Showing posts with label Thriller. Show all posts
Showing posts with label Thriller. Show all posts

Wednesday, March 20, 2019

Review Film: 'Us' (2019)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Us' (2019)
link : Review Film: 'Us' (2019)

Baca juga


Thriller

'Us' adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan.

“... looks like one f***up performance art.”
— Gabe Wilson
Rating UP:
Mungkin baru sekitar setengah film Us berjalan, teman nonton saya tiba-tiba komplain:

"Yank, nontonnya capek yah".

Saya —sebagai seorang blogger film, seorang penikmat film, dan seseorang yang mengaku-ngaku paham banget soal film padahal bukan— tidak terkejut, apalagi marah. Sebab, saya juga capek. Lha gimana, jantung saya yang sudah tua ini digedor terus, hampir secara konstan sepanjang film. Us adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan. Saya pernah melihat film yang adegannya lebih sadis. Saya pernah melihat film yang jump-scares-nya lebih berisik. Namun, Us lebih berhak mendapat predikat horor sejati di antara semuanya. Jarang-jarang saya nonton setegang ini.


Dua tahun lalu, Jordan Peele memulai debutnya sebagai penulis dan sutradara dengan menghadirkan salah satu horor/thriller paling orisinal, Get Out. Film tersebut sangat tajam dalam menyampaikan pesan sosiopolitisnya, tapi buat saya tak begitu menakutkan. Sekarang ia membawakan Us, film yang tak begitu orisinal tapi anjir sangat menakutkan. Film ini menempeleng saya yang awalnya masih meragukan soal kapabilitasnya sebagai sutradara hqq di Get Out, karena sekarang ia membuktikan bahwa ia bisa membuat film horor yang benar-benar horor jika dibutuhkan.

Peele menangani premis klise home-invasion dari filmnya menjadi horor yang cerdas dan terasa segar. Sebagaimana yang kita harapkan dari seorang motor penggerak sketsa legendaris Key & Peele-nya Comedy Central, ia kembali dengan piawai menggabungkan horor dengan komedi, bukan lewat adegan "eh, gue pengen ngelucu nih" melainkan lewat kecanggungan situasi. Ini menjamin bahwa kita ketawa bukan berarti lepas dari cengkeraman film. Namun yang lebih saya kagumi adalah bagaimana ia dengan brilian menciptakan kengerian yang sangat nampol lewat sesuatu yang relatif sederhana. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh kita. Us.

Lebih tepatnya, terornya dibawa oleh sesuatu yang terlihat persis seperti kita. Atau, apa memang begitu? Seorang gadis kecil (Madison Curry) menemukan hal ini saat nyasar di sebuah taman bermain di pantai Santa Cruz. Peristiwa ini meninggalkan trauma sedemikian mendalam sehingga membuat sang gadis kecil yang tumbuh menjadi Lupita Nyong'o, gampang resah serta overprotektif terhadap kedua anaknya (Shahadi Wright Joseph dan Evan Alex). Sialnya, sang suami yang selow abis (Winston Duke) membawanya sekeluarga untuk liburan di wisma yang dekat dengan pantai naas tersebut.

Sungguh awal cerita yang klise. Tapi saya tidak mendelik. Pasalnya, Peele menuturkan ini dengan sangat cakap. Ia membangun karakter dan situasi dengan perlahan tapi mantap. Saya kira poin krusial dari film ini adalah membawa kita masuk ke dalam kondisi pikiran karakter Nyong'o. Dan Peele berhasil melakukannya. Ia sepertinya sangat menguasai komando di setiap lini. Ketegangan tercipta secara simultan lewat akting, pemilihan gambar, dan scoring, dengan kontibusi besar dari semua aktor, sinematografer Mike Gioulakis dan komposer Michael Abels. Baru beberapa menit berjalan, film sudah mencengkeram saya.

Dikarenakan ini adalah spoiler, maka saya takkan memberitahu anda bahwa keluarga Nyong'o akan diinvasi oleh satu keluarga yang sangat mirip dengan mereka. Sial, saya keceplosan. Mereka berdiri di luar rumah dengan posisi kaku, memakai baju terusan warna merah dan bersenjatakan gunting besar berwarna emas. Maksud kedatangan mereka adalah berkunjung dan bercengkerama sambil ngopi santai... tentu saja bukan! Mereka tidak datang dalam damai.

Istilah yang kerap diasosiasikan dengan film Us —meski filmnya sendiri tak pernah menyebut kata ini— adalah Doppelganger. Doppelganger adalah orang yang sangat mirip dengan kita padahal kita tak punya hubungan sama sekali dengan mereka. Konon, bertemu dengan doppelganger adalah pertanda buruk yang bisa berujung pada kematian. Dan sebagaimana resep jitu yang sudah diterapkan oleh manusia sejak jaman dahulu kala; kalau ada sesuatu yang mirip dengan kita, bergerak seperti kita, berbicara seperti kita, bernapas seperti kita, tapi bukan bagian dari kita, maka layak, wajar, dan pantas kita serbu. Uhuk #PesanMoral.

Kembali ke topik, premis ini mengijinkan hampir semua aktornya punya peran ganda. Ternyata menakutkan juga melihat versi jahat dari kita menyerang diri kita sendiri. Semua mendapat momen masing-masing, termasuk Elisabeth Moss dan Tim Heidecker yang bermain sebagai pasangan yang merupakan teman keluarga Nyong'o. Namun yang paling spektakuler, tentunya Nyong'o. Penampilan dobelnya punya kualitas emosional dan fisik yang fantastis. Versi jahatnya barangkali merupakan satu-satunya doppelganger yang bisa bicara; itupun dalam suara yang serak ke dalam. Saat hubungan mereka terungkap lebih dalam, ini membeberkan sesuatu yang lebih mengerikan.

Skala ceritanya pun meluas, lebih dari sekadar home-invasion, karena ia kemudian melibatkan konsep scifi yang sangat ambisius. Dan dengan lebih banyak simbolisme dan subteks. Inilah saat kita teringat kembali dengan teks di awal film yang memberitahu soal banyaknya terowongan rahasia di bawah Amerika. Atau soal berita di televisi jadul yang mewartakan soal aksi "Hands Across America", kegiatan amal yang melibatkan 6 juta warga Amerika bergandeng tangan di seluruh negeri (entah jumlahnya betul atau tidak). Atau soal surat Jeremiah 11:11 tentang Tuhan yang memberi bencana. Atau soal puluhan kelinci dalam kandang yang menjadi adegan pengantar judul film. Semuanya seperti mengisyaratkan... uhm, sesuatu, tapi rasa-rasanya tak nyambung dalam satu konsep yang jelas. Us seperti ingin menyampaikan soal sesuatu, tapi tak tahu apa yang ingin disampaikannya.

Apakah ini soal dualitas dari kualitas pribadi manusia? Atau soal sindiran terhadap kemunafikan beberapa dari kita dalam setiap aksi amal? Atau soal pembalasan dari orang-orang yang direpresi di Amerika? Saya tak bisa menemukan tohokan utamanya. Mitologinya agak memusingkan kalau dipikirkan. Tapi, anda tahu? Saya tak begitu terpikir soal ini saat menonton. Setiap perkembangan cerita dalam Us membuat saya penasaran hanya untuk melihat kemana lagi Peele bisa membawa saya. Ia tak berhenti untuk menjanjikan sesuatu yang tak terduga. Dan ia tak pernah membuat saya kecewa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Us

116 menit
Remaja - BO
Jordan Peele
Jordan Peele
Jason Blum, Ian Cooper, Sean McKittrick, Jordan Peele
Mike Gioulakis
Michael Abels

Diulas oleh

'Us' adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan.

“... looks like one f***up performance art.”
— Gabe Wilson
Rating UP:
Mungkin baru sekitar setengah film Us berjalan, teman nonton saya tiba-tiba komplain:

"Yank, nontonnya capek yah".

Saya —sebagai seorang blogger film, seorang penikmat film, dan seseorang yang mengaku-ngaku paham banget soal film padahal bukan— tidak terkejut, apalagi marah. Sebab, saya juga capek. Lha gimana, jantung saya yang sudah tua ini digedor terus, hampir secara konstan sepanjang film. Us adalah salah satu film paling mendebarkan dalam beberapa tahun belakangan. Saya pernah melihat film yang adegannya lebih sadis. Saya pernah melihat film yang jump-scares-nya lebih berisik. Namun, Us lebih berhak mendapat predikat horor sejati di antara semuanya. Jarang-jarang saya nonton setegang ini.


Dua tahun lalu, Jordan Peele memulai debutnya sebagai penulis dan sutradara dengan menghadirkan salah satu horor/thriller paling orisinal, Get Out. Film tersebut sangat tajam dalam menyampaikan pesan sosiopolitisnya, tapi buat saya tak begitu menakutkan. Sekarang ia membawakan Us, film yang tak begitu orisinal tapi anjir sangat menakutkan. Film ini menempeleng saya yang awalnya masih meragukan soal kapabilitasnya sebagai sutradara hqq di Get Out, karena sekarang ia membuktikan bahwa ia bisa membuat film horor yang benar-benar horor jika dibutuhkan.

Peele menangani premis klise home-invasion dari filmnya menjadi horor yang cerdas dan terasa segar. Sebagaimana yang kita harapkan dari seorang motor penggerak sketsa legendaris Key & Peele-nya Comedy Central, ia kembali dengan piawai menggabungkan horor dengan komedi, bukan lewat adegan "eh, gue pengen ngelucu nih" melainkan lewat kecanggungan situasi. Ini menjamin bahwa kita ketawa bukan berarti lepas dari cengkeraman film. Namun yang lebih saya kagumi adalah bagaimana ia dengan brilian menciptakan kengerian yang sangat nampol lewat sesuatu yang relatif sederhana. Sesuatu yang bisa dilakukan oleh kita. Us.

Lebih tepatnya, terornya dibawa oleh sesuatu yang terlihat persis seperti kita. Atau, apa memang begitu? Seorang gadis kecil (Madison Curry) menemukan hal ini saat nyasar di sebuah taman bermain di pantai Santa Cruz. Peristiwa ini meninggalkan trauma sedemikian mendalam sehingga membuat sang gadis kecil yang tumbuh menjadi Lupita Nyong'o, gampang resah serta overprotektif terhadap kedua anaknya (Shahadi Wright Joseph dan Evan Alex). Sialnya, sang suami yang selow abis (Winston Duke) membawanya sekeluarga untuk liburan di wisma yang dekat dengan pantai naas tersebut.

Sungguh awal cerita yang klise. Tapi saya tidak mendelik. Pasalnya, Peele menuturkan ini dengan sangat cakap. Ia membangun karakter dan situasi dengan perlahan tapi mantap. Saya kira poin krusial dari film ini adalah membawa kita masuk ke dalam kondisi pikiran karakter Nyong'o. Dan Peele berhasil melakukannya. Ia sepertinya sangat menguasai komando di setiap lini. Ketegangan tercipta secara simultan lewat akting, pemilihan gambar, dan scoring, dengan kontibusi besar dari semua aktor, sinematografer Mike Gioulakis dan komposer Michael Abels. Baru beberapa menit berjalan, film sudah mencengkeram saya.

Dikarenakan ini adalah spoiler, maka saya takkan memberitahu anda bahwa keluarga Nyong'o akan diinvasi oleh satu keluarga yang sangat mirip dengan mereka. Sial, saya keceplosan. Mereka berdiri di luar rumah dengan posisi kaku, memakai baju terusan warna merah dan bersenjatakan gunting besar berwarna emas. Maksud kedatangan mereka adalah berkunjung dan bercengkerama sambil ngopi santai... tentu saja bukan! Mereka tidak datang dalam damai.

Istilah yang kerap diasosiasikan dengan film Us —meski filmnya sendiri tak pernah menyebut kata ini— adalah Doppelganger. Doppelganger adalah orang yang sangat mirip dengan kita padahal kita tak punya hubungan sama sekali dengan mereka. Konon, bertemu dengan doppelganger adalah pertanda buruk yang bisa berujung pada kematian. Dan sebagaimana resep jitu yang sudah diterapkan oleh manusia sejak jaman dahulu kala; kalau ada sesuatu yang mirip dengan kita, bergerak seperti kita, berbicara seperti kita, bernapas seperti kita, tapi bukan bagian dari kita, maka layak, wajar, dan pantas kita serbu. Uhuk #PesanMoral.

Kembali ke topik, premis ini mengijinkan hampir semua aktornya punya peran ganda. Ternyata menakutkan juga melihat versi jahat dari kita menyerang diri kita sendiri. Semua mendapat momen masing-masing, termasuk Elisabeth Moss dan Tim Heidecker yang bermain sebagai pasangan yang merupakan teman keluarga Nyong'o. Namun yang paling spektakuler, tentunya Nyong'o. Penampilan dobelnya punya kualitas emosional dan fisik yang fantastis. Versi jahatnya barangkali merupakan satu-satunya doppelganger yang bisa bicara; itupun dalam suara yang serak ke dalam. Saat hubungan mereka terungkap lebih dalam, ini membeberkan sesuatu yang lebih mengerikan.

Skala ceritanya pun meluas, lebih dari sekadar home-invasion, karena ia kemudian melibatkan konsep scifi yang sangat ambisius. Dan dengan lebih banyak simbolisme dan subteks. Inilah saat kita teringat kembali dengan teks di awal film yang memberitahu soal banyaknya terowongan rahasia di bawah Amerika. Atau soal berita di televisi jadul yang mewartakan soal aksi "Hands Across America", kegiatan amal yang melibatkan 6 juta warga Amerika bergandeng tangan di seluruh negeri (entah jumlahnya betul atau tidak). Atau soal surat Jeremiah 11:11 tentang Tuhan yang memberi bencana. Atau soal puluhan kelinci dalam kandang yang menjadi adegan pengantar judul film. Semuanya seperti mengisyaratkan... uhm, sesuatu, tapi rasa-rasanya tak nyambung dalam satu konsep yang jelas. Us seperti ingin menyampaikan soal sesuatu, tapi tak tahu apa yang ingin disampaikannya.

Apakah ini soal dualitas dari kualitas pribadi manusia? Atau soal sindiran terhadap kemunafikan beberapa dari kita dalam setiap aksi amal? Atau soal pembalasan dari orang-orang yang direpresi di Amerika? Saya tak bisa menemukan tohokan utamanya. Mitologinya agak memusingkan kalau dipikirkan. Tapi, anda tahu? Saya tak begitu terpikir soal ini saat menonton. Setiap perkembangan cerita dalam Us membuat saya penasaran hanya untuk melihat kemana lagi Peele bisa membawa saya. Ia tak berhenti untuk menjanjikan sesuatu yang tak terduga. Dan ia tak pernah membuat saya kecewa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Us

116 menit
Remaja - BO
Jordan Peele
Jordan Peele
Jason Blum, Ian Cooper, Sean McKittrick, Jordan Peele
Mike Gioulakis
Michael Abels

Diulas oleh

Saturday, February 16, 2019

Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)
link : Review Film: 'Cold Pursuit' (2019)

Baca juga


Thriller

Yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya mampu memeras humor dari aktivitas kriminal yang brutal.

“I picked a good road early and I stayed on it.”
— Nelson Coxman
Rating UP:
Cold Pursuit seolah sudah meminta agar kita menyebutnya sebagai Taken On Ice. Premisnya terdengar seperti satu lagi variasi dari Film Dimana Liam Neeson Beraksi Kaya Taken Tapi Di ... [isi sendiri]. Kita dibawa ke Istanbul, atau naik kereta pesawat, tapi ujung-ujungnya, filmnya yaa soal Liam Neeson yang menjadi mesin pembunuh berkat particular set of skills-nya. Tidak kali ini. Betul, ia membantai banyak orang. Tapi yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya yang mampu memeras humor dari aktivitas brutal dan tak patut diteladani tersebut.


Neeson bermain sebagai Nels Coxman, pria biasa yang baru saja dianugerahi piala "Warga Terbaik Tahun Ini". Pekerjaannya adalah supir mobil pengeruk salju di resort ski di Kehoe, Colorado. Kalau bukan karena Nels, jalanan disana tak bakal bisa dilalui kendaraan. Dataran bersalju tebal ini tentu menjadi latar yang indah dan sangat cocok bagi darah untuk bermuncratan.

Awal perkaranya adalah kematian anak Nels. Hasil visum menunjukkan bahwa anaknya meninggal karena overdosis. Tapi setahu Nels, anaknya bukanlah seorang pemakai. Nels bermaksud bunuh diri, tapi batal setelah tahu bahwa anaknya sebetulnya dibunuh oleh anggota kartel narkoba. Ganti rencana; sekarang ia bersumpah akan membunuh semua anggota kartel, mulai dari kroco-kroco sampai sang bos yang dikenal dengan julukan Viking (Tom Bateman).

Anda sudah tahu bagaimana prosedurnya... atau apa memang begitu? Memang akan ada banyak mayat berjatuhan, tapi bukan lewat cara yang anda kira anda dapatkan dari film aksi Liam Neeson. Cold Pursuit adalah cuma soal killing list. Adegan aksinya berada di posisi sekunder. Film ini menegaskan itu dengan menampilkan daftar bertuliskan nama serta julukan norak semacam Speedo, Limbo, dll lengkap dengan lambang salib, setiap ada karakter yang mati. Karena yang berangkat ke alam sana ada banyak, maka kita akan sering membaca layar. Film bahkan menggunakan hal ini sebagai punchline nantinya.

Film ini digarap oleh Hans Petter Moland. Ia membuat ulang film ini dari filmnya sendiri, In Order of Disappearance yang berbahasa Norwegia. Judul tersebut barangkali lebih tepat. Karena plotnya hampir sama persis dengan film tersebut, film ini punya humor gelap yang bersumber dari aksi kriminal. Namun film ini bukan film komedi, karena tak ada satu pun karakter yang mencoba melucu. Kekontrasan banyak situasi nyeleneh dengan keseriusan di layar lah yang terasa sangat aneh sampai jadinya lucu. Moland memancing kita ketawa di tengah pembantaian.

Killing list tadi bukan menjadi milik karakter Liam Neeson semata. Pasalnya, balas dendamnya membuat situasi menjadi kacau. Viking malah menuduh bahwa kematian kroconya adalah perbuatan rivalnya, kartel Indian yang diketuai White Bull (Tom Jackson). Film ini melipir cukup lama supaya kita bisa nongkrong dengan anggota geng-geng ini dan melihat kesibukan mereka. Kita juga bakal berkenalan dengan kakak Coxman, mantan kriminal berjuluk Wingman (William Forsyth) yang punya istri Asia yang doyan ngomong kasar. Ada pula dua polisi Kehoe (Emily Rossum dan John Doman) yang mencoba mencerna segala kekacauan ini.

Semuanya kurang lebih hanya bertugas untuk melontarkan satu atau dua dialog lucu. Namun seringkali kita menghabiskan waktu terlalu lama dengan mereka, sehingga mau tak mau mereka terkesan sebagai bagian dari subplot yang sayangnya tak berjalan kemana-mana. Karakter Neeson menghilang cukup lama di pertengahan film, dan ini terasa sangat kentara. Jadinya, konfrontasi di klimaks terkesan agak canggung secara naratif, walau merupakan akhir yang memuaskan.

Neeson bermain lurus seperti biasanya ia bermain di film-film aksi. Namun ia tak punya one-liner disini. Berbanding terbalik, Tom Bateman memainkan karakternya begitu maniak sampai terlihat seperti karikatur dari penjahat paling penjahat sepanjang sejarah sinema; ia tak punya empati sama anak buah, suka memukul (mantan) istri dan memberi nasihat yang salah buat sang anak. Dan vegetarian. Di atas kertas, film ini nyaris terkesan seperti parodi dari genrenya, tapi ia berhasil menjadi film thriller yang serius. Mungkin tak sesukses Fargo-nya Coen Brothers, yang agaknya menjadi inspirasi utamanya. Yang jelas, saya tetap ketawa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cold Pursuit

118 menit
Remaja
Hans Petter Moland
Frank Baldwin
Finn Gjerdrum, Stein B. Kvae, Michael Shamberg, Ameet Shukla
Philip Øgaard
George Fenton

Yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya mampu memeras humor dari aktivitas kriminal yang brutal.

“I picked a good road early and I stayed on it.”
— Nelson Coxman
Rating UP:
Cold Pursuit seolah sudah meminta agar kita menyebutnya sebagai Taken On Ice. Premisnya terdengar seperti satu lagi variasi dari Film Dimana Liam Neeson Beraksi Kaya Taken Tapi Di ... [isi sendiri]. Kita dibawa ke Istanbul, atau naik kereta pesawat, tapi ujung-ujungnya, filmnya yaa soal Liam Neeson yang menjadi mesin pembunuh berkat particular set of skills-nya. Tidak kali ini. Betul, ia membantai banyak orang. Tapi yang lebih sadis disini adalah bagaimana filmnya yang mampu memeras humor dari aktivitas brutal dan tak patut diteladani tersebut.


Neeson bermain sebagai Nels Coxman, pria biasa yang baru saja dianugerahi piala "Warga Terbaik Tahun Ini". Pekerjaannya adalah supir mobil pengeruk salju di resort ski di Kehoe, Colorado. Kalau bukan karena Nels, jalanan disana tak bakal bisa dilalui kendaraan. Dataran bersalju tebal ini tentu menjadi latar yang indah dan sangat cocok bagi darah untuk bermuncratan.

Awal perkaranya adalah kematian anak Nels. Hasil visum menunjukkan bahwa anaknya meninggal karena overdosis. Tapi setahu Nels, anaknya bukanlah seorang pemakai. Nels bermaksud bunuh diri, tapi batal setelah tahu bahwa anaknya sebetulnya dibunuh oleh anggota kartel narkoba. Ganti rencana; sekarang ia bersumpah akan membunuh semua anggota kartel, mulai dari kroco-kroco sampai sang bos yang dikenal dengan julukan Viking (Tom Bateman).

Anda sudah tahu bagaimana prosedurnya... atau apa memang begitu? Memang akan ada banyak mayat berjatuhan, tapi bukan lewat cara yang anda kira anda dapatkan dari film aksi Liam Neeson. Cold Pursuit adalah cuma soal killing list. Adegan aksinya berada di posisi sekunder. Film ini menegaskan itu dengan menampilkan daftar bertuliskan nama serta julukan norak semacam Speedo, Limbo, dll lengkap dengan lambang salib, setiap ada karakter yang mati. Karena yang berangkat ke alam sana ada banyak, maka kita akan sering membaca layar. Film bahkan menggunakan hal ini sebagai punchline nantinya.

Film ini digarap oleh Hans Petter Moland. Ia membuat ulang film ini dari filmnya sendiri, In Order of Disappearance yang berbahasa Norwegia. Judul tersebut barangkali lebih tepat. Karena plotnya hampir sama persis dengan film tersebut, film ini punya humor gelap yang bersumber dari aksi kriminal. Namun film ini bukan film komedi, karena tak ada satu pun karakter yang mencoba melucu. Kekontrasan banyak situasi nyeleneh dengan keseriusan di layar lah yang terasa sangat aneh sampai jadinya lucu. Moland memancing kita ketawa di tengah pembantaian.

Killing list tadi bukan menjadi milik karakter Liam Neeson semata. Pasalnya, balas dendamnya membuat situasi menjadi kacau. Viking malah menuduh bahwa kematian kroconya adalah perbuatan rivalnya, kartel Indian yang diketuai White Bull (Tom Jackson). Film ini melipir cukup lama supaya kita bisa nongkrong dengan anggota geng-geng ini dan melihat kesibukan mereka. Kita juga bakal berkenalan dengan kakak Coxman, mantan kriminal berjuluk Wingman (William Forsyth) yang punya istri Asia yang doyan ngomong kasar. Ada pula dua polisi Kehoe (Emily Rossum dan John Doman) yang mencoba mencerna segala kekacauan ini.

Semuanya kurang lebih hanya bertugas untuk melontarkan satu atau dua dialog lucu. Namun seringkali kita menghabiskan waktu terlalu lama dengan mereka, sehingga mau tak mau mereka terkesan sebagai bagian dari subplot yang sayangnya tak berjalan kemana-mana. Karakter Neeson menghilang cukup lama di pertengahan film, dan ini terasa sangat kentara. Jadinya, konfrontasi di klimaks terkesan agak canggung secara naratif, walau merupakan akhir yang memuaskan.

Neeson bermain lurus seperti biasanya ia bermain di film-film aksi. Namun ia tak punya one-liner disini. Berbanding terbalik, Tom Bateman memainkan karakternya begitu maniak sampai terlihat seperti karikatur dari penjahat paling penjahat sepanjang sejarah sinema; ia tak punya empati sama anak buah, suka memukul (mantan) istri dan memberi nasihat yang salah buat sang anak. Dan vegetarian. Di atas kertas, film ini nyaris terkesan seperti parodi dari genrenya, tapi ia berhasil menjadi film thriller yang serius. Mungkin tak sesukses Fargo-nya Coen Brothers, yang agaknya menjadi inspirasi utamanya. Yang jelas, saya tetap ketawa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cold Pursuit

118 menit
Remaja
Hans Petter Moland
Frank Baldwin
Finn Gjerdrum, Stein B. Kvae, Michael Shamberg, Ameet Shukla
Philip Øgaard
George Fenton

Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)
link : Review Film: 'Happy Death Day 2U' (2019)

Baca juga


Thriller

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Film ini memang mengulang hari yang sama dengan 'Happy Death Day', tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda.

“Dude, I'm tripping right now.”
— Ryan
Rating UP:
Sekuel apa yang cocok untuk melanjutkan film soal mengulang hari? Jawabannya: mengulang hari lagi. Dalam Happy Death Day, karakter utama kita menjalani hari yang sama (dan mati) berkali-kali. Di Happy Death Day 2U, siapa sangka ia masih kembali menjalani hari yang sama dengan film pertama. Rasanya, kita yang menonton seperti ikut terjebak dalam pengulangan hari juga. Namun rupanya film ini adalah sekuel yang cukup cerdas. Ia tahu cara untuk membuat hari yang repetitif jadi terasa, uhm, tidak repetitif. Harinya boleh jadi sama, tapi ceritanya didaur ulang dengan struktur yang berbeda.


Film ini juga lebih cerdas jika dibandingkan dengan pendahulunya. Saya pernah bilang dalam review Happy Death Day bahwa film tersebut dieksekusi setengah hati, baik di aspek komedi maupun horor. Nah, sekuelnya ini ternyata benar-benar merengkuh kekonyolan premisnya. Ia memilih untuk cenderung fokus ke satu sudut saja. Elemen horornya dikurangi, justru ditambah dengan berbagai elemen lain yang ringan dan sangat beragam. Hasilnya, film ini jadi lebih kacau tapi saya juga lebih menikmatinya.

Masalah terbesarnya adalah karakter utama kita, Tree (Jessica Rothe) sudah menutup putaran waktu dan menemukan pembunuh dirinya di akhir film pertama. Jadi bagaimana cara membawanya kembali masuk? Awalnya tak begitu menjanjikan. Sebab, kita melihat hal yang kurang lebih sama persis seperti Tree, di hari yang sama pula. Bedanya, kali ini dialami oleh Ryan (Phi Vu), karakter sampingan dari film pertama. Saat ditikam oleh pembunuh bertopeng bayi, Ryan kaget menemukan bahwa ia bangun di hari yang sama. Apakah film ini bakal mengulang plek ketiplek film pertama, hanya saja dengan karakter baru?

Happy Death Day 2U punya kejutan buat kita. Ia berhasil menemukan cara untuk memutus siklus keberulangan... lewat keberulangan! Ternyata penyebab dari semua kekacauan ini adalah proyek sains bernama "Sisyphus Quantum Cooling Reactor" yang tengah dikerjakan Ryan dan kawan-kawannya. Lebih kacaunya lagi, usaha untuk memutus siklus Ryan malah mengakibatkan siklusnya kembali ke Tree. Bukan sebab-akibat paling masuk akal sepanjang sejarah sinema sih. Yaa namanya juga film scifi-scifi-an.

Dengan wajah muak, Tree menjalani setiap detil menjemukan dari hari yang sudah berulang berkali-kali. Filmnya self-aware dengan kekliseannya, tahu bahwa kita pun muak dengan peristiwa yang begitu-begitu saja. Namun ada bedanya. Di hari kali ini, Carter (Israel Broussard) rupanya tak berpacaran dengan Tree, melainkan dengan teman satu kosan Tree, Danielle (Rachel Matthews). Tree juga tak selingkuh dengan dosennya, dokter Gregory. Teman sekamarnya, Lori (Ruby Modine) juga tak jahat. Dan yang lebih penting, salah satu orang yang disayangi Tree ternyata masih hidup.

Apakah ia artinya ia berada di semesta yang berbeda? Berarti pembunuh bertopeng bayi sebelumnya juga punya identitas yang berbeda dong?

Penonton yang menikmati elemen horor dari film sebelumnya boleh dibilang bakal kecele. Sebab sutradaranya, Christopher Landon yang kali ini juga menulis naskah, tak begitu berusaha untuk menyuguhkan horor. Nyaris tak ada ketegangan dalam setiap adegan-adegan yang melibatkan pembunuhan. Alih-alih, ia mengemas filmnya ini seperti film drama-scifi-komedi yang remaja banget. Jadi tak perlu penjelasan yang mumpuni buat ini-itu, yang penting ada lawakan dan sedikit drama.

Dan itu lumayan mengena.

Kalau bisa hidup lagi setelah mati berkali-kali, kenapa tak sekalian mencoba cara baru setiap kali mati? Dalam satu montase adegan yang sangat kocak, kita melihat bagaimana Tree menemukan berbagai cara kreatif untuk mati, mulai dari yang melibatkan hairdryer sampai pemotong kayu. Jessica Rothe lagi-lagi menunjukkan kapabilitas aktingnya yang dinamis. Ia mampu bermain ekspresi dengan skala yang luas, mulai dari kaget biasa sampai sinting betulan, secara meyakinkan. Ia bahkan mampu membuat satu momen dramatis terasa begitu mengena, karena kita benar-benar merasa terikat dengan dilema yang dialami Tree.

Nah, anda yang belum menonton barangkali sedikit heran lalu bertanya, "Trus dimana masuknya cerita soal si pembunuh?". Gimana yah; yang nonton filmnya juga ngerasa gitu sih selama menonton. Film ini memasukkan terlalu banyak hal, sehingga beberapa hal terasa tak sejalan dengan koherensi cerita. Ia tak mengikuti satu lintasan yang sama, sehingga ada beberapa bagian yang terasa seperti berada di film lain. Di satu titik, film seolah lupa bahwa ada pembunuh bertopeng bayi yang sedang berkeliaran.

Jadi, yap. Film ini memang mengulang hari yang sama dengan Happy Death Day, tapi ia menjadi film yang sepenuhnya berbeda. Konflik moralnya berbeda. Struktur ceritanya berbeda. Bahkan atmosfernya jauh berbeda. Film ini barangkali tak cocok disandingkan di genre yang sama dengan film pertama karena ia mengkhianati premisnya. Tapi saya menikmatinya karena ia mengeksplor kemungkinan-kemungkinan baru dan merengkuh keseruan itu sepenuhnya. Dan juga karena ia tahu bagaimana cara memanfaatkan kecairan akting Jessica Rothe. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Happy Death Day 2U

100 menit
Remaja
Christopher Landon
Christopher Landon
Jason Blum
Toby Oliver
Bear McCreary

Tuesday, June 26, 2018

Review Film: 'Escape Plan 2: Hades' (2018)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Escape Plan 2: Hades' (2018)
link : Review Film: 'Escape Plan 2: Hades' (2018)

Baca juga


Thriller

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa jangan beli kucing dalam karung.

“It's bad to be back.”
— Ray Breslin
Rating UP:
“Yeah, really really bad.” — Teguh Raspati

Kata orang jangan suka "beli kucing dalam karung", sebab kita tak tahu betul apa isi karungnya. Kalau beruntung, kita memang dapat kucing. Tapi kalau tidak, yang mana biasanya begitu jika menilik peribahasanya, yang kita dapati justru yang lebih buruk; mustahil kita dikasih, katakanlah, cendrawasih. Atau seribu followers, misalnya.


Menonton film ini, ekspektasi saya tak muluk-muluk. Tak perlu filmnya high class, yang penting ada Sylvester Stallone dan sedikit adegan planning dan escaping dari penjara, yang mana merupakan ciri yang dicetak oleh film pertamanya. Mari kita sebut ini "kucing". "Karung"-nya adalah poster dengan judul besar "Escape Plan 2: Hades" yang dihiasi wajah raksasa Stallone dan Dave Bautista.

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa tadi. Bukannya kucing dalam karung; siapa sangka, saya malah dikasih karung berisi sampah.

Kalau anda masih ingat, Escape Plan pertama adalah film yang mempertemukan Stallone dengan Arnold Schwarzenegger dalam sebuah aksi kabur dari penjara. Team-up mereka ini memang tak seepik yang kita harapkan. Mekanisme plot soal aksi kabur mereka juga lumayan lebay dan sok rumit. Namun semua masih berada di titik yang hampir, kalau tidak mau dibilang cukup, menghibur. Yang jelas, ceritanya berhasil. Tunggu sampai anda menonton sekuelnya ini. Uda Ivan Lanin, apa padanan superlatif dari kata "lebay"?

Penjara superketat kali ini bernama Hades. Ini adalah penjara yang kemutakhiran dan keanehannya sudah bukan level manusia lagi, mungkin dibuat alien. Ada robot dokter, senjata listrik, dan, uhm, medan energi (iki film uopoo?!), yang kesemuanya diejawantahkan lewat efek spesial murahan. Selnya adalah satu ruangan yang dipenuhi dengan lampu neon menyilaukan yang mungkin ditujukan untuk membuat narapidana sakit kepala dan penonton sekaligus. Di waktu tertentu, kepala penjara yang berjuluk Zookeper (Titus Welliver) akan merancang para tahanan untuk bertarung satu sama lain.

Bagaimana ceritanya Ray (Stallone) bisa masuk kesitu? Tak ada ceritanya, sebab yang masuk kesana bukan Ray melainkan Shu (Xiaoming Huang), karyawan di perusahaan inspeksi keamanan milik Ray. Ia dikurung bersama sepupunya, Yusheng (Chen Tang) yang kebetulan adalah bos sebuah perusahaan teknologi yang diincar oleh perusahaan saingan.

Sementara itu, selagi Shu mencoba mencari cara untuk kabur termasuk bekerja sama dengan tahanan lain, sekali-sekali Ray berdiskusi dengan partnernya (50 Cent) sembari memasang tampang khawatir di kantornya. Sebelum benar-benar turun tangan sebentar di bagian akhir sekali nanti, saya menyimpulkan bahwa usaha penyelamatan yang dilakukan Ray meliputi: (1) telepati, sebab setiap kali Shu memusatkan pikiran, ia akan mendengar wejangan Ray; dan (2) penerawangan, sebab tanpa dibisiki siapapun, Ray langsung tahu bahwa Shu dikurung di Hades.

Yang tadi adalah usaha terbaik saya untuk menjelaskan plotnya. Masih ada printilan-printilan lain yang dimasukkan sekenanya ke dalam cerita. Misalnya mantan anak buah Ray lain yang bernama Kimbral (Wes Ctatham) yang ternyata juga ditawan di Hades. Ada pula semacam drama ganjil yang melibatkan persaudaraan antara Shu dan Yusheng yang harus dipertaruhkan gara-gara sebuah paten. Semua ini terasa kosong oleh karena plotting-nya yang amburadul, dialog-dialognya yang sudah cukup menggelikan, ditambah pula dengan akting dari pemain utamanya yang tak lebih baik daripada adik balita anda. Tak sedikitpun kita dibuat tertarik dengan karakternya.

Durasinya cuma 85 menit, tapi terasa dua kali lebih panjang karena ceritanya sendiri tak pernah menemukan momentum sampai akhir. Sutradaranya adalah Steven C. Miller yang (saya asumsikan) pernah menculik keluarga Bruce Willis agar mau bermain dalam 3 filmnya yang receh, Extraction, Marauders, dan First Kill. Ia sepertinya menyuruh kameramen untuk bergerak lebih lincah daripada stuntman, dan ingin agar kita juga seaktif itu mencerna gambar-gambar hiperaktif di layar.

Saya menemukan info bahwa film ini jeblok di Amerika, tapi sukses di luar Amerika, dan sangat berjaya di Cina. Oooooh, makanya yang main orang Cina. Film ini mungkin memang khusus dibuat untuk Cina. Tapi ini tak bisa menjustifikasi akting yang malas. Menariknya, sinopsis film ini di RottenTomatoes menggandengkan nama Stallone dengan prediket Best Suporting Actor-nya Oscar (yang diperolehnya lewat Creed). Ah, mungkin di Escape Plan 2, Stallone tak mau pamer dengan kedahsyatan aktingnya.

Saya tahu film ini akan jelek tapi saya tak mengira bakal sejelek ini. Kalau melihat kualitas produk akhirnya, wajar jika kita menyimpulkan bahwa pembuat film dan semua yang terlibat di dalamnya tak berusaha sama sekali. Setpieces dan efek spesialnya hancur sekali. Film ini terlihat seperti film yang terbentuk saat seseorang menonton film pertamanya lalu memutuskan untuk membuat sekuelnya dalam skala rumahan. Lalu saya dibuat bergidik saat menemukan di Wikipedia bahwa akan ada Escape Plan 3. Bikin planning untuk escape anda mulai dari sekarang.

**

Sebentar. Dimana Bautista muncul? Ah, saya lupa. Tapi siapa peduli, lha yang bikin film juga gitu.■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Escape Plan 2: Hades

94 menit
Dewasa
Steven C. Miller
Miles Chapman
Robbie Brenner, Mark Canton, Randall Emmett, George Furla, Zack Schiller
Brandon Cox
The Newton Brothers

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa jangan beli kucing dalam karung.

“It's bad to be back.”
— Ray Breslin
Rating UP:
“Yeah, really really bad.” — Teguh Raspati

Kata orang jangan suka "beli kucing dalam karung", sebab kita tak tahu betul apa isi karungnya. Kalau beruntung, kita memang dapat kucing. Tapi kalau tidak, yang mana biasanya begitu jika menilik peribahasanya, yang kita dapati justru yang lebih buruk; mustahil kita dikasih, katakanlah, cendrawasih. Atau seribu followers, misalnya.


Menonton film ini, ekspektasi saya tak muluk-muluk. Tak perlu filmnya high class, yang penting ada Sylvester Stallone dan sedikit adegan planning dan escaping dari penjara, yang mana merupakan ciri yang dicetak oleh film pertamanya. Mari kita sebut ini "kucing". "Karung"-nya adalah poster dengan judul besar "Escape Plan 2: Hades" yang dihiasi wajah raksasa Stallone dan Dave Bautista.

Berfaedah betul, rupanya film ini berniat mengajarkan saya kembali agar benar-benar mengingat peribahasa tadi. Bukannya kucing dalam karung; siapa sangka, saya malah dikasih karung berisi sampah.

Kalau anda masih ingat, Escape Plan pertama adalah film yang mempertemukan Stallone dengan Arnold Schwarzenegger dalam sebuah aksi kabur dari penjara. Team-up mereka ini memang tak seepik yang kita harapkan. Mekanisme plot soal aksi kabur mereka juga lumayan lebay dan sok rumit. Namun semua masih berada di titik yang hampir, kalau tidak mau dibilang cukup, menghibur. Yang jelas, ceritanya berhasil. Tunggu sampai anda menonton sekuelnya ini. Uda Ivan Lanin, apa padanan superlatif dari kata "lebay"?

Penjara superketat kali ini bernama Hades. Ini adalah penjara yang kemutakhiran dan keanehannya sudah bukan level manusia lagi, mungkin dibuat alien. Ada robot dokter, senjata listrik, dan, uhm, medan energi (iki film uopoo?!), yang kesemuanya diejawantahkan lewat efek spesial murahan. Selnya adalah satu ruangan yang dipenuhi dengan lampu neon menyilaukan yang mungkin ditujukan untuk membuat narapidana sakit kepala dan penonton sekaligus. Di waktu tertentu, kepala penjara yang berjuluk Zookeper (Titus Welliver) akan merancang para tahanan untuk bertarung satu sama lain.

Bagaimana ceritanya Ray (Stallone) bisa masuk kesitu? Tak ada ceritanya, sebab yang masuk kesana bukan Ray melainkan Shu (Xiaoming Huang), karyawan di perusahaan inspeksi keamanan milik Ray. Ia dikurung bersama sepupunya, Yusheng (Chen Tang) yang kebetulan adalah bos sebuah perusahaan teknologi yang diincar oleh perusahaan saingan.

Sementara itu, selagi Shu mencoba mencari cara untuk kabur termasuk bekerja sama dengan tahanan lain, sekali-sekali Ray berdiskusi dengan partnernya (50 Cent) sembari memasang tampang khawatir di kantornya. Sebelum benar-benar turun tangan sebentar di bagian akhir sekali nanti, saya menyimpulkan bahwa usaha penyelamatan yang dilakukan Ray meliputi: (1) telepati, sebab setiap kali Shu memusatkan pikiran, ia akan mendengar wejangan Ray; dan (2) penerawangan, sebab tanpa dibisiki siapapun, Ray langsung tahu bahwa Shu dikurung di Hades.

Yang tadi adalah usaha terbaik saya untuk menjelaskan plotnya. Masih ada printilan-printilan lain yang dimasukkan sekenanya ke dalam cerita. Misalnya mantan anak buah Ray lain yang bernama Kimbral (Wes Ctatham) yang ternyata juga ditawan di Hades. Ada pula semacam drama ganjil yang melibatkan persaudaraan antara Shu dan Yusheng yang harus dipertaruhkan gara-gara sebuah paten. Semua ini terasa kosong oleh karena plotting-nya yang amburadul, dialog-dialognya yang sudah cukup menggelikan, ditambah pula dengan akting dari pemain utamanya yang tak lebih baik daripada adik balita anda. Tak sedikitpun kita dibuat tertarik dengan karakternya.

Durasinya cuma 85 menit, tapi terasa dua kali lebih panjang karena ceritanya sendiri tak pernah menemukan momentum sampai akhir. Sutradaranya adalah Steven C. Miller yang (saya asumsikan) pernah menculik keluarga Bruce Willis agar mau bermain dalam 3 filmnya yang receh, Extraction, Marauders, dan First Kill. Ia sepertinya menyuruh kameramen untuk bergerak lebih lincah daripada stuntman, dan ingin agar kita juga seaktif itu mencerna gambar-gambar hiperaktif di layar.

Saya menemukan info bahwa film ini jeblok di Amerika, tapi sukses di luar Amerika, dan sangat berjaya di Cina. Oooooh, makanya yang main orang Cina. Film ini mungkin memang khusus dibuat untuk Cina. Tapi ini tak bisa menjustifikasi akting yang malas. Menariknya, sinopsis film ini di RottenTomatoes menggandengkan nama Stallone dengan prediket Best Suporting Actor-nya Oscar (yang diperolehnya lewat Creed). Ah, mungkin di Escape Plan 2, Stallone tak mau pamer dengan kedahsyatan aktingnya.

Saya tahu film ini akan jelek tapi saya tak mengira bakal sejelek ini. Kalau melihat kualitas produk akhirnya, wajar jika kita menyimpulkan bahwa pembuat film dan semua yang terlibat di dalamnya tak berusaha sama sekali. Setpieces dan efek spesialnya hancur sekali. Film ini terlihat seperti film yang terbentuk saat seseorang menonton film pertamanya lalu memutuskan untuk membuat sekuelnya dalam skala rumahan. Lalu saya dibuat bergidik saat menemukan di Wikipedia bahwa akan ada Escape Plan 3. Bikin planning untuk escape anda mulai dari sekarang.

**

Sebentar. Dimana Bautista muncul? Ah, saya lupa. Tapi siapa peduli, lha yang bikin film juga gitu.■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Escape Plan 2: Hades

94 menit
Dewasa
Steven C. Miller
Miles Chapman
Robbie Brenner, Mark Canton, Randall Emmett, George Furla, Zack Schiller
Brandon Cox
The Newton Brothers

Wednesday, June 13, 2018

Review Film: 'Unsane' (2018)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Unsane' (2018)
link : Review Film: 'Unsane' (2018)

Baca juga


Thriller

Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses.

“I'm not crazy!”
— Sawyer Valentini
Rating UP:
Pak Steven Soderbergh, kalau boleh tahu Apple bayar berapa untuk ini? Kalau bukan di-endorse, saya hampir-hampir tak percaya. Soalnya film ini terlihat mulus seperti film sungguhan. Setelah ini, pasti banyak yang percaya bahwa mudah untuk membuat film "sungguhan" dengan menggunakan iPhone 7. Apalagi yang punya versi terbaru, iPhone 23.


Yang jelas, selama menonton Unsane saya lupa kalau film ini disorot pakai iPhone. Yaa, tentu dengan dilengkapi beberapa alat penunjang, sebab film ini jelas terlihat berkali lipat lebih bagus dari video InstaStory kita yang paling oke. Barangkali gemas setelah menyaksikan Tangerine-nya Sean Baker, Soderbergh pun ikut-ikutan membuktikan bahwa kita tak butuh kamera yang mutakhir untuk membuat film. Cukup pemain serta kru yang kompeten, dan pastinya sentuhan sutradara yang piawai. Dalam hal ini, keterampilan Soderbergh bahkan mampu menanggulangi materinya yang absurd.

Mudah untuk menge-judge film ini atas gimiknya, tapi Soderbergh menggunakan gimik yang tepat untuk film yang tepat. Sebagai informasi, plotnya tentang seseorang yang parno gara-gara dikuntit oleh stalker maniak. Karena disorot dengan iPhone, film ini punya rasio aspek yang agak ganjil; nyaris persegi seperti film-film lawas. Ini memberikan nuansa klaustrofobik. Pinggiran gambar sedikit mengalami distorsi sehingga terlihat agak cembung; cocok sekali menegaskan surealitas dan rasa paranoid yang dialami oleh tokoh utama kita. Semakin nendang karena sorotan dengan iPhone membuat filmnya tampak raw, tak seperti film "sungguhan" yang bling-bling, sehingga adegan-adegannya terkesan spontan.

Dan spontan adalah kata yang paling mewakili film ini. Lihat saja apa yang dialami oleh karakter utama kita, Sawyer Valentini (Claire Foy). Ia punya pekerjaan yang mapan sebagai analis finansial. Ia cerdas dan tampaknya selalu tahu dengan apa yang sedang dan akan dilakukan. Namun, saat datang waktunya nge-date, Sawyer rubuh. Rupanya ia masih trauma dengan pengalaman di-stalking oleh seseorang beberapa tahun lalu. Sawyer tahu bahwa ia butuh bantuan profesional. Dan itulah yang ia lakukan. Eh ladalah, ujung-ujungnya Sawyer malah dikira punya gangguan jiwa.

Cuma mau main-main kok malah jatuh hati, eh jadi curhat. Maksudnya, cuma mau konsul kok malah dimasukin ke rumah sakit jiwa.

Yaa jelas Sawyer protes. Namun usahanya untuk bebas justru membuat situasi semakin buruk. Sawyer ditengarai mengancam keselamatan perawat dan pasien. Penahanan yang awalnya cuma 24 jam diperpanjang menjadi 7 hari. Namun yang lebih parah, Sawyer kemudian mendapati bahwa salah satu perawat ternyata adalah stalker-nya dulu. Kontradiktifnya, perawat ini (Joshua Leonard) dinilai oleh rekan-rekannya sebagai pekerja yang tekun. Sawyer sekarang punya dua masalah: (1) tak bisa kemana-mana dari rumah sakit jiwa, dan (2) terjebak bersama stalker-nya.

Apakah yang dilihat Saywer ini benar begitu atau jangan-jangan stalker tersebut cuma delusinya saja? Film bermain tarik-ulur dengan premis ini, dan Claire Foy tampil brilian lewat karakternya. Ia sukses membawakan karakter yang cerdas tapi juga histeris dan mungkin punya tendensi delusional. Kita tak pernah yakin apakah yang dilihatnya itu benar atau tidak, tapi kita percaya dengan setiap tindakannya. Ada waktu dimana karakter seharusnya berbuat benar, tapi tak dilakukan supaya filmnya tidak langsung beres. Namun dalam Unsane, karakter Claire Foy selalu melakukan tindakan yang benar: ia mencoba menghubungi polisi atau meminta bantuan kepada ibunya.

Faktanya, setidaknya sampai paruh terakhir, Unsane berjalan dengan padat dan efektif. Skrip Jonathan Bernstein & James Greer punya beberapa skenario yang cukup mengejutkan. Nah, rupanya mereka tak ingin kita berlarut-larut tenggelam dalam ambiguitas, sebab film punya resolusi pasti mengenai keadaan mental Sawyer. Saya sebetulnya tak begitu masalah dengan hal ini. Namun saat film memilih berpijak pada realita, kita sewajarnya menaikkan sedikit level suspension of disbelief. Sedangkan Unsane ditutup dengan beberapa hal-hal absurd dan lubang plot yang kentara jika ditinjau dalam konteks realita.

Jadi, plot barangkali cuma merupakan mekanika bagi Soderbergh untuk memamerkan keterampilan filmmaking-nya, mencoba memanfaatkan fleksibilitas smartphone untuk memberikan efek yang spesifik. Bujet film ini kabarnya cuma $1,2 juta saja, sama dengan film pertamanya yang eksperimental, Sex, Lies, and Videotapes yang memenangkan Palme d'Or Cannes hampir tiga dekade yang lalu. Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Unsane

98 menit
Dewasa
Steven Soderbergh
Jonathan Bernstein, James Greer
Joseph Malloch
Steven Soderbergh (sebagai Peter Andrews
Thomas Newman (sebagai David Wilder Savage)

Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses.

“I'm not crazy!”
— Sawyer Valentini
Rating UP:
Pak Steven Soderbergh, kalau boleh tahu Apple bayar berapa untuk ini? Kalau bukan di-endorse, saya hampir-hampir tak percaya. Soalnya film ini terlihat mulus seperti film sungguhan. Setelah ini, pasti banyak yang percaya bahwa mudah untuk membuat film "sungguhan" dengan menggunakan iPhone 7. Apalagi yang punya versi terbaru, iPhone 23.


Yang jelas, selama menonton Unsane saya lupa kalau film ini disorot pakai iPhone. Yaa, tentu dengan dilengkapi beberapa alat penunjang, sebab film ini jelas terlihat berkali lipat lebih bagus dari video InstaStory kita yang paling oke. Barangkali gemas setelah menyaksikan Tangerine-nya Sean Baker, Soderbergh pun ikut-ikutan membuktikan bahwa kita tak butuh kamera yang mutakhir untuk membuat film. Cukup pemain serta kru yang kompeten, dan pastinya sentuhan sutradara yang piawai. Dalam hal ini, keterampilan Soderbergh bahkan mampu menanggulangi materinya yang absurd.

Mudah untuk menge-judge film ini atas gimiknya, tapi Soderbergh menggunakan gimik yang tepat untuk film yang tepat. Sebagai informasi, plotnya tentang seseorang yang parno gara-gara dikuntit oleh stalker maniak. Karena disorot dengan iPhone, film ini punya rasio aspek yang agak ganjil; nyaris persegi seperti film-film lawas. Ini memberikan nuansa klaustrofobik. Pinggiran gambar sedikit mengalami distorsi sehingga terlihat agak cembung; cocok sekali menegaskan surealitas dan rasa paranoid yang dialami oleh tokoh utama kita. Semakin nendang karena sorotan dengan iPhone membuat filmnya tampak raw, tak seperti film "sungguhan" yang bling-bling, sehingga adegan-adegannya terkesan spontan.

Dan spontan adalah kata yang paling mewakili film ini. Lihat saja apa yang dialami oleh karakter utama kita, Sawyer Valentini (Claire Foy). Ia punya pekerjaan yang mapan sebagai analis finansial. Ia cerdas dan tampaknya selalu tahu dengan apa yang sedang dan akan dilakukan. Namun, saat datang waktunya nge-date, Sawyer rubuh. Rupanya ia masih trauma dengan pengalaman di-stalking oleh seseorang beberapa tahun lalu. Sawyer tahu bahwa ia butuh bantuan profesional. Dan itulah yang ia lakukan. Eh ladalah, ujung-ujungnya Sawyer malah dikira punya gangguan jiwa.

Cuma mau main-main kok malah jatuh hati, eh jadi curhat. Maksudnya, cuma mau konsul kok malah dimasukin ke rumah sakit jiwa.

Yaa jelas Sawyer protes. Namun usahanya untuk bebas justru membuat situasi semakin buruk. Sawyer ditengarai mengancam keselamatan perawat dan pasien. Penahanan yang awalnya cuma 24 jam diperpanjang menjadi 7 hari. Namun yang lebih parah, Sawyer kemudian mendapati bahwa salah satu perawat ternyata adalah stalker-nya dulu. Kontradiktifnya, perawat ini (Joshua Leonard) dinilai oleh rekan-rekannya sebagai pekerja yang tekun. Sawyer sekarang punya dua masalah: (1) tak bisa kemana-mana dari rumah sakit jiwa, dan (2) terjebak bersama stalker-nya.

Apakah yang dilihat Saywer ini benar begitu atau jangan-jangan stalker tersebut cuma delusinya saja? Film bermain tarik-ulur dengan premis ini, dan Claire Foy tampil brilian lewat karakternya. Ia sukses membawakan karakter yang cerdas tapi juga histeris dan mungkin punya tendensi delusional. Kita tak pernah yakin apakah yang dilihatnya itu benar atau tidak, tapi kita percaya dengan setiap tindakannya. Ada waktu dimana karakter seharusnya berbuat benar, tapi tak dilakukan supaya filmnya tidak langsung beres. Namun dalam Unsane, karakter Claire Foy selalu melakukan tindakan yang benar: ia mencoba menghubungi polisi atau meminta bantuan kepada ibunya.

Faktanya, setidaknya sampai paruh terakhir, Unsane berjalan dengan padat dan efektif. Skrip Jonathan Bernstein & James Greer punya beberapa skenario yang cukup mengejutkan. Nah, rupanya mereka tak ingin kita berlarut-larut tenggelam dalam ambiguitas, sebab film punya resolusi pasti mengenai keadaan mental Sawyer. Saya sebetulnya tak begitu masalah dengan hal ini. Namun saat film memilih berpijak pada realita, kita sewajarnya menaikkan sedikit level suspension of disbelief. Sedangkan Unsane ditutup dengan beberapa hal-hal absurd dan lubang plot yang kentara jika ditinjau dalam konteks realita.

Jadi, plot barangkali cuma merupakan mekanika bagi Soderbergh untuk memamerkan keterampilan filmmaking-nya, mencoba memanfaatkan fleksibilitas smartphone untuk memberikan efek yang spesifik. Bujet film ini kabarnya cuma $1,2 juta saja, sama dengan film pertamanya yang eksperimental, Sex, Lies, and Videotapes yang memenangkan Palme d'Or Cannes hampir tiga dekade yang lalu. Jika ini adalah eksperimen dari sutradara yang memang dikenal suka bereksperimen dengan visual, maka ia sukses. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Unsane

98 menit
Dewasa
Steven Soderbergh
Jonathan Bernstein, James Greer
Joseph Malloch
Steven Soderbergh (sebagai Peter Andrews
Thomas Newman (sebagai David Wilder Savage)

Sunday, May 27, 2018

Review Film: 'Dark Crimes' (2018)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Dark Crimes' (2018)
link : Review Film: 'Dark Crimes' (2018)

Baca juga


Thriller

Boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey. Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

“Perception is reality.”
— Kozlov
Rating UP:
Kita lebih mengenal Jim Carrey sebagai komedian, tapi dalam sekali-dua kali kesempatan, ia adalah aktor serius. Bukan baru-baru ini saja ia mencoba hal tersebut. Kita pernah melihatnya dalam The Truman Show dan Eternal Sunshine for the Spotless Mind. Namun agaknya anda akan syok menyaksikannya dalam Dark Crimes. Perannya sangat pahit dan suram. Iya, bahkan melebihi saat ia di film The Number 23. Berjenggot tebal dengan kepala nyaris botak, Carrey bermain sebagai seorang detektif yang minim ngomong dan serius setengah mati.


Namun bukan itu saja alasan anda akan dibuat syok. Sebelum dimulai, film sudah dibuka dengan bagian credit yang menampilkan potongan adegan vulgar dan brutal. Wanita-wanita telanjang diarak merangkak dengan memakai tali pengekang anjing. Di lain kesempatan, mereka digantung ke langit-langit sementara tangan mereka diikat. Di sekeliling mereka, ada belasan oom-oom berjas dengan tampang sange. Ada apa ini? Semua penuh misteri. Sialan, pikir saya, boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey.

Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

Carrey bermain sebagai Tadek, detektif Polandia yang memancarkan aura depresif dan kesepian. Jabatannya baru saja diturunkan ke bagian administrasi gara-gara membuat masalah di penyidikan sebelumnya. Karena sebentar lagi pensiun, Tadek disarankan oleh teman-temannya untuk anteng-anteng saja dengan pekerjaan barunya. Namun ia merasa perlu untuk menyelesaikan sebuah kasus pelik yang sudah dibungkus oleh kepolisian Polandia karena minimnya alat bukti. Kasus tersebut adalah pembunuhan seorang pria paruh baya yang menjadi langganan sebuah klub misterius bernama "The Cage".

Dan klub ini adalah klub laknat yang aktivitasnya kita lihat di awal film.

Tadek yakin ia baru saja mendapatkan tersangkanya, yaitu seorang novelis bernama Kozlov (Marton Csokas). Alasannya, novel terbaru karya Kozlov bercerita tentang sebuah kasus pembunuhan yang anehnya sangat mirip dengan kasus yang tengah diselidiki Tadek. Deskripsi pembunuhan fiktif di novel Kozlov berisi detail dari kasus tersebut yang hanya diketahui oleh polisi (dan tentu saja pelaku). Ketika ditanya oleh wartawan apakah beberapa kesadisan dalam novel tersebut terinspirasi dari kisah nyata, Kozlov malah menjawab dengan provokatif, "Mungkin iya, mungkin tidak."

Namun orang tak bisa ditangkap begitu saja gara-gara tulisannya, apalagi kalau cuma fiksi. Cerita ini terdengar seperti cerita yang hanya masuk akal terjadi dalam novel atau film. Yang lebih membuat syok, cerita ini benar-benar terjadi di dunia nyata. Pada tahun 2007, seorang novelis Polandia bernama Kryztian Bala ditahan atas tuduhan pembunuhan berencana. Bala ditangkap oleh detektif Jacek Wroblewski yang mendapat petunjuk dari novel yang ditulis Bala. Novel ini menggunakan sudut pandang pertama, dimana karakter "Aku"-nya yang bernama Chris adalah seorang sadis yang suka mengumbar kata-kata jorok dan tak respek sama sekali dengan orang lain. Mengejutkan bagaimana Kryztian yang disebut teman-temannya sebagai orang yang kalem malah menulis novel sebrutal itu. Memang seperti pameo klasik: truth is stranger than fiction.

Kasus ini dirangkum secara komprehensif oleh David Grann, wartawan The New Yorker yang artikelnya "The Lost City of Z" juga telah difilmkan. Artikel berjudul "True Crime: A Postmodern Murder Mystery" tersebut bergaya cerpen, ditulis secara investigatif dengan berisi berbagai detil yang membuat kita serasa terlibat dalam proses penyelidikan. Ini jauuuuuh lebih menarik dan lebih sinematis daripada filmnya sendiri; bahkan punya stinger di bagian akhir (anda bisa membacanya disini). Seolah kisah nyatanya belum cukup menggigit, Jeremy Brock memberi banyak tambahan di skripnya sehingga lebih pelik sampai melewati batas kelogisan, bahkan untuk ukuran film. Motif karakter menjadi tak jelas, seolah hanya bertindak sebagai pembuat syok. Tadek suka memutar versi suara dari novel Kozlov (yang ngomong-ngomong berisi sadisme dan kata-kata jorok) saat makan bersama istrinya. Yah dengan melihat ini sih, wajar kalau rumah tangga Tadek bermasalah.

Ada momen dimana nanti Tadek harus keluar dari jalur otoritasnya hingga melakukan beberapa tindakan yang bisa dibilang kriminal untuk membuktikan bahwa Kozlov bersalah. Kunjungannya terhadap pacar Kozlov, Kasia (Charlotte Gainsbourg) malah berakhir dalam sebuah scene yang begitu absurd, saya tak percaya baru saja menyaksikannya. Bagian ini membunuh standar moral apa pun yang terdapat pada semua karakternya, sehingga anda menyadari betapa rendah visi yang disajikan oleh pembuatnya.

Film ini digarap dengan baik. Sutradara Alexandros Avranas tahu cara menyuguhkan atmosfer yang pas untuk materi ceritanya. Jim Carrey juga sepertinya berkomitmen sekali dengan perannya. Sedari awal, ia sudah tampil dengan begitu baik, kita tak perlu meragukan apakah ia sudah merangkul betul perannya sebagai detektif yang depresif tapi juga obsesif; bahkan saat berbicara bahasa Inggris dengan aksen Polandia yang aneh tak terasa mendistraksi. Keduanya cuma perlu materi yang lebih baik. Dan tak sepahit ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dark Crimes

92 menit
Dewasa
Alexandros Avranas
Jeremy Brock (screenplay), David Grann (artikel)
John Cheng, David Gerson, Simon Horsman, Brett Ratner, Jeffrey Soros
Michal Englert
Richard Patrick, Tobias Enhus

Boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey. Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

“Perception is reality.”
— Kozlov
Rating UP:
Kita lebih mengenal Jim Carrey sebagai komedian, tapi dalam sekali-dua kali kesempatan, ia adalah aktor serius. Bukan baru-baru ini saja ia mencoba hal tersebut. Kita pernah melihatnya dalam The Truman Show dan Eternal Sunshine for the Spotless Mind. Namun agaknya anda akan syok menyaksikannya dalam Dark Crimes. Perannya sangat pahit dan suram. Iya, bahkan melebihi saat ia di film The Number 23. Berjenggot tebal dengan kepala nyaris botak, Carrey bermain sebagai seorang detektif yang minim ngomong dan serius setengah mati.


Namun bukan itu saja alasan anda akan dibuat syok. Sebelum dimulai, film sudah dibuka dengan bagian credit yang menampilkan potongan adegan vulgar dan brutal. Wanita-wanita telanjang diarak merangkak dengan memakai tali pengekang anjing. Di lain kesempatan, mereka digantung ke langit-langit sementara tangan mereka diikat. Di sekeliling mereka, ada belasan oom-oom berjas dengan tampang sange. Ada apa ini? Semua penuh misteri. Sialan, pikir saya, boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey.

Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

Carrey bermain sebagai Tadek, detektif Polandia yang memancarkan aura depresif dan kesepian. Jabatannya baru saja diturunkan ke bagian administrasi gara-gara membuat masalah di penyidikan sebelumnya. Karena sebentar lagi pensiun, Tadek disarankan oleh teman-temannya untuk anteng-anteng saja dengan pekerjaan barunya. Namun ia merasa perlu untuk menyelesaikan sebuah kasus pelik yang sudah dibungkus oleh kepolisian Polandia karena minimnya alat bukti. Kasus tersebut adalah pembunuhan seorang pria paruh baya yang menjadi langganan sebuah klub misterius bernama "The Cage".

Dan klub ini adalah klub laknat yang aktivitasnya kita lihat di awal film.

Tadek yakin ia baru saja mendapatkan tersangkanya, yaitu seorang novelis bernama Kozlov (Marton Csokas). Alasannya, novel terbaru karya Kozlov bercerita tentang sebuah kasus pembunuhan yang anehnya sangat mirip dengan kasus yang tengah diselidiki Tadek. Deskripsi pembunuhan fiktif di novel Kozlov berisi detail dari kasus tersebut yang hanya diketahui oleh polisi (dan tentu saja pelaku). Ketika ditanya oleh wartawan apakah beberapa kesadisan dalam novel tersebut terinspirasi dari kisah nyata, Kozlov malah menjawab dengan provokatif, "Mungkin iya, mungkin tidak."

Namun orang tak bisa ditangkap begitu saja gara-gara tulisannya, apalagi kalau cuma fiksi. Cerita ini terdengar seperti cerita yang hanya masuk akal terjadi dalam novel atau film. Yang lebih membuat syok, cerita ini benar-benar terjadi di dunia nyata. Pada tahun 2007, seorang novelis Polandia bernama Kryztian Bala ditahan atas tuduhan pembunuhan berencana. Bala ditangkap oleh detektif Jacek Wroblewski yang mendapat petunjuk dari novel yang ditulis Bala. Novel ini menggunakan sudut pandang pertama, dimana karakter "Aku"-nya yang bernama Chris adalah seorang sadis yang suka mengumbar kata-kata jorok dan tak respek sama sekali dengan orang lain. Mengejutkan bagaimana Kryztian yang disebut teman-temannya sebagai orang yang kalem malah menulis novel sebrutal itu. Memang seperti pameo klasik: truth is stranger than fiction.

Kasus ini dirangkum secara komprehensif oleh David Grann, wartawan The New Yorker yang artikelnya "The Lost City of Z" juga telah difilmkan. Artikel berjudul "True Crime: A Postmodern Murder Mystery" tersebut bergaya cerpen, ditulis secara investigatif dengan berisi berbagai detil yang membuat kita serasa terlibat dalam proses penyelidikan. Ini jauuuuuh lebih menarik dan lebih sinematis daripada filmnya sendiri; bahkan punya stinger di bagian akhir (anda bisa membacanya disini). Seolah kisah nyatanya belum cukup menggigit, Jeremy Brock memberi banyak tambahan di skripnya sehingga lebih pelik sampai melewati batas kelogisan, bahkan untuk ukuran film. Motif karakter menjadi tak jelas, seolah hanya bertindak sebagai pembuat syok. Tadek suka memutar versi suara dari novel Kozlov (yang ngomong-ngomong berisi sadisme dan kata-kata jorok) saat makan bersama istrinya. Yah dengan melihat ini sih, wajar kalau rumah tangga Tadek bermasalah.

Ada momen dimana nanti Tadek harus keluar dari jalur otoritasnya hingga melakukan beberapa tindakan yang bisa dibilang kriminal untuk membuktikan bahwa Kozlov bersalah. Kunjungannya terhadap pacar Kozlov, Kasia (Charlotte Gainsbourg) malah berakhir dalam sebuah scene yang begitu absurd, saya tak percaya baru saja menyaksikannya. Bagian ini membunuh standar moral apa pun yang terdapat pada semua karakternya, sehingga anda menyadari betapa rendah visi yang disajikan oleh pembuatnya.

Film ini digarap dengan baik. Sutradara Alexandros Avranas tahu cara menyuguhkan atmosfer yang pas untuk materi ceritanya. Jim Carrey juga sepertinya berkomitmen sekali dengan perannya. Sedari awal, ia sudah tampil dengan begitu baik, kita tak perlu meragukan apakah ia sudah merangkul betul perannya sebagai detektif yang depresif tapi juga obsesif; bahkan saat berbicara bahasa Inggris dengan aksen Polandia yang aneh tak terasa mendistraksi. Keduanya cuma perlu materi yang lebih baik. Dan tak sepahit ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dark Crimes

92 menit
Dewasa
Alexandros Avranas
Jeremy Brock (screenplay), David Grann (artikel)
John Cheng, David Gerson, Simon Horsman, Brett Ratner, Jeffrey Soros
Michal Englert
Richard Patrick, Tobias Enhus

Friday, May 18, 2018

Review Film: 'Anon' (2018)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Anon' (2018)
link : Review Film: 'Anon' (2018)

Baca juga


Thriller

Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru?

“It's not that I have something to hide. I have nothing I want you to see.”
— The Girl
Rating UP:
Kadang-kadang ketidaktahuan bisa menjadi berkah. Bayangkan seandainya kita terus dijejali dengan berbagai macam informasi nan komprehensif tanpa henti, hidup pasti akan sesak dan bikin stres. Dalam Anon, orang bisa dengan praktis mengakses semua informasi mengenai apa saja, mulai dari nama dan profesi seseorang, hingga komposisi dalam makanan. Semua tersaji dengan instan, hanya dalam sekejap mata.


Ini adalah satu lagi ide provokatif dari Andrew Niccol, penulis/sutradara yang bisa dibilang berspesialisasi mengangkat cerita tentang kehidupan manusia yang sangat bergantung pada teknologi. Di Gattaca ia bermain-main dengan konsep rekayasa DNA. Dalam In Time, orang bisa memperjualbelikan usia. Versi masa depan dalam Anon cenderung lebih dekat dengan realita masa kini. Lha, saat ini saja kita sudah dibanjiri dengan jutaan informasi hanya dari satu telepon genggam.

Namun, ide saja tak cukup untuk menjustifikasi keberadaan sebuah film. Ada film yang punya ide bagus, tapi belum tentu dieksekusi dengan greget. Anon termasuk dalam kasus tersebut. Konsep dunia yang sangat thought-provoking tadi dipakai hanya sebagai bumbu untuk sebuah film thriller whodunit yang terus terang tak begitu menggigit. Ia tak punya sensasi ketegangan, sehingga pengungkapan di momen puncak takkan membuat terhenyak. Dinamika alurnya sepucat palet warna yang digunakan untuk gambar-gambarnya.

Kendati demikian, anda semestinya tak luput menyaksikan sendiri bagaimana briliannya Niccol membangun dunianya. Secara singkat, mekanismenya adalah augmented reality, dimana semua info, termasuk iklan, di-streaming langsung ke mata. Demikian pula sebaliknya; semua yang dilihat mata akan di-upload ke jaringan internet berupa cloud storage yang disebut dengan "The Ether". Tak ada lagi privasi, karena semua peristiwa punya rekaman, tak peduli entah itu di WC atau kamar tidur. Informasi ini bisa diakses oleh siapa saja tergantung level otoritas masing-masing.

Namanya manusia, tak ada kemajuan yang tak menimbulkan peluang kerja nyeleneh. Dalam hal ini, muncul para hacker yang bisa menghapus rekaman bahkan menge-hack apa yang dilihat mata. Dengan imbalan yang sepadan, mereka bisa memodifikasi rekaman yang tak ingin dilihat orang lain. Masalah muncul saat rekaman hasil modifikasi tersebut berhubungan dengan aksi pembunuhan berantai.

Disinilah detektif Sal (Clive Owen) dibuat pusing sekaligus agak semangat. Jika biasanya aksi kriminal bisa langsung dipecahkan karena polisi bisa melihat sendiri kejadian di TKP (dan Sal tampak sudah agak bosan melakukannya), kali ini ia harus turun ke lapangan untuk melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan, yakni mendeteksi. Kebetulan sekali, sehari sebelumnya ia melihat seorang wanita yang tak punya data. Yang tidak diketahui dianggap membahayakan, sehingga sang wanita ditengarai punya andil dalam kasus tersebut. Logika Sal dkk: tak mungkin menyembunyikan diri kalau tak bersalah bukan?

Kemudian film bergerak menggunakan format film detektif noir ala-ala yang standar. Sal menyamar menggunakan identitas baru, lalu berusaha mendekati sang wanita (Amanda Seyfried). Sal tahu bahwa sang wanita merupakan salah seorang hacker. Ada ketertarikan seksual lalu begitulah. Apakah sang wanita adalah pelakunya? Anda lebih tahu; coba tebak siapa yang paling mencurigakan.

Yang lebih berkesan bagi saya adalah bagaimana teknik para hacker yang dengan lihai memanfaatkan celah dari teknologi canggih ini. Mereka pada dasarnya mampu memanipulasi realitas. Mirip-mirip jurus Sharingan yang digunakan Sasuke Uchiha dari anime Naruto. Mereka bisa mengkondisikan orang melihat sesuatu yang tak ada disana atau sebaliknya. Di satu waktu, Sal menyaksikan apartemennya terbakar. Di lain waktu, Sal kehilangan memori akan anaknya. Dan film beberapa kali mengajak kita untuk melihat langsung lewat mata karakter. Untuk mengatasi penjahat, Sal juga harus bisa menemukan celah dari celah yang dimanfaatkan hacker.

Film ini terkesan memanfaatkan dunianya yang berkonsep tinggi hanya untuk menyajikan thriller detektif. Namun di momen akhir, terungkaplah apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Niccol. Alih-alih, justru sebaliknya; concern-nya ialah soal privasi di dunia berbasis teknologi informasi. Sayangnya, film terlihat lebih berfokus pada aspek misterinya yang gak nendang itu. Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru? ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Anon

100 menit
Dewasa
Andrew Niccol
Andrew Niccol
Daniel Baur, Andrew Niccol, Oliver Simon
Amir Mokri
Christophe Beck

Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru?

“It's not that I have something to hide. I have nothing I want you to see.”
— The Girl
Rating UP:
Kadang-kadang ketidaktahuan bisa menjadi berkah. Bayangkan seandainya kita terus dijejali dengan berbagai macam informasi nan komprehensif tanpa henti, hidup pasti akan sesak dan bikin stres. Dalam Anon, orang bisa dengan praktis mengakses semua informasi mengenai apa saja, mulai dari nama dan profesi seseorang, hingga komposisi dalam makanan. Semua tersaji dengan instan, hanya dalam sekejap mata.


Ini adalah satu lagi ide provokatif dari Andrew Niccol, penulis/sutradara yang bisa dibilang berspesialisasi mengangkat cerita tentang kehidupan manusia yang sangat bergantung pada teknologi. Di Gattaca ia bermain-main dengan konsep rekayasa DNA. Dalam In Time, orang bisa memperjualbelikan usia. Versi masa depan dalam Anon cenderung lebih dekat dengan realita masa kini. Lha, saat ini saja kita sudah dibanjiri dengan jutaan informasi hanya dari satu telepon genggam.

Namun, ide saja tak cukup untuk menjustifikasi keberadaan sebuah film. Ada film yang punya ide bagus, tapi belum tentu dieksekusi dengan greget. Anon termasuk dalam kasus tersebut. Konsep dunia yang sangat thought-provoking tadi dipakai hanya sebagai bumbu untuk sebuah film thriller whodunit yang terus terang tak begitu menggigit. Ia tak punya sensasi ketegangan, sehingga pengungkapan di momen puncak takkan membuat terhenyak. Dinamika alurnya sepucat palet warna yang digunakan untuk gambar-gambarnya.

Kendati demikian, anda semestinya tak luput menyaksikan sendiri bagaimana briliannya Niccol membangun dunianya. Secara singkat, mekanismenya adalah augmented reality, dimana semua info, termasuk iklan, di-streaming langsung ke mata. Demikian pula sebaliknya; semua yang dilihat mata akan di-upload ke jaringan internet berupa cloud storage yang disebut dengan "The Ether". Tak ada lagi privasi, karena semua peristiwa punya rekaman, tak peduli entah itu di WC atau kamar tidur. Informasi ini bisa diakses oleh siapa saja tergantung level otoritas masing-masing.

Namanya manusia, tak ada kemajuan yang tak menimbulkan peluang kerja nyeleneh. Dalam hal ini, muncul para hacker yang bisa menghapus rekaman bahkan menge-hack apa yang dilihat mata. Dengan imbalan yang sepadan, mereka bisa memodifikasi rekaman yang tak ingin dilihat orang lain. Masalah muncul saat rekaman hasil modifikasi tersebut berhubungan dengan aksi pembunuhan berantai.

Disinilah detektif Sal (Clive Owen) dibuat pusing sekaligus agak semangat. Jika biasanya aksi kriminal bisa langsung dipecahkan karena polisi bisa melihat sendiri kejadian di TKP (dan Sal tampak sudah agak bosan melakukannya), kali ini ia harus turun ke lapangan untuk melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan, yakni mendeteksi. Kebetulan sekali, sehari sebelumnya ia melihat seorang wanita yang tak punya data. Yang tidak diketahui dianggap membahayakan, sehingga sang wanita ditengarai punya andil dalam kasus tersebut. Logika Sal dkk: tak mungkin menyembunyikan diri kalau tak bersalah bukan?

Kemudian film bergerak menggunakan format film detektif noir ala-ala yang standar. Sal menyamar menggunakan identitas baru, lalu berusaha mendekati sang wanita (Amanda Seyfried). Sal tahu bahwa sang wanita merupakan salah seorang hacker. Ada ketertarikan seksual lalu begitulah. Apakah sang wanita adalah pelakunya? Anda lebih tahu; coba tebak siapa yang paling mencurigakan.

Yang lebih berkesan bagi saya adalah bagaimana teknik para hacker yang dengan lihai memanfaatkan celah dari teknologi canggih ini. Mereka pada dasarnya mampu memanipulasi realitas. Mirip-mirip jurus Sharingan yang digunakan Sasuke Uchiha dari anime Naruto. Mereka bisa mengkondisikan orang melihat sesuatu yang tak ada disana atau sebaliknya. Di satu waktu, Sal menyaksikan apartemennya terbakar. Di lain waktu, Sal kehilangan memori akan anaknya. Dan film beberapa kali mengajak kita untuk melihat langsung lewat mata karakter. Untuk mengatasi penjahat, Sal juga harus bisa menemukan celah dari celah yang dimanfaatkan hacker.

Film ini terkesan memanfaatkan dunianya yang berkonsep tinggi hanya untuk menyajikan thriller detektif. Namun di momen akhir, terungkaplah apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Niccol. Alih-alih, justru sebaliknya; concern-nya ialah soal privasi di dunia berbasis teknologi informasi. Sayangnya, film terlihat lebih berfokus pada aspek misterinya yang gak nendang itu. Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru? ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Anon

100 menit
Dewasa
Andrew Niccol
Andrew Niccol
Daniel Baur, Andrew Niccol, Oliver Simon
Amir Mokri
Christophe Beck

Monday, May 14, 2018

Review Film: 'Terminal' (2018)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Terminal' (2018)
link : Review Film: 'Terminal' (2018)

Baca juga


Thriller

Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

“…to survive it, you need to be mad as a hatter. Which luckily, I am.”
— Annie
Rating UP:
Usai menonton Terminal saya lega. Lega karena ternyata film superstylish yang gaje ini akhirnya punya benang merah juga. Hampir sepanjang durasi saya mengkhawatirkan mau dibawa kemana film ini, waswas kalau-kalau baru saja menghabiskan waktu selama satu setengah jam lebih untuk hal yang faedahnya setara dengan menonton reality show Karma tapi ga seasyik itu untuk dibawa ketawa. Namun, semua terbayar juga di akhir lewat beberapa twist konyol yang sensasional.


Bukan berarti saya ingin bilang bahwa filmnya memuaskan. Memuaskan adalah sesuatu yang tak ada dalam kamus Terminal. Faktanya, film ini tak menawarkan sedikit pun emosi atau bahkan cerita. Tak ada karakter, mereka hanyalah karikatur. Tak ada plot, kita cuma bertugas menyambungkan titik-titik belaka. Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

Jadi begitulah. Film dibuka dengan Margot Robbie yang berdandan menor yang sedang membuat pengakuan dosa kepada seorang "pendeta" sembari memantik rokok. Kita akan melihat Robbie lagi, sekarang sebagai pramusaji di sebuah restoran suram di daerah stasiun yang jauh lebih suram daripada minimarket manapun dalam The Walking Dead. Kalau dilihat-lihat, agaknya tak ada manusia lain disini selain beberapa karakter yang akan kita dan Robbie temui nanti.

Yang pertama adalah Bill (Simon Pegg), seorang guru yang tinggal menunggu ajal gara-gara sakit parah. Ia punya tendensi untuk bunuh diri; sempat ingin meloncat ke jalur kereta tapi tukang bersih-bersih bilang bahwa stasiun sudah tutup dan takkan ada kereta lagi malam itu. Ia lalu mampir di restoran Robbie. Ia memesan kopi, tapi karakter Robbie lebih suka menyemangatinya, bahkan memberi beberapa tips untuk bunuh diri. Tak serius sih karena gaya ngobrolnya main-main. Eh atau jangan-jangan serius?

Berikutnya adalah duo pembunuh bayaran, Vincent (Dexter Fletcher) dan asistennya, Alfred (Max Irons). Mereka sedang menunggu tugas berikutnya dari klien sembari saling membuat gusar satu sama lain: Alfred gusar karena mulut Vincent yang nyinyir, Vincent gusar terhadap pembawaan Alfred yang dungu, dan kita gusar melihat kenyinyiran dan kedunguan keduanya. Banter keduanya ini disajikan tanpa gaya atau dialog yang bermutu. Yang penting berisik.

Yang memberi mereka misi adalah Mr Franklin, figur kriminal yang misterius tapi punya reputasi mentereng. Mereka disuruh untuk menunggu di hotel selama berhari-hari sampai orang yang harus ditembak kepalanya muncul di hotel seberang jalan. Namun sebelum itu, keduanya istirahat sejenak di restoran karakter Robbie.

Dan semua peristiwa ini sepertinya disaksikan oleh seseorang yang misterius di ruang kontrol CCTV.

Tak perlu mencoba untuk mencerna hubungan antara semua narasi ini, karena semuanya berjalan secara terpisah. Entah yang mana yang duluan, tapi itu tak penting sih. Yang menjadi benang merahnya adalah karakter Robbie, yang ternyata ada hubungannya dengan Mr Franklin dan... tukang bersih-bersih! Yang terakhir bukan tukang bersih-bersih biasa, karena ia diperankan oleh ... wait for it... jangan kaget... Mike Myers! Hiatus lama dari dunia perfilman, sayang sekali sang Austin Powers kembali untuk film seperti ini.

Untuk Robbie sendiri, ia mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dalam perannya sebagai pramusaji seksi, perawat seksi, sampai... penari striptis. Itu alasan yang lebih dari cukup untuk menampilkan mimik wajah menggoda dan melontarkan komen yang "menjurus". Cukup mengejutkan bagaimana semua orang tak menyadari bahwa wanita yang seseksi, semenggoda, sepercaya-diri, dan secerdik ini ternyata tak seperti yang diduga. Maksud saya, adjektiva setelah kombinasi sifat-sifat di atas tentu saja "mematikan" bukan?

Film ini ditulis dan digarap oleh sutradara debutan Vaugh Stein dengan menggunakan estetika ala novel grafis, mirip-miriplah seperti yang diterapkan pada Sin City. Filmnya memberikan nuansa yang teatrikal karena sebagian besar memang disyuting di area soundstage. Warna-warna dari lampu dan papan iklan neon, yang mungkin mayoritas dibuat dengan efek komputer, menyerang mata kita. Karakter kita bercakap-cakap dengan pembawaan dan materi dialog ala novel grafis yang kontemplatif. Semua tampak menyilaukan di permukaan, tapi film sama sekali tak punya apa-apa untuk mengikat kita. Hanya ketika film ini menuju akhir, saat ceritanya mulai mengambil bentuk yang jelas, perhatian saya mulai bangun.

Berapa lama kita bisa tahan mendengar dialog pretensius dalam sebuah film yang nonsens? Jawabannya: tak lama. Berapa lama film ini? Jawabannya: 90 menit. Atau dengan kata lain: sudah jauh melebihi batas "tak lama". ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Terminal

90 menit
Dewasa
Vaughn Stein
Vaughn Stein
David Barron, Molly Hassell, Arianne Fraser, Margot Robbie, Tom Ackerley, Josey McNamara, Sophia Kerr, Teun Hilte
Christopher Ross
Anthony Clarke, Rupert Gregson-Williams

Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

“…to survive it, you need to be mad as a hatter. Which luckily, I am.”
— Annie
Rating UP:
Usai menonton Terminal saya lega. Lega karena ternyata film superstylish yang gaje ini akhirnya punya benang merah juga. Hampir sepanjang durasi saya mengkhawatirkan mau dibawa kemana film ini, waswas kalau-kalau baru saja menghabiskan waktu selama satu setengah jam lebih untuk hal yang faedahnya setara dengan menonton reality show Karma tapi ga seasyik itu untuk dibawa ketawa. Namun, semua terbayar juga di akhir lewat beberapa twist konyol yang sensasional.


Bukan berarti saya ingin bilang bahwa filmnya memuaskan. Memuaskan adalah sesuatu yang tak ada dalam kamus Terminal. Faktanya, film ini tak menawarkan sedikit pun emosi atau bahkan cerita. Tak ada karakter, mereka hanyalah karikatur. Tak ada plot, kita cuma bertugas menyambungkan titik-titik belaka. Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

Jadi begitulah. Film dibuka dengan Margot Robbie yang berdandan menor yang sedang membuat pengakuan dosa kepada seorang "pendeta" sembari memantik rokok. Kita akan melihat Robbie lagi, sekarang sebagai pramusaji di sebuah restoran suram di daerah stasiun yang jauh lebih suram daripada minimarket manapun dalam The Walking Dead. Kalau dilihat-lihat, agaknya tak ada manusia lain disini selain beberapa karakter yang akan kita dan Robbie temui nanti.

Yang pertama adalah Bill (Simon Pegg), seorang guru yang tinggal menunggu ajal gara-gara sakit parah. Ia punya tendensi untuk bunuh diri; sempat ingin meloncat ke jalur kereta tapi tukang bersih-bersih bilang bahwa stasiun sudah tutup dan takkan ada kereta lagi malam itu. Ia lalu mampir di restoran Robbie. Ia memesan kopi, tapi karakter Robbie lebih suka menyemangatinya, bahkan memberi beberapa tips untuk bunuh diri. Tak serius sih karena gaya ngobrolnya main-main. Eh atau jangan-jangan serius?

Berikutnya adalah duo pembunuh bayaran, Vincent (Dexter Fletcher) dan asistennya, Alfred (Max Irons). Mereka sedang menunggu tugas berikutnya dari klien sembari saling membuat gusar satu sama lain: Alfred gusar karena mulut Vincent yang nyinyir, Vincent gusar terhadap pembawaan Alfred yang dungu, dan kita gusar melihat kenyinyiran dan kedunguan keduanya. Banter keduanya ini disajikan tanpa gaya atau dialog yang bermutu. Yang penting berisik.

Yang memberi mereka misi adalah Mr Franklin, figur kriminal yang misterius tapi punya reputasi mentereng. Mereka disuruh untuk menunggu di hotel selama berhari-hari sampai orang yang harus ditembak kepalanya muncul di hotel seberang jalan. Namun sebelum itu, keduanya istirahat sejenak di restoran karakter Robbie.

Dan semua peristiwa ini sepertinya disaksikan oleh seseorang yang misterius di ruang kontrol CCTV.

Tak perlu mencoba untuk mencerna hubungan antara semua narasi ini, karena semuanya berjalan secara terpisah. Entah yang mana yang duluan, tapi itu tak penting sih. Yang menjadi benang merahnya adalah karakter Robbie, yang ternyata ada hubungannya dengan Mr Franklin dan... tukang bersih-bersih! Yang terakhir bukan tukang bersih-bersih biasa, karena ia diperankan oleh ... wait for it... jangan kaget... Mike Myers! Hiatus lama dari dunia perfilman, sayang sekali sang Austin Powers kembali untuk film seperti ini.

Untuk Robbie sendiri, ia mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dalam perannya sebagai pramusaji seksi, perawat seksi, sampai... penari striptis. Itu alasan yang lebih dari cukup untuk menampilkan mimik wajah menggoda dan melontarkan komen yang "menjurus". Cukup mengejutkan bagaimana semua orang tak menyadari bahwa wanita yang seseksi, semenggoda, sepercaya-diri, dan secerdik ini ternyata tak seperti yang diduga. Maksud saya, adjektiva setelah kombinasi sifat-sifat di atas tentu saja "mematikan" bukan?

Film ini ditulis dan digarap oleh sutradara debutan Vaugh Stein dengan menggunakan estetika ala novel grafis, mirip-miriplah seperti yang diterapkan pada Sin City. Filmnya memberikan nuansa yang teatrikal karena sebagian besar memang disyuting di area soundstage. Warna-warna dari lampu dan papan iklan neon, yang mungkin mayoritas dibuat dengan efek komputer, menyerang mata kita. Karakter kita bercakap-cakap dengan pembawaan dan materi dialog ala novel grafis yang kontemplatif. Semua tampak menyilaukan di permukaan, tapi film sama sekali tak punya apa-apa untuk mengikat kita. Hanya ketika film ini menuju akhir, saat ceritanya mulai mengambil bentuk yang jelas, perhatian saya mulai bangun.

Berapa lama kita bisa tahan mendengar dialog pretensius dalam sebuah film yang nonsens? Jawabannya: tak lama. Berapa lama film ini? Jawabannya: 90 menit. Atau dengan kata lain: sudah jauh melebihi batas "tak lama". ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Terminal

90 menit
Dewasa
Vaughn Stein
Vaughn Stein
David Barron, Molly Hassell, Arianne Fraser, Margot Robbie, Tom Ackerley, Josey McNamara, Sophia Kerr, Teun Hilte
Christopher Ross
Anthony Clarke, Rupert Gregson-Williams

Tuesday, May 1, 2018

Review Film: 'Truth or Dare' (2018)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Truth or Dare' (2018)
link : Review Film: 'Truth or Dare' (2018)

Baca juga


Thriller

Filmnya kayak 'Final Destination', tapi lebih payah dan membosankan.

“Once you're asked, you're in.”
— Olivia
Rating UP:
Kita sudah berkali-kali berada disini: Horor Remaja Dungu—remajanya yang dungu, bukan horornya, tapi di beberapa kasus memang keduanya sih. Kita akan melihat para remaja dungu berbuat dungu sehingga mereka nanti akan mati satu per satu. Namun saya bisa membayangkan bagaimana sineasnya bikin proposal kepada produser: "Filmnya kayak Final Destination, tapi dengan gimik permainan "Truth or Dare"". Ini memang bukan ide film paling kreatif sepanjang masa, tapi terus terang, lumayan menarik.

Kalau saja kreativitas tersebut juga ditumpahkan buat filmnya sendiri. Oleh karena saya sudah melakukan "Dare" yaitu dengan nekat menonton film ini meski sudah diperingatkan dengan rating naudzubillah dari IMDb, maka saya akan membeberkan "Truth". Ini proposal saya buat anda yang berencana menonton filmnya: "Filmnya kayak Final Destination, tapi lebih payah dan membosankan."


Terlebih dahulu kita akan berkenalan dengan karakter stok klise dari film horor remaja. Tokoh utama yang baik (setidaknya dibandingkan dengan teman-temannya) Olivia (Lucy Hale), gadis hedon Markie (Violett Beane), gadis yang satunya Penelope (Sophia Ali), bujang dungu Ronnie (Sam Lerner) serta bujang macho. Faktanya, film ini sangat suka dengan bujang macho sampai kita mendapatkan 3 bujang macho: Lucas (Tyler Posey) yang juga pacar Markie, Brad (Hayden Szeto), serta... Ronnie. Ya, bahkan Ronnie yang barangkali tak mau diperteman oleh siapapun itu tak alpa untuk nge-gym.

Singkat cerita, mereka menghabiskan liburan musim panas ke Meksiko. Kenapa si baik Olivia mau ikut? Karena Markie mengecohnya dengan bilang bahwa mereka akan melakukan semacam aksi sosial. Kenapa Meksiko? Kenapa pula mereka mau saja menerima ajakan dari seorang pria asing untuk minum-minum di sebuah tempat gelap dan sepi yang sepertinya merupakan bekas gereja tua yang berhantu? Lalu, kok ya mau saja main "Truth or Dare" di tempat seperti itu, kayak gak ada tempat lain saja. Tentu saja, biar kita bisa mendapatkan film Truth or Dare.

Memang sudah ada tanda-tandanya sejak awal sih, tapi mereka baru menyadari bahwa setan ikut nimbrung dalam permainan ini saat mereka kembali ke kampus. Namanya Setan Truth or Dare. Mungkin. Caranya menghantui adalah dengan mengubah ekspresi orang-orang di sekeliling remaja kita menjadi seperti ekspresi Jack Nicholson dari film The Shining atau dengan menanyakan "Truth or Dare?" lewat SMS. Tolong jangan ketawa, ini film horor. Tidak sopan.

Kalau tidak dijawab, setannya makin getol nanya. Kalau dijawab, anda harus melakukan apa yang diminta dan tidak bisa tidak. Pilih "Truth", atau pilih "Dare", atau pilih mati. Untuk membuat permainan lebih sulit, tentu saja "Truth" atau "Dare" yang dilakukan tidak segampang itu. Sayangnya, setannya tak sepintar Sang Takdir dari Final Destination.

Saya awalnya mengira film ini akan menjadi film siapa-mati-berikutnya yang cukup seru, karena kita mungkin akan melihat bagaimana remaja dungu ini menemui ajal dengan cara supranatural yang menghibur. Tak seperti yang saya duga, film ini ternyata lebih condong ke "Truth". Cocok sekali saat remaja kita diberi konflik interpersonal. Olivia jatuh hati pada Lucas apalagi Markie sendiri suka selingkuh. Brad gay sementara ayahnya seorang homofobia.

Ini akan berhasil jika filmnya dibuat berbobot. Kita dikondisikan untuk dibuat terikat dengan karakternya, yang mana tidak demikian halnya dengan remaja dalam Truth or Dare. Mereka dangkal, bahkan Olivia sendiri tak punya dimensi. Satu lagi cara untuk membuatnya berhasil, yaa itu tadi, dengan membuatnya campy seperti film horor kelas B, yang mana tak berani (ehem) dilakukan oleh filmnya. Film ini tak mengikat, tak mengibur, dan juga tak membuat syok. Satu-satunya alasan saya tidak memberi rating 1 adalah karena ia tidak insulting. Saya mungkin bosan, tapi saya tak sampai terdorong untuk menjedotkan kepala.

Mitosnya sendiri cukup seram, lho. Menjelang akhir, seorang wanita tua Meksiko akan menjelaskan dari mana asal setan "Truth or Dare" tersebut. Telan saja, penjelasannya yang ribet, termasuk penggunaannya untuk twist di akhir. Anda tahu, setan ini ternyata tak hanya bespesialisasi di "Truth or Dare" saja, melainkan juga di permainan "Petak Umpet"! Bayangkan spin-off yang bisa dibuat: "Lompat Tali", "Congklak", "Engklek", "Ludo", atau "Monopoli".

Tapi yang terakhir memang sudah bisa disebut permainan setan sih. Lha gimana, dari dulu "Monopoli" sudah sukses memutus tali silaturrahmi antarpemain. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Truth or Dare

100 menit
Remaja
Jeff Wadlow
Michael Reisz, Jillian Jacobs, Chris Roach, Jeff Wadlow
Jason Blum
Jacques Jouffret
Matthew Margeson

Filmnya kayak 'Final Destination', tapi lebih payah dan membosankan.

“Once you're asked, you're in.”
— Olivia
Rating UP:
Kita sudah berkali-kali berada disini: Horor Remaja Dungu—remajanya yang dungu, bukan horornya, tapi di beberapa kasus memang keduanya sih. Kita akan melihat para remaja dungu berbuat dungu sehingga mereka nanti akan mati satu per satu. Namun saya bisa membayangkan bagaimana sineasnya bikin proposal kepada produser: "Filmnya kayak Final Destination, tapi dengan gimik permainan "Truth or Dare"". Ini memang bukan ide film paling kreatif sepanjang masa, tapi terus terang, lumayan menarik.

Kalau saja kreativitas tersebut juga ditumpahkan buat filmnya sendiri. Oleh karena saya sudah melakukan "Dare" yaitu dengan nekat menonton film ini meski sudah diperingatkan dengan rating naudzubillah dari IMDb, maka saya akan membeberkan "Truth". Ini proposal saya buat anda yang berencana menonton filmnya: "Filmnya kayak Final Destination, tapi lebih payah dan membosankan."


Terlebih dahulu kita akan berkenalan dengan karakter stok klise dari film horor remaja. Tokoh utama yang baik (setidaknya dibandingkan dengan teman-temannya) Olivia (Lucy Hale), gadis hedon Markie (Violett Beane), gadis yang satunya Penelope (Sophia Ali), bujang dungu Ronnie (Sam Lerner) serta bujang macho. Faktanya, film ini sangat suka dengan bujang macho sampai kita mendapatkan 3 bujang macho: Lucas (Tyler Posey) yang juga pacar Markie, Brad (Hayden Szeto), serta... Ronnie. Ya, bahkan Ronnie yang barangkali tak mau diperteman oleh siapapun itu tak alpa untuk nge-gym.

Singkat cerita, mereka menghabiskan liburan musim panas ke Meksiko. Kenapa si baik Olivia mau ikut? Karena Markie mengecohnya dengan bilang bahwa mereka akan melakukan semacam aksi sosial. Kenapa Meksiko? Kenapa pula mereka mau saja menerima ajakan dari seorang pria asing untuk minum-minum di sebuah tempat gelap dan sepi yang sepertinya merupakan bekas gereja tua yang berhantu? Lalu, kok ya mau saja main "Truth or Dare" di tempat seperti itu, kayak gak ada tempat lain saja. Tentu saja, biar kita bisa mendapatkan film Truth or Dare.

Memang sudah ada tanda-tandanya sejak awal sih, tapi mereka baru menyadari bahwa setan ikut nimbrung dalam permainan ini saat mereka kembali ke kampus. Namanya Setan Truth or Dare. Mungkin. Caranya menghantui adalah dengan mengubah ekspresi orang-orang di sekeliling remaja kita menjadi seperti ekspresi Jack Nicholson dari film The Shining atau dengan menanyakan "Truth or Dare?" lewat SMS. Tolong jangan ketawa, ini film horor. Tidak sopan.

Kalau tidak dijawab, setannya makin getol nanya. Kalau dijawab, anda harus melakukan apa yang diminta dan tidak bisa tidak. Pilih "Truth", atau pilih "Dare", atau pilih mati. Untuk membuat permainan lebih sulit, tentu saja "Truth" atau "Dare" yang dilakukan tidak segampang itu. Sayangnya, setannya tak sepintar Sang Takdir dari Final Destination.

Saya awalnya mengira film ini akan menjadi film siapa-mati-berikutnya yang cukup seru, karena kita mungkin akan melihat bagaimana remaja dungu ini menemui ajal dengan cara supranatural yang menghibur. Tak seperti yang saya duga, film ini ternyata lebih condong ke "Truth". Cocok sekali saat remaja kita diberi konflik interpersonal. Olivia jatuh hati pada Lucas apalagi Markie sendiri suka selingkuh. Brad gay sementara ayahnya seorang homofobia.

Ini akan berhasil jika filmnya dibuat berbobot. Kita dikondisikan untuk dibuat terikat dengan karakternya, yang mana tidak demikian halnya dengan remaja dalam Truth or Dare. Mereka dangkal, bahkan Olivia sendiri tak punya dimensi. Satu lagi cara untuk membuatnya berhasil, yaa itu tadi, dengan membuatnya campy seperti film horor kelas B, yang mana tak berani (ehem) dilakukan oleh filmnya. Film ini tak mengikat, tak mengibur, dan juga tak membuat syok. Satu-satunya alasan saya tidak memberi rating 1 adalah karena ia tidak insulting. Saya mungkin bosan, tapi saya tak sampai terdorong untuk menjedotkan kepala.

Mitosnya sendiri cukup seram, lho. Menjelang akhir, seorang wanita tua Meksiko akan menjelaskan dari mana asal setan "Truth or Dare" tersebut. Telan saja, penjelasannya yang ribet, termasuk penggunaannya untuk twist di akhir. Anda tahu, setan ini ternyata tak hanya bespesialisasi di "Truth or Dare" saja, melainkan juga di permainan "Petak Umpet"! Bayangkan spin-off yang bisa dibuat: "Lompat Tali", "Congklak", "Engklek", "Ludo", atau "Monopoli".

Tapi yang terakhir memang sudah bisa disebut permainan setan sih. Lha gimana, dari dulu "Monopoli" sudah sukses memutus tali silaturrahmi antarpemain. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Truth or Dare

100 menit
Remaja
Jeff Wadlow
Michael Reisz, Jillian Jacobs, Chris Roach, Jeff Wadlow
Jason Blum
Jacques Jouffret
Matthew Margeson

Sunday, April 22, 2018

Review Film: 'You Were Never Really Here' (2018)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'You Were Never Really Here' (2018)
link : Review Film: 'You Were Never Really Here' (2018)

Baca juga


Thriller

Ini dia film aksi-thriller yang tidak tertarik pada aksi tapi lebih kepada dampak psikologis yang ditimbulkannya.

“Joe, wake up. It's a beautiful day.”
— Nina
Rating UP:
Kalau anda kebetulan melihat posternya yang menampilkan Joaquin Phoenix yang menenteng sebuah palu dengan ekspresi sangar lalu mengira bahwa ini adalah film aksi-thriller brutal semacam Oldboy, maka anda akan kecele. Palunya masih akan dipakai sih, dan memang untuk menggebuk orang, tapi You Were Never Really Here bukan soal aksi. Ini dia film aksi-thriller yang tidak tertarik pada aksi tapi lebih kepada dampak psikologis yang ditimbulkannya. Film ini tidak berlama-lama di sekuens aksi, alih-alih menekankan pada emosi yang terselubung dan permainan atmosfer.


Ini baru film panjang keempat dari Lynne Ramsay, padahal debut penyutradaraannya sudah dimulai sejak 18 tahun lalu lewat Ratcatcher. Sebagai tambahan, You Were Never Really Here juga berjarak cukup jauh dari film Ramsay sebelumnya We Need to Talk About Kevin, yaitu 6 tahun. Dan ada alasan di balik itu semua. Ramsay dikenal sebagai sineas yang takkan berkompromi dalam setiap karyanya, dan ia juga demikian di film terbarunya ini. Ia terkesan tak begitu peduli akan risiko penonton yang bakal kehilangan ketertarikan saat meleng sebentar, yang mana saya yakin akan sering terjadi.

Dengan durasi yang minimalis untuk ukuran film artsy, hanya 90 menit saja, film ini berusaha untuk menampilkan sesedikit mungkin tapi menyampaikan sebanyak mungkin apa yang ada di bawah permukaan, sampai di titik yang kadang-kadang membingungkan. Sesekali Ramsay akan menyelipkan potongan flashback secara mendadak. Narasinya nyaris abstrak, tapi uniknya, ini berhasil dalam membuat filmnya bergerak.

Kekeliruan pertama yang mungkin kita lakukan adalah menge-judge film ini sebelum menonton hanya berdasarkan premis klisenya mengenai "Last Action Hero", entah anda menyukai premis tersebut atau membencinya. Phoenix bermain sebagai Joe, seorang pria gempal yang suram dan terlihat menakutkan. Pertama kali kita melihat Joe, tangannya mengelap palu yang berlumur darah. Terlihat pula sebuah lakban. Joe kemudian membakar foto seorang gadis kecil. Ia seperti baru selesai melakukan sesuatu yang mematikan. Mungkinkah ia seorang pembunuh berantai?

Ternyata bukan.

Klien Joe berikutnya adalah seorang pejabat (Alex Manette) yang meminta untuk menyelamatkan anaknya, Nina (Ekaterina Samsonov) yang diduga diperjualbelikan di sebuah tempat prostitusi bawah umur. "Mereka bilang kamu brutal". "Saya bisa begitu," jawab Joe tenang, setenang jawaban Mendikbud saat menanggapi keresahan peserta UNBK yang curcol lewat meme. Tentu saja, misi pamungkas ini takkan berjalan selancar misi-misi sebelumnya, sebab kali ini melibatkan konspirasi pejabat kelas atas.

Kekeliruan kedua terjadi kalau kita terlalu berfokus pada plot soal konspirasi tersebut lalu menyusun kepingan cerita untuk membentuk narasi yang lurus. Bukan itu poinnya. Di film lain yang lebih generik, premis seperti ini akan menjadi film aksi standar. Namun Ramsay tak terpaku pada plot. Alih-alih, ia menggunakannya untuk mengeksplorasi psikologi dari karakternya. Agar kita tak teralihkan, Ramsay memposisikan aksi-nya di kejauhan. Kita tak terlibat di dalamnya, entah hanya mengamatinya lewat kamera CCTV atau cuma bisa melihat dampak yang terjadi setelahnya.

Film ini bisa dibilang sebagai studi karakter, dan karakternya adalah salah satu karater yang sulit untuk di-studi-kan. Tindakan yang bijak saat kita memperhatikan bagaimana Joe, yang sepulangnya "kerja", merawat sang ibu yang sudah renta di rumah. Atau melihat aksinya yang menjalankan kredo "hidup segan, mati tak mau", seperti membekap diri dengan kantong kresek atau berdiri melewati batas aman di stasiun kereta. Atau bagaimana Joe menggenggam hangat tangan pria yang ditembaknya sebelum tewas. Saat ia membuka baju, tampaklah bekas luka di sekujur tubuhnya. Apa yang terjadi dengan Joe? Kita tak tahu pasti, tapi dari potongan flashback, sepertinya ia pernah mengalami KDRT semasa kecil dan PTSD saat beranjak dewasa.

Joe adalah pria yang menakutkan tapi juga rapuh. Ia terlihat linglung, tak memahami bagaimana waktu berjalan atau bahkan soal kewarasannya sendiri. Mana yang nyata, mana yang khayal? Hidupnya tersusun atas kepingan dari momen, dan film Ramsay bergerak seolah mengikuti pikiran Joe. Ini tak begitu berbeda dengan yang dilakukan Ramsay dalam We Need to Talk About Kevin dimana kita dibawa ke dalam pikiran seorang wanita yang dibuat sinting gara-gara anaknya yang psikopat. Kita tak begitu tahu kronologis kapan-terjadi-apa, tapi kita dibuat sukses menangkap emosinya.

Seolah performa di film-filmnya yang lalu tak cukup intens, Phoenix tampil sangat kuat disini. Ia menggempalkan diri dan menebalkan jenggot untuk memberikan kesan intimidatif, tapi ekspresinya yang dingin dan kaku mencerminkan vulnerability. Mengikuti tradisi semua sosiopat dalam dunia sinema, pembawaan sampai gesturnya yang paling kecil terlihat sangat menegangkan. Ia siap meledak kapan saja. Ramsay mengeskalasi intensitas ini dengan scoring perkusif dan distortif dari Jonny Greenwood, berangkat jauh dari karyanya di Phantom Thread.

You Were Never Really Here begitu mempercayai penonton sampai ia merasa tak perlu untuk menjelaskan. Film ini takkan berhenti untuk memaparkan dengan gamblang apa yang terjadi. Pembuatnya mengasumsikan kita cerdas dan mampu menghubungkan fragmen menjadi satu kesatuan. Kita mungkin juga sebaiknya memasrahkan diri untuk ditenggelamkan oleh narasinya. Dan bagaimana kita tak percaya dan pasrah begitu saja, lha kita berada di tangan sineas yang sangat kompeten. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

You Were Never Really Here

90 menit
Dewasa
Lynne Ramsay
Lynne Ramsay (screenplay), Jonathan Ames (novel)
Rosa Attab, Pascal Caucheteux, James Wilson, Lynne Ramsay
Thomas Townend
Jonny Greenwood

Ini dia film aksi-thriller yang tidak tertarik pada aksi tapi lebih kepada dampak psikologis yang ditimbulkannya.

“Joe, wake up. It's a beautiful day.”
— Nina
Rating UP:
Kalau anda kebetulan melihat posternya yang menampilkan Joaquin Phoenix yang menenteng sebuah palu dengan ekspresi sangar lalu mengira bahwa ini adalah film aksi-thriller brutal semacam Oldboy, maka anda akan kecele. Palunya masih akan dipakai sih, dan memang untuk menggebuk orang, tapi You Were Never Really Here bukan soal aksi. Ini dia film aksi-thriller yang tidak tertarik pada aksi tapi lebih kepada dampak psikologis yang ditimbulkannya. Film ini tidak berlama-lama di sekuens aksi, alih-alih menekankan pada emosi yang terselubung dan permainan atmosfer.


Ini baru film panjang keempat dari Lynne Ramsay, padahal debut penyutradaraannya sudah dimulai sejak 18 tahun lalu lewat Ratcatcher. Sebagai tambahan, You Were Never Really Here juga berjarak cukup jauh dari film Ramsay sebelumnya We Need to Talk About Kevin, yaitu 6 tahun. Dan ada alasan di balik itu semua. Ramsay dikenal sebagai sineas yang takkan berkompromi dalam setiap karyanya, dan ia juga demikian di film terbarunya ini. Ia terkesan tak begitu peduli akan risiko penonton yang bakal kehilangan ketertarikan saat meleng sebentar, yang mana saya yakin akan sering terjadi.

Dengan durasi yang minimalis untuk ukuran film artsy, hanya 90 menit saja, film ini berusaha untuk menampilkan sesedikit mungkin tapi menyampaikan sebanyak mungkin apa yang ada di bawah permukaan, sampai di titik yang kadang-kadang membingungkan. Sesekali Ramsay akan menyelipkan potongan flashback secara mendadak. Narasinya nyaris abstrak, tapi uniknya, ini berhasil dalam membuat filmnya bergerak.

Kekeliruan pertama yang mungkin kita lakukan adalah menge-judge film ini sebelum menonton hanya berdasarkan premis klisenya mengenai "Last Action Hero", entah anda menyukai premis tersebut atau membencinya. Phoenix bermain sebagai Joe, seorang pria gempal yang suram dan terlihat menakutkan. Pertama kali kita melihat Joe, tangannya mengelap palu yang berlumur darah. Terlihat pula sebuah lakban. Joe kemudian membakar foto seorang gadis kecil. Ia seperti baru selesai melakukan sesuatu yang mematikan. Mungkinkah ia seorang pembunuh berantai?

Ternyata bukan.

Klien Joe berikutnya adalah seorang pejabat (Alex Manette) yang meminta untuk menyelamatkan anaknya, Nina (Ekaterina Samsonov) yang diduga diperjualbelikan di sebuah tempat prostitusi bawah umur. "Mereka bilang kamu brutal". "Saya bisa begitu," jawab Joe tenang, setenang jawaban Mendikbud saat menanggapi keresahan peserta UNBK yang curcol lewat meme. Tentu saja, misi pamungkas ini takkan berjalan selancar misi-misi sebelumnya, sebab kali ini melibatkan konspirasi pejabat kelas atas.

Kekeliruan kedua terjadi kalau kita terlalu berfokus pada plot soal konspirasi tersebut lalu menyusun kepingan cerita untuk membentuk narasi yang lurus. Bukan itu poinnya. Di film lain yang lebih generik, premis seperti ini akan menjadi film aksi standar. Namun Ramsay tak terpaku pada plot. Alih-alih, ia menggunakannya untuk mengeksplorasi psikologi dari karakternya. Agar kita tak teralihkan, Ramsay memposisikan aksi-nya di kejauhan. Kita tak terlibat di dalamnya, entah hanya mengamatinya lewat kamera CCTV atau cuma bisa melihat dampak yang terjadi setelahnya.

Film ini bisa dibilang sebagai studi karakter, dan karakternya adalah salah satu karater yang sulit untuk di-studi-kan. Tindakan yang bijak saat kita memperhatikan bagaimana Joe, yang sepulangnya "kerja", merawat sang ibu yang sudah renta di rumah. Atau melihat aksinya yang menjalankan kredo "hidup segan, mati tak mau", seperti membekap diri dengan kantong kresek atau berdiri melewati batas aman di stasiun kereta. Atau bagaimana Joe menggenggam hangat tangan pria yang ditembaknya sebelum tewas. Saat ia membuka baju, tampaklah bekas luka di sekujur tubuhnya. Apa yang terjadi dengan Joe? Kita tak tahu pasti, tapi dari potongan flashback, sepertinya ia pernah mengalami KDRT semasa kecil dan PTSD saat beranjak dewasa.

Joe adalah pria yang menakutkan tapi juga rapuh. Ia terlihat linglung, tak memahami bagaimana waktu berjalan atau bahkan soal kewarasannya sendiri. Mana yang nyata, mana yang khayal? Hidupnya tersusun atas kepingan dari momen, dan film Ramsay bergerak seolah mengikuti pikiran Joe. Ini tak begitu berbeda dengan yang dilakukan Ramsay dalam We Need to Talk About Kevin dimana kita dibawa ke dalam pikiran seorang wanita yang dibuat sinting gara-gara anaknya yang psikopat. Kita tak begitu tahu kronologis kapan-terjadi-apa, tapi kita dibuat sukses menangkap emosinya.

Seolah performa di film-filmnya yang lalu tak cukup intens, Phoenix tampil sangat kuat disini. Ia menggempalkan diri dan menebalkan jenggot untuk memberikan kesan intimidatif, tapi ekspresinya yang dingin dan kaku mencerminkan vulnerability. Mengikuti tradisi semua sosiopat dalam dunia sinema, pembawaan sampai gesturnya yang paling kecil terlihat sangat menegangkan. Ia siap meledak kapan saja. Ramsay mengeskalasi intensitas ini dengan scoring perkusif dan distortif dari Jonny Greenwood, berangkat jauh dari karyanya di Phantom Thread.

You Were Never Really Here begitu mempercayai penonton sampai ia merasa tak perlu untuk menjelaskan. Film ini takkan berhenti untuk memaparkan dengan gamblang apa yang terjadi. Pembuatnya mengasumsikan kita cerdas dan mampu menghubungkan fragmen menjadi satu kesatuan. Kita mungkin juga sebaiknya memasrahkan diri untuk ditenggelamkan oleh narasinya. Dan bagaimana kita tak percaya dan pasrah begitu saja, lha kita berada di tangan sineas yang sangat kompeten. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

You Were Never Really Here

90 menit
Dewasa
Lynne Ramsay
Lynne Ramsay (screenplay), Jonathan Ames (novel)
Rosa Attab, Pascal Caucheteux, James Wilson, Lynne Ramsay
Thomas Townend
Jonny Greenwood

Saturday, October 14, 2017

Review Film: 'Geostorm' (2017)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Geostorm' (2017)
link : Review Film: 'Geostorm' (2017)

Baca juga


Thriller

Film 'Geostorm' tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?

“You can't just touch it and expect everything to work.”
— Jake Lawson
Rating UP:
Berani taruhan bahwa 90% dari penonton yang membeli tiket akan kecewa mendapati film yang mereka tonton ini. Ketika masuk ke bioskop yang menayangkan Geostorm, penonton berharap melihat geostorm, terlepas dari apakah mereka paham apa arti kata tersebut atau tidak. Kita tak mengharapkan hal lain, apalagi lebih sering menyaksikan orang-orang yang ngomong tanpa henti atau terlihat khawatir di depan layar komputer. Film Geostorm tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?


Film ini harusnya bisa menjadi 2012-nya 2017. Maksud saya, rajanya film bencana dikarenakan usahanya untuk memasukkan segala macam jenis bencana alam ke dalam satu film. Posternya menyesatkan; kita melihat tsunami besar melanda kota. Namun, sebagian besar film dihabiskan dengan obrolan seputar keluarga, kalau tidak yaa konspirasi pemerintah, kalau tidak yaa jargon canggih yang nonsens.

Bukannya saya komplain soal film bencana yang doyan memakai jargon canggih yang nonsens. Film bencana yang efektif, menggunakan hal tersebut sebagai build-up, membuat kita mengantipasi bahaya yang akan datang. Kita tak peduli apakah itu masuk akal secara logika atau hukum fisika, namun percaya saja, wong filmnya bilang begitu. Akan tetapi, ada begitu banyak obrolan seperti itu di dalam film ini, seolah-olah ia bermain seperti A Spacetime Odyssey saja. Padahal masuk akal saja tidak, boro-boro ilmiah. Sekilas info: tak ada orang yang berharap menjadi lebih cerdas setelah menonton film semacam Geostorm. Ketika melihat mobil berkejaran menghindari hujan petir, saya berteriak girang. Ini dia film yang ingin saya tonton. Tiba-tiba, filmnya habis.

Film ini memang juga memparadekan bangunan dan kota yang porak-poranda dengan lebay. Cuma sebentar tapi. Sebagaimana semua film bencana, sekuens seperti ini menggelikan tapi seru untuk ditonton. Premis Geostorm sebenarnya sudah sangat pas sekali konyolnya, tapi ia hanya sebatas menggoda saja. Faktanya, dan ini sangat spoiler sekali, film ini tak menampilkan geostorm sama sekali. Geostorm berhasil dicegah sebelum terjadi. Jadi lebih akurat jika judulnya "Pra-Geostorm".

Yang mencegahnya —dan saya harus menekankan ini— seorang diri (!) adalah Gerard Butler yang bermain sebagai Jake, ilmuwan yang luar biasa cerdas tapi juga luar biasa slenge’an sampai santai saja meledek anggota DPR saat sedang rapat. Untung kejadiannya di Amerika, jadi Jake hanya dipecat saja dari jabatannya sebagai koordinator “Dutch Boy”. Ia digantikan oleh adiknya sendiri, Max (Jim Sturgess). Di Indonesia bikin meme saja bisa dipidanakan, apalagi meledek langsung, Jake.

Oh, saya lupa soal “Dutch Boy”. Perangkat ini adalah semacam satelit yang dibuat oleh 18 negara untuk menanggulangi cuaca ekstrim. Diceritakan di awal bahwa di tahun 2019 bumi dilanda perubahan iklim yang mengerikan. Satelit tadi mampu menetralisir cuaca seperti apapun dengan cara, uhm, menembakkan rudal-rudal yang saya asumsikan sangat-sangat canggih. Tentu saja, alat ini di kemudian hari mengalami malfungsi, yang diprediksi akan memberikan bumi sebuah bencana pamungkas bernama g-e-o-s-t-o-r-m.

Jadi, oleh karena “Dutch Boy” ini rusak, maka kita akan melihat orang-orang tunggang-langgang di jalanan dan kota dibuat berjumpalitan? Hmm, tidak juga, karena misteri di balik sabotase “Dutch Boy” lebih penting. Presiden Amerika (Andy Garcia) serta sekretarisnya (Ed Harris) meminta Max untuk memanggil kembali Jake. Jake harus menangani malfungsi di satelit tersebut, sementara Max, yang ngomong-ngomong pacaran dengan anggota paspampres (Abbie Cornish), menyelidiki siapa dalang dari peristiwa tersebut di bumi.

Dalam film lain, subplot semacam ini biasanya jadi bumbu saja. Dalam Geostorm, ia menjadi bahan utama. Sabotase terjadi beberapa saat ketika Amerika, yang memegang kendali sementara “Dutch Boy”, harus menyerahkan satelit ini kepada PBB. Kejadian in kebetulan bertepatan pula dengan momen kampanye pemilu presiden. Apalagi coba pemicu konflik kalau bukan politik. Helaw, orang-orang di belahan bumi lain lagi panik btw; Timur Tengah diterpa salju, pantai di Brazil membeku, dan suhu udara Hongkong sampai melelehkan aspal. Kalau mau fokus konspirasi politik, kita mending membaca hikayat Setnov.

Film ini digarap oleh Dean Devlin yang memulai debutnya sebagai sutradara setelah bertahun-tahun menjadi produser bagi Roland Emmerich, bapaknya film bencana yang sudah kita akrabi lewat Independence Day, The Day After Tomorrow, dan 2012. Meski berdurasi singkat, efek spesialnya cukup mengagumkan. Mungkin karena dipoles bertahun-tahun. Tapi film bencana bukan sekedar menghancurkan gedung atau monumen. Manusia, sekonyol apapun prilaku mereka di film, adalah salah satu elemen yang membuat film bencana menjadi seru. Makin histeris, makin seru. Apa gunanya film bencana kalau kita tak merasakan bencana yang dirasakan karakternya? Itulah kenapa orang menyewa Emmerich.

Satu pertanyaan mengganjal yang muncul ketika saya melihat Gerard Butler mengambang di ruang angkasa dalam baju astronotnya: bagaimana sebenarnya mekanisme “Dutch Boy”? Satelit ini berfungsi untuk mencegah cuaca ekstrim. Saat disabotase, ia akan memicu geostorm. Tokoh utama kita berjuang mati-matian mengatasi hal tersebut, yang ujung-ujungnya adalah dengan menghancurkan “Dutch Boy”. Nah lho, kalau “Dutch Boy” hancur, bumi dilanda cuaca ekstrim lagi dong? Jika sekuelnya dirilis, saya pasti akan menontonnya. Di film tersebut kita pasti akan mendapatkan bencana sungguhan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Geostorm

109 menit
Remaja
Dean Devlin
Dean Devlin, Paul Guyot
David Ellison, Dean Devlin, Dana Goldberg
Roberto Schaefer
Lorne Balfe

Film 'Geostorm' tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?

“You can't just touch it and expect everything to work.”
— Jake Lawson
Rating UP:
Berani taruhan bahwa 90% dari penonton yang membeli tiket akan kecewa mendapati film yang mereka tonton ini. Ketika masuk ke bioskop yang menayangkan Geostorm, penonton berharap melihat geostorm, terlepas dari apakah mereka paham apa arti kata tersebut atau tidak. Kita tak mengharapkan hal lain, apalagi lebih sering menyaksikan orang-orang yang ngomong tanpa henti atau terlihat khawatir di depan layar komputer. Film Geostorm tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?


Film ini harusnya bisa menjadi 2012-nya 2017. Maksud saya, rajanya film bencana dikarenakan usahanya untuk memasukkan segala macam jenis bencana alam ke dalam satu film. Posternya menyesatkan; kita melihat tsunami besar melanda kota. Namun, sebagian besar film dihabiskan dengan obrolan seputar keluarga, kalau tidak yaa konspirasi pemerintah, kalau tidak yaa jargon canggih yang nonsens.

Bukannya saya komplain soal film bencana yang doyan memakai jargon canggih yang nonsens. Film bencana yang efektif, menggunakan hal tersebut sebagai build-up, membuat kita mengantipasi bahaya yang akan datang. Kita tak peduli apakah itu masuk akal secara logika atau hukum fisika, namun percaya saja, wong filmnya bilang begitu. Akan tetapi, ada begitu banyak obrolan seperti itu di dalam film ini, seolah-olah ia bermain seperti A Spacetime Odyssey saja. Padahal masuk akal saja tidak, boro-boro ilmiah. Sekilas info: tak ada orang yang berharap menjadi lebih cerdas setelah menonton film semacam Geostorm. Ketika melihat mobil berkejaran menghindari hujan petir, saya berteriak girang. Ini dia film yang ingin saya tonton. Tiba-tiba, filmnya habis.

Film ini memang juga memparadekan bangunan dan kota yang porak-poranda dengan lebay. Cuma sebentar tapi. Sebagaimana semua film bencana, sekuens seperti ini menggelikan tapi seru untuk ditonton. Premis Geostorm sebenarnya sudah sangat pas sekali konyolnya, tapi ia hanya sebatas menggoda saja. Faktanya, dan ini sangat spoiler sekali, film ini tak menampilkan geostorm sama sekali. Geostorm berhasil dicegah sebelum terjadi. Jadi lebih akurat jika judulnya "Pra-Geostorm".

Yang mencegahnya —dan saya harus menekankan ini— seorang diri (!) adalah Gerard Butler yang bermain sebagai Jake, ilmuwan yang luar biasa cerdas tapi juga luar biasa slenge’an sampai santai saja meledek anggota DPR saat sedang rapat. Untung kejadiannya di Amerika, jadi Jake hanya dipecat saja dari jabatannya sebagai koordinator “Dutch Boy”. Ia digantikan oleh adiknya sendiri, Max (Jim Sturgess). Di Indonesia bikin meme saja bisa dipidanakan, apalagi meledek langsung, Jake.

Oh, saya lupa soal “Dutch Boy”. Perangkat ini adalah semacam satelit yang dibuat oleh 18 negara untuk menanggulangi cuaca ekstrim. Diceritakan di awal bahwa di tahun 2019 bumi dilanda perubahan iklim yang mengerikan. Satelit tadi mampu menetralisir cuaca seperti apapun dengan cara, uhm, menembakkan rudal-rudal yang saya asumsikan sangat-sangat canggih. Tentu saja, alat ini di kemudian hari mengalami malfungsi, yang diprediksi akan memberikan bumi sebuah bencana pamungkas bernama g-e-o-s-t-o-r-m.

Jadi, oleh karena “Dutch Boy” ini rusak, maka kita akan melihat orang-orang tunggang-langgang di jalanan dan kota dibuat berjumpalitan? Hmm, tidak juga, karena misteri di balik sabotase “Dutch Boy” lebih penting. Presiden Amerika (Andy Garcia) serta sekretarisnya (Ed Harris) meminta Max untuk memanggil kembali Jake. Jake harus menangani malfungsi di satelit tersebut, sementara Max, yang ngomong-ngomong pacaran dengan anggota paspampres (Abbie Cornish), menyelidiki siapa dalang dari peristiwa tersebut di bumi.

Dalam film lain, subplot semacam ini biasanya jadi bumbu saja. Dalam Geostorm, ia menjadi bahan utama. Sabotase terjadi beberapa saat ketika Amerika, yang memegang kendali sementara “Dutch Boy”, harus menyerahkan satelit ini kepada PBB. Kejadian in kebetulan bertepatan pula dengan momen kampanye pemilu presiden. Apalagi coba pemicu konflik kalau bukan politik. Helaw, orang-orang di belahan bumi lain lagi panik btw; Timur Tengah diterpa salju, pantai di Brazil membeku, dan suhu udara Hongkong sampai melelehkan aspal. Kalau mau fokus konspirasi politik, kita mending membaca hikayat Setnov.

Film ini digarap oleh Dean Devlin yang memulai debutnya sebagai sutradara setelah bertahun-tahun menjadi produser bagi Roland Emmerich, bapaknya film bencana yang sudah kita akrabi lewat Independence Day, The Day After Tomorrow, dan 2012. Meski berdurasi singkat, efek spesialnya cukup mengagumkan. Mungkin karena dipoles bertahun-tahun. Tapi film bencana bukan sekedar menghancurkan gedung atau monumen. Manusia, sekonyol apapun prilaku mereka di film, adalah salah satu elemen yang membuat film bencana menjadi seru. Makin histeris, makin seru. Apa gunanya film bencana kalau kita tak merasakan bencana yang dirasakan karakternya? Itulah kenapa orang menyewa Emmerich.

Satu pertanyaan mengganjal yang muncul ketika saya melihat Gerard Butler mengambang di ruang angkasa dalam baju astronotnya: bagaimana sebenarnya mekanisme “Dutch Boy”? Satelit ini berfungsi untuk mencegah cuaca ekstrim. Saat disabotase, ia akan memicu geostorm. Tokoh utama kita berjuang mati-matian mengatasi hal tersebut, yang ujung-ujungnya adalah dengan menghancurkan “Dutch Boy”. Nah lho, kalau “Dutch Boy” hancur, bumi dilanda cuaca ekstrim lagi dong? Jika sekuelnya dirilis, saya pasti akan menontonnya. Di film tersebut kita pasti akan mendapatkan bencana sungguhan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Geostorm

109 menit
Remaja
Dean Devlin
Dean Devlin, Paul Guyot
David Ellison, Dean Devlin, Dana Goldberg
Roberto Schaefer
Lorne Balfe

Review Film: 'Blade Runner 2049' (2017)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Blade Runner 2049' (2017)
link : Review Film: 'Blade Runner 2049' (2017)

Baca juga


Thriller

'Blade Runner 2049' tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya.

“Things were simpler then.”
— K
Rating UP:
Blade Runner 2049 adalah sekuel yang sepadan bagi pendahulunya, Blade Runner yang sekarang menyandang status sebagai film cult yang legendaris. Sutradara Denis Villeneuve baru saja memberikan sebuah pencapaian yang hampir mustahil dilakukan. Ia menghormati film pendahulunya, mengekspansi mitologinya, sekaligus membuat sebuah film bagus yang bisa berdiri sendiri. Blade Runner 2049 layak bersanding dengan Aliens, Star Wars: The Empire Strikes Back, dan Terminator 2: Judgment Day sebagai film sekuel terbaik.


Eksistensi Blade Runner 2049 sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu keajaiban. Langka sekali studio yang mau bertaruh seriskan ini, membangkitkan kembali merek yang bukan sebuah properti klasik yang menjanjikan secara komersial. Memang Blade Runner merupakan salah satu film scifi paling berpengaruh, namun ia gagal mencatatkan raihan box office yang jangankan menguntungkan, balik modal saja tidak. Bahkan petinggi Warner Bros sendiri takut penonton takkan mengerti dengan filmnya sampai harus menambahkan narasi yang menganggu di dalam versi orisinalnya yang dirilis di tahun 1982. Jadi kita harus memberikan kredit kepada siapapun eksekutif Warner Bros sekarang yang nekat melampuhijaukan proyek ini lantas memberikan bujet jor-joran kepada Villeneuve, sutradara yang notabene tak dikenal karena keterampilan blockbusternya.

Ketika menonton Arrival, saya mendapati gaya sinematis Villeneuve sedikit menjauhkan saya dari elemen manusiawi filmnya. Blade Runner 2049 ternyata wadah yang sangat pas bagi gaya Villeneuve yang dingin, kaku, dan selow, karena dunia Blade Runner adalah dunia yang dingin. Ia diisi dengan karakter non-manusia, dan kalaupun ada manusianya, mereka tak bertingkah manusiawi. Sebentar. Atau jangan-jangan mereka memang bukan manusia?

Salah satu aspek yang membuat filmnya segar adalah karena ia dibangun dengan pondasi yang cerdas. Ia tahu apa yang kita sudah tahu. Blade Runner 2049 tak lagi bermain dengan persepsi di Blade Runner dimana Replika (terjemahan resmi dari istilah “Replicant”) secara umum tak tahu bahwa mereka adalah Replika. Para Replika sudah cukup pintar untuk menyadari jati diri mereka. Mereka tahu bahwa ingatan mereka ditanam. Namun di film ini tetap ada sesuatu, yang tak berani saya ungkap disini, yang membuat mereka merasa semakin mendekati manusia. Konfliknya selalu soal Replika yang ingin menjadi manusia, dan Blade Runner 2049 mengambil perspektif yang semakin memperdalam tema tersebut. Ruang lingkup plotnya relatif lebih kecil dibanding Blade Runner tapi temanya semakin berkembang.

Di Amerika, Villeneuve dan Warner Bros meminta kritikus untuk tak mengungkap sebagian besar poin plot dan karakter tertentu dalam review mereka. Bukannya saya sok-sokan kritikus—apalah blog saya ini— tapi saya akan melakukan hal yang sama, karena memang cara terbaik untuk menikmati film ini adalah dengan mengetahui tentangnya sesedikit mungkin. Beberapa bagian cerita dan beberapa pengungkapannya memang lebih baik tak tersentuh sebelum menontonnya langsung. Saya akan manut dengan wangsit dari Villeneuve, dan hanya akan memaparkan konteks dan apa yang kita tahu dari materi promonya, seperti kemunculan Rick Deckard (Harrison Ford) atau peristiwa blackout di tahun 2020 yang menghapus semua data mengenai Replika.

Tokoh utama kita adalah K (Ryan Gosling), seorang Blade Runner —polisi yang ditugaskan untuk memburu dan “menetralisir” Replika— yang tahu bahwa ia adalah Replika. Gosling merupakan pilihan sempurna untuk memerankan K. Ia aktor karismatik yang bisa menyembunyikan ekspresi di permukaan —ia bahkan tak pernah tersenyum— tapi menyimpan banyak emosi di dalam. Blade Runner 2049 merupakan perjalanan spiritual bagi K.

Setiap selesai menuntaskan misi, ia diwajibkan oleh bosnya, Letnan Joshi (Robin Wright) melakukan tes psikologis sederhana untuk memastikan kewarasannya sebagai Replika. Ia sadar bahwa ia tak punya masa kecil, bahwa masa kanak-kanaknya yang bermain dengan miniatur kuda kayu adalah ingatan yang ditanam. Atau jangan-jangan bukan begitu? K adalah penyendiri tapi ia tinggal bersama pacar hologram bernama Joi (Ana de Armas) yang bisa berganti baju dari satu pakaian seksi ke pakaian seksi lainnya dalam sekejap, membuatkannya masakan fiktif, dan memberinya perhatian dan kehangatan yang tak didapatkannya dari manusia.

Pasca blackout di tahun 2020, perusahaan Tyrell kolaps. Bisnis produksi Replika sekarang diambil alih oleh jenius sinting Niander Wallace (Jared Leto) yang punya mata seram dan banyak bicara soal omong kosong filosofis. Perusahaan Wallace menciptakan Replika model baru yang lebih canggih dan lebih patuh. Ia punya ajudan seorang Replika wanita tegas bernama Luv (Sylvia Hoeks).

Plot film ini mirip dengan Blade Runner yang dimulai dengan misi sederhana ala detektif sebelum karakter utama kita terpaksa terjun ke dalam misteri noir yang lebih kompleks. Di awal film, K diperintahkan untuk melenyapkan seorang Replika lama bernama Sapper (Dave Bautista) yang hidup dengan tenang sebagai petani di sebuah desa. Namun apa yang K temukan disana membawanya ke dalam intrik yang melibatkan jati dirinya dan hakikat Replika itu sendiri. Sesuatu yang mengancam “hukum alam” yang membedakan manusia dengan Replika dan bisa menghancurkan semuanya.

Meski begitu, film ini tak mengulang lagu lama pendahulunya atau sekadar mengalihkan perhatian kita lewat nostalgia. Ia mengangkat ide baru yang merupakan hasil ekspansi dari ide lama yang menjadi tema ikonik Blade Runner. Kita bahkan tak terlalu menantikan kemunculan Deckard karena sudah begitu larut dengan ceritanya, meski Deckard sendiri punya peran yang sangat krusial nantinya. Pertanyaan filosofis dari novel Philip K. Dick yang menjadi materi sumber dari Blade Runner, ternyata masih bisa dibuat terasa baru. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan Replika saat mereka punya fisik yang mirip? Ketika memori bisa ditanam, apakah ia tak lagi relevan saat Replika menyadarinya padahal mereka merasakannya secara personal? Jika Replika bisa berpikir dan merasa, bisakah mereka disebut manusia?

Dengan durasi mencapai 163 menit, Blade Runner 2049 terasa sedikit panjang. Namun Villeneuve menjaga agar atmosfer filmnya tetap mencekat. Film ini bukan space opera berorientasi aksi melainkan misteri neo-noir yang mengandalkan mood. Tiga puluh tahun pasca Deckard menghilang, Los Angeles masih terlihat sebagai kota futuristik dengan baliho raksasa berlampu neon dan gedung-gedung gelap yang menjulang tinggi. Hanya saja, suasananya lebih buruk. Bersama sinematografer legendaris Roger Deakins, Villeneuve menyuguhkan sebuah semesta yang suram tapi cantik. Set-nya mengagumkan, dan skema warnanya —baik di reruntuhan berlatar langit jingga, balutan salju, atau klimaks di dam buatan— sangat memanjakan mata. Didampingi dengan scoring berderu dan menggelegar dari Hans Zimmer dan Benjamin Walfisch, film ini adalah pengalaman sinematis yang luar biasa.

Terlalu dini untuk menyebut Blade Runner 2049 akan menjadi film klasik seperti pendahulunya yang punya dampak besar terhadap genre scifi. Namun ini memang film yang powerful. Filmnya tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya. Ia menjawab beberapa hal dari Blade Runner sekaligus mengangkat pertanyaan-pertanyaan baru. Ceritanya anyar, tapi berhubungan kuat dengan masa lalu, sekaligus membuka kemungkinan baru untuk masa depan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Blade Runner 2049

163 menit
Dewasa
Denis Villeneuve
Hampton Fancher, Michael Green (screenplay), Philip K. Dick (novel)
Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin
Roger Deakins
Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch

'Blade Runner 2049' tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya.

“Things were simpler then.”
— K
Rating UP:
Blade Runner 2049 adalah sekuel yang sepadan bagi pendahulunya, Blade Runner yang sekarang menyandang status sebagai film cult yang legendaris. Sutradara Denis Villeneuve baru saja memberikan sebuah pencapaian yang hampir mustahil dilakukan. Ia menghormati film pendahulunya, mengekspansi mitologinya, sekaligus membuat sebuah film bagus yang bisa berdiri sendiri. Blade Runner 2049 layak bersanding dengan Aliens, Star Wars: The Empire Strikes Back, dan Terminator 2: Judgment Day sebagai film sekuel terbaik.


Eksistensi Blade Runner 2049 sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu keajaiban. Langka sekali studio yang mau bertaruh seriskan ini, membangkitkan kembali merek yang bukan sebuah properti klasik yang menjanjikan secara komersial. Memang Blade Runner merupakan salah satu film scifi paling berpengaruh, namun ia gagal mencatatkan raihan box office yang jangankan menguntungkan, balik modal saja tidak. Bahkan petinggi Warner Bros sendiri takut penonton takkan mengerti dengan filmnya sampai harus menambahkan narasi yang menganggu di dalam versi orisinalnya yang dirilis di tahun 1982. Jadi kita harus memberikan kredit kepada siapapun eksekutif Warner Bros sekarang yang nekat melampuhijaukan proyek ini lantas memberikan bujet jor-joran kepada Villeneuve, sutradara yang notabene tak dikenal karena keterampilan blockbusternya.

Ketika menonton Arrival, saya mendapati gaya sinematis Villeneuve sedikit menjauhkan saya dari elemen manusiawi filmnya. Blade Runner 2049 ternyata wadah yang sangat pas bagi gaya Villeneuve yang dingin, kaku, dan selow, karena dunia Blade Runner adalah dunia yang dingin. Ia diisi dengan karakter non-manusia, dan kalaupun ada manusianya, mereka tak bertingkah manusiawi. Sebentar. Atau jangan-jangan mereka memang bukan manusia?

Salah satu aspek yang membuat filmnya segar adalah karena ia dibangun dengan pondasi yang cerdas. Ia tahu apa yang kita sudah tahu. Blade Runner 2049 tak lagi bermain dengan persepsi di Blade Runner dimana Replika (terjemahan resmi dari istilah “Replicant”) secara umum tak tahu bahwa mereka adalah Replika. Para Replika sudah cukup pintar untuk menyadari jati diri mereka. Mereka tahu bahwa ingatan mereka ditanam. Namun di film ini tetap ada sesuatu, yang tak berani saya ungkap disini, yang membuat mereka merasa semakin mendekati manusia. Konfliknya selalu soal Replika yang ingin menjadi manusia, dan Blade Runner 2049 mengambil perspektif yang semakin memperdalam tema tersebut. Ruang lingkup plotnya relatif lebih kecil dibanding Blade Runner tapi temanya semakin berkembang.

Di Amerika, Villeneuve dan Warner Bros meminta kritikus untuk tak mengungkap sebagian besar poin plot dan karakter tertentu dalam review mereka. Bukannya saya sok-sokan kritikus—apalah blog saya ini— tapi saya akan melakukan hal yang sama, karena memang cara terbaik untuk menikmati film ini adalah dengan mengetahui tentangnya sesedikit mungkin. Beberapa bagian cerita dan beberapa pengungkapannya memang lebih baik tak tersentuh sebelum menontonnya langsung. Saya akan manut dengan wangsit dari Villeneuve, dan hanya akan memaparkan konteks dan apa yang kita tahu dari materi promonya, seperti kemunculan Rick Deckard (Harrison Ford) atau peristiwa blackout di tahun 2020 yang menghapus semua data mengenai Replika.

Tokoh utama kita adalah K (Ryan Gosling), seorang Blade Runner —polisi yang ditugaskan untuk memburu dan “menetralisir” Replika— yang tahu bahwa ia adalah Replika. Gosling merupakan pilihan sempurna untuk memerankan K. Ia aktor karismatik yang bisa menyembunyikan ekspresi di permukaan —ia bahkan tak pernah tersenyum— tapi menyimpan banyak emosi di dalam. Blade Runner 2049 merupakan perjalanan spiritual bagi K.

Setiap selesai menuntaskan misi, ia diwajibkan oleh bosnya, Letnan Joshi (Robin Wright) melakukan tes psikologis sederhana untuk memastikan kewarasannya sebagai Replika. Ia sadar bahwa ia tak punya masa kecil, bahwa masa kanak-kanaknya yang bermain dengan miniatur kuda kayu adalah ingatan yang ditanam. Atau jangan-jangan bukan begitu? K adalah penyendiri tapi ia tinggal bersama pacar hologram bernama Joi (Ana de Armas) yang bisa berganti baju dari satu pakaian seksi ke pakaian seksi lainnya dalam sekejap, membuatkannya masakan fiktif, dan memberinya perhatian dan kehangatan yang tak didapatkannya dari manusia.

Pasca blackout di tahun 2020, perusahaan Tyrell kolaps. Bisnis produksi Replika sekarang diambil alih oleh jenius sinting Niander Wallace (Jared Leto) yang punya mata seram dan banyak bicara soal omong kosong filosofis. Perusahaan Wallace menciptakan Replika model baru yang lebih canggih dan lebih patuh. Ia punya ajudan seorang Replika wanita tegas bernama Luv (Sylvia Hoeks).

Plot film ini mirip dengan Blade Runner yang dimulai dengan misi sederhana ala detektif sebelum karakter utama kita terpaksa terjun ke dalam misteri noir yang lebih kompleks. Di awal film, K diperintahkan untuk melenyapkan seorang Replika lama bernama Sapper (Dave Bautista) yang hidup dengan tenang sebagai petani di sebuah desa. Namun apa yang K temukan disana membawanya ke dalam intrik yang melibatkan jati dirinya dan hakikat Replika itu sendiri. Sesuatu yang mengancam “hukum alam” yang membedakan manusia dengan Replika dan bisa menghancurkan semuanya.

Meski begitu, film ini tak mengulang lagu lama pendahulunya atau sekadar mengalihkan perhatian kita lewat nostalgia. Ia mengangkat ide baru yang merupakan hasil ekspansi dari ide lama yang menjadi tema ikonik Blade Runner. Kita bahkan tak terlalu menantikan kemunculan Deckard karena sudah begitu larut dengan ceritanya, meski Deckard sendiri punya peran yang sangat krusial nantinya. Pertanyaan filosofis dari novel Philip K. Dick yang menjadi materi sumber dari Blade Runner, ternyata masih bisa dibuat terasa baru. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan Replika saat mereka punya fisik yang mirip? Ketika memori bisa ditanam, apakah ia tak lagi relevan saat Replika menyadarinya padahal mereka merasakannya secara personal? Jika Replika bisa berpikir dan merasa, bisakah mereka disebut manusia?

Dengan durasi mencapai 163 menit, Blade Runner 2049 terasa sedikit panjang. Namun Villeneuve menjaga agar atmosfer filmnya tetap mencekat. Film ini bukan space opera berorientasi aksi melainkan misteri neo-noir yang mengandalkan mood. Tiga puluh tahun pasca Deckard menghilang, Los Angeles masih terlihat sebagai kota futuristik dengan baliho raksasa berlampu neon dan gedung-gedung gelap yang menjulang tinggi. Hanya saja, suasananya lebih buruk. Bersama sinematografer legendaris Roger Deakins, Villeneuve menyuguhkan sebuah semesta yang suram tapi cantik. Set-nya mengagumkan, dan skema warnanya —baik di reruntuhan berlatar langit jingga, balutan salju, atau klimaks di dam buatan— sangat memanjakan mata. Didampingi dengan scoring berderu dan menggelegar dari Hans Zimmer dan Benjamin Walfisch, film ini adalah pengalaman sinematis yang luar biasa.

Terlalu dini untuk menyebut Blade Runner 2049 akan menjadi film klasik seperti pendahulunya yang punya dampak besar terhadap genre scifi. Namun ini memang film yang powerful. Filmnya tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya. Ia menjawab beberapa hal dari Blade Runner sekaligus mengangkat pertanyaan-pertanyaan baru. Ceritanya anyar, tapi berhubungan kuat dengan masa lalu, sekaligus membuka kemungkinan baru untuk masa depan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Blade Runner 2049

163 menit
Dewasa
Denis Villeneuve
Hampton Fancher, Michael Green (screenplay), Philip K. Dick (novel)
Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin
Roger Deakins
Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch

Sunday, September 17, 2017

Review Film: 'Berlin Syndrome' (2017)

Thriller - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Thriller, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Berlin Syndrome' (2017)
link : Review Film: 'Berlin Syndrome' (2017)

Baca juga


Thriller

Judulnya bermain dengan ekspektasi kita. Sayangnya, saya mendapati filmnya terlalu panjang secara durasi tapi juga terlalu singkat untuk menggali lebih dalam.

“Don't worry. No one can hear you.”
— Andi Werner
Rating UP:
Berlin Syndrome adalah judul yang bagus. Ia bermain dengan ekspektasi kita. Judul tersebut kemungkinan merujuk kepada "Stockholm Syndrome", yang sebagaimana kita tahu, merupakan respon psikologis dimana para sandera penculikan mulai merasakan simpati kepada penyanderanya tanpa mempedulikan apa yang telah mereka alami sebelumnya. Apakah tokoh utama kita, Clare akan mengalami pergeseran persepsi, tak hanya menerima takdirnya tapi juga mulai jatuh hati kepada penyekapnya, Andi?

Nice try, Cate Shortland.


Tak seorang pun dengan akal sehat yang mau menerima orang yang menyekapnya selama (mungkin) berbulan-bulan lalu menjadikannya pacar, kecuali jika anda adalah Kristin dari Bank Sveriges Kredit di Swiss yang saking cintanya pada penyandera sampai membatalkan pertunangannya dengan sang pacar. Fakta logis ini menjadikan konsep utama yang diangkat filmnya, yang jika dilihat dari judulnya adalah suspens mengenai apakah tokoh utama kita "akan" atau "tidak akan", tidak lagi menjadi, uhm, suspens. Kita tahu apa yang akan terjadi dan filmnya juga tak memberi semacam pengalihan yang meyakinkan untuk membuat kita percaya itu akan terjadi atau tidak.

Meski begitu, ketegangan film ini cukup untuk membuat satu lagi alasan kuat agar jangan bepergian sendirian ke kota asing, khususnya jika anda adalah seorang wanita muda dan digoda oleh bule tampan. Bule mungkin besar (badannya), tapi belum tentu baik hatinya. Saya yakin film ini pasti lebih menakutkan bagi penonton wanita. Menariknya, Berlin Syndrome melakukan pendekatan yang berbeda dari premisnya di permukaan. Film ini bukan thriller bunuh-bunuhan melainkan thriller psikologis. Alih-alih menjadi film gore dangkal dengan adegan siksa-menyiksa atau pelecehan seksual, Cate Shortland yang mengangkat skrip dari Shaun Grant hasil adaptasi novel Melanie Joosten mencoba bergerak lebih dalam dengan berfokus pada aspek psikologis baik pelaku maupun korbannya.

Clare (Teresa Palmer) adalah seorang gadis Australia, yang sebagaimana kebanyakan milenial yang punya terlalu banyak duit, melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka mencari jati diri. Ia berkelililing kota Berlin sendirian, berbelanja, atau mengambil foto bangunan bersejarah. Pribadi Clare sepertinya asyik, karena ia dengan mudah bisa berbaur dan nongkrong dengan anak-anak muda di sekitar hostelnya.

"Hampir semua orang yang jalan-jalan sendirian itu kesepian," kata Andi (Max Riemelt) yang tampan. Andi yang seorang guru SMA, sepertinya lucu, ramah, dan hangat. Oh, apalagi ia juga menawarkan stroberi segar; tak ada yang tak suka stroberi. Jadi, Clare sengaja menunda perjalanannya ke Dresden, lalu dengan horny (saya nilai dari napasnya yang terengah) kembali mengunjungi Andi. Keduanya menghabiskan malam yang menggairahkan di apartemen Andi. Benar, sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tapi Clare belum akan tahu itu.

Well, Clare sudah punya firasat, tapi begitulah. Pagi harinya, Clare mendapati pintu apartemen terkunci dari luar. Saat pulang kerja, Andi minta maaf tidak meninggalkan kunci cadangan. Clare percaya dengan berat hati dan masih belum juga pulang. Esok harinya, ia melihat kunci di atas meja, namun akhirnya menyadari bahwa Andi sama sekali tak menginginkannya pergi.

Shortland membangun setup-nya dengan penceritaan yang efektif. Ia menggunakan eksposisi minimal yang terjalin mulus dengan cerita. Paruh pertama adalah bagian terbaik dari filmnya. Kita tahu apapun yang terjadi di apartemen Andi takkan sampai ke dunia luar. "Tak ada yang akan mendengarmu," kata Andi di momen panas saat mereka pertama kali bercumbu. Takkan ada pula yang akan mendengar saat Clare grasak-grusuk berusaha kabur nantinya. Jendela apartemennya anti pecah. Jaringan ponsel tak sampai kesana.

Ada beberapa adegan yang akan membuat ngilu, tapi Berlin Syndrome sebagian besar mengenai dinamika hubungan antara Clare dengan Andi, menjanjikan sesuatu yang tampaknya berhubungan dengan judul film. Seiring dengan berjalannya waktu, kecuali fakta bahwa ia disekap, Clare diperlakukan dengan normal. Andi membawakannya bunga, kado, memasakkan makanan, memandikan hingga memotongkan kuku Clare. Meski demikian, kita masih bisa merasakan kesedihan dan keletihan mendalam dari Clare berkat penampilan kuat dari Palmer. Karakterisasinya yang lebih bertumpu pada gestur dan ekspresi. Palmer menunjukkan karakter yang kompeks terlepas dari fakta bahwa karakternya yang tak banyak omong dan tak terlalu dijelaskan latar belakangnya.

Shortland membagi perhatian dengan seimbang bagi kedua tokoh utamanya. Untuk karakter Clare, kita diajak mengintip transisi kondisi mentalnya. Sedangkan Andi mendapat porsi untuk diperlihatkan sekilas mengenai masa lalu dan apa yang kemungkinan besar membuat ia menjadi seperti sekarang. Walaupun tak sampai membuat kita berempati pada Andi, Riemelt memainkan perannya dengan tenang dan tulus yang menyugestikan bahwa maniak ini paling tidak punya sisi lembut. Ia lebih seperti pria melankolis yang tak bisa menahan obsesi sintingnya. Tak sedikit pun kita melihat Andi sebagai penjahat yang lebai walau sempat beberapa kali berbuat sadis.

Sayangnya, saya mendapati film ini terlalu panjang secara durasi tapi juga terlalu singkat untuk menggali lebih dalam. Film sampai pada klimaks yang tak begitu mengeksplorasi apa yang coba diangkatnya. Cengkeramannya mulai melonggar ketika setup-nya sudah selesai. Di pertengahan film Clare tampak sudah terlalu letih karena disekap selama berhari-hati. Saya juga mulai jemu saat filmnya bertele-tele disana. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Berlin Syndrome

116 menit
Dewasa
Cate Shortland
Shaun Grant (screenplay), Melanie Joosten (novel)
Polly Staniford
Germain McMicking
Bryony Marks

Judulnya bermain dengan ekspektasi kita. Sayangnya, saya mendapati filmnya terlalu panjang secara durasi tapi juga terlalu singkat untuk menggali lebih dalam.

“Don't worry. No one can hear you.”
— Andi Werner
Rating UP:
Berlin Syndrome adalah judul yang bagus. Ia bermain dengan ekspektasi kita. Judul tersebut kemungkinan merujuk kepada "Stockholm Syndrome", yang sebagaimana kita tahu, merupakan respon psikologis dimana para sandera penculikan mulai merasakan simpati kepada penyanderanya tanpa mempedulikan apa yang telah mereka alami sebelumnya. Apakah tokoh utama kita, Clare akan mengalami pergeseran persepsi, tak hanya menerima takdirnya tapi juga mulai jatuh hati kepada penyekapnya, Andi?

Nice try, Cate Shortland.


Tak seorang pun dengan akal sehat yang mau menerima orang yang menyekapnya selama (mungkin) berbulan-bulan lalu menjadikannya pacar, kecuali jika anda adalah Kristin dari Bank Sveriges Kredit di Swiss yang saking cintanya pada penyandera sampai membatalkan pertunangannya dengan sang pacar. Fakta logis ini menjadikan konsep utama yang diangkat filmnya, yang jika dilihat dari judulnya adalah suspens mengenai apakah tokoh utama kita "akan" atau "tidak akan", tidak lagi menjadi, uhm, suspens. Kita tahu apa yang akan terjadi dan filmnya juga tak memberi semacam pengalihan yang meyakinkan untuk membuat kita percaya itu akan terjadi atau tidak.

Meski begitu, ketegangan film ini cukup untuk membuat satu lagi alasan kuat agar jangan bepergian sendirian ke kota asing, khususnya jika anda adalah seorang wanita muda dan digoda oleh bule tampan. Bule mungkin besar (badannya), tapi belum tentu baik hatinya. Saya yakin film ini pasti lebih menakutkan bagi penonton wanita. Menariknya, Berlin Syndrome melakukan pendekatan yang berbeda dari premisnya di permukaan. Film ini bukan thriller bunuh-bunuhan melainkan thriller psikologis. Alih-alih menjadi film gore dangkal dengan adegan siksa-menyiksa atau pelecehan seksual, Cate Shortland yang mengangkat skrip dari Shaun Grant hasil adaptasi novel Melanie Joosten mencoba bergerak lebih dalam dengan berfokus pada aspek psikologis baik pelaku maupun korbannya.

Clare (Teresa Palmer) adalah seorang gadis Australia, yang sebagaimana kebanyakan milenial yang punya terlalu banyak duit, melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka mencari jati diri. Ia berkelililing kota Berlin sendirian, berbelanja, atau mengambil foto bangunan bersejarah. Pribadi Clare sepertinya asyik, karena ia dengan mudah bisa berbaur dan nongkrong dengan anak-anak muda di sekitar hostelnya.

"Hampir semua orang yang jalan-jalan sendirian itu kesepian," kata Andi (Max Riemelt) yang tampan. Andi yang seorang guru SMA, sepertinya lucu, ramah, dan hangat. Oh, apalagi ia juga menawarkan stroberi segar; tak ada yang tak suka stroberi. Jadi, Clare sengaja menunda perjalanannya ke Dresden, lalu dengan horny (saya nilai dari napasnya yang terengah) kembali mengunjungi Andi. Keduanya menghabiskan malam yang menggairahkan di apartemen Andi. Benar, sesuatu yang mengerikan akan segera terjadi, tapi Clare belum akan tahu itu.

Well, Clare sudah punya firasat, tapi begitulah. Pagi harinya, Clare mendapati pintu apartemen terkunci dari luar. Saat pulang kerja, Andi minta maaf tidak meninggalkan kunci cadangan. Clare percaya dengan berat hati dan masih belum juga pulang. Esok harinya, ia melihat kunci di atas meja, namun akhirnya menyadari bahwa Andi sama sekali tak menginginkannya pergi.

Shortland membangun setup-nya dengan penceritaan yang efektif. Ia menggunakan eksposisi minimal yang terjalin mulus dengan cerita. Paruh pertama adalah bagian terbaik dari filmnya. Kita tahu apapun yang terjadi di apartemen Andi takkan sampai ke dunia luar. "Tak ada yang akan mendengarmu," kata Andi di momen panas saat mereka pertama kali bercumbu. Takkan ada pula yang akan mendengar saat Clare grasak-grusuk berusaha kabur nantinya. Jendela apartemennya anti pecah. Jaringan ponsel tak sampai kesana.

Ada beberapa adegan yang akan membuat ngilu, tapi Berlin Syndrome sebagian besar mengenai dinamika hubungan antara Clare dengan Andi, menjanjikan sesuatu yang tampaknya berhubungan dengan judul film. Seiring dengan berjalannya waktu, kecuali fakta bahwa ia disekap, Clare diperlakukan dengan normal. Andi membawakannya bunga, kado, memasakkan makanan, memandikan hingga memotongkan kuku Clare. Meski demikian, kita masih bisa merasakan kesedihan dan keletihan mendalam dari Clare berkat penampilan kuat dari Palmer. Karakterisasinya yang lebih bertumpu pada gestur dan ekspresi. Palmer menunjukkan karakter yang kompeks terlepas dari fakta bahwa karakternya yang tak banyak omong dan tak terlalu dijelaskan latar belakangnya.

Shortland membagi perhatian dengan seimbang bagi kedua tokoh utamanya. Untuk karakter Clare, kita diajak mengintip transisi kondisi mentalnya. Sedangkan Andi mendapat porsi untuk diperlihatkan sekilas mengenai masa lalu dan apa yang kemungkinan besar membuat ia menjadi seperti sekarang. Walaupun tak sampai membuat kita berempati pada Andi, Riemelt memainkan perannya dengan tenang dan tulus yang menyugestikan bahwa maniak ini paling tidak punya sisi lembut. Ia lebih seperti pria melankolis yang tak bisa menahan obsesi sintingnya. Tak sedikit pun kita melihat Andi sebagai penjahat yang lebai walau sempat beberapa kali berbuat sadis.

Sayangnya, saya mendapati film ini terlalu panjang secara durasi tapi juga terlalu singkat untuk menggali lebih dalam. Film sampai pada klimaks yang tak begitu mengeksplorasi apa yang coba diangkatnya. Cengkeramannya mulai melonggar ketika setup-nya sudah selesai. Di pertengahan film Clare tampak sudah terlalu letih karena disekap selama berhari-hati. Saya juga mulai jemu saat filmnya bertele-tele disana. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Berlin Syndrome

116 menit
Dewasa
Cate Shortland
Shaun Grant (screenplay), Melanie Joosten (novel)
Polly Staniford
Germain McMicking
Bryony Marks