau tak lagi terasa segar lagi, tapi ia masih fun.

Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, kita kembali ke Bricksburg. Kota Lego yang ceria ini diinvasi oleh alien imut tapi mematikan yang berasal dari planet Duplo. Bahkan pahlawan Lego Justice League tak bisa menangani ini (catatan: Lego Avengers tak memberi kabar). Lima tahu kemudian, Bricksburg berubah menjadi Apocalypseburg; reruntuhan gersang versi Lego dari Mad Max: Fury Road, lengkap dengan para karakter yang nyeleneh.

Jagoan kita, Emmett (Chris Pratt) masih seperti yang dulu kita kenal; polos dan penuh semangat. Tapi temannya, Lucy (Elizabeth Banks) berubah menjadi getir dan suram. Lucy suka menatap jauh ke depan dan berkontemplasi muram soal apa pun, bahkan soal kopi yang dibawa Emmett. Lucy bilang bahwa gak semua hal itu awesome dan cobalah dewasa dikit.

Tiba-tiba ada invasi lagi. Kali ini Jendral Mayhem (Stephanie Beatriz) berhasil menculik Lucy, Batman (Will Arnett), Unikitty (Alison Brie), MetalBeard (Nick Offerman), dan Spaceman Benny (Charlie Day). Emmett harus berjuang untuk menyelamatkan mereka ke Galaksi Sys-Tar, dimana Ratu Wateva Wan'abi (Tiffany Haddish) berencana untuk menikahi Batman. Untuk itu, Emmett untungnya dibantu oleh Rex Dangervest (juga disuarakan Pratt), jagoan yang sikapnya kebalikan dari Emmett. Macho, tangguh, dan percaya diri. Oh dan kebetulan ia juga space cowboy ala Star-Lord-nya Guardians of the Galaxy dan punya peliharaan velociraptor ala Owen Grady-nya Jurassic World.

Kebetulan yang gak disengaja.

Jadi... uhm, Bricksburg hancur... uhm, supaya Batman... mau nikah. Absurd memang. Tapi coba bayangkan dari sisi dunia nyata, dimana bocah yang punya Lego dari film pertama, Finn (Jadon Sand) disuruh main meladeni adiknya (Brooklyn Prince) yang punya mainan Duplo. Sama seperti film pertama, peristiwa di semesta Lego berlangsung paralel dengan dunia nyata. Anak cewek mana coba yang gak main nikah-nikahan? Ini membuka kesempatan bagi filmnya untuk menyajikan lebih banyak karakter, setpieces dan lelucon baru. Kapan lagi melihat Superman memotong rumput atau Batman memakai kostum berwarna putih?

Kreator film pertama, Phil Lord & Christopher Miller, kembali menangani film ini meski hanya sebatas penulis skrip, sementara posisi sutradara diambil alih oleh Mike Mitchell (Trolls). Mereka kembali memberikan pesan keluarga yang hangat soal pendewasaan tanpa melupakan kesenangan masa kanak-kanak. Kali ini soal adik-kakak, dimana Maya Rudolph bermain sebagai sang ibu. Namun hal ini tentu tak punya tohokan emosional sedahsyat film pertama. Dalam The Lego Movie 2, kita sudah tahu apa yang sedang dan bakal terjadi. Ini menimbulkan sedikit sensasi dragging dalam bercerita. 

Namun film ini juga punya semua yang mau dari sebuah sekuel The Lego Movie. Meski tak digarap langsung oleh tangan yang sama, ia tak lantas terasa lebih inferior secara teknis. Sekuens aksinya masih imajinatif. Dialog dan lelucon dilemparkan dengan gesit. Referensi budaya populer dan cameo bertebaran disana-sini. Di satu titik, Lucy harus kabur lewat saluran ventilasi, dan tebak ia ketemu siapa. Dan soal lagu. Film ini punya lebih banyak adegan musikal, terutama karena Ratu Wateva Wan'abi memang suka bernyanyi. Salah satunya adalah "Catchy Song" yang memang didesain untuk bersarang di kepala kita.

Semua ini fun. Namun tak lagi begitu mengejutkan; kita kurang lebih sudah melihat semuanya di film pertama. Petir tak menyambar di tempat yang sama dua kali walau sumber dan energinya sama. Kita bisa merasakan bahwa film ini dibuat dengan sangat telaten, lebih dari sekedar usaha gampangan untuk menjual merek. Hal ini membuatnya menjadi sekuel yang sangat pas untuk The Lego Movie pertama. Film ini enerjik, cerdik, dan punya pesan hangat. But yeah, things can't be awesome all of the time. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Movie 2: The Second Part

107 menit
Semua Umur - BO
Mike Mitchell
Phil Lord, Christopher Miller
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Roy Lee, Jinko Goto
Mark Mothersbaugh

Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama.

“It's like it knows our every move!”
— Lucy
Rating UP:
Dalam The Lego Movie 2: The Second Part, ada lagu baru yang merupakan versi plesetan dari lagu racun "Everything is Awesome"-nya The Lego Movie. Judulnya "Everything's Not Awesome". Saya tak tahu apakah ini memang sengaja dimaksudkan sebagai pengakuan akan kualitas filmnya dibandingkan film yang pertama, tapi yang jelas, saya menangkap potongan liriknya yang sangat ngeklik dengan hal tersebut:

♪ "Everything's not awesome. Things can't be awesome all of the time. It's not realistic expectation. But that doesn't mean we shouldn't try." ♪


Rasa-rasanya memang tak realistis mengharapkan bahwa film ini bakal se-awesome film pertama. Animasi yang dirilis di tahun 2014 tersebut sukses menghancurkan ekspektasi kita dengan menjadi film yang lucu, cerdas, dan hangat. Salah satu penyebabnya barangkali karena kitanya saja yang sudah berekspektasi duluan akan menyaksikan iklan lego sepanjang dua jam. Namun ternyata, lebih dari sekadar visual yang unik dan kreatif, The Lego Movie juga memperdaya kita dengan narasi dan pengungkapan yang dieksekusi dengan brilian.

Sekarang, kita sudah tahu cara main The Lego Movie. Tak ada lagi yang bisa membuat kita seterkejut dulu. Dan ya, ini menjadikan The Lego Movie 2 tak se-awesome The Lego Movie. Namun bukan berarti pembuat filmnya tak mencoba untuk menjadikannya awesome. Film ini bahkan menggali angle baru dari premisnya yang lalu, yang otomatis mengekspansi karakter dan semestanya menjadi lebih berwarna. Walau tak lagi terasa segar lagi, tapi ia masih fun.

Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, kita kembali ke Bricksburg. Kota Lego yang ceria ini diinvasi oleh alien imut tapi mematikan yang berasal dari planet Duplo. Bahkan pahlawan Lego Justice League tak bisa menangani ini (catatan: Lego Avengers tak memberi kabar). Lima tahu kemudian, Bricksburg berubah menjadi Apocalypseburg; reruntuhan gersang versi Lego dari Mad Max: Fury Road, lengkap dengan para karakter yang nyeleneh.

Jagoan kita, Emmett (Chris Pratt) masih seperti yang dulu kita kenal; polos dan penuh semangat. Tapi temannya, Lucy (Elizabeth Banks) berubah menjadi getir dan suram. Lucy suka menatap jauh ke depan dan berkontemplasi muram soal apa pun, bahkan soal kopi yang dibawa Emmett. Lucy bilang bahwa gak semua hal itu awesome dan cobalah dewasa dikit.

Tiba-tiba ada invasi lagi. Kali ini Jendral Mayhem (Stephanie Beatriz) berhasil menculik Lucy, Batman (Will Arnett), Unikitty (Alison Brie), MetalBeard (Nick Offerman), dan Spaceman Benny (Charlie Day). Emmett harus berjuang untuk menyelamatkan mereka ke Galaksi Sys-Tar, dimana Ratu Wateva Wan'abi (Tiffany Haddish) berencana untuk menikahi Batman. Untuk itu, Emmett untungnya dibantu oleh Rex Dangervest (juga disuarakan Pratt), jagoan yang sikapnya kebalikan dari Emmett. Macho, tangguh, dan percaya diri. Oh dan kebetulan ia juga space cowboy ala Star-Lord-nya Guardians of the Galaxy dan punya peliharaan velociraptor ala Owen Grady-nya Jurassic World.

Kebetulan yang gak disengaja.

Jadi... uhm, Bricksburg hancur... uhm, supaya Batman... mau nikah. Absurd memang. Tapi coba bayangkan dari sisi dunia nyata, dimana bocah yang punya Lego dari film pertama, Finn (Jadon Sand) disuruh main meladeni adiknya (Brooklyn Prince) yang punya mainan Duplo. Sama seperti film pertama, peristiwa di semesta Lego berlangsung paralel dengan dunia nyata. Anak cewek mana coba yang gak main nikah-nikahan? Ini membuka kesempatan bagi filmnya untuk menyajikan lebih banyak karakter, setpieces dan lelucon baru. Kapan lagi melihat Superman memotong rumput atau Batman memakai kostum berwarna putih?

Kreator film pertama, Phil Lord & Christopher Miller, kembali menangani film ini meski hanya sebatas penulis skrip, sementara posisi sutradara diambil alih oleh Mike Mitchell (Trolls). Mereka kembali memberikan pesan keluarga yang hangat soal pendewasaan tanpa melupakan kesenangan masa kanak-kanak. Kali ini soal adik-kakak, dimana Maya Rudolph bermain sebagai sang ibu. Namun hal ini tentu tak punya tohokan emosional sedahsyat film pertama. Dalam The Lego Movie 2, kita sudah tahu apa yang sedang dan bakal terjadi. Ini menimbulkan sedikit sensasi dragging dalam bercerita. 

Namun film ini juga punya semua yang mau dari sebuah sekuel The Lego Movie. Meski tak digarap langsung oleh tangan yang sama, ia tak lantas terasa lebih inferior secara teknis. Sekuens aksinya masih imajinatif. Dialog dan lelucon dilemparkan dengan gesit. Referensi budaya populer dan cameo bertebaran disana-sini. Di satu titik, Lucy harus kabur lewat saluran ventilasi, dan tebak ia ketemu siapa. Dan soal lagu. Film ini punya lebih banyak adegan musikal, terutama karena Ratu Wateva Wan'abi memang suka bernyanyi. Salah satunya adalah "Catchy Song" yang memang didesain untuk bersarang di kepala kita.

Semua ini fun. Namun tak lagi begitu mengejutkan; kita kurang lebih sudah melihat semuanya di film pertama. Petir tak menyambar di tempat yang sama dua kali walau sumber dan energinya sama. Kita bisa merasakan bahwa film ini dibuat dengan sangat telaten, lebih dari sekedar usaha gampangan untuk menjual merek. Hal ini membuatnya menjadi sekuel yang sangat pas untuk The Lego Movie pertama. Film ini enerjik, cerdik, dan punya pesan hangat. But yeah, things can't be awesome all of the time. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Movie 2: The Second Part

107 menit
Semua Umur - BO
Mike Mitchell
Phil Lord, Christopher Miller
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Roy Lee, Jinko Goto
Mark Mothersbaugh

Tuesday, February 5, 2019

Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)
link : Review Film: 'Alita: Battle Angel' (2019)

Baca juga


Aksi

Semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. 'Alita: Battle Angel' belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris.

“This is just your body. It's not bad or good. That part's up to you.”
— Dr. Dyson Ido
Rating UP:
Alita: Battle Angel diadaptasi dari manga. Anda barangkali bisa menebak ini saat menonton filmnya. Menyaksikannya serasa membaca komik serial yang penuh dengan banyak cerita dan episode kecil. Semuanya dijejalkan ke dalam satu film berdurasi 2 jam, dan tentu saja hasilnya bakal penuh sesak dan tak karuan. Namun, kualifikasi tadi juga saya maksudkan sebagai pujian; Alita punya karakter, semesta, dan sekuens aksi menarik yang agaknya jarang sekali kita dapatkan di media selain manga. Atau anime.


Film ini merupakan adaptasi Hollywood dari manga karya Yukito Kishiro yang dirilis pada tahun 90an. Selama hampir dua dekade, James Cameron berusaha mengembangkannya, tapi sayangnya terhenti saat ia memilih fokus pada Avatar yang kemudian menjadi film terlaris sepanjang masa. Sekarang ia hanya hanya bertindak sebagai (salah satu) penulis skrip dan produser, dengan Robert Rodriguez sebagai sutradara. Anda mungkin akan terkejut melihat bagaimana Rodriguez, sutradara yang memberikan kita Desperado, Spy Kids, dan Machete, dengan entengnya bisa masuk ke ranah blockbuster berskala masif.

Semestanya adalah kota bernama Iron City di tahun 2563. Iron City merupakan kota kumuh yang selamat pasca bencana besar yang disebut Kejatuhan. Populasinya padat dan konon katanya semua orang dari pelosok bumi berkumpul disini untuk mencari pekerjaan. Pekerjaannya adalah apapun, entah itu memasok energi, berkebun atau jadi tentara bayaran, pokoknya yang berkontribusi dalam menunjang operasional Zalem, kota misterius yang melayang di atas Iron City. Dengan kata lain; Iron City adalah budak Zalem.

Di pembuangan sampah Zalem di Iron City, karakter utama kita ditemukan oleh Dr Dyson Ido (Christoph Waltz), seorang dokter mekanik yang bespesialisasi membuat dan memperbaiki organ robotik atau cyborg. Ido memasangkan tubuh ke kepala karakter utama kita yang ternyata masih aktif, lalu memberinya nama Alita. Alita tak ingat apa pun, tapi entah bagaimana muscle memory-nya menyimpan kemampuan bertarung yang dahsyat.

Alita bukanlah cyborg dengan penampilan semanusiawi, katakanlah, Scarlett Johansson-nya Ghost in the Shell. Berkat kecanggihan teknologi sinema saat ini, Alita dihadirkan sebagai kreasi CGI fotorealistik, mungkin ditambah dengan bantuan motion-capture, yang punya tubuh ceking dan mata superbelo. Barangkali sekalian mau kasih penghormatan ke manga-nya. Terlihat ganjil iya, tapi beberapa menit kemudian saya sudah terbiasa. Penghantaran dialog yang ekspresif dari pemerannya, Rosa Salazar, menghidupkan Alita untuk lebih jadi sekadar karakter yang sebetulnya datar.

Bahkan, Rodriguez dan Cameron tak tanggung-tanggung dalam menghadirkan keanehan desain karakter lain. Cyborg disini benar-benar cyborg. Dengan anggota tubuh, bentuk dan proporsi badan yang tak masuk akal, mereka sama sekali sudah tak terlihat seperti manusia. Sungguh sangat seru melihat wajah manusia yang bicara di atas tubuh hibrida antara traktor dengan gergaji mesin. Kota futuristik mereka juga dihadirkan dengan detail yang luar biasa.

Sebagaimana biasa, Rodriguez selalu tahu bagaimana cara mendapatkan pemain pendukung mentereng yang overqualified. Ada Jennifer Connelly sebagai Chiren, mantan istri Ido yang menjalin hubungan dengan seorang promotor yang mencurigakan, Vector (Mahershala Ali). Ed Skrein mendapat bagian sebagai cyborg sengak yang berprofesi sebagai seorang Kesatria-Pemburu. Apapun itu, bodoamat. Eiza Gonzalez sebagai cyborg seksi yang mematikan. Dan Jackie Earl Haley meminjamkan suara dan wajahnya untuk menjadi cyborg gempal yang haus darah.

Saya tak begitu ingat apa pengaruh signifikan mereka bagi Alita. Sebab pertama, karena mereka emang gak ngaruh-ngaruh banget, dan yang kedua, karena ada banyak hal lain yang harus kita perhatikan dalam sekali tonton. Anda tahu, Alita tak cuma ingin mencari tahu soal masa lalunya. Ia juga disibukkan dengan keberadaan cowok tampan bernama Hugo (Keean Johnson) yang punya latar belakang misterius. Lalu Alita sempat mendaftarkan diri untuk menjadi Kesatria-Pemburu. Dan masih sempat-sempatnya pula ia menjadi kontestan dalam olahraga mematikan bernama Motorball, semacam hasil dari rollerblade + rugby + Nascar + Transformers. Anda akan paham saat menyaksikannya sendiri.

Ada banyak hal yang berjalan dalam Alita: Battle Angel, dan pembuatnya seperti tak bisa menemukan fokus. Rodriguez dan Cameron bisa saja membuat tiga film yang berbeda dari film ini. Barangkali dengan sedikit modifikasi atau bahkan skrip yang lebih baik, ceritanya bakal lebih enak diikuti. Saat durasi film sudah memasuki satu setengah jam, saya sempat mengecek jam lalu kepikiran bahwa kayaknya filmnya masih panjang. Ada banyak jalinan plot yang belum disimpulkan dan agaknya tak mungkin berakhir dalam setengah jam. Eehh, rupanya saya keliru... tapi juga tak salah.

Yang lebih saya nikmati adalah bagaimana Rodriguez menghandel adegan aksinya. Ada film yang terselamatkan berkat efek spesial, dan Alita adalah salah satunya. Tim efek spesial dari Weta Digital-nya Peter Jackson menghadirkan CGI yang terang, jelas, dan meyakinkan. Dan Rodriguez menyajikan sekuens aksinya, yang kerap kali sangat kompleks, dengan koheren dan elegan. Dalam film Desperado dkk, Rodriguez sering memakai angle dan gerakan kamera yang eksesif, tapi ia seperti menahan diri disini. Kok sampai saat ini kita tak melihat lebih banyak Rodriguez yah di lanskap blockbuster modern? Struktur ceritanya agak kacau, tapi siapa peduli selagi keren dilihat; rasa-rasanya begini juga sih kebanyakan film superhero sekarang.

Sejauh ini, semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. Alita: Battle Angel belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris. Rodriguez merupakan salah satu sutradara yang sangat cepat merangkul kemajuan teknologi film digital saat sineas lain masih gagap memakainya, dan dia sepertinya sangat nyaman sekali menangani film dengan konsep dan skala yang seepik ini. Beberapa aspek tidak bekerja dalam Alita, tapi aspek-aspek yang bekerja membuat saya merasa bahwa Rodriguez bukanlah pilihan yang keliru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Alita: Battle Angel

122 menit
Remaja
Robert Rodriguez
James Cameron, Laeta Kalogridis (screenplay), Yukito Kishiro (manga)
James Cameron, Jon Landau
Bill Pope
Tom Holkenborg

Semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. 'Alita: Battle Angel' belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris.

“This is just your body. It's not bad or good. That part's up to you.”
— Dr. Dyson Ido
Rating UP:
Alita: Battle Angel diadaptasi dari manga. Anda barangkali bisa menebak ini saat menonton filmnya. Menyaksikannya serasa membaca komik serial yang penuh dengan banyak cerita dan episode kecil. Semuanya dijejalkan ke dalam satu film berdurasi 2 jam, dan tentu saja hasilnya bakal penuh sesak dan tak karuan. Namun, kualifikasi tadi juga saya maksudkan sebagai pujian; Alita punya karakter, semesta, dan sekuens aksi menarik yang agaknya jarang sekali kita dapatkan di media selain manga. Atau anime.


Film ini merupakan adaptasi Hollywood dari manga karya Yukito Kishiro yang dirilis pada tahun 90an. Selama hampir dua dekade, James Cameron berusaha mengembangkannya, tapi sayangnya terhenti saat ia memilih fokus pada Avatar yang kemudian menjadi film terlaris sepanjang masa. Sekarang ia hanya hanya bertindak sebagai (salah satu) penulis skrip dan produser, dengan Robert Rodriguez sebagai sutradara. Anda mungkin akan terkejut melihat bagaimana Rodriguez, sutradara yang memberikan kita Desperado, Spy Kids, dan Machete, dengan entengnya bisa masuk ke ranah blockbuster berskala masif.

Semestanya adalah kota bernama Iron City di tahun 2563. Iron City merupakan kota kumuh yang selamat pasca bencana besar yang disebut Kejatuhan. Populasinya padat dan konon katanya semua orang dari pelosok bumi berkumpul disini untuk mencari pekerjaan. Pekerjaannya adalah apapun, entah itu memasok energi, berkebun atau jadi tentara bayaran, pokoknya yang berkontribusi dalam menunjang operasional Zalem, kota misterius yang melayang di atas Iron City. Dengan kata lain; Iron City adalah budak Zalem.

Di pembuangan sampah Zalem di Iron City, karakter utama kita ditemukan oleh Dr Dyson Ido (Christoph Waltz), seorang dokter mekanik yang bespesialisasi membuat dan memperbaiki organ robotik atau cyborg. Ido memasangkan tubuh ke kepala karakter utama kita yang ternyata masih aktif, lalu memberinya nama Alita. Alita tak ingat apa pun, tapi entah bagaimana muscle memory-nya menyimpan kemampuan bertarung yang dahsyat.

Alita bukanlah cyborg dengan penampilan semanusiawi, katakanlah, Scarlett Johansson-nya Ghost in the Shell. Berkat kecanggihan teknologi sinema saat ini, Alita dihadirkan sebagai kreasi CGI fotorealistik, mungkin ditambah dengan bantuan motion-capture, yang punya tubuh ceking dan mata superbelo. Barangkali sekalian mau kasih penghormatan ke manga-nya. Terlihat ganjil iya, tapi beberapa menit kemudian saya sudah terbiasa. Penghantaran dialog yang ekspresif dari pemerannya, Rosa Salazar, menghidupkan Alita untuk lebih jadi sekadar karakter yang sebetulnya datar.

Bahkan, Rodriguez dan Cameron tak tanggung-tanggung dalam menghadirkan keanehan desain karakter lain. Cyborg disini benar-benar cyborg. Dengan anggota tubuh, bentuk dan proporsi badan yang tak masuk akal, mereka sama sekali sudah tak terlihat seperti manusia. Sungguh sangat seru melihat wajah manusia yang bicara di atas tubuh hibrida antara traktor dengan gergaji mesin. Kota futuristik mereka juga dihadirkan dengan detail yang luar biasa.

Sebagaimana biasa, Rodriguez selalu tahu bagaimana cara mendapatkan pemain pendukung mentereng yang overqualified. Ada Jennifer Connelly sebagai Chiren, mantan istri Ido yang menjalin hubungan dengan seorang promotor yang mencurigakan, Vector (Mahershala Ali). Ed Skrein mendapat bagian sebagai cyborg sengak yang berprofesi sebagai seorang Kesatria-Pemburu. Apapun itu, bodoamat. Eiza Gonzalez sebagai cyborg seksi yang mematikan. Dan Jackie Earl Haley meminjamkan suara dan wajahnya untuk menjadi cyborg gempal yang haus darah.

Saya tak begitu ingat apa pengaruh signifikan mereka bagi Alita. Sebab pertama, karena mereka emang gak ngaruh-ngaruh banget, dan yang kedua, karena ada banyak hal lain yang harus kita perhatikan dalam sekali tonton. Anda tahu, Alita tak cuma ingin mencari tahu soal masa lalunya. Ia juga disibukkan dengan keberadaan cowok tampan bernama Hugo (Keean Johnson) yang punya latar belakang misterius. Lalu Alita sempat mendaftarkan diri untuk menjadi Kesatria-Pemburu. Dan masih sempat-sempatnya pula ia menjadi kontestan dalam olahraga mematikan bernama Motorball, semacam hasil dari rollerblade + rugby + Nascar + Transformers. Anda akan paham saat menyaksikannya sendiri.

Ada banyak hal yang berjalan dalam Alita: Battle Angel, dan pembuatnya seperti tak bisa menemukan fokus. Rodriguez dan Cameron bisa saja membuat tiga film yang berbeda dari film ini. Barangkali dengan sedikit modifikasi atau bahkan skrip yang lebih baik, ceritanya bakal lebih enak diikuti. Saat durasi film sudah memasuki satu setengah jam, saya sempat mengecek jam lalu kepikiran bahwa kayaknya filmnya masih panjang. Ada banyak jalinan plot yang belum disimpulkan dan agaknya tak mungkin berakhir dalam setengah jam. Eehh, rupanya saya keliru... tapi juga tak salah.

Yang lebih saya nikmati adalah bagaimana Rodriguez menghandel adegan aksinya. Ada film yang terselamatkan berkat efek spesial, dan Alita adalah salah satunya. Tim efek spesial dari Weta Digital-nya Peter Jackson menghadirkan CGI yang terang, jelas, dan meyakinkan. Dan Rodriguez menyajikan sekuens aksinya, yang kerap kali sangat kompleks, dengan koheren dan elegan. Dalam film Desperado dkk, Rodriguez sering memakai angle dan gerakan kamera yang eksesif, tapi ia seperti menahan diri disini. Kok sampai saat ini kita tak melihat lebih banyak Rodriguez yah di lanskap blockbuster modern? Struktur ceritanya agak kacau, tapi siapa peduli selagi keren dilihat; rasa-rasanya begini juga sih kebanyakan film superhero sekarang.

Sejauh ini, semua adaptasi manga gagal diadaptasi oleh Hollywood. Alita: Battle Angel belum berhasil sih, tapi posisinya nyaris. Rodriguez merupakan salah satu sutradara yang sangat cepat merangkul kemajuan teknologi film digital saat sineas lain masih gagap memakainya, dan dia sepertinya sangat nyaman sekali menangani film dengan konsep dan skala yang seepik ini. Beberapa aspek tidak bekerja dalam Alita, tapi aspek-aspek yang bekerja membuat saya merasa bahwa Rodriguez bukanlah pilihan yang keliru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Alita: Battle Angel

122 menit
Remaja
Robert Rodriguez
James Cameron, Laeta Kalogridis (screenplay), Yukito Kishiro (manga)
James Cameron, Jon Landau
Bill Pope
Tom Holkenborg

Thursday, January 10, 2019

Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)
link : Review Film: 'How to Train Your Dragon: The Hidden World' (2019)

Baca juga


Aksi

'How to Train Your Dragon 3' punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan.

“Its you and me bud. Always.”
— Hiccup
Rating UP:
Setelah sembilan tahun belajar cara melatih naga, jagoan kita, Hiccup (Jay Baruchel) tentu saja seharusnya sudah lulus; kalau tidak, yaa dropout karena sudah lewat dari standar 7-tahun-nya Kemristekdikti. Jadi sekarang sudah bukan soal melatih naga lagi. Maka, senang menjumpai bahwa How to Train Your Dragon 3 yang merupakan film terakhir dari franchisenya, benar-benar berperan sebagai penutup yang hakiki. Film ini memberikan kita momen dramatis, yang memang tak bisa dihindari, dengan (((cukup))) pas. Ia sekaligus juga memberi jawaban memuaskan soal kenapa manusia tak lagi menjumpai naga saat ini.


Sudah banyak yang berubah selama hampir satu dekade. Hiccup sudah jadi kepala suku Berk, melanjutkan tongkat estafet dari ayahnya. Brewoknya sudah mulai tumbuh. Ia juga harus siap melanjutkan hubungannya dengan Astrid (America Ferrerra) ke jenjang yang lebih jauh, soalnya Astrid pasti juga gak mau digantung terus. Naga peliharaan Hiccup, seekor Night Fury yang diberi nama Toothless, sudah menjadi naga alfa, yang membuatnya bisa memerintah naga mana pun. Satu hal yang membuat How to Train Your Dragon menarik dicermati adalah karena filmnya bertumbuh bersama karakter. Para jagoan kita bertambah dewasa, demikian pula dengan masalah mereka. Ceritanya dibangun dengan menyadari perubahan dalam rentang waktu yang panjang.

Di film pertama, Hiccup berhasil membuat sukunya hidup harmonis dengan naga, merubah mereka dari pemburu naga menjadi penjinak naga. Di film berikutnya, ia sukses mengatasi ancaman dari tim pemburu naga yang dipimpin si sadis Drago Bludvist dengan naga raksasanya. Setelah semua itu, apalagi coba konflik yang bakal dihadapi Hiccup dan Toothless? Kayaknya sih tak ada yang bisa lebih besar.

Itulah kenapa ancaman baru dari Grimmel the Grisly (F. Murray Abraham) tak begitu menggigit, padahal ia punya pasukan naga kalajengking yang bisa menyemburkan asam korosif dari mulut mereka. "Kamu belum pernah ketemu yang seperti aku," ujar Grimmel kepada Hiccup saat ia nyaris berhasil menculik Toothless. Namun kita serasa sudah pernah. Film ini butuh sesuatu untuk menggerakkan Hiccup dan sukunya dari kampung halaman mereka. Dan Grimmel hanyalah duri kecil yang bertugas untuk itu.

Tujuan mereka adalah surga dunia bagi para naga, tempat misterius yang bernama "Hidden World". Gak hidden-hidden banget sih, soalnya kita sudah bisa melihatnya dengan utuh di pertengahan film. Tapi saya tak akan komplain. "Hidden World" benar-benar surga visual; tempat yang dibangun dengan CGI mempesona, dihiasi dengan warna-warni neon yang menyilaukan mata. Kualitas gambar di film ketiga ini melewati semua yang pernah kita lihat di film pendahulunya. Detailnya luar biasa. Sutradara Dean DeBlois, yang terbang solo sejak film kedua, memanfaatkan kedinamisan mediumnya untuk memberikan sekuens aerial yang imersif.

Menemukan "Hidden World" bukan satu-satunya masalah Hiccup. Sobat karibnya, Toothless sedang kasmaran karena baru berjumpa dengan naga satu spesies yang diberi nama Light Fury. Kasmarannya sudah kronis, sampai Toothless harus menggelinjang tak karuan demi menarik perhatian sang gebetan. Ini membuat Hiccup tertinggal, dengan konflik batin yang Hiccup sendiri pun tak tahu. Tanpa Toothless, Hiccup ternyata menjadi protagonis yang tak begitu menarik. Disini saya menyadari bahwa Hiccup ini sebetulnya adalah karakter yang lumayan membosankan. Ia tak *uhuk* bergigi tanpa naganya.

Hal yang sama barangkali juga berlaku untuk karakter yang sudah kita kenal dari film-film sebelumnya. Kita berjumpa kembali dengan si kembar Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishleg (Christopher Mintz-Plasse), Gobber (Craig Ferguson), Eret (Kit Harrington), Snotlout (Jonah Hill), serta ibu Hiccup, Valka (Cate Blanchett). Mereka *benar-benar* terasa seperti karakter pendukung saja, entah itu untuk memperumit situasi atau sekadar ngelawak.

Namun barangkali itu bukan poin utamanya. Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah mekanika plot agar Hiccup bisa meninjau kembali hubungannya dengan Toothless. Film ini tak ragu-ragu untuk memberikan pernyataan realistis tentang bagaimana arti sesungguhnya dari peduli terhadap seseorang/sesuatu. Menatap tujuan baru dan merelakan yang telah berlalu. Tak begitu emosional, tapi film memolesnya dengan cara melandaskan konflik internal ini lewat flashback yang melibatkan Hiccup kecil dengan ayahnya Stoick (Gerard Butler).

Meski plotnya tak begitu mengikat, ada banyak hal yang sangat layak untuk disaksikan dari film ini, khususnya kualitas animasinya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski demikian, How to Train Your Dragon 3 pantas eksis bukan cuma karena alasan itu saja; ia punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

How to Train Your Dragon: The Hidden World

104 menit
Semua Umur - BO
Dean DeBlois
Dean DeBlois (screenplay), Cressida Cowell (buku)
Bonnie Arnold, Brad Lewis
John Powell

'How to Train Your Dragon 3' punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan.

“Its you and me bud. Always.”
— Hiccup
Rating UP:
Setelah sembilan tahun belajar cara melatih naga, jagoan kita, Hiccup (Jay Baruchel) tentu saja seharusnya sudah lulus; kalau tidak, yaa dropout karena sudah lewat dari standar 7-tahun-nya Kemristekdikti. Jadi sekarang sudah bukan soal melatih naga lagi. Maka, senang menjumpai bahwa How to Train Your Dragon 3 yang merupakan film terakhir dari franchisenya, benar-benar berperan sebagai penutup yang hakiki. Film ini memberikan kita momen dramatis, yang memang tak bisa dihindari, dengan (((cukup))) pas. Ia sekaligus juga memberi jawaban memuaskan soal kenapa manusia tak lagi menjumpai naga saat ini.


Sudah banyak yang berubah selama hampir satu dekade. Hiccup sudah jadi kepala suku Berk, melanjutkan tongkat estafet dari ayahnya. Brewoknya sudah mulai tumbuh. Ia juga harus siap melanjutkan hubungannya dengan Astrid (America Ferrerra) ke jenjang yang lebih jauh, soalnya Astrid pasti juga gak mau digantung terus. Naga peliharaan Hiccup, seekor Night Fury yang diberi nama Toothless, sudah menjadi naga alfa, yang membuatnya bisa memerintah naga mana pun. Satu hal yang membuat How to Train Your Dragon menarik dicermati adalah karena filmnya bertumbuh bersama karakter. Para jagoan kita bertambah dewasa, demikian pula dengan masalah mereka. Ceritanya dibangun dengan menyadari perubahan dalam rentang waktu yang panjang.

Di film pertama, Hiccup berhasil membuat sukunya hidup harmonis dengan naga, merubah mereka dari pemburu naga menjadi penjinak naga. Di film berikutnya, ia sukses mengatasi ancaman dari tim pemburu naga yang dipimpin si sadis Drago Bludvist dengan naga raksasanya. Setelah semua itu, apalagi coba konflik yang bakal dihadapi Hiccup dan Toothless? Kayaknya sih tak ada yang bisa lebih besar.

Itulah kenapa ancaman baru dari Grimmel the Grisly (F. Murray Abraham) tak begitu menggigit, padahal ia punya pasukan naga kalajengking yang bisa menyemburkan asam korosif dari mulut mereka. "Kamu belum pernah ketemu yang seperti aku," ujar Grimmel kepada Hiccup saat ia nyaris berhasil menculik Toothless. Namun kita serasa sudah pernah. Film ini butuh sesuatu untuk menggerakkan Hiccup dan sukunya dari kampung halaman mereka. Dan Grimmel hanyalah duri kecil yang bertugas untuk itu.

Tujuan mereka adalah surga dunia bagi para naga, tempat misterius yang bernama "Hidden World". Gak hidden-hidden banget sih, soalnya kita sudah bisa melihatnya dengan utuh di pertengahan film. Tapi saya tak akan komplain. "Hidden World" benar-benar surga visual; tempat yang dibangun dengan CGI mempesona, dihiasi dengan warna-warni neon yang menyilaukan mata. Kualitas gambar di film ketiga ini melewati semua yang pernah kita lihat di film pendahulunya. Detailnya luar biasa. Sutradara Dean DeBlois, yang terbang solo sejak film kedua, memanfaatkan kedinamisan mediumnya untuk memberikan sekuens aerial yang imersif.

Menemukan "Hidden World" bukan satu-satunya masalah Hiccup. Sobat karibnya, Toothless sedang kasmaran karena baru berjumpa dengan naga satu spesies yang diberi nama Light Fury. Kasmarannya sudah kronis, sampai Toothless harus menggelinjang tak karuan demi menarik perhatian sang gebetan. Ini membuat Hiccup tertinggal, dengan konflik batin yang Hiccup sendiri pun tak tahu. Tanpa Toothless, Hiccup ternyata menjadi protagonis yang tak begitu menarik. Disini saya menyadari bahwa Hiccup ini sebetulnya adalah karakter yang lumayan membosankan. Ia tak *uhuk* bergigi tanpa naganya.

Hal yang sama barangkali juga berlaku untuk karakter yang sudah kita kenal dari film-film sebelumnya. Kita berjumpa kembali dengan si kembar Tuffnut (Justin Rupple) dan Ruffnut (Kristen Wiig), Fishleg (Christopher Mintz-Plasse), Gobber (Craig Ferguson), Eret (Kit Harrington), Snotlout (Jonah Hill), serta ibu Hiccup, Valka (Cate Blanchett). Mereka *benar-benar* terasa seperti karakter pendukung saja, entah itu untuk memperumit situasi atau sekadar ngelawak.

Namun barangkali itu bukan poin utamanya. Semua hiruk pikuk tersebut hanyalah mekanika plot agar Hiccup bisa meninjau kembali hubungannya dengan Toothless. Film ini tak ragu-ragu untuk memberikan pernyataan realistis tentang bagaimana arti sesungguhnya dari peduli terhadap seseorang/sesuatu. Menatap tujuan baru dan merelakan yang telah berlalu. Tak begitu emosional, tapi film memolesnya dengan cara melandaskan konflik internal ini lewat flashback yang melibatkan Hiccup kecil dengan ayahnya Stoick (Gerard Butler).

Meski plotnya tak begitu mengikat, ada banyak hal yang sangat layak untuk disaksikan dari film ini, khususnya kualitas animasinya yang mengalami peningkatan cukup signifikan. Meski demikian, How to Train Your Dragon 3 pantas eksis bukan cuma karena alasan itu saja; ia punya cerita lama untuk disimpulkan walau tak punya cerita baru untuk diceritakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

How to Train Your Dragon: The Hidden World

104 menit
Semua Umur - BO
Dean DeBlois
Dean DeBlois (screenplay), Cressida Cowell (buku)
Bonnie Arnold, Brad Lewis
John Powell

Saturday, June 30, 2018

Review Film: 'Sicario 2: Day of the Soldado' (2018)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Sicario 2: Day of the Soldado' (2018)
link : Review Film: 'Sicario 2: Day of the Soldado' (2018)

Baca juga


Aksi

Taylor Sheridan sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan.

“You got to do what you got to do.”
— Alejandro
Rating UP:
Taylor Sheridan (Hell or High Water, Wind River) sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan. Ia bahkan mungkin bisa membuat riwayat asmara saya yang biasa-biasa saja menjadi film aksi-thriller brutal yang mencekam... dengan banyak nyawa melayang di dalamnya.

Itu adalah testimoni saya mengenai keterampilan skrip Sheridan dalam Sicario 2: Day of the Soldado. Bahkan saat disini ia harus kehilangan empat pemain kunci dari film pertama: aktris Emily Blunt, sutradara Denis Villeneuve, sinematografer Roger Deakins, dan komposer Johann Johannsson. Bahkan saat ia relatif tak punya cerita untuk diceritakan. Yang dibutuhkannya cuma beberapa kru yang lumayan, sutradara yang cukup berkomitmen, dan pemain utama yang karismatik.


Soldado jelas tak sengehek Sicario. Selain karena aspek teknisnya yang sedikit lebih superior, sebagian besar penyebabnya adalah karena ia tak punya hooking point yang dimiliki oleh film pertama, yang dihadirkan lewat kenaifan karakter Blunt yang menyaksikan betapa abu-abunya batas moralitas dalam lingkaran konflik perdagangan narkoba. Kita dibuat syok dengan pengungkapan bahwa penegak keadilan tak jauh berbeda korup dan kejinya dengan para kriminal yang mereka berantas. Soldado hanya sedikit menyampaikan hal baru mengenai sistem pemerintahan yang kebablasan ini, namun ia mampu berdiri dengan kokoh sebagai film aksi-drama yang cukup mengikat.

Setelah menonton Sicario, kita sudah tahu bahwa hanya akan ada sedikit sensitivitas moral yang dipunyai oleh karakter kuncinya. Absennya karakter Blunt membuat perspektif dalam Soldado bergeser. Agen lapangan CIA, Matt Graver (Josh Brolin) dan pembunuh bayaran, Alejandro (Benicio Del Toro) yang sebelumnya menjadi karakter sampingan, sekarang adalah karakter utama. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berseragam yang tak punya aturan. Sedari awal, Matt tak ragu-ragu menerapkan metode yang jauh lebih kejam daripada waterboarding saat menginterogasi seorang bajak laut Somalia.

Karisma Brolin dan Del Toro begitu kuat hingga mereka menguasai momen apapun saat muncul di layar. Gaya slenge'an karakter Matt yang pernah ke markas dengan sendal jepit tak lagi akan anda ingat, sebab Brolin kali ini lebih serius. Misi adalah prioritasnya, tapi ada sedikit nuansa pemberontakan yang terasa di dalam dedikasinya. Sementara Del Toro... aktor ini mampu berbuat banyak tanpa perlu banyak bacot. Ia hanya perlu berdiri lalu menatap tajam, dan kita akan bergidik. Ia adalah pembunuh yang efektif, dan meski saya sama sekali tak mendukung ini, ia sukses membuat aksi membantai orang terlihat keren.

Soldado dimulai dengan segerombolan imigran ilegal yang melintasi perbatasan Meksiko-Amerika di tengah malam buta. Mereka bukan imigran biasa, karena saat hampir terciduk, mereka meledakkan diri. Di lain waktu, bom bunuh diri juga terjadi di sebuah supermarket di Amerika. Teroris kah? Bagaimana mereka bisa masuk ke Amerika? Salah satu alasannya adalah karena tembok raksasa nan mutakhir buatan presiden Trump belum jadi. Namun karena ini bukan film politik, maka yang menjadi biang keroknya ternyata adalah kartel narkoba. Katanya, menyusupkan manusia jauh lebih menguntungkan daripada menyelundupkan kokain.

Pemerintah, lewat karakter yang diperankan Matthew Modine dan Catherine Keener, kemudian menghubungi seseorang yang patut dihubungi saat mereka harus melakukan pekerjaan kotor: Matt Graver. Misi Matt adalah menculik Isabel Reyes (Isabela Moner), anak gadis dari seorang bos kartel, lalu membuatnya terkesan sebagai aksi dari kartel sebelah. Dengan begini, mereka akan saling menyalahkan, dan otomatis akan saling bantai lewat perang antarkartel. Pemerintah Amerika bisa ongkang-ongkang kaki. Rencananya sih begitu.

Untuk melakukan ini, Matt merekrut kenalan lamanya, Alejandro yang juga punya dendam lama kepada sang bos kartel. Kebetulan. Tentu saja, semua tak berjalan dengan lancar. Terlebih saat sebagian besar polisi Meksiko ternyata digaji oleh kartel. Saat situasi menjadi kacau, pemerintah Amerika bermaksud cuci tangan. Tapi tim Matt dan Alejandro sudah terlanjur basah. Ya sudah, mandi sekalian.

Sementara itu, dalam bagian yang tak begitu menarik, kita diperkenalkan dengan Miguel (Elijah Rodriguez), remaja Amerika berdarah Meksiko yang tinggal di perbatasan. Ia direkrut oleh kartel sebagai salah satu eksekutor penyelundupan manusia. Tentu saja, nanti petualangan Miguel akan bersilangan dengan karakter utama kita. Saya rasa, momen ini dimaksudkan untuk memberi dampak emosional yang lumayan tajam. Meski begitu, perjalanan karakter yang klise dengan karakterisasi yang kurang mengesankan, membuatnya terasa hambar. Subplot mengenai Miguel terasa sedikit mendistraksi, padahal ini berperan penting nantinya.

Namun ini adalah komplain kecil kalau dibandingkan dengan bagaimana terampilnya Sheridan membangun cerita dan mengatur ritme. Menjelang akhir, ada momen krusial yang sebenarnya terkesan mustahil terjadi dalam konteks film "serius". Tapi nyatanya lumayan bekerja, karena kita sebelumnya dikondisikan untuk berharap itu bakal bekerja, setidaknya selama kita menonton. Saya mencoba sotoy nih, tapi saya yakin sutradara Stefano Sollima lumayan setia mengikuti visi Sheridan. Soalnya, Soldado tetap terasa berlangsung di semesta yang sama dengan Sicario, meski atmosfernya memang tak semisterius itu. Mayoritas intensitas tak lagi tercipta berkat atmosfer, melainkan penanganan sekuens aksi yang kompeten oleh Sollima. Adegan penyergapan di jalanan gurun Meksiko berisi cukup suspens hingga kita terhenyak saat huru-hara yang sesungguhnya dilepaskan.

Kalau dibandingkan dengan Sicario, film ini memang lebih dangkal. Jika yang ingin disampaikan Sheridan adalah soal ambiguitas moral, maka ia sudah membeberkan semuanya lewat film pertama. Bahkan usaha untuk memanusiakan karakter Alejandro juga terasa biasa sekali; ia sekarang (agaknya) menjadi tokoh antihero yang konvensional. Sebetulnya, sulit membayangkan bagaimana film semacam Sicario bisa menghasilkan sekuel. Namun Sheridan pandai mengemas barang receh. Disini, ia bahkan ia mampu menge-set kemungkinan baru yang menjanjikan sesuatu lebih besar yang akan datang. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sicario: Day of the Soldado

122 menit
Dewasa
Stefano Sollima
Taylor Sheridan
Basil Iwanyk, Edward L. McDonnell, Molly Smith, Thad Luckinbill, Trent Luckinbill
Dariusz Wolski
Hildur Guðnadóttir

Taylor Sheridan sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan.

“You got to do what you got to do.”
— Alejandro
Rating UP:
Taylor Sheridan (Hell or High Water, Wind River) sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan. Ia bahkan mungkin bisa membuat riwayat asmara saya yang biasa-biasa saja menjadi film aksi-thriller brutal yang mencekam... dengan banyak nyawa melayang di dalamnya.

Itu adalah testimoni saya mengenai keterampilan skrip Sheridan dalam Sicario 2: Day of the Soldado. Bahkan saat disini ia harus kehilangan empat pemain kunci dari film pertama: aktris Emily Blunt, sutradara Denis Villeneuve, sinematografer Roger Deakins, dan komposer Johann Johannsson. Bahkan saat ia relatif tak punya cerita untuk diceritakan. Yang dibutuhkannya cuma beberapa kru yang lumayan, sutradara yang cukup berkomitmen, dan pemain utama yang karismatik.


Soldado jelas tak sengehek Sicario. Selain karena aspek teknisnya yang sedikit lebih superior, sebagian besar penyebabnya adalah karena ia tak punya hooking point yang dimiliki oleh film pertama, yang dihadirkan lewat kenaifan karakter Blunt yang menyaksikan betapa abu-abunya batas moralitas dalam lingkaran konflik perdagangan narkoba. Kita dibuat syok dengan pengungkapan bahwa penegak keadilan tak jauh berbeda korup dan kejinya dengan para kriminal yang mereka berantas. Soldado hanya sedikit menyampaikan hal baru mengenai sistem pemerintahan yang kebablasan ini, namun ia mampu berdiri dengan kokoh sebagai film aksi-drama yang cukup mengikat.

Setelah menonton Sicario, kita sudah tahu bahwa hanya akan ada sedikit sensitivitas moral yang dipunyai oleh karakter kuncinya. Absennya karakter Blunt membuat perspektif dalam Soldado bergeser. Agen lapangan CIA, Matt Graver (Josh Brolin) dan pembunuh bayaran, Alejandro (Benicio Del Toro) yang sebelumnya menjadi karakter sampingan, sekarang adalah karakter utama. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berseragam yang tak punya aturan. Sedari awal, Matt tak ragu-ragu menerapkan metode yang jauh lebih kejam daripada waterboarding saat menginterogasi seorang bajak laut Somalia.

Karisma Brolin dan Del Toro begitu kuat hingga mereka menguasai momen apapun saat muncul di layar. Gaya slenge'an karakter Matt yang pernah ke markas dengan sendal jepit tak lagi akan anda ingat, sebab Brolin kali ini lebih serius. Misi adalah prioritasnya, tapi ada sedikit nuansa pemberontakan yang terasa di dalam dedikasinya. Sementara Del Toro... aktor ini mampu berbuat banyak tanpa perlu banyak bacot. Ia hanya perlu berdiri lalu menatap tajam, dan kita akan bergidik. Ia adalah pembunuh yang efektif, dan meski saya sama sekali tak mendukung ini, ia sukses membuat aksi membantai orang terlihat keren.

Soldado dimulai dengan segerombolan imigran ilegal yang melintasi perbatasan Meksiko-Amerika di tengah malam buta. Mereka bukan imigran biasa, karena saat hampir terciduk, mereka meledakkan diri. Di lain waktu, bom bunuh diri juga terjadi di sebuah supermarket di Amerika. Teroris kah? Bagaimana mereka bisa masuk ke Amerika? Salah satu alasannya adalah karena tembok raksasa nan mutakhir buatan presiden Trump belum jadi. Namun karena ini bukan film politik, maka yang menjadi biang keroknya ternyata adalah kartel narkoba. Katanya, menyusupkan manusia jauh lebih menguntungkan daripada menyelundupkan kokain.

Pemerintah, lewat karakter yang diperankan Matthew Modine dan Catherine Keener, kemudian menghubungi seseorang yang patut dihubungi saat mereka harus melakukan pekerjaan kotor: Matt Graver. Misi Matt adalah menculik Isabel Reyes (Isabela Moner), anak gadis dari seorang bos kartel, lalu membuatnya terkesan sebagai aksi dari kartel sebelah. Dengan begini, mereka akan saling menyalahkan, dan otomatis akan saling bantai lewat perang antarkartel. Pemerintah Amerika bisa ongkang-ongkang kaki. Rencananya sih begitu.

Untuk melakukan ini, Matt merekrut kenalan lamanya, Alejandro yang juga punya dendam lama kepada sang bos kartel. Kebetulan. Tentu saja, semua tak berjalan dengan lancar. Terlebih saat sebagian besar polisi Meksiko ternyata digaji oleh kartel. Saat situasi menjadi kacau, pemerintah Amerika bermaksud cuci tangan. Tapi tim Matt dan Alejandro sudah terlanjur basah. Ya sudah, mandi sekalian.

Sementara itu, dalam bagian yang tak begitu menarik, kita diperkenalkan dengan Miguel (Elijah Rodriguez), remaja Amerika berdarah Meksiko yang tinggal di perbatasan. Ia direkrut oleh kartel sebagai salah satu eksekutor penyelundupan manusia. Tentu saja, nanti petualangan Miguel akan bersilangan dengan karakter utama kita. Saya rasa, momen ini dimaksudkan untuk memberi dampak emosional yang lumayan tajam. Meski begitu, perjalanan karakter yang klise dengan karakterisasi yang kurang mengesankan, membuatnya terasa hambar. Subplot mengenai Miguel terasa sedikit mendistraksi, padahal ini berperan penting nantinya.

Namun ini adalah komplain kecil kalau dibandingkan dengan bagaimana terampilnya Sheridan membangun cerita dan mengatur ritme. Menjelang akhir, ada momen krusial yang sebenarnya terkesan mustahil terjadi dalam konteks film "serius". Tapi nyatanya lumayan bekerja, karena kita sebelumnya dikondisikan untuk berharap itu bakal bekerja, setidaknya selama kita menonton. Saya mencoba sotoy nih, tapi saya yakin sutradara Stefano Sollima lumayan setia mengikuti visi Sheridan. Soalnya, Soldado tetap terasa berlangsung di semesta yang sama dengan Sicario, meski atmosfernya memang tak semisterius itu. Mayoritas intensitas tak lagi tercipta berkat atmosfer, melainkan penanganan sekuens aksi yang kompeten oleh Sollima. Adegan penyergapan di jalanan gurun Meksiko berisi cukup suspens hingga kita terhenyak saat huru-hara yang sesungguhnya dilepaskan.

Kalau dibandingkan dengan Sicario, film ini memang lebih dangkal. Jika yang ingin disampaikan Sheridan adalah soal ambiguitas moral, maka ia sudah membeberkan semuanya lewat film pertama. Bahkan usaha untuk memanusiakan karakter Alejandro juga terasa biasa sekali; ia sekarang (agaknya) menjadi tokoh antihero yang konvensional. Sebetulnya, sulit membayangkan bagaimana film semacam Sicario bisa menghasilkan sekuel. Namun Sheridan pandai mengemas barang receh. Disini, ia bahkan ia mampu menge-set kemungkinan baru yang menjanjikan sesuatu lebih besar yang akan datang. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sicario: Day of the Soldado

122 menit
Dewasa
Stefano Sollima
Taylor Sheridan
Basil Iwanyk, Edward L. McDonnell, Molly Smith, Thad Luckinbill, Trent Luckinbill
Dariusz Wolski
Hildur Guðnadóttir

Tuesday, June 26, 2018

Review Film: 'Escape Plan 2: Hades' (2018)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Escape Plan 2: Hades' (2018)
link : Review Film: 'Escape Plan 2: Hades' (2018)

Baca juga


Aksi

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa jangan beli kucing dalam karung.

“It's bad to be back.”
— Ray Breslin
Rating UP:
“Yeah, really really bad.” — Teguh Raspati

Kata orang jangan suka "beli kucing dalam karung", sebab kita tak tahu betul apa isi karungnya. Kalau beruntung, kita memang dapat kucing. Tapi kalau tidak, yang mana biasanya begitu jika menilik peribahasanya, yang kita dapati justru yang lebih buruk; mustahil kita dikasih, katakanlah, cendrawasih. Atau seribu followers, misalnya.


Menonton film ini, ekspektasi saya tak muluk-muluk. Tak perlu filmnya high class, yang penting ada Sylvester Stallone dan sedikit adegan planning dan escaping dari penjara, yang mana merupakan ciri yang dicetak oleh film pertamanya. Mari kita sebut ini "kucing". "Karung"-nya adalah poster dengan judul besar "Escape Plan 2: Hades" yang dihiasi wajah raksasa Stallone dan Dave Bautista.

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa tadi. Bukannya kucing dalam karung; siapa sangka, saya malah dikasih karung berisi sampah.

Kalau anda masih ingat, Escape Plan pertama adalah film yang mempertemukan Stallone dengan Arnold Schwarzenegger dalam sebuah aksi kabur dari penjara. Team-up mereka ini memang tak seepik yang kita harapkan. Mekanisme plot soal aksi kabur mereka juga lumayan lebay dan sok rumit. Namun semua masih berada di titik yang hampir, kalau tidak mau dibilang cukup, menghibur. Yang jelas, ceritanya berhasil. Tunggu sampai anda menonton sekuelnya ini. Uda Ivan Lanin, apa padanan superlatif dari kata "lebay"?

Penjara superketat kali ini bernama Hades. Ini adalah penjara yang kemutakhiran dan keanehannya sudah bukan level manusia lagi, mungkin dibuat alien. Ada robot dokter, senjata listrik, dan, uhm, medan energi (iki film uopoo?!), yang kesemuanya diejawantahkan lewat efek spesial murahan. Selnya adalah satu ruangan yang dipenuhi dengan lampu neon menyilaukan yang mungkin ditujukan untuk membuat narapidana sakit kepala dan penonton sekaligus. Di waktu tertentu, kepala penjara yang berjuluk Zookeper (Titus Welliver) akan merancang para tahanan untuk bertarung satu sama lain.

Bagaimana ceritanya Ray (Stallone) bisa masuk kesitu? Tak ada ceritanya, sebab yang masuk kesana bukan Ray melainkan Shu (Xiaoming Huang), karyawan di perusahaan inspeksi keamanan milik Ray. Ia dikurung bersama sepupunya, Yusheng (Chen Tang) yang kebetulan adalah bos sebuah perusahaan teknologi yang diincar oleh perusahaan saingan.

Sementara itu, selagi Shu mencoba mencari cara untuk kabur termasuk bekerja sama dengan tahanan lain, sekali-sekali Ray berdiskusi dengan partnernya (50 Cent) sembari memasang tampang khawatir di kantornya. Sebelum benar-benar turun tangan sebentar di bagian akhir sekali nanti, saya menyimpulkan bahwa usaha penyelamatan yang dilakukan Ray meliputi: (1) telepati, sebab setiap kali Shu memusatkan pikiran, ia akan mendengar wejangan Ray; dan (2) penerawangan, sebab tanpa dibisiki siapapun, Ray langsung tahu bahwa Shu dikurung di Hades.

Yang tadi adalah usaha terbaik saya untuk menjelaskan plotnya. Masih ada printilan-printilan lain yang dimasukkan sekenanya ke dalam cerita. Misalnya mantan anak buah Ray lain yang bernama Kimbral (Wes Ctatham) yang ternyata juga ditawan di Hades. Ada pula semacam drama ganjil yang melibatkan persaudaraan antara Shu dan Yusheng yang harus dipertaruhkan gara-gara sebuah paten. Semua ini terasa kosong oleh karena plotting-nya yang amburadul, dialog-dialognya yang sudah cukup menggelikan, ditambah pula dengan akting dari pemain utamanya yang tak lebih baik daripada adik balita anda. Tak sedikitpun kita dibuat tertarik dengan karakternya.

Durasinya cuma 85 menit, tapi terasa dua kali lebih panjang karena ceritanya sendiri tak pernah menemukan momentum sampai akhir. Sutradaranya adalah Steven C. Miller yang (saya asumsikan) pernah menculik keluarga Bruce Willis agar mau bermain dalam 3 filmnya yang receh, Extraction, Marauders, dan First Kill. Ia sepertinya menyuruh kameramen untuk bergerak lebih lincah daripada stuntman, dan ingin agar kita juga seaktif itu mencerna gambar-gambar hiperaktif di layar.

Saya menemukan info bahwa film ini jeblok di Amerika, tapi sukses di luar Amerika, dan sangat berjaya di Cina. Oooooh, makanya yang main orang Cina. Film ini mungkin memang khusus dibuat untuk Cina. Tapi ini tak bisa menjustifikasi akting yang malas. Menariknya, sinopsis film ini di RottenTomatoes menggandengkan nama Stallone dengan prediket Best Suporting Actor-nya Oscar (yang diperolehnya lewat Creed). Ah, mungkin di Escape Plan 2, Stallone tak mau pamer dengan kedahsyatan aktingnya.

Saya tahu film ini akan jelek tapi saya tak mengira bakal sejelek ini. Kalau melihat kualitas produk akhirnya, wajar jika kita menyimpulkan bahwa pembuat film dan semua yang terlibat di dalamnya tak berusaha sama sekali. Setpieces dan efek spesialnya hancur sekali. Film ini terlihat seperti film yang terbentuk saat seseorang menonton film pertamanya lalu memutuskan untuk membuat sekuelnya dalam skala rumahan. Lalu saya dibuat bergidik saat menemukan di Wikipedia bahwa akan ada Escape Plan 3. Bikin planning untuk escape anda mulai dari sekarang.

**

Sebentar. Dimana Bautista muncul? Ah, saya lupa. Tapi siapa peduli, lha yang bikin film juga gitu.■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Escape Plan 2: Hades

94 menit
Dewasa
Steven C. Miller
Miles Chapman
Robbie Brenner, Mark Canton, Randall Emmett, George Furla, Zack Schiller
Brandon Cox
The Newton Brothers

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa jangan beli kucing dalam karung.

“It's bad to be back.”
— Ray Breslin
Rating UP:
“Yeah, really really bad.” — Teguh Raspati

Kata orang jangan suka "beli kucing dalam karung", sebab kita tak tahu betul apa isi karungnya. Kalau beruntung, kita memang dapat kucing. Tapi kalau tidak, yang mana biasanya begitu jika menilik peribahasanya, yang kita dapati justru yang lebih buruk; mustahil kita dikasih, katakanlah, cendrawasih. Atau seribu followers, misalnya.


Menonton film ini, ekspektasi saya tak muluk-muluk. Tak perlu filmnya high class, yang penting ada Sylvester Stallone dan sedikit adegan planning dan escaping dari penjara, yang mana merupakan ciri yang dicetak oleh film pertamanya. Mari kita sebut ini "kucing". "Karung"-nya adalah poster dengan judul besar "Escape Plan 2: Hades" yang dihiasi wajah raksasa Stallone dan Dave Bautista.

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa tadi. Bukannya kucing dalam karung; siapa sangka, saya malah dikasih karung berisi sampah.

Kalau anda masih ingat, Escape Plan pertama adalah film yang mempertemukan Stallone dengan Arnold Schwarzenegger dalam sebuah aksi kabur dari penjara. Team-up mereka ini memang tak seepik yang kita harapkan. Mekanisme plot soal aksi kabur mereka juga lumayan lebay dan sok rumit. Namun semua masih berada di titik yang hampir, kalau tidak mau dibilang cukup, menghibur. Yang jelas, ceritanya berhasil. Tunggu sampai anda menonton sekuelnya ini. Uda Ivan Lanin, apa padanan superlatif dari kata "lebay"?

Penjara superketat kali ini bernama Hades. Ini adalah penjara yang kemutakhiran dan keanehannya sudah bukan level manusia lagi, mungkin dibuat alien. Ada robot dokter, senjata listrik, dan, uhm, medan energi (iki film uopoo?!), yang kesemuanya diejawantahkan lewat efek spesial murahan. Selnya adalah satu ruangan yang dipenuhi dengan lampu neon menyilaukan yang mungkin ditujukan untuk membuat narapidana sakit kepala dan penonton sekaligus. Di waktu tertentu, kepala penjara yang berjuluk Zookeper (Titus Welliver) akan merancang para tahanan untuk bertarung satu sama lain.

Bagaimana ceritanya Ray (Stallone) bisa masuk kesitu? Tak ada ceritanya, sebab yang masuk kesana bukan Ray melainkan Shu (Xiaoming Huang), karyawan di perusahaan inspeksi keamanan milik Ray. Ia dikurung bersama sepupunya, Yusheng (Chen Tang) yang kebetulan adalah bos sebuah perusahaan teknologi yang diincar oleh perusahaan saingan.

Sementara itu, selagi Shu mencoba mencari cara untuk kabur termasuk bekerja sama dengan tahanan lain, sekali-sekali Ray berdiskusi dengan partnernya (50 Cent) sembari memasang tampang khawatir di kantornya. Sebelum benar-benar turun tangan sebentar di bagian akhir sekali nanti, saya menyimpulkan bahwa usaha penyelamatan yang dilakukan Ray meliputi: (1) telepati, sebab setiap kali Shu memusatkan pikiran, ia akan mendengar wejangan Ray; dan (2) penerawangan, sebab tanpa dibisiki siapapun, Ray langsung tahu bahwa Shu dikurung di Hades.

Yang tadi adalah usaha terbaik saya untuk menjelaskan plotnya. Masih ada printilan-printilan lain yang dimasukkan sekenanya ke dalam cerita. Misalnya mantan anak buah Ray lain yang bernama Kimbral (Wes Ctatham) yang ternyata juga ditawan di Hades. Ada pula semacam drama ganjil yang melibatkan persaudaraan antara Shu dan Yusheng yang harus dipertaruhkan gara-gara sebuah paten. Semua ini terasa kosong oleh karena plotting-nya yang amburadul, dialog-dialognya yang sudah cukup menggelikan, ditambah pula dengan akting dari pemain utamanya yang tak lebih baik daripada adik balita anda. Tak sedikitpun kita dibuat tertarik dengan karakternya.

Durasinya cuma 85 menit, tapi terasa dua kali lebih panjang karena ceritanya sendiri tak pernah menemukan momentum sampai akhir. Sutradaranya adalah Steven C. Miller yang (saya asumsikan) pernah menculik keluarga Bruce Willis agar mau bermain dalam 3 filmnya yang receh, Extraction, Marauders, dan First Kill. Ia sepertinya menyuruh kameramen untuk bergerak lebih lincah daripada stuntman, dan ingin agar kita juga seaktif itu mencerna gambar-gambar hiperaktif di layar.

Saya menemukan info bahwa film ini jeblok di Amerika, tapi sukses di luar Amerika, dan sangat berjaya di Cina. Oooooh, makanya yang main orang Cina. Film ini mungkin memang khusus dibuat untuk Cina. Tapi ini tak bisa menjustifikasi akting yang malas. Menariknya, sinopsis film ini di RottenTomatoes menggandengkan nama Stallone dengan prediket Best Suporting Actor-nya Oscar (yang diperolehnya lewat Creed). Ah, mungkin di Escape Plan 2, Stallone tak mau pamer dengan kedahsyatan aktingnya.

Saya tahu film ini akan jelek tapi saya tak mengira bakal sejelek ini. Kalau melihat kualitas produk akhirnya, wajar jika kita menyimpulkan bahwa pembuat film dan semua yang terlibat di dalamnya tak berusaha sama sekali. Setpieces dan efek spesialnya hancur sekali. Film ini terlihat seperti film yang terbentuk saat seseorang menonton film pertamanya lalu memutuskan untuk membuat sekuelnya dalam skala rumahan. Lalu saya dibuat bergidik saat menemukan di Wikipedia bahwa akan ada Escape Plan 3. Bikin planning untuk escape anda mulai dari sekarang.

**

Sebentar. Dimana Bautista muncul? Ah, saya lupa. Tapi siapa peduli, lha yang bikin film juga gitu.■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Escape Plan 2: Hades

94 menit
Dewasa
Steven C. Miller
Miles Chapman
Robbie Brenner, Mark Canton, Randall Emmett, George Furla, Zack Schiller
Brandon Cox
The Newton Brothers

Friday, June 15, 2018

Review Film: 'Incredibles 2' (2018)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Incredibles 2' (2018)
link : Review Film: 'Incredibles 2' (2018)

Baca juga


Aksi

'Incredibles 2' dengan mudahnya menjadi salah satu film superhero terbaik saat ini.

“Parenting, when done right, can be a heroic act.”
— Edna Mode
Rating UP:
Beberapa tahun sebelum dunia sinema diserbu film superhero, The Incredibles sudah hadir duluan sebagai film superhero yang tak cuma seru tapi juga relevan. Sekarang saat film superhero sudah hadir serutin cuitan Fadli Zon, Incredibles 2 dengan mudahnya menjadi salah satu dari beberapa film superhero terbaik. Oke, mungkin tidak seistimewa yang pertama, tapi hampir.


Sebelumnya, sutradara/penulis skrip The Incredibles, Brad Bird pernah bilang bahwa ia takkan membuat sekuel kalau tak punya cerita. Well, ia sekarang sudah punya cerita. Tak baru sih, makanya sensasi menontonnya tak segress dulu. Meski demikian, film ini juga bukan replay belaka. Idenya relatif masih sama, mengeskplorasi keseimbangan (atau malah ketidakseimbangan?) antara kehidupan keluarga dan kehidupan superhero, namun presentasinya segar dan sangat menghibur. Filmnya tak pernah terasa tumpul.

Kalau anda masih ingat, di akhir The Incredibles keluarga pahlawan kita membuktikan bahwa superhero memang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Namun ternyata ini baru wacana belaka, sebab di Incredibles 2, kehadiran mereka masih dinilai ilegal. Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, film ini dimulai dengan aksi keluarga Incredibles yang berusaha mengatasi villain bernama Underminer yang mengebor kota dengan mesin bor raksasa. Aksi sang penjahat berhasil dihentikan, tapi tindakan heroik mereka menimbulkan banyak kerusakan yang tentu saja tak direspon baik oleh pemerintah.

Namun masih ada pihak yang percaya pada superhero. Mereka adalah kakak beradik Winston dan Evelyn Deavor (Bob Odenkirk dan Catherine Keener). Mereka ingin membuat superhero kembali keren, dan caranya adalah lewat metode yang sudah teruji menggiring opini publik di Indonesia sejak tahun 2004, yakni kampanye. Dengan memasangkan kamera pada superhero maka masyarakat bisa melihat semua detil dari aksi heroik lalu mengapresiasinya. Agen kampanye yang mereka mau pastinya bukan Bob alias Mr Incredible (Craig T. Nelson) yang suka hajar sana-sini, melainkan Helen alias Elastigirl (Holly Hunter) yang mampu bekerja dengan sangat efektif.

Ini membuat Helen berada di garda terdepan dalam memberantas kejahatan, sementara Bob mau tak mau harus mengurus rumah tangga. Dan mengurus rumah tangga ternyata tak segampang itu; ia jadi superpenat dan kurang tidur. Si anak sulung, Violet (Sarah Vowell) tengah labil-labilnya, gusar karena sang gebetan lupa dengan namanya. Dash (Huck Milner) bermasalah dengan Matematika—hei, siapa yang tidak. Dan Jack-Jack... hmm, mengasuh bayi normal saja sudah bikin belingsatan, apalagi bayi yang bisa menembakkan laser, melayang, berpindah dimensi, mengeluarkan api, dan berubah jadi setan ungu.

Menyaksikan hiruk-pikuk rumah tangga keluarga superhero ini merupakan hiburan tersendiri. Film bahkan punya semacam segmen khusus bagi Jack-Jack untuk memamerkan kekuatannya lewat pertarungan epik dengan seekor rakun pengeruk sampah di belakang rumah—ini lucu dan jujur saja sedikit menakutkan. Namun di bagian yang berbeda, kita bisa melihat aksi khas film superhero lewat misi Elastigirl yang menyuguhkan tak cuma satu tapi setidaknya tiga sekuens aksi terbaik dan paling kinetik yang pernah saya lihat dalam film-film superhero belakangan ini.

Adegan-adegan tersebut adalah jenis adegan yang cuma bisa dipakai dalam film animasi. Dalam live-action ini akan jadi konyol, sebab Elastigirl memanfaatkan fleksibilitas tubuhnya jauh melewati batas yang bisa kita bayangkan. Imajinasi Bird menggila dalam mengkreasi probabilitas macam ini. Termasuk nanti saat muncul beberapa superhero baru yang punya kemampuan unik, diantaranya Voyd yang bisa bikin portal-kemana-saja, serta kawan lama keluarga Incredibles, Frozone (Samuel L. Jackson). Skala sekuens aksinya spektakuler, dan Bird mampu menyajikannya dengan keterampilan yang sedemikan rupa sehingga terasa mulus dan tetap menegangkan.

Ancaman paling membahayakan bagi keluarga Incredibles —selain gagal menidurkan bayi super yang hiperaktif— berasal dari villain berjuluk Screenslaver, yang sesuai namanya, bisa memperbudak orang dengan cara menghipnotis lewat layar apapun. Penjahat ini geram dengan masyarakat kekinian yang lebih suka menatap layar menyaksikan orang lain berbuat sesuatu daripada benar-benar melakukan sesuatu.

Sebentar, ini maksudnya apa? Nyindir?

Inilah kekuatan spesial yang diperlihatkan Bird dan juga studio Pixar sejak di The Incredibles, dan kemudian di Incredibles 2. Lewat animasi yang menawan, lelucon yang gurih, dan pengisi suara yang brilian, ia dengan cerdas menyelipkan beberapa isu-isu yang subversif tanpa terasa kentara atau mengganggu momentum film. Bagian-bagian ini, tentu saja, bakal lebih nampol bagi ayah dan ibu. Namun ada lebih dari cukup bagian seru yang akan membuat anak-anak kepincut. Sedangkan bagi anggota keluarga yang lain, film ini punya pertunjukan dinamika keluarga yang sangat asyik dan memikat. Tak sulit bagi saya untuk merekomendasikan film "paling keluarga" tahun ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Incredibles 2

118 menit
Semua Umur - BO
Brad Bird
Brad Bird
John Walker, Nicole Paradis Grindle
Michael Giacchino

'Incredibles 2' dengan mudahnya menjadi salah satu film superhero terbaik saat ini.

“Parenting, when done right, can be a heroic act.”
— Edna Mode
Rating UP:
Beberapa tahun sebelum dunia sinema diserbu film superhero, The Incredibles sudah hadir duluan sebagai film superhero yang tak cuma seru tapi juga relevan. Sekarang saat film superhero sudah hadir serutin cuitan Fadli Zon, Incredibles 2 dengan mudahnya menjadi salah satu dari beberapa film superhero terbaik. Oke, mungkin tidak seistimewa yang pertama, tapi hampir.


Sebelumnya, sutradara/penulis skrip The Incredibles, Brad Bird pernah bilang bahwa ia takkan membuat sekuel kalau tak punya cerita. Well, ia sekarang sudah punya cerita. Tak baru sih, makanya sensasi menontonnya tak segress dulu. Meski demikian, film ini juga bukan replay belaka. Idenya relatif masih sama, mengeskplorasi keseimbangan (atau malah ketidakseimbangan?) antara kehidupan keluarga dan kehidupan superhero, namun presentasinya segar dan sangat menghibur. Filmnya tak pernah terasa tumpul.

Kalau anda masih ingat, di akhir The Incredibles keluarga pahlawan kita membuktikan bahwa superhero memang sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Namun ternyata ini baru wacana belaka, sebab di Incredibles 2, kehadiran mereka masih dinilai ilegal. Melanjutkan langsung akhir dari film pertama, film ini dimulai dengan aksi keluarga Incredibles yang berusaha mengatasi villain bernama Underminer yang mengebor kota dengan mesin bor raksasa. Aksi sang penjahat berhasil dihentikan, tapi tindakan heroik mereka menimbulkan banyak kerusakan yang tentu saja tak direspon baik oleh pemerintah.

Namun masih ada pihak yang percaya pada superhero. Mereka adalah kakak beradik Winston dan Evelyn Deavor (Bob Odenkirk dan Catherine Keener). Mereka ingin membuat superhero kembali keren, dan caranya adalah lewat metode yang sudah teruji menggiring opini publik di Indonesia sejak tahun 2004, yakni kampanye. Dengan memasangkan kamera pada superhero maka masyarakat bisa melihat semua detil dari aksi heroik lalu mengapresiasinya. Agen kampanye yang mereka mau pastinya bukan Bob alias Mr Incredible (Craig T. Nelson) yang suka hajar sana-sini, melainkan Helen alias Elastigirl (Holly Hunter) yang mampu bekerja dengan sangat efektif.

Ini membuat Helen berada di garda terdepan dalam memberantas kejahatan, sementara Bob mau tak mau harus mengurus rumah tangga. Dan mengurus rumah tangga ternyata tak segampang itu; ia jadi superpenat dan kurang tidur. Si anak sulung, Violet (Sarah Vowell) tengah labil-labilnya, gusar karena sang gebetan lupa dengan namanya. Dash (Huck Milner) bermasalah dengan Matematika—hei, siapa yang tidak. Dan Jack-Jack... hmm, mengasuh bayi normal saja sudah bikin belingsatan, apalagi bayi yang bisa menembakkan laser, melayang, berpindah dimensi, mengeluarkan api, dan berubah jadi setan ungu.

Menyaksikan hiruk-pikuk rumah tangga keluarga superhero ini merupakan hiburan tersendiri. Film bahkan punya semacam segmen khusus bagi Jack-Jack untuk memamerkan kekuatannya lewat pertarungan epik dengan seekor rakun pengeruk sampah di belakang rumah—ini lucu dan jujur saja sedikit menakutkan. Namun di bagian yang berbeda, kita bisa melihat aksi khas film superhero lewat misi Elastigirl yang menyuguhkan tak cuma satu tapi setidaknya tiga sekuens aksi terbaik dan paling kinetik yang pernah saya lihat dalam film-film superhero belakangan ini.

Adegan-adegan tersebut adalah jenis adegan yang cuma bisa dipakai dalam film animasi. Dalam live-action ini akan jadi konyol, sebab Elastigirl memanfaatkan fleksibilitas tubuhnya jauh melewati batas yang bisa kita bayangkan. Imajinasi Bird menggila dalam mengkreasi probabilitas macam ini. Termasuk nanti saat muncul beberapa superhero baru yang punya kemampuan unik, diantaranya Voyd yang bisa bikin portal-kemana-saja, serta kawan lama keluarga Incredibles, Frozone (Samuel L. Jackson). Skala sekuens aksinya spektakuler, dan Bird mampu menyajikannya dengan keterampilan yang sedemikan rupa sehingga terasa mulus dan tetap menegangkan.

Ancaman paling membahayakan bagi keluarga Incredibles —selain gagal menidurkan bayi super yang hiperaktif— berasal dari villain berjuluk Screenslaver, yang sesuai namanya, bisa memperbudak orang dengan cara menghipnotis lewat layar apapun. Penjahat ini geram dengan masyarakat kekinian yang lebih suka menatap layar menyaksikan orang lain berbuat sesuatu daripada benar-benar melakukan sesuatu.

Sebentar, ini maksudnya apa? Nyindir?

Inilah kekuatan spesial yang diperlihatkan Bird dan juga studio Pixar sejak di The Incredibles, dan kemudian di Incredibles 2. Lewat animasi yang menawan, lelucon yang gurih, dan pengisi suara yang brilian, ia dengan cerdas menyelipkan beberapa isu-isu yang subversif tanpa terasa kentara atau mengganggu momentum film. Bagian-bagian ini, tentu saja, bakal lebih nampol bagi ayah dan ibu. Namun ada lebih dari cukup bagian seru yang akan membuat anak-anak kepincut. Sedangkan bagi anggota keluarga yang lain, film ini punya pertunjukan dinamika keluarga yang sangat asyik dan memikat. Tak sulit bagi saya untuk merekomendasikan film "paling keluarga" tahun ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Incredibles 2

118 menit
Semua Umur - BO
Brad Bird
Brad Bird
John Walker, Nicole Paradis Grindle
Michael Giacchino

Friday, June 8, 2018

Review Film: 'Ocean's 8' (2018)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Kriminal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Ocean's 8' (2018)
link : Review Film: 'Ocean's 8' (2018)

Baca juga


Aksi

A heist movie is a movie about heist. Sementara 'Ocean's 8' tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.

“A him gets noticed. A her gets ignored. For once, we want to be ignored.”
— Debbie Ocean
Rating UP:
Lewat Ocean's Eleven dan dua sekuelnya, Steven Soderbergh tak hanya membuat perbuatan kriminal terlihat keren (astaghfirullohaladzim), tapi juga menciptakan kesan bahwa bikin film heist itu gampang; yang dibutuhkan cuma segambreng karisma bintang dan sejumput gaya. Nah, Ocean's 8 punya itu. Namun itu tak otomatis menjadikannya film heist yang seru. A heist movie is a movie about heist. Sementara Ocean's 8 tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.


Meski demikian, nyaris mustahil untuk tak terhibur menyaksikan deretan pemain dengan level seperti ini dalam satu film. Film ini punya metodologi yang sama dengan trilogi Ocean's-nya Soderbergh, hanya saja semua pencuri kita sekarang adalah wanita. Semua pemain yang tepat sudah berkumpul. Mereka punya sumber daya yang memadai. Mereka punya rencana. Dan sungguh rencana yang lebih dari matang, sebab semua berjalan terlalu mulus untuk kita pedulikan. Timing-nya begitu sempurna, dan keberuntungan mereka begitu bagus.

Targetnya adalah kalung mewah seharga $150 juta yang disimpan di brankas yang aman selama bertahun-tahun. Kalung ini direncanakan nangkring di leher seorang aktris terkenal dalam Met Gala, acara amal tahunan yang lebih mirip arisan sosialita karena diramaikan dengan lusinan selebritis yang berpakaian glamor. Masalahnya, arisan ini adalah arisan dengan pengamanan paling ketat sedunia.

Ini tentu bukan halangan bagi Debbie Ocean (Sandra Bullock), sebab ia adalah saudari Danny Ocean, pimpinan tim pencuri di trilogi Ocean's yang dulu diperankan oleh George Clooney. Bahkan, sebetulnya rencana ini sudah dibangun Debbie dalam 5 tahun, selama ia dipenjara. Setelah berhasil meyakinkan semua orang bahwa ia sudah berhenti dengan aksi pencurian dan akan hidup dengan lurus, Debbie mengumpulkan timnya yang terdiri dari:

  1. Dirinya sendiri sebagai ketua tim.

  2. Lou (Cate Blanchett), sobat lama Debbie yang (kemungkinan) dulu pernah beraksi bersama.

  3. Rose Weil (Helena Bonham Carter), desainer fashion yang ketenarannya sudah tertinggal jauh di masa lalu.

  4. Amita (Mindy Kalling), pakar perhiasan yang getol disuruh emaknya untuk kawin.

  5. Nine Ball (Rihanna), hacker jenius yang suka merokok ganja.

  6. Tammy (Sarah Paulson), ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai penadah dan penyalur barang gelap.

  7. Constance (Awkwafina), pencopet dan penipu jalanan yang ulung.
Anda pasti sudah selesai menghitung, lalu menyadari satu hal: mana anggota ke-8? Orang tersebut adalah Daphne Kluger (Anna Hathaway), aktris yang tak menyadari semua rencana pencurian ini. Target tim Ocean adalah mencuri kalung mewah tadi langsung dari leher Daphne, tak peduli dengan keberadaan puluhan kamera pengawas, satpam yang adalah mantan agen khusus, bahkan kalungnya sendiri yang punya kunci magnetik.

Menghandel karakter sebanyak ini lewat satu film, tentu saja mengharuskan mereka diberi sorotan secara bergantian. Pesona tim ini tak kalah dengan rival pria mereka di trilogi Ocean's, meski chemistry mereka tak seasyik itu. Bullock dan Blanchett mencolok cukup dengan muncul di layar; apapun yang mereka lakukan cukup untuk membuat kita terpikat. Namun yang paling bersenang-senang mungkin adalah Hathaway. Ia bermain sebagai seleb yang lebay dan labil, seolah mengolok hakikat seleb itu sendiri; seleb dengan ke-seleb-an paripurna. Penampilannya bagus, sebab tidak mendistraksi film.

Proses perencanaan pencurian rasanya lumayan lama, mengingat durasi film yang mencapai 2 jam sementara eksekusinya tak ribet-ribet amat. Tapi kalau saya ingat-ingat lagi, tak ada bagian ini yang berkesan. Padahal kan itu bisa menjadi modal suspens bagi penonton; kita dapat mengantisipasi apa yang mereka lakukan atau dibuat terkejut saat yang terjadi berjalan tak sesuai dengan yang kita ekspektasikan. Kita tak bisa diharapkan sekonyong-konyong terkejut kalau film tak membangun momen untuk itu.

Oleh karena itu, struktur film jadi terasa ganjil dengan kemunculan James Corden sebagai investigator asuransi pasca eksekusi pencurian. Corden bukan cameo, karena cameo adalah saat kita melihat Katie Holmes, Heidi Klum, dll di Met Gala. Ini barangkali adalah improvisasi dari Gary Ross yang menulis skrip bersama Olivia Milch. Ross juga menjadi sutradara, dan ia memakai trik khas franchise Ocean's: potongan gambar yang gesit serta musik latar yang nge-jazz. Namun Ross bukan Soderbergh. Improvisasinya tidak sehalus dan seenerjik Soderbergh yang membuat kita mengangguk-anggukkan kepala meski kita tahu apa yang sedang terjadi sebetulnya menggelikan dan bertentangan dengan plausibilitas dunia nyata.

Tak semua film heist harus punya detail yang ekstensif. Ada banyak film heist lain yang lebih cerdas. Namun, trilogi Ocean's pada dasarnya memang bukan soal heist, melainkan tentang bagaimana elegannya sebuah heist dilakukan. Meski begitu, bukan berarti heist-nya sendiri tak serta-merta menawarkan ketiadaan keseruan atau stakes. Apa yang dilakukan tim Ocean's 8 terlalu mudah, membuat kita berharap untuk sesuatu yang lebih. Mereka tampaknya menarik, cerdik, dan asyik. Saya yakin mereka bisa menunaikan misi yang lebih berat. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Ocean's 8

110 menit
Dewasa
Gary Ross
Gary Ross, Olivia Milch
Steven Soderbergh, Susan Ekins
Eigil Bryld
Daniel Pemberton

A heist movie is a movie about heist. Sementara 'Ocean's 8' tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.

“A him gets noticed. A her gets ignored. For once, we want to be ignored.”
— Debbie Ocean
Rating UP:
Lewat Ocean's Eleven dan dua sekuelnya, Steven Soderbergh tak hanya membuat perbuatan kriminal terlihat keren (astaghfirullohaladzim), tapi juga menciptakan kesan bahwa bikin film heist itu gampang; yang dibutuhkan cuma segambreng karisma bintang dan sejumput gaya. Nah, Ocean's 8 punya itu. Namun itu tak otomatis menjadikannya film heist yang seru. A heist movie is a movie about heist. Sementara Ocean's 8 tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.


Meski demikian, nyaris mustahil untuk tak terhibur menyaksikan deretan pemain dengan level seperti ini dalam satu film. Film ini punya metodologi yang sama dengan trilogi Ocean's-nya Soderbergh, hanya saja semua pencuri kita sekarang adalah wanita. Semua pemain yang tepat sudah berkumpul. Mereka punya sumber daya yang memadai. Mereka punya rencana. Dan sungguh rencana yang lebih dari matang, sebab semua berjalan terlalu mulus untuk kita pedulikan. Timing-nya begitu sempurna, dan keberuntungan mereka begitu bagus.

Targetnya adalah kalung mewah seharga $150 juta yang disimpan di brankas yang aman selama bertahun-tahun. Kalung ini direncanakan nangkring di leher seorang aktris terkenal dalam Met Gala, acara amal tahunan yang lebih mirip arisan sosialita karena diramaikan dengan lusinan selebritis yang berpakaian glamor. Masalahnya, arisan ini adalah arisan dengan pengamanan paling ketat sedunia.

Ini tentu bukan halangan bagi Debbie Ocean (Sandra Bullock), sebab ia adalah saudari Danny Ocean, pimpinan tim pencuri di trilogi Ocean's yang dulu diperankan oleh George Clooney. Bahkan, sebetulnya rencana ini sudah dibangun Debbie dalam 5 tahun, selama ia dipenjara. Setelah berhasil meyakinkan semua orang bahwa ia sudah berhenti dengan aksi pencurian dan akan hidup dengan lurus, Debbie mengumpulkan timnya yang terdiri dari:

  1. Dirinya sendiri sebagai ketua tim.

  2. Lou (Cate Blanchett), sobat lama Debbie yang (kemungkinan) dulu pernah beraksi bersama.

  3. Rose Weil (Helena Bonham Carter), desainer fashion yang ketenarannya sudah tertinggal jauh di masa lalu.

  4. Amita (Mindy Kalling), pakar perhiasan yang getol disuruh emaknya untuk kawin.

  5. Nine Ball (Rihanna), hacker jenius yang suka merokok ganja.

  6. Tammy (Sarah Paulson), ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai penadah dan penyalur barang gelap.

  7. Constance (Awkwafina), pencopet dan penipu jalanan yang ulung.
Anda pasti sudah selesai menghitung, lalu menyadari satu hal: mana anggota ke-8? Orang tersebut adalah Daphne Kluger (Anna Hathaway), aktris yang tak menyadari semua rencana pencurian ini. Target tim Ocean adalah mencuri kalung mewah tadi langsung dari leher Daphne, tak peduli dengan keberadaan puluhan kamera pengawas, satpam yang adalah mantan agen khusus, bahkan kalungnya sendiri yang punya kunci magnetik.

Menghandel karakter sebanyak ini lewat satu film, tentu saja mengharuskan mereka diberi sorotan secara bergantian. Pesona tim ini tak kalah dengan rival pria mereka di trilogi Ocean's, meski chemistry mereka tak seasyik itu. Bullock dan Blanchett mencolok cukup dengan muncul di layar; apapun yang mereka lakukan cukup untuk membuat kita terpikat. Namun yang paling bersenang-senang mungkin adalah Hathaway. Ia bermain sebagai seleb yang lebay dan labil, seolah mengolok hakikat seleb itu sendiri; seleb dengan ke-seleb-an paripurna. Penampilannya bagus, sebab tidak mendistraksi film.

Proses perencanaan pencurian rasanya lumayan lama, mengingat durasi film yang mencapai 2 jam sementara eksekusinya tak ribet-ribet amat. Tapi kalau saya ingat-ingat lagi, tak ada bagian ini yang berkesan. Padahal kan itu bisa menjadi modal suspens bagi penonton; kita dapat mengantisipasi apa yang mereka lakukan atau dibuat terkejut saat yang terjadi berjalan tak sesuai dengan yang kita ekspektasikan. Kita tak bisa diharapkan sekonyong-konyong terkejut kalau film tak membangun momen untuk itu.

Oleh karena itu, struktur film jadi terasa ganjil dengan kemunculan James Corden sebagai investigator asuransi pasca eksekusi pencurian. Corden bukan cameo, karena cameo adalah saat kita melihat Katie Holmes, Heidi Klum, dll di Met Gala. Ini barangkali adalah improvisasi dari Gary Ross yang menulis skrip bersama Olivia Milch. Ross juga menjadi sutradara, dan ia memakai trik khas franchise Ocean's: potongan gambar yang gesit serta musik latar yang nge-jazz. Namun Ross bukan Soderbergh. Improvisasinya tidak sehalus dan seenerjik Soderbergh yang membuat kita mengangguk-anggukkan kepala meski kita tahu apa yang sedang terjadi sebetulnya menggelikan dan bertentangan dengan plausibilitas dunia nyata.

Tak semua film heist harus punya detail yang ekstensif. Ada banyak film heist lain yang lebih cerdas. Namun, trilogi Ocean's pada dasarnya memang bukan soal heist, melainkan tentang bagaimana elegannya sebuah heist dilakukan. Meski begitu, bukan berarti heist-nya sendiri tak serta-merta menawarkan ketiadaan keseruan atau stakes. Apa yang dilakukan tim Ocean's 8 terlalu mudah, membuat kita berharap untuk sesuatu yang lebih. Mereka tampaknya menarik, cerdik, dan asyik. Saya yakin mereka bisa menunaikan misi yang lebih berat. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Ocean's 8

110 menit
Dewasa
Gary Ross
Gary Ross, Olivia Milch
Steven Soderbergh, Susan Ekins
Eigil Bryld
Daniel Pemberton

Wednesday, June 6, 2018

Review Film: 'Jurassic World: Fallen Kingdom'

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Jurassic World: Fallen Kingdom'
link : Review Film: 'Jurassic World: Fallen Kingdom'

Baca juga


Aksi

Triknya efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

“These creatures were here before us. And if we're not careful, they'll be here after us.”
— Dr Ian Malcolm
Rating UP:
Konsep fundamental dari Jurassic World: Fallen Kingdom bisa diamati lewat dinosaurus yang khusus dikreasikan untuk filmnya, yakni Indoraptor, hibrid antara Velociraptor dengan dinosaurus dari Jurassic World, Indominus Rex. Dinosaurus fiktif baru ini tak sebesar Indominus, namun sama mematikannya plus segesit Velociraptor. Penciptanya hanya butuh pembunuh yang efektif, bukan pembunuh berukuran raksasa. Filmnya sendiri tak merasa perlu untuk tampil lebih besar dibanding film pendahulunya. Yang penting efektif.


Saat ini teknologi perfilman sudah sangat mutakhir; hampir tak ada yang tak bisa dilakukan oleh efek komputer, yang pada akhirnya meninggalkan fakta bahwa hanya sedikit hal yang bisa membuat kita takjub dalam menonton film. Bisa dibilang mustahil untuk membawa kembali sense of wonder seperti yang dilakukan Steven Spielberg lewat Jurassic Park, film terobosannya yang membawa dunia sinema ke era baru. Oleh karena itu, saya yakin pembuat Fallen Kingdom menargetkan filmnya sebagai wahana pemberi keseruan dan pemicu ketegangan. Dan film ini berhasil melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Fallen Kingdom masihlah film Jurassic Park yang dungu. Karakterisasi manusianya tipis, plotnya berisi banyak kemustahilan. Namun mereka dibutuhkan agar karakter manusia kita bisa berteriak histeris atau berlarian dengan panik, sementara karakter dinosaurus kita mengamuk dan kadang-kadang memakan manusia. Singkat kata, film ini adalah film monster standar. Permainan moralitas mengenai perlu atau tidaknya menyelamatkan dinosaurus dari kepunahan ulang hanyalah menjadi piranti plot untuk membuat kita terikat dengan apa yang akan terjadi di menit berikutnya. Namun trik ini efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

Film ini juga mengeset kontinuitas yang masuk akal dengan film sebelumnya dan (kemungkinan besar) film berikutnya. Setelah kekacauan di Isla Nublar dalam Jurassic World, taman dinosaurus sekarang sudah terbengkalai. Namun ekosistem dinosaurusnya berkembang dengan subur. Cuma ada satu masalah: gunung berapi Isla Nublar akan meletus sehingga mengancam semua kehidupan disana. Apakah pemerintah perlu mengintervensi bencana alami ini agar hewan-hewan langka ini tak kembali punah? Tidak, menurut Dr Ian Malcolm (Jeff Goldblum) kepada anggota DPR Amerika.

Namun pendapat tersebut jelas tak disetujui oleh Claire (Bryce Dallas Howard), mantan petugas taman Jurassic World yang sekarang menjadi aktivis dinosaurus. Jadi ketika ia mendapat tawaran dari milyuner Ben Lockwood (James Cromwell) —partner John Hammond dari film orisinal Jurassic Park— via asistennya, Eli (Rafe Spall) untuk menyelamatkan dinosaurus dan membawa mereka ke pulau suaka yang sangat aman, maka Claire segera merekrut mantan pacarnya, Owen (Chris Pratt) dan membawa serta rekan sesama aktivis, Franklin (Justice Smith) dan Zia (Daniella Pineda).

Bagi Owen, misi ini personal karena ia ingin menyelamatkan mantan sobatnya dulu, velociraptor cerdas bernama Blue. Namun sebagaimana di semua film Jurassic Park, setiap misi ke pulau dinosaurus pasti punya maksud terselubung. Dan titik ini, saya kira anda akan meminta saya untuk berhenti membeberkan plotnya. Yang jelas, Claire dan Owen harus berusaha lebih keras untuk menyelamatkan para penghuni Isla Nublar. Usaha ini melibatkan mengendap-endap di markas musuh dan berlarian di beberapa tempat. Untung Claire sekarang tidak lagi memakai sepatu hak tinggi.

Pencapaian paling penting dari sebuah film penuh efek adalah saat kita berhenti memperhatikan efek spesialnya, alih-alih kita mulai peduli terhadap karakternya dan manut begitu saja dengan filmnya. Sutradara film, JA Bayona menerapkan teknik efektif yang tidak kentara. Filmografinya mulai dari film minimalis seperti horor gothic The Orphanage sampai yang punya sekuens besar macam film bencana The Impossible. Oleh karena itu, ia mampu bertindak dengan mulus pada berbagai momen. Disini, ia bermain dengan trik kamera, siluet, dan bayangan untuk mengarahkan intensitas. Di satu titik, ia bahkan mampu menyetir emosi.

Salah satu adegan terbaik adalah ketika erupsi gunung berapi berlangsung. Hampir semua dinosaurus berbondong-bondong melarikan diri, sementara karakter kita ikut terseret di dalamnya. Ini adalah sekuens dengan skala terbesar dalam Fallen Kingdom; di antara hiruk pikuk tersebut, pembuat film masih sempat-sempatnya memasukkan pertarungan antara T-Rex dengan Stegosaurus. Namun yang bikin saya kagum adalah bagaimana Bayona memindahkan fokusnya antara dinosaurus dan karakter kita di antara destruksi masif tanpa kehilangan ketegangan.

Setelah kejadian ini, Fallen Kingdom akhirnya membawa dinosaurus keluar pulau... lalu ke tengah masyarakat? Tidak juga. Bagian selanjutnya adalah kesempatan bagi Bayona untuk menunjukkan kemahirannya dalam menggunakan koridor, kamar, tangga, atap, lift, dan kerangkeng untuk menyajikan kebrutalan dinosaurus. Kali ini aksi mereka lebih gamblang daripada yang diperlihatkan Colin Trevorrow dalam Jurassic World. Tentu saja, harus ada anak kecil (Isabella Sermon) yang terjebak di tengah-tengahnya.

Saya tak tahu apakah yang terjadi dalam Fallen Kingdom merupakan visi dari Trevorrow sejak awal. Namun menarik melihat bagaimana sutradara/penulis yang kali ini hanya bertindak sebagai penulis naskah ini membawa filmnya ke arah yang baru, sementara ia masih memakai template klise dari franchisenya. Kata "World" dalam judul Jurassic World bukan buat gaya-gayaan semata. Betul, kita takkan merasa tergugah setelah keluar bioskop. Tapi saya tak keberatan menonton film dungu selagi ia seru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Jurassic World: Fallen Kingdom

128 menit
Remaja - BO
J.A. Bayona
Colin Trevorrow, Derek Connolly
Frank Marshall, Patrick Crowley, Belén Atienza
Óscar Faura
Michael Giacchino

Triknya efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

“These creatures were here before us. And if we're not careful, they'll be here after us.”
— Dr Ian Malcolm
Rating UP:
Konsep fundamental dari Jurassic World: Fallen Kingdom bisa diamati lewat dinosaurus yang khusus dikreasikan untuk filmnya, yakni Indoraptor, hibrid antara Velociraptor dengan dinosaurus dari Jurassic World, Indominus Rex. Dinosaurus fiktif baru ini tak sebesar Indominus, namun sama mematikannya plus segesit Velociraptor. Penciptanya hanya butuh pembunuh yang efektif, bukan pembunuh berukuran raksasa. Filmnya sendiri tak merasa perlu untuk tampil lebih besar dibanding film pendahulunya. Yang penting efektif.


Saat ini teknologi perfilman sudah sangat mutakhir; hampir tak ada yang tak bisa dilakukan oleh efek komputer, yang pada akhirnya meninggalkan fakta bahwa hanya sedikit hal yang bisa membuat kita takjub dalam menonton film. Bisa dibilang mustahil untuk membawa kembali sense of wonder seperti yang dilakukan Steven Spielberg lewat Jurassic Park, film terobosannya yang membawa dunia sinema ke era baru. Oleh karena itu, saya yakin pembuat Fallen Kingdom menargetkan filmnya sebagai wahana pemberi keseruan dan pemicu ketegangan. Dan film ini berhasil melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Fallen Kingdom masihlah film Jurassic Park yang dungu. Karakterisasi manusianya tipis, plotnya berisi banyak kemustahilan. Namun mereka dibutuhkan agar karakter manusia kita bisa berteriak histeris atau berlarian dengan panik, sementara karakter dinosaurus kita mengamuk dan kadang-kadang memakan manusia. Singkat kata, film ini adalah film monster standar. Permainan moralitas mengenai perlu atau tidaknya menyelamatkan dinosaurus dari kepunahan ulang hanyalah menjadi piranti plot untuk membuat kita terikat dengan apa yang akan terjadi di menit berikutnya. Namun trik ini efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

Film ini juga mengeset kontinuitas yang masuk akal dengan film sebelumnya dan (kemungkinan besar) film berikutnya. Setelah kekacauan di Isla Nublar dalam Jurassic World, taman dinosaurus sekarang sudah terbengkalai. Namun ekosistem dinosaurusnya berkembang dengan subur. Cuma ada satu masalah: gunung berapi Isla Nublar akan meletus sehingga mengancam semua kehidupan disana. Apakah pemerintah perlu mengintervensi bencana alami ini agar hewan-hewan langka ini tak kembali punah? Tidak, menurut Dr Ian Malcolm (Jeff Goldblum) kepada anggota DPR Amerika.

Namun pendapat tersebut jelas tak disetujui oleh Claire (Bryce Dallas Howard), mantan petugas taman Jurassic World yang sekarang menjadi aktivis dinosaurus. Jadi ketika ia mendapat tawaran dari milyuner Ben Lockwood (James Cromwell) —partner John Hammond dari film orisinal Jurassic Park— via asistennya, Eli (Rafe Spall) untuk menyelamatkan dinosaurus dan membawa mereka ke pulau suaka yang sangat aman, maka Claire segera merekrut mantan pacarnya, Owen (Chris Pratt) dan membawa serta rekan sesama aktivis, Franklin (Justice Smith) dan Zia (Daniella Pineda).

Bagi Owen, misi ini personal karena ia ingin menyelamatkan mantan sobatnya dulu, velociraptor cerdas bernama Blue. Namun sebagaimana di semua film Jurassic Park, setiap misi ke pulau dinosaurus pasti punya maksud terselubung. Dan titik ini, saya kira anda akan meminta saya untuk berhenti membeberkan plotnya. Yang jelas, Claire dan Owen harus berusaha lebih keras untuk menyelamatkan para penghuni Isla Nublar. Usaha ini melibatkan mengendap-endap di markas musuh dan berlarian di beberapa tempat. Untung Claire sekarang tidak lagi memakai sepatu hak tinggi.

Pencapaian paling penting dari sebuah film penuh efek adalah saat kita berhenti memperhatikan efek spesialnya, alih-alih kita mulai peduli terhadap karakternya dan manut begitu saja dengan filmnya. Sutradara film, JA Bayona menerapkan teknik efektif yang tidak kentara. Filmografinya mulai dari film minimalis seperti horor gothic The Orphanage sampai yang punya sekuens besar macam film bencana The Impossible. Oleh karena itu, ia mampu bertindak dengan mulus pada berbagai momen. Disini, ia bermain dengan trik kamera, siluet, dan bayangan untuk mengarahkan intensitas. Di satu titik, ia bahkan mampu menyetir emosi.

Salah satu adegan terbaik adalah ketika erupsi gunung berapi berlangsung. Hampir semua dinosaurus berbondong-bondong melarikan diri, sementara karakter kita ikut terseret di dalamnya. Ini adalah sekuens dengan skala terbesar dalam Fallen Kingdom; di antara hiruk pikuk tersebut, pembuat film masih sempat-sempatnya memasukkan pertarungan antara T-Rex dengan Stegosaurus. Namun yang bikin saya kagum adalah bagaimana Bayona memindahkan fokusnya antara dinosaurus dan karakter kita di antara destruksi masif tanpa kehilangan ketegangan.

Setelah kejadian ini, Fallen Kingdom akhirnya membawa dinosaurus keluar pulau... lalu ke tengah masyarakat? Tidak juga. Bagian selanjutnya adalah kesempatan bagi Bayona untuk menunjukkan kemahirannya dalam menggunakan koridor, kamar, tangga, atap, lift, dan kerangkeng untuk menyajikan kebrutalan dinosaurus. Kali ini aksi mereka lebih gamblang daripada yang diperlihatkan Colin Trevorrow dalam Jurassic World. Tentu saja, harus ada anak kecil (Isabella Sermon) yang terjebak di tengah-tengahnya.

Saya tak tahu apakah yang terjadi dalam Fallen Kingdom merupakan visi dari Trevorrow sejak awal. Namun menarik melihat bagaimana sutradara/penulis yang kali ini hanya bertindak sebagai penulis naskah ini membawa filmnya ke arah yang baru, sementara ia masih memakai template klise dari franchisenya. Kata "World" dalam judul Jurassic World bukan buat gaya-gayaan semata. Betul, kita takkan merasa tergugah setelah keluar bioskop. Tapi saya tak keberatan menonton film dungu selagi ia seru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Jurassic World: Fallen Kingdom

128 menit
Remaja - BO
J.A. Bayona
Colin Trevorrow, Derek Connolly
Frank Marshall, Patrick Crowley, Belén Atienza
Óscar Faura
Michael Giacchino

Thursday, May 24, 2018

Review Film: 'Solo: A Star Wars Story' (2018)

Aksi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Aksi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Fantasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Solo: A Star Wars Story' (2018)
link : Review Film: 'Solo: A Star Wars Story' (2018)

Baca juga


Aksi

Petualangan lampau Han Solo ternyata tak segila yang ia bilang. Atau setidaknya begitulah yang kita dapatkan lewat 'Solo: A Star Wars Story'.

“I've got a good feeling about this.”
— Han Solo
Rating UP:
Di semesta yang penuh dengan berbagai alien eksotis dan manusia berkekuatan super, menakjubkan bagaimana Han Solo yang notabene cuma manusia biasa bisa mengambil peran penting di dalamnya. Apa pasal? Pribadinya yang karismatik? Atau petualangan gila yang (((ia bilang))) pernah ia lakukan? Apapun itu, Han terlalu keren sampai kita percaya saja semua yang diucapkannya.


Sekarang kita bisa melihat semuanya dengan mata kepala sendiri. Dan ternyata, petualangan lampaunya tak segila yang ia bilang. Atau setidaknya begitulah yang kita dapatkan lewat Solo: A Star Wars Story. Untuk ukuran karakter yang slenge'an dan berprinsip bodoamat, film ini sayangnya tak seberani itu. Ia bermain terlalu aman sehingga terasa datar. Cerita masa lalu Han Solo memang salah satu film yang tak penting dalam semesta Star Wars. Namun, ada begitu banyak film yang tak penting, dan tak semuanya juga inert dan tak seru keles.

Film ini lebih seperti pengejawantahan dari apa yang sudah kita dengar tentang Han dari Star Wars: Episode IV sampai Episode VII. Ia tak menawarkan sesuatu yang baru, kecuali hal-hal trivial —yang bisa didapatkan dari ensiklopedi Star Wars atau cukup menyapa teman anda penggemar yang Star Wars— semacam: bagaimana Han berjumpa dengan Chewbacca, apakah ia betul mengerti apa yang diucapkan alien Wookie tersebut, bagaimana ia mendapatkan pesawat legendaris Millennium Falcon, atau bagaimana ia melakukan Kessel Run dalam 12 parsecs. Percayalah, awalnya saya juga tak mengerti apa arti itu.

Nama belakang "Solo" ternyata tak lengket pada Han sedari lahir. Ia hanyalah remaja yang besar di planet kumuh, melakukan apa saja untuk bertahan hidup termasuk dieksploitasi oleh bandit alien. Ketika tidak sibuk melakukan itu, ia bercumbu dengan pacarnya, Qi'ra (Emilia Clarke). Suatu hari, mereka berhasil kabur... tapi tidak juga sih. Qi'ra ditangkap. Sementara Han terpaksa mendaftarkan diri menjadi pilot Kekaisaran... tapi malah didepak ke kompi infanteri.

Disinilah ia berkenalan dengan Chewbacca (Joonas Suotamo). Han juga berjumpa dengan Beckett (Woody Harrelson) dan Val (Thandie Newton) yang kelihatannya seperti tentara juga, tapi sebenarnya merupakan kawanan bandit. Melihat ini sebagai kesempatannya untuk membeli pesawat sendiri dan pulang demi menyelamatkan Qi'ra, Han ikut kabur dan bergabung dengan mereka.

Sekuens aksi paling mengesankan berada di bagian awal film, yang melibatkan perampokan kereta tanpa awak yang berkecepatan tinggi di puncak pegunungan bersalju. Tujuan mereka adalah mengambil material istimewa bernama Coaxium. Penadahnya adalah mafia parlente, Dryden Voss (Paul Bettany) yang punya markas portable. Oh, karena satu dan lain hal, ada Qi'ra disana, sekarang menjadi tangan kanan Dryden.

Untuk menyingkat ulasan ini, saya hanya akan bilang bahwa mereka bertualang ke beberapa planet dan berjumpa dengan rekan-rekan baru seperti Lando (Donald Glover) dan robot kesayangannya, L3 (Phoebe Waller-Bridge) —yang getol memperjuangkan kesetaraaan hak bagi robot— untuk mendapatkan Coaxium, McGuffin penyebab konflik yang terus dikejar dan jamak berpindah tangan sampai akhir film. Meski ada beberapa callback terhadap cerita canon Star Wars, tapi saya suka bagaimana Solo yang tak sedikitpun membahas soal The Force atau Jedi; keduanya memang tak punya tempat disini.

Sebagai film yang bertugas untuk memanjang-manjangkan legenda Han, Solo terbilang menunaikan tugasnya dengan lancar. Beberapan adegan aksinya lumayan memadai, alurnya lumayan koheren. Kita semua sudah tahu bahwa film ini didera oleh proses produksi yang kacau. Namun, kekacauan tersebut tak kentara di produk akhirnya. Sutradara veteran Ron Howard melakukan kewajibannya dengan profesional untuk membereskan apapun hasil kerja sutradara sebelumnya Phil Lord & Chris Miller. Namun, maklum jika kita juga penasaran dengan visi seperti apa dibawa oleh duo sutradara tersebut. Yang jelas, pemecatan mereka merupakan buah dari ketar-ketirnya pejabat Lucasfilm dan Disney melihat film Star Wars yang melenceng jauh dari standar Star Wars. Apapun itu, Howard menyetirnya kembali untuk masuk ke jalur.

Melihat bagaimana Star Wars: The Last Jedi yang subversif, saya membayangkan pembuat filmnya yang bermaksud menantang penonton. Sekarang di Solo, mereka kecut. Main aman saja biar tak diprotes fans. Namun Han kan bukan karakter yang suka main aman tho? Kalau aman, petualangannya jadi tak terlalu seru.

Han muda yang sekarang diperankan oleh Alden Ehrenreich tak terlihat semenarik Han matang yang dulu dimainkan oleh Harrison Ford. Ehrenreich sepertinya memberikan penampilan yang total, tapi setiap kali melihatnya tersenyum atau memasang tampang tengil, sulit bagi saya untuk tak luput merasakan bagaimana ia mencoba begitu keras untuk menjadi Han. Justru yang lebih asyik adalah penampilan Glover sebagai Lando, rekan sekaligus rival Han yang jauh lebih keren dan gaul. Glover masuk ke dalam karakternya dengan begitu mulus. Wajar saja Lucasfilm sekarang tengah mempertimbangkan untuk membuatkannya film sendiri.

Film solo Solo *ehem* anehnya tak memberi kita insight baru mengenai sang karakter tituler. Karakternya kurang dieksplor. Faktanya, perkembangan karakter dalam film ini nyaris tak ada. Sebuah subplot melibatkan hubungan antara Han dengan Qi'ra, namun chemistry mereka tipis sekali. Sebenarnya tak terlalu masalah sih, tapi di akhir nanti hubungan keduanya memegang peranan penting secara emosional dan mungkin jadi titik balik yang krusial di film berikutnya. Iya, film ini mengindikasikan sekuel.

Aaah, saya tahu. Mungkin pembuatnya ingin agar kita baru bisa mengetahuinya di film Solo 2. *manggut-manggut* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Solo: A Star Wars Story

135 menit
Remaja
Ron Howard
Jonathan Kasdan, Lawrence Kasdan
Kathleen Kennedy, Allison Shearmur, Simon Emanuel
Bradford Young
John Powell, John Williams

Petualangan lampau Han Solo ternyata tak segila yang ia bilang. Atau setidaknya begitulah yang kita dapatkan lewat 'Solo: A Star Wars Story'.

“I've got a good feeling about this.”
— Han Solo
Rating UP:
Di semesta yang penuh dengan berbagai alien eksotis dan manusia berkekuatan super, menakjubkan bagaimana Han Solo yang notabene cuma manusia biasa bisa mengambil peran penting di dalamnya. Apa pasal? Pribadinya yang karismatik? Atau petualangan gila yang (((ia bilang))) pernah ia lakukan? Apapun itu, Han terlalu keren sampai kita percaya saja semua yang diucapkannya.


Sekarang kita bisa melihat semuanya dengan mata kepala sendiri. Dan ternyata, petualangan lampaunya tak segila yang ia bilang. Atau setidaknya begitulah yang kita dapatkan lewat Solo: A Star Wars Story. Untuk ukuran karakter yang slenge'an dan berprinsip bodoamat, film ini sayangnya tak seberani itu. Ia bermain terlalu aman sehingga terasa datar. Cerita masa lalu Han Solo memang salah satu film yang tak penting dalam semesta Star Wars. Namun, ada begitu banyak film yang tak penting, dan tak semuanya juga inert dan tak seru keles.

Film ini lebih seperti pengejawantahan dari apa yang sudah kita dengar tentang Han dari Star Wars: Episode IV sampai Episode VII. Ia tak menawarkan sesuatu yang baru, kecuali hal-hal trivial —yang bisa didapatkan dari ensiklopedi Star Wars atau cukup menyapa teman anda penggemar yang Star Wars— semacam: bagaimana Han berjumpa dengan Chewbacca, apakah ia betul mengerti apa yang diucapkan alien Wookie tersebut, bagaimana ia mendapatkan pesawat legendaris Millennium Falcon, atau bagaimana ia melakukan Kessel Run dalam 12 parsecs. Percayalah, awalnya saya juga tak mengerti apa arti itu.

Nama belakang "Solo" ternyata tak lengket pada Han sedari lahir. Ia hanyalah remaja yang besar di planet kumuh, melakukan apa saja untuk bertahan hidup termasuk dieksploitasi oleh bandit alien. Ketika tidak sibuk melakukan itu, ia bercumbu dengan pacarnya, Qi'ra (Emilia Clarke). Suatu hari, mereka berhasil kabur... tapi tidak juga sih. Qi'ra ditangkap. Sementara Han terpaksa mendaftarkan diri menjadi pilot Kekaisaran... tapi malah didepak ke kompi infanteri.

Disinilah ia berkenalan dengan Chewbacca (Joonas Suotamo). Han juga berjumpa dengan Beckett (Woody Harrelson) dan Val (Thandie Newton) yang kelihatannya seperti tentara juga, tapi sebenarnya merupakan kawanan bandit. Melihat ini sebagai kesempatannya untuk membeli pesawat sendiri dan pulang demi menyelamatkan Qi'ra, Han ikut kabur dan bergabung dengan mereka.

Sekuens aksi paling mengesankan berada di bagian awal film, yang melibatkan perampokan kereta tanpa awak yang berkecepatan tinggi di puncak pegunungan bersalju. Tujuan mereka adalah mengambil material istimewa bernama Coaxium. Penadahnya adalah mafia parlente, Dryden Voss (Paul Bettany) yang punya markas portable. Oh, karena satu dan lain hal, ada Qi'ra disana, sekarang menjadi tangan kanan Dryden.

Untuk menyingkat ulasan ini, saya hanya akan bilang bahwa mereka bertualang ke beberapa planet dan berjumpa dengan rekan-rekan baru seperti Lando (Donald Glover) dan robot kesayangannya, L3 (Phoebe Waller-Bridge) —yang getol memperjuangkan kesetaraaan hak bagi robot— untuk mendapatkan Coaxium, McGuffin penyebab konflik yang terus dikejar dan jamak berpindah tangan sampai akhir film. Meski ada beberapa callback terhadap cerita canon Star Wars, tapi saya suka bagaimana Solo yang tak sedikitpun membahas soal The Force atau Jedi; keduanya memang tak punya tempat disini.

Sebagai film yang bertugas untuk memanjang-manjangkan legenda Han, Solo terbilang menunaikan tugasnya dengan lancar. Beberapan adegan aksinya lumayan memadai, alurnya lumayan koheren. Kita semua sudah tahu bahwa film ini didera oleh proses produksi yang kacau. Namun, kekacauan tersebut tak kentara di produk akhirnya. Sutradara veteran Ron Howard melakukan kewajibannya dengan profesional untuk membereskan apapun hasil kerja sutradara sebelumnya Phil Lord & Chris Miller. Namun, maklum jika kita juga penasaran dengan visi seperti apa dibawa oleh duo sutradara tersebut. Yang jelas, pemecatan mereka merupakan buah dari ketar-ketirnya pejabat Lucasfilm dan Disney melihat film Star Wars yang melenceng jauh dari standar Star Wars. Apapun itu, Howard menyetirnya kembali untuk masuk ke jalur.

Melihat bagaimana Star Wars: The Last Jedi yang subversif, saya membayangkan pembuat filmnya yang bermaksud menantang penonton. Sekarang di Solo, mereka kecut. Main aman saja biar tak diprotes fans. Namun Han kan bukan karakter yang suka main aman tho? Kalau aman, petualangannya jadi tak terlalu seru.

Han muda yang sekarang diperankan oleh Alden Ehrenreich tak terlihat semenarik Han matang yang dulu dimainkan oleh Harrison Ford. Ehrenreich sepertinya memberikan penampilan yang total, tapi setiap kali melihatnya tersenyum atau memasang tampang tengil, sulit bagi saya untuk tak luput merasakan bagaimana ia mencoba begitu keras untuk menjadi Han. Justru yang lebih asyik adalah penampilan Glover sebagai Lando, rekan sekaligus rival Han yang jauh lebih keren dan gaul. Glover masuk ke dalam karakternya dengan begitu mulus. Wajar saja Lucasfilm sekarang tengah mempertimbangkan untuk membuatkannya film sendiri.

Film solo Solo *ehem* anehnya tak memberi kita insight baru mengenai sang karakter tituler. Karakternya kurang dieksplor. Faktanya, perkembangan karakter dalam film ini nyaris tak ada. Sebuah subplot melibatkan hubungan antara Han dengan Qi'ra, namun chemistry mereka tipis sekali. Sebenarnya tak terlalu masalah sih, tapi di akhir nanti hubungan keduanya memegang peranan penting secara emosional dan mungkin jadi titik balik yang krusial di film berikutnya. Iya, film ini mengindikasikan sekuel.

Aaah, saya tahu. Mungkin pembuatnya ingin agar kita baru bisa mengetahuinya di film Solo 2. *manggut-manggut* ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Solo: A Star Wars Story

135 menit
Remaja
Ron Howard
Jonathan Kasdan, Lawrence Kasdan
Kathleen Kennedy, Allison Shearmur, Simon Emanuel
Bradford Young
John Powell, John Williams