Showing posts with label Sci-Fi. Show all posts
Showing posts with label Sci-Fi. Show all posts

Thursday, March 7, 2019

Review Film: 'Captain Marvel' (2019)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Captain Marvel' (2019)
link : Review Film: 'Captain Marvel' (2019)

Baca juga


Sci-Fi

Film ini berhasil memperkenalkan kita dengan Captain Marvel, tapi tidak dengan Carol Danvers.

“I think I have a life here. But I can't tell if it's real.”
— Carol Danvers
Rating UP:
Hal terbaik yang dilakukan film ini adalah ia berhasil memperkenalkan kita pada salah satu entitas terkuat dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang bernama Captain Marvel. Namun, ia gagal memperkenalkan kita kepada pahlawan bernama Carol Danvers. Kita banyak melihat bagaimana sang karakter memamerkan kekuatannya dan mengalahkan musuh dengan begitu mudah. Di balik kostum, sayangnya, kita tak tahu banyak soal siapa yang sudah menyelamatkan planet kita. Dari yang bisa saya simpulkan, ia hanyalah superhero yang sangat generik.


Saya sebetulnya tak ingin mempercayai itu. Captain Marvel adalah film resmi Marvel pertama yang menampilkan superhero wanita sebagai pusatnya. Ia juga merupakan pahlawan yang (barangkali) mampu mengatasi ancaman Thanos dalam Avengers: Endgame nanti. Captain Marvel layak mendapatkan film yang lebih baik, film yang punya dimensi dan bobot. Ia seharusnya adalah superhero yang juga lebih baik, pahlawan yang punya kepribadian dan tekad yang membuatnya pantas kita elu-elukan.

Bukan berarti film ini tak banyak memberitahu kita soal siapa Captain Marvel. Nama aslinya adalah Vers (Brie Larson), anggota tim militer bangsa Kree, Starforce, yang dikomandoi oleh Yon-Rogg (Jude Law) yang juga merupakan mentornya. Kree, sebagaimana yang kita ingat dari Guardians of the Galaxy, adalah alien berdarah biru (dan kadang berkulit biru) mirip manusia yang tinggal di Planet Hala. Vers punya kemampuan untuk menembakkan laser foton dari tangannya. Dan ini tentu saja sangat membantu, karena kaum Kree tengah berperang melawan bangsa Skrull yang punya tampang menyeramkan mirip goblin.

Sebuah misi yang gagal mengantarkan Vers terdampar ke bumi. Peristiwa ini juga membawa serta beberapa Skrull. Seramnya, Skrull punya kemampuan untuk berganti wujud, bisa berubah menjadi siapa saja dengan kemiripan sampai ke DNA. Ada masalah lain: di bumi, tak ada orang yang punya kekuatan kosmik. Tidak juga dengan Nick Fury (Samuel L Jackson) yang masih belum pernah ketemu Iron Man, Captain Amerika, dkk. Mari kita jeda sejenak untuk mengapresiasi apa yang dilakukan studio Marvel terhadap Nick Fury ini. Dengan sihir digital, Samuel L Jackson dijadikan jauh lebih muda hingga 3 dekade. Hasilnya sangat mulus, dan ini dilakukan hampir sepanjang durasi. Saya tak terasa sedang menyaksikan polesan komputer.

Betul sekali, waktunya jauh sebelum Avengers diciptakan. Nick Fury juga masih menjadi karyawan level rendah di SHIELD. Terus, ada juga anak baru yang bernama Coulson (siapa yah?). Setting ini sayangnya cuma dipakai untuk polesan saja, tak nempel denga sempurna seperti Captain America: The First Avengers. Bagian ini hanya untuk seru-seruan menampilkan beberapa referensi budaya pop di era tersebut, mulai dari rental video, pager, hingga warnet. Ini juga jadi jebakan umur, dimana beberapa penonton yang bareng saya terkekeh saat mendengar lagu-lagu dari band 90-an macam Nirvana dan No Doubt. Saya tidak. Apaan sih Nirvana?! Gak kenal tuh saya.

Vers tidak tahu siapa dirinya karena ia hilang ingatan. Tapi kita agaknya lebih tahu. Nama asli-aslinya adalah Carol Danvers. Lewat beberapa kilasan masa lalu, kita tahu bahwa ia dulunya adalah seorang pilot militer. Kita melihatnya menjalani latihan, digoda di bar bahkan jauh hingga ia nekat ngebut-ngebutan dengan gokart saat masih kecil. Jadi, sebetulnya origin story Captain Marvel lebih rumit dari superhero kebanyakan. Ia punya dua origin story. Sutradara Anna Boden & Ryan Fleck yang juga bertindak sebagai salah dua penulis naskah, menemukan solusi untuk memecahkan masalah ini. Ada pula sedikit detail cantik soal bagaimana mereka bermain dengan struktur untuk menghandel beberapa klise. Namun, setelah paruh pertama, film ini serasa terbang dengan mode autopilot.

Boden & Fleck adalah sutradara di balik Half Nelson dan Mississippi Grind, film-film yang boleh dibilang sangat berbasis pada karakter. Ini adalah film besar perdana mereka, dan kepribadian mereka hilang ditelan hingar-bingar blockbuster. Brie Larson adalah aktris yang kompeten, ekspresi spontannya sangat nampol. Namun ia tak diberi cukup ruang untuk mengejawantahkan Carol Danvers sebagai karakter yang kompleks dan manusiawi. Ada beberapa momen dramatis, misalnya pertemuan Carol dengan dua orang penting dalam hidupnya (diperankan oleh Lashana Lynch dan Annette Benning), tapi Carol tetap terasa sebagai karakter yang cenderung kosong. Memang pada akhirnya ia menemukan determinasi, tapi pasti ada cara yang lebih elegan untuk menceritakannya. Yang tersisa untuk dinikmati adalah chemistry ala buddy-movie antara Larson dengan Jackson yang sangat asyik. Oh, dan ada kucing lucu yang siap mencuri perhatian kita setiap kali ia muncul.

Mungkin karena sang karakter tituler terlalu kuat, atau musuhnya yang terlalu lemah. Pahlawan spesial butuh musuh spesial. Skrull merupakan villain yang menarik dan "berbeda", tapi film ini tak punya villain yang bisa mendorong pahlawan kita ke titik nadir. Cerita besarnya terlalu familiar. Adegan aksinya monoton dan tak imajinatif walau sudah melibatkan efek spesial dan jurus lvl kosmik. Tak ada bobot, ruang, dan stake yang berarti. Barangkali karena saya sudah terlalu banyak menonton film superhero. Saat ini, superhero rasa-rasanya memang menyelamatkan dunia seperti makan obat saja, sehari tiga kali.

Film ini tak bisa saya bilang jelek. Pace-nya lumayan cepat dan tak bertele-tele, sehingga tak begitu membosankan. Hanya saja, kesannya secara keseluruhan yaa hambar. Filmnya terasa seperti diproduksi oleh pabrik otomatis Marvel. Tugas paling sukses yang dilakukannya adalah menjadi ekstensi yang memadai bagi mitologi Marvel; menyusul ketertinggalan dari para Avengers lain dan mengisi potongan puzzle dari MCU. Carol Danvers alias Captain Marvel punya potensi, tapi misinya disini agaknya hanya untuk memanaskan mesin Avengers: Endgame. Mungkin lain kali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Captain Marvel

124 menit
Remaja - BO
Anna Boden, Ryan Fleck
Anna Boden, Ryan Fleck, Geneva Robertson-Dworet (screenplay), Stan Lee, Roy Thomas, Gene Colan (komik)
Kevin Feige
Ben Davis
Pinar Toprak

Diulas oleh

Film ini berhasil memperkenalkan kita dengan Captain Marvel, tapi tidak dengan Carol Danvers.

“I think I have a life here. But I can't tell if it's real.”
— Carol Danvers
Rating UP:
Hal terbaik yang dilakukan film ini adalah ia berhasil memperkenalkan kita pada salah satu entitas terkuat dalam Marvel Cinematic Universe (MCU) yang bernama Captain Marvel. Namun, ia gagal memperkenalkan kita kepada pahlawan bernama Carol Danvers. Kita banyak melihat bagaimana sang karakter memamerkan kekuatannya dan mengalahkan musuh dengan begitu mudah. Di balik kostum, sayangnya, kita tak tahu banyak soal siapa yang sudah menyelamatkan planet kita. Dari yang bisa saya simpulkan, ia hanyalah superhero yang sangat generik.


Saya sebetulnya tak ingin mempercayai itu. Captain Marvel adalah film resmi Marvel pertama yang menampilkan superhero wanita sebagai pusatnya. Ia juga merupakan pahlawan yang (barangkali) mampu mengatasi ancaman Thanos dalam Avengers: Endgame nanti. Captain Marvel layak mendapatkan film yang lebih baik, film yang punya dimensi dan bobot. Ia seharusnya adalah superhero yang juga lebih baik, pahlawan yang punya kepribadian dan tekad yang membuatnya pantas kita elu-elukan.

Bukan berarti film ini tak banyak memberitahu kita soal siapa Captain Marvel. Nama aslinya adalah Vers (Brie Larson), anggota tim militer bangsa Kree, Starforce, yang dikomandoi oleh Yon-Rogg (Jude Law) yang juga merupakan mentornya. Kree, sebagaimana yang kita ingat dari Guardians of the Galaxy, adalah alien berdarah biru (dan kadang berkulit biru) mirip manusia yang tinggal di Planet Hala. Vers punya kemampuan untuk menembakkan laser foton dari tangannya. Dan ini tentu saja sangat membantu, karena kaum Kree tengah berperang melawan bangsa Skrull yang punya tampang menyeramkan mirip goblin.

Sebuah misi yang gagal mengantarkan Vers terdampar ke bumi. Peristiwa ini juga membawa serta beberapa Skrull. Seramnya, Skrull punya kemampuan untuk berganti wujud, bisa berubah menjadi siapa saja dengan kemiripan sampai ke DNA. Ada masalah lain: di bumi, tak ada orang yang punya kekuatan kosmik. Tidak juga dengan Nick Fury (Samuel L Jackson) yang masih belum pernah ketemu Iron Man, Captain Amerika, dkk. Mari kita jeda sejenak untuk mengapresiasi apa yang dilakukan studio Marvel terhadap Nick Fury ini. Dengan sihir digital, Samuel L Jackson dijadikan jauh lebih muda hingga 3 dekade. Hasilnya sangat mulus, dan ini dilakukan hampir sepanjang durasi. Saya tak terasa sedang menyaksikan polesan komputer.

Betul sekali, waktunya jauh sebelum Avengers diciptakan. Nick Fury juga masih menjadi karyawan level rendah di SHIELD. Terus, ada juga anak baru yang bernama Coulson (siapa yah?). Setting ini sayangnya cuma dipakai untuk polesan saja, tak nempel denga sempurna seperti Captain America: The First Avengers. Bagian ini hanya untuk seru-seruan menampilkan beberapa referensi budaya pop di era tersebut, mulai dari rental video, pager, hingga warnet. Ini juga jadi jebakan umur, dimana beberapa penonton yang bareng saya terkekeh saat mendengar lagu-lagu dari band 90-an macam Nirvana dan No Doubt. Saya tidak. Apaan sih Nirvana?! Gak kenal tuh saya.

Vers tidak tahu siapa dirinya karena ia hilang ingatan. Tapi kita agaknya lebih tahu. Nama asli-aslinya adalah Carol Danvers. Lewat beberapa kilasan masa lalu, kita tahu bahwa ia dulunya adalah seorang pilot militer. Kita melihatnya menjalani latihan, digoda di bar bahkan jauh hingga ia nekat ngebut-ngebutan dengan gokart saat masih kecil. Jadi, sebetulnya origin story Captain Marvel lebih rumit dari superhero kebanyakan. Ia punya dua origin story. Sutradara Anna Boden & Ryan Fleck yang juga bertindak sebagai salah dua penulis naskah, menemukan solusi untuk memecahkan masalah ini. Ada pula sedikit detail cantik soal bagaimana mereka bermain dengan struktur untuk menghandel beberapa klise. Namun, setelah paruh pertama, film ini serasa terbang dengan mode autopilot.

Boden & Fleck adalah sutradara di balik Half Nelson dan Mississippi Grind, film-film yang boleh dibilang sangat berbasis pada karakter. Ini adalah film besar perdana mereka, dan kepribadian mereka hilang ditelan hingar-bingar blockbuster. Brie Larson adalah aktris yang kompeten, ekspresi spontannya sangat nampol. Namun ia tak diberi cukup ruang untuk mengejawantahkan Carol Danvers sebagai karakter yang kompleks dan manusiawi. Ada beberapa momen dramatis, misalnya pertemuan Carol dengan dua orang penting dalam hidupnya (diperankan oleh Lashana Lynch dan Annette Benning), tapi Carol tetap terasa sebagai karakter yang cenderung kosong. Memang pada akhirnya ia menemukan determinasi, tapi pasti ada cara yang lebih elegan untuk menceritakannya. Yang tersisa untuk dinikmati adalah chemistry ala buddy-movie antara Larson dengan Jackson yang sangat asyik. Oh, dan ada kucing lucu yang siap mencuri perhatian kita setiap kali ia muncul.

Mungkin karena sang karakter tituler terlalu kuat, atau musuhnya yang terlalu lemah. Pahlawan spesial butuh musuh spesial. Skrull merupakan villain yang menarik dan "berbeda", tapi film ini tak punya villain yang bisa mendorong pahlawan kita ke titik nadir. Cerita besarnya terlalu familiar. Adegan aksinya monoton dan tak imajinatif walau sudah melibatkan efek spesial dan jurus lvl kosmik. Tak ada bobot, ruang, dan stake yang berarti. Barangkali karena saya sudah terlalu banyak menonton film superhero. Saat ini, superhero rasa-rasanya memang menyelamatkan dunia seperti makan obat saja, sehari tiga kali.

Film ini tak bisa saya bilang jelek. Pace-nya lumayan cepat dan tak bertele-tele, sehingga tak begitu membosankan. Hanya saja, kesannya secara keseluruhan yaa hambar. Filmnya terasa seperti diproduksi oleh pabrik otomatis Marvel. Tugas paling sukses yang dilakukannya adalah menjadi ekstensi yang memadai bagi mitologi Marvel; menyusul ketertinggalan dari para Avengers lain dan mengisi potongan puzzle dari MCU. Carol Danvers alias Captain Marvel punya potensi, tapi misinya disini agaknya hanya untuk memanaskan mesin Avengers: Endgame. Mungkin lain kali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Captain Marvel

124 menit
Remaja - BO
Anna Boden, Ryan Fleck
Anna Boden, Ryan Fleck, Geneva Robertson-Dworet (screenplay), Stan Lee, Roy Thomas, Gene Colan (komik)
Kevin Feige
Ben Davis
Pinar Toprak

Diulas oleh

Saturday, January 26, 2019

Review Film: 'Glass' (2019)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Glass' (2019)
link : Review Film: 'Glass' (2019)

Baca juga


Sci-Fi

Masalah utama dari 'Glass' adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur.

“This is not a cartoon. This is the real world.”
— Elijah Price
Rating UP:
Apakah kekuatan super itu nyata? Ataukah hal tersebut cuma sugesti yang dipercaya oleh orang-orang yang merasa dirinya superhero? Obsesi yang berlebihan kadang memang bisa menciptakan delusi. Dan hal inilah yang menjadi salah satu poin dari Glass, film penutup dari trilogi "superhero realistis" besutan M Night Shyamalan. Konsep yang menarik karena ia melakukan pendekatan kontemplatif terhadap subgenre yang sangat fantasi. Bagaimana kalau ternyata kemampuan terbang Superman hanyalah imajinasi di kepala Clark Kent?


Sayangnya, kedahsyatan Glass cuma sebatas ide. Konsep tersebut sama sekali tak nampol sedikitpun. Masalah utama dari Glass adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur, padahal jelas-jelas ia adalah bubur. Sebuah usaha unfaedah yang sama manfaatnya dengan memperdebatkan Paslon Presiden mana yang paling sempurna. Semakin ngeselin karena usaha ini menghabiskan sebagian besar durasi film.

Film ini dimaksudkan sebagai kulminasi dari film Unbreakable-nya Shyamalan yang dirilis di tahun 2000 dan Split, satu lagi filmnya yang membuat kita kaget dengan ending-nya yang mengisyaratkan bahwa kedua film tersebut berada di semesta yang sama. David Dunn (Bruce Willis) akhirnya akan berhadapan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), dimana Mr Glass (Samuel L Jackson) berada di tengah konflik. Dua film sebelumnya memperlihatkan dengan kepada kita mengenai tiga individu dengan kekuatan super. Di Unbreakable, David berhasil menangani rencaha jahat dari si jenius Mr Glass berkat kekuatan tubuhnya yang "tak bisa patah". Dalam Split, kita menyaksikan bahwa salah satu dari dua lusin kepribadian Kevin memberikannya kemampuan memanjat dinding.

Namun Glass mencoba untuk meng-undo semuanya; mencoba memutarbalikkan semua yang kita tahu. Bahwa para individu super ini sebenarnya bukanlah individu super, melainkan hanya orang-orang gila dengan imajinasi yang besar. "Ini adalah semacam delusi yang spesifik," kata Dr Ellie (Sarah Paulson). Lha, trus yang kita tonton di dua film sebelumnya apa dong Udiiiiiin! Ia menjelaskannya dengan metode spesial yang biasa dipakai pacar saat tercyduk jalan sama orang lain: panjang lebar dan rumit, hingga kita langsung tahu kalau itu cuma ngeles belaka.

Hal tersebut yang membuat Glass gagal dengan spektakuler. Glass menjadi film yang membosankan bagi penonton baru dan penonton lama. Penonton baru akan kebingungan karena film ini sangat bergantung pada film sebelumnya. Sedangkan penonton lama tak mendapat hal yang baru selain dari yang mereka dapat dari film sebelumnya, sebab Shyamalan tak mengembangkan cerita dari pondasi yang sudah ia buat melainkan hanya mencekoki kita dengan lagu lama. Kesannya, Shyamalan tak punya cerita dan tak bisa menemukan cara untuk menghubungkan film-filmnya.

Padahal karakter utama kita sudah terasa alami berada di satu semesta. David Dunn sekarang adalah Batman-nya Philadelphia; memberantas kejahatan jalanan dengan samaran kostum jas hujan yang membuatnya diberi julukan Sang Pengawas. Ia berhasil melacak keberadaan Kevin, psikopat dengan 24 kepribadian yang masih suka menculik dan membunuhi gadis-gadis muda. Mereka berkonfrontasi. Namun tak ada gedung yang akan meledak atau mobil yang akan berhamburan, karena mereka segera ditangkap dan dijebloskan ke sebuah rumah sakit jiwa.

Siapa sangka rumah sakit tersebut ternyata adalah tempat dimana Elijah Pryce alias Mr Glass ditahan. Ini adalah rumah sakit jiwa dengan penjagaan maksimal. Ada kamera di setiap sudut untuk mengawasi setiap pergerakan pasien. Untuk mengatasi ide-ide jenius nan licik meluncur keluar dari otaknya, Elijah dibius dengan obat, membuatnya berada dalam keadaan katatonik. Ada lampu khusus yang bisa menahan agar kepribadian Sang Monster dari Kevin tidak keluar. Sedangkan sel David dilengkapi dengan saluran yang bisa menyemprotkan air yang bisa membuatnya lemas.

Sebagian besar film menghabiskan waktu di rumah sakit ini. Disini lah Dr Ellie berusaha untuk merasionalisasi kemampuan super mereka. Spesialisasinya adalah menangani orang-orang yang merasa dirinya spesial. Ini menginjikankan filmnya untuk melakukan pendekatan yang sama seperti Unbreakable. Meski filmnya mengacu ke arah subgenre superhero, Shyamalan tak mengandalkan efek spesial. Kebanyakan aksinya digerakkan oleh dialog, tapi... GAK KAYAK GINI JUGA KELES! Hampir keseluruhan durasi didominasi dengan sesi terapi verbal yang membahas secara berulang-ulang soal kondisi mental mereka yang sudah kita khatamkan. Bahkan ada dialog gak guna yang menjelaskan dengan gamblang sesuatu yang telah dan sedang terjadi.

Ada pula percakapan ganjil mengenai hakikat superhero, buku komik, dll yang agaknya berhubungan dengan ending film, tapi saya sudah gak peduli lagi. Dan menjelaskan ini menjadi satu-satunya tugas penting bagi Spencer Treat Clark, Anya Taylor-Joy, dan Charlayne Woodard yang kembali membawakan peran mereka masing-masing dari film sebelumnya. Di satu sisi, Shyamalan terkesan tak ingin membuat filmnya terasa seperti film superhero. Ia tak menampilkan sekuens aksi yang barangkali kita semua harapkan. Namun di sisi lain, ia menekankan banget nget nget soal konsep superhero. Ambisinya untuk membuat film supehero tanpa memakai elemen standar superhero patut diapresiasi. Cuma sayang, filmnya tak punya energi.

Meski berjudul "Glass", Mr Glass sendiri tak mendapat sorotan berarti, setidaknya hingga menjelang akhir. Film ini kebanyakan diambil alih oleh Kevin dan kepribadian jamaknya. Penampilan James McAvoy menyuntikkan sedikit keseruan, dan Shyamalan dengan cerdik mengeksploitasi kemampuannya untuk berganti aksen dan gestur dalam sekejap mata lewat beberapa adegan one-take. Film ini menjadi wadah bagi Shyamalan untuk menunjukkan kemahirannya dalam mengeksekusi adegan, pemanfaatan angle, serta pembangunan suspens yang membuat kita merasa bahwa film ini terlihat lebih bagus dari sebenarnya.

Glass menjadi film dengan ide bagus dan penanganan mantap yang digoreng separo matang. Konsepnya lebih kaya dan tajam daripada apa yang kita tonton. Shayamalan dikenal sebagai tukang twist, tapi twist terbesarnya adalah bagaimana ia membangun trilogi film superhero tanpa sepengetahuan kita dalam rentang waktu hampir dua dekade. Artinya, Glass adalah sebuah klimaks. Dan kalau ini adalah klimaks yang ingin diberikan sedari awal oleh Shyamalan, maka foreplay bertahun-tahun rasanya sia-sia. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Glass

129 menit
Remaja - BO
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan, Jason Blum, Marc Bienstock, Ashwin Rajan
Mike Gioulakis
West Dylan Thordson

Masalah utama dari 'Glass' adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur.

“This is not a cartoon. This is the real world.”
— Elijah Price
Rating UP:
Apakah kekuatan super itu nyata? Ataukah hal tersebut cuma sugesti yang dipercaya oleh orang-orang yang merasa dirinya superhero? Obsesi yang berlebihan kadang memang bisa menciptakan delusi. Dan hal inilah yang menjadi salah satu poin dari Glass, film penutup dari trilogi "superhero realistis" besutan M Night Shyamalan. Konsep yang menarik karena ia melakukan pendekatan kontemplatif terhadap subgenre yang sangat fantasi. Bagaimana kalau ternyata kemampuan terbang Superman hanyalah imajinasi di kepala Clark Kent?


Sayangnya, kedahsyatan Glass cuma sebatas ide. Konsep tersebut sama sekali tak nampol sedikitpun. Masalah utama dari Glass adalah film ini berusaha untuk meyakinkan kita bahwa nasi yang sudah menjadi bubur sebetulnya adalah nasi dan bukan bubur, padahal jelas-jelas ia adalah bubur. Sebuah usaha unfaedah yang sama manfaatnya dengan memperdebatkan Paslon Presiden mana yang paling sempurna. Semakin ngeselin karena usaha ini menghabiskan sebagian besar durasi film.

Film ini dimaksudkan sebagai kulminasi dari film Unbreakable-nya Shyamalan yang dirilis di tahun 2000 dan Split, satu lagi filmnya yang membuat kita kaget dengan ending-nya yang mengisyaratkan bahwa kedua film tersebut berada di semesta yang sama. David Dunn (Bruce Willis) akhirnya akan berhadapan dengan Kevin Wendell Crumb (James McAvoy), dimana Mr Glass (Samuel L Jackson) berada di tengah konflik. Dua film sebelumnya memperlihatkan dengan kepada kita mengenai tiga individu dengan kekuatan super. Di Unbreakable, David berhasil menangani rencaha jahat dari si jenius Mr Glass berkat kekuatan tubuhnya yang "tak bisa patah". Dalam Split, kita menyaksikan bahwa salah satu dari dua lusin kepribadian Kevin memberikannya kemampuan memanjat dinding.

Namun Glass mencoba untuk meng-undo semuanya; mencoba memutarbalikkan semua yang kita tahu. Bahwa para individu super ini sebenarnya bukanlah individu super, melainkan hanya orang-orang gila dengan imajinasi yang besar. "Ini adalah semacam delusi yang spesifik," kata Dr Ellie (Sarah Paulson). Lha, trus yang kita tonton di dua film sebelumnya apa dong Udiiiiiin! Ia menjelaskannya dengan metode spesial yang biasa dipakai pacar saat tercyduk jalan sama orang lain: panjang lebar dan rumit, hingga kita langsung tahu kalau itu cuma ngeles belaka.

Hal tersebut yang membuat Glass gagal dengan spektakuler. Glass menjadi film yang membosankan bagi penonton baru dan penonton lama. Penonton baru akan kebingungan karena film ini sangat bergantung pada film sebelumnya. Sedangkan penonton lama tak mendapat hal yang baru selain dari yang mereka dapat dari film sebelumnya, sebab Shyamalan tak mengembangkan cerita dari pondasi yang sudah ia buat melainkan hanya mencekoki kita dengan lagu lama. Kesannya, Shyamalan tak punya cerita dan tak bisa menemukan cara untuk menghubungkan film-filmnya.

Padahal karakter utama kita sudah terasa alami berada di satu semesta. David Dunn sekarang adalah Batman-nya Philadelphia; memberantas kejahatan jalanan dengan samaran kostum jas hujan yang membuatnya diberi julukan Sang Pengawas. Ia berhasil melacak keberadaan Kevin, psikopat dengan 24 kepribadian yang masih suka menculik dan membunuhi gadis-gadis muda. Mereka berkonfrontasi. Namun tak ada gedung yang akan meledak atau mobil yang akan berhamburan, karena mereka segera ditangkap dan dijebloskan ke sebuah rumah sakit jiwa.

Siapa sangka rumah sakit tersebut ternyata adalah tempat dimana Elijah Pryce alias Mr Glass ditahan. Ini adalah rumah sakit jiwa dengan penjagaan maksimal. Ada kamera di setiap sudut untuk mengawasi setiap pergerakan pasien. Untuk mengatasi ide-ide jenius nan licik meluncur keluar dari otaknya, Elijah dibius dengan obat, membuatnya berada dalam keadaan katatonik. Ada lampu khusus yang bisa menahan agar kepribadian Sang Monster dari Kevin tidak keluar. Sedangkan sel David dilengkapi dengan saluran yang bisa menyemprotkan air yang bisa membuatnya lemas.

Sebagian besar film menghabiskan waktu di rumah sakit ini. Disini lah Dr Ellie berusaha untuk merasionalisasi kemampuan super mereka. Spesialisasinya adalah menangani orang-orang yang merasa dirinya spesial. Ini menginjikankan filmnya untuk melakukan pendekatan yang sama seperti Unbreakable. Meski filmnya mengacu ke arah subgenre superhero, Shyamalan tak mengandalkan efek spesial. Kebanyakan aksinya digerakkan oleh dialog, tapi... GAK KAYAK GINI JUGA KELES! Hampir keseluruhan durasi didominasi dengan sesi terapi verbal yang membahas secara berulang-ulang soal kondisi mental mereka yang sudah kita khatamkan. Bahkan ada dialog gak guna yang menjelaskan dengan gamblang sesuatu yang telah dan sedang terjadi.

Ada pula percakapan ganjil mengenai hakikat superhero, buku komik, dll yang agaknya berhubungan dengan ending film, tapi saya sudah gak peduli lagi. Dan menjelaskan ini menjadi satu-satunya tugas penting bagi Spencer Treat Clark, Anya Taylor-Joy, dan Charlayne Woodard yang kembali membawakan peran mereka masing-masing dari film sebelumnya. Di satu sisi, Shyamalan terkesan tak ingin membuat filmnya terasa seperti film superhero. Ia tak menampilkan sekuens aksi yang barangkali kita semua harapkan. Namun di sisi lain, ia menekankan banget nget nget soal konsep superhero. Ambisinya untuk membuat film supehero tanpa memakai elemen standar superhero patut diapresiasi. Cuma sayang, filmnya tak punya energi.

Meski berjudul "Glass", Mr Glass sendiri tak mendapat sorotan berarti, setidaknya hingga menjelang akhir. Film ini kebanyakan diambil alih oleh Kevin dan kepribadian jamaknya. Penampilan James McAvoy menyuntikkan sedikit keseruan, dan Shyamalan dengan cerdik mengeksploitasi kemampuannya untuk berganti aksen dan gestur dalam sekejap mata lewat beberapa adegan one-take. Film ini menjadi wadah bagi Shyamalan untuk menunjukkan kemahirannya dalam mengeksekusi adegan, pemanfaatan angle, serta pembangunan suspens yang membuat kita merasa bahwa film ini terlihat lebih bagus dari sebenarnya.

Glass menjadi film dengan ide bagus dan penanganan mantap yang digoreng separo matang. Konsepnya lebih kaya dan tajam daripada apa yang kita tonton. Shayamalan dikenal sebagai tukang twist, tapi twist terbesarnya adalah bagaimana ia membangun trilogi film superhero tanpa sepengetahuan kita dalam rentang waktu hampir dua dekade. Artinya, Glass adalah sebuah klimaks. Dan kalau ini adalah klimaks yang ingin diberikan sedari awal oleh Shyamalan, maka foreplay bertahun-tahun rasanya sia-sia. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Glass

129 menit
Remaja - BO
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan
M. Night Shyamalan, Jason Blum, Marc Bienstock, Ashwin Rajan
Mike Gioulakis
West Dylan Thordson

Wednesday, June 6, 2018

Review Film: 'Jurassic World: Fallen Kingdom'

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Jurassic World: Fallen Kingdom'
link : Review Film: 'Jurassic World: Fallen Kingdom'

Baca juga


Sci-Fi

Triknya efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

“These creatures were here before us. And if we're not careful, they'll be here after us.”
— Dr Ian Malcolm
Rating UP:
Konsep fundamental dari Jurassic World: Fallen Kingdom bisa diamati lewat dinosaurus yang khusus dikreasikan untuk filmnya, yakni Indoraptor, hibrid antara Velociraptor dengan dinosaurus dari Jurassic World, Indominus Rex. Dinosaurus fiktif baru ini tak sebesar Indominus, namun sama mematikannya plus segesit Velociraptor. Penciptanya hanya butuh pembunuh yang efektif, bukan pembunuh berukuran raksasa. Filmnya sendiri tak merasa perlu untuk tampil lebih besar dibanding film pendahulunya. Yang penting efektif.


Saat ini teknologi perfilman sudah sangat mutakhir; hampir tak ada yang tak bisa dilakukan oleh efek komputer, yang pada akhirnya meninggalkan fakta bahwa hanya sedikit hal yang bisa membuat kita takjub dalam menonton film. Bisa dibilang mustahil untuk membawa kembali sense of wonder seperti yang dilakukan Steven Spielberg lewat Jurassic Park, film terobosannya yang membawa dunia sinema ke era baru. Oleh karena itu, saya yakin pembuat Fallen Kingdom menargetkan filmnya sebagai wahana pemberi keseruan dan pemicu ketegangan. Dan film ini berhasil melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Fallen Kingdom masihlah film Jurassic Park yang dungu. Karakterisasi manusianya tipis, plotnya berisi banyak kemustahilan. Namun mereka dibutuhkan agar karakter manusia kita bisa berteriak histeris atau berlarian dengan panik, sementara karakter dinosaurus kita mengamuk dan kadang-kadang memakan manusia. Singkat kata, film ini adalah film monster standar. Permainan moralitas mengenai perlu atau tidaknya menyelamatkan dinosaurus dari kepunahan ulang hanyalah menjadi piranti plot untuk membuat kita terikat dengan apa yang akan terjadi di menit berikutnya. Namun trik ini efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

Film ini juga mengeset kontinuitas yang masuk akal dengan film sebelumnya dan (kemungkinan besar) film berikutnya. Setelah kekacauan di Isla Nublar dalam Jurassic World, taman dinosaurus sekarang sudah terbengkalai. Namun ekosistem dinosaurusnya berkembang dengan subur. Cuma ada satu masalah: gunung berapi Isla Nublar akan meletus sehingga mengancam semua kehidupan disana. Apakah pemerintah perlu mengintervensi bencana alami ini agar hewan-hewan langka ini tak kembali punah? Tidak, menurut Dr Ian Malcolm (Jeff Goldblum) kepada anggota DPR Amerika.

Namun pendapat tersebut jelas tak disetujui oleh Claire (Bryce Dallas Howard), mantan petugas taman Jurassic World yang sekarang menjadi aktivis dinosaurus. Jadi ketika ia mendapat tawaran dari milyuner Ben Lockwood (James Cromwell) —partner John Hammond dari film orisinal Jurassic Park— via asistennya, Eli (Rafe Spall) untuk menyelamatkan dinosaurus dan membawa mereka ke pulau suaka yang sangat aman, maka Claire segera merekrut mantan pacarnya, Owen (Chris Pratt) dan membawa serta rekan sesama aktivis, Franklin (Justice Smith) dan Zia (Daniella Pineda).

Bagi Owen, misi ini personal karena ia ingin menyelamatkan mantan sobatnya dulu, velociraptor cerdas bernama Blue. Namun sebagaimana di semua film Jurassic Park, setiap misi ke pulau dinosaurus pasti punya maksud terselubung. Dan titik ini, saya kira anda akan meminta saya untuk berhenti membeberkan plotnya. Yang jelas, Claire dan Owen harus berusaha lebih keras untuk menyelamatkan para penghuni Isla Nublar. Usaha ini melibatkan mengendap-endap di markas musuh dan berlarian di beberapa tempat. Untung Claire sekarang tidak lagi memakai sepatu hak tinggi.

Pencapaian paling penting dari sebuah film penuh efek adalah saat kita berhenti memperhatikan efek spesialnya, alih-alih kita mulai peduli terhadap karakternya dan manut begitu saja dengan filmnya. Sutradara film, JA Bayona menerapkan teknik efektif yang tidak kentara. Filmografinya mulai dari film minimalis seperti horor gothic The Orphanage sampai yang punya sekuens besar macam film bencana The Impossible. Oleh karena itu, ia mampu bertindak dengan mulus pada berbagai momen. Disini, ia bermain dengan trik kamera, siluet, dan bayangan untuk mengarahkan intensitas. Di satu titik, ia bahkan mampu menyetir emosi.

Salah satu adegan terbaik adalah ketika erupsi gunung berapi berlangsung. Hampir semua dinosaurus berbondong-bondong melarikan diri, sementara karakter kita ikut terseret di dalamnya. Ini adalah sekuens dengan skala terbesar dalam Fallen Kingdom; di antara hiruk pikuk tersebut, pembuat film masih sempat-sempatnya memasukkan pertarungan antara T-Rex dengan Stegosaurus. Namun yang bikin saya kagum adalah bagaimana Bayona memindahkan fokusnya antara dinosaurus dan karakter kita di antara destruksi masif tanpa kehilangan ketegangan.

Setelah kejadian ini, Fallen Kingdom akhirnya membawa dinosaurus keluar pulau... lalu ke tengah masyarakat? Tidak juga. Bagian selanjutnya adalah kesempatan bagi Bayona untuk menunjukkan kemahirannya dalam menggunakan koridor, kamar, tangga, atap, lift, dan kerangkeng untuk menyajikan kebrutalan dinosaurus. Kali ini aksi mereka lebih gamblang daripada yang diperlihatkan Colin Trevorrow dalam Jurassic World. Tentu saja, harus ada anak kecil (Isabella Sermon) yang terjebak di tengah-tengahnya.

Saya tak tahu apakah yang terjadi dalam Fallen Kingdom merupakan visi dari Trevorrow sejak awal. Namun menarik melihat bagaimana sutradara/penulis yang kali ini hanya bertindak sebagai penulis naskah ini membawa filmnya ke arah yang baru, sementara ia masih memakai template klise dari franchisenya. Kata "World" dalam judul Jurassic World bukan buat gaya-gayaan semata. Betul, kita takkan merasa tergugah setelah keluar bioskop. Tapi saya tak keberatan menonton film dungu selagi ia seru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Jurassic World: Fallen Kingdom

128 menit
Remaja - BO
J.A. Bayona
Colin Trevorrow, Derek Connolly
Frank Marshall, Patrick Crowley, Belén Atienza
Óscar Faura
Michael Giacchino

Triknya efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

“These creatures were here before us. And if we're not careful, they'll be here after us.”
— Dr Ian Malcolm
Rating UP:
Konsep fundamental dari Jurassic World: Fallen Kingdom bisa diamati lewat dinosaurus yang khusus dikreasikan untuk filmnya, yakni Indoraptor, hibrid antara Velociraptor dengan dinosaurus dari Jurassic World, Indominus Rex. Dinosaurus fiktif baru ini tak sebesar Indominus, namun sama mematikannya plus segesit Velociraptor. Penciptanya hanya butuh pembunuh yang efektif, bukan pembunuh berukuran raksasa. Filmnya sendiri tak merasa perlu untuk tampil lebih besar dibanding film pendahulunya. Yang penting efektif.


Saat ini teknologi perfilman sudah sangat mutakhir; hampir tak ada yang tak bisa dilakukan oleh efek komputer, yang pada akhirnya meninggalkan fakta bahwa hanya sedikit hal yang bisa membuat kita takjub dalam menonton film. Bisa dibilang mustahil untuk membawa kembali sense of wonder seperti yang dilakukan Steven Spielberg lewat Jurassic Park, film terobosannya yang membawa dunia sinema ke era baru. Oleh karena itu, saya yakin pembuat Fallen Kingdom menargetkan filmnya sebagai wahana pemberi keseruan dan pemicu ketegangan. Dan film ini berhasil melakukan apa yang ingin ia lakukan.

Fallen Kingdom masihlah film Jurassic Park yang dungu. Karakterisasi manusianya tipis, plotnya berisi banyak kemustahilan. Namun mereka dibutuhkan agar karakter manusia kita bisa berteriak histeris atau berlarian dengan panik, sementara karakter dinosaurus kita mengamuk dan kadang-kadang memakan manusia. Singkat kata, film ini adalah film monster standar. Permainan moralitas mengenai perlu atau tidaknya menyelamatkan dinosaurus dari kepunahan ulang hanyalah menjadi piranti plot untuk membuat kita terikat dengan apa yang akan terjadi di menit berikutnya. Namun trik ini efektif, saya hampir tidak pernah merasa bosan saat menonton.

Film ini juga mengeset kontinuitas yang masuk akal dengan film sebelumnya dan (kemungkinan besar) film berikutnya. Setelah kekacauan di Isla Nublar dalam Jurassic World, taman dinosaurus sekarang sudah terbengkalai. Namun ekosistem dinosaurusnya berkembang dengan subur. Cuma ada satu masalah: gunung berapi Isla Nublar akan meletus sehingga mengancam semua kehidupan disana. Apakah pemerintah perlu mengintervensi bencana alami ini agar hewan-hewan langka ini tak kembali punah? Tidak, menurut Dr Ian Malcolm (Jeff Goldblum) kepada anggota DPR Amerika.

Namun pendapat tersebut jelas tak disetujui oleh Claire (Bryce Dallas Howard), mantan petugas taman Jurassic World yang sekarang menjadi aktivis dinosaurus. Jadi ketika ia mendapat tawaran dari milyuner Ben Lockwood (James Cromwell) —partner John Hammond dari film orisinal Jurassic Park— via asistennya, Eli (Rafe Spall) untuk menyelamatkan dinosaurus dan membawa mereka ke pulau suaka yang sangat aman, maka Claire segera merekrut mantan pacarnya, Owen (Chris Pratt) dan membawa serta rekan sesama aktivis, Franklin (Justice Smith) dan Zia (Daniella Pineda).

Bagi Owen, misi ini personal karena ia ingin menyelamatkan mantan sobatnya dulu, velociraptor cerdas bernama Blue. Namun sebagaimana di semua film Jurassic Park, setiap misi ke pulau dinosaurus pasti punya maksud terselubung. Dan titik ini, saya kira anda akan meminta saya untuk berhenti membeberkan plotnya. Yang jelas, Claire dan Owen harus berusaha lebih keras untuk menyelamatkan para penghuni Isla Nublar. Usaha ini melibatkan mengendap-endap di markas musuh dan berlarian di beberapa tempat. Untung Claire sekarang tidak lagi memakai sepatu hak tinggi.

Pencapaian paling penting dari sebuah film penuh efek adalah saat kita berhenti memperhatikan efek spesialnya, alih-alih kita mulai peduli terhadap karakternya dan manut begitu saja dengan filmnya. Sutradara film, JA Bayona menerapkan teknik efektif yang tidak kentara. Filmografinya mulai dari film minimalis seperti horor gothic The Orphanage sampai yang punya sekuens besar macam film bencana The Impossible. Oleh karena itu, ia mampu bertindak dengan mulus pada berbagai momen. Disini, ia bermain dengan trik kamera, siluet, dan bayangan untuk mengarahkan intensitas. Di satu titik, ia bahkan mampu menyetir emosi.

Salah satu adegan terbaik adalah ketika erupsi gunung berapi berlangsung. Hampir semua dinosaurus berbondong-bondong melarikan diri, sementara karakter kita ikut terseret di dalamnya. Ini adalah sekuens dengan skala terbesar dalam Fallen Kingdom; di antara hiruk pikuk tersebut, pembuat film masih sempat-sempatnya memasukkan pertarungan antara T-Rex dengan Stegosaurus. Namun yang bikin saya kagum adalah bagaimana Bayona memindahkan fokusnya antara dinosaurus dan karakter kita di antara destruksi masif tanpa kehilangan ketegangan.

Setelah kejadian ini, Fallen Kingdom akhirnya membawa dinosaurus keluar pulau... lalu ke tengah masyarakat? Tidak juga. Bagian selanjutnya adalah kesempatan bagi Bayona untuk menunjukkan kemahirannya dalam menggunakan koridor, kamar, tangga, atap, lift, dan kerangkeng untuk menyajikan kebrutalan dinosaurus. Kali ini aksi mereka lebih gamblang daripada yang diperlihatkan Colin Trevorrow dalam Jurassic World. Tentu saja, harus ada anak kecil (Isabella Sermon) yang terjebak di tengah-tengahnya.

Saya tak tahu apakah yang terjadi dalam Fallen Kingdom merupakan visi dari Trevorrow sejak awal. Namun menarik melihat bagaimana sutradara/penulis yang kali ini hanya bertindak sebagai penulis naskah ini membawa filmnya ke arah yang baru, sementara ia masih memakai template klise dari franchisenya. Kata "World" dalam judul Jurassic World bukan buat gaya-gayaan semata. Betul, kita takkan merasa tergugah setelah keluar bioskop. Tapi saya tak keberatan menonton film dungu selagi ia seru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Jurassic World: Fallen Kingdom

128 menit
Remaja - BO
J.A. Bayona
Colin Trevorrow, Derek Connolly
Frank Marshall, Patrick Crowley, Belén Atienza
Óscar Faura
Michael Giacchino

Friday, May 18, 2018

Review Film: 'Anon' (2018)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Anon' (2018)
link : Review Film: 'Anon' (2018)

Baca juga


Sci-Fi

Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru?

“It's not that I have something to hide. I have nothing I want you to see.”
— The Girl
Rating UP:
Kadang-kadang ketidaktahuan bisa menjadi berkah. Bayangkan seandainya kita terus dijejali dengan berbagai macam informasi nan komprehensif tanpa henti, hidup pasti akan sesak dan bikin stres. Dalam Anon, orang bisa dengan praktis mengakses semua informasi mengenai apa saja, mulai dari nama dan profesi seseorang, hingga komposisi dalam makanan. Semua tersaji dengan instan, hanya dalam sekejap mata.


Ini adalah satu lagi ide provokatif dari Andrew Niccol, penulis/sutradara yang bisa dibilang berspesialisasi mengangkat cerita tentang kehidupan manusia yang sangat bergantung pada teknologi. Di Gattaca ia bermain-main dengan konsep rekayasa DNA. Dalam In Time, orang bisa memperjualbelikan usia. Versi masa depan dalam Anon cenderung lebih dekat dengan realita masa kini. Lha, saat ini saja kita sudah dibanjiri dengan jutaan informasi hanya dari satu telepon genggam.

Namun, ide saja tak cukup untuk menjustifikasi keberadaan sebuah film. Ada film yang punya ide bagus, tapi belum tentu dieksekusi dengan greget. Anon termasuk dalam kasus tersebut. Konsep dunia yang sangat thought-provoking tadi dipakai hanya sebagai bumbu untuk sebuah film thriller whodunit yang terus terang tak begitu menggigit. Ia tak punya sensasi ketegangan, sehingga pengungkapan di momen puncak takkan membuat terhenyak. Dinamika alurnya sepucat palet warna yang digunakan untuk gambar-gambarnya.

Kendati demikian, anda semestinya tak luput menyaksikan sendiri bagaimana briliannya Niccol membangun dunianya. Secara singkat, mekanismenya adalah augmented reality, dimana semua info, termasuk iklan, di-streaming langsung ke mata. Demikian pula sebaliknya; semua yang dilihat mata akan di-upload ke jaringan internet berupa cloud storage yang disebut dengan "The Ether". Tak ada lagi privasi, karena semua peristiwa punya rekaman, tak peduli entah itu di WC atau kamar tidur. Informasi ini bisa diakses oleh siapa saja tergantung level otoritas masing-masing.

Namanya manusia, tak ada kemajuan yang tak menimbulkan peluang kerja nyeleneh. Dalam hal ini, muncul para hacker yang bisa menghapus rekaman bahkan menge-hack apa yang dilihat mata. Dengan imbalan yang sepadan, mereka bisa memodifikasi rekaman yang tak ingin dilihat orang lain. Masalah muncul saat rekaman hasil modifikasi tersebut berhubungan dengan aksi pembunuhan berantai.

Disinilah detektif Sal (Clive Owen) dibuat pusing sekaligus agak semangat. Jika biasanya aksi kriminal bisa langsung dipecahkan karena polisi bisa melihat sendiri kejadian di TKP (dan Sal tampak sudah agak bosan melakukannya), kali ini ia harus turun ke lapangan untuk melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan, yakni mendeteksi. Kebetulan sekali, sehari sebelumnya ia melihat seorang wanita yang tak punya data. Yang tidak diketahui dianggap membahayakan, sehingga sang wanita ditengarai punya andil dalam kasus tersebut. Logika Sal dkk: tak mungkin menyembunyikan diri kalau tak bersalah bukan?

Kemudian film bergerak menggunakan format film detektif noir ala-ala yang standar. Sal menyamar menggunakan identitas baru, lalu berusaha mendekati sang wanita (Amanda Seyfried). Sal tahu bahwa sang wanita merupakan salah seorang hacker. Ada ketertarikan seksual lalu begitulah. Apakah sang wanita adalah pelakunya? Anda lebih tahu; coba tebak siapa yang paling mencurigakan.

Yang lebih berkesan bagi saya adalah bagaimana teknik para hacker yang dengan lihai memanfaatkan celah dari teknologi canggih ini. Mereka pada dasarnya mampu memanipulasi realitas. Mirip-mirip jurus Sharingan yang digunakan Sasuke Uchiha dari anime Naruto. Mereka bisa mengkondisikan orang melihat sesuatu yang tak ada disana atau sebaliknya. Di satu waktu, Sal menyaksikan apartemennya terbakar. Di lain waktu, Sal kehilangan memori akan anaknya. Dan film beberapa kali mengajak kita untuk melihat langsung lewat mata karakter. Untuk mengatasi penjahat, Sal juga harus bisa menemukan celah dari celah yang dimanfaatkan hacker.

Film ini terkesan memanfaatkan dunianya yang berkonsep tinggi hanya untuk menyajikan thriller detektif. Namun di momen akhir, terungkaplah apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Niccol. Alih-alih, justru sebaliknya; concern-nya ialah soal privasi di dunia berbasis teknologi informasi. Sayangnya, film terlihat lebih berfokus pada aspek misterinya yang gak nendang itu. Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru? ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Anon

100 menit
Dewasa
Andrew Niccol
Andrew Niccol
Daniel Baur, Andrew Niccol, Oliver Simon
Amir Mokri
Christophe Beck

Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru?

“It's not that I have something to hide. I have nothing I want you to see.”
— The Girl
Rating UP:
Kadang-kadang ketidaktahuan bisa menjadi berkah. Bayangkan seandainya kita terus dijejali dengan berbagai macam informasi nan komprehensif tanpa henti, hidup pasti akan sesak dan bikin stres. Dalam Anon, orang bisa dengan praktis mengakses semua informasi mengenai apa saja, mulai dari nama dan profesi seseorang, hingga komposisi dalam makanan. Semua tersaji dengan instan, hanya dalam sekejap mata.


Ini adalah satu lagi ide provokatif dari Andrew Niccol, penulis/sutradara yang bisa dibilang berspesialisasi mengangkat cerita tentang kehidupan manusia yang sangat bergantung pada teknologi. Di Gattaca ia bermain-main dengan konsep rekayasa DNA. Dalam In Time, orang bisa memperjualbelikan usia. Versi masa depan dalam Anon cenderung lebih dekat dengan realita masa kini. Lha, saat ini saja kita sudah dibanjiri dengan jutaan informasi hanya dari satu telepon genggam.

Namun, ide saja tak cukup untuk menjustifikasi keberadaan sebuah film. Ada film yang punya ide bagus, tapi belum tentu dieksekusi dengan greget. Anon termasuk dalam kasus tersebut. Konsep dunia yang sangat thought-provoking tadi dipakai hanya sebagai bumbu untuk sebuah film thriller whodunit yang terus terang tak begitu menggigit. Ia tak punya sensasi ketegangan, sehingga pengungkapan di momen puncak takkan membuat terhenyak. Dinamika alurnya sepucat palet warna yang digunakan untuk gambar-gambarnya.

Kendati demikian, anda semestinya tak luput menyaksikan sendiri bagaimana briliannya Niccol membangun dunianya. Secara singkat, mekanismenya adalah augmented reality, dimana semua info, termasuk iklan, di-streaming langsung ke mata. Demikian pula sebaliknya; semua yang dilihat mata akan di-upload ke jaringan internet berupa cloud storage yang disebut dengan "The Ether". Tak ada lagi privasi, karena semua peristiwa punya rekaman, tak peduli entah itu di WC atau kamar tidur. Informasi ini bisa diakses oleh siapa saja tergantung level otoritas masing-masing.

Namanya manusia, tak ada kemajuan yang tak menimbulkan peluang kerja nyeleneh. Dalam hal ini, muncul para hacker yang bisa menghapus rekaman bahkan menge-hack apa yang dilihat mata. Dengan imbalan yang sepadan, mereka bisa memodifikasi rekaman yang tak ingin dilihat orang lain. Masalah muncul saat rekaman hasil modifikasi tersebut berhubungan dengan aksi pembunuhan berantai.

Disinilah detektif Sal (Clive Owen) dibuat pusing sekaligus agak semangat. Jika biasanya aksi kriminal bisa langsung dipecahkan karena polisi bisa melihat sendiri kejadian di TKP (dan Sal tampak sudah agak bosan melakukannya), kali ini ia harus turun ke lapangan untuk melakukan apa yang seharusnya ia kerjakan, yakni mendeteksi. Kebetulan sekali, sehari sebelumnya ia melihat seorang wanita yang tak punya data. Yang tidak diketahui dianggap membahayakan, sehingga sang wanita ditengarai punya andil dalam kasus tersebut. Logika Sal dkk: tak mungkin menyembunyikan diri kalau tak bersalah bukan?

Kemudian film bergerak menggunakan format film detektif noir ala-ala yang standar. Sal menyamar menggunakan identitas baru, lalu berusaha mendekati sang wanita (Amanda Seyfried). Sal tahu bahwa sang wanita merupakan salah seorang hacker. Ada ketertarikan seksual lalu begitulah. Apakah sang wanita adalah pelakunya? Anda lebih tahu; coba tebak siapa yang paling mencurigakan.

Yang lebih berkesan bagi saya adalah bagaimana teknik para hacker yang dengan lihai memanfaatkan celah dari teknologi canggih ini. Mereka pada dasarnya mampu memanipulasi realitas. Mirip-mirip jurus Sharingan yang digunakan Sasuke Uchiha dari anime Naruto. Mereka bisa mengkondisikan orang melihat sesuatu yang tak ada disana atau sebaliknya. Di satu waktu, Sal menyaksikan apartemennya terbakar. Di lain waktu, Sal kehilangan memori akan anaknya. Dan film beberapa kali mengajak kita untuk melihat langsung lewat mata karakter. Untuk mengatasi penjahat, Sal juga harus bisa menemukan celah dari celah yang dimanfaatkan hacker.

Film ini terkesan memanfaatkan dunianya yang berkonsep tinggi hanya untuk menyajikan thriller detektif. Namun di momen akhir, terungkaplah apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Niccol. Alih-alih, justru sebaliknya; concern-nya ialah soal privasi di dunia berbasis teknologi informasi. Sayangnya, film terlihat lebih berfokus pada aspek misterinya yang gak nendang itu. Dengan treatment yang seperti ini, wajar dong kalau penonton menangkap filmnya dengan keliru? ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Anon

100 menit
Dewasa
Andrew Niccol
Andrew Niccol
Daniel Baur, Andrew Niccol, Oliver Simon
Amir Mokri
Christophe Beck

Sunday, April 15, 2018

Review Film: 'Rampage' (2018)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Rampage' (2018)
link : Review Film: 'Rampage' (2018)

Baca juga


Sci-Fi

Barangkali film ini bakal jauh lebih asyik kalau ia tak malu-malu untuk tampil konyol sepenuhnya.

“This is what happens when you mess with my friend, mother...”
— Davis Okoye
Rating UP:
Sebetulnya saya sudah siap untuk memberikan rating 4 bagi Rampage, bahkan saat baru melihat trailernya saja. Film ini dibintangi oleh, bukan satu, bukan dua, tapi tiga hewan buas yang siap menggila dan membuat kekacauan. Hewan buas bukan sembarang hewan buas, melainkan hewan buas mutan: gorila raksasa, serigala terbang, dan buaya monster. Tambahkan anakonda gergasi, maka saya akan mengobral rating 5. Dan siapa lagi aktor yang bisa menjual film sedungu itu kalau bukan Dwayne "The Rock" Johnson. Rasanya mustahil untuk membuat film yang membosankan dari premis yang konyol seperti itu.


Namun film ini ternyata tak semenggelikan dan seasyik yang saya kira. Tentu saja saat mereka mengamuk di kota, melempar mobil, menerkam helikopter, atau memporak-porandakan gedung, filmnya jadi seru betul, karena hellaw tak ada film yang tak seru kalau menampilkan adegan-adegan tersebut. Usaha untuk membuat plot yang kredibel lah yang menahannya untuk menjadi film yang hqq serunya.

Apakah kita butuh penjelasan panjang lebar mengenai bagaimana sesuatu terjadi? Apakah kita peduli dengan konspirasi dari perusahaan riset yang keji? Apakah kita percaya bahwa film mempersembahkan analogi tragedi 9/11 padahal sebelumnya menampilkan kematian tokoh antagonis demi tujuan komikal? Cepat bawa 4 monster tadi (saya memasukkan Dwayne Johnson ke dalam hitungan) ke kota dan biarkan mereka melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Sebagaimana yang kita tahu, film ini diangkat dari salah satu permainan mesin dingdong. Kalimat tadi adalah pernyataan jebakan. Kalau anda langsung mengangguk saat membacanya, berarti anda sudah jadi papa/mama generasi milenial. Atau minimal om/tante generasi milenial.

Saya jadi ngelantur. Oke, lanjut.

Bagi adik-adik ucul yang belum tahu soal dingdong, bisa diklik disini. Cara memainkan permainan Rampage sederhana: kita boleh mengontrol salah satu dari 3 monster untuk menghancurkan kota sehancur-hancurnya sembari menghindari serangan balik dari militer. Monster ini aslinya adalah manusia yang termutasi. Tapi film menggantinya dengan hewan yang terinfeksi oleh serum beracun buatan Engyne Corp. Untuk memberitahu kita betapa berbahayanya serum tersebut, film dibuka dengan stasiun luar angkasa yang diluluhlantakkan oleh seekor tikus mutan. Saya mohon agar ia tolong dibuatkan film sendiri.

Serum ini jatuh ke 3 tempat: sebuah hutan, sebuah rawa, dan sebuah cagar alam. Tempat terakhir kebetulan dihuni oleh George, gorila albino cerdas yang bersahabat karib dengan Dwayne Johnson yang kali ini berkesempatan bermain sebagai ahli primata bernama Davis Okoye. Tentu saja, tak mengejutkan saat mengetahui bahwa Davis sebelumnya adalah seorang tentara, karena film ini nanti membutuhkannya untuk memiloti helikopter dan menenteng senapan.

Pastinya, kemunculan tiba-tiba dari monster-monster ini mustahil tak ketahuan, dan pemerintah berusaha mati-matian untuk menetralisir mereka. Ini dia film yang membutuhkan sikon dimana para pemegang tanggung jawab harus selalu bandel dan tak mengindahkan saran dari para ahli di bidangnya (ehem, satir dikit biar dikira intelek), agar bencana yang lebih besar bisa terjadi. Dalam hal ini, Rampage tak mengecewakan. Keputusan-keputusan dungu memberi kans bagi monster-monster kita untuk semakin menggila.

Yang berada di peringkat pertama soal kedunguan adalah dua bersaudara petinggi Engyne Corp, Claire (Malin Akerman) dan Brett (Jake Lacy) yang punya ide brilian untuk memancing 3 monster ini ke gedung utama mereka yang btw berada di tengah kota hanya demi mengambil sekeping DNA. Bagaimana mereka melakukannya? Siapa peduli. Kalau anda mulai mempertanyakan logika, maka patut diingat bahwa Claire dan Brett memancing monster ke gedung mereka saat MEREKA MASIH BERADA DI GEDUNG TERSEBUT!

Tak perlu logika karena semua itu semata-mata merupakan prolog agar para monster kita bisa berkumpul di satu tempat sembari mengacak-acak apapun di sepanjang jalan mereka. Tidak jelas pula bagaimana cara menghentikan monster raksasa yang nyaris tak bisa ditaklukkan ini, meski kalau saya ingat lagi rasa-rasanya film menggunakan piranti plot berupa vaksin. Huft. Sebenarnya tak perlu sih, soalnya kan kita sudah punya DWAYNE "THE ROCK" JOHNSON!

Kalau film berhenti disana lalu alih-alih menyajikan lebih banyak huru-hara yang ditimbulkan monster, maka saya takkan mengurangi rencana pemberian rating 4 tadi. Namun, ada sedikit nuansa-nuansa agak serius yang coba dihadirkan lewat karakter Naomi Harris yang bermain sebagai mantan ilmuwan Engyne Corp serta persahabatan antara Davis dengan George. Ini tak keliru sih sebenarnya, tapi tone-nya tidak begitu ngeklik dengan film secara keseluruhan, sehingga terasa agak canggung.

Satu-satunya materi aditif lain yang saya nikmati cuma Jeffrey Dean Morgan yang memberikan penampilan seolah sangat menyadari bahwa ia sedang bermain di film seperti apa. Dengan gaya sengaknya yang sok keren, ia mengklaim diri sebagai agen rahasia yang bukan CIA, FBI, atau Justice League, melainkan OGA, "Other Goverment Agency"/"Agensi Pemerintah yang Satunya" yang bertugas membereskan misi-misi nyeleneh. Salah satu anggota timnya adalah Joe Manganiello yang langsung menghilang sebelum ia punya kesempatan untuk pamer sixpack.

Film ini melibatkan tim dari San Andreas, film bencana yang juga dibintangi Johnson, termasuk sutradara Brad Peyton. Efek spesialnya meyakinkan, dan Peyton sepertinya cukup mampu menghandel spektakel besar yang melibatkan monster raksasa dan kehancuran spektakuler. Mudah untuk mengikuti kekacauan yang disajikannya di momen puncak yang baru hadir di 15 menit terakhir. Saya berharap semua ini terjadi lebih awal, karena jujur saja, bagian sebelum itu lumayan membosankan. Barangkali film ini bakal jauh lebih asyik kalau ia tak malu-malu untuk tampil konyol sepenuhnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Rampage

107 menit
Remaja
Brad Peyton
Ryan Engle, Carlton Cuse, Ryan J. Condal, Adam Sztykiel
Brad Peyton, Beau Flynn, John Rickard, Hiram Garcia
Jaron Presant
Andrew Lockington

Barangkali film ini bakal jauh lebih asyik kalau ia tak malu-malu untuk tampil konyol sepenuhnya.

“This is what happens when you mess with my friend, mother...”
— Davis Okoye
Rating UP:
Sebetulnya saya sudah siap untuk memberikan rating 4 bagi Rampage, bahkan saat baru melihat trailernya saja. Film ini dibintangi oleh, bukan satu, bukan dua, tapi tiga hewan buas yang siap menggila dan membuat kekacauan. Hewan buas bukan sembarang hewan buas, melainkan hewan buas mutan: gorila raksasa, serigala terbang, dan buaya monster. Tambahkan anakonda gergasi, maka saya akan mengobral rating 5. Dan siapa lagi aktor yang bisa menjual film sedungu itu kalau bukan Dwayne "The Rock" Johnson. Rasanya mustahil untuk membuat film yang membosankan dari premis yang konyol seperti itu.


Namun film ini ternyata tak semenggelikan dan seasyik yang saya kira. Tentu saja saat mereka mengamuk di kota, melempar mobil, menerkam helikopter, atau memporak-porandakan gedung, filmnya jadi seru betul, karena hellaw tak ada film yang tak seru kalau menampilkan adegan-adegan tersebut. Usaha untuk membuat plot yang kredibel lah yang menahannya untuk menjadi film yang hqq serunya.

Apakah kita butuh penjelasan panjang lebar mengenai bagaimana sesuatu terjadi? Apakah kita peduli dengan konspirasi dari perusahaan riset yang keji? Apakah kita percaya bahwa film mempersembahkan analogi tragedi 9/11 padahal sebelumnya menampilkan kematian tokoh antagonis demi tujuan komikal? Cepat bawa 4 monster tadi (saya memasukkan Dwayne Johnson ke dalam hitungan) ke kota dan biarkan mereka melakukan apa yang harus mereka lakukan.

Sebagaimana yang kita tahu, film ini diangkat dari salah satu permainan mesin dingdong. Kalimat tadi adalah pernyataan jebakan. Kalau anda langsung mengangguk saat membacanya, berarti anda sudah jadi papa/mama generasi milenial. Atau minimal om/tante generasi milenial.

Saya jadi ngelantur. Oke, lanjut.

Bagi adik-adik ucul yang belum tahu soal dingdong, bisa diklik disini. Cara memainkan permainan Rampage sederhana: kita boleh mengontrol salah satu dari 3 monster untuk menghancurkan kota sehancur-hancurnya sembari menghindari serangan balik dari militer. Monster ini aslinya adalah manusia yang termutasi. Tapi film menggantinya dengan hewan yang terinfeksi oleh serum beracun buatan Engyne Corp. Untuk memberitahu kita betapa berbahayanya serum tersebut, film dibuka dengan stasiun luar angkasa yang diluluhlantakkan oleh seekor tikus mutan. Saya mohon agar ia tolong dibuatkan film sendiri.

Serum ini jatuh ke 3 tempat: sebuah hutan, sebuah rawa, dan sebuah cagar alam. Tempat terakhir kebetulan dihuni oleh George, gorila albino cerdas yang bersahabat karib dengan Dwayne Johnson yang kali ini berkesempatan bermain sebagai ahli primata bernama Davis Okoye. Tentu saja, tak mengejutkan saat mengetahui bahwa Davis sebelumnya adalah seorang tentara, karena film ini nanti membutuhkannya untuk memiloti helikopter dan menenteng senapan.

Pastinya, kemunculan tiba-tiba dari monster-monster ini mustahil tak ketahuan, dan pemerintah berusaha mati-matian untuk menetralisir mereka. Ini dia film yang membutuhkan sikon dimana para pemegang tanggung jawab harus selalu bandel dan tak mengindahkan saran dari para ahli di bidangnya (ehem, satir dikit biar dikira intelek), agar bencana yang lebih besar bisa terjadi. Dalam hal ini, Rampage tak mengecewakan. Keputusan-keputusan dungu memberi kans bagi monster-monster kita untuk semakin menggila.

Yang berada di peringkat pertama soal kedunguan adalah dua bersaudara petinggi Engyne Corp, Claire (Malin Akerman) dan Brett (Jake Lacy) yang punya ide brilian untuk memancing 3 monster ini ke gedung utama mereka yang btw berada di tengah kota hanya demi mengambil sekeping DNA. Bagaimana mereka melakukannya? Siapa peduli. Kalau anda mulai mempertanyakan logika, maka patut diingat bahwa Claire dan Brett memancing monster ke gedung mereka saat MEREKA MASIH BERADA DI GEDUNG TERSEBUT!

Tak perlu logika karena semua itu semata-mata merupakan prolog agar para monster kita bisa berkumpul di satu tempat sembari mengacak-acak apapun di sepanjang jalan mereka. Tidak jelas pula bagaimana cara menghentikan monster raksasa yang nyaris tak bisa ditaklukkan ini, meski kalau saya ingat lagi rasa-rasanya film menggunakan piranti plot berupa vaksin. Huft. Sebenarnya tak perlu sih, soalnya kan kita sudah punya DWAYNE "THE ROCK" JOHNSON!

Kalau film berhenti disana lalu alih-alih menyajikan lebih banyak huru-hara yang ditimbulkan monster, maka saya takkan mengurangi rencana pemberian rating 4 tadi. Namun, ada sedikit nuansa-nuansa agak serius yang coba dihadirkan lewat karakter Naomi Harris yang bermain sebagai mantan ilmuwan Engyne Corp serta persahabatan antara Davis dengan George. Ini tak keliru sih sebenarnya, tapi tone-nya tidak begitu ngeklik dengan film secara keseluruhan, sehingga terasa agak canggung.

Satu-satunya materi aditif lain yang saya nikmati cuma Jeffrey Dean Morgan yang memberikan penampilan seolah sangat menyadari bahwa ia sedang bermain di film seperti apa. Dengan gaya sengaknya yang sok keren, ia mengklaim diri sebagai agen rahasia yang bukan CIA, FBI, atau Justice League, melainkan OGA, "Other Goverment Agency"/"Agensi Pemerintah yang Satunya" yang bertugas membereskan misi-misi nyeleneh. Salah satu anggota timnya adalah Joe Manganiello yang langsung menghilang sebelum ia punya kesempatan untuk pamer sixpack.

Film ini melibatkan tim dari San Andreas, film bencana yang juga dibintangi Johnson, termasuk sutradara Brad Peyton. Efek spesialnya meyakinkan, dan Peyton sepertinya cukup mampu menghandel spektakel besar yang melibatkan monster raksasa dan kehancuran spektakuler. Mudah untuk mengikuti kekacauan yang disajikannya di momen puncak yang baru hadir di 15 menit terakhir. Saya berharap semua ini terjadi lebih awal, karena jujur saja, bagian sebelum itu lumayan membosankan. Barangkali film ini bakal jauh lebih asyik kalau ia tak malu-malu untuk tampil konyol sepenuhnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Rampage

107 menit
Remaja
Brad Peyton
Ryan Engle, Carlton Cuse, Ryan J. Condal, Adam Sztykiel
Brad Peyton, Beau Flynn, John Rickard, Hiram Garcia
Jaron Presant
Andrew Lockington

Saturday, October 14, 2017

Review Film: 'Geostorm' (2017)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Geostorm' (2017)
link : Review Film: 'Geostorm' (2017)

Baca juga


Sci-Fi

Film 'Geostorm' tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?

“You can't just touch it and expect everything to work.”
— Jake Lawson
Rating UP:
Berani taruhan bahwa 90% dari penonton yang membeli tiket akan kecewa mendapati film yang mereka tonton ini. Ketika masuk ke bioskop yang menayangkan Geostorm, penonton berharap melihat geostorm, terlepas dari apakah mereka paham apa arti kata tersebut atau tidak. Kita tak mengharapkan hal lain, apalagi lebih sering menyaksikan orang-orang yang ngomong tanpa henti atau terlihat khawatir di depan layar komputer. Film Geostorm tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?


Film ini harusnya bisa menjadi 2012-nya 2017. Maksud saya, rajanya film bencana dikarenakan usahanya untuk memasukkan segala macam jenis bencana alam ke dalam satu film. Posternya menyesatkan; kita melihat tsunami besar melanda kota. Namun, sebagian besar film dihabiskan dengan obrolan seputar keluarga, kalau tidak yaa konspirasi pemerintah, kalau tidak yaa jargon canggih yang nonsens.

Bukannya saya komplain soal film bencana yang doyan memakai jargon canggih yang nonsens. Film bencana yang efektif, menggunakan hal tersebut sebagai build-up, membuat kita mengantipasi bahaya yang akan datang. Kita tak peduli apakah itu masuk akal secara logika atau hukum fisika, namun percaya saja, wong filmnya bilang begitu. Akan tetapi, ada begitu banyak obrolan seperti itu di dalam film ini, seolah-olah ia bermain seperti A Spacetime Odyssey saja. Padahal masuk akal saja tidak, boro-boro ilmiah. Sekilas info: tak ada orang yang berharap menjadi lebih cerdas setelah menonton film semacam Geostorm. Ketika melihat mobil berkejaran menghindari hujan petir, saya berteriak girang. Ini dia film yang ingin saya tonton. Tiba-tiba, filmnya habis.

Film ini memang juga memparadekan bangunan dan kota yang porak-poranda dengan lebay. Cuma sebentar tapi. Sebagaimana semua film bencana, sekuens seperti ini menggelikan tapi seru untuk ditonton. Premis Geostorm sebenarnya sudah sangat pas sekali konyolnya, tapi ia hanya sebatas menggoda saja. Faktanya, dan ini sangat spoiler sekali, film ini tak menampilkan geostorm sama sekali. Geostorm berhasil dicegah sebelum terjadi. Jadi lebih akurat jika judulnya "Pra-Geostorm".

Yang mencegahnya —dan saya harus menekankan ini— seorang diri (!) adalah Gerard Butler yang bermain sebagai Jake, ilmuwan yang luar biasa cerdas tapi juga luar biasa slenge’an sampai santai saja meledek anggota DPR saat sedang rapat. Untung kejadiannya di Amerika, jadi Jake hanya dipecat saja dari jabatannya sebagai koordinator “Dutch Boy”. Ia digantikan oleh adiknya sendiri, Max (Jim Sturgess). Di Indonesia bikin meme saja bisa dipidanakan, apalagi meledek langsung, Jake.

Oh, saya lupa soal “Dutch Boy”. Perangkat ini adalah semacam satelit yang dibuat oleh 18 negara untuk menanggulangi cuaca ekstrim. Diceritakan di awal bahwa di tahun 2019 bumi dilanda perubahan iklim yang mengerikan. Satelit tadi mampu menetralisir cuaca seperti apapun dengan cara, uhm, menembakkan rudal-rudal yang saya asumsikan sangat-sangat canggih. Tentu saja, alat ini di kemudian hari mengalami malfungsi, yang diprediksi akan memberikan bumi sebuah bencana pamungkas bernama g-e-o-s-t-o-r-m.

Jadi, oleh karena “Dutch Boy” ini rusak, maka kita akan melihat orang-orang tunggang-langgang di jalanan dan kota dibuat berjumpalitan? Hmm, tidak juga, karena misteri di balik sabotase “Dutch Boy” lebih penting. Presiden Amerika (Andy Garcia) serta sekretarisnya (Ed Harris) meminta Max untuk memanggil kembali Jake. Jake harus menangani malfungsi di satelit tersebut, sementara Max, yang ngomong-ngomong pacaran dengan anggota paspampres (Abbie Cornish), menyelidiki siapa dalang dari peristiwa tersebut di bumi.

Dalam film lain, subplot semacam ini biasanya jadi bumbu saja. Dalam Geostorm, ia menjadi bahan utama. Sabotase terjadi beberapa saat ketika Amerika, yang memegang kendali sementara “Dutch Boy”, harus menyerahkan satelit ini kepada PBB. Kejadian in kebetulan bertepatan pula dengan momen kampanye pemilu presiden. Apalagi coba pemicu konflik kalau bukan politik. Helaw, orang-orang di belahan bumi lain lagi panik btw; Timur Tengah diterpa salju, pantai di Brazil membeku, dan suhu udara Hongkong sampai melelehkan aspal. Kalau mau fokus konspirasi politik, kita mending membaca hikayat Setnov.

Film ini digarap oleh Dean Devlin yang memulai debutnya sebagai sutradara setelah bertahun-tahun menjadi produser bagi Roland Emmerich, bapaknya film bencana yang sudah kita akrabi lewat Independence Day, The Day After Tomorrow, dan 2012. Meski berdurasi singkat, efek spesialnya cukup mengagumkan. Mungkin karena dipoles bertahun-tahun. Tapi film bencana bukan sekedar menghancurkan gedung atau monumen. Manusia, sekonyol apapun prilaku mereka di film, adalah salah satu elemen yang membuat film bencana menjadi seru. Makin histeris, makin seru. Apa gunanya film bencana kalau kita tak merasakan bencana yang dirasakan karakternya? Itulah kenapa orang menyewa Emmerich.

Satu pertanyaan mengganjal yang muncul ketika saya melihat Gerard Butler mengambang di ruang angkasa dalam baju astronotnya: bagaimana sebenarnya mekanisme “Dutch Boy”? Satelit ini berfungsi untuk mencegah cuaca ekstrim. Saat disabotase, ia akan memicu geostorm. Tokoh utama kita berjuang mati-matian mengatasi hal tersebut, yang ujung-ujungnya adalah dengan menghancurkan “Dutch Boy”. Nah lho, kalau “Dutch Boy” hancur, bumi dilanda cuaca ekstrim lagi dong? Jika sekuelnya dirilis, saya pasti akan menontonnya. Di film tersebut kita pasti akan mendapatkan bencana sungguhan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Geostorm

109 menit
Remaja
Dean Devlin
Dean Devlin, Paul Guyot
David Ellison, Dean Devlin, Dana Goldberg
Roberto Schaefer
Lorne Balfe

Film 'Geostorm' tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?

“You can't just touch it and expect everything to work.”
— Jake Lawson
Rating UP:
Berani taruhan bahwa 90% dari penonton yang membeli tiket akan kecewa mendapati film yang mereka tonton ini. Ketika masuk ke bioskop yang menayangkan Geostorm, penonton berharap melihat geostorm, terlepas dari apakah mereka paham apa arti kata tersebut atau tidak. Kita tak mengharapkan hal lain, apalagi lebih sering menyaksikan orang-orang yang ngomong tanpa henti atau terlihat khawatir di depan layar komputer. Film Geostorm tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?


Film ini harusnya bisa menjadi 2012-nya 2017. Maksud saya, rajanya film bencana dikarenakan usahanya untuk memasukkan segala macam jenis bencana alam ke dalam satu film. Posternya menyesatkan; kita melihat tsunami besar melanda kota. Namun, sebagian besar film dihabiskan dengan obrolan seputar keluarga, kalau tidak yaa konspirasi pemerintah, kalau tidak yaa jargon canggih yang nonsens.

Bukannya saya komplain soal film bencana yang doyan memakai jargon canggih yang nonsens. Film bencana yang efektif, menggunakan hal tersebut sebagai build-up, membuat kita mengantipasi bahaya yang akan datang. Kita tak peduli apakah itu masuk akal secara logika atau hukum fisika, namun percaya saja, wong filmnya bilang begitu. Akan tetapi, ada begitu banyak obrolan seperti itu di dalam film ini, seolah-olah ia bermain seperti A Spacetime Odyssey saja. Padahal masuk akal saja tidak, boro-boro ilmiah. Sekilas info: tak ada orang yang berharap menjadi lebih cerdas setelah menonton film semacam Geostorm. Ketika melihat mobil berkejaran menghindari hujan petir, saya berteriak girang. Ini dia film yang ingin saya tonton. Tiba-tiba, filmnya habis.

Film ini memang juga memparadekan bangunan dan kota yang porak-poranda dengan lebay. Cuma sebentar tapi. Sebagaimana semua film bencana, sekuens seperti ini menggelikan tapi seru untuk ditonton. Premis Geostorm sebenarnya sudah sangat pas sekali konyolnya, tapi ia hanya sebatas menggoda saja. Faktanya, dan ini sangat spoiler sekali, film ini tak menampilkan geostorm sama sekali. Geostorm berhasil dicegah sebelum terjadi. Jadi lebih akurat jika judulnya "Pra-Geostorm".

Yang mencegahnya —dan saya harus menekankan ini— seorang diri (!) adalah Gerard Butler yang bermain sebagai Jake, ilmuwan yang luar biasa cerdas tapi juga luar biasa slenge’an sampai santai saja meledek anggota DPR saat sedang rapat. Untung kejadiannya di Amerika, jadi Jake hanya dipecat saja dari jabatannya sebagai koordinator “Dutch Boy”. Ia digantikan oleh adiknya sendiri, Max (Jim Sturgess). Di Indonesia bikin meme saja bisa dipidanakan, apalagi meledek langsung, Jake.

Oh, saya lupa soal “Dutch Boy”. Perangkat ini adalah semacam satelit yang dibuat oleh 18 negara untuk menanggulangi cuaca ekstrim. Diceritakan di awal bahwa di tahun 2019 bumi dilanda perubahan iklim yang mengerikan. Satelit tadi mampu menetralisir cuaca seperti apapun dengan cara, uhm, menembakkan rudal-rudal yang saya asumsikan sangat-sangat canggih. Tentu saja, alat ini di kemudian hari mengalami malfungsi, yang diprediksi akan memberikan bumi sebuah bencana pamungkas bernama g-e-o-s-t-o-r-m.

Jadi, oleh karena “Dutch Boy” ini rusak, maka kita akan melihat orang-orang tunggang-langgang di jalanan dan kota dibuat berjumpalitan? Hmm, tidak juga, karena misteri di balik sabotase “Dutch Boy” lebih penting. Presiden Amerika (Andy Garcia) serta sekretarisnya (Ed Harris) meminta Max untuk memanggil kembali Jake. Jake harus menangani malfungsi di satelit tersebut, sementara Max, yang ngomong-ngomong pacaran dengan anggota paspampres (Abbie Cornish), menyelidiki siapa dalang dari peristiwa tersebut di bumi.

Dalam film lain, subplot semacam ini biasanya jadi bumbu saja. Dalam Geostorm, ia menjadi bahan utama. Sabotase terjadi beberapa saat ketika Amerika, yang memegang kendali sementara “Dutch Boy”, harus menyerahkan satelit ini kepada PBB. Kejadian in kebetulan bertepatan pula dengan momen kampanye pemilu presiden. Apalagi coba pemicu konflik kalau bukan politik. Helaw, orang-orang di belahan bumi lain lagi panik btw; Timur Tengah diterpa salju, pantai di Brazil membeku, dan suhu udara Hongkong sampai melelehkan aspal. Kalau mau fokus konspirasi politik, kita mending membaca hikayat Setnov.

Film ini digarap oleh Dean Devlin yang memulai debutnya sebagai sutradara setelah bertahun-tahun menjadi produser bagi Roland Emmerich, bapaknya film bencana yang sudah kita akrabi lewat Independence Day, The Day After Tomorrow, dan 2012. Meski berdurasi singkat, efek spesialnya cukup mengagumkan. Mungkin karena dipoles bertahun-tahun. Tapi film bencana bukan sekedar menghancurkan gedung atau monumen. Manusia, sekonyol apapun prilaku mereka di film, adalah salah satu elemen yang membuat film bencana menjadi seru. Makin histeris, makin seru. Apa gunanya film bencana kalau kita tak merasakan bencana yang dirasakan karakternya? Itulah kenapa orang menyewa Emmerich.

Satu pertanyaan mengganjal yang muncul ketika saya melihat Gerard Butler mengambang di ruang angkasa dalam baju astronotnya: bagaimana sebenarnya mekanisme “Dutch Boy”? Satelit ini berfungsi untuk mencegah cuaca ekstrim. Saat disabotase, ia akan memicu geostorm. Tokoh utama kita berjuang mati-matian mengatasi hal tersebut, yang ujung-ujungnya adalah dengan menghancurkan “Dutch Boy”. Nah lho, kalau “Dutch Boy” hancur, bumi dilanda cuaca ekstrim lagi dong? Jika sekuelnya dirilis, saya pasti akan menontonnya. Di film tersebut kita pasti akan mendapatkan bencana sungguhan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Geostorm

109 menit
Remaja
Dean Devlin
Dean Devlin, Paul Guyot
David Ellison, Dean Devlin, Dana Goldberg
Roberto Schaefer
Lorne Balfe

Review Film: 'Blade Runner 2049' (2017)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Blade Runner 2049' (2017)
link : Review Film: 'Blade Runner 2049' (2017)

Baca juga


Sci-Fi

'Blade Runner 2049' tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya.

“Things were simpler then.”
— K
Rating UP:
Blade Runner 2049 adalah sekuel yang sepadan bagi pendahulunya, Blade Runner yang sekarang menyandang status sebagai film cult yang legendaris. Sutradara Denis Villeneuve baru saja memberikan sebuah pencapaian yang hampir mustahil dilakukan. Ia menghormati film pendahulunya, mengekspansi mitologinya, sekaligus membuat sebuah film bagus yang bisa berdiri sendiri. Blade Runner 2049 layak bersanding dengan Aliens, Star Wars: The Empire Strikes Back, dan Terminator 2: Judgment Day sebagai film sekuel terbaik.


Eksistensi Blade Runner 2049 sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu keajaiban. Langka sekali studio yang mau bertaruh seriskan ini, membangkitkan kembali merek yang bukan sebuah properti klasik yang menjanjikan secara komersial. Memang Blade Runner merupakan salah satu film scifi paling berpengaruh, namun ia gagal mencatatkan raihan box office yang jangankan menguntungkan, balik modal saja tidak. Bahkan petinggi Warner Bros sendiri takut penonton takkan mengerti dengan filmnya sampai harus menambahkan narasi yang menganggu di dalam versi orisinalnya yang dirilis di tahun 1982. Jadi kita harus memberikan kredit kepada siapapun eksekutif Warner Bros sekarang yang nekat melampuhijaukan proyek ini lantas memberikan bujet jor-joran kepada Villeneuve, sutradara yang notabene tak dikenal karena keterampilan blockbusternya.

Ketika menonton Arrival, saya mendapati gaya sinematis Villeneuve sedikit menjauhkan saya dari elemen manusiawi filmnya. Blade Runner 2049 ternyata wadah yang sangat pas bagi gaya Villeneuve yang dingin, kaku, dan selow, karena dunia Blade Runner adalah dunia yang dingin. Ia diisi dengan karakter non-manusia, dan kalaupun ada manusianya, mereka tak bertingkah manusiawi. Sebentar. Atau jangan-jangan mereka memang bukan manusia?

Salah satu aspek yang membuat filmnya segar adalah karena ia dibangun dengan pondasi yang cerdas. Ia tahu apa yang kita sudah tahu. Blade Runner 2049 tak lagi bermain dengan persepsi di Blade Runner dimana Replika (terjemahan resmi dari istilah “Replicant”) secara umum tak tahu bahwa mereka adalah Replika. Para Replika sudah cukup pintar untuk menyadari jati diri mereka. Mereka tahu bahwa ingatan mereka ditanam. Namun di film ini tetap ada sesuatu, yang tak berani saya ungkap disini, yang membuat mereka merasa semakin mendekati manusia. Konfliknya selalu soal Replika yang ingin menjadi manusia, dan Blade Runner 2049 mengambil perspektif yang semakin memperdalam tema tersebut. Ruang lingkup plotnya relatif lebih kecil dibanding Blade Runner tapi temanya semakin berkembang.

Di Amerika, Villeneuve dan Warner Bros meminta kritikus untuk tak mengungkap sebagian besar poin plot dan karakter tertentu dalam review mereka. Bukannya saya sok-sokan kritikus—apalah blog saya ini— tapi saya akan melakukan hal yang sama, karena memang cara terbaik untuk menikmati film ini adalah dengan mengetahui tentangnya sesedikit mungkin. Beberapa bagian cerita dan beberapa pengungkapannya memang lebih baik tak tersentuh sebelum menontonnya langsung. Saya akan manut dengan wangsit dari Villeneuve, dan hanya akan memaparkan konteks dan apa yang kita tahu dari materi promonya, seperti kemunculan Rick Deckard (Harrison Ford) atau peristiwa blackout di tahun 2020 yang menghapus semua data mengenai Replika.

Tokoh utama kita adalah K (Ryan Gosling), seorang Blade Runner —polisi yang ditugaskan untuk memburu dan “menetralisir” Replika— yang tahu bahwa ia adalah Replika. Gosling merupakan pilihan sempurna untuk memerankan K. Ia aktor karismatik yang bisa menyembunyikan ekspresi di permukaan —ia bahkan tak pernah tersenyum— tapi menyimpan banyak emosi di dalam. Blade Runner 2049 merupakan perjalanan spiritual bagi K.

Setiap selesai menuntaskan misi, ia diwajibkan oleh bosnya, Letnan Joshi (Robin Wright) melakukan tes psikologis sederhana untuk memastikan kewarasannya sebagai Replika. Ia sadar bahwa ia tak punya masa kecil, bahwa masa kanak-kanaknya yang bermain dengan miniatur kuda kayu adalah ingatan yang ditanam. Atau jangan-jangan bukan begitu? K adalah penyendiri tapi ia tinggal bersama pacar hologram bernama Joi (Ana de Armas) yang bisa berganti baju dari satu pakaian seksi ke pakaian seksi lainnya dalam sekejap, membuatkannya masakan fiktif, dan memberinya perhatian dan kehangatan yang tak didapatkannya dari manusia.

Pasca blackout di tahun 2020, perusahaan Tyrell kolaps. Bisnis produksi Replika sekarang diambil alih oleh jenius sinting Niander Wallace (Jared Leto) yang punya mata seram dan banyak bicara soal omong kosong filosofis. Perusahaan Wallace menciptakan Replika model baru yang lebih canggih dan lebih patuh. Ia punya ajudan seorang Replika wanita tegas bernama Luv (Sylvia Hoeks).

Plot film ini mirip dengan Blade Runner yang dimulai dengan misi sederhana ala detektif sebelum karakter utama kita terpaksa terjun ke dalam misteri noir yang lebih kompleks. Di awal film, K diperintahkan untuk melenyapkan seorang Replika lama bernama Sapper (Dave Bautista) yang hidup dengan tenang sebagai petani di sebuah desa. Namun apa yang K temukan disana membawanya ke dalam intrik yang melibatkan jati dirinya dan hakikat Replika itu sendiri. Sesuatu yang mengancam “hukum alam” yang membedakan manusia dengan Replika dan bisa menghancurkan semuanya.

Meski begitu, film ini tak mengulang lagu lama pendahulunya atau sekadar mengalihkan perhatian kita lewat nostalgia. Ia mengangkat ide baru yang merupakan hasil ekspansi dari ide lama yang menjadi tema ikonik Blade Runner. Kita bahkan tak terlalu menantikan kemunculan Deckard karena sudah begitu larut dengan ceritanya, meski Deckard sendiri punya peran yang sangat krusial nantinya. Pertanyaan filosofis dari novel Philip K. Dick yang menjadi materi sumber dari Blade Runner, ternyata masih bisa dibuat terasa baru. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan Replika saat mereka punya fisik yang mirip? Ketika memori bisa ditanam, apakah ia tak lagi relevan saat Replika menyadarinya padahal mereka merasakannya secara personal? Jika Replika bisa berpikir dan merasa, bisakah mereka disebut manusia?

Dengan durasi mencapai 163 menit, Blade Runner 2049 terasa sedikit panjang. Namun Villeneuve menjaga agar atmosfer filmnya tetap mencekat. Film ini bukan space opera berorientasi aksi melainkan misteri neo-noir yang mengandalkan mood. Tiga puluh tahun pasca Deckard menghilang, Los Angeles masih terlihat sebagai kota futuristik dengan baliho raksasa berlampu neon dan gedung-gedung gelap yang menjulang tinggi. Hanya saja, suasananya lebih buruk. Bersama sinematografer legendaris Roger Deakins, Villeneuve menyuguhkan sebuah semesta yang suram tapi cantik. Set-nya mengagumkan, dan skema warnanya —baik di reruntuhan berlatar langit jingga, balutan salju, atau klimaks di dam buatan— sangat memanjakan mata. Didampingi dengan scoring berderu dan menggelegar dari Hans Zimmer dan Benjamin Walfisch, film ini adalah pengalaman sinematis yang luar biasa.

Terlalu dini untuk menyebut Blade Runner 2049 akan menjadi film klasik seperti pendahulunya yang punya dampak besar terhadap genre scifi. Namun ini memang film yang powerful. Filmnya tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya. Ia menjawab beberapa hal dari Blade Runner sekaligus mengangkat pertanyaan-pertanyaan baru. Ceritanya anyar, tapi berhubungan kuat dengan masa lalu, sekaligus membuka kemungkinan baru untuk masa depan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Blade Runner 2049

163 menit
Dewasa
Denis Villeneuve
Hampton Fancher, Michael Green (screenplay), Philip K. Dick (novel)
Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin
Roger Deakins
Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch

'Blade Runner 2049' tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya.

“Things were simpler then.”
— K
Rating UP:
Blade Runner 2049 adalah sekuel yang sepadan bagi pendahulunya, Blade Runner yang sekarang menyandang status sebagai film cult yang legendaris. Sutradara Denis Villeneuve baru saja memberikan sebuah pencapaian yang hampir mustahil dilakukan. Ia menghormati film pendahulunya, mengekspansi mitologinya, sekaligus membuat sebuah film bagus yang bisa berdiri sendiri. Blade Runner 2049 layak bersanding dengan Aliens, Star Wars: The Empire Strikes Back, dan Terminator 2: Judgment Day sebagai film sekuel terbaik.


Eksistensi Blade Runner 2049 sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu keajaiban. Langka sekali studio yang mau bertaruh seriskan ini, membangkitkan kembali merek yang bukan sebuah properti klasik yang menjanjikan secara komersial. Memang Blade Runner merupakan salah satu film scifi paling berpengaruh, namun ia gagal mencatatkan raihan box office yang jangankan menguntungkan, balik modal saja tidak. Bahkan petinggi Warner Bros sendiri takut penonton takkan mengerti dengan filmnya sampai harus menambahkan narasi yang menganggu di dalam versi orisinalnya yang dirilis di tahun 1982. Jadi kita harus memberikan kredit kepada siapapun eksekutif Warner Bros sekarang yang nekat melampuhijaukan proyek ini lantas memberikan bujet jor-joran kepada Villeneuve, sutradara yang notabene tak dikenal karena keterampilan blockbusternya.

Ketika menonton Arrival, saya mendapati gaya sinematis Villeneuve sedikit menjauhkan saya dari elemen manusiawi filmnya. Blade Runner 2049 ternyata wadah yang sangat pas bagi gaya Villeneuve yang dingin, kaku, dan selow, karena dunia Blade Runner adalah dunia yang dingin. Ia diisi dengan karakter non-manusia, dan kalaupun ada manusianya, mereka tak bertingkah manusiawi. Sebentar. Atau jangan-jangan mereka memang bukan manusia?

Salah satu aspek yang membuat filmnya segar adalah karena ia dibangun dengan pondasi yang cerdas. Ia tahu apa yang kita sudah tahu. Blade Runner 2049 tak lagi bermain dengan persepsi di Blade Runner dimana Replika (terjemahan resmi dari istilah “Replicant”) secara umum tak tahu bahwa mereka adalah Replika. Para Replika sudah cukup pintar untuk menyadari jati diri mereka. Mereka tahu bahwa ingatan mereka ditanam. Namun di film ini tetap ada sesuatu, yang tak berani saya ungkap disini, yang membuat mereka merasa semakin mendekati manusia. Konfliknya selalu soal Replika yang ingin menjadi manusia, dan Blade Runner 2049 mengambil perspektif yang semakin memperdalam tema tersebut. Ruang lingkup plotnya relatif lebih kecil dibanding Blade Runner tapi temanya semakin berkembang.

Di Amerika, Villeneuve dan Warner Bros meminta kritikus untuk tak mengungkap sebagian besar poin plot dan karakter tertentu dalam review mereka. Bukannya saya sok-sokan kritikus—apalah blog saya ini— tapi saya akan melakukan hal yang sama, karena memang cara terbaik untuk menikmati film ini adalah dengan mengetahui tentangnya sesedikit mungkin. Beberapa bagian cerita dan beberapa pengungkapannya memang lebih baik tak tersentuh sebelum menontonnya langsung. Saya akan manut dengan wangsit dari Villeneuve, dan hanya akan memaparkan konteks dan apa yang kita tahu dari materi promonya, seperti kemunculan Rick Deckard (Harrison Ford) atau peristiwa blackout di tahun 2020 yang menghapus semua data mengenai Replika.

Tokoh utama kita adalah K (Ryan Gosling), seorang Blade Runner —polisi yang ditugaskan untuk memburu dan “menetralisir” Replika— yang tahu bahwa ia adalah Replika. Gosling merupakan pilihan sempurna untuk memerankan K. Ia aktor karismatik yang bisa menyembunyikan ekspresi di permukaan —ia bahkan tak pernah tersenyum— tapi menyimpan banyak emosi di dalam. Blade Runner 2049 merupakan perjalanan spiritual bagi K.

Setiap selesai menuntaskan misi, ia diwajibkan oleh bosnya, Letnan Joshi (Robin Wright) melakukan tes psikologis sederhana untuk memastikan kewarasannya sebagai Replika. Ia sadar bahwa ia tak punya masa kecil, bahwa masa kanak-kanaknya yang bermain dengan miniatur kuda kayu adalah ingatan yang ditanam. Atau jangan-jangan bukan begitu? K adalah penyendiri tapi ia tinggal bersama pacar hologram bernama Joi (Ana de Armas) yang bisa berganti baju dari satu pakaian seksi ke pakaian seksi lainnya dalam sekejap, membuatkannya masakan fiktif, dan memberinya perhatian dan kehangatan yang tak didapatkannya dari manusia.

Pasca blackout di tahun 2020, perusahaan Tyrell kolaps. Bisnis produksi Replika sekarang diambil alih oleh jenius sinting Niander Wallace (Jared Leto) yang punya mata seram dan banyak bicara soal omong kosong filosofis. Perusahaan Wallace menciptakan Replika model baru yang lebih canggih dan lebih patuh. Ia punya ajudan seorang Replika wanita tegas bernama Luv (Sylvia Hoeks).

Plot film ini mirip dengan Blade Runner yang dimulai dengan misi sederhana ala detektif sebelum karakter utama kita terpaksa terjun ke dalam misteri noir yang lebih kompleks. Di awal film, K diperintahkan untuk melenyapkan seorang Replika lama bernama Sapper (Dave Bautista) yang hidup dengan tenang sebagai petani di sebuah desa. Namun apa yang K temukan disana membawanya ke dalam intrik yang melibatkan jati dirinya dan hakikat Replika itu sendiri. Sesuatu yang mengancam “hukum alam” yang membedakan manusia dengan Replika dan bisa menghancurkan semuanya.

Meski begitu, film ini tak mengulang lagu lama pendahulunya atau sekadar mengalihkan perhatian kita lewat nostalgia. Ia mengangkat ide baru yang merupakan hasil ekspansi dari ide lama yang menjadi tema ikonik Blade Runner. Kita bahkan tak terlalu menantikan kemunculan Deckard karena sudah begitu larut dengan ceritanya, meski Deckard sendiri punya peran yang sangat krusial nantinya. Pertanyaan filosofis dari novel Philip K. Dick yang menjadi materi sumber dari Blade Runner, ternyata masih bisa dibuat terasa baru. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan Replika saat mereka punya fisik yang mirip? Ketika memori bisa ditanam, apakah ia tak lagi relevan saat Replika menyadarinya padahal mereka merasakannya secara personal? Jika Replika bisa berpikir dan merasa, bisakah mereka disebut manusia?

Dengan durasi mencapai 163 menit, Blade Runner 2049 terasa sedikit panjang. Namun Villeneuve menjaga agar atmosfer filmnya tetap mencekat. Film ini bukan space opera berorientasi aksi melainkan misteri neo-noir yang mengandalkan mood. Tiga puluh tahun pasca Deckard menghilang, Los Angeles masih terlihat sebagai kota futuristik dengan baliho raksasa berlampu neon dan gedung-gedung gelap yang menjulang tinggi. Hanya saja, suasananya lebih buruk. Bersama sinematografer legendaris Roger Deakins, Villeneuve menyuguhkan sebuah semesta yang suram tapi cantik. Set-nya mengagumkan, dan skema warnanya —baik di reruntuhan berlatar langit jingga, balutan salju, atau klimaks di dam buatan— sangat memanjakan mata. Didampingi dengan scoring berderu dan menggelegar dari Hans Zimmer dan Benjamin Walfisch, film ini adalah pengalaman sinematis yang luar biasa.

Terlalu dini untuk menyebut Blade Runner 2049 akan menjadi film klasik seperti pendahulunya yang punya dampak besar terhadap genre scifi. Namun ini memang film yang powerful. Filmnya tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya. Ia menjawab beberapa hal dari Blade Runner sekaligus mengangkat pertanyaan-pertanyaan baru. Ceritanya anyar, tapi berhubungan kuat dengan masa lalu, sekaligus membuka kemungkinan baru untuk masa depan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Blade Runner 2049

163 menit
Dewasa
Denis Villeneuve
Hampton Fancher, Michael Green (screenplay), Philip K. Dick (novel)
Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin
Roger Deakins
Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch

Monday, September 14, 2015

Review Film: 'Self/less' (2015)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Self/less' (2015)
link : Review Film: 'Self/less' (2015)

Baca juga


Sci-Fi

Mempunyai premis yang menawarkan kompleksitas naratif yang bisa digali, 'Self/less' hanya menjadi film aksi-thriller standar yang mengandalkan kejar-kejaran mobil dan tembak-tembakan.

“That's another way to say mediocre.”
— Damian Hale
Ryan Reynolds kembali harus berganti tubuh setelah The Change-Up. Namun kali ini bukan dengan Jason Bateman, melainkan Ben Kingsley, dalam sebuah film yang mengangkat tema yang serupa namun genre yang berbeda. Sutradara Tarsem Singh mencoba membuktikan bahwa dia tak hanya mahir di ranah film artistik seperti The Fall, namun juga dalam film yang lebih mainstream dalam Self/less. Ekspektasi boleh berlebih tapi apa yang kita peroleh justru sebaliknya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Damian Hale (Ben Kingsley), pengusaha real estate super kaya yang ketegasannya ditunjukkan dengan adegan pembuka saat dia memecat salah satu karyawan yang suka berkomentar buruk. Sayang kekayaan tak bisa menyelamatkannya dari kanker yang menggerogoti tubuhnya, ataupun memperbaiki hubungan yang buruk dengan putri semata wayangnya, Claire (Michelle Dockery).

Kesempatan datang saat Damian mendapat kartu nama misterius yang mengarahkannya pada Profesior Albright (Matthew Goode). Albright mempunyai perusahaan yang mengkhususkan pada "shedding", sebuah proses yang bisa memindahkan pikiran dari satu tubuh ke tubuh yang lain.


Dengan biaya $250 juta, Damian dibantu memalsukan kematiannya kemudian dibawa ke instalasi shedding untuk memindahkan pikiran dan memorinya ke tubuh baru yang "katanya" dikembangkan secara genetis. Meski proses ini punya efek samping yang menyebabkan pelakunya harus mengkonsumsi obat secara berkesinambungan, Damian setuju untuk melakukannya (well, siapa juga yang bakal protes kalau bisa mendapatkan tubuh Ryan Reynolds?).

Dengan pengecualian adegan shedding-nya yang terlihat murahan, Singh menunjukkan kelihaiannya di seksi visual, paling tidak di bagian awal film. Euforia Damian yang telah berganti tubuh dengan identitas baru sebagai Edward direpresentasikan secara harfiah dengan musik pengiring berirama jazz dari para musisi jalanan. Punya mobil baru dan rumah baru, Edward benar-benar menikmati hidup. Dia tidur dengan banyak wanita, yang digambarkan dengan potongan adegan yang stylish.

Self/less lalu berbelok menjadi film aksi-thriller standar, saat Edwards kabur bersama istri dan anak dari pemilik tubuh sebelumnya (yang ternyata mantan tentara), sementara dikejar oleh antek-antek Albright dengan alasan yang sedikit bias. Film ini melepaskan konsep filosofisnya dan menggantinya dengan adegan mobil terbalik, adu tembakan, serta — tadaa — flamethrower. Ada cukup plot twist yang disajikan. Ini juga terasa hambar karena repetitif dan kita tak pernah dibuat terikat dengan karakternya sejak awal.

Reynolds punya 3 nama yang berbeda, dan setidaknya memainkan 2 kepribadian yang berbeda pula, yang sebenarnya tak sebegitu berbedanya. Mungkin cocok dalam adu jotos, namun Reynolds tak mewakili karakter Ben Kingsley yang tegas dan tanpa kompromi yang tampil di awal. Keduanya terlihat sebagai orang yang benar-benar berbeda.

Film ini tak mengeksplorasi kompleksitas tema yang mungkin bisa digali lebih jauh, seperti krisis identitas dan penebusan. Penambahan tanda slash di tengah judulnya mungkin untuk membuatnya lebih menarik, sama seperti Singh yang berusaha memuaskan lebih banyak penonton dengan film aksi generik ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Self/less' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Tarsem Singh
Penulis: David Pastor, Àlex Pastor
Pemain: Ryan Reynolds, Natalie Martinez, Matthew Goode, Ben Kingsley

Mempunyai premis yang menawarkan kompleksitas naratif yang bisa digali, 'Self/less' hanya menjadi film aksi-thriller standar yang mengandalkan kejar-kejaran mobil dan tembak-tembakan.

“That's another way to say mediocre.”
— Damian Hale
Ryan Reynolds kembali harus berganti tubuh setelah The Change-Up. Namun kali ini bukan dengan Jason Bateman, melainkan Ben Kingsley, dalam sebuah film yang mengangkat tema yang serupa namun genre yang berbeda. Sutradara Tarsem Singh mencoba membuktikan bahwa dia tak hanya mahir di ranah film artistik seperti The Fall, namun juga dalam film yang lebih mainstream dalam Self/less. Ekspektasi boleh berlebih tapi apa yang kita peroleh justru sebaliknya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Damian Hale (Ben Kingsley), pengusaha real estate super kaya yang ketegasannya ditunjukkan dengan adegan pembuka saat dia memecat salah satu karyawan yang suka berkomentar buruk. Sayang kekayaan tak bisa menyelamatkannya dari kanker yang menggerogoti tubuhnya, ataupun memperbaiki hubungan yang buruk dengan putri semata wayangnya, Claire (Michelle Dockery).

Kesempatan datang saat Damian mendapat kartu nama misterius yang mengarahkannya pada Profesior Albright (Matthew Goode). Albright mempunyai perusahaan yang mengkhususkan pada "shedding", sebuah proses yang bisa memindahkan pikiran dari satu tubuh ke tubuh yang lain.


Dengan biaya $250 juta, Damian dibantu memalsukan kematiannya kemudian dibawa ke instalasi shedding untuk memindahkan pikiran dan memorinya ke tubuh baru yang "katanya" dikembangkan secara genetis. Meski proses ini punya efek samping yang menyebabkan pelakunya harus mengkonsumsi obat secara berkesinambungan, Damian setuju untuk melakukannya (well, siapa juga yang bakal protes kalau bisa mendapatkan tubuh Ryan Reynolds?).

Dengan pengecualian adegan shedding-nya yang terlihat murahan, Singh menunjukkan kelihaiannya di seksi visual, paling tidak di bagian awal film. Euforia Damian yang telah berganti tubuh dengan identitas baru sebagai Edward direpresentasikan secara harfiah dengan musik pengiring berirama jazz dari para musisi jalanan. Punya mobil baru dan rumah baru, Edward benar-benar menikmati hidup. Dia tidur dengan banyak wanita, yang digambarkan dengan potongan adegan yang stylish.

Self/less lalu berbelok menjadi film aksi-thriller standar, saat Edwards kabur bersama istri dan anak dari pemilik tubuh sebelumnya (yang ternyata mantan tentara), sementara dikejar oleh antek-antek Albright dengan alasan yang sedikit bias. Film ini melepaskan konsep filosofisnya dan menggantinya dengan adegan mobil terbalik, adu tembakan, serta — tadaa — flamethrower. Ada cukup plot twist yang disajikan. Ini juga terasa hambar karena repetitif dan kita tak pernah dibuat terikat dengan karakternya sejak awal.

Reynolds punya 3 nama yang berbeda, dan setidaknya memainkan 2 kepribadian yang berbeda pula, yang sebenarnya tak sebegitu berbedanya. Mungkin cocok dalam adu jotos, namun Reynolds tak mewakili karakter Ben Kingsley yang tegas dan tanpa kompromi yang tampil di awal. Keduanya terlihat sebagai orang yang benar-benar berbeda.

Film ini tak mengeksplorasi kompleksitas tema yang mungkin bisa digali lebih jauh, seperti krisis identitas dan penebusan. Penambahan tanda slash di tengah judulnya mungkin untuk membuatnya lebih menarik, sama seperti Singh yang berusaha memuaskan lebih banyak penonton dengan film aksi generik ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Self/less' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Tarsem Singh
Penulis: David Pastor, Àlex Pastor
Pemain: Ryan Reynolds, Natalie Martinez, Matthew Goode, Ben Kingsley

Friday, September 11, 2015

Review Film: 'Maze Runner: The Scorch Trials' (2015)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Maze Runner: The Scorch Trials' (2015)
link : Review Film: 'Maze Runner: The Scorch Trials' (2015)

Baca juga


Sci-Fi

Labirin berganti dengan Hangus, sementara Wes Ball mengganti beberapa dosis misteri dengan lebih banyak aksi yang membuat 'Scorch Trials' sedikit berganti haluan menjadi film aksi-horor yang cukup menegangkan namun menjadi sekuel yang gaje.

“I'm tired of running.”
— Thomas
Secara mengejutkan, tahun lalu saya cukup menikmati The Maze Runner. Tak seperti kebanyakan adaptasi young-adult lain yang lebih berorientasi ke romance atau tokoh utamanya yang "spesial", sutradara Wes Ball memfokuskan narasinya pada misteri dan teka-teki di balik dunia yang dibangun, dengan tambahan beberapa dosis aksi yang membuat ceritanya tetap mengikat penonton hingga akhir film. Walau memang tak punya perkembangan karakter yang baik, namun ada cukup eksposisi karakter yang lumayan membuat kita merasa terlibat secara emosional.

Saya tak bisa berkomentar sama dengan film keduanya. Dengan lebih sedikit misteri, Ball menggantinya dengan lebih banyak aksi. Mungkin lumayan menghibur sebagai popcorn entertainment, namun membuat kita frustasi akan hubungannya dengan kontinuitas cerita. Ngomong-ngomong, film ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan novelnya. Jadi penonton yang manapun, pasti sedikit kebingungan.

Melanjutkan langsung dari film pertama, Thomas (Dylan O'Brien) bersama teman-teman "Gladers" berhasil membebaskan diri dari labirin yang dirancang oleh organisasi misterius WCKD untuk menyeleksi anak muda yang punya gen imun terhadap virus "Flare". Mereka dibawa oleh sekelompok orang ke sebuah unit paramiliter yang dipimpin oleh Janson (Aidan Gillen). Disini terungkap bahwa Glade bukanlah satu-satunya labirin, masih ada banyak labirin dengan banyak remaja pula.


Unit ini (katanya) merupakan bunker yang ditujukan untuk melindungi diri dari dunia luar yang sudah rusak akibat badai matahari serta serangan dari "Cranks", manusia yang terkena virus dengan gejala mirip zombi. Mendapat fasilitas yang memadai, Gladers dengan nyaman tinggal disana meski antek Janson melakukan kegiatan yang mencurigakan terhadap beberapa remaja disana. Tak lama, Thomas bersama teman barunya, Aris (Jacob Lofland) membuktikan kecurigaan ini. Melalui sebuah aksi pelarian yang menegangkan, Thomas dkk berhasil melarikan diri ke dunia luar.

Disebut dengan julukan "Scorch" (diterjemahkan menjadi "Hangus" (?) untuk versi bahasa Indonesia), bumi taklah seindah bayangan mereka. Disini tata produksi yang mengagumkan langsung berbicara. Gedung-gedung bertingkat yang usang dan roboh, sebagian besar daratan yang tertutupi gurun, semua set dibangun dengan imajinatif meski sebenarnya tak terlalu orisinal.

Dengan durasi yang cukup panjang (2 jam lebih), Ball berhasil menjaga intensitas filmnya tanpa pernah kehilangan momentum. Adegan aksi dirancang dengan piawai, menjadikan semua sekuens-nya tetap menegangkan dan sedikit mengalihkan kita dari kecacatan plot atau karakterisasi. Ball menggunakan CGI dengan efektif dan menyelaraskannya dengan estetika visual. Adegan pelarian dari zombi di sebuah mall dan reruntuhan pencakar langit diambil dan dikoreografi dengan cermat yang memberikan suspens yang tak kalah dari film pertama.

Keputusan yang bijak dengan tetap memakai judul utama Maze Runner sebelum sub-judul The Scorch Trials. Selain untuk alasan pemasaran, judul ini (anehnya) dengan tepat merepresentasikan isi filmnya. Meski tak terlalu menampilkan labirin — ada ventilasi dan gorong-gorong air, jika ingin diperhitungan —, hampir keseluruhan film dihabiskan dengan para tokoh utama kita yang berlari kesana kemari, dari satu tempat ke tempat lain tanpa maksud yang jelas.

Di satu adegan, Thomas sempat berujar, "Aku lelah berlari". Tentu saja, karena memang di film ini tugas utama mereka hanya berlari. Bukan kiasan. Mereka berlari dari zombi, badai petir, dan sejujurnya, keseluruhan film ini adalah sekuens pelarian yang panjang dari kejaran WCKD. Mirip seperti tipikal adaptasi YA lainnya, Thomas pergi ke tempat baru, bertemu rekan baru, dengan semesta film yang terus berekspansi, yang disini terkesan repetitif.

Selain beberapa karakter yang sudah familiar seperti Minho (Ki Hong Lee), Teresa (Kaya Scodelario), dan Newt (Thomas Brodie-Sangster), ada banyak karakter baru yang diperkenalkan, diantaranya Jorge (Giancarlo Esposito) dan anak tirinya, Brenda (Roza Salazar) yang memimpin geng jalanan tak bernama — atau punya nama, entahlah saya lupa — serta kelompok pemberontak Right Arm yang dipimpin Vince (Barry Pepper).

Meski begitu, perkembangan karakter nyaris nihil. Mereka jarang berbicara satu sama lain. Salah satu karakter yang tampak krusial di awal film, malah dilupakan, dan mungkin kita tak bakalan ingat lagi kalau saja dia tidak dibutuhkan kembali di paruh ketiga. Sedikit pengecualian bagi Thomas yang tetap karismatik dan punya rasa ingin tahu yang besar. Kita bisa sedikit mengintip masa lalunya seperti halnya motif WCKD.

Gladers pergi ke banyak lokasi, tapi mereka hanya jalan di tempat. The Scorch Trials mengalami sindrom film kedua yang punya tendensi "menggantung", bukan menjadi basis cerita dan juga bukan penyelesaian konflik. Masih ada banyak misteri yang tak terjawab yang mudah-mudahan sengaja disimpan untuk diungkap di film terakhirnya, The Death Cure yang baru akan tayang di awal 2017 — yang untungnya tidak dibagi menjadi dua bagian. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Maze Runner: The Scorch Trials' |
|

IMDb | Rottentomatoes
131 menit | Remaja

Sutradara: Wes Ball
Penulis: T.S. Nowlin (screenplay), James Dashner (buku)
Pemain: Dylan O'Brien, Thomas Brodie-Sangster, Ki Hong Lee, Kaya Scodelario

Labirin berganti dengan Hangus, sementara Wes Ball mengganti beberapa dosis misteri dengan lebih banyak aksi yang membuat 'Scorch Trials' sedikit berganti haluan menjadi film aksi-horor yang cukup menegangkan namun menjadi sekuel yang gaje.

“I'm tired of running.”
— Thomas
Secara mengejutkan, tahun lalu saya cukup menikmati The Maze Runner. Tak seperti kebanyakan adaptasi young-adult lain yang lebih berorientasi ke romance atau tokoh utamanya yang "spesial", sutradara Wes Ball memfokuskan narasinya pada misteri dan teka-teki di balik dunia yang dibangun, dengan tambahan beberapa dosis aksi yang membuat ceritanya tetap mengikat penonton hingga akhir film. Walau memang tak punya perkembangan karakter yang baik, namun ada cukup eksposisi karakter yang lumayan membuat kita merasa terlibat secara emosional.

Saya tak bisa berkomentar sama dengan film keduanya. Dengan lebih sedikit misteri, Ball menggantinya dengan lebih banyak aksi. Mungkin lumayan menghibur sebagai popcorn entertainment, namun membuat kita frustasi akan hubungannya dengan kontinuitas cerita. Ngomong-ngomong, film ini mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan novelnya. Jadi penonton yang manapun, pasti sedikit kebingungan.

Melanjutkan langsung dari film pertama, Thomas (Dylan O'Brien) bersama teman-teman "Gladers" berhasil membebaskan diri dari labirin yang dirancang oleh organisasi misterius WCKD untuk menyeleksi anak muda yang punya gen imun terhadap virus "Flare". Mereka dibawa oleh sekelompok orang ke sebuah unit paramiliter yang dipimpin oleh Janson (Aidan Gillen). Disini terungkap bahwa Glade bukanlah satu-satunya labirin, masih ada banyak labirin dengan banyak remaja pula.


Unit ini (katanya) merupakan bunker yang ditujukan untuk melindungi diri dari dunia luar yang sudah rusak akibat badai matahari serta serangan dari "Cranks", manusia yang terkena virus dengan gejala mirip zombi. Mendapat fasilitas yang memadai, Gladers dengan nyaman tinggal disana meski antek Janson melakukan kegiatan yang mencurigakan terhadap beberapa remaja disana. Tak lama, Thomas bersama teman barunya, Aris (Jacob Lofland) membuktikan kecurigaan ini. Melalui sebuah aksi pelarian yang menegangkan, Thomas dkk berhasil melarikan diri ke dunia luar.

Disebut dengan julukan "Scorch" (diterjemahkan menjadi "Hangus" (?) untuk versi bahasa Indonesia), bumi taklah seindah bayangan mereka. Disini tata produksi yang mengagumkan langsung berbicara. Gedung-gedung bertingkat yang usang dan roboh, sebagian besar daratan yang tertutupi gurun, semua set dibangun dengan imajinatif meski sebenarnya tak terlalu orisinal.

Dengan durasi yang cukup panjang (2 jam lebih), Ball berhasil menjaga intensitas filmnya tanpa pernah kehilangan momentum. Adegan aksi dirancang dengan piawai, menjadikan semua sekuens-nya tetap menegangkan dan sedikit mengalihkan kita dari kecacatan plot atau karakterisasi. Ball menggunakan CGI dengan efektif dan menyelaraskannya dengan estetika visual. Adegan pelarian dari zombi di sebuah mall dan reruntuhan pencakar langit diambil dan dikoreografi dengan cermat yang memberikan suspens yang tak kalah dari film pertama.

Keputusan yang bijak dengan tetap memakai judul utama Maze Runner sebelum sub-judul The Scorch Trials. Selain untuk alasan pemasaran, judul ini (anehnya) dengan tepat merepresentasikan isi filmnya. Meski tak terlalu menampilkan labirin — ada ventilasi dan gorong-gorong air, jika ingin diperhitungan —, hampir keseluruhan film dihabiskan dengan para tokoh utama kita yang berlari kesana kemari, dari satu tempat ke tempat lain tanpa maksud yang jelas.

Di satu adegan, Thomas sempat berujar, "Aku lelah berlari". Tentu saja, karena memang di film ini tugas utama mereka hanya berlari. Bukan kiasan. Mereka berlari dari zombi, badai petir, dan sejujurnya, keseluruhan film ini adalah sekuens pelarian yang panjang dari kejaran WCKD. Mirip seperti tipikal adaptasi YA lainnya, Thomas pergi ke tempat baru, bertemu rekan baru, dengan semesta film yang terus berekspansi, yang disini terkesan repetitif.

Selain beberapa karakter yang sudah familiar seperti Minho (Ki Hong Lee), Teresa (Kaya Scodelario), dan Newt (Thomas Brodie-Sangster), ada banyak karakter baru yang diperkenalkan, diantaranya Jorge (Giancarlo Esposito) dan anak tirinya, Brenda (Roza Salazar) yang memimpin geng jalanan tak bernama — atau punya nama, entahlah saya lupa — serta kelompok pemberontak Right Arm yang dipimpin Vince (Barry Pepper).

Meski begitu, perkembangan karakter nyaris nihil. Mereka jarang berbicara satu sama lain. Salah satu karakter yang tampak krusial di awal film, malah dilupakan, dan mungkin kita tak bakalan ingat lagi kalau saja dia tidak dibutuhkan kembali di paruh ketiga. Sedikit pengecualian bagi Thomas yang tetap karismatik dan punya rasa ingin tahu yang besar. Kita bisa sedikit mengintip masa lalunya seperti halnya motif WCKD.

Gladers pergi ke banyak lokasi, tapi mereka hanya jalan di tempat. The Scorch Trials mengalami sindrom film kedua yang punya tendensi "menggantung", bukan menjadi basis cerita dan juga bukan penyelesaian konflik. Masih ada banyak misteri yang tak terjawab yang mudah-mudahan sengaja disimpan untuk diungkap di film terakhirnya, The Death Cure yang baru akan tayang di awal 2017 — yang untungnya tidak dibagi menjadi dua bagian. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Maze Runner: The Scorch Trials' |
|

IMDb | Rottentomatoes
131 menit | Remaja

Sutradara: Wes Ball
Penulis: T.S. Nowlin (screenplay), James Dashner (buku)
Pemain: Dylan O'Brien, Thomas Brodie-Sangster, Ki Hong Lee, Kaya Scodelario

Wednesday, August 12, 2015

Review Film: 'Fantastic Four' (2015)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Fantastic Four' (2015)
link : Review Film: 'Fantastic Four' (2015)

Baca juga


Sci-Fi

Meski punya ide yang menjanjikan, 'Fantastic Four' nyaris tak punya nilai hiburan. Film ini mencoba menggabungkan beberapa elemen film superhero lain, yang sayangnya dieksekusi separo matang.

“We can't change the past, but we can change the future.”
— Sue Storm
Jika dihitung dengan versi Oley Sassone yang tak pernah dirilis ke publik, sudah ketiga kalinya Fantastic Four diadaptasi ke layar. Dalam adaptasi terbarunya ini, 20th Century Fox dan Josh Trank mencoba menggarap materi yang berbeda jauh dari film sebelumnya. Film ini punya ide origin story yang menjanjikan di paruh awalnya, namun secara keseluruhan tak mengalami peningkatan kualitas yang signifikan dibanding film Fantastic Four yang dirilis 10 tahun lalu (beserta sekuelnya).

Naskah yang ditulis Trank bersama Simon Kinberg dan Jeremy Slater terinspirasi dari komik Ultimate Fantastic Four ditambah dengan beberapa elemen dari komik orisinalnya. Saya tak pernah membaca komiknya, tapi katanya komik Fantastic Four punya tone yang ringan dan cerah, yang tentunya lebih sesuai dengan atmosfer film-film yang ditangani Marvel. Alih-alih, Fantastic Four mengalami perubahan drastis. Para tokoh sekarang dimainkan oleh aktor yang lebih muda, kostum konyol dengan lambang angka 4 diganti dengan kostum praktis ala X-Men, unsur humornya nyaris dihilangkan, practical effects diganti dengan CGI, atmosfer cerah berganti suram, dan rasanya tak perlu saya sebutkan pertalian keluarga antara Sue Storm dan Johnny Storm. Beberapa transisi ini adalah ide yang bagus. Beberapa lainnya, sayangnya tidak.

Film dimulai dengan awal yang cukup menarik, saat diceritakan Reed Richards kecil yang menyelinap ke halaman belakang rumah Ben Grimm untuk mengambil spare-part mobil demi menyelesaikan prototipe mesin teleportasi yang dirancangnya. Keduanya adalah sahabat karib, jadi Ben tak mempermasalahkannya. Malah dia ikut membantu Reed, meski penemuan tersebut tak begitu sukses. Tujuh tahun kemudian, Reed (kali ini diperankan oleh Miles Teller) dan Ben (Jamie Bell) memperagakan alat teleportasi mereka dalam sebuah pameran sains, yang lagi-lagi tak berakhir begitu baik. Namun bakat mereka dilirik oleh Dr. Franklin Storm (Reg E. Cathey) dan anak tirinya Sue (Kate Mara) yang kebetulan juga tengah meneliti hal yang sama. Sungguh suatu kebetulan! Reed pun direkrut untuk melanjutkan penelitian tersebut di Institut Baxter.

Kita kemudian akan diperkenalkan dengan anak Dr. Storm yang pemberontak, Johnny (Michael B. Jordan), yang pertama kalinya dimunculkan dalam adegan balap jalanan serta Victor von Doom (Toby Kebbell), seorang pemuda jenius yang digambarkan tak punya attitude bagus. Bersama peneliti yang lain, keempatnya menciptakan alat teleportasi yang bisa mengantarkan mereka ke sebuah planet primitif, yang kemudian disebut dengan Planet Zero.


Kentara sekali Trank mengambil pendekatan yang mirip Chronicle. Cerita dibangun dengan perlahan. Namun sebagai penonton, kita tahu bagaimana nasib mereka pada akhirnya: Reed punya tubuh elastis, Johnny menjadi manusia api, Sue bisa mengendalikan medan energi dan bisa tembus pandang, serta Ben yang menjadi super kuat tapi mengalami perubahan fisik seperti batu. Dengan mengambil porsi hampir 2/3 bagian dari 100 menit durasi, usaha membangun ceritanya terasa sedikit bertele-tele. Dan ini tak diimbangi dengan pendalaman karakter seperti halnya Chronicle.

Masalah terbesar dari Fantastic Four adalah karakterisasi yang lemah. Nyaris tak ada perkembangan karakter yang berarti. Kita mengenal keempat karakter ini — lima jika memasukkan Doctor Doom yang tampil hingga setengah film dan muncul lagi sebentar saat klimaks — hanya dari perilaku yang ditunjukkan di layar. Kita tahu hubungan asmara tarik-ulur antara Reed-Sue-Doom, persahabatan Reed dan Ben atau rivalitas antara Reed dan Doom tapi kita tak bisa merasakan chemistry di antara mereka. Jangan salah. Teller, Mara, Jordan, Bell, dan Kebbell adalah aktor yang kecemerlangannya bisa dilihat di film-film mereka sebelumnya. Namun dengan materi yang tipis seperti ini, mereka tak punya kans untuk tampil sedikit mencolok, boro-boro bersinar.

Setelah mendapat kekuatan, Reed melarikan diri sementara Sue, Johnny, dan Ben didayagunakan sebagai alat militer. Ada sedikit niatan untuk menekankan bahwa kekuatan ini mereka anggap sebagai kutukan, alih-alih anugerah atau Sue yang batinnya memberontak karena dimanfaatkan atau Ben yang tak bisa menerima fakta transformasi fisiknya. Lagi-lagi ini tak dikembangkan. Satu-satunya peluang untuk menciptakan character development yaitu saat keempatnya bersatu sebagai tim untuk melawan Doom yang berencana memusnahkan bumi, malah teralihkan (atau dialihkan) dengan adegan aksi klimaks yang sama sekali tak menghibur. Serius, dengan koreografi yang payah dan efek CGI yang tak kalah parahnya, sekuens aksi tersebut mungkin menarik di era 90-an, tapi di jaman sekarang tentu tak lagi relevan.

Saya bukanlah kritikus film profesional tapi saya merasa bahwa secara struktur sinematis, ada yang salah dengan Fantastic Four. Hingga pertengahan film, Josh Trank tampak ingin memaksudkan filmnya sebagai film antitesis superhero, sementara di paruh akhir terkesan seperti film superhero kekinian. Keduanya tak pernah menyatu, yang semakin menguatkan fakta bahwa paruh terakhir adalah hasil modifikasi studio tanpa campur tangan Trank. Yang lebih buruk, keduanya tak pernah menarik, bahkan jika dilihat sebagai bagian terpisah.

Fantastic Four nyaris tak punya nilai hiburan. Mencoba menggabungkan 2 gaya film superhero sukses — gaya trilogi The Dark Knight yang suram dan gaya Marvel yang penuh dengan efek spesial dan aksi jor-joran —, film ini tak punya pendalaman karakter ala Nolan maupun hiburan ringan tipikal Marvel. Film ditutup dengan Reed yang berujar, "Kita perlu nama". Yap, kita tahu mereka bakalan mengambil nama apa. Penempatannya sebagai dessert dari sajian yang mengecewakan memberi kesan bahwa ini adalah appetizer dari sajian utama yang belum tentu datang tepat waktu pada 2017 mendatang.

Melihat banyaknya bakat dan sumber daya yang tersia-siakan dalam film ini membuat saya merasa kasihan dengan kru dan pemainnya. Terlebih lagi pada Trank, Teller, Mara, Jordan, Bell dan Kebbell. Dan mungkin mereka juga bakalan saling mengasihani satu sama lain jika menonton film superhero separo matang ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem


'Fantastic Four' |
|


IMDb | Rottentomatoes
100 menit | Remaja

Sutradara: Josh Trank
Penulis: Josh Trank, Simon Kinberg, Jeremy Slater
Pemain: Miles Teller, Kate Mara, Michael B. Jordan, Jamie Bell, Toby Kebbell

Meski punya ide yang menjanjikan, 'Fantastic Four' nyaris tak punya nilai hiburan. Film ini mencoba menggabungkan beberapa elemen film superhero lain, yang sayangnya dieksekusi separo matang.

“We can't change the past, but we can change the future.”
— Sue Storm
Jika dihitung dengan versi Oley Sassone yang tak pernah dirilis ke publik, sudah ketiga kalinya Fantastic Four diadaptasi ke layar. Dalam adaptasi terbarunya ini, 20th Century Fox dan Josh Trank mencoba menggarap materi yang berbeda jauh dari film sebelumnya. Film ini punya ide origin story yang menjanjikan di paruh awalnya, namun secara keseluruhan tak mengalami peningkatan kualitas yang signifikan dibanding film Fantastic Four yang dirilis 10 tahun lalu (beserta sekuelnya).

Naskah yang ditulis Trank bersama Simon Kinberg dan Jeremy Slater terinspirasi dari komik Ultimate Fantastic Four ditambah dengan beberapa elemen dari komik orisinalnya. Saya tak pernah membaca komiknya, tapi katanya komik Fantastic Four punya tone yang ringan dan cerah, yang tentunya lebih sesuai dengan atmosfer film-film yang ditangani Marvel. Alih-alih, Fantastic Four mengalami perubahan drastis. Para tokoh sekarang dimainkan oleh aktor yang lebih muda, kostum konyol dengan lambang angka 4 diganti dengan kostum praktis ala X-Men, unsur humornya nyaris dihilangkan, practical effects diganti dengan CGI, atmosfer cerah berganti suram, dan rasanya tak perlu saya sebutkan pertalian keluarga antara Sue Storm dan Johnny Storm. Beberapa transisi ini adalah ide yang bagus. Beberapa lainnya, sayangnya tidak.

Film dimulai dengan awal yang cukup menarik, saat diceritakan Reed Richards kecil yang menyelinap ke halaman belakang rumah Ben Grimm untuk mengambil spare-part mobil demi menyelesaikan prototipe mesin teleportasi yang dirancangnya. Keduanya adalah sahabat karib, jadi Ben tak mempermasalahkannya. Malah dia ikut membantu Reed, meski penemuan tersebut tak begitu sukses. Tujuh tahun kemudian, Reed (kali ini diperankan oleh Miles Teller) dan Ben (Jamie Bell) memperagakan alat teleportasi mereka dalam sebuah pameran sains, yang lagi-lagi tak berakhir begitu baik. Namun bakat mereka dilirik oleh Dr. Franklin Storm (Reg E. Cathey) dan anak tirinya Sue (Kate Mara) yang kebetulan juga tengah meneliti hal yang sama. Sungguh suatu kebetulan! Reed pun direkrut untuk melanjutkan penelitian tersebut di Institut Baxter.

Kita kemudian akan diperkenalkan dengan anak Dr. Storm yang pemberontak, Johnny (Michael B. Jordan), yang pertama kalinya dimunculkan dalam adegan balap jalanan serta Victor von Doom (Toby Kebbell), seorang pemuda jenius yang digambarkan tak punya attitude bagus. Bersama peneliti yang lain, keempatnya menciptakan alat teleportasi yang bisa mengantarkan mereka ke sebuah planet primitif, yang kemudian disebut dengan Planet Zero.


Kentara sekali Trank mengambil pendekatan yang mirip Chronicle. Cerita dibangun dengan perlahan. Namun sebagai penonton, kita tahu bagaimana nasib mereka pada akhirnya: Reed punya tubuh elastis, Johnny menjadi manusia api, Sue bisa mengendalikan medan energi dan bisa tembus pandang, serta Ben yang menjadi super kuat tapi mengalami perubahan fisik seperti batu. Dengan mengambil porsi hampir 2/3 bagian dari 100 menit durasi, usaha membangun ceritanya terasa sedikit bertele-tele. Dan ini tak diimbangi dengan pendalaman karakter seperti halnya Chronicle.

Masalah terbesar dari Fantastic Four adalah karakterisasi yang lemah. Nyaris tak ada perkembangan karakter yang berarti. Kita mengenal keempat karakter ini — lima jika memasukkan Doctor Doom yang tampil hingga setengah film dan muncul lagi sebentar saat klimaks — hanya dari perilaku yang ditunjukkan di layar. Kita tahu hubungan asmara tarik-ulur antara Reed-Sue-Doom, persahabatan Reed dan Ben atau rivalitas antara Reed dan Doom tapi kita tak bisa merasakan chemistry di antara mereka. Jangan salah. Teller, Mara, Jordan, Bell, dan Kebbell adalah aktor yang kecemerlangannya bisa dilihat di film-film mereka sebelumnya. Namun dengan materi yang tipis seperti ini, mereka tak punya kans untuk tampil sedikit mencolok, boro-boro bersinar.

Setelah mendapat kekuatan, Reed melarikan diri sementara Sue, Johnny, dan Ben didayagunakan sebagai alat militer. Ada sedikit niatan untuk menekankan bahwa kekuatan ini mereka anggap sebagai kutukan, alih-alih anugerah atau Sue yang batinnya memberontak karena dimanfaatkan atau Ben yang tak bisa menerima fakta transformasi fisiknya. Lagi-lagi ini tak dikembangkan. Satu-satunya peluang untuk menciptakan character development yaitu saat keempatnya bersatu sebagai tim untuk melawan Doom yang berencana memusnahkan bumi, malah teralihkan (atau dialihkan) dengan adegan aksi klimaks yang sama sekali tak menghibur. Serius, dengan koreografi yang payah dan efek CGI yang tak kalah parahnya, sekuens aksi tersebut mungkin menarik di era 90-an, tapi di jaman sekarang tentu tak lagi relevan.

Saya bukanlah kritikus film profesional tapi saya merasa bahwa secara struktur sinematis, ada yang salah dengan Fantastic Four. Hingga pertengahan film, Josh Trank tampak ingin memaksudkan filmnya sebagai film antitesis superhero, sementara di paruh akhir terkesan seperti film superhero kekinian. Keduanya tak pernah menyatu, yang semakin menguatkan fakta bahwa paruh terakhir adalah hasil modifikasi studio tanpa campur tangan Trank. Yang lebih buruk, keduanya tak pernah menarik, bahkan jika dilihat sebagai bagian terpisah.

Fantastic Four nyaris tak punya nilai hiburan. Mencoba menggabungkan 2 gaya film superhero sukses — gaya trilogi The Dark Knight yang suram dan gaya Marvel yang penuh dengan efek spesial dan aksi jor-joran —, film ini tak punya pendalaman karakter ala Nolan maupun hiburan ringan tipikal Marvel. Film ditutup dengan Reed yang berujar, "Kita perlu nama". Yap, kita tahu mereka bakalan mengambil nama apa. Penempatannya sebagai dessert dari sajian yang mengecewakan memberi kesan bahwa ini adalah appetizer dari sajian utama yang belum tentu datang tepat waktu pada 2017 mendatang.

Melihat banyaknya bakat dan sumber daya yang tersia-siakan dalam film ini membuat saya merasa kasihan dengan kru dan pemainnya. Terlebih lagi pada Trank, Teller, Mara, Jordan, Bell dan Kebbell. Dan mungkin mereka juga bakalan saling mengasihani satu sama lain jika menonton film superhero separo matang ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem


'Fantastic Four' |
|


IMDb | Rottentomatoes
100 menit | Remaja

Sutradara: Josh Trank
Penulis: Josh Trank, Simon Kinberg, Jeremy Slater
Pemain: Miles Teller, Kate Mara, Michael B. Jordan, Jamie Bell, Toby Kebbell

Thursday, July 30, 2015

Review Film: 'Pixels' (2015)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Pixels' (2015)
link : Review Film: 'Pixels' (2015)

Baca juga


Sci-Fi

Selain prospeknya yang menjanjikan, 'Pixels' hanyalah menjadi film standar tipikal Adam Sandler. Filmnya tak buruk-buruk amat, hanya saja sangat mengecewakan. Untungnya, sedikit terselamatkan berkat efek visual yang menawan.

“I will talk to him. He's my son.”
— Prof. Iwatani
Setelah hampir selalu tampil dalam film yang mengecewakan beberapa tahun belakangan ini, saya merasa bahwa film terbaru Adam Sandler yang berjudul Pixels ini akan sedikit berbeda. Melihat premis beserta beberapa materi promosinya, saya berekspektasi film ini akan menjadi film komedi yang seru dengan efek visual nostalgis yang memanjakan mata. Poin terakhir memang benar — syukurlah — tapi secara garis besar Pixels tak terlalu berbeda dengan film-film Sandler sebelumnya: komedi canggung dengan plot membosankan.

Di dunia Pixels, semua bisa terjadi. Karakter game arcade era 80-an seperti Galaga, Centipede, dan PAC-MAN yang menginvasi bumi, para gamers culun yang menjadi juru kunci penyelamat dunia alih-alih pasukan militer elit macam Navy SEAL, Kevin James yang menjadi Presiden Amerika tapi masih saja punya kesempatan berlaku konyol di depan warganya, dan terakhir pesan moral yang sedikit menyesatkan: anda bisa berkutat dengan game dan tak perlu bekerja terlalu keras, karena suatu saat akan tiba kesempatan mudah untuk mengubah nasib dan mendapat pacar nan rupawan. Sulit dipercaya memang, begitu juga dengan filmnya sendiri secara umum.

Cerita dimulai pada tahun 1982 saat diadakannya kejuaraan dunia game arcade. Sam Brenner adalah seorang anak yang sangat lihai bermain game arcade yang mengantarkannya ke final kejuaraan tersebut dan harus berhadapan dengan juara sebelumnya, Eddie "Fire Blaster" Plant. Sayangnya, Brenner kalah.

Kembali ke tahun 2015, Brenner dewasa (Adam Sandler) sekarang bekerja sebagai teknisi instalasi perangkat home entertainment. Sementara sahabat karibnya sedari kecil, Will Cooper (Kevin James) sedikit lebih beruntung dan menjadi Presiden Amerika — saya tak ingin terkesan terlalu men-judge, tapi mau tak mau hal ini membuat saya bertanya-tanya bagaimana mungkin warga AS sampai bisa memilih dia!!?

Singkat cerita, Pangkalan Militer di Guam mendapat serangan misterius dan indikasi awal menunjukkan ini adalah invasi alien. Yang aneh, invasi ini mengambil wujud salah satu permainan game arcade, Galaga. Akhirnya diketahui bahwa pada tahun 1982, NASA mengirimkan kapsul yang berisi berbagai referensi budaya pop (termasuk game arcade) yang kemudian dianggap oleh alien sebagai pernyataan perang. Dengan mengambil wujud karakter game tersebut, alien mulai menyerang bumi.

Presiden Cooper lalu meminta bantuan rekan-rekan masa kecilnya yang lihai bermain game arcade. Cukup mengherankan bahwa di dalam dunia Pixels tampaknya hanya ada 3 orang yang mahir bermain dari total seluruh penduduk Amerika: Brenner, Eddie "Fire Blaster" Plant (Peter Dinklage) serta Ludlow Lamonsoff si Anak Ajaib (Josh Gad).


Dua paragraf di atas, mungkin akan menimbulkan banyak pertanyaan bagi anda. Tak perlu repot-repot memikirkan jawabannya, karena film ini sama sekali tak ingin menjelaskannya dengan gamblang. Penulis naskah Tim Herlihy dan Timothy Dowling tak menggarap naskahnya ke level yang lebih tinggi. Alur dibuat seolah-olah hanya ingin sekadar mengantarkan penonton dari satu scene ke scene lain — mulai dari serangan Galaga, Centipede, PAC-MAN, dan Donkey Kong — tanpa pernah memberikan actual story. Kemudian ada subplot romansa antara Brenner dan Letkol Violet van Patten (Michelle Monaghan) yang tak pernah mengena, selain ejek-mengejek yang seksis.

Diproduksi oleh rumah produksi Happy Madison, film ini sama saja dengan kebanyakan film-film tipikal Sandler. Mulai dari komedi garing, cameo selebritis, hingga leluconnya yang menyerang gender dan tampilan fisik. Sandler terlihat malas memerankan Brenner yang mengalami krisis paruh baya dan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan dewasa. Sayang sekali bakat Monaghan tak bisa tereksplor disini. Jika ditanya siapa karakter yang cukup menarik, maka jawabannya adalah Lamonsoff (selain Q*bert tentunya). Josh Gad yang memerankan Lamonsoff menjadi satu-satu karakter yang kocak, padahal ini film komedi, for the god's sake.

Paling tidak sutradara Chris Columbus (Mrs. Doubtfire, Harry Potter and the Sorcerer's Stone) berusaha sebisanya mengangkat materi yang pas-pasan ini. Dia mengatur pacing film dengan baik dan menjaga semuanya berjalan dengan cepat sehingga membuat Pixels memiliki level "membosankan" yang lebih sedikit dibandingkan film-film Sandler lainnya. Dia menunjukkan kepiawaian menangani efek visual karakter dan adegan aksi yang untungnya menjadi penyelamat bagi film ini. Efek 3D dan CGI dari makhluk-makhluk game kubikal yang warna-warna benar-benar memanjakan mata dan membuat kita sedikit terlupa dengan plot omong-kosongnya.

Besar di era 90-an dan akrab dengan game arcade semasa kecil, membuat saya ingin menyukai Pixels. Prospek film yang diangkat dari film pendek karya Patrick Jean ini — yang bisa anda tonton disini — begitu menjanjikan, sehingga sulit untuk mengira bahwa produk akhirnya bakalan gagal, baik secara kualitas maupun finansial. Di tangan yang tepat, materi yang punya brand kuat seperti ini punya kans kuat menjadi sukses (lihat saja The Lego Movie). Pixels akhirnya hanya masuk ke dalam track-record mengecewakan dari Sandler. Filmnya tak buruk-buruk amat, hanya saja sangat mengecewakan. ■UP

'Pixels' |
|

IMDb | Rottentomatoes
106 menit | Remaja
Sutradara: Chris Columbus
Penulis: Jim Herlihy, Timothy Dowling
Pemain: Adam Sandler, Kevin James, Michelle Monaghan, Peter Dinklage

Selain prospeknya yang menjanjikan, 'Pixels' hanyalah menjadi film standar tipikal Adam Sandler. Filmnya tak buruk-buruk amat, hanya saja sangat mengecewakan. Untungnya, sedikit terselamatkan berkat efek visual yang menawan.

“I will talk to him. He's my son.”
— Prof. Iwatani
Setelah hampir selalu tampil dalam film yang mengecewakan beberapa tahun belakangan ini, saya merasa bahwa film terbaru Adam Sandler yang berjudul Pixels ini akan sedikit berbeda. Melihat premis beserta beberapa materi promosinya, saya berekspektasi film ini akan menjadi film komedi yang seru dengan efek visual nostalgis yang memanjakan mata. Poin terakhir memang benar — syukurlah — tapi secara garis besar Pixels tak terlalu berbeda dengan film-film Sandler sebelumnya: komedi canggung dengan plot membosankan.

Di dunia Pixels, semua bisa terjadi. Karakter game arcade era 80-an seperti Galaga, Centipede, dan PAC-MAN yang menginvasi bumi, para gamers culun yang menjadi juru kunci penyelamat dunia alih-alih pasukan militer elit macam Navy SEAL, Kevin James yang menjadi Presiden Amerika tapi masih saja punya kesempatan berlaku konyol di depan warganya, dan terakhir pesan moral yang sedikit menyesatkan: anda bisa berkutat dengan game dan tak perlu bekerja terlalu keras, karena suatu saat akan tiba kesempatan mudah untuk mengubah nasib dan mendapat pacar nan rupawan. Sulit dipercaya memang, begitu juga dengan filmnya sendiri secara umum.

Cerita dimulai pada tahun 1982 saat diadakannya kejuaraan dunia game arcade. Sam Brenner adalah seorang anak yang sangat lihai bermain game arcade yang mengantarkannya ke final kejuaraan tersebut dan harus berhadapan dengan juara sebelumnya, Eddie "Fire Blaster" Plant. Sayangnya, Brenner kalah.

Kembali ke tahun 2015, Brenner dewasa (Adam Sandler) sekarang bekerja sebagai teknisi instalasi perangkat home entertainment. Sementara sahabat karibnya sedari kecil, Will Cooper (Kevin James) sedikit lebih beruntung dan menjadi Presiden Amerika — saya tak ingin terkesan terlalu men-judge, tapi mau tak mau hal ini membuat saya bertanya-tanya bagaimana mungkin warga AS sampai bisa memilih dia!!?

Singkat cerita, Pangkalan Militer di Guam mendapat serangan misterius dan indikasi awal menunjukkan ini adalah invasi alien. Yang aneh, invasi ini mengambil wujud salah satu permainan game arcade, Galaga. Akhirnya diketahui bahwa pada tahun 1982, NASA mengirimkan kapsul yang berisi berbagai referensi budaya pop (termasuk game arcade) yang kemudian dianggap oleh alien sebagai pernyataan perang. Dengan mengambil wujud karakter game tersebut, alien mulai menyerang bumi.

Presiden Cooper lalu meminta bantuan rekan-rekan masa kecilnya yang lihai bermain game arcade. Cukup mengherankan bahwa di dalam dunia Pixels tampaknya hanya ada 3 orang yang mahir bermain dari total seluruh penduduk Amerika: Brenner, Eddie "Fire Blaster" Plant (Peter Dinklage) serta Ludlow Lamonsoff si Anak Ajaib (Josh Gad).


Dua paragraf di atas, mungkin akan menimbulkan banyak pertanyaan bagi anda. Tak perlu repot-repot memikirkan jawabannya, karena film ini sama sekali tak ingin menjelaskannya dengan gamblang. Penulis naskah Tim Herlihy dan Timothy Dowling tak menggarap naskahnya ke level yang lebih tinggi. Alur dibuat seolah-olah hanya ingin sekadar mengantarkan penonton dari satu scene ke scene lain — mulai dari serangan Galaga, Centipede, PAC-MAN, dan Donkey Kong — tanpa pernah memberikan actual story. Kemudian ada subplot romansa antara Brenner dan Letkol Violet van Patten (Michelle Monaghan) yang tak pernah mengena, selain ejek-mengejek yang seksis.

Diproduksi oleh rumah produksi Happy Madison, film ini sama saja dengan kebanyakan film-film tipikal Sandler. Mulai dari komedi garing, cameo selebritis, hingga leluconnya yang menyerang gender dan tampilan fisik. Sandler terlihat malas memerankan Brenner yang mengalami krisis paruh baya dan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan dewasa. Sayang sekali bakat Monaghan tak bisa tereksplor disini. Jika ditanya siapa karakter yang cukup menarik, maka jawabannya adalah Lamonsoff (selain Q*bert tentunya). Josh Gad yang memerankan Lamonsoff menjadi satu-satu karakter yang kocak, padahal ini film komedi, for the god's sake.

Paling tidak sutradara Chris Columbus (Mrs. Doubtfire, Harry Potter and the Sorcerer's Stone) berusaha sebisanya mengangkat materi yang pas-pasan ini. Dia mengatur pacing film dengan baik dan menjaga semuanya berjalan dengan cepat sehingga membuat Pixels memiliki level "membosankan" yang lebih sedikit dibandingkan film-film Sandler lainnya. Dia menunjukkan kepiawaian menangani efek visual karakter dan adegan aksi yang untungnya menjadi penyelamat bagi film ini. Efek 3D dan CGI dari makhluk-makhluk game kubikal yang warna-warna benar-benar memanjakan mata dan membuat kita sedikit terlupa dengan plot omong-kosongnya.

Besar di era 90-an dan akrab dengan game arcade semasa kecil, membuat saya ingin menyukai Pixels. Prospek film yang diangkat dari film pendek karya Patrick Jean ini — yang bisa anda tonton disini — begitu menjanjikan, sehingga sulit untuk mengira bahwa produk akhirnya bakalan gagal, baik secara kualitas maupun finansial. Di tangan yang tepat, materi yang punya brand kuat seperti ini punya kans kuat menjadi sukses (lihat saja The Lego Movie). Pixels akhirnya hanya masuk ke dalam track-record mengecewakan dari Sandler. Filmnya tak buruk-buruk amat, hanya saja sangat mengecewakan. ■UP

'Pixels' |
|

IMDb | Rottentomatoes
106 menit | Remaja
Sutradara: Chris Columbus
Penulis: Jim Herlihy, Timothy Dowling
Pemain: Adam Sandler, Kevin James, Michelle Monaghan, Peter Dinklage

Thursday, July 16, 2015

Review Film: 'Ant-Man' (2015)

Sci-Fi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Sci-Fi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Ant-Man' (2015)
link : Review Film: 'Ant-Man' (2015)

Baca juga


Sci-Fi

'Ant-Man' membuktikan bahwa untuk menjadi pahlawan tak perlu menghancurkan seisi kota. Film ini adalah film superhero Marvel paling sederhana namun juga yang paling menghibur.

“One question... Is it too late to change the name?”
— Scott Lang
Setelah selalu membuat homerun dengan film-film superhero-nya (termasuk Guardians of the Galaxy yang awalnya banyak dicibir), spekulasi awal memperkirakan bahwa Ant-Man akan menjadi kegagalan perdana Marvel. Sementara kita harus menunggu untuk melihat performanya di box office, tapi paling tidak, secara kualitas film ini tak terlalu inferior. Di balik tampilannya yang sederhana dan down-to-earth, Ant-Man menjadi film Marvel yang paling unik dan paling menghibur meski tak punya kemegahan seperti film superhero lainnya.

Ant-Man mengambil pendekatan yang baru dengan atmosfir yang sedikit berbeda tapi tetap berusaha untuk merangkul elemen khas Marvel. Beberapa cameo dan selipan cerita Avengers mengingatkan kita bahwa Ant-Man tergabung dalam Cinematic Universe. Sutradara Peyton Reed tak memberikan hal yang luar biasa sebagai sutradara, tapi melakukan kerjanya dengan cukup baik mengangkat pahlawan mungil ini ke skala besar.

Cerita dimulai pada tahun 80an, saat beberapa anggota inti S.H.I.E.L.D, Hank Pym (Michael Douglas yang di-render menjadi muda), agen Carter (Hayley Atwell yang didandani menjadi tua), Howard Stark, dan Mitchell Carson melakukan pembicaraan mengenai partikel istimewa bernama "Partikel Pym" yang bisa merubah kerapatan susunan atom. Hank menolak untuk mempublikasikannya karena kuatir dengan dampak yang mungkin ditimbulkan.

Bertahun-tahun kemudian, Hank menjadi peneliti sukses dan mendirikan Pym Tech. Dia mengangkat seorang murid bernama Darren Cross (Corey Stoll). Darren tahu bahwa Hank menyembunyikan sesuatu. Tanpa sepengetahuan Hank, Darren membangun teknologi yang hampir mirip dengan temuan Hank. Tujuannya, membuat kostum yang bisa merubah ukuran pemakainya yang bisa digunakan untuk tujuan militer.

Sementara itu, adalah seorang pencuri ulung yang baru bebas dari penjara, Scott Lang (Paul Rudd) yang kesulitan mendapat pekerjaan. Scott harus membayar biaya bulanan untuk anaknya yang sekarang dirawat oleh istrinya, Maggie (Judy Greer) bersama suami baru, Paxton (Bob Cannavalle). Untuk itu Scott mencuri di rumah Hank. Namun ini hanyalah siasat Hank untuk merekrut Scott menjadi Ant-Man. Berbekal kostum yang bisa membuat pemakainya menjadi kecil tapi kekuatannya bertambah, Scott harus menghentikan Darren.


Sama seperti namanya, Ant-Man punya kemampuan yang kedengarannya payah. Apa kerennya coba superhero yang bisa berubah menjadi kecil dan berbicara dengan semut? Nah, melalui adegan pertarungannya dengan salah satu anggota Avengers membuat kita sadar bahwa Ant-Man pun cukup kuat. Perlu saya sebutkan, bahwa anggota Avengers tersebut — bukan Captain America atau Iron Man — kalah dari sang manusia semut.

Rudd yang mengambil alih kostum Ant-Man memberikan penampilan yang tak berbeda jauh dari karakter yang pernah ditampilkan di film komedinya yang lain. Tak kehilangan sentuhan humor tapi tetap menjadi family-man yang sensitif. Leluconnya tak bisa dibilang kocak banget sampai membuat terpingkal-pingkal, tapi penempatannya pas. Yang lebih menonjol adalah Michael Pena sebagai Luis yang merupakan salah satu dari 3 "anak buah" Scott. Dengan senyuman lebar dan pembawaannya yang riang, Luis mencuri semua adegan yang menampilkan dirinya.

Bertahun-tahun dikembangkan di tangan Edgar Wright — bahkan ada yang menyebut bahwa berkat Wright-lah Ant-Man mendapat lampu hijau dari Marvel — film ini harus kehilangan sutradaranya beberapa minggu sebelum syuting dimulai dan digantikan oleh Peyton Reed. Walau begitu, kita bisa merasakan bagaimana pengaruh Wright terhadap produk akhirnya ini. Beberapa lelucon yang disajikan termasuk gaya bicara Luis mengingatkan kita pada trademark Wright dalam film-filmnya seperti Shaun of the Dead dan Hot Fuzz. Hal ini membuat saya penasaran bagaimana seandainya Ant-Man tetap berada di tangan Wright hingga akhir.

Meski tak bisa dibilang porak poranda, namun alurnya terasa sedikit berantakan. Mungkin karena naskah awal dari Wright bersama Joe Cornish yang dipoles di saat-saat akhir oleh Adam McKay dan Rudd. Kadang-kadang film ini terasa seperti terfokus pada pencurian. Di lain waktu menjadi film sci-fi tipikal, kadang-kadang film keluarga dengan komedi ringan. Selain cerita keluarga Scott dan rivalitasnya dengan Paxton, ada juga sub-plot antara Hank yang ingin memperbaiki hubungan dengan anaknya, Hope van Dyne (Evangeline Lilly). Dan transisi antara semua elemen tersebut terasa sedikit janggal.

Dengan mengesampingkan hal di atas, Ant-Man menjadi film Marvel Origins yang paling menarik bagi saya setelah Iron Man. Film ini menampilkan adegan aksi dengan sajian visual yang spektakuler. Dengan kemampuannya mengecil, penonton diajak untuk masuk ke dalam dunia mikroskopis yang terasa sangat segar. Adegan saat Ant-Man berinteraksi dengan teman-teman semutnya dalam usaha mencuri kostum Yellowjacket — termasuk beraksi di dalam pipa air, ventilasi, dan dalam tanah — membuat saya berbinar-binar. Adegan pertarungan akhir yang terjadi dalam skala kecil di arena mainan anak-anak, tak kehilangan skop keepikan Marvel. Bagusnya, bahkan di saat-saat puncak, diselipkan pula lelucon yang melibatkan Kereta Api Thomas.

Ant-Man tak pernah menanggapi filmnya sendiri (dan film Marvel lainnya) dengan serius. Di beberapa scene, malah tak ragu-ragu menyentil anggota Avengers lain. Film ini adalah film yang ringan. Ant-Man membuktikan bahwa untuk menjadi pahlawan tak perlu menghancurkan seisi kota. Terkadang cukup hanya dengan menyelamatkan orang tersayang. ■UP

'Ant-Man' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Peyton Reed
Penulis: Edgar Wright, Joe Cornish, Adam McKay, Paul Rudd
Pemain: Paul Rudd, Evangeline Lilly, Corey Stoll, Michael Douglas

'Ant-Man' membuktikan bahwa untuk menjadi pahlawan tak perlu menghancurkan seisi kota. Film ini adalah film superhero Marvel paling sederhana namun juga yang paling menghibur.

“One question... Is it too late to change the name?”
— Scott Lang
Setelah selalu membuat homerun dengan film-film superhero-nya (termasuk Guardians of the Galaxy yang awalnya banyak dicibir), spekulasi awal memperkirakan bahwa Ant-Man akan menjadi kegagalan perdana Marvel. Sementara kita harus menunggu untuk melihat performanya di box office, tapi paling tidak, secara kualitas film ini tak terlalu inferior. Di balik tampilannya yang sederhana dan down-to-earth, Ant-Man menjadi film Marvel yang paling unik dan paling menghibur meski tak punya kemegahan seperti film superhero lainnya.

Ant-Man mengambil pendekatan yang baru dengan atmosfir yang sedikit berbeda tapi tetap berusaha untuk merangkul elemen khas Marvel. Beberapa cameo dan selipan cerita Avengers mengingatkan kita bahwa Ant-Man tergabung dalam Cinematic Universe. Sutradara Peyton Reed tak memberikan hal yang luar biasa sebagai sutradara, tapi melakukan kerjanya dengan cukup baik mengangkat pahlawan mungil ini ke skala besar.

Cerita dimulai pada tahun 80an, saat beberapa anggota inti S.H.I.E.L.D, Hank Pym (Michael Douglas yang di-render menjadi muda), agen Carter (Hayley Atwell yang didandani menjadi tua), Howard Stark, dan Mitchell Carson melakukan pembicaraan mengenai partikel istimewa bernama "Partikel Pym" yang bisa merubah kerapatan susunan atom. Hank menolak untuk mempublikasikannya karena kuatir dengan dampak yang mungkin ditimbulkan.

Bertahun-tahun kemudian, Hank menjadi peneliti sukses dan mendirikan Pym Tech. Dia mengangkat seorang murid bernama Darren Cross (Corey Stoll). Darren tahu bahwa Hank menyembunyikan sesuatu. Tanpa sepengetahuan Hank, Darren membangun teknologi yang hampir mirip dengan temuan Hank. Tujuannya, membuat kostum yang bisa merubah ukuran pemakainya yang bisa digunakan untuk tujuan militer.

Sementara itu, adalah seorang pencuri ulung yang baru bebas dari penjara, Scott Lang (Paul Rudd) yang kesulitan mendapat pekerjaan. Scott harus membayar biaya bulanan untuk anaknya yang sekarang dirawat oleh istrinya, Maggie (Judy Greer) bersama suami baru, Paxton (Bob Cannavalle). Untuk itu Scott mencuri di rumah Hank. Namun ini hanyalah siasat Hank untuk merekrut Scott menjadi Ant-Man. Berbekal kostum yang bisa membuat pemakainya menjadi kecil tapi kekuatannya bertambah, Scott harus menghentikan Darren.


Sama seperti namanya, Ant-Man punya kemampuan yang kedengarannya payah. Apa kerennya coba superhero yang bisa berubah menjadi kecil dan berbicara dengan semut? Nah, melalui adegan pertarungannya dengan salah satu anggota Avengers membuat kita sadar bahwa Ant-Man pun cukup kuat. Perlu saya sebutkan, bahwa anggota Avengers tersebut — bukan Captain America atau Iron Man — kalah dari sang manusia semut.

Rudd yang mengambil alih kostum Ant-Man memberikan penampilan yang tak berbeda jauh dari karakter yang pernah ditampilkan di film komedinya yang lain. Tak kehilangan sentuhan humor tapi tetap menjadi family-man yang sensitif. Leluconnya tak bisa dibilang kocak banget sampai membuat terpingkal-pingkal, tapi penempatannya pas. Yang lebih menonjol adalah Michael Pena sebagai Luis yang merupakan salah satu dari 3 "anak buah" Scott. Dengan senyuman lebar dan pembawaannya yang riang, Luis mencuri semua adegan yang menampilkan dirinya.

Bertahun-tahun dikembangkan di tangan Edgar Wright — bahkan ada yang menyebut bahwa berkat Wright-lah Ant-Man mendapat lampu hijau dari Marvel — film ini harus kehilangan sutradaranya beberapa minggu sebelum syuting dimulai dan digantikan oleh Peyton Reed. Walau begitu, kita bisa merasakan bagaimana pengaruh Wright terhadap produk akhirnya ini. Beberapa lelucon yang disajikan termasuk gaya bicara Luis mengingatkan kita pada trademark Wright dalam film-filmnya seperti Shaun of the Dead dan Hot Fuzz. Hal ini membuat saya penasaran bagaimana seandainya Ant-Man tetap berada di tangan Wright hingga akhir.

Meski tak bisa dibilang porak poranda, namun alurnya terasa sedikit berantakan. Mungkin karena naskah awal dari Wright bersama Joe Cornish yang dipoles di saat-saat akhir oleh Adam McKay dan Rudd. Kadang-kadang film ini terasa seperti terfokus pada pencurian. Di lain waktu menjadi film sci-fi tipikal, kadang-kadang film keluarga dengan komedi ringan. Selain cerita keluarga Scott dan rivalitasnya dengan Paxton, ada juga sub-plot antara Hank yang ingin memperbaiki hubungan dengan anaknya, Hope van Dyne (Evangeline Lilly). Dan transisi antara semua elemen tersebut terasa sedikit janggal.

Dengan mengesampingkan hal di atas, Ant-Man menjadi film Marvel Origins yang paling menarik bagi saya setelah Iron Man. Film ini menampilkan adegan aksi dengan sajian visual yang spektakuler. Dengan kemampuannya mengecil, penonton diajak untuk masuk ke dalam dunia mikroskopis yang terasa sangat segar. Adegan saat Ant-Man berinteraksi dengan teman-teman semutnya dalam usaha mencuri kostum Yellowjacket — termasuk beraksi di dalam pipa air, ventilasi, dan dalam tanah — membuat saya berbinar-binar. Adegan pertarungan akhir yang terjadi dalam skala kecil di arena mainan anak-anak, tak kehilangan skop keepikan Marvel. Bagusnya, bahkan di saat-saat puncak, diselipkan pula lelucon yang melibatkan Kereta Api Thomas.

Ant-Man tak pernah menanggapi filmnya sendiri (dan film Marvel lainnya) dengan serius. Di beberapa scene, malah tak ragu-ragu menyentil anggota Avengers lain. Film ini adalah film yang ringan. Ant-Man membuktikan bahwa untuk menjadi pahlawan tak perlu menghancurkan seisi kota. Terkadang cukup hanya dengan menyelamatkan orang tersayang. ■UP

'Ant-Man' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Peyton Reed
Penulis: Edgar Wright, Joe Cornish, Adam McKay, Paul Rudd
Pemain: Paul Rudd, Evangeline Lilly, Corey Stoll, Michael Douglas