Showing posts with label Kriminal. Show all posts
Showing posts with label Kriminal. Show all posts

Saturday, June 30, 2018

Review Film: 'Sicario 2: Day of the Soldado' (2018)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Sicario 2: Day of the Soldado' (2018)
link : Review Film: 'Sicario 2: Day of the Soldado' (2018)

Baca juga


Kriminal

Taylor Sheridan sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan.

“You got to do what you got to do.”
— Alejandro
Rating UP:
Taylor Sheridan (Hell or High Water, Wind River) sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan. Ia bahkan mungkin bisa membuat riwayat asmara saya yang biasa-biasa saja menjadi film aksi-thriller brutal yang mencekam... dengan banyak nyawa melayang di dalamnya.

Itu adalah testimoni saya mengenai keterampilan skrip Sheridan dalam Sicario 2: Day of the Soldado. Bahkan saat disini ia harus kehilangan empat pemain kunci dari film pertama: aktris Emily Blunt, sutradara Denis Villeneuve, sinematografer Roger Deakins, dan komposer Johann Johannsson. Bahkan saat ia relatif tak punya cerita untuk diceritakan. Yang dibutuhkannya cuma beberapa kru yang lumayan, sutradara yang cukup berkomitmen, dan pemain utama yang karismatik.


Soldado jelas tak sengehek Sicario. Selain karena aspek teknisnya yang sedikit lebih superior, sebagian besar penyebabnya adalah karena ia tak punya hooking point yang dimiliki oleh film pertama, yang dihadirkan lewat kenaifan karakter Blunt yang menyaksikan betapa abu-abunya batas moralitas dalam lingkaran konflik perdagangan narkoba. Kita dibuat syok dengan pengungkapan bahwa penegak keadilan tak jauh berbeda korup dan kejinya dengan para kriminal yang mereka berantas. Soldado hanya sedikit menyampaikan hal baru mengenai sistem pemerintahan yang kebablasan ini, namun ia mampu berdiri dengan kokoh sebagai film aksi-drama yang cukup mengikat.

Setelah menonton Sicario, kita sudah tahu bahwa hanya akan ada sedikit sensitivitas moral yang dipunyai oleh karakter kuncinya. Absennya karakter Blunt membuat perspektif dalam Soldado bergeser. Agen lapangan CIA, Matt Graver (Josh Brolin) dan pembunuh bayaran, Alejandro (Benicio Del Toro) yang sebelumnya menjadi karakter sampingan, sekarang adalah karakter utama. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berseragam yang tak punya aturan. Sedari awal, Matt tak ragu-ragu menerapkan metode yang jauh lebih kejam daripada waterboarding saat menginterogasi seorang bajak laut Somalia.

Karisma Brolin dan Del Toro begitu kuat hingga mereka menguasai momen apapun saat muncul di layar. Gaya slenge'an karakter Matt yang pernah ke markas dengan sendal jepit tak lagi akan anda ingat, sebab Brolin kali ini lebih serius. Misi adalah prioritasnya, tapi ada sedikit nuansa pemberontakan yang terasa di dalam dedikasinya. Sementara Del Toro... aktor ini mampu berbuat banyak tanpa perlu banyak bacot. Ia hanya perlu berdiri lalu menatap tajam, dan kita akan bergidik. Ia adalah pembunuh yang efektif, dan meski saya sama sekali tak mendukung ini, ia sukses membuat aksi membantai orang terlihat keren.

Soldado dimulai dengan segerombolan imigran ilegal yang melintasi perbatasan Meksiko-Amerika di tengah malam buta. Mereka bukan imigran biasa, karena saat hampir terciduk, mereka meledakkan diri. Di lain waktu, bom bunuh diri juga terjadi di sebuah supermarket di Amerika. Teroris kah? Bagaimana mereka bisa masuk ke Amerika? Salah satu alasannya adalah karena tembok raksasa nan mutakhir buatan presiden Trump belum jadi. Namun karena ini bukan film politik, maka yang menjadi biang keroknya ternyata adalah kartel narkoba. Katanya, menyusupkan manusia jauh lebih menguntungkan daripada menyelundupkan kokain.

Pemerintah, lewat karakter yang diperankan Matthew Modine dan Catherine Keener, kemudian menghubungi seseorang yang patut dihubungi saat mereka harus melakukan pekerjaan kotor: Matt Graver. Misi Matt adalah menculik Isabel Reyes (Isabela Moner), anak gadis dari seorang bos kartel, lalu membuatnya terkesan sebagai aksi dari kartel sebelah. Dengan begini, mereka akan saling menyalahkan, dan otomatis akan saling bantai lewat perang antarkartel. Pemerintah Amerika bisa ongkang-ongkang kaki. Rencananya sih begitu.

Untuk melakukan ini, Matt merekrut kenalan lamanya, Alejandro yang juga punya dendam lama kepada sang bos kartel. Kebetulan. Tentu saja, semua tak berjalan dengan lancar. Terlebih saat sebagian besar polisi Meksiko ternyata digaji oleh kartel. Saat situasi menjadi kacau, pemerintah Amerika bermaksud cuci tangan. Tapi tim Matt dan Alejandro sudah terlanjur basah. Ya sudah, mandi sekalian.

Sementara itu, dalam bagian yang tak begitu menarik, kita diperkenalkan dengan Miguel (Elijah Rodriguez), remaja Amerika berdarah Meksiko yang tinggal di perbatasan. Ia direkrut oleh kartel sebagai salah satu eksekutor penyelundupan manusia. Tentu saja, nanti petualangan Miguel akan bersilangan dengan karakter utama kita. Saya rasa, momen ini dimaksudkan untuk memberi dampak emosional yang lumayan tajam. Meski begitu, perjalanan karakter yang klise dengan karakterisasi yang kurang mengesankan, membuatnya terasa hambar. Subplot mengenai Miguel terasa sedikit mendistraksi, padahal ini berperan penting nantinya.

Namun ini adalah komplain kecil kalau dibandingkan dengan bagaimana terampilnya Sheridan membangun cerita dan mengatur ritme. Menjelang akhir, ada momen krusial yang sebenarnya terkesan mustahil terjadi dalam konteks film "serius". Tapi nyatanya lumayan bekerja, karena kita sebelumnya dikondisikan untuk berharap itu bakal bekerja, setidaknya selama kita menonton. Saya mencoba sotoy nih, tapi saya yakin sutradara Stefano Sollima lumayan setia mengikuti visi Sheridan. Soalnya, Soldado tetap terasa berlangsung di semesta yang sama dengan Sicario, meski atmosfernya memang tak semisterius itu. Mayoritas intensitas tak lagi tercipta berkat atmosfer, melainkan penanganan sekuens aksi yang kompeten oleh Sollima. Adegan penyergapan di jalanan gurun Meksiko berisi cukup suspens hingga kita terhenyak saat huru-hara yang sesungguhnya dilepaskan.

Kalau dibandingkan dengan Sicario, film ini memang lebih dangkal. Jika yang ingin disampaikan Sheridan adalah soal ambiguitas moral, maka ia sudah membeberkan semuanya lewat film pertama. Bahkan usaha untuk memanusiakan karakter Alejandro juga terasa biasa sekali; ia sekarang (agaknya) menjadi tokoh antihero yang konvensional. Sebetulnya, sulit membayangkan bagaimana film semacam Sicario bisa menghasilkan sekuel. Namun Sheridan pandai mengemas barang receh. Disini, ia bahkan ia mampu menge-set kemungkinan baru yang menjanjikan sesuatu lebih besar yang akan datang. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sicario: Day of the Soldado

122 menit
Dewasa
Stefano Sollima
Taylor Sheridan
Basil Iwanyk, Edward L. McDonnell, Molly Smith, Thad Luckinbill, Trent Luckinbill
Dariusz Wolski
Hildur Guðnadóttir

Taylor Sheridan sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan.

“You got to do what you got to do.”
— Alejandro
Rating UP:
Taylor Sheridan (Hell or High Water, Wind River) sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan. Ia bahkan mungkin bisa membuat riwayat asmara saya yang biasa-biasa saja menjadi film aksi-thriller brutal yang mencekam... dengan banyak nyawa melayang di dalamnya.

Itu adalah testimoni saya mengenai keterampilan skrip Sheridan dalam Sicario 2: Day of the Soldado. Bahkan saat disini ia harus kehilangan empat pemain kunci dari film pertama: aktris Emily Blunt, sutradara Denis Villeneuve, sinematografer Roger Deakins, dan komposer Johann Johannsson. Bahkan saat ia relatif tak punya cerita untuk diceritakan. Yang dibutuhkannya cuma beberapa kru yang lumayan, sutradara yang cukup berkomitmen, dan pemain utama yang karismatik.


Soldado jelas tak sengehek Sicario. Selain karena aspek teknisnya yang sedikit lebih superior, sebagian besar penyebabnya adalah karena ia tak punya hooking point yang dimiliki oleh film pertama, yang dihadirkan lewat kenaifan karakter Blunt yang menyaksikan betapa abu-abunya batas moralitas dalam lingkaran konflik perdagangan narkoba. Kita dibuat syok dengan pengungkapan bahwa penegak keadilan tak jauh berbeda korup dan kejinya dengan para kriminal yang mereka berantas. Soldado hanya sedikit menyampaikan hal baru mengenai sistem pemerintahan yang kebablasan ini, namun ia mampu berdiri dengan kokoh sebagai film aksi-drama yang cukup mengikat.

Setelah menonton Sicario, kita sudah tahu bahwa hanya akan ada sedikit sensitivitas moral yang dipunyai oleh karakter kuncinya. Absennya karakter Blunt membuat perspektif dalam Soldado bergeser. Agen lapangan CIA, Matt Graver (Josh Brolin) dan pembunuh bayaran, Alejandro (Benicio Del Toro) yang sebelumnya menjadi karakter sampingan, sekarang adalah karakter utama. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berseragam yang tak punya aturan. Sedari awal, Matt tak ragu-ragu menerapkan metode yang jauh lebih kejam daripada waterboarding saat menginterogasi seorang bajak laut Somalia.

Karisma Brolin dan Del Toro begitu kuat hingga mereka menguasai momen apapun saat muncul di layar. Gaya slenge'an karakter Matt yang pernah ke markas dengan sendal jepit tak lagi akan anda ingat, sebab Brolin kali ini lebih serius. Misi adalah prioritasnya, tapi ada sedikit nuansa pemberontakan yang terasa di dalam dedikasinya. Sementara Del Toro... aktor ini mampu berbuat banyak tanpa perlu banyak bacot. Ia hanya perlu berdiri lalu menatap tajam, dan kita akan bergidik. Ia adalah pembunuh yang efektif, dan meski saya sama sekali tak mendukung ini, ia sukses membuat aksi membantai orang terlihat keren.

Soldado dimulai dengan segerombolan imigran ilegal yang melintasi perbatasan Meksiko-Amerika di tengah malam buta. Mereka bukan imigran biasa, karena saat hampir terciduk, mereka meledakkan diri. Di lain waktu, bom bunuh diri juga terjadi di sebuah supermarket di Amerika. Teroris kah? Bagaimana mereka bisa masuk ke Amerika? Salah satu alasannya adalah karena tembok raksasa nan mutakhir buatan presiden Trump belum jadi. Namun karena ini bukan film politik, maka yang menjadi biang keroknya ternyata adalah kartel narkoba. Katanya, menyusupkan manusia jauh lebih menguntungkan daripada menyelundupkan kokain.

Pemerintah, lewat karakter yang diperankan Matthew Modine dan Catherine Keener, kemudian menghubungi seseorang yang patut dihubungi saat mereka harus melakukan pekerjaan kotor: Matt Graver. Misi Matt adalah menculik Isabel Reyes (Isabela Moner), anak gadis dari seorang bos kartel, lalu membuatnya terkesan sebagai aksi dari kartel sebelah. Dengan begini, mereka akan saling menyalahkan, dan otomatis akan saling bantai lewat perang antarkartel. Pemerintah Amerika bisa ongkang-ongkang kaki. Rencananya sih begitu.

Untuk melakukan ini, Matt merekrut kenalan lamanya, Alejandro yang juga punya dendam lama kepada sang bos kartel. Kebetulan. Tentu saja, semua tak berjalan dengan lancar. Terlebih saat sebagian besar polisi Meksiko ternyata digaji oleh kartel. Saat situasi menjadi kacau, pemerintah Amerika bermaksud cuci tangan. Tapi tim Matt dan Alejandro sudah terlanjur basah. Ya sudah, mandi sekalian.

Sementara itu, dalam bagian yang tak begitu menarik, kita diperkenalkan dengan Miguel (Elijah Rodriguez), remaja Amerika berdarah Meksiko yang tinggal di perbatasan. Ia direkrut oleh kartel sebagai salah satu eksekutor penyelundupan manusia. Tentu saja, nanti petualangan Miguel akan bersilangan dengan karakter utama kita. Saya rasa, momen ini dimaksudkan untuk memberi dampak emosional yang lumayan tajam. Meski begitu, perjalanan karakter yang klise dengan karakterisasi yang kurang mengesankan, membuatnya terasa hambar. Subplot mengenai Miguel terasa sedikit mendistraksi, padahal ini berperan penting nantinya.

Namun ini adalah komplain kecil kalau dibandingkan dengan bagaimana terampilnya Sheridan membangun cerita dan mengatur ritme. Menjelang akhir, ada momen krusial yang sebenarnya terkesan mustahil terjadi dalam konteks film "serius". Tapi nyatanya lumayan bekerja, karena kita sebelumnya dikondisikan untuk berharap itu bakal bekerja, setidaknya selama kita menonton. Saya mencoba sotoy nih, tapi saya yakin sutradara Stefano Sollima lumayan setia mengikuti visi Sheridan. Soalnya, Soldado tetap terasa berlangsung di semesta yang sama dengan Sicario, meski atmosfernya memang tak semisterius itu. Mayoritas intensitas tak lagi tercipta berkat atmosfer, melainkan penanganan sekuens aksi yang kompeten oleh Sollima. Adegan penyergapan di jalanan gurun Meksiko berisi cukup suspens hingga kita terhenyak saat huru-hara yang sesungguhnya dilepaskan.

Kalau dibandingkan dengan Sicario, film ini memang lebih dangkal. Jika yang ingin disampaikan Sheridan adalah soal ambiguitas moral, maka ia sudah membeberkan semuanya lewat film pertama. Bahkan usaha untuk memanusiakan karakter Alejandro juga terasa biasa sekali; ia sekarang (agaknya) menjadi tokoh antihero yang konvensional. Sebetulnya, sulit membayangkan bagaimana film semacam Sicario bisa menghasilkan sekuel. Namun Sheridan pandai mengemas barang receh. Disini, ia bahkan ia mampu menge-set kemungkinan baru yang menjanjikan sesuatu lebih besar yang akan datang. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sicario: Day of the Soldado

122 menit
Dewasa
Stefano Sollima
Taylor Sheridan
Basil Iwanyk, Edward L. McDonnell, Molly Smith, Thad Luckinbill, Trent Luckinbill
Dariusz Wolski
Hildur Guðnadóttir

Friday, June 8, 2018

Review Film: 'Ocean's 8' (2018)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Kriminal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Ocean's 8' (2018)
link : Review Film: 'Ocean's 8' (2018)

Baca juga


Kriminal

A heist movie is a movie about heist. Sementara 'Ocean's 8' tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.

“A him gets noticed. A her gets ignored. For once, we want to be ignored.”
— Debbie Ocean
Rating UP:
Lewat Ocean's Eleven dan dua sekuelnya, Steven Soderbergh tak hanya membuat perbuatan kriminal terlihat keren (astaghfirullohaladzim), tapi juga menciptakan kesan bahwa bikin film heist itu gampang; yang dibutuhkan cuma segambreng karisma bintang dan sejumput gaya. Nah, Ocean's 8 punya itu. Namun itu tak otomatis menjadikannya film heist yang seru. A heist movie is a movie about heist. Sementara Ocean's 8 tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.


Meski demikian, nyaris mustahil untuk tak terhibur menyaksikan deretan pemain dengan level seperti ini dalam satu film. Film ini punya metodologi yang sama dengan trilogi Ocean's-nya Soderbergh, hanya saja semua pencuri kita sekarang adalah wanita. Semua pemain yang tepat sudah berkumpul. Mereka punya sumber daya yang memadai. Mereka punya rencana. Dan sungguh rencana yang lebih dari matang, sebab semua berjalan terlalu mulus untuk kita pedulikan. Timing-nya begitu sempurna, dan keberuntungan mereka begitu bagus.

Targetnya adalah kalung mewah seharga $150 juta yang disimpan di brankas yang aman selama bertahun-tahun. Kalung ini direncanakan nangkring di leher seorang aktris terkenal dalam Met Gala, acara amal tahunan yang lebih mirip arisan sosialita karena diramaikan dengan lusinan selebritis yang berpakaian glamor. Masalahnya, arisan ini adalah arisan dengan pengamanan paling ketat sedunia.

Ini tentu bukan halangan bagi Debbie Ocean (Sandra Bullock), sebab ia adalah saudari Danny Ocean, pimpinan tim pencuri di trilogi Ocean's yang dulu diperankan oleh George Clooney. Bahkan, sebetulnya rencana ini sudah dibangun Debbie dalam 5 tahun, selama ia dipenjara. Setelah berhasil meyakinkan semua orang bahwa ia sudah berhenti dengan aksi pencurian dan akan hidup dengan lurus, Debbie mengumpulkan timnya yang terdiri dari:

  1. Dirinya sendiri sebagai ketua tim.

  2. Lou (Cate Blanchett), sobat lama Debbie yang (kemungkinan) dulu pernah beraksi bersama.

  3. Rose Weil (Helena Bonham Carter), desainer fashion yang ketenarannya sudah tertinggal jauh di masa lalu.

  4. Amita (Mindy Kalling), pakar perhiasan yang getol disuruh emaknya untuk kawin.

  5. Nine Ball (Rihanna), hacker jenius yang suka merokok ganja.

  6. Tammy (Sarah Paulson), ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai penadah dan penyalur barang gelap.

  7. Constance (Awkwafina), pencopet dan penipu jalanan yang ulung.
Anda pasti sudah selesai menghitung, lalu menyadari satu hal: mana anggota ke-8? Orang tersebut adalah Daphne Kluger (Anna Hathaway), aktris yang tak menyadari semua rencana pencurian ini. Target tim Ocean adalah mencuri kalung mewah tadi langsung dari leher Daphne, tak peduli dengan keberadaan puluhan kamera pengawas, satpam yang adalah mantan agen khusus, bahkan kalungnya sendiri yang punya kunci magnetik.

Menghandel karakter sebanyak ini lewat satu film, tentu saja mengharuskan mereka diberi sorotan secara bergantian. Pesona tim ini tak kalah dengan rival pria mereka di trilogi Ocean's, meski chemistry mereka tak seasyik itu. Bullock dan Blanchett mencolok cukup dengan muncul di layar; apapun yang mereka lakukan cukup untuk membuat kita terpikat. Namun yang paling bersenang-senang mungkin adalah Hathaway. Ia bermain sebagai seleb yang lebay dan labil, seolah mengolok hakikat seleb itu sendiri; seleb dengan ke-seleb-an paripurna. Penampilannya bagus, sebab tidak mendistraksi film.

Proses perencanaan pencurian rasanya lumayan lama, mengingat durasi film yang mencapai 2 jam sementara eksekusinya tak ribet-ribet amat. Tapi kalau saya ingat-ingat lagi, tak ada bagian ini yang berkesan. Padahal kan itu bisa menjadi modal suspens bagi penonton; kita dapat mengantisipasi apa yang mereka lakukan atau dibuat terkejut saat yang terjadi berjalan tak sesuai dengan yang kita ekspektasikan. Kita tak bisa diharapkan sekonyong-konyong terkejut kalau film tak membangun momen untuk itu.

Oleh karena itu, struktur film jadi terasa ganjil dengan kemunculan James Corden sebagai investigator asuransi pasca eksekusi pencurian. Corden bukan cameo, karena cameo adalah saat kita melihat Katie Holmes, Heidi Klum, dll di Met Gala. Ini barangkali adalah improvisasi dari Gary Ross yang menulis skrip bersama Olivia Milch. Ross juga menjadi sutradara, dan ia memakai trik khas franchise Ocean's: potongan gambar yang gesit serta musik latar yang nge-jazz. Namun Ross bukan Soderbergh. Improvisasinya tidak sehalus dan seenerjik Soderbergh yang membuat kita mengangguk-anggukkan kepala meski kita tahu apa yang sedang terjadi sebetulnya menggelikan dan bertentangan dengan plausibilitas dunia nyata.

Tak semua film heist harus punya detail yang ekstensif. Ada banyak film heist lain yang lebih cerdas. Namun, trilogi Ocean's pada dasarnya memang bukan soal heist, melainkan tentang bagaimana elegannya sebuah heist dilakukan. Meski begitu, bukan berarti heist-nya sendiri tak serta-merta menawarkan ketiadaan keseruan atau stakes. Apa yang dilakukan tim Ocean's 8 terlalu mudah, membuat kita berharap untuk sesuatu yang lebih. Mereka tampaknya menarik, cerdik, dan asyik. Saya yakin mereka bisa menunaikan misi yang lebih berat. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Ocean's 8

110 menit
Dewasa
Gary Ross
Gary Ross, Olivia Milch
Steven Soderbergh, Susan Ekins
Eigil Bryld
Daniel Pemberton

A heist movie is a movie about heist. Sementara 'Ocean's 8' tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.

“A him gets noticed. A her gets ignored. For once, we want to be ignored.”
— Debbie Ocean
Rating UP:
Lewat Ocean's Eleven dan dua sekuelnya, Steven Soderbergh tak hanya membuat perbuatan kriminal terlihat keren (astaghfirullohaladzim), tapi juga menciptakan kesan bahwa bikin film heist itu gampang; yang dibutuhkan cuma segambreng karisma bintang dan sejumput gaya. Nah, Ocean's 8 punya itu. Namun itu tak otomatis menjadikannya film heist yang seru. A heist movie is a movie about heist. Sementara Ocean's 8 tak punya cukup pengalihan dan kelihaian yang dibutuhkan.


Meski demikian, nyaris mustahil untuk tak terhibur menyaksikan deretan pemain dengan level seperti ini dalam satu film. Film ini punya metodologi yang sama dengan trilogi Ocean's-nya Soderbergh, hanya saja semua pencuri kita sekarang adalah wanita. Semua pemain yang tepat sudah berkumpul. Mereka punya sumber daya yang memadai. Mereka punya rencana. Dan sungguh rencana yang lebih dari matang, sebab semua berjalan terlalu mulus untuk kita pedulikan. Timing-nya begitu sempurna, dan keberuntungan mereka begitu bagus.

Targetnya adalah kalung mewah seharga $150 juta yang disimpan di brankas yang aman selama bertahun-tahun. Kalung ini direncanakan nangkring di leher seorang aktris terkenal dalam Met Gala, acara amal tahunan yang lebih mirip arisan sosialita karena diramaikan dengan lusinan selebritis yang berpakaian glamor. Masalahnya, arisan ini adalah arisan dengan pengamanan paling ketat sedunia.

Ini tentu bukan halangan bagi Debbie Ocean (Sandra Bullock), sebab ia adalah saudari Danny Ocean, pimpinan tim pencuri di trilogi Ocean's yang dulu diperankan oleh George Clooney. Bahkan, sebetulnya rencana ini sudah dibangun Debbie dalam 5 tahun, selama ia dipenjara. Setelah berhasil meyakinkan semua orang bahwa ia sudah berhenti dengan aksi pencurian dan akan hidup dengan lurus, Debbie mengumpulkan timnya yang terdiri dari:

  1. Dirinya sendiri sebagai ketua tim.

  2. Lou (Cate Blanchett), sobat lama Debbie yang (kemungkinan) dulu pernah beraksi bersama.

  3. Rose Weil (Helena Bonham Carter), desainer fashion yang ketenarannya sudah tertinggal jauh di masa lalu.

  4. Amita (Mindy Kalling), pakar perhiasan yang getol disuruh emaknya untuk kawin.

  5. Nine Ball (Rihanna), hacker jenius yang suka merokok ganja.

  6. Tammy (Sarah Paulson), ibu rumah tangga yang bekerja sampingan sebagai penadah dan penyalur barang gelap.

  7. Constance (Awkwafina), pencopet dan penipu jalanan yang ulung.
Anda pasti sudah selesai menghitung, lalu menyadari satu hal: mana anggota ke-8? Orang tersebut adalah Daphne Kluger (Anna Hathaway), aktris yang tak menyadari semua rencana pencurian ini. Target tim Ocean adalah mencuri kalung mewah tadi langsung dari leher Daphne, tak peduli dengan keberadaan puluhan kamera pengawas, satpam yang adalah mantan agen khusus, bahkan kalungnya sendiri yang punya kunci magnetik.

Menghandel karakter sebanyak ini lewat satu film, tentu saja mengharuskan mereka diberi sorotan secara bergantian. Pesona tim ini tak kalah dengan rival pria mereka di trilogi Ocean's, meski chemistry mereka tak seasyik itu. Bullock dan Blanchett mencolok cukup dengan muncul di layar; apapun yang mereka lakukan cukup untuk membuat kita terpikat. Namun yang paling bersenang-senang mungkin adalah Hathaway. Ia bermain sebagai seleb yang lebay dan labil, seolah mengolok hakikat seleb itu sendiri; seleb dengan ke-seleb-an paripurna. Penampilannya bagus, sebab tidak mendistraksi film.

Proses perencanaan pencurian rasanya lumayan lama, mengingat durasi film yang mencapai 2 jam sementara eksekusinya tak ribet-ribet amat. Tapi kalau saya ingat-ingat lagi, tak ada bagian ini yang berkesan. Padahal kan itu bisa menjadi modal suspens bagi penonton; kita dapat mengantisipasi apa yang mereka lakukan atau dibuat terkejut saat yang terjadi berjalan tak sesuai dengan yang kita ekspektasikan. Kita tak bisa diharapkan sekonyong-konyong terkejut kalau film tak membangun momen untuk itu.

Oleh karena itu, struktur film jadi terasa ganjil dengan kemunculan James Corden sebagai investigator asuransi pasca eksekusi pencurian. Corden bukan cameo, karena cameo adalah saat kita melihat Katie Holmes, Heidi Klum, dll di Met Gala. Ini barangkali adalah improvisasi dari Gary Ross yang menulis skrip bersama Olivia Milch. Ross juga menjadi sutradara, dan ia memakai trik khas franchise Ocean's: potongan gambar yang gesit serta musik latar yang nge-jazz. Namun Ross bukan Soderbergh. Improvisasinya tidak sehalus dan seenerjik Soderbergh yang membuat kita mengangguk-anggukkan kepala meski kita tahu apa yang sedang terjadi sebetulnya menggelikan dan bertentangan dengan plausibilitas dunia nyata.

Tak semua film heist harus punya detail yang ekstensif. Ada banyak film heist lain yang lebih cerdas. Namun, trilogi Ocean's pada dasarnya memang bukan soal heist, melainkan tentang bagaimana elegannya sebuah heist dilakukan. Meski begitu, bukan berarti heist-nya sendiri tak serta-merta menawarkan ketiadaan keseruan atau stakes. Apa yang dilakukan tim Ocean's 8 terlalu mudah, membuat kita berharap untuk sesuatu yang lebih. Mereka tampaknya menarik, cerdik, dan asyik. Saya yakin mereka bisa menunaikan misi yang lebih berat. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Ocean's 8

110 menit
Dewasa
Gary Ross
Gary Ross, Olivia Milch
Steven Soderbergh, Susan Ekins
Eigil Bryld
Daniel Pemberton

Sunday, May 27, 2018

Review Film: 'Dark Crimes' (2018)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Dark Crimes' (2018)
link : Review Film: 'Dark Crimes' (2018)

Baca juga


Kriminal

Boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey. Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

“Perception is reality.”
— Kozlov
Rating UP:
Kita lebih mengenal Jim Carrey sebagai komedian, tapi dalam sekali-dua kali kesempatan, ia adalah aktor serius. Bukan baru-baru ini saja ia mencoba hal tersebut. Kita pernah melihatnya dalam The Truman Show dan Eternal Sunshine for the Spotless Mind. Namun agaknya anda akan syok menyaksikannya dalam Dark Crimes. Perannya sangat pahit dan suram. Iya, bahkan melebihi saat ia di film The Number 23. Berjenggot tebal dengan kepala nyaris botak, Carrey bermain sebagai seorang detektif yang minim ngomong dan serius setengah mati.


Namun bukan itu saja alasan anda akan dibuat syok. Sebelum dimulai, film sudah dibuka dengan bagian credit yang menampilkan potongan adegan vulgar dan brutal. Wanita-wanita telanjang diarak merangkak dengan memakai tali pengekang anjing. Di lain kesempatan, mereka digantung ke langit-langit sementara tangan mereka diikat. Di sekeliling mereka, ada belasan oom-oom berjas dengan tampang sange. Ada apa ini? Semua penuh misteri. Sialan, pikir saya, boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey.

Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

Carrey bermain sebagai Tadek, detektif Polandia yang memancarkan aura depresif dan kesepian. Jabatannya baru saja diturunkan ke bagian administrasi gara-gara membuat masalah di penyidikan sebelumnya. Karena sebentar lagi pensiun, Tadek disarankan oleh teman-temannya untuk anteng-anteng saja dengan pekerjaan barunya. Namun ia merasa perlu untuk menyelesaikan sebuah kasus pelik yang sudah dibungkus oleh kepolisian Polandia karena minimnya alat bukti. Kasus tersebut adalah pembunuhan seorang pria paruh baya yang menjadi langganan sebuah klub misterius bernama "The Cage".

Dan klub ini adalah klub laknat yang aktivitasnya kita lihat di awal film.

Tadek yakin ia baru saja mendapatkan tersangkanya, yaitu seorang novelis bernama Kozlov (Marton Csokas). Alasannya, novel terbaru karya Kozlov bercerita tentang sebuah kasus pembunuhan yang anehnya sangat mirip dengan kasus yang tengah diselidiki Tadek. Deskripsi pembunuhan fiktif di novel Kozlov berisi detail dari kasus tersebut yang hanya diketahui oleh polisi (dan tentu saja pelaku). Ketika ditanya oleh wartawan apakah beberapa kesadisan dalam novel tersebut terinspirasi dari kisah nyata, Kozlov malah menjawab dengan provokatif, "Mungkin iya, mungkin tidak."

Namun orang tak bisa ditangkap begitu saja gara-gara tulisannya, apalagi kalau cuma fiksi. Cerita ini terdengar seperti cerita yang hanya masuk akal terjadi dalam novel atau film. Yang lebih membuat syok, cerita ini benar-benar terjadi di dunia nyata. Pada tahun 2007, seorang novelis Polandia bernama Kryztian Bala ditahan atas tuduhan pembunuhan berencana. Bala ditangkap oleh detektif Jacek Wroblewski yang mendapat petunjuk dari novel yang ditulis Bala. Novel ini menggunakan sudut pandang pertama, dimana karakter "Aku"-nya yang bernama Chris adalah seorang sadis yang suka mengumbar kata-kata jorok dan tak respek sama sekali dengan orang lain. Mengejutkan bagaimana Kryztian yang disebut teman-temannya sebagai orang yang kalem malah menulis novel sebrutal itu. Memang seperti pameo klasik: truth is stranger than fiction.

Kasus ini dirangkum secara komprehensif oleh David Grann, wartawan The New Yorker yang artikelnya "The Lost City of Z" juga telah difilmkan. Artikel berjudul "True Crime: A Postmodern Murder Mystery" tersebut bergaya cerpen, ditulis secara investigatif dengan berisi berbagai detil yang membuat kita serasa terlibat dalam proses penyelidikan. Ini jauuuuuh lebih menarik dan lebih sinematis daripada filmnya sendiri; bahkan punya stinger di bagian akhir (anda bisa membacanya disini). Seolah kisah nyatanya belum cukup menggigit, Jeremy Brock memberi banyak tambahan di skripnya sehingga lebih pelik sampai melewati batas kelogisan, bahkan untuk ukuran film. Motif karakter menjadi tak jelas, seolah hanya bertindak sebagai pembuat syok. Tadek suka memutar versi suara dari novel Kozlov (yang ngomong-ngomong berisi sadisme dan kata-kata jorok) saat makan bersama istrinya. Yah dengan melihat ini sih, wajar kalau rumah tangga Tadek bermasalah.

Ada momen dimana nanti Tadek harus keluar dari jalur otoritasnya hingga melakukan beberapa tindakan yang bisa dibilang kriminal untuk membuktikan bahwa Kozlov bersalah. Kunjungannya terhadap pacar Kozlov, Kasia (Charlotte Gainsbourg) malah berakhir dalam sebuah scene yang begitu absurd, saya tak percaya baru saja menyaksikannya. Bagian ini membunuh standar moral apa pun yang terdapat pada semua karakternya, sehingga anda menyadari betapa rendah visi yang disajikan oleh pembuatnya.

Film ini digarap dengan baik. Sutradara Alexandros Avranas tahu cara menyuguhkan atmosfer yang pas untuk materi ceritanya. Jim Carrey juga sepertinya berkomitmen sekali dengan perannya. Sedari awal, ia sudah tampil dengan begitu baik, kita tak perlu meragukan apakah ia sudah merangkul betul perannya sebagai detektif yang depresif tapi juga obsesif; bahkan saat berbicara bahasa Inggris dengan aksen Polandia yang aneh tak terasa mendistraksi. Keduanya cuma perlu materi yang lebih baik. Dan tak sepahit ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dark Crimes

92 menit
Dewasa
Alexandros Avranas
Jeremy Brock (screenplay), David Grann (artikel)
John Cheng, David Gerson, Simon Horsman, Brett Ratner, Jeffrey Soros
Michal Englert
Richard Patrick, Tobias Enhus

Boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey. Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

“Perception is reality.”
— Kozlov
Rating UP:
Kita lebih mengenal Jim Carrey sebagai komedian, tapi dalam sekali-dua kali kesempatan, ia adalah aktor serius. Bukan baru-baru ini saja ia mencoba hal tersebut. Kita pernah melihatnya dalam The Truman Show dan Eternal Sunshine for the Spotless Mind. Namun agaknya anda akan syok menyaksikannya dalam Dark Crimes. Perannya sangat pahit dan suram. Iya, bahkan melebihi saat ia di film The Number 23. Berjenggot tebal dengan kepala nyaris botak, Carrey bermain sebagai seorang detektif yang minim ngomong dan serius setengah mati.


Namun bukan itu saja alasan anda akan dibuat syok. Sebelum dimulai, film sudah dibuka dengan bagian credit yang menampilkan potongan adegan vulgar dan brutal. Wanita-wanita telanjang diarak merangkak dengan memakai tali pengekang anjing. Di lain kesempatan, mereka digantung ke langit-langit sementara tangan mereka diikat. Di sekeliling mereka, ada belasan oom-oom berjas dengan tampang sange. Ada apa ini? Semua penuh misteri. Sialan, pikir saya, boleh jadi saya akan mendapatkan salah satu film terbaik Carrey.

Lalu saya dibuat syok akan betapa nihilistik, pahit, dan sok rumitnya film ini.

Carrey bermain sebagai Tadek, detektif Polandia yang memancarkan aura depresif dan kesepian. Jabatannya baru saja diturunkan ke bagian administrasi gara-gara membuat masalah di penyidikan sebelumnya. Karena sebentar lagi pensiun, Tadek disarankan oleh teman-temannya untuk anteng-anteng saja dengan pekerjaan barunya. Namun ia merasa perlu untuk menyelesaikan sebuah kasus pelik yang sudah dibungkus oleh kepolisian Polandia karena minimnya alat bukti. Kasus tersebut adalah pembunuhan seorang pria paruh baya yang menjadi langganan sebuah klub misterius bernama "The Cage".

Dan klub ini adalah klub laknat yang aktivitasnya kita lihat di awal film.

Tadek yakin ia baru saja mendapatkan tersangkanya, yaitu seorang novelis bernama Kozlov (Marton Csokas). Alasannya, novel terbaru karya Kozlov bercerita tentang sebuah kasus pembunuhan yang anehnya sangat mirip dengan kasus yang tengah diselidiki Tadek. Deskripsi pembunuhan fiktif di novel Kozlov berisi detail dari kasus tersebut yang hanya diketahui oleh polisi (dan tentu saja pelaku). Ketika ditanya oleh wartawan apakah beberapa kesadisan dalam novel tersebut terinspirasi dari kisah nyata, Kozlov malah menjawab dengan provokatif, "Mungkin iya, mungkin tidak."

Namun orang tak bisa ditangkap begitu saja gara-gara tulisannya, apalagi kalau cuma fiksi. Cerita ini terdengar seperti cerita yang hanya masuk akal terjadi dalam novel atau film. Yang lebih membuat syok, cerita ini benar-benar terjadi di dunia nyata. Pada tahun 2007, seorang novelis Polandia bernama Kryztian Bala ditahan atas tuduhan pembunuhan berencana. Bala ditangkap oleh detektif Jacek Wroblewski yang mendapat petunjuk dari novel yang ditulis Bala. Novel ini menggunakan sudut pandang pertama, dimana karakter "Aku"-nya yang bernama Chris adalah seorang sadis yang suka mengumbar kata-kata jorok dan tak respek sama sekali dengan orang lain. Mengejutkan bagaimana Kryztian yang disebut teman-temannya sebagai orang yang kalem malah menulis novel sebrutal itu. Memang seperti pameo klasik: truth is stranger than fiction.

Kasus ini dirangkum secara komprehensif oleh David Grann, wartawan The New Yorker yang artikelnya "The Lost City of Z" juga telah difilmkan. Artikel berjudul "True Crime: A Postmodern Murder Mystery" tersebut bergaya cerpen, ditulis secara investigatif dengan berisi berbagai detil yang membuat kita serasa terlibat dalam proses penyelidikan. Ini jauuuuuh lebih menarik dan lebih sinematis daripada filmnya sendiri; bahkan punya stinger di bagian akhir (anda bisa membacanya disini). Seolah kisah nyatanya belum cukup menggigit, Jeremy Brock memberi banyak tambahan di skripnya sehingga lebih pelik sampai melewati batas kelogisan, bahkan untuk ukuran film. Motif karakter menjadi tak jelas, seolah hanya bertindak sebagai pembuat syok. Tadek suka memutar versi suara dari novel Kozlov (yang ngomong-ngomong berisi sadisme dan kata-kata jorok) saat makan bersama istrinya. Yah dengan melihat ini sih, wajar kalau rumah tangga Tadek bermasalah.

Ada momen dimana nanti Tadek harus keluar dari jalur otoritasnya hingga melakukan beberapa tindakan yang bisa dibilang kriminal untuk membuktikan bahwa Kozlov bersalah. Kunjungannya terhadap pacar Kozlov, Kasia (Charlotte Gainsbourg) malah berakhir dalam sebuah scene yang begitu absurd, saya tak percaya baru saja menyaksikannya. Bagian ini membunuh standar moral apa pun yang terdapat pada semua karakternya, sehingga anda menyadari betapa rendah visi yang disajikan oleh pembuatnya.

Film ini digarap dengan baik. Sutradara Alexandros Avranas tahu cara menyuguhkan atmosfer yang pas untuk materi ceritanya. Jim Carrey juga sepertinya berkomitmen sekali dengan perannya. Sedari awal, ia sudah tampil dengan begitu baik, kita tak perlu meragukan apakah ia sudah merangkul betul perannya sebagai detektif yang depresif tapi juga obsesif; bahkan saat berbicara bahasa Inggris dengan aksen Polandia yang aneh tak terasa mendistraksi. Keduanya cuma perlu materi yang lebih baik. Dan tak sepahit ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Dark Crimes

92 menit
Dewasa
Alexandros Avranas
Jeremy Brock (screenplay), David Grann (artikel)
John Cheng, David Gerson, Simon Horsman, Brett Ratner, Jeffrey Soros
Michal Englert
Richard Patrick, Tobias Enhus

Monday, May 14, 2018

Review Film: 'Terminal' (2018)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Terminal' (2018)
link : Review Film: 'Terminal' (2018)

Baca juga


Kriminal

Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

“…to survive it, you need to be mad as a hatter. Which luckily, I am.”
— Annie
Rating UP:
Usai menonton Terminal saya lega. Lega karena ternyata film superstylish yang gaje ini akhirnya punya benang merah juga. Hampir sepanjang durasi saya mengkhawatirkan mau dibawa kemana film ini, waswas kalau-kalau baru saja menghabiskan waktu selama satu setengah jam lebih untuk hal yang faedahnya setara dengan menonton reality show Karma tapi ga seasyik itu untuk dibawa ketawa. Namun, semua terbayar juga di akhir lewat beberapa twist konyol yang sensasional.


Bukan berarti saya ingin bilang bahwa filmnya memuaskan. Memuaskan adalah sesuatu yang tak ada dalam kamus Terminal. Faktanya, film ini tak menawarkan sedikit pun emosi atau bahkan cerita. Tak ada karakter, mereka hanyalah karikatur. Tak ada plot, kita cuma bertugas menyambungkan titik-titik belaka. Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

Jadi begitulah. Film dibuka dengan Margot Robbie yang berdandan menor yang sedang membuat pengakuan dosa kepada seorang "pendeta" sembari memantik rokok. Kita akan melihat Robbie lagi, sekarang sebagai pramusaji di sebuah restoran suram di daerah stasiun yang jauh lebih suram daripada minimarket manapun dalam The Walking Dead. Kalau dilihat-lihat, agaknya tak ada manusia lain disini selain beberapa karakter yang akan kita dan Robbie temui nanti.

Yang pertama adalah Bill (Simon Pegg), seorang guru yang tinggal menunggu ajal gara-gara sakit parah. Ia punya tendensi untuk bunuh diri; sempat ingin meloncat ke jalur kereta tapi tukang bersih-bersih bilang bahwa stasiun sudah tutup dan takkan ada kereta lagi malam itu. Ia lalu mampir di restoran Robbie. Ia memesan kopi, tapi karakter Robbie lebih suka menyemangatinya, bahkan memberi beberapa tips untuk bunuh diri. Tak serius sih karena gaya ngobrolnya main-main. Eh atau jangan-jangan serius?

Berikutnya adalah duo pembunuh bayaran, Vincent (Dexter Fletcher) dan asistennya, Alfred (Max Irons). Mereka sedang menunggu tugas berikutnya dari klien sembari saling membuat gusar satu sama lain: Alfred gusar karena mulut Vincent yang nyinyir, Vincent gusar terhadap pembawaan Alfred yang dungu, dan kita gusar melihat kenyinyiran dan kedunguan keduanya. Banter keduanya ini disajikan tanpa gaya atau dialog yang bermutu. Yang penting berisik.

Yang memberi mereka misi adalah Mr Franklin, figur kriminal yang misterius tapi punya reputasi mentereng. Mereka disuruh untuk menunggu di hotel selama berhari-hari sampai orang yang harus ditembak kepalanya muncul di hotel seberang jalan. Namun sebelum itu, keduanya istirahat sejenak di restoran karakter Robbie.

Dan semua peristiwa ini sepertinya disaksikan oleh seseorang yang misterius di ruang kontrol CCTV.

Tak perlu mencoba untuk mencerna hubungan antara semua narasi ini, karena semuanya berjalan secara terpisah. Entah yang mana yang duluan, tapi itu tak penting sih. Yang menjadi benang merahnya adalah karakter Robbie, yang ternyata ada hubungannya dengan Mr Franklin dan... tukang bersih-bersih! Yang terakhir bukan tukang bersih-bersih biasa, karena ia diperankan oleh ... wait for it... jangan kaget... Mike Myers! Hiatus lama dari dunia perfilman, sayang sekali sang Austin Powers kembali untuk film seperti ini.

Untuk Robbie sendiri, ia mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dalam perannya sebagai pramusaji seksi, perawat seksi, sampai... penari striptis. Itu alasan yang lebih dari cukup untuk menampilkan mimik wajah menggoda dan melontarkan komen yang "menjurus". Cukup mengejutkan bagaimana semua orang tak menyadari bahwa wanita yang seseksi, semenggoda, sepercaya-diri, dan secerdik ini ternyata tak seperti yang diduga. Maksud saya, adjektiva setelah kombinasi sifat-sifat di atas tentu saja "mematikan" bukan?

Film ini ditulis dan digarap oleh sutradara debutan Vaugh Stein dengan menggunakan estetika ala novel grafis, mirip-miriplah seperti yang diterapkan pada Sin City. Filmnya memberikan nuansa yang teatrikal karena sebagian besar memang disyuting di area soundstage. Warna-warna dari lampu dan papan iklan neon, yang mungkin mayoritas dibuat dengan efek komputer, menyerang mata kita. Karakter kita bercakap-cakap dengan pembawaan dan materi dialog ala novel grafis yang kontemplatif. Semua tampak menyilaukan di permukaan, tapi film sama sekali tak punya apa-apa untuk mengikat kita. Hanya ketika film ini menuju akhir, saat ceritanya mulai mengambil bentuk yang jelas, perhatian saya mulai bangun.

Berapa lama kita bisa tahan mendengar dialog pretensius dalam sebuah film yang nonsens? Jawabannya: tak lama. Berapa lama film ini? Jawabannya: 90 menit. Atau dengan kata lain: sudah jauh melebihi batas "tak lama". ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Terminal

90 menit
Dewasa
Vaughn Stein
Vaughn Stein
David Barron, Molly Hassell, Arianne Fraser, Margot Robbie, Tom Ackerley, Josey McNamara, Sophia Kerr, Teun Hilte
Christopher Ross
Anthony Clarke, Rupert Gregson-Williams

Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

“…to survive it, you need to be mad as a hatter. Which luckily, I am.”
— Annie
Rating UP:
Usai menonton Terminal saya lega. Lega karena ternyata film superstylish yang gaje ini akhirnya punya benang merah juga. Hampir sepanjang durasi saya mengkhawatirkan mau dibawa kemana film ini, waswas kalau-kalau baru saja menghabiskan waktu selama satu setengah jam lebih untuk hal yang faedahnya setara dengan menonton reality show Karma tapi ga seasyik itu untuk dibawa ketawa. Namun, semua terbayar juga di akhir lewat beberapa twist konyol yang sensasional.


Bukan berarti saya ingin bilang bahwa filmnya memuaskan. Memuaskan adalah sesuatu yang tak ada dalam kamus Terminal. Faktanya, film ini tak menawarkan sedikit pun emosi atau bahkan cerita. Tak ada karakter, mereka hanyalah karikatur. Tak ada plot, kita cuma bertugas menyambungkan titik-titik belaka. Film ini adalah parade gaya dengan isi yang kosong.

Jadi begitulah. Film dibuka dengan Margot Robbie yang berdandan menor yang sedang membuat pengakuan dosa kepada seorang "pendeta" sembari memantik rokok. Kita akan melihat Robbie lagi, sekarang sebagai pramusaji di sebuah restoran suram di daerah stasiun yang jauh lebih suram daripada minimarket manapun dalam The Walking Dead. Kalau dilihat-lihat, agaknya tak ada manusia lain disini selain beberapa karakter yang akan kita dan Robbie temui nanti.

Yang pertama adalah Bill (Simon Pegg), seorang guru yang tinggal menunggu ajal gara-gara sakit parah. Ia punya tendensi untuk bunuh diri; sempat ingin meloncat ke jalur kereta tapi tukang bersih-bersih bilang bahwa stasiun sudah tutup dan takkan ada kereta lagi malam itu. Ia lalu mampir di restoran Robbie. Ia memesan kopi, tapi karakter Robbie lebih suka menyemangatinya, bahkan memberi beberapa tips untuk bunuh diri. Tak serius sih karena gaya ngobrolnya main-main. Eh atau jangan-jangan serius?

Berikutnya adalah duo pembunuh bayaran, Vincent (Dexter Fletcher) dan asistennya, Alfred (Max Irons). Mereka sedang menunggu tugas berikutnya dari klien sembari saling membuat gusar satu sama lain: Alfred gusar karena mulut Vincent yang nyinyir, Vincent gusar terhadap pembawaan Alfred yang dungu, dan kita gusar melihat kenyinyiran dan kedunguan keduanya. Banter keduanya ini disajikan tanpa gaya atau dialog yang bermutu. Yang penting berisik.

Yang memberi mereka misi adalah Mr Franklin, figur kriminal yang misterius tapi punya reputasi mentereng. Mereka disuruh untuk menunggu di hotel selama berhari-hari sampai orang yang harus ditembak kepalanya muncul di hotel seberang jalan. Namun sebelum itu, keduanya istirahat sejenak di restoran karakter Robbie.

Dan semua peristiwa ini sepertinya disaksikan oleh seseorang yang misterius di ruang kontrol CCTV.

Tak perlu mencoba untuk mencerna hubungan antara semua narasi ini, karena semuanya berjalan secara terpisah. Entah yang mana yang duluan, tapi itu tak penting sih. Yang menjadi benang merahnya adalah karakter Robbie, yang ternyata ada hubungannya dengan Mr Franklin dan... tukang bersih-bersih! Yang terakhir bukan tukang bersih-bersih biasa, karena ia diperankan oleh ... wait for it... jangan kaget... Mike Myers! Hiatus lama dari dunia perfilman, sayang sekali sang Austin Powers kembali untuk film seperti ini.

Untuk Robbie sendiri, ia mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dalam perannya sebagai pramusaji seksi, perawat seksi, sampai... penari striptis. Itu alasan yang lebih dari cukup untuk menampilkan mimik wajah menggoda dan melontarkan komen yang "menjurus". Cukup mengejutkan bagaimana semua orang tak menyadari bahwa wanita yang seseksi, semenggoda, sepercaya-diri, dan secerdik ini ternyata tak seperti yang diduga. Maksud saya, adjektiva setelah kombinasi sifat-sifat di atas tentu saja "mematikan" bukan?

Film ini ditulis dan digarap oleh sutradara debutan Vaugh Stein dengan menggunakan estetika ala novel grafis, mirip-miriplah seperti yang diterapkan pada Sin City. Filmnya memberikan nuansa yang teatrikal karena sebagian besar memang disyuting di area soundstage. Warna-warna dari lampu dan papan iklan neon, yang mungkin mayoritas dibuat dengan efek komputer, menyerang mata kita. Karakter kita bercakap-cakap dengan pembawaan dan materi dialog ala novel grafis yang kontemplatif. Semua tampak menyilaukan di permukaan, tapi film sama sekali tak punya apa-apa untuk mengikat kita. Hanya ketika film ini menuju akhir, saat ceritanya mulai mengambil bentuk yang jelas, perhatian saya mulai bangun.

Berapa lama kita bisa tahan mendengar dialog pretensius dalam sebuah film yang nonsens? Jawabannya: tak lama. Berapa lama film ini? Jawabannya: 90 menit. Atau dengan kata lain: sudah jauh melebihi batas "tak lama". ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Terminal

90 menit
Dewasa
Vaughn Stein
Vaughn Stein
David Barron, Molly Hassell, Arianne Fraser, Margot Robbie, Tom Ackerley, Josey McNamara, Sophia Kerr, Teun Hilte
Christopher Ross
Anthony Clarke, Rupert Gregson-Williams

Tuesday, September 26, 2017

Review Film: 'Wind River' (2017)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Wind River' (2017)
link : Review Film: 'Wind River' (2017)

Baca juga


Kriminal

Taylor Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa.

“Luck don't live out here.”
— Cory Lambert
Rating UP:
Bagian awal Wind River sepertinya mengingatkan kita pada Fargo-nya Coen Brothers. Mengambil lokasi di daerah persaljuan yang terpencil, adegan pembuka menyatakan dengan jelas bahwa ini akan menjadi film kriminal. Kesamaan juga saya lihat dari klaimnya: “inspired by true events”. Meski begitu, jika Coen menggunakan klaim “this is a true story”-nya untuk menggoda kita karena kita tahu bahwa mereka baru saja melebaikan drama manusiawi menjadi komedi, maka untuk Wind River kita perlu lebih awas. Cermati penambahan tanda jamak “s” di belakang kata “event”. Ini bukan kisah nyata, tapi kisahnya memang banyak terjadi di dunia nyata. Sang sutradara, Taylor Sheridan mengaku bahwa pernyataan tersebut merupakan referensi terhadap “ribuan kasus serupa” yang melibatkan kekerasan seksual pada wanita. Ya. Sheridan seserius itu. Wind River adalah film serius. Serius setengah mati. Tak ada ruang untuk bercanda.


Ini adalah naskah ketiga Sheridan sekaligus debutnya menyutradarai film yang ditulisnya sendiri. Saya ingin tahu apa nama yang akan diberikan Sheridan pada trilogi tematis yang juga berisi Sicario dan Hell or High Water ini. Trilogi Western Nihilistik, kalau boleh usul. Tapi besar kemungkinan akan bersilangan dengan film adaptasi novel Cormac McCarthy. Trilogi Keadilan Amerika, mungkin lebih cocok. Ketiga film tersebut berlangsung di Amerika yang jauh dari keadilan, sehingga para karakter yang terlibat di dalamnya harus mencari sendiri keadilan mereka.

Wind River merupakan nama sebuah reservasi suku Indian yang terletak di daerah persaljuan di Wyoming. Namun ini adalah tempat yang sama dengan perbatasan Amerika/Meksiko-nya Sicario atau gurun Texas-nya Hell or High Water; ketiganya sama-sama tempat yang jauh, sepi, asing, dan relatif berbahaya. Di tempat ini, petugas yang berwenang tak bisa berbuat banyak. Sheridan cakap sekali dalam membangun sense of place yang mantap. Mendengar Wind River kita langsung mengasosiasikannya dengan salju. Dibantu dengan sinematografi dari Ben Richardson, pemandangannya imersif, sampai kita bisa merasakan betapa menyengat dinginnya salju. Cantik di mata tapi mematikan.

Oleh karenanya, ini bukan tempat yang ramah bagi seorang gadis dengan pakaian tipis dan tanpa alas kaki untuk berlarian di tengah malam. Ia berlari mati-matian seperti menghindari sesuatu yang sangat mengerikan. Apapun itu, pasti berbahaya karena memaksanya terus berlari sampai udara dingin merusak paru-paru lalu membuatnya tewas.

Beberapa hari kemudian, almarhumah ditemukan oleh Cory Lambert (Jeremy Renner), seorang petugas hutan yang dimintai warga untuk memburu singa gunung yang memakan ternak. Kita pertama kali mengenal Cory saat berkamuflase dengan jas hujan putih lalu menembakkan senapannya dengan akurat pada serigala yang tengah mengincar domba. Dor! Simbolisme. Kita tahu ia sudah begitu dekat dengan pribumi (mantan istrinya seorang Indian), kenal betul dengan setiap jengkal Wind River, dan seseorang yang bisa diandalkan.

Cory kenal dengan almarhumah. Namanya Natalie (Kelsey Asbille), gadis Indian teman karib anaknya, Emily yang tiga tahun lalu meninggal dengan penyebab yang hampir sama. Visum mengungkap bahwa sebelum tewas, Natalie mengalami perkosaan. Disini Sheridan menyentil protokol dan birokrasi yang ribet. Karena TKP-nya tanah reservasi Indian, maka kasus ini menjadi kriminal federal, kewenangan FBI, yang kemudian hanya mengutus satu agennya saja. Forensik setempat tak bisa menuliskan perkosaan sebagai penyebab kematian, karena Natalie secara teknis meninggal gara-gara cuaca dingin. Jika begitu, maka kasus akan kembali dilimpahkan ke kepolisian lokal yang anggotanya tak lebih banyak daripada anggota Power Rangers.

Tentu saja, agen FBI tadi, Jane Banner (Elizabeth Olsen) jadi pusing. Jane boleh jadi punya kapabilitas mumpuni, tapi ia tak siap dengan situasi di Wind River. Saat datang saja, ia memakai blus yang modis dan sepatu hak tinggi. “Dia akan koit dalam lima menit,” kata Cory. Penyelidikan adalah tanggung jawab Jane, tapi ia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan dari kepala polisi lokal, Ben (Graham Greene) dan terutama Cory yang dengan kalem bilang berkali-kali bahwa ia adalah “sang pemburu”. Iya, iya Cory, kami sudah tahu.

Sama seperti saya yang menjabarkan set-up tadi dengan panjang lebar dan perlahan-lahan, Sheridan juga menyajikan filmnya tanpa terburu-buru. Plot Wind River sebenarnya sangat sederhana, tapi Sheridan menceritakannya dengan tenang, tahap demi tahap sehingga kita bisa mendapatkan cengkeraman yang kuat akan lokasi dan karakternya. Tak banyak adegan yang berorientasi aksi, tapi filmnya menjaga perhatian kita dengan pembangunan plot yang pelan-tapi-pasti, sampai kemudian meledak di sekuens yang melibatkan adu tembak dan tembakan sniper yang gahar. Ini memuaskan karena kita sudah begitu larut dengan filmnya.

Filmnya merupakan thriller yang berbasis pada karakter, bahkan desa Wind River menjadi karakter tersendiri. Lokasi mengijinkannya menyentil isu sensitif soal diskriminasi pribumi. Ini adalah tempat yang sangat spesifik, tapi situasi sosialnya terasa universal. Karakter Jane, yang adalah seorang wanita, juga bukan sekadar pemanis layar apalagi penyedia romantisme/seks bagi Cory. Ia punya fungsi yang kuat untuk memberi penonton perspektif akan bagaimana memandang kasus yang melibatkan pembunuhan seorang wanita tersebut. Olsen mendapat peran yang mirip dengan Emily Blunt dalam Sicario: wanita tangguh yang terjebak di dunia yang keras yang belum siap ia hadapi.

Renner memberikan penampilan yang menarik. Karakternya tak menunjukkan banyak ekspresi, tapi kita bisa merasakan banyak emosi yang dibawanya. “Perburuan” ini menjadi personal bagi Cory karena ia punya motif yang lebih dalam. Ia tahu bahwa anak gadisnya yang tewas dengan misterius tetap takkan terselesaikan, namun mungkin saja resolusi kasus Natalie akan memberikannya semacam penebusan. Mungkin tidak baginya, karena ia mengaku sadar bahwa hidup harus terus berlanjut apapun yang terjadi, tapi setidaknya buat ayah Natalie (Gil Birmingham). Birmingham punya dua adegan minimalis yang sangat kuat.

Ceritanya boleh jadi merupakan yang paling blak-blakan secara naratif di antara trilogi Sheridan, karena kita disuguhkan dengan monolog dan dialog puitis yang banyak untuk menangkap subteks dan apa yang karakternya rasakan. Bagian ending terkesan dipanjangkan, mungkin Sheridan merasa bahwa film belum terselesaikan dengan sempurna. Namun ada sesuatu yang mengagumkan dari caranya bercerita. Setiap sorotan gambar, setiap perkembangan plot, setiap interaksi karakter, semua terkendali. Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Wind River

111 menit
Dewasa
Taylor Sheridan
Taylor Sheridan
Matthew George, Basil Iwanyk, Peter Berg, Wayne L. Rogers
Ben Richardson
Nick Cave, Warren Ellis

Taylor Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa.

“Luck don't live out here.”
— Cory Lambert
Rating UP:
Bagian awal Wind River sepertinya mengingatkan kita pada Fargo-nya Coen Brothers. Mengambil lokasi di daerah persaljuan yang terpencil, adegan pembuka menyatakan dengan jelas bahwa ini akan menjadi film kriminal. Kesamaan juga saya lihat dari klaimnya: “inspired by true events”. Meski begitu, jika Coen menggunakan klaim “this is a true story”-nya untuk menggoda kita karena kita tahu bahwa mereka baru saja melebaikan drama manusiawi menjadi komedi, maka untuk Wind River kita perlu lebih awas. Cermati penambahan tanda jamak “s” di belakang kata “event”. Ini bukan kisah nyata, tapi kisahnya memang banyak terjadi di dunia nyata. Sang sutradara, Taylor Sheridan mengaku bahwa pernyataan tersebut merupakan referensi terhadap “ribuan kasus serupa” yang melibatkan kekerasan seksual pada wanita. Ya. Sheridan seserius itu. Wind River adalah film serius. Serius setengah mati. Tak ada ruang untuk bercanda.


Ini adalah naskah ketiga Sheridan sekaligus debutnya menyutradarai film yang ditulisnya sendiri. Saya ingin tahu apa nama yang akan diberikan Sheridan pada trilogi tematis yang juga berisi Sicario dan Hell or High Water ini. Trilogi Western Nihilistik, kalau boleh usul. Tapi besar kemungkinan akan bersilangan dengan film adaptasi novel Cormac McCarthy. Trilogi Keadilan Amerika, mungkin lebih cocok. Ketiga film tersebut berlangsung di Amerika yang jauh dari keadilan, sehingga para karakter yang terlibat di dalamnya harus mencari sendiri keadilan mereka.

Wind River merupakan nama sebuah reservasi suku Indian yang terletak di daerah persaljuan di Wyoming. Namun ini adalah tempat yang sama dengan perbatasan Amerika/Meksiko-nya Sicario atau gurun Texas-nya Hell or High Water; ketiganya sama-sama tempat yang jauh, sepi, asing, dan relatif berbahaya. Di tempat ini, petugas yang berwenang tak bisa berbuat banyak. Sheridan cakap sekali dalam membangun sense of place yang mantap. Mendengar Wind River kita langsung mengasosiasikannya dengan salju. Dibantu dengan sinematografi dari Ben Richardson, pemandangannya imersif, sampai kita bisa merasakan betapa menyengat dinginnya salju. Cantik di mata tapi mematikan.

Oleh karenanya, ini bukan tempat yang ramah bagi seorang gadis dengan pakaian tipis dan tanpa alas kaki untuk berlarian di tengah malam. Ia berlari mati-matian seperti menghindari sesuatu yang sangat mengerikan. Apapun itu, pasti berbahaya karena memaksanya terus berlari sampai udara dingin merusak paru-paru lalu membuatnya tewas.

Beberapa hari kemudian, almarhumah ditemukan oleh Cory Lambert (Jeremy Renner), seorang petugas hutan yang dimintai warga untuk memburu singa gunung yang memakan ternak. Kita pertama kali mengenal Cory saat berkamuflase dengan jas hujan putih lalu menembakkan senapannya dengan akurat pada serigala yang tengah mengincar domba. Dor! Simbolisme. Kita tahu ia sudah begitu dekat dengan pribumi (mantan istrinya seorang Indian), kenal betul dengan setiap jengkal Wind River, dan seseorang yang bisa diandalkan.

Cory kenal dengan almarhumah. Namanya Natalie (Kelsey Asbille), gadis Indian teman karib anaknya, Emily yang tiga tahun lalu meninggal dengan penyebab yang hampir sama. Visum mengungkap bahwa sebelum tewas, Natalie mengalami perkosaan. Disini Sheridan menyentil protokol dan birokrasi yang ribet. Karena TKP-nya tanah reservasi Indian, maka kasus ini menjadi kriminal federal, kewenangan FBI, yang kemudian hanya mengutus satu agennya saja. Forensik setempat tak bisa menuliskan perkosaan sebagai penyebab kematian, karena Natalie secara teknis meninggal gara-gara cuaca dingin. Jika begitu, maka kasus akan kembali dilimpahkan ke kepolisian lokal yang anggotanya tak lebih banyak daripada anggota Power Rangers.

Tentu saja, agen FBI tadi, Jane Banner (Elizabeth Olsen) jadi pusing. Jane boleh jadi punya kapabilitas mumpuni, tapi ia tak siap dengan situasi di Wind River. Saat datang saja, ia memakai blus yang modis dan sepatu hak tinggi. “Dia akan koit dalam lima menit,” kata Cory. Penyelidikan adalah tanggung jawab Jane, tapi ia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan dari kepala polisi lokal, Ben (Graham Greene) dan terutama Cory yang dengan kalem bilang berkali-kali bahwa ia adalah “sang pemburu”. Iya, iya Cory, kami sudah tahu.

Sama seperti saya yang menjabarkan set-up tadi dengan panjang lebar dan perlahan-lahan, Sheridan juga menyajikan filmnya tanpa terburu-buru. Plot Wind River sebenarnya sangat sederhana, tapi Sheridan menceritakannya dengan tenang, tahap demi tahap sehingga kita bisa mendapatkan cengkeraman yang kuat akan lokasi dan karakternya. Tak banyak adegan yang berorientasi aksi, tapi filmnya menjaga perhatian kita dengan pembangunan plot yang pelan-tapi-pasti, sampai kemudian meledak di sekuens yang melibatkan adu tembak dan tembakan sniper yang gahar. Ini memuaskan karena kita sudah begitu larut dengan filmnya.

Filmnya merupakan thriller yang berbasis pada karakter, bahkan desa Wind River menjadi karakter tersendiri. Lokasi mengijinkannya menyentil isu sensitif soal diskriminasi pribumi. Ini adalah tempat yang sangat spesifik, tapi situasi sosialnya terasa universal. Karakter Jane, yang adalah seorang wanita, juga bukan sekadar pemanis layar apalagi penyedia romantisme/seks bagi Cory. Ia punya fungsi yang kuat untuk memberi penonton perspektif akan bagaimana memandang kasus yang melibatkan pembunuhan seorang wanita tersebut. Olsen mendapat peran yang mirip dengan Emily Blunt dalam Sicario: wanita tangguh yang terjebak di dunia yang keras yang belum siap ia hadapi.

Renner memberikan penampilan yang menarik. Karakternya tak menunjukkan banyak ekspresi, tapi kita bisa merasakan banyak emosi yang dibawanya. “Perburuan” ini menjadi personal bagi Cory karena ia punya motif yang lebih dalam. Ia tahu bahwa anak gadisnya yang tewas dengan misterius tetap takkan terselesaikan, namun mungkin saja resolusi kasus Natalie akan memberikannya semacam penebusan. Mungkin tidak baginya, karena ia mengaku sadar bahwa hidup harus terus berlanjut apapun yang terjadi, tapi setidaknya buat ayah Natalie (Gil Birmingham). Birmingham punya dua adegan minimalis yang sangat kuat.

Ceritanya boleh jadi merupakan yang paling blak-blakan secara naratif di antara trilogi Sheridan, karena kita disuguhkan dengan monolog dan dialog puitis yang banyak untuk menangkap subteks dan apa yang karakternya rasakan. Bagian ending terkesan dipanjangkan, mungkin Sheridan merasa bahwa film belum terselesaikan dengan sempurna. Namun ada sesuatu yang mengagumkan dari caranya bercerita. Setiap sorotan gambar, setiap perkembangan plot, setiap interaksi karakter, semua terkendali. Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Wind River

111 menit
Dewasa
Taylor Sheridan
Taylor Sheridan
Matthew George, Basil Iwanyk, Peter Berg, Wayne L. Rogers
Ben Richardson
Nick Cave, Warren Ellis

Friday, September 15, 2017

Review Film: 'Extortion' (2017)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Extortion' (2017)
link : Review Film: 'Extortion' (2017)

Baca juga


Kriminal

Kalau saja film ini berhenti di menit ke enam puluh, ia akan menjadi film yang jauh lebih baik.

“How much is your family life worth?”
— Miguel Kaba
Rating UP:
Extortion bisa menjadi film thriller kelas B yang sangat menegangkan dan efektif, namun mengapung terlalu jauh dari premis sederhananya untuk menjadi film lain yang lebih rumit. Film ini keluar dari jalur beberapa kali menuju arah yang tak kita duga, tapi juga tak kita harapkan, in a bad way. Melewati setengah durasi, ia menjadi film yang semakin buruk setiap menit berjalan selagi karakter kita melakukan hal-hal yang semakin bodoh, not in a fun way.


Sayang sekali mengingat idenya yang memang tak baru, tapi cukup mantap. Extortion mengeksploitasi salah satu ketakutan dasar kita, yaitu terdampar di suatu tempat yang tak punya akomodasi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan tanpa ada peluang untuk selamat. Ada semacam kengerian saat terjebak di tempat asing yang sama sekali tak kita kenal. Karakter utama kita adalah keluarga kecil Amerika yang terdampar di sebuah pulau di Karibia. Jika sebelumnya kita mendapatkan film Cage Dive yang diklaim sebagai film ketiga Open Water, maka sesungguhnya Extortion lebih layak menyandang prediket tersebut.

Paruh pertama film ini memberi dampak psikis khusus pada saya, dan mungkin sebagian besar anda juga. Saya otomatis menempatkan diri di tempat tokoh utama, karena skenario yang terjadi padanya sangat mungkin terjadi di kehidupan nyata. Sudah cukup menakutkan untuk terjebak sendirian di pulau tak berpenghuni, tapi jauh lebih mengerikan saat keluarga ikut terbawa, dengan anak yang masih bocah pula. Ada banyak hal yang bisa dilakukan bagi diri sendiri untuk bertahan hidup, namun bagaimana dengan istri dan anak? Insting tanggung jawab sebagai kepala keluarga ini menciptakan kemarahan dan keputusasaan dalam kondisi demikian.

Kevin Riley (Eion Bailey) adalah seorang dokter sukses yang berencana mengajak istrinya, Julie (Bethany Joy Lenz) dan anaknya yang masih berusia 6 tahun, Andy (Mauricio Alemany) liburan ke Karibia. Dokter memang pintar, tapi bukan berarti tahu semua hal; ia tak bisa memperbaiki mesin pemotong rumput. Siapa sangka ini menjadi fakta yang cukup penting nantinya. Kevin bermaksud untuk menyenangkan keduanya dengan menyewa fasilitas paling mewah disana sampai rela menggelontorkan duit lebih. “Semua hal di Karibia bisa dinegosiasikan dengan uang,” nasihat salah satu tetangganya sebelum berangkat. Jadi saat ia tak bisa mendapatkan jetski dari hotel, ia menyewa boat langsung ke warga lokal.

Kevin membawa Julie dan Andy berkeliling laut di sekitar Karibia, lalu bermain sejenak di pulau kecil tak berpenghuni. Namun saat akan pulang, mesinnya boat tak bisa hidup. Siang berganti malam, ia masih tak bisa mengusahakan apapun. Dahaga tak tertahankan lagi karena pulau tersebut ternyata tak punya sumber mata air tawar. Tak ada kapal yang melintas di sekitar mereka, kalaupun ada terlalu jauh untuk bisa melihat mereka. Beberapa hari kemudian bantuan datang.

Saya tak akan terlalu mengungkap apa yang terjadi disini. Yang jelas, bantuannya tak seperti yang mereka harapkan. Meski begitu, ada beberapa poin plot yang lumayan spoiler tapi harus saya beberkan agar anda bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi., yaitu: (1) tokoh utama kita harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan istri dan anaknya; serta (2) ada nelayan yang harus melakukan hal yang sangat sangat buruk demi menghidupi istri dan anaknya.

That’s a movie you got there. Plotnya sudah cukup untuk sebuah film. Namun sutradara Phil Volken yang juga menulis skrip memberikan kelokan peristiwa yang begitu aneh dan saking tak masuk akalnya sampai anda geleng-geleng kepala karena tak percaya. Kasus Kevin menarik perhatian publik hingga Kedutaan Besar Amerika. Polisi yang dipimpin oleh Danny Glover sudah turun tangan, tapi Kevin ingin menanganinya sendiri. Nah, coba anda perhatikan ini. Kevin yang notabene adalah dokter biasa, berhasil melacak nama nelayan yang dimaksud, tahu bahwa ia pengungsi dari Haiti, alamat rumahnya, hingga nomor kapal yang digunakan, terlepas dari fakta bahwa Karibia terdiri dari banyak kepulauan dan berisi (mungkin) ratusan nelayan.

Kevin melakukan hal yang sangat patut dipertanyakan kelogisannya . Memang dalam keadaan stres orang bisa melakukan hal-hal sinting, tapi setidaknya masih punya akal sehat untuk menyadari bahwa apa yang akan ia lakukan itu malahan membuat nyawa keluarganya semakin dalam bahaya. Ia serampangan, dan masih saja kaget saat semua berakhir keliru. Tapi siapa saya berhak nge-judge; bukan keluarga saya yang dalam bahaya. Meski demikian, Bailey memberikan akting yang dibutuhkan karakternya. Barkhad Abdi kembali menunjukkan penampilan sebagai karakter pendukung yang kuat setelah perannya dalam Captain Phillips.

Ending filmnya juga berjalan 15 menit terlalu panjang. Sesuatu terjadi, dan kemudian sesuatu yang lain terjadi pula. Saat saya mengira filmnya sudah akan berakhir, ternyata ia masih punya kelokan tak penting yang seolah harus dijelaskan. Kalau saja film ini berhenti di menit ke enam puluh, ia akan menjadi film yang jauh lebih baik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Extortion

109 menit
Remaja - BO
Phil Volken
Phil Volken
Phil Volken, Alina Shraybman
Gad Emile Zeitune

Kalau saja film ini berhenti di menit ke enam puluh, ia akan menjadi film yang jauh lebih baik.

“How much is your family life worth?”
— Miguel Kaba
Rating UP:
Extortion bisa menjadi film thriller kelas B yang sangat menegangkan dan efektif, namun mengapung terlalu jauh dari premis sederhananya untuk menjadi film lain yang lebih rumit. Film ini keluar dari jalur beberapa kali menuju arah yang tak kita duga, tapi juga tak kita harapkan, in a bad way. Melewati setengah durasi, ia menjadi film yang semakin buruk setiap menit berjalan selagi karakter kita melakukan hal-hal yang semakin bodoh, not in a fun way.


Sayang sekali mengingat idenya yang memang tak baru, tapi cukup mantap. Extortion mengeksploitasi salah satu ketakutan dasar kita, yaitu terdampar di suatu tempat yang tak punya akomodasi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup dan tanpa ada peluang untuk selamat. Ada semacam kengerian saat terjebak di tempat asing yang sama sekali tak kita kenal. Karakter utama kita adalah keluarga kecil Amerika yang terdampar di sebuah pulau di Karibia. Jika sebelumnya kita mendapatkan film Cage Dive yang diklaim sebagai film ketiga Open Water, maka sesungguhnya Extortion lebih layak menyandang prediket tersebut.

Paruh pertama film ini memberi dampak psikis khusus pada saya, dan mungkin sebagian besar anda juga. Saya otomatis menempatkan diri di tempat tokoh utama, karena skenario yang terjadi padanya sangat mungkin terjadi di kehidupan nyata. Sudah cukup menakutkan untuk terjebak sendirian di pulau tak berpenghuni, tapi jauh lebih mengerikan saat keluarga ikut terbawa, dengan anak yang masih bocah pula. Ada banyak hal yang bisa dilakukan bagi diri sendiri untuk bertahan hidup, namun bagaimana dengan istri dan anak? Insting tanggung jawab sebagai kepala keluarga ini menciptakan kemarahan dan keputusasaan dalam kondisi demikian.

Kevin Riley (Eion Bailey) adalah seorang dokter sukses yang berencana mengajak istrinya, Julie (Bethany Joy Lenz) dan anaknya yang masih berusia 6 tahun, Andy (Mauricio Alemany) liburan ke Karibia. Dokter memang pintar, tapi bukan berarti tahu semua hal; ia tak bisa memperbaiki mesin pemotong rumput. Siapa sangka ini menjadi fakta yang cukup penting nantinya. Kevin bermaksud untuk menyenangkan keduanya dengan menyewa fasilitas paling mewah disana sampai rela menggelontorkan duit lebih. “Semua hal di Karibia bisa dinegosiasikan dengan uang,” nasihat salah satu tetangganya sebelum berangkat. Jadi saat ia tak bisa mendapatkan jetski dari hotel, ia menyewa boat langsung ke warga lokal.

Kevin membawa Julie dan Andy berkeliling laut di sekitar Karibia, lalu bermain sejenak di pulau kecil tak berpenghuni. Namun saat akan pulang, mesinnya boat tak bisa hidup. Siang berganti malam, ia masih tak bisa mengusahakan apapun. Dahaga tak tertahankan lagi karena pulau tersebut ternyata tak punya sumber mata air tawar. Tak ada kapal yang melintas di sekitar mereka, kalaupun ada terlalu jauh untuk bisa melihat mereka. Beberapa hari kemudian bantuan datang.

Saya tak akan terlalu mengungkap apa yang terjadi disini. Yang jelas, bantuannya tak seperti yang mereka harapkan. Meski begitu, ada beberapa poin plot yang lumayan spoiler tapi harus saya beberkan agar anda bisa menangkap apa yang sebenarnya terjadi., yaitu: (1) tokoh utama kita harus berpacu dengan waktu untuk menyelamatkan istri dan anaknya; serta (2) ada nelayan yang harus melakukan hal yang sangat sangat buruk demi menghidupi istri dan anaknya.

That’s a movie you got there. Plotnya sudah cukup untuk sebuah film. Namun sutradara Phil Volken yang juga menulis skrip memberikan kelokan peristiwa yang begitu aneh dan saking tak masuk akalnya sampai anda geleng-geleng kepala karena tak percaya. Kasus Kevin menarik perhatian publik hingga Kedutaan Besar Amerika. Polisi yang dipimpin oleh Danny Glover sudah turun tangan, tapi Kevin ingin menanganinya sendiri. Nah, coba anda perhatikan ini. Kevin yang notabene adalah dokter biasa, berhasil melacak nama nelayan yang dimaksud, tahu bahwa ia pengungsi dari Haiti, alamat rumahnya, hingga nomor kapal yang digunakan, terlepas dari fakta bahwa Karibia terdiri dari banyak kepulauan dan berisi (mungkin) ratusan nelayan.

Kevin melakukan hal yang sangat patut dipertanyakan kelogisannya . Memang dalam keadaan stres orang bisa melakukan hal-hal sinting, tapi setidaknya masih punya akal sehat untuk menyadari bahwa apa yang akan ia lakukan itu malahan membuat nyawa keluarganya semakin dalam bahaya. Ia serampangan, dan masih saja kaget saat semua berakhir keliru. Tapi siapa saya berhak nge-judge; bukan keluarga saya yang dalam bahaya. Meski demikian, Bailey memberikan akting yang dibutuhkan karakternya. Barkhad Abdi kembali menunjukkan penampilan sebagai karakter pendukung yang kuat setelah perannya dalam Captain Phillips.

Ending filmnya juga berjalan 15 menit terlalu panjang. Sesuatu terjadi, dan kemudian sesuatu yang lain terjadi pula. Saat saya mengira filmnya sudah akan berakhir, ternyata ia masih punya kelokan tak penting yang seolah harus dijelaskan. Kalau saja film ini berhenti di menit ke enam puluh, ia akan menjadi film yang jauh lebih baik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Extortion

109 menit
Remaja - BO
Phil Volken
Phil Volken
Phil Volken, Alina Shraybman
Gad Emile Zeitune

Tuesday, August 29, 2017

Review Film: 'Baby Driver' (2017)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Musikal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Baby Driver' (2017)
link : Review Film: 'Baby Driver' (2017)

Baca juga


Kriminal

Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.

“You and I are a team.”
— Baby
Rating UP:
Memang tertunda 2 bulan dari Amerika, namun akhirnya kita mendapatkan film paling asyik dan paling enerjik tahun ini di layar lebar. Kita ke bioskop seringkali karena hanya ingin dibuat tertawa, bersorak-sorai, berdebar-debar, atau seru-seruan bareng. Baby Driver adalah film seperti itu. Filmnya penuh energi dan gaya. Menonton film ini seperti mendengar lagu rock favorit bersama kerumunan yang satu selera. Atau lagu pop, elektro, dangdut, atau lagu apapun. Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.


Saya kira analogi saya tak begitu keliru. Penulis/sutradara Edgar Wright menggabungkan film aksi kejar-kejaran mobil yang menegangkan dengan album kompilasi lagu yang diseleksi dengan telaten. Namun Baby Driver bukan sekadar film aksi dengan trek lagu keren, alih-alih kebalikannya. Biasanya, sutradara memilih trek lagu berdasarkan adegan, namun saya yakin Wright merancang adegannya setelah mendengar lagu terlebih dahulu. Lagu lah yang membangun film. Setiap sekuensnya dieksekusi dengan timing yang presisi, sinkron antara pergerakan di layar dengan ritme lagu. Filmnya melesat hebat dengan panduan dari tembang-tembang pilihan, yang juga menegaskan momen dari setiap adegan.

Tokoh utama kita adalah Baby (Ansel Elgort) yang harus selalu memakai earphone karena punya gangguan pendengaran. Well, sebenarnya ini alasan saja bagi Wright untuk menyelipkan puluhan lagu ke dalam filmnya secara natural. Gara-gara kecelakaan semasa kecil, Baby menderita tinnitus. Berkat musik, suara dengingan di telinganya berkurang, dan untuk itu, Baby punya banyak iPod sesuai dengan mood-nya. Ia pendiam, namun saat berada di belakang setir, Baby sekelas dengan Ryan Gosling dalam Drive. Ia memacu mobil dengan cantik, lolos dari kejaran polisi, atau menghindari blokade paku dengan manuver mulus yang tak perlu sampai meledakkan separuh populasi jalan raya.

Sekuens pertama semacam versi extended dari video klip “Blue Song”-nya Mint Royale yang disutradarai oleh Wright sendiri pada tahun 2003. Baby sedang menunggu sembari mendengar “Bellbottoms”-nya Jon Spencer Blues Explosion. Tiga perampok bank lalu masuk ke dalam mobilnya, dan tepat saat interlude lagu, Baby membesarkan volume, menginjak pedal gas, dan mempersembahkan kejar-kejaran mobil yang stylish, penuh adrenalin dan mungkin salah satu yang terbaik yang pernah saya tonton.

Mereka bagi-bagi hasil rampokan di sebuah gudang. Ada Griff (Jon Bernthal), Buddy (Jon Hamm), dan pacar Buddy, Darling (Eiza Gonzalez). Yang mengatur semuanya adalah seorang bos kriminal berjuluk Doc (Kevin Spacey). Baby sebenarnya tak seperti orang-orang ini, namun ia berhutang banyak pada Doc, dan ini adalah satu-satunya cara untuk melunasi. Doc selalu merekrut orang yang berbeda untuk setiap perampokannya, namun Baby menjadi kru reguler karena sedemikian mahir menyetir. Oh, dan Baby adalah jimat keberuntungan bagi Doc.

Tinggal satu misi lagi dan hutang Baby lunas, kata Doc. Namun tak ada yang namanya one last job dalam semesta film kriminal. Bahkan pekerjaan kali ini bakal lebih berat gara-gara kru baru yang sinting, Bats (Jamie Foxx). Alasan Baby untuk keluar dari dunia kriminal semakin kuat saat ia berjumpa dengan pramusaji cantik bernama Deborah (Lily James) yang juga punya selera musik yang bagus.

Bagian selanjutnya berisi dengan tembak-tembakan, kejar-kejaran mobil, sampai kejar-kejaran dengan kaki yang diiringi dengan lagu “Harlem Shuffle”-nya Bob & Earl, “Let’s Go Away for a While”-nya The Beach Boys, “Debra”-nya Beck, “Easy”-nya The Commodores, “Nowhere to Run”-nya Martha Reeves a& the Vandellas, “Hocus Pocus”-nya Focus, “Brighton Rock”-nya Queen, dan tentu saja “Baby Driver” milik Simon & Garfunkel. Tak semuanya saya tahu dan sebagian besar infonya saya dapatkan dari IMDb, namun percayalah, semuanya keren dan sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi di layar. Di satu adegan tembak-tembakan, suara letupan pistol seirama dengan suara drum solo dari “Tequilla”-nya Button Down Brass. Konyol tapi keren.

Wright adalah sutradara yang brilian dan Baby Driver adalah satu lagi parade keterampilannya dalam pop nerd filmmaking. Dalam Scott Pilgrim vs. The World, ia membuat inovasi visual yang mendefinisikan hibrid antara video game dengan sinema. Hot Fuzz yang merupakan film Wright favorit saya (maafkan saya), adalah plesetan buddy cop dengan komedi menyengat tapi tetap punya aura misteri yang mencekat sepanjang film. Untuk Baby Driver, Wright menciptakan film aksi-musikal yang menyentuh tiga elemen yang kita cari dalam sebuah film —romansa, komedi, thriller— dan ketiganya sukses sampai di tujuan dengan mulus dan penuh gaya. Wright bilang bahwa pengadegannya sebagian besar dilakukan di depan kamera, tanpa CGI, demi memberikan kejar-kejaran mobil yang sudah lama tak kita lihat dalam film aksi kekinian. Bagian klimaks yang melibatkan banyak tabrakan mobil menyajikan ketegangan maksimal dengan stake yang riil. Ancaman yang dirasakan Baby tak main-main.

Intensitas ini juga berhasil dibangun oleh Wright berkat karakterisasi yang simpel tapi sangat efektif. Semua karakter pendukung bisa dibilang misterius sehingga menyuguhkan sesuatu yang tak kita duga. Ada ketidakpastian karena sedikit percikan saja bisa menimbulkan kekacauan bagi semua. Foxx tampil luar biasa sebagai maniak sinis yang tampaknya suka membuat masalah dengan siapapun. Doc ternyata bukan sekadar bos berdarah dingin seperti yang kita lihat di awal. Sementara Hamm berjalan dari latar belakang dengan elegan tapi menyimpan sesuatu yang membuat bergidik. Di satu bagian, kita penasaran bagaimana gaya berpacaran sehari-hari antara Buddy dan Darling.

Tak ada momen yang begitu berbobot, tapi Baby Driver sangat asyik sekali sebagai hiburan ringan. Di linimasa Twitter, saya sempat melihat komentar salah satu kritikus internasional yang bilang bahwa Baby-nya Elgort adalah karakter yang tumpul. Namun saya yakin anda takkan kepikiran hal itu saat menonton, setelah menonton bahkan. Saya misalnya, hanya ingin segera pulang, menghantam pedal gas, dan kebut-kebutan di jalan raya diiringi lagu rock favorit yang menggelegar.

Setelah dipikir-pikir, mungkin tidak jadi. Saya belum punya SIM A. Mobil juga belum punya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Baby Driver

113 menit
Remaja - BO
Edgar Wright
Edgar Wright
Nira Park, Tim Bevan, Eric Fellner
Bill Pope
Steven Price

Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.

“You and I are a team.”
— Baby
Rating UP:
Memang tertunda 2 bulan dari Amerika, namun akhirnya kita mendapatkan film paling asyik dan paling enerjik tahun ini di layar lebar. Kita ke bioskop seringkali karena hanya ingin dibuat tertawa, bersorak-sorai, berdebar-debar, atau seru-seruan bareng. Baby Driver adalah film seperti itu. Filmnya penuh energi dan gaya. Menonton film ini seperti mendengar lagu rock favorit bersama kerumunan yang satu selera. Atau lagu pop, elektro, dangdut, atau lagu apapun. Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.


Saya kira analogi saya tak begitu keliru. Penulis/sutradara Edgar Wright menggabungkan film aksi kejar-kejaran mobil yang menegangkan dengan album kompilasi lagu yang diseleksi dengan telaten. Namun Baby Driver bukan sekadar film aksi dengan trek lagu keren, alih-alih kebalikannya. Biasanya, sutradara memilih trek lagu berdasarkan adegan, namun saya yakin Wright merancang adegannya setelah mendengar lagu terlebih dahulu. Lagu lah yang membangun film. Setiap sekuensnya dieksekusi dengan timing yang presisi, sinkron antara pergerakan di layar dengan ritme lagu. Filmnya melesat hebat dengan panduan dari tembang-tembang pilihan, yang juga menegaskan momen dari setiap adegan.

Tokoh utama kita adalah Baby (Ansel Elgort) yang harus selalu memakai earphone karena punya gangguan pendengaran. Well, sebenarnya ini alasan saja bagi Wright untuk menyelipkan puluhan lagu ke dalam filmnya secara natural. Gara-gara kecelakaan semasa kecil, Baby menderita tinnitus. Berkat musik, suara dengingan di telinganya berkurang, dan untuk itu, Baby punya banyak iPod sesuai dengan mood-nya. Ia pendiam, namun saat berada di belakang setir, Baby sekelas dengan Ryan Gosling dalam Drive. Ia memacu mobil dengan cantik, lolos dari kejaran polisi, atau menghindari blokade paku dengan manuver mulus yang tak perlu sampai meledakkan separuh populasi jalan raya.

Sekuens pertama semacam versi extended dari video klip “Blue Song”-nya Mint Royale yang disutradarai oleh Wright sendiri pada tahun 2003. Baby sedang menunggu sembari mendengar “Bellbottoms”-nya Jon Spencer Blues Explosion. Tiga perampok bank lalu masuk ke dalam mobilnya, dan tepat saat interlude lagu, Baby membesarkan volume, menginjak pedal gas, dan mempersembahkan kejar-kejaran mobil yang stylish, penuh adrenalin dan mungkin salah satu yang terbaik yang pernah saya tonton.

Mereka bagi-bagi hasil rampokan di sebuah gudang. Ada Griff (Jon Bernthal), Buddy (Jon Hamm), dan pacar Buddy, Darling (Eiza Gonzalez). Yang mengatur semuanya adalah seorang bos kriminal berjuluk Doc (Kevin Spacey). Baby sebenarnya tak seperti orang-orang ini, namun ia berhutang banyak pada Doc, dan ini adalah satu-satunya cara untuk melunasi. Doc selalu merekrut orang yang berbeda untuk setiap perampokannya, namun Baby menjadi kru reguler karena sedemikian mahir menyetir. Oh, dan Baby adalah jimat keberuntungan bagi Doc.

Tinggal satu misi lagi dan hutang Baby lunas, kata Doc. Namun tak ada yang namanya one last job dalam semesta film kriminal. Bahkan pekerjaan kali ini bakal lebih berat gara-gara kru baru yang sinting, Bats (Jamie Foxx). Alasan Baby untuk keluar dari dunia kriminal semakin kuat saat ia berjumpa dengan pramusaji cantik bernama Deborah (Lily James) yang juga punya selera musik yang bagus.

Bagian selanjutnya berisi dengan tembak-tembakan, kejar-kejaran mobil, sampai kejar-kejaran dengan kaki yang diiringi dengan lagu “Harlem Shuffle”-nya Bob & Earl, “Let’s Go Away for a While”-nya The Beach Boys, “Debra”-nya Beck, “Easy”-nya The Commodores, “Nowhere to Run”-nya Martha Reeves a& the Vandellas, “Hocus Pocus”-nya Focus, “Brighton Rock”-nya Queen, dan tentu saja “Baby Driver” milik Simon & Garfunkel. Tak semuanya saya tahu dan sebagian besar infonya saya dapatkan dari IMDb, namun percayalah, semuanya keren dan sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi di layar. Di satu adegan tembak-tembakan, suara letupan pistol seirama dengan suara drum solo dari “Tequilla”-nya Button Down Brass. Konyol tapi keren.

Wright adalah sutradara yang brilian dan Baby Driver adalah satu lagi parade keterampilannya dalam pop nerd filmmaking. Dalam Scott Pilgrim vs. The World, ia membuat inovasi visual yang mendefinisikan hibrid antara video game dengan sinema. Hot Fuzz yang merupakan film Wright favorit saya (maafkan saya), adalah plesetan buddy cop dengan komedi menyengat tapi tetap punya aura misteri yang mencekat sepanjang film. Untuk Baby Driver, Wright menciptakan film aksi-musikal yang menyentuh tiga elemen yang kita cari dalam sebuah film —romansa, komedi, thriller— dan ketiganya sukses sampai di tujuan dengan mulus dan penuh gaya. Wright bilang bahwa pengadegannya sebagian besar dilakukan di depan kamera, tanpa CGI, demi memberikan kejar-kejaran mobil yang sudah lama tak kita lihat dalam film aksi kekinian. Bagian klimaks yang melibatkan banyak tabrakan mobil menyajikan ketegangan maksimal dengan stake yang riil. Ancaman yang dirasakan Baby tak main-main.

Intensitas ini juga berhasil dibangun oleh Wright berkat karakterisasi yang simpel tapi sangat efektif. Semua karakter pendukung bisa dibilang misterius sehingga menyuguhkan sesuatu yang tak kita duga. Ada ketidakpastian karena sedikit percikan saja bisa menimbulkan kekacauan bagi semua. Foxx tampil luar biasa sebagai maniak sinis yang tampaknya suka membuat masalah dengan siapapun. Doc ternyata bukan sekadar bos berdarah dingin seperti yang kita lihat di awal. Sementara Hamm berjalan dari latar belakang dengan elegan tapi menyimpan sesuatu yang membuat bergidik. Di satu bagian, kita penasaran bagaimana gaya berpacaran sehari-hari antara Buddy dan Darling.

Tak ada momen yang begitu berbobot, tapi Baby Driver sangat asyik sekali sebagai hiburan ringan. Di linimasa Twitter, saya sempat melihat komentar salah satu kritikus internasional yang bilang bahwa Baby-nya Elgort adalah karakter yang tumpul. Namun saya yakin anda takkan kepikiran hal itu saat menonton, setelah menonton bahkan. Saya misalnya, hanya ingin segera pulang, menghantam pedal gas, dan kebut-kebutan di jalan raya diiringi lagu rock favorit yang menggelegar.

Setelah dipikir-pikir, mungkin tidak jadi. Saya belum punya SIM A. Mobil juga belum punya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Baby Driver

113 menit
Remaja - BO
Edgar Wright
Edgar Wright
Nira Park, Tim Bevan, Eric Fellner
Bill Pope
Steven Price

Thursday, August 24, 2017

Review Film: 'Bad Genius' (2017)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Bad Genius' (2017)
link : Review Film: 'Bad Genius' (2017)

Baca juga


Kriminal

Film ini seru dan sangat menegangkan.

“If you don't cheat,life will cheat on you. ”
— Lynn
Rating UP:
Bad Genius mengkonfirmasi kepercayaan kita semasa sekolah bahwa menyontek merupakan sebuah thriller. Film ini menyajikan aksi contek-menyontek seolah seperti film heist. Siapa bilang menyontek itu tak menyangkut hidup-mati? Film ini tak berlebihan. Guru-guru mungkin tidak tahu bahwa bagi kita menyontek itu adalah sebuah misi yang mendebarkan. Mungkin tahu tapi sudah lupa. Atau pura-pura tidak tahu.


Film ini seru dan sangat menegangkan. Mungkin karena ia diangkat dari kisah nyata. Para siswa menyusun dan mengeksekusi rencana yang cerdik agar bisa lulus ujian adalah bahasan yang sudah lumrah. Saya berani bilang bahwa cerita semacam ini adalah pengalaman kita semua, termasuk say... maksud saya, teman-teman saya. Film ini secara khusus terinspirasi dari skandal internasional yang terjadi saat ujian SAT (Scholastic Assessment Tests).

Film dimulai dengan adegan interogasi dari siswa yang sepertinya sedang dicurigai melakukan kecurangan. Siswa pertama adalah Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying). Ia berasal dari keluarga miskin. Ayahnya, yang baru saja bercerai, hanya seorang guru biasa. Namun Lynn berhasil masuk ke sekolah elit di Bangkok, lalu ngeles dengan sedemikian lihai hingga sukses mendapat beasiswa penuh.

Lynn kemudian baru tahu kalau ternyata siswa sekolah elit tak harus pintar semua. Kebanyakan dari mereka hanyalah anak orang kaya. Salah satunya adalah Grace (Eisaya Hosuwan) yang menjadi teman pertama Lynn, dan mungkin satu-satunya. Masalahnya, Grace tak begitu cemerlang di bidang akademis tapi ia butuh nilai yang cukup agar diperbolehkan ikut kelas akting. Jadi, Lynn bersedia membantunya saat ujian.

Hal ini segera menjadi peluang bisnis setelah pacar Grace yang juga sama lemotnya, Pat (Teeradon Supapunpinyo) menawarkan bayaran untuk jasa Lynn. Lynn sebenarnya bukan siswa yang culas. Namun melihat bagaimana mudahnya anak-anak orang kaya bisa bersekolah elit, sedikit tersentuh untuk membantu temannya, dan mempertimbangkan keuangan keluarganya yang angot-angotan, Lynn meyakinkan dirinya bahwa ini demi kebaikan bersama.

Namanya sekolah, gosip menyebar secepat arisan ibu-ibu komplek. Semakin banyak siswa yang rela membayar demi mendapatkan jawaban. Tentu saja bakal ketauan. Ingat kalau dulu kita juga punya teman yang suka ngadu? Rival Lynn, Bank (Canon Santinatornkul) melakukannya. Namun Lynn tak hanya bisa dengan cepat beradaptasi, ia juga berhasil melebarkan bisnisnya tersebut ke skala internasional.

Saya kira film ini akan menginspirasi teknik-teknik baru dalam menyontek. Mulai dari menggunakan penghapus dan sepatu sebagaimana yang dilakukan Lynn saat pertama kali, mengetukkan jari tangan, sampai memalsukan sakit perut dan memakai barcode di pensil. Semua ini sangat kreatif dan sebagian besar tak pernah saya lihat sebelumnya. Tapi siswa sekolah selalu merupakan pribadi yang bermotivasi tinggi. Saya yakin mereka mampu merancang teknik yang lebih dahsyat daripada yang dipakai di dalam film.

Karena menyontek di dunia nyata tak bisa disebut sebagai heist sungguhan, mengagumkan bagaimana sutradara Nattawut Poonpiya sukses dalam menjaga fimnya tetap menegangkan. Ia merancang setiap aksi menyontek ini layaknya sekuens dalam film heist atau semacamnya. Sinematografi dan editing dipakai sedemikian rupa untuk mengeskalasi ketegangan. Bagian puncak, ketika Lynn dkk berusaha mencurangi ujian STIC (SAT fiktif versi film) adalah ketegangan hqq karena ini melibatkan ujian skala internasional yang tentu saja punya tingkat keamanan yang tinggi sehingga butuh teknik yang lebih pelik dan timing yang lebih ketat.

Anda tahu, inilah yang bermasalah dengan pendidikan masa kini. Film ini juga menjadi kritik sosial terhadap budaya ujian dan sistem pendidikan. Kita kadung memberi standar akademis yang terbatas hanya pada nilai. Nilai bagus berarti siswa yang pintar. Padahal tidak selalu. Belum lagi korupsi dari institusi pendidikan itu sendiri yang mencederai kesempatan bagi sebagian orang untuk memperoleh pendidikan yang sepadan. Menjelang akhir, film ini sedikit menyentil ranah yang lebih gelap, dimana kita melihat salah satu karakternya terbawa korup. Namun film ditutup dengan ending yang positif, mungkin demi memberi pesan moral.

Ini membuat Bad Genius tak terkesan menglorifikasi contek-menyontek, meskipun cara filmnya mempresentasikan sekuens contek-menyontek menjadikannya terlihat keren. Ingat adik-adik, menyontek ini tidak boleh.... kalau sampai ketahuan. Eh, maaf. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Bad Genius

93 menit
Remaja - BO
Nattawut Poonpiriya
Nattawut Poonpiriya, Tanida Hantaweewatana, Vasudhorn Piyaromna
Scott Rudin, Eli Bush, Evelyn O'Neil
Hualampong Riddim

Film ini seru dan sangat menegangkan.

“If you don't cheat,life will cheat on you. ”
— Lynn
Rating UP:
Bad Genius mengkonfirmasi kepercayaan kita semasa sekolah bahwa menyontek merupakan sebuah thriller. Film ini menyajikan aksi contek-menyontek seolah seperti film heist. Siapa bilang menyontek itu tak menyangkut hidup-mati? Film ini tak berlebihan. Guru-guru mungkin tidak tahu bahwa bagi kita menyontek itu adalah sebuah misi yang mendebarkan. Mungkin tahu tapi sudah lupa. Atau pura-pura tidak tahu.


Film ini seru dan sangat menegangkan. Mungkin karena ia diangkat dari kisah nyata. Para siswa menyusun dan mengeksekusi rencana yang cerdik agar bisa lulus ujian adalah bahasan yang sudah lumrah. Saya berani bilang bahwa cerita semacam ini adalah pengalaman kita semua, termasuk say... maksud saya, teman-teman saya. Film ini secara khusus terinspirasi dari skandal internasional yang terjadi saat ujian SAT (Scholastic Assessment Tests).

Film dimulai dengan adegan interogasi dari siswa yang sepertinya sedang dicurigai melakukan kecurangan. Siswa pertama adalah Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying). Ia berasal dari keluarga miskin. Ayahnya, yang baru saja bercerai, hanya seorang guru biasa. Namun Lynn berhasil masuk ke sekolah elit di Bangkok, lalu ngeles dengan sedemikian lihai hingga sukses mendapat beasiswa penuh.

Lynn kemudian baru tahu kalau ternyata siswa sekolah elit tak harus pintar semua. Kebanyakan dari mereka hanyalah anak orang kaya. Salah satunya adalah Grace (Eisaya Hosuwan) yang menjadi teman pertama Lynn, dan mungkin satu-satunya. Masalahnya, Grace tak begitu cemerlang di bidang akademis tapi ia butuh nilai yang cukup agar diperbolehkan ikut kelas akting. Jadi, Lynn bersedia membantunya saat ujian.

Hal ini segera menjadi peluang bisnis setelah pacar Grace yang juga sama lemotnya, Pat (Teeradon Supapunpinyo) menawarkan bayaran untuk jasa Lynn. Lynn sebenarnya bukan siswa yang culas. Namun melihat bagaimana mudahnya anak-anak orang kaya bisa bersekolah elit, sedikit tersentuh untuk membantu temannya, dan mempertimbangkan keuangan keluarganya yang angot-angotan, Lynn meyakinkan dirinya bahwa ini demi kebaikan bersama.

Namanya sekolah, gosip menyebar secepat arisan ibu-ibu komplek. Semakin banyak siswa yang rela membayar demi mendapatkan jawaban. Tentu saja bakal ketauan. Ingat kalau dulu kita juga punya teman yang suka ngadu? Rival Lynn, Bank (Canon Santinatornkul) melakukannya. Namun Lynn tak hanya bisa dengan cepat beradaptasi, ia juga berhasil melebarkan bisnisnya tersebut ke skala internasional.

Saya kira film ini akan menginspirasi teknik-teknik baru dalam menyontek. Mulai dari menggunakan penghapus dan sepatu sebagaimana yang dilakukan Lynn saat pertama kali, mengetukkan jari tangan, sampai memalsukan sakit perut dan memakai barcode di pensil. Semua ini sangat kreatif dan sebagian besar tak pernah saya lihat sebelumnya. Tapi siswa sekolah selalu merupakan pribadi yang bermotivasi tinggi. Saya yakin mereka mampu merancang teknik yang lebih dahsyat daripada yang dipakai di dalam film.

Karena menyontek di dunia nyata tak bisa disebut sebagai heist sungguhan, mengagumkan bagaimana sutradara Nattawut Poonpiya sukses dalam menjaga fimnya tetap menegangkan. Ia merancang setiap aksi menyontek ini layaknya sekuens dalam film heist atau semacamnya. Sinematografi dan editing dipakai sedemikian rupa untuk mengeskalasi ketegangan. Bagian puncak, ketika Lynn dkk berusaha mencurangi ujian STIC (SAT fiktif versi film) adalah ketegangan hqq karena ini melibatkan ujian skala internasional yang tentu saja punya tingkat keamanan yang tinggi sehingga butuh teknik yang lebih pelik dan timing yang lebih ketat.

Anda tahu, inilah yang bermasalah dengan pendidikan masa kini. Film ini juga menjadi kritik sosial terhadap budaya ujian dan sistem pendidikan. Kita kadung memberi standar akademis yang terbatas hanya pada nilai. Nilai bagus berarti siswa yang pintar. Padahal tidak selalu. Belum lagi korupsi dari institusi pendidikan itu sendiri yang mencederai kesempatan bagi sebagian orang untuk memperoleh pendidikan yang sepadan. Menjelang akhir, film ini sedikit menyentil ranah yang lebih gelap, dimana kita melihat salah satu karakternya terbawa korup. Namun film ditutup dengan ending yang positif, mungkin demi memberi pesan moral.

Ini membuat Bad Genius tak terkesan menglorifikasi contek-menyontek, meskipun cara filmnya mempresentasikan sekuens contek-menyontek menjadikannya terlihat keren. Ingat adik-adik, menyontek ini tidak boleh.... kalau sampai ketahuan. Eh, maaf. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Bad Genius

93 menit
Remaja - BO
Nattawut Poonpiriya
Nattawut Poonpiriya, Tanida Hantaweewatana, Vasudhorn Piyaromna
Scott Rudin, Eli Bush, Evelyn O'Neil
Hualampong Riddim

Wednesday, September 16, 2015

Review Film: 'The Transporter Refueled' (2015)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Transporter Refueled' (2015)
link : Review Film: 'The Transporter Refueled' (2015)

Baca juga


Kriminal

Jason Statham memang tak tergantikan, namun ada cukup sekuens aksi dan "pemanis" yang membuat 'The Transporter Refueled' menjadi film kelas B yang lumayan bisa dinikmati.

“Kidding isn't really my thing.”
— Frank Martin
Sulit membayangkan film The Transporter tanpa Jason Statham. Citranya begitu melekat dalam franchise tersebut, dan secara tak sadar, di beberapa momen saya merefleksikan image Statham di dalam The Transporter Refueled, sebuah reboot yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali franchise-nya, meski tak lagi dibintangi oleh pemain ikoniknya. Nekat ya?

Adalah Ed Skrein, yang menjadi pengganti Statham untuk memerankan Frank Martin. Walaupun memang tak punya karisma yang setara, setidaknya Skrein terlihat cocok saat beradu jotos dan berada di belakang kemudi memacu Audi-nya keliling Eropa.

Masih sama seperti pendahulunya, Frank adalah pengemudi handal alias sang transporter yang mempunyai skill tinggi — tak hanya dalam mengemudi, tentu saja — yang bisa dan mau mengantarkan paket apa saja. Dalam melaksanakan tugas, Frank punya 3 peraturan ketat: tak ada perubahan setelah deal dibuat, tak boleh menyebutkan nama, dan tak boleh memberitahu isi paket yang dikirim. Yah, meski Frank menyebutkan peraturan ini dengan gamblang di bagian awal, namun toh di pertengahan film, Frank seperti melupakan kode etiknya sendiri. Tak bisa disalahkan juga sebenarnya, karena kali ini, misi Frank lebih personal.


Frank awalnya tengah menghabiskan waktu bersama sang ayah, Martin Sr. (Ray Stevenson) saat dia disewa oleh seorang wanita bernama Anna (Loan Chabanol) untuk menjemput "paket" di depan sebuah bank pada jam yang telah ditentukan. Ternyata "paket" tersebut adalah 2 orang wanita, Gina (Gabriella Wright) dan Qiao (Wenxia Yu) yang berdandan persis seperti Anna dengan baju serta rambut palsu yang mirip. Keduanya baru saja merampok akun bank milik Karasov (Radivoje Bukvic), mafia Rusia yang telah memperbudak mereka sebagai pekerja seks komersil selama bertahun-tahun. Peliknya permasalahan ini membuat Frank menolak, namun saat ditunjukkan video bahwa ayahnya tengah disandera oleh seorang lagi rekan Anna, Maria (Tatjana Pajkovic) mau tak mau Frank harus terlibat.

Kerumitan bertambah saat Karasov juga punya hubungan bisnis dengan mafia lain yaitu Imasova (Lenn Kudrjawizki) dan Yuri (Yuri Kolokolnikov). Keempat mantan PSK ini malah bisa memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mereka. Rencana yang mereka buat cukup cerdas namun diceritakan dengan narasi yang terlalu berbelit untuk ukuran film sekaliber ini.

Jika ingin membandingkan, Skrein terlihat lebih parlente dibanding Statham. Menurut saya pribadi, penampilan Skrein terkesan lebih "rapi" daripada Statham yang gahar dan macho. Pun demikian, dalam setiap adegan aksi, Skrein memberikan tonjokan yang tetap meyakinkan. Untuk memberikan sedikit sentuhan humor yang sayangnya tak bisa dibawakan dengan pas oleh Skrein — padahal dia punya beberapa kalimat yang (seharusnya) lucu, untungnya ada Stevenson yang perannya tak hanya sebagai korban — 2 kali, oleh pelaku yang berbeda — namun juga menjadi comic relief.

Setelah Lucy, agak aneh memang saat Luc Besson bersama dengan Bill Collage dan Adam Cooper memberikan naskah yang tak rasional, sedikit berantakan dan berisi kutipan-kutipan one-liner yang konyol. Namun sulit untuk mengejeknya habis-habisan, mengingat beberapa sekuens-nya yang cukup inovatif seperti perkelahian di ruang loker, penggunaan tabung gas medis untuk pembiusan sebuah klub malam, atau penyelamatan dari pesawat yang tengah lepas landas dengan mobil berkecepatan tinggi yang berlanjut pada adegan komikal saat Audi-nya Frank melaju di boarding room bandara. Sutradara Camille Delamarre dengan bantuan sinematografer Christophe Collette mengemasnya dengan sorotan close-up dan cut yang cepat dan terkadang terkesan tak jelas.

Yang menjadi katalis dalam Refueled adalah kasus human trafficking dan prostitusi, dan isunya sempat sedikit diangkat oleh Martin Sr. Namun hal ini tak dijamah terlalu jauh dan sebenarnya cukup kontraproduktif dengan omongan Martin Sr. sendiri karena beberapa saat kemudian dia malah terbangun di kasur bersama 2 wanita kliennya, yang terindikasi sebagai momen pasca-threesome. Saya tak ingin bilang film ini seksis, tapi Refueled sendiri malah mengeksploitasi pemain wanitanya dalam adegan "pemanis" tanpa busana, entah itu adegan panas atau berganti pakaian (yang sangat sering terjadi disini).

Saat layar tak menampilkan ledakan, pertarungan tangan kosong, atau suara decitan ban, kita melihat dua Frank berinteraksi dengan keempat wanita pekerja seks komersil, yang mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan dinamika karakter. Bahkan ada subplot mengenai hubungan asmara Frank yang sayangnya digarap separo matang. Namun di balik gadis seksi dan beberapa selipan iklan produknya, The Transporter Refueled setidaknya berhasil mengantarkan hiburan kelas-B yang lumayan bagi kliennya (baca: penonton). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Transporter Refueled' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara: Camille Delamarre
Penulis: Luc Besson, Bill Collage, Adam Cooper
Pemain: Ed Skrein, Ray Stevenson, Loan Chabanol, Gabriella Wright

Jason Statham memang tak tergantikan, namun ada cukup sekuens aksi dan "pemanis" yang membuat 'The Transporter Refueled' menjadi film kelas B yang lumayan bisa dinikmati.

“Kidding isn't really my thing.”
— Frank Martin
Sulit membayangkan film The Transporter tanpa Jason Statham. Citranya begitu melekat dalam franchise tersebut, dan secara tak sadar, di beberapa momen saya merefleksikan image Statham di dalam The Transporter Refueled, sebuah reboot yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali franchise-nya, meski tak lagi dibintangi oleh pemain ikoniknya. Nekat ya?

Adalah Ed Skrein, yang menjadi pengganti Statham untuk memerankan Frank Martin. Walaupun memang tak punya karisma yang setara, setidaknya Skrein terlihat cocok saat beradu jotos dan berada di belakang kemudi memacu Audi-nya keliling Eropa.

Masih sama seperti pendahulunya, Frank adalah pengemudi handal alias sang transporter yang mempunyai skill tinggi — tak hanya dalam mengemudi, tentu saja — yang bisa dan mau mengantarkan paket apa saja. Dalam melaksanakan tugas, Frank punya 3 peraturan ketat: tak ada perubahan setelah deal dibuat, tak boleh menyebutkan nama, dan tak boleh memberitahu isi paket yang dikirim. Yah, meski Frank menyebutkan peraturan ini dengan gamblang di bagian awal, namun toh di pertengahan film, Frank seperti melupakan kode etiknya sendiri. Tak bisa disalahkan juga sebenarnya, karena kali ini, misi Frank lebih personal.


Frank awalnya tengah menghabiskan waktu bersama sang ayah, Martin Sr. (Ray Stevenson) saat dia disewa oleh seorang wanita bernama Anna (Loan Chabanol) untuk menjemput "paket" di depan sebuah bank pada jam yang telah ditentukan. Ternyata "paket" tersebut adalah 2 orang wanita, Gina (Gabriella Wright) dan Qiao (Wenxia Yu) yang berdandan persis seperti Anna dengan baju serta rambut palsu yang mirip. Keduanya baru saja merampok akun bank milik Karasov (Radivoje Bukvic), mafia Rusia yang telah memperbudak mereka sebagai pekerja seks komersil selama bertahun-tahun. Peliknya permasalahan ini membuat Frank menolak, namun saat ditunjukkan video bahwa ayahnya tengah disandera oleh seorang lagi rekan Anna, Maria (Tatjana Pajkovic) mau tak mau Frank harus terlibat.

Kerumitan bertambah saat Karasov juga punya hubungan bisnis dengan mafia lain yaitu Imasova (Lenn Kudrjawizki) dan Yuri (Yuri Kolokolnikov). Keempat mantan PSK ini malah bisa memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mereka. Rencana yang mereka buat cukup cerdas namun diceritakan dengan narasi yang terlalu berbelit untuk ukuran film sekaliber ini.

Jika ingin membandingkan, Skrein terlihat lebih parlente dibanding Statham. Menurut saya pribadi, penampilan Skrein terkesan lebih "rapi" daripada Statham yang gahar dan macho. Pun demikian, dalam setiap adegan aksi, Skrein memberikan tonjokan yang tetap meyakinkan. Untuk memberikan sedikit sentuhan humor yang sayangnya tak bisa dibawakan dengan pas oleh Skrein — padahal dia punya beberapa kalimat yang (seharusnya) lucu, untungnya ada Stevenson yang perannya tak hanya sebagai korban — 2 kali, oleh pelaku yang berbeda — namun juga menjadi comic relief.

Setelah Lucy, agak aneh memang saat Luc Besson bersama dengan Bill Collage dan Adam Cooper memberikan naskah yang tak rasional, sedikit berantakan dan berisi kutipan-kutipan one-liner yang konyol. Namun sulit untuk mengejeknya habis-habisan, mengingat beberapa sekuens-nya yang cukup inovatif seperti perkelahian di ruang loker, penggunaan tabung gas medis untuk pembiusan sebuah klub malam, atau penyelamatan dari pesawat yang tengah lepas landas dengan mobil berkecepatan tinggi yang berlanjut pada adegan komikal saat Audi-nya Frank melaju di boarding room bandara. Sutradara Camille Delamarre dengan bantuan sinematografer Christophe Collette mengemasnya dengan sorotan close-up dan cut yang cepat dan terkadang terkesan tak jelas.

Yang menjadi katalis dalam Refueled adalah kasus human trafficking dan prostitusi, dan isunya sempat sedikit diangkat oleh Martin Sr. Namun hal ini tak dijamah terlalu jauh dan sebenarnya cukup kontraproduktif dengan omongan Martin Sr. sendiri karena beberapa saat kemudian dia malah terbangun di kasur bersama 2 wanita kliennya, yang terindikasi sebagai momen pasca-threesome. Saya tak ingin bilang film ini seksis, tapi Refueled sendiri malah mengeksploitasi pemain wanitanya dalam adegan "pemanis" tanpa busana, entah itu adegan panas atau berganti pakaian (yang sangat sering terjadi disini).

Saat layar tak menampilkan ledakan, pertarungan tangan kosong, atau suara decitan ban, kita melihat dua Frank berinteraksi dengan keempat wanita pekerja seks komersil, yang mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan dinamika karakter. Bahkan ada subplot mengenai hubungan asmara Frank yang sayangnya digarap separo matang. Namun di balik gadis seksi dan beberapa selipan iklan produknya, The Transporter Refueled setidaknya berhasil mengantarkan hiburan kelas-B yang lumayan bagi kliennya (baca: penonton). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Transporter Refueled' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara: Camille Delamarre
Penulis: Luc Besson, Bill Collage, Adam Cooper
Pemain: Ed Skrein, Ray Stevenson, Loan Chabanol, Gabriella Wright

Friday, August 21, 2015

Review Film: 'Hitman: Agent 47' (2015)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Hitman: Agent 47' (2015)
link : Review Film: 'Hitman: Agent 47' (2015)

Baca juga


Kriminal

Apakah 'Hitman: Agent 47' lebih baik dibanding 'Hitman' versi 2007? Saya tak begitu yakin, namun saya lebih menikmati film ini dibanding film sebelumnya. Apakah film ini bisa memutus kutukan adaptasi film dari game? Ini lain cerita.

“We determine who we are by what we do.”
— Agent 47
Saya tak pernah memainkan game Hitman, jadi saya tak bisa bicara apakah film ini sesuai dengan material sumbernya. Ada yang bilang game-nya sendiri lebih mengenai strategi, dimana untuk "menetralkan" target, sang agen harus bertindak secara diam-diam dengan sumber daya terbatas. Kalau memang begitu, Hitman: Agent 47 tak terliha begitu stealth, namun film ini menyuguhkan jumlah korban cukup banyak yang mungkin setara dengan korban dalam sebuah game tembak-tembakan.

Premis dasarnya, yaah, cukup mendasar. Sebuah organisasi rahasia yang hanya diperkenalkan sebagai Sindikat, menciptakan manusia untuk menjadi mesin pembunuh sempurna yang tak mengenal rasa sakit, empati atau cinta. Ciptaan ini disebut dengan panggilan sederhana: agen. Setiap agen diidentifikasi dengan tato nomor di belakang leher mereka, dimana agen dengan nomor lebih besar punya ketangguhan yang lebih tinggi dibanding nomor yang kecil. Program ini ditutup karena dinilai membahayakan, namun tentu saja masih ada oknum tertentu yang ingin membangkitkannya kembali.

Hal di atas dijelaskan melalui suara narator dan kilasan gambar di awal film. Karakter yang diperkenalkan pertama kali bukanlah Agent 47 (Rupert Friend) melainkan seorang gadis bernama Katia van Dees (Hannah Ware) yang tengah mencari keberadaan ayahnya, Dr.Piotr Litvenko (Ciaran Hinds), mantan peneliti Sindikat yang kabur.


Penulis naskah Skip Woods (yang juga menulis Hitman pertama) dan Michael Hinds menyajikan beberapa twist dari plotnya yang inkoheren dan tak rasional. Salah satu sentuhan yang bagus adalah saat Katia bertemu dengan John Smith (Zachary Quinto), yang katanya akan melindunginya dari buruan Agen 47. Faktanya, Smith memang beberapa kali menyelamatkan nyawa Katia. Namun saat semua motif terungkap, kenyataan tidaklah seperti kelihatannya. Saya rasa ini bukan spoiler karena anda mungkin sudah bisa menduga bahwa Agen 47 lah yang menjadi protagonis disini. Semua ini berakhir pada adegan tembak-tembakan, pertarungan tangan kosong, kejar-kejaran dan (banyak) adegan pembunuhan yang akan membuat anda terkagum-kagum karena baju Agen 47 tak pernah kusut sama sekali. Mungkin dia membawa baju cadangan, tapi entahlah.

Katia awalnya bukan hanya dimaksudkan sebagai eye-candy meski pada akhirnya jatuh pada peran tersebut. Katia sendiri dibekali oleh sang ayah dengan kemampuan dan kecerdasan di atas manusia rata-rata dan ada adegan menarik saat Agen 47 menjadi mentornya. Namun dengan kapabilitas seperti itu, Katia berkali-kali berlindung di balik pundak Agen 47. Agar punya musuh yang setara bagi Agen 47, dihadirkan seorang karakter kuat yang akan mengingatkan anda pada Terminator 2: Judgment Day.

Untuk film seperti ini penonton tak mungkin berharap akan cerita yang realis. Alih-alih kita diajak bergerak dari satu sekuens aksi ke sekuens aksi lain diiringi dengan dialog minimalis yang garing. Kita bisa menyaksikan berbagai macam metode pembunuhan yang efektif (salah satunya melibatkan baling-baling pesawat terbang), meski dengan tensi yang kurang. Ini adalah film tentang kekerasan dan sutradara Aleksander Bach komit dengan visinya untuk menyajikan adegan brutal dengan potongan tubuh yang bertebaran dimana-dimana. Kebanyakan disajikan melalui slow motion.

Agen 47 dan Katia yang bergerak dari Berlin ke Singapura demi menggulingkan Sindikat, mengantarkan kita pada lokasi-lokasi indah seperti hotel berbintang hingga taman mengambang di Singapura (saya lupa namanya) yang bisa saja membuat anda mengira bahwa film ini adalah iklan tourism board.

Rupert Friend menggantikan Timothy Olyphant dari film Hitman versi 2007 yang tak ingin tampil lagi dalam film ini. Dengan kepala botak, ekspresi dingin, dan jas hitam berdasi merah menyala, secara fisik Friend bisa merepresentasikan Agen 47. Skenario menjadikannya sebagai karakter tanpa kepribadian yang sulit untuk kita pedulikan. Tetap saja, dia terlihat keren saat menampilkan sekuen ala The Matrix dengan pistol dobel di tangan.

Apakah film ini lebih baik dibanding Hitman versi 2007? Saya tak begitu yakin, namun saya lebih menikmati film ini dibanding film sebelumnya. Apakah film ini bisa memutus kutukan adaptasi film dari game? Ada maksud untuk menjadikan Hitman sebagai franchise baru, namun ini lain cerita. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Hitman: Agent 47' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Dewasa

Sutradara Aleksander Bach
Penulis Michael Finch, Skip Woods
Pemain Rupert Friend, Hannah Ware, Zachary Quinto

Apakah 'Hitman: Agent 47' lebih baik dibanding 'Hitman' versi 2007? Saya tak begitu yakin, namun saya lebih menikmati film ini dibanding film sebelumnya. Apakah film ini bisa memutus kutukan adaptasi film dari game? Ini lain cerita.

“We determine who we are by what we do.”
— Agent 47
Saya tak pernah memainkan game Hitman, jadi saya tak bisa bicara apakah film ini sesuai dengan material sumbernya. Ada yang bilang game-nya sendiri lebih mengenai strategi, dimana untuk "menetralkan" target, sang agen harus bertindak secara diam-diam dengan sumber daya terbatas. Kalau memang begitu, Hitman: Agent 47 tak terliha begitu stealth, namun film ini menyuguhkan jumlah korban cukup banyak yang mungkin setara dengan korban dalam sebuah game tembak-tembakan.

Premis dasarnya, yaah, cukup mendasar. Sebuah organisasi rahasia yang hanya diperkenalkan sebagai Sindikat, menciptakan manusia untuk menjadi mesin pembunuh sempurna yang tak mengenal rasa sakit, empati atau cinta. Ciptaan ini disebut dengan panggilan sederhana: agen. Setiap agen diidentifikasi dengan tato nomor di belakang leher mereka, dimana agen dengan nomor lebih besar punya ketangguhan yang lebih tinggi dibanding nomor yang kecil. Program ini ditutup karena dinilai membahayakan, namun tentu saja masih ada oknum tertentu yang ingin membangkitkannya kembali.

Hal di atas dijelaskan melalui suara narator dan kilasan gambar di awal film. Karakter yang diperkenalkan pertama kali bukanlah Agent 47 (Rupert Friend) melainkan seorang gadis bernama Katia van Dees (Hannah Ware) yang tengah mencari keberadaan ayahnya, Dr.Piotr Litvenko (Ciaran Hinds), mantan peneliti Sindikat yang kabur.


Penulis naskah Skip Woods (yang juga menulis Hitman pertama) dan Michael Hinds menyajikan beberapa twist dari plotnya yang inkoheren dan tak rasional. Salah satu sentuhan yang bagus adalah saat Katia bertemu dengan John Smith (Zachary Quinto), yang katanya akan melindunginya dari buruan Agen 47. Faktanya, Smith memang beberapa kali menyelamatkan nyawa Katia. Namun saat semua motif terungkap, kenyataan tidaklah seperti kelihatannya. Saya rasa ini bukan spoiler karena anda mungkin sudah bisa menduga bahwa Agen 47 lah yang menjadi protagonis disini. Semua ini berakhir pada adegan tembak-tembakan, pertarungan tangan kosong, kejar-kejaran dan (banyak) adegan pembunuhan yang akan membuat anda terkagum-kagum karena baju Agen 47 tak pernah kusut sama sekali. Mungkin dia membawa baju cadangan, tapi entahlah.

Katia awalnya bukan hanya dimaksudkan sebagai eye-candy meski pada akhirnya jatuh pada peran tersebut. Katia sendiri dibekali oleh sang ayah dengan kemampuan dan kecerdasan di atas manusia rata-rata dan ada adegan menarik saat Agen 47 menjadi mentornya. Namun dengan kapabilitas seperti itu, Katia berkali-kali berlindung di balik pundak Agen 47. Agar punya musuh yang setara bagi Agen 47, dihadirkan seorang karakter kuat yang akan mengingatkan anda pada Terminator 2: Judgment Day.

Untuk film seperti ini penonton tak mungkin berharap akan cerita yang realis. Alih-alih kita diajak bergerak dari satu sekuens aksi ke sekuens aksi lain diiringi dengan dialog minimalis yang garing. Kita bisa menyaksikan berbagai macam metode pembunuhan yang efektif (salah satunya melibatkan baling-baling pesawat terbang), meski dengan tensi yang kurang. Ini adalah film tentang kekerasan dan sutradara Aleksander Bach komit dengan visinya untuk menyajikan adegan brutal dengan potongan tubuh yang bertebaran dimana-dimana. Kebanyakan disajikan melalui slow motion.

Agen 47 dan Katia yang bergerak dari Berlin ke Singapura demi menggulingkan Sindikat, mengantarkan kita pada lokasi-lokasi indah seperti hotel berbintang hingga taman mengambang di Singapura (saya lupa namanya) yang bisa saja membuat anda mengira bahwa film ini adalah iklan tourism board.

Rupert Friend menggantikan Timothy Olyphant dari film Hitman versi 2007 yang tak ingin tampil lagi dalam film ini. Dengan kepala botak, ekspresi dingin, dan jas hitam berdasi merah menyala, secara fisik Friend bisa merepresentasikan Agen 47. Skenario menjadikannya sebagai karakter tanpa kepribadian yang sulit untuk kita pedulikan. Tetap saja, dia terlihat keren saat menampilkan sekuen ala The Matrix dengan pistol dobel di tangan.

Apakah film ini lebih baik dibanding Hitman versi 2007? Saya tak begitu yakin, namun saya lebih menikmati film ini dibanding film sebelumnya. Apakah film ini bisa memutus kutukan adaptasi film dari game? Ada maksud untuk menjadikan Hitman sebagai franchise baru, namun ini lain cerita. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Hitman: Agent 47' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Dewasa

Sutradara Aleksander Bach
Penulis Michael Finch, Skip Woods
Pemain Rupert Friend, Hannah Ware, Zachary Quinto

Saturday, June 27, 2015

Review Film: 'Skin Trade' (2015)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Skin Trade' (2015)
link : Review Film: 'Skin Trade' (2015)

Baca juga


Kriminal

Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, 'Skin Trade' bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

“Negotiation is over.”
— Tony Vitayakul
Skin Trade adalah salah satu film kelas B yang menghadirkan cerita klise, dimana seorang polisi berusaha membalaskan dendam atas keluarganya dan sekaligus, memberantas kejahatan internasional yang dilakukan antagonis. Sesuai dengan judulnya, film ini mengangkat kasus human trafficking dengan setting di Asia Tenggara. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

Dolph Lundgren bermain sebagai detektif Nick Cassidy, yang tengah memburu bos mafia Serbia, Viktor Dragovic (Ron Perlman). Dalam usahanya menangkap Dragovic, Nick membunuh salah seorang dari 4 anaknya, sementara Dragovic sendiri berhasil bebas. Dragovic kemudian mengutus anak buahnya untuk membunuh Nick sekeluarga dengan cara yang sedikit lebay — menggunakan RPG, namun Nick berhasil lolos dari maut meski menderita luka yang cukup parah.


Mendapat informasi bahwa Dragovic kabur ke Thailand, Nick yang sekarang punya bekas luka bakar di wajahnya dan masih belum sembuh total mengejarnya ke Bangkok. Yap, dia setangguh itu. Sembari pengejarannya berlangsung, kita akan diperkenalkan dengan polisi Bangkok yang temperamen, Tony Vitayakul (Tony Jaa) yang juga berusaha untuk menghentikan human trafficking yang marak terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Dari sini, anda bisa menebak apa yang akan terjadi. Tony harus berkonfrontasi terlebih dahulu dengan Nick sebelum akhirnya keduanya bersatu untuk melawan musuh yang sama. Meski narasinya cenderung linear, skrip yang ditulis oleh Lundgren bersama Steven Elder dan John Hyams menyelipkan sedikit plot twist seperti polisi dan pejabat korup, walau tetap saja predictable.

Elemen drama juga dimasukkan sedikit dengan menghadirkan tokoh Min (Celina Jade) yang merupakan pacar sekaligus informan bagi Tony. Saya merasa sutradara Ekachai Uekrongtham memaksudkan film ini bertema buddy-cop, tapi sejujurnya dinamika antara Lundgren dengan Jaa tak mengena. Backstory yang diceritakan di awal film juga hanya menjadi sekedar alasan bagi keduanya untuk menghajar sekelompok orang.

Memasuki usianya yang ke-57, Lundgren tetap terliihat tangguh. Menenteng berbagai senjata bermacam ukuran, Nick adalah karakter polisi yang lebih mengandalkan otot dan Lundgren merepresentasikannya dengan baik. Bagi anda yang sudah mengenal Jaa dalam film The Protector dan Ong Bak tentu sudah tak bakal asing lagi dengan penampilan aktor yang satu ini. Tanpa menggunakan kawat pembantu dan stuntman, Jaa memerankan sendiri semua adegan-adegan martial arts dan disini sekuens aksi dari Jaa tak mengecewakan, termasuk adegan saat Tony menghajar sekelompok penjahat hanya berbekal ikat pinggang.

Terlihat sekali film ini dibuat dengan bujet yang minim. Beberapa adegan ledakan direkayasa dengan efek komputer yang kurang sempurna. Set dan lokasi juga kurang mumpuni. Tapi saya Meskipun adegan kejar-kejaran yang diambil dengan angle yang monoton, namun di beberapa scene hal tersebut bisa dimaafkan berkat penampilan dari Tony Jaa. Sutradara Uekrongtham memanfaatkan adegan berharga tersebut dan menyajikannya efek slow-motion.

Di akhir film, kita akan melihat betapa perihnya kenyataan mengenai human trafficking. Skin Trade tampaknya berusaha menyampaikan pesan moral tentang hal tersebut, namun terasa kontraproduktif dengan gambar-gambar vulgar tempat hiburan malam yang jamak disodorkan pada penonton.

Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, Skin Trade bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Tapi jangan berharap lebih, ini adalah film kelas B dengan plot yang sudah pernah anda lihat sebelumnya. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Skin Trade' |
|

IMDb | Rottentomatoes
95 menit | Dewasa

Sutradara Ekachai Uekrongtham
Penulis Dolph Lundgren, Steven Elder, Gabriel Dowrick
Pemain Dolph Lundgren, Tony Jaa, Ron Perlman, Michael Jai White

Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, 'Skin Trade' bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

“Negotiation is over.”
— Tony Vitayakul
Skin Trade adalah salah satu film kelas B yang menghadirkan cerita klise, dimana seorang polisi berusaha membalaskan dendam atas keluarganya dan sekaligus, memberantas kejahatan internasional yang dilakukan antagonis. Sesuai dengan judulnya, film ini mengangkat kasus human trafficking dengan setting di Asia Tenggara. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

Dolph Lundgren bermain sebagai detektif Nick Cassidy, yang tengah memburu bos mafia Serbia, Viktor Dragovic (Ron Perlman). Dalam usahanya menangkap Dragovic, Nick membunuh salah seorang dari 4 anaknya, sementara Dragovic sendiri berhasil bebas. Dragovic kemudian mengutus anak buahnya untuk membunuh Nick sekeluarga dengan cara yang sedikit lebay — menggunakan RPG, namun Nick berhasil lolos dari maut meski menderita luka yang cukup parah.


Mendapat informasi bahwa Dragovic kabur ke Thailand, Nick yang sekarang punya bekas luka bakar di wajahnya dan masih belum sembuh total mengejarnya ke Bangkok. Yap, dia setangguh itu. Sembari pengejarannya berlangsung, kita akan diperkenalkan dengan polisi Bangkok yang temperamen, Tony Vitayakul (Tony Jaa) yang juga berusaha untuk menghentikan human trafficking yang marak terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Dari sini, anda bisa menebak apa yang akan terjadi. Tony harus berkonfrontasi terlebih dahulu dengan Nick sebelum akhirnya keduanya bersatu untuk melawan musuh yang sama. Meski narasinya cenderung linear, skrip yang ditulis oleh Lundgren bersama Steven Elder dan John Hyams menyelipkan sedikit plot twist seperti polisi dan pejabat korup, walau tetap saja predictable.

Elemen drama juga dimasukkan sedikit dengan menghadirkan tokoh Min (Celina Jade) yang merupakan pacar sekaligus informan bagi Tony. Saya merasa sutradara Ekachai Uekrongtham memaksudkan film ini bertema buddy-cop, tapi sejujurnya dinamika antara Lundgren dengan Jaa tak mengena. Backstory yang diceritakan di awal film juga hanya menjadi sekedar alasan bagi keduanya untuk menghajar sekelompok orang.

Memasuki usianya yang ke-57, Lundgren tetap terliihat tangguh. Menenteng berbagai senjata bermacam ukuran, Nick adalah karakter polisi yang lebih mengandalkan otot dan Lundgren merepresentasikannya dengan baik. Bagi anda yang sudah mengenal Jaa dalam film The Protector dan Ong Bak tentu sudah tak bakal asing lagi dengan penampilan aktor yang satu ini. Tanpa menggunakan kawat pembantu dan stuntman, Jaa memerankan sendiri semua adegan-adegan martial arts dan disini sekuens aksi dari Jaa tak mengecewakan, termasuk adegan saat Tony menghajar sekelompok penjahat hanya berbekal ikat pinggang.

Terlihat sekali film ini dibuat dengan bujet yang minim. Beberapa adegan ledakan direkayasa dengan efek komputer yang kurang sempurna. Set dan lokasi juga kurang mumpuni. Tapi saya Meskipun adegan kejar-kejaran yang diambil dengan angle yang monoton, namun di beberapa scene hal tersebut bisa dimaafkan berkat penampilan dari Tony Jaa. Sutradara Uekrongtham memanfaatkan adegan berharga tersebut dan menyajikannya efek slow-motion.

Di akhir film, kita akan melihat betapa perihnya kenyataan mengenai human trafficking. Skin Trade tampaknya berusaha menyampaikan pesan moral tentang hal tersebut, namun terasa kontraproduktif dengan gambar-gambar vulgar tempat hiburan malam yang jamak disodorkan pada penonton.

Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, Skin Trade bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Tapi jangan berharap lebih, ini adalah film kelas B dengan plot yang sudah pernah anda lihat sebelumnya. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Skin Trade' |
|

IMDb | Rottentomatoes
95 menit | Dewasa

Sutradara Ekachai Uekrongtham
Penulis Dolph Lundgren, Steven Elder, Gabriel Dowrick
Pemain Dolph Lundgren, Tony Jaa, Ron Perlman, Michael Jai White

Friday, May 22, 2015

Review Film: 'Spy' (2015)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Kriminal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Spy' (2015)
link : Review Film: 'Spy' (2015)

Baca juga


Kriminal

Melissa McCarthy dan Paul Feig memberikan film aksi-komedi bertema spionase yang berhasil menyeimbangkan sisi serius dan konyol yang membuat 'Spy' lebih dari sekedar parodi genre.

“You really think you're ready for the field.”
— Rick Ford
Saat Melissa McCarthy nimbrung dalam salah satu dari beberapa film bertema spionase tahun ini, sebagian besar penonton — atau setidaknya saya — berekspektasi dia akan bermain sebagai karakter wanita gendut bermulut vulgar sebagaimana perannya dalam Identity Thief, Tammy, atau The Heat. Namun berkolaborasi kembali dengan sutradaranya dalam Bridesmaids, Paul Feig, McCarthy menunjukkan range kualitas akting yang lebih dari sekedar mesin penembak kata F***.

Tentu, dalam film komedi berjudul Spy ini, McCarthy tetap saja memberikan lelucon dengan umpatannya yang kasar. Namun alih-alih menyinggung, lelucon ini lebih tepatnya berfungsi sebagai punchline. Feig berhasil menemukan cara yang tepat untuk menyeimbangkan sisi serius dan konyol sehingga menjadikan film ini lebih dari sekedar parodi film mata-mata. Menarik melihat bagaimana perkembangan karakter yang dimainkan McCarthy, dimulai dari asisten di belakang meja hingga beraksi menghajar penjahat dalam adu jotos tangan kosong.

Di awal cerita, Susan Cooper (McCarthy) bukanlah siapa-siapa dalam organisasi CIA. Meski mendapat nilai yang cukup tinggi dalam ujian lapangan, Susan berakhir menjadi semacam GPS hidup — memberikan navigasi, informasi posisi musuh dan lain-lain — bagi para agen lapangan. Cooper bukannya suka dengan pekerjaannya, namun cintanya yang bertepuk sebelah tangan pada salah satu agen bernama Bradley Fine (Jude Law) membuatnya betah.


Bradley sendiri adalah seorang agen yang karismatik ala James Bond. Sayangnya, dalam misi mencari detonator nuklir, Fine harus tewas di tangan penjual senjata cantik bernama Rayna (Rose Byrne), yang kebetulan mengetahui identitas semua agen lapangan. Susan yang berniat balas dendam mengajukan diri untuk terjun ke lapangan, apalagi dia takkan mungkin dikenali oleh Rayna. Meski mendapat protes dari agen Richard Ford (Jason Statham), Kepala CIA (Allison Janney) menugaskan Susan dengan syarat dia hanya melakukan pengintaian dan tak boleh berkonfrontasi langsung.

Seperti halnya film bertema mata-mata, Susan tentu memperoleh peralatan berteknologi tinggi. Namun sayangnya peralatan mutakhir ini dikamuflasekan sebagai "perkakas" yang tak sepantasnya dibawa wanita untuk berpergian, seperti pluit, obat wasir, atau salep jamur kuku. Yah, meski ujung-ujungnya bakalan berguna juga sih.

Misi ini mengantarkan Susan ke beberapa kota eksotis di Eropa seperti Paris, Budapest, dan Roma, dengan bantuan navigasi dari teman senasibnya yang bernama Nancy (Miranda Hart). Nyaris ketahuan, dia harus melakukan penyamaran, namun konsep penyamaran yang diberikan CIA sedikit nyeleneh dan mungkin dianggap sesuai dengan kondisi fisiknya. Misalnya dia harus menyamar sebagai maniak kucing, yang pada akhirnya membuatnya muak dan memutuskan memanfaatkan sumber daya untuk membeli baju mewah yang berhasil mendekatkannya pada Rayna. Well, lebih dari sekedar dekat, dia berhasil menyamar sebagai bodyguard pribadi Rayna.

Dalam Spy, ada banyak referensi film spionase yang diparodikan, contohnya adegan pembuka yang mirip dengan sekuens pembuka film James Bond. Bahkan, scoring-nya juga meniru franchise mata-mata terpopuler tersebut. Meski begitu, Feig menggarap film ini dengan serius. Ditinjau sebagai film mata-mata, Spy nyaris memiliki semua elemen yang dibutuhkan: aksi, drama, dan beberapa plot twist. Namun dengan gayanya yang tak memaksakan film ini sebagai komedilah yang membuat Spy lebih lucu ketimbang film-film sejenis.

Berkat alur filmnya, McCarthy diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kapabilitas aktingnya untuk lebih dari sekedar menampilkan karakter lucu namun juga karakter yang benar-benar bisa kita pedulikan. Dia bermain sebagai wanita yang punya emosi dan perasaan sekaligus punya persona komik yang lucu. Pada akhirnya, inilah yang membuat konfliknya terasa lebih natural.

Satu hal lagi yang menarik adalah bagaimana Statham memainkan Richard sebagai karakter terlucu yang sepantaran dengan Susan, tanpa perlu bertingkah konyol. Richard adalah agen yang sok, suka membual — dia bercerita bahwa tangan kirinya sempat putus lalu disambung lagi dengan tangan — dan selalu menganggap dirinya superhebat tanpa mengukur bayang-bayang dan akal sehat, yang kesemuanya diucapkannya dengan mimik serius. Aksinya hingga akhir film ditujukan hanya untuk membuat kita tergelak.

Untuk ukuran film komedi, 120 menit memang terasa agak lama, dan bagian akhirnya saya rasa sedikit dipanjang-panjangkan. Namun dengan penampilan McCarthy yang sangat mudah disukai di film ini, anda mungkin bisa bertahan hingga menit terakhir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Spy' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Dewasa

Sutradara Paul Feig
Penulis Paul Feig
Pemain Melissa McCarthy, Jude Law, Jason Statham

Melissa McCarthy dan Paul Feig memberikan film aksi-komedi bertema spionase yang berhasil menyeimbangkan sisi serius dan konyol yang membuat 'Spy' lebih dari sekedar parodi genre.

“You really think you're ready for the field.”
— Rick Ford
Saat Melissa McCarthy nimbrung dalam salah satu dari beberapa film bertema spionase tahun ini, sebagian besar penonton — atau setidaknya saya — berekspektasi dia akan bermain sebagai karakter wanita gendut bermulut vulgar sebagaimana perannya dalam Identity Thief, Tammy, atau The Heat. Namun berkolaborasi kembali dengan sutradaranya dalam Bridesmaids, Paul Feig, McCarthy menunjukkan range kualitas akting yang lebih dari sekedar mesin penembak kata F***.

Tentu, dalam film komedi berjudul Spy ini, McCarthy tetap saja memberikan lelucon dengan umpatannya yang kasar. Namun alih-alih menyinggung, lelucon ini lebih tepatnya berfungsi sebagai punchline. Feig berhasil menemukan cara yang tepat untuk menyeimbangkan sisi serius dan konyol sehingga menjadikan film ini lebih dari sekedar parodi film mata-mata. Menarik melihat bagaimana perkembangan karakter yang dimainkan McCarthy, dimulai dari asisten di belakang meja hingga beraksi menghajar penjahat dalam adu jotos tangan kosong.

Di awal cerita, Susan Cooper (McCarthy) bukanlah siapa-siapa dalam organisasi CIA. Meski mendapat nilai yang cukup tinggi dalam ujian lapangan, Susan berakhir menjadi semacam GPS hidup — memberikan navigasi, informasi posisi musuh dan lain-lain — bagi para agen lapangan. Cooper bukannya suka dengan pekerjaannya, namun cintanya yang bertepuk sebelah tangan pada salah satu agen bernama Bradley Fine (Jude Law) membuatnya betah.


Bradley sendiri adalah seorang agen yang karismatik ala James Bond. Sayangnya, dalam misi mencari detonator nuklir, Fine harus tewas di tangan penjual senjata cantik bernama Rayna (Rose Byrne), yang kebetulan mengetahui identitas semua agen lapangan. Susan yang berniat balas dendam mengajukan diri untuk terjun ke lapangan, apalagi dia takkan mungkin dikenali oleh Rayna. Meski mendapat protes dari agen Richard Ford (Jason Statham), Kepala CIA (Allison Janney) menugaskan Susan dengan syarat dia hanya melakukan pengintaian dan tak boleh berkonfrontasi langsung.

Seperti halnya film bertema mata-mata, Susan tentu memperoleh peralatan berteknologi tinggi. Namun sayangnya peralatan mutakhir ini dikamuflasekan sebagai "perkakas" yang tak sepantasnya dibawa wanita untuk berpergian, seperti pluit, obat wasir, atau salep jamur kuku. Yah, meski ujung-ujungnya bakalan berguna juga sih.

Misi ini mengantarkan Susan ke beberapa kota eksotis di Eropa seperti Paris, Budapest, dan Roma, dengan bantuan navigasi dari teman senasibnya yang bernama Nancy (Miranda Hart). Nyaris ketahuan, dia harus melakukan penyamaran, namun konsep penyamaran yang diberikan CIA sedikit nyeleneh dan mungkin dianggap sesuai dengan kondisi fisiknya. Misalnya dia harus menyamar sebagai maniak kucing, yang pada akhirnya membuatnya muak dan memutuskan memanfaatkan sumber daya untuk membeli baju mewah yang berhasil mendekatkannya pada Rayna. Well, lebih dari sekedar dekat, dia berhasil menyamar sebagai bodyguard pribadi Rayna.

Dalam Spy, ada banyak referensi film spionase yang diparodikan, contohnya adegan pembuka yang mirip dengan sekuens pembuka film James Bond. Bahkan, scoring-nya juga meniru franchise mata-mata terpopuler tersebut. Meski begitu, Feig menggarap film ini dengan serius. Ditinjau sebagai film mata-mata, Spy nyaris memiliki semua elemen yang dibutuhkan: aksi, drama, dan beberapa plot twist. Namun dengan gayanya yang tak memaksakan film ini sebagai komedilah yang membuat Spy lebih lucu ketimbang film-film sejenis.

Berkat alur filmnya, McCarthy diberi kesempatan untuk mengeksplorasi kapabilitas aktingnya untuk lebih dari sekedar menampilkan karakter lucu namun juga karakter yang benar-benar bisa kita pedulikan. Dia bermain sebagai wanita yang punya emosi dan perasaan sekaligus punya persona komik yang lucu. Pada akhirnya, inilah yang membuat konfliknya terasa lebih natural.

Satu hal lagi yang menarik adalah bagaimana Statham memainkan Richard sebagai karakter terlucu yang sepantaran dengan Susan, tanpa perlu bertingkah konyol. Richard adalah agen yang sok, suka membual — dia bercerita bahwa tangan kirinya sempat putus lalu disambung lagi dengan tangan — dan selalu menganggap dirinya superhebat tanpa mengukur bayang-bayang dan akal sehat, yang kesemuanya diucapkannya dengan mimik serius. Aksinya hingga akhir film ditujukan hanya untuk membuat kita tergelak.

Untuk ukuran film komedi, 120 menit memang terasa agak lama, dan bagian akhirnya saya rasa sedikit dipanjang-panjangkan. Namun dengan penampilan McCarthy yang sangat mudah disukai di film ini, anda mungkin bisa bertahan hingga menit terakhir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Spy' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Dewasa

Sutradara Paul Feig
Penulis Paul Feig
Pemain Melissa McCarthy, Jude Law, Jason Statham

Wednesday, May 6, 2015

Review Film: 'The Forger' (2015)

Kriminal - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Kriminal, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Forger' (2015)
link : Review Film: 'The Forger' (2015)

Baca juga


Kriminal

John Travolta bemain sebagai seorang Forger, penjiplak lukisan terkenal dalam film drama-thriller yang terasa tak meyakinkan karena akibat kurangnya energi, karakterisasi, dan koherensi.

“It's never too late for one last heist.”
Meski tampil dengan poster yang cukup sugestif, The Forger bukanlah film pencurian yang menegangkan ala The Italian Job atau stylish ala Ocean Eleven. Istilah "The Forger" sendiri berasal dari istilah "forge" yang artinya menjiplak, dan di film ini John Travolta adalah seorang ahli penjiplak karya seni ternama. Memang temanya adalah tentang pencurian benda seni, namun porsinya hanya sedikit dan lebih fokus pada drama keluarga. Lemahnya karakterisasi dan intensitas alur membuat film ini tak punya energi dari awal.

John Travolta bermain sebagai Raymond, seorang mantan kriminal yang juga seorang forger, dan — menurut asumsi saya — cukup terkenal di bidangnya. Dibuka dengan adegan di dalam penjara, Raymond tengah menjalani masa hukuman yang tinggal 10 bulan, namun dengan bantuan rekannya Keegan (Anson Mount), dia akhirnya dibebaskan.

Keegan punya hutang besar dengan mafia besar (yang punya selera seni tinggi), dan satu-satunya cara untuk melunasinya adalah dengan membuktikan bahwa mereka bisa mengganti lukisan Monet di museum dengan lukisan palsu hasil forging tanpa ketahuan. Merasa berhutang — dan sedikit dipaksa oleh Keegan — Raymond melakukan one last heist.


Kenapa Raymond buru-buru ingin keluar penjara padahal hukumannya kurang dari setahun lagi? Anak semata wayangnya Will (Tye Sheridan), ternyata mengidap kanker otak stadium akhir. Sementara alasan ini memang masuk akal, pada akhirnya film ini tak tampil meyakinkan karena kurangnya karakterisasi, akting, dan koherensi plot.

Skenario dari Richard D'Ovidio mencoba menggabungkan 2 cerita yang sangat jauh berbeda yaitu antara kisah drama family bonding dengan aksi kriminal dan hal tersebut tak berhasil, baik sebagai kesatuan maupun secara terpisah. Tragisnya kehidupan Raymond dengan keluarga yang kacau dan mantan istri yang pecandu terasa palsu. Di lain sisi, aksi pencurian yang dilakukan Raymond sekeluarga, juga tak meyakinkan karena semua terjadi begitu mudah, bahkan dengan campur tangan FBI. Agen Paisley (Abigail Spencer) dan Detektif Devlin (Travis Aaron Wade) yang telah mengikuti Raymond sejak awal, selalu beberapa langkah ketinggalan, dan mau tak mau saya menilai mereka sebagai agen paling payah yang pernah ada.

Saya merasa sedikit canggung melihat John Travolta dengan wig dan jenggot minimalis. Travolta bermain sebagai pria sentimentil yang punya banyak masalah, baik dengan mafia maupun dengan keluarga. Dia bermaksud menjalin kembali hubungan dengan anaknya. Meski demikian, Travolta tampil monoton dengan ekspresi secanggung dan seaneh jenggotnya. Tak logis rasanya melihat pria dengan usia seuzur itu yang punya keahlian forging, namun masih bisa menghajar beberapa preman dengan tangan kosong.

Tye Sheridan memberikan akting yang lumayan sebagai seorang anak yang mengalami broken home dan kurang kasih sayang yang tinggal bersama sang kakek (Christopher Plummer). Dengan kondisinya yang sudah sekarat, Will punya "3 permintaan": bertemu ibunya, melepas keperjakaan, dan terlibat dalam "sesuatu" yang dikerjakan ayahnya. Yang terakhir mungkin sedikit tak rasional — toh dikabulkan juga oleh Raymond — namun dengan kondisi yang di ambang ajal, saya bisa mengerti keputusan Raymond mengabulkannya.

Meski kedengarannya banyak yang terjadi di depan layar, namun durasinya yang hanya satu setengah jam terasa lama. Tak hal baru yang disuguhkan dari skenario, dan sutradara Phillip Martin tampaknya hanya membiarkan kamera berjalan dan merekam apa yang sedang terjadi tanpa bermaksud menarik penonton. Paling tidak, begitu yang saya rasakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Forger' |
|

IMDb | Rottentomatoes
92 menit | Remaja

Sutradara Phillip Martin
Penulis Richard D'Ovidio
Pemain John Travolta, Tye Sheridan, Christopher Plummer

John Travolta bemain sebagai seorang Forger, penjiplak lukisan terkenal dalam film drama-thriller yang terasa tak meyakinkan karena akibat kurangnya energi, karakterisasi, dan koherensi.

“It's never too late for one last heist.”
Meski tampil dengan poster yang cukup sugestif, The Forger bukanlah film pencurian yang menegangkan ala The Italian Job atau stylish ala Ocean Eleven. Istilah "The Forger" sendiri berasal dari istilah "forge" yang artinya menjiplak, dan di film ini John Travolta adalah seorang ahli penjiplak karya seni ternama. Memang temanya adalah tentang pencurian benda seni, namun porsinya hanya sedikit dan lebih fokus pada drama keluarga. Lemahnya karakterisasi dan intensitas alur membuat film ini tak punya energi dari awal.

John Travolta bermain sebagai Raymond, seorang mantan kriminal yang juga seorang forger, dan — menurut asumsi saya — cukup terkenal di bidangnya. Dibuka dengan adegan di dalam penjara, Raymond tengah menjalani masa hukuman yang tinggal 10 bulan, namun dengan bantuan rekannya Keegan (Anson Mount), dia akhirnya dibebaskan.

Keegan punya hutang besar dengan mafia besar (yang punya selera seni tinggi), dan satu-satunya cara untuk melunasinya adalah dengan membuktikan bahwa mereka bisa mengganti lukisan Monet di museum dengan lukisan palsu hasil forging tanpa ketahuan. Merasa berhutang — dan sedikit dipaksa oleh Keegan — Raymond melakukan one last heist.


Kenapa Raymond buru-buru ingin keluar penjara padahal hukumannya kurang dari setahun lagi? Anak semata wayangnya Will (Tye Sheridan), ternyata mengidap kanker otak stadium akhir. Sementara alasan ini memang masuk akal, pada akhirnya film ini tak tampil meyakinkan karena kurangnya karakterisasi, akting, dan koherensi plot.

Skenario dari Richard D'Ovidio mencoba menggabungkan 2 cerita yang sangat jauh berbeda yaitu antara kisah drama family bonding dengan aksi kriminal dan hal tersebut tak berhasil, baik sebagai kesatuan maupun secara terpisah. Tragisnya kehidupan Raymond dengan keluarga yang kacau dan mantan istri yang pecandu terasa palsu. Di lain sisi, aksi pencurian yang dilakukan Raymond sekeluarga, juga tak meyakinkan karena semua terjadi begitu mudah, bahkan dengan campur tangan FBI. Agen Paisley (Abigail Spencer) dan Detektif Devlin (Travis Aaron Wade) yang telah mengikuti Raymond sejak awal, selalu beberapa langkah ketinggalan, dan mau tak mau saya menilai mereka sebagai agen paling payah yang pernah ada.

Saya merasa sedikit canggung melihat John Travolta dengan wig dan jenggot minimalis. Travolta bermain sebagai pria sentimentil yang punya banyak masalah, baik dengan mafia maupun dengan keluarga. Dia bermaksud menjalin kembali hubungan dengan anaknya. Meski demikian, Travolta tampil monoton dengan ekspresi secanggung dan seaneh jenggotnya. Tak logis rasanya melihat pria dengan usia seuzur itu yang punya keahlian forging, namun masih bisa menghajar beberapa preman dengan tangan kosong.

Tye Sheridan memberikan akting yang lumayan sebagai seorang anak yang mengalami broken home dan kurang kasih sayang yang tinggal bersama sang kakek (Christopher Plummer). Dengan kondisinya yang sudah sekarat, Will punya "3 permintaan": bertemu ibunya, melepas keperjakaan, dan terlibat dalam "sesuatu" yang dikerjakan ayahnya. Yang terakhir mungkin sedikit tak rasional — toh dikabulkan juga oleh Raymond — namun dengan kondisi yang di ambang ajal, saya bisa mengerti keputusan Raymond mengabulkannya.

Meski kedengarannya banyak yang terjadi di depan layar, namun durasinya yang hanya satu setengah jam terasa lama. Tak hal baru yang disuguhkan dari skenario, dan sutradara Phillip Martin tampaknya hanya membiarkan kamera berjalan dan merekam apa yang sedang terjadi tanpa bermaksud menarik penonton. Paling tidak, begitu yang saya rasakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Forger' |
|

IMDb | Rottentomatoes
92 menit | Remaja

Sutradara Phillip Martin
Penulis Richard D'Ovidio
Pemain John Travolta, Tye Sheridan, Christopher Plummer