Showing posts with label Keluarga. Show all posts
Showing posts with label Keluarga. Show all posts

Friday, February 8, 2019

Review Film: 'Mirai' (2018)

Keluarga - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Keluarga, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Keluarga, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Mirai' (2018)
link : Review Film: 'Mirai' (2018)

Baca juga


Keluarga

Siapa pun yang menontonnya akan mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.

“Be nice to her, okay? ”
—Mum
Rating UP:
Mirai (atau dalam judul aslinya Mirai No Mirai) mungkin merupakan film paling menggemaskan tahun ini. Film ini secara konstan sukses memberikan senyum lebar di wajah saya yang lucu naudzubilah. Sutradara animasi handal dari Jepang, Mamoru Hosoda kembali memberikan film keluarga berbalut fantasi yang menjamin siapa pun yang menontonnya mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.


Semua film Hosoda adalah drama keluarga simpel yang dibungkus dalam kemasan fantasi yang anime banget. Namun Mirai adalah filmnya yang paling kecil. Sebagai perbandingan, kita harus meloncat kembali ke 2006 lewat film The Girl Who Leapt Through Time yang rasa-rasanya paling domestik dari semua film Hosoda, dan Mirai jauh lebih domestik daripada itu. Ceritanya hanya berkutat di satu keluarga kecil yang sederhana. Titik, tidak kemana-mana lagi. Namun berhubung ini adalah film Hosoda, tentu saja wajar kalau nantinya keajaiban akan terjadi dan waktu akan dibelokkan.

Mungkin ini karena kita hanya melihat dari sudut pandang karakter utamanya yang adalah seorang bocah berusia 4 tahun. Bagi anak umur segitu, keluarga memang adalah seluruh semesta. Namanya Kun (disuarakan oleh Moka Kamishiraishi). Sebagai anak tunggal, Kun merasa ia adalah pusat semesta; satu-satunya orang yang diperhatikan oleh ayah dan ibunya (Gen Hoshino dan Kumiko Aso). Sampai kemudian Kun kedatangan seorang adik bernama Mirai.

Dimadu itu sakit, sodara-sodara.

Kun berusaha caper dengan berantakin mainan, menangis, berteriak, berteriak sambil menangis, tapi ayah dan ibu lebih memperhatikan Mirai. Terlebih saat sang ibu sudah harus kembali masuk kerja. Sang ayah harus menjalankan kewajiban ganda; bekerja di rumah (ngomong-ngomong, ayah adalah seorang arsitek) sekaligus mengasuh dua anak. Kun makin dicuekin. Maka, Mirai berarti musuh. Dan melempar musuh dengan mainan bukanlah pantangan.

Sungguh, ini terlihat seperti keluarga muda mana pun yang punya anak rewel. Ralat, semua keluarga muda anaknya pasti rewel sih. Dalam filmnya yang lalu yang lebih ambisius, Hosoda terbukti punya keterampilan memberikan sekuens aksi yang spektakuler. Dan dalam film ini, ia dengan menakjubkan sukses menghadirkan dinamika keluarga yang sederhana dan intim. Kita bisa merasakan betapa hangatnya kelurga kecil ini.

Nah, keajaiban yang tadi saya bilang itu disini: di tengah rumah, ada sebuah taman yang bisa membawa Kun bertualang melintasi ruang dan waktu. Disini Kun berjumpa dengan beberapa orang dari masa yang berbeda. Yang pertama adalah anjingnya, Yukko (Mitsuo Yoshihara) yang rupanya bisa berubah menjadi manusia. Berikutnya, seorang anak SMP yang ternyata adalah Mirai dari masa depan (Haru Kuroki). Lalu, seorang pria macho misterius (Masaharu Fukuyama) yang mengajak Kun naik kuda dan sepeda motor. Dan seorang anak gadis seumuran Kun yang doyan berantakin rumah.

Tidak dijelaskan apakah ini benar-benar kejadian atau cuma imajinasi Kun saja. Hosoda mengemasnya dalam sekuens yang dreamy. Ini memang tak terasa sebagai sesuatu yang bisa diimajinasikan oleh anak-anak sungguhan di umur segitu. Namun poinnya adalah lewat perjumpaan ini Kun mendapat pelajaran soal bertumbuh besar dari berbagai generasi di keluarganya. Ada sebuah adegan menakjubkan di klimaks dimana Kun tersesat di sebuah stasiun raksasa. Ia berhasil bertemu dengan robot petugas stasiun, tapi terancam dibawa ke Negeri Kesendirian karena tak bisa mengingat satu pun nama anggota keluarganya.

Hosoda, yang kali ini memproduksi film hanya dengan studionya sendiri, Studio Chizu mengisi Mirai dengan detail yang sangat sangat menggemaskan. Animasinya terang, tajam, dan cantik. Setiap detail gerakan karakter sangat diperhatikan, dan tingkah polah dari para anak kecil di film ini sungguh terasa natural. Rumah dari keluarga ini merupakan karakter tersendiri yang terikat kuat dengan Kun, dan ia digambarkan dengan geografi yang jelas. Rumah modern yang minimalis ini terasa sangat hangat, membuat kita betah lama-lama berada disana.

Walau ceritanya didasarkan dengan kacamata anak-anak, saya tak tahu apakah Mirai betul-betul akan menarik bagi mereka dari segi esensi. Tentu, anak-anak bakal menikmati gambar dan animasinya yang lucu, tapi pesannya yang hangat soal keluarga barangkali belum akan mereka tangkap sepenuhnya. Saya merasa bahwa film ini lebih sebagai throwback bagi mantan anak-anak yang ingin bernostalgia dengan masa kanak-kanak. Ia mengingatkan kita kembali akan betapa berharganya keluarga lewat cara yang sederhana tapi sangat menyentuh.

Njiir, berasa udah bapak-bapak banget saya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Mirai

98 menit
Semua Umur
Mamoru Hosoda
Mamoru Hosoda
Nozomu Takahashi, Yūichirō Saitō, Takuya Itō, Yūichi Adachi, Genki Kawamura
Masakatsu Takagi

Siapa pun yang menontonnya akan mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.

“Be nice to her, okay? ”
—Mum
Rating UP:
Mirai (atau dalam judul aslinya Mirai No Mirai) mungkin merupakan film paling menggemaskan tahun ini. Film ini secara konstan sukses memberikan senyum lebar di wajah saya yang lucu naudzubilah. Sutradara animasi handal dari Jepang, Mamoru Hosoda kembali memberikan film keluarga berbalut fantasi yang menjamin siapa pun yang menontonnya mendapatkan kesegaran mata dan kedamaian jiwa.


Semua film Hosoda adalah drama keluarga simpel yang dibungkus dalam kemasan fantasi yang anime banget. Namun Mirai adalah filmnya yang paling kecil. Sebagai perbandingan, kita harus meloncat kembali ke 2006 lewat film The Girl Who Leapt Through Time yang rasa-rasanya paling domestik dari semua film Hosoda, dan Mirai jauh lebih domestik daripada itu. Ceritanya hanya berkutat di satu keluarga kecil yang sederhana. Titik, tidak kemana-mana lagi. Namun berhubung ini adalah film Hosoda, tentu saja wajar kalau nantinya keajaiban akan terjadi dan waktu akan dibelokkan.

Mungkin ini karena kita hanya melihat dari sudut pandang karakter utamanya yang adalah seorang bocah berusia 4 tahun. Bagi anak umur segitu, keluarga memang adalah seluruh semesta. Namanya Kun (disuarakan oleh Moka Kamishiraishi). Sebagai anak tunggal, Kun merasa ia adalah pusat semesta; satu-satunya orang yang diperhatikan oleh ayah dan ibunya (Gen Hoshino dan Kumiko Aso). Sampai kemudian Kun kedatangan seorang adik bernama Mirai.

Dimadu itu sakit, sodara-sodara.

Kun berusaha caper dengan berantakin mainan, menangis, berteriak, berteriak sambil menangis, tapi ayah dan ibu lebih memperhatikan Mirai. Terlebih saat sang ibu sudah harus kembali masuk kerja. Sang ayah harus menjalankan kewajiban ganda; bekerja di rumah (ngomong-ngomong, ayah adalah seorang arsitek) sekaligus mengasuh dua anak. Kun makin dicuekin. Maka, Mirai berarti musuh. Dan melempar musuh dengan mainan bukanlah pantangan.

Sungguh, ini terlihat seperti keluarga muda mana pun yang punya anak rewel. Ralat, semua keluarga muda anaknya pasti rewel sih. Dalam filmnya yang lalu yang lebih ambisius, Hosoda terbukti punya keterampilan memberikan sekuens aksi yang spektakuler. Dan dalam film ini, ia dengan menakjubkan sukses menghadirkan dinamika keluarga yang sederhana dan intim. Kita bisa merasakan betapa hangatnya kelurga kecil ini.

Nah, keajaiban yang tadi saya bilang itu disini: di tengah rumah, ada sebuah taman yang bisa membawa Kun bertualang melintasi ruang dan waktu. Disini Kun berjumpa dengan beberapa orang dari masa yang berbeda. Yang pertama adalah anjingnya, Yukko (Mitsuo Yoshihara) yang rupanya bisa berubah menjadi manusia. Berikutnya, seorang anak SMP yang ternyata adalah Mirai dari masa depan (Haru Kuroki). Lalu, seorang pria macho misterius (Masaharu Fukuyama) yang mengajak Kun naik kuda dan sepeda motor. Dan seorang anak gadis seumuran Kun yang doyan berantakin rumah.

Tidak dijelaskan apakah ini benar-benar kejadian atau cuma imajinasi Kun saja. Hosoda mengemasnya dalam sekuens yang dreamy. Ini memang tak terasa sebagai sesuatu yang bisa diimajinasikan oleh anak-anak sungguhan di umur segitu. Namun poinnya adalah lewat perjumpaan ini Kun mendapat pelajaran soal bertumbuh besar dari berbagai generasi di keluarganya. Ada sebuah adegan menakjubkan di klimaks dimana Kun tersesat di sebuah stasiun raksasa. Ia berhasil bertemu dengan robot petugas stasiun, tapi terancam dibawa ke Negeri Kesendirian karena tak bisa mengingat satu pun nama anggota keluarganya.

Hosoda, yang kali ini memproduksi film hanya dengan studionya sendiri, Studio Chizu mengisi Mirai dengan detail yang sangat sangat menggemaskan. Animasinya terang, tajam, dan cantik. Setiap detail gerakan karakter sangat diperhatikan, dan tingkah polah dari para anak kecil di film ini sungguh terasa natural. Rumah dari keluarga ini merupakan karakter tersendiri yang terikat kuat dengan Kun, dan ia digambarkan dengan geografi yang jelas. Rumah modern yang minimalis ini terasa sangat hangat, membuat kita betah lama-lama berada disana.

Walau ceritanya didasarkan dengan kacamata anak-anak, saya tak tahu apakah Mirai betul-betul akan menarik bagi mereka dari segi esensi. Tentu, anak-anak bakal menikmati gambar dan animasinya yang lucu, tapi pesannya yang hangat soal keluarga barangkali belum akan mereka tangkap sepenuhnya. Saya merasa bahwa film ini lebih sebagai throwback bagi mantan anak-anak yang ingin bernostalgia dengan masa kanak-kanak. Ia mengingatkan kita kembali akan betapa berharganya keluarga lewat cara yang sederhana tapi sangat menyentuh.

Njiir, berasa udah bapak-bapak banget saya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Mirai

98 menit
Semua Umur
Mamoru Hosoda
Mamoru Hosoda
Nozomu Takahashi, Yūichirō Saitō, Takuya Itō, Yūichi Adachi, Genki Kawamura
Masakatsu Takagi

Wednesday, June 24, 2015

Review Film: 'Poltergeist' (2015)

Keluarga - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Keluarga, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Keluarga, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Poltergeist' (2015)
link : Review Film: 'Poltergeist' (2015)

Baca juga


Keluarga

Bukanlah remake yang buruk. Sayangnya, di balik sisi visual yang menarik, 'Poltergeist' versi Gil Kenan hanya menjadi reka ulang yang dangkal akibat melewatkan karakterisasi dan pacing narasi.

“They're here.”
— Madison
Poltergeist versi orisinil yang dirilis tahun 1982 merupakan film yang ikonik, mendefinisikan genre horor baru, melahirkan banyak pengikut, bahkan mendapat pengakuan dari Academy dengan 3 nominasi Oscar. Film ini juga disebut-sebut sebagai salah satu film horor terseram yang pernah dibuat. Saat kemudian sutradara Gil Kenan me-remake film tersebut, pertanyaannya adalah perlukah Poltergeist dibuat ulang?

Cukup logis sebenarnya alasan Kenan bersama dengan produser Sam Raimi (Evil Dead, Spider-Man) mereka-ulang kisah klasik ini. Poltergeist versi Tobe Hooper yang mengangkat tema horor keluarga dan teror dari teknologi yang tak kita mengerti (baca: televisi) tak lagi relevan dengan jaman sekarang. Di era modernisasi, kehidupan kita sudah dikelilingi oleh berbagai macam barang elektronik. Poltergeist versi baru menyadari hal tersebut dan menyelipkan terornya dalam wujud baru seperti smartphone dan tablet dengan tetap tak meninggalkan properti lamanya.

Dalam hal mereview Poltergeist versi baru ini, mau tak mau saya harus membandingkan dengan versi lama. Bukan hanya karena ini adalah adaptasi langsung dari versi lama, melainkan juga karena versi barunya nyaris mencaplok semua elemen dari versi lamanya, termasuk penokohan dan detail cerita, dengan sedikit polesan tentunya.

Kali ini fokus cerita adalah keluarga Bowen (bukan keluarga Freeling), dimana sang ayah tak lagi bekerja sebagai agen real estate melainkan seorang pekerja kantoran yang baru saja dipecat. Pasangan suami istri Eric (Sam Rockwell) dan Amy Bowen (Rosemarie DeWitt) beserta ketiga anaknya, Kendra (Saxon Sharbino), Griffin (Kyle Catlett), dan Madison (Kennedi Clements) pindah ke rumah baru di pinggiran kota. Peristiwa-peristiwa aneh mulai terjadi namun penghuni baru ini bisa dibilang tak terlalu ambil pusing.


Saat Eric dan Amy pergi makan malam ke luar, ponsel Kendra mengalami keanehan yang disusul dengan munculnya tangan dari balik ubin, Griffin melihat boneka badut yang ditemukannya di loteng muali bergerak, sementara Madison bersembunyi dengan takut di kamarnya. Peristiwa-peristiwa aneh ini terus berlanjut hingga akhirnya Madison terjebak di dunia lain dan semua anggota keluarga ini harus bersatu untuk menyelamatkannya.

Bagi anda yang belum pernah menonton Poltergeist versi lama mungkin akan menganggap film ini mirip dengan The Conjuring dari James Wan. Ya, memang plotnya kurang lebih sama. Dalam film ini juga dihadirkan karakter pengusir hantu lengkap dengan peralatan canggih untuk mendeteksi kejadian supranatural melalui tokoh Dr. Brooke Powell (Jane Adams) dan Carrigan Burke (Jared Harris). Tokoh yang terakhir memberikan nuansa humoris dan (entah disengaja atau tidak) terkesan mengejek film horor bertema pengusir hantu.

Poltergeist adalah tontonan keluarga dan meski termasuk dalam genre horor, film ini nyaris tanpa darah-darahan. Film ini bisa dibilang horor yang "aman" karena efek CGI lebih banyak digunakan sehingga secara visual tak terlalu menakutkan.

Versi baru ini tampaknya ingin setia terhadap versi lamanya, dengan tetap mempertahankan beberapa adegan ikonik seperti Madison yang menyentuh dan berkomunikasi dengan layar TV — kali ini TV-nya adalah TV LCD bukannya TV tabung —, teror dari pohon yang bisa bergerak, hingga tarik menarik antara arwah dunia lain dengan keluarga Bowen. Di film ini, kita bisa melihat sekilas bagaimana situasi dunia arwah melalui drones yang dikemudikan oleh Griffin dalam usahanya menyelamatkan Madison.

Saya bukanlah penggemar berat film orisinalnya. Alih-alih film horor dengan sentuhan cerita keluarga, Poltergeist memang lebih cenderung seperti film keluarga dengan sentuhan horor. Namun ia adalah film yang bagus karena lebih berfokus pada karakter dan pacing. Dengan durasi yang lebih singkat, Poltergeist versi baru tak ingin berlama-lama membangun karakter. Naskah dari David Lindsay-Abaire dengan cepat menginformasikan penonton bahwa Eric adalah kepala keluarga yang mengalami masalah finansial, sementara Amy adalah ibu yang perhatian, Kendra adalah remaja putri pemberontak, Griffin sebagai anak aneh yang selalu ketakutan sepanjang waktu, dan Madison sebagai si kecil polos yang justru menikmati hal-hal mistis yang dilihatnya. Karakterisasi ini disajikan dengan cepat dalam adegan-adegan yang singkat, sehingga sulit bagi penonton untuk benar-benar terikat dengan para tokohnya, satu poin yang berhasil digarap dengan baik oleh versi lamanya.

Lagi-lagi karena karakterisasi, kita tak dapat menangkap pesan moral mengenai anggota keluarga yang bahu membahu untuk satu tujuan. Di film versi baru ini, gara-gara karakterisasi one-note-nya kita tak bisa merasakan betapa tidak kompaknya anggota keluarga di awal film dan oleh karenanya kerjasama yang akhirnya mereka lakukan saat klimaks juga kurang mengena. Sejujurnya, saya bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi dengan keluarga Bowen ini.

Meski dinamika keluarga ini terkesan datar, tapi penampilan yang cukup bagus diberikan oleh Sam Rockwell. Tak hanya menjadikan karakter Eric jauh dari persona Steven Freeling (yang dimainkan oleh Craig T. Nelson), namun juga memberi sedikit improvisasi dan membuat dialog yang monoton menjadi menarik. Selain Rockwell, akting yang lain bisa dibilang rata-rata, tapi perlu digarisbawahi bahwa peran Griffin disini lebih signifikan dibanding peran Robbie Freeling dalam versi lamanya.

Sebagai film horor, Poltergeist terasa kurang intens dan kurang menyeramkan. Penonton tak dibuat merasakan bahaya yang mengancam keluarga Bowen. Kenan bukannya tak berpengalaman menangani film horor. Sebelumnya di pernah menyutradarai Monster House. Namun disini dia terkesan tak konsisten. Entah kenapa di pertengahan hingga paruh akhir, Kenan merasa harus mulai memasukkan jump scares klise, sesuatu yang tak ada di film versi lamanya.

Bukan berarti bahwa film ini adalah reka ulang yang buruk. Secara teknis, Poltergeist tak kalah dengan versi lamanya yang diklaim sangat maju dalam hal efek. Dengan teknologi special effects yang semakin maju, tentu film ini bisa menyajikan efek horor yang lebih halus dengan bantuan CGI. Kru di belakang layar juga melakukan eksekusi yang baik. Camerawork yang mengalir dari Javier Aguirresarobe serta editing yang bagus dari Jeff Betancourt & Bob Murawski membuat Poltergeist menjadi film yang berkualitas secara visual. Sayangnya film ini hanya superior dari sisi tersebut dan lebih memilih visual alih-alih narasi.

Usaha untuk memodernisasikan kisah klasik Poltergeist ini tidaklah buruk, namun film ini menjadi sekedar remake dangkal yang tak menggali lebih jauh sebagaimana harusnya. Seperti kebanyakan remake Hollywood lain, Poltergeist versi Kenan pada akhirnya termasuk dalam kategori remake yang tak perlu dan gampang terlupakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Poltergeist' |
|

IMDb | Rottentomatoes
93 menit | Remaja

Sutradara Gil Kenan
Penulis David Lindsay-Abaire
Pemain Sam Rockwell, Rosemarie DeWitt, Jared Harris, Jane Adams

Bukanlah remake yang buruk. Sayangnya, di balik sisi visual yang menarik, 'Poltergeist' versi Gil Kenan hanya menjadi reka ulang yang dangkal akibat melewatkan karakterisasi dan pacing narasi.

“They're here.”
— Madison
Poltergeist versi orisinil yang dirilis tahun 1982 merupakan film yang ikonik, mendefinisikan genre horor baru, melahirkan banyak pengikut, bahkan mendapat pengakuan dari Academy dengan 3 nominasi Oscar. Film ini juga disebut-sebut sebagai salah satu film horor terseram yang pernah dibuat. Saat kemudian sutradara Gil Kenan me-remake film tersebut, pertanyaannya adalah perlukah Poltergeist dibuat ulang?

Cukup logis sebenarnya alasan Kenan bersama dengan produser Sam Raimi (Evil Dead, Spider-Man) mereka-ulang kisah klasik ini. Poltergeist versi Tobe Hooper yang mengangkat tema horor keluarga dan teror dari teknologi yang tak kita mengerti (baca: televisi) tak lagi relevan dengan jaman sekarang. Di era modernisasi, kehidupan kita sudah dikelilingi oleh berbagai macam barang elektronik. Poltergeist versi baru menyadari hal tersebut dan menyelipkan terornya dalam wujud baru seperti smartphone dan tablet dengan tetap tak meninggalkan properti lamanya.

Dalam hal mereview Poltergeist versi baru ini, mau tak mau saya harus membandingkan dengan versi lama. Bukan hanya karena ini adalah adaptasi langsung dari versi lama, melainkan juga karena versi barunya nyaris mencaplok semua elemen dari versi lamanya, termasuk penokohan dan detail cerita, dengan sedikit polesan tentunya.

Kali ini fokus cerita adalah keluarga Bowen (bukan keluarga Freeling), dimana sang ayah tak lagi bekerja sebagai agen real estate melainkan seorang pekerja kantoran yang baru saja dipecat. Pasangan suami istri Eric (Sam Rockwell) dan Amy Bowen (Rosemarie DeWitt) beserta ketiga anaknya, Kendra (Saxon Sharbino), Griffin (Kyle Catlett), dan Madison (Kennedi Clements) pindah ke rumah baru di pinggiran kota. Peristiwa-peristiwa aneh mulai terjadi namun penghuni baru ini bisa dibilang tak terlalu ambil pusing.


Saat Eric dan Amy pergi makan malam ke luar, ponsel Kendra mengalami keanehan yang disusul dengan munculnya tangan dari balik ubin, Griffin melihat boneka badut yang ditemukannya di loteng muali bergerak, sementara Madison bersembunyi dengan takut di kamarnya. Peristiwa-peristiwa aneh ini terus berlanjut hingga akhirnya Madison terjebak di dunia lain dan semua anggota keluarga ini harus bersatu untuk menyelamatkannya.

Bagi anda yang belum pernah menonton Poltergeist versi lama mungkin akan menganggap film ini mirip dengan The Conjuring dari James Wan. Ya, memang plotnya kurang lebih sama. Dalam film ini juga dihadirkan karakter pengusir hantu lengkap dengan peralatan canggih untuk mendeteksi kejadian supranatural melalui tokoh Dr. Brooke Powell (Jane Adams) dan Carrigan Burke (Jared Harris). Tokoh yang terakhir memberikan nuansa humoris dan (entah disengaja atau tidak) terkesan mengejek film horor bertema pengusir hantu.

Poltergeist adalah tontonan keluarga dan meski termasuk dalam genre horor, film ini nyaris tanpa darah-darahan. Film ini bisa dibilang horor yang "aman" karena efek CGI lebih banyak digunakan sehingga secara visual tak terlalu menakutkan.

Versi baru ini tampaknya ingin setia terhadap versi lamanya, dengan tetap mempertahankan beberapa adegan ikonik seperti Madison yang menyentuh dan berkomunikasi dengan layar TV — kali ini TV-nya adalah TV LCD bukannya TV tabung —, teror dari pohon yang bisa bergerak, hingga tarik menarik antara arwah dunia lain dengan keluarga Bowen. Di film ini, kita bisa melihat sekilas bagaimana situasi dunia arwah melalui drones yang dikemudikan oleh Griffin dalam usahanya menyelamatkan Madison.

Saya bukanlah penggemar berat film orisinalnya. Alih-alih film horor dengan sentuhan cerita keluarga, Poltergeist memang lebih cenderung seperti film keluarga dengan sentuhan horor. Namun ia adalah film yang bagus karena lebih berfokus pada karakter dan pacing. Dengan durasi yang lebih singkat, Poltergeist versi baru tak ingin berlama-lama membangun karakter. Naskah dari David Lindsay-Abaire dengan cepat menginformasikan penonton bahwa Eric adalah kepala keluarga yang mengalami masalah finansial, sementara Amy adalah ibu yang perhatian, Kendra adalah remaja putri pemberontak, Griffin sebagai anak aneh yang selalu ketakutan sepanjang waktu, dan Madison sebagai si kecil polos yang justru menikmati hal-hal mistis yang dilihatnya. Karakterisasi ini disajikan dengan cepat dalam adegan-adegan yang singkat, sehingga sulit bagi penonton untuk benar-benar terikat dengan para tokohnya, satu poin yang berhasil digarap dengan baik oleh versi lamanya.

Lagi-lagi karena karakterisasi, kita tak dapat menangkap pesan moral mengenai anggota keluarga yang bahu membahu untuk satu tujuan. Di film versi baru ini, gara-gara karakterisasi one-note-nya kita tak bisa merasakan betapa tidak kompaknya anggota keluarga di awal film dan oleh karenanya kerjasama yang akhirnya mereka lakukan saat klimaks juga kurang mengena. Sejujurnya, saya bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi dengan keluarga Bowen ini.

Meski dinamika keluarga ini terkesan datar, tapi penampilan yang cukup bagus diberikan oleh Sam Rockwell. Tak hanya menjadikan karakter Eric jauh dari persona Steven Freeling (yang dimainkan oleh Craig T. Nelson), namun juga memberi sedikit improvisasi dan membuat dialog yang monoton menjadi menarik. Selain Rockwell, akting yang lain bisa dibilang rata-rata, tapi perlu digarisbawahi bahwa peran Griffin disini lebih signifikan dibanding peran Robbie Freeling dalam versi lamanya.

Sebagai film horor, Poltergeist terasa kurang intens dan kurang menyeramkan. Penonton tak dibuat merasakan bahaya yang mengancam keluarga Bowen. Kenan bukannya tak berpengalaman menangani film horor. Sebelumnya di pernah menyutradarai Monster House. Namun disini dia terkesan tak konsisten. Entah kenapa di pertengahan hingga paruh akhir, Kenan merasa harus mulai memasukkan jump scares klise, sesuatu yang tak ada di film versi lamanya.

Bukan berarti bahwa film ini adalah reka ulang yang buruk. Secara teknis, Poltergeist tak kalah dengan versi lamanya yang diklaim sangat maju dalam hal efek. Dengan teknologi special effects yang semakin maju, tentu film ini bisa menyajikan efek horor yang lebih halus dengan bantuan CGI. Kru di belakang layar juga melakukan eksekusi yang baik. Camerawork yang mengalir dari Javier Aguirresarobe serta editing yang bagus dari Jeff Betancourt & Bob Murawski membuat Poltergeist menjadi film yang berkualitas secara visual. Sayangnya film ini hanya superior dari sisi tersebut dan lebih memilih visual alih-alih narasi.

Usaha untuk memodernisasikan kisah klasik Poltergeist ini tidaklah buruk, namun film ini menjadi sekedar remake dangkal yang tak menggali lebih jauh sebagaimana harusnya. Seperti kebanyakan remake Hollywood lain, Poltergeist versi Kenan pada akhirnya termasuk dalam kategori remake yang tak perlu dan gampang terlupakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Poltergeist' |
|

IMDb | Rottentomatoes
93 menit | Remaja

Sutradara Gil Kenan
Penulis David Lindsay-Abaire
Pemain Sam Rockwell, Rosemarie DeWitt, Jared Harris, Jane Adams

Wednesday, June 17, 2015

Review Film: 'Minions' (2015)

Keluarga - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Keluarga, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Animasi, Artikel Keluarga, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Minions' (2015)
link : Review Film: 'Minions' (2015)

Baca juga


Keluarga

'Minions' memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir.

“Doesn't it feel so good to be bad.”
— Scarlett Overkill
Jika ditanya apa yang paling diingat dari dua film Despicable Me, mungkin banyak yang akan menjawab: karakter kuning lucu bernama Minion dengan tingkah mereka yang konyol. Ya, Minion sangat terkenal, bahkan mungkin popularitasnya melebihi sang tokoh utama, Gru. Universal kemudian bermaksud menjadikan Minion sebagai tokoh utama dalam filmnya sendiri. Sebagai figuran, Minions menjadi karakter yang sangat digandrungi, namun menjadi tokoh utama? Ternyata tidak juga.

Kekhawatiran utama (sekaligus hal yang paling membuat saya penasaran) adalah bagaimana para pembuat film akan membawakan narasi melalui karakter yang berkomunikasi dengan kosakata yang tidak kita mengerti. Menonton film solonya ini, saya tak perlu memusingkan hal tersebut karena narasinya nyaris omong kosong. Selama 90 menit, kita disajikan dengan aksi konyol mereka menyiksa diri sendiri (dan/atau rekannya) tanpa arah yang jelas.

Di awal film diceritakan bahwa Minions ternyata sudah ada semenjak jaman purbakala. Mereka terlahir dengan insting mengabdi pada penjahat terkejam, mulai dari T-Rex, Manusia Gua, Firaun hingga Drakula. Bagaimana mereka punya insting tersebut adalah pertanyaan yang takkan pernah anda temukan jawabannya hingga akhir film. Yang pasti, kedunguan Minions berujung pada nasib buruk bagi bos mereka.


Para Minion ini kemudian memilih tinggal di gua es. Namun tanpa adanya majikan untuk dilayani, hidup mereka tak bergairah. Hingga suatu ketika, salah seorang Minion yang bernama Kevin memutuskan untuk mengembara mencari bos baru, ditemani dengan Stuart dan Bob. Pengembaraan ini berujung pada pertemuan mereka dengan Scarlett Overkill (Sandra Bullock) dalam Villain-Con, konferensi penjahat terbesar di dunia.

Dari sinopsis di atas, mungkin anda bisa melihat bahwa cerita ini paling tidak punya sedikit plot. Bahkan di paruh pertama, cerita dibawakan dengan narasi dari Geoffrey Rush agar plotnya mudah dicerna. Namun plot ini terasa percuma, karena sutradara Pierre Coffin tampaknya tak bisa (atau tak mau repot-repot) memberikan narasi yang baik, dan lebih fokus pada kelakuan bodoh Minions. Cerita utama tentang pertemuan mereka dengan Scarlett hanya ditujukan agar karakter kuning ini bisa bertualang di jalanan London sambil bertingkah bodoh dan menimbulkan kekacauan dimana-mana, namun tak pernah dianggap aneh oleh para manusia di dalam filmnya.

Dari sisi komedinya pun tak mengena. Jika anda telah menonton beberapa trailer yang dirilis, maka nyaris tak ada hal baru yang bisa membuat tertawa. Bagian terbaik sudah diumbar dalam trailer, sementara sisanya adalah lelucon slapstick yang membosankan.

Saya rasa di beberapa poin, penulis skrip Brian Lynch (Hop, Puss in Boots) ingin memberikan komedi karakter dari 3 Minions ini. Kevin yang sedikit pintar namun agak serius, Stuart yang melankolis dengan ukulelenya, dan Bob yang polos. Tapi ini tak pernah dieksplorasi lagi, selain permukaannya saja. Di awal film, disebutkan bahwa ada satu Minion (saya lupa namanya) yang paling bodoh. Pada akhirnya, saya seharusnya menyadari bahwa satu-satunya sifat yang konsisten dari Minions adalah kebodohannya. Ups.

Penampilan Bullock sebagai Scarlett terasa disia-siakan. Punya kualifikasi yang hampir sama dengan Gru, Scarlett juga punya peralatan canggih yang mematikan, seperti gaun berlapis baja yang bisa menembakkan roket, topi penghipnotis, dan pistol lava. Dia bahkan punya kemampuan martial arts yang tak main-main. Scarlett adalah salah satu karakter penjahat yang paling mudah terlupakan. Backstory yang diberikan juga sedikit bias.

Jika ingin menyebutkan beberapa hal yang saya suka, itu adalah selipan cameo dan plesetan yang mungkin akan terlewatkan bagi anda yang tak begitu awas. Dengan setting tahun 60-an, petualangan Minions menyentil The Beatles di Abbey Road hingga kontroversi pendaratan NASA di bulan. Film ini juga menyindir secara vulgar mengenai stereotip orang Inggris yang sangat akrab dengan teh. Entah disengaja atau tidak, Geoffrey Rush disini juga mengisi suara sebagai asisten penguasa Inggris, sebagaimana perannya dalam The King's Speech. Ada juga penampilan Stuart yang membawakan solo Van Halen dengan "mega ukulele"-nya. Kru di belakang layar tahu benar bahwa para fans Minions berasal dari berbagai negara, dan dengan cerdas menyelipkan kosakata seperti "Mazeltov", "Gracias" bahkan "Terima Kasih" diantara gumaman gajenya.

Dari sisi teknis saya tak bisa bilang macam-macam. Animasinya dirender dengan halus dan punya kualitas yang setara dengan Despicable Me. Desain karakternya juga unik dan variatif, termasuk para penjahat-penjahat yang menghadiri Villain-Con. Bagi yang suka melihat karakter kuning ini, mungkin bakalan girang karena disini akan melihat ratusan Minions dalam satu frame.

Banyak yang membela film ini dengan menyebutnya sebagai dumb-fun entertainment. Well, Minions memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Film ini jauh dari kata fun. Di akhir film, saya sedikit lega dengan kemuculan Gru sebagai cameo. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Minions' |
|

IMDb | Rottentomatoes
91 menit | Semua Umur - BO

Sutradara Pierre Coffin, Kyle Balda
Penulis Bryan Lynch
Pemain Pierre Coffin, Sandra Bullock, Jon Hamm, Michael Keaton

'Minions' memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir.

“Doesn't it feel so good to be bad.”
— Scarlett Overkill
Jika ditanya apa yang paling diingat dari dua film Despicable Me, mungkin banyak yang akan menjawab: karakter kuning lucu bernama Minion dengan tingkah mereka yang konyol. Ya, Minion sangat terkenal, bahkan mungkin popularitasnya melebihi sang tokoh utama, Gru. Universal kemudian bermaksud menjadikan Minion sebagai tokoh utama dalam filmnya sendiri. Sebagai figuran, Minions menjadi karakter yang sangat digandrungi, namun menjadi tokoh utama? Ternyata tidak juga.

Kekhawatiran utama (sekaligus hal yang paling membuat saya penasaran) adalah bagaimana para pembuat film akan membawakan narasi melalui karakter yang berkomunikasi dengan kosakata yang tidak kita mengerti. Menonton film solonya ini, saya tak perlu memusingkan hal tersebut karena narasinya nyaris omong kosong. Selama 90 menit, kita disajikan dengan aksi konyol mereka menyiksa diri sendiri (dan/atau rekannya) tanpa arah yang jelas.

Di awal film diceritakan bahwa Minions ternyata sudah ada semenjak jaman purbakala. Mereka terlahir dengan insting mengabdi pada penjahat terkejam, mulai dari T-Rex, Manusia Gua, Firaun hingga Drakula. Bagaimana mereka punya insting tersebut adalah pertanyaan yang takkan pernah anda temukan jawabannya hingga akhir film. Yang pasti, kedunguan Minions berujung pada nasib buruk bagi bos mereka.


Para Minion ini kemudian memilih tinggal di gua es. Namun tanpa adanya majikan untuk dilayani, hidup mereka tak bergairah. Hingga suatu ketika, salah seorang Minion yang bernama Kevin memutuskan untuk mengembara mencari bos baru, ditemani dengan Stuart dan Bob. Pengembaraan ini berujung pada pertemuan mereka dengan Scarlett Overkill (Sandra Bullock) dalam Villain-Con, konferensi penjahat terbesar di dunia.

Dari sinopsis di atas, mungkin anda bisa melihat bahwa cerita ini paling tidak punya sedikit plot. Bahkan di paruh pertama, cerita dibawakan dengan narasi dari Geoffrey Rush agar plotnya mudah dicerna. Namun plot ini terasa percuma, karena sutradara Pierre Coffin tampaknya tak bisa (atau tak mau repot-repot) memberikan narasi yang baik, dan lebih fokus pada kelakuan bodoh Minions. Cerita utama tentang pertemuan mereka dengan Scarlett hanya ditujukan agar karakter kuning ini bisa bertualang di jalanan London sambil bertingkah bodoh dan menimbulkan kekacauan dimana-mana, namun tak pernah dianggap aneh oleh para manusia di dalam filmnya.

Dari sisi komedinya pun tak mengena. Jika anda telah menonton beberapa trailer yang dirilis, maka nyaris tak ada hal baru yang bisa membuat tertawa. Bagian terbaik sudah diumbar dalam trailer, sementara sisanya adalah lelucon slapstick yang membosankan.

Saya rasa di beberapa poin, penulis skrip Brian Lynch (Hop, Puss in Boots) ingin memberikan komedi karakter dari 3 Minions ini. Kevin yang sedikit pintar namun agak serius, Stuart yang melankolis dengan ukulelenya, dan Bob yang polos. Tapi ini tak pernah dieksplorasi lagi, selain permukaannya saja. Di awal film, disebutkan bahwa ada satu Minion (saya lupa namanya) yang paling bodoh. Pada akhirnya, saya seharusnya menyadari bahwa satu-satunya sifat yang konsisten dari Minions adalah kebodohannya. Ups.

Penampilan Bullock sebagai Scarlett terasa disia-siakan. Punya kualifikasi yang hampir sama dengan Gru, Scarlett juga punya peralatan canggih yang mematikan, seperti gaun berlapis baja yang bisa menembakkan roket, topi penghipnotis, dan pistol lava. Dia bahkan punya kemampuan martial arts yang tak main-main. Scarlett adalah salah satu karakter penjahat yang paling mudah terlupakan. Backstory yang diberikan juga sedikit bias.

Jika ingin menyebutkan beberapa hal yang saya suka, itu adalah selipan cameo dan plesetan yang mungkin akan terlewatkan bagi anda yang tak begitu awas. Dengan setting tahun 60-an, petualangan Minions menyentil The Beatles di Abbey Road hingga kontroversi pendaratan NASA di bulan. Film ini juga menyindir secara vulgar mengenai stereotip orang Inggris yang sangat akrab dengan teh. Entah disengaja atau tidak, Geoffrey Rush disini juga mengisi suara sebagai asisten penguasa Inggris, sebagaimana perannya dalam The King's Speech. Ada juga penampilan Stuart yang membawakan solo Van Halen dengan "mega ukulele"-nya. Kru di belakang layar tahu benar bahwa para fans Minions berasal dari berbagai negara, dan dengan cerdas menyelipkan kosakata seperti "Mazeltov", "Gracias" bahkan "Terima Kasih" diantara gumaman gajenya.

Dari sisi teknis saya tak bisa bilang macam-macam. Animasinya dirender dengan halus dan punya kualitas yang setara dengan Despicable Me. Desain karakternya juga unik dan variatif, termasuk para penjahat-penjahat yang menghadiri Villain-Con. Bagi yang suka melihat karakter kuning ini, mungkin bakalan girang karena disini akan melihat ratusan Minions dalam satu frame.

Banyak yang membela film ini dengan menyebutnya sebagai dumb-fun entertainment. Well, Minions memang dumb, tapi menganalogikannya dengan fun, adalah hal yang berlebihan. Film ini jauh dari kata fun. Di akhir film, saya sedikit lega dengan kemuculan Gru sebagai cameo. Mungkin sebaiknya Minions kembali duduk di kursi penumpang dan membiarkan Gru yang menyetir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Minions' |
|

IMDb | Rottentomatoes
91 menit | Semua Umur - BO

Sutradara Pierre Coffin, Kyle Balda
Penulis Bryan Lynch
Pemain Pierre Coffin, Sandra Bullock, Jon Hamm, Michael Keaton