Showing posts with label Biografi. Show all posts
Showing posts with label Biografi. Show all posts

Saturday, January 5, 2019

Review Film: 'Green Book' (2018)

Biografi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Biografi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Biografi, Artikel Drama, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Green Book' (2018)
link : Review Film: 'Green Book' (2018)

Baca juga


Biografi

Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers

Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers

Friday, August 25, 2017

Review Film: 'American Made' (2017)

Biografi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Biografi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Biografi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'American Made' (2017)
link : Review Film: 'American Made' (2017)

Baca juga


Biografi

Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.

“My name is Barry Seal. Some of this s**t really happened. It really did.”
— Barry Seal
Rating UP:
Judulnya tak bisa lebih tepat lagi selain American Made. Yang membuat Barry Seal menjadi "Barry Seal" yang itu adalah Amerika. Barry Seal, mantan pilot komersil yang beralih menjadi pilot bagi CIA sekaligus kartel narkoba Kolombia, adalah produk dari iklim politik Amerika yang kerap berubah gara-gara tendensi mereka mencampuri urusan negara lain. Yah, anda mungkin sudah tahu kalau Amerika memang suka begitu. Anda mungkin juga sudah tahu bagaimana filmnya akan berjalan, karena telah banyak menyaksikan film kriminal slenge'an "based on true story" seperti ini. Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.


Barry diperankan oleh Tom Cruise. Iya, bintang film kecintaan semua orang yang identik dengan citra jagoan dan auranya yang agak bandel, kali ini harus bermain sedikit lebih nakal lagi sebagai kriminal penyelundup narkoba dan senjata dari Amerika ke Amerika Latin. Kisah nyatanya sendiri sangat absurd, dan pasti menyadari hal ini, sutradara Doug Liman membawakan filmnya dengan dengan ringan dan cenderung komedik. Cruise, seperti biasa, menampilkan karisma dan seringai songongnya yang menjadi driving force kuat bagi film ini, hingga di satu titik saya sampai berpikir jangan-jangan saya peduli pada karakternya gara-gara diperankan Cruise.

Di tahun 70-an, Seal adalah pilot bagi maskapai penumpang Trans World Airlines (TWA) yang sebegitu bosan dengan pekerjaannya, ia sampai iseng sengaja membuat turbulensi palsu dengan membelokkan pesawat ke bawah secara mendadak. Barry dan copilot-nya cengar-cengir, tapi untunglah tak ada penumpang pesawat yang jantungan. Dalam perjalanan pulang, Barry juga sekalian menyelundupkan cerutu Kuba ke Amerika. Operasi kecil-kecilannya menjadi perhatian bagi CIA, namun alih-alih menangkap Barry, mereka malah merekrutnya untuk misi mata-mata. Wakil CIA, Schafer (Domhnall Gleeson) menyuruh Barry terbang seperti biasa ke Amerika Latin, tapi kali ini ia harus mengambil laporan spionase dari rekanan CIA atau memotret aktivitas militer yang dilakukan disana.

Operasi yang ini juga ketahuan, tapi oleh trio kartel Medellin, yang diantaranya beranggotakan raja narkoba, Pablo Escobar. Mereka tahu bahwa Barry bekerja pada CIA, namun mereka ingin memanfaatkan situasi. Barry diharuskan menyelundupkan ratusan kilo kokain ke Amerika. Sebagai imbalan, ia akan dibayar $2 ribu perkilo. Nikmatnya menjadi Barry adalah: (1) selalu ketahuan, tapi (2) selalu bisa lolos, dan (3) bernasib lebih baik daripada sebelumnya. Kali ini ia digerebek polisi Kolombia, tapi dibebaskan kembali oleh Schafer. Untuk menyembunyikan identitas, Barry harus memindahkan keluarganya ke kota kecil Mena, dimana ia diberi rumah dan satu bandara pribadi yang khusus untuk menerbangkan senjata, karena kini Presiden merasa perlu mempersenjatai militan Contras di Nikaragua. Sementara itu, bisnis kurir narkoba semakin besar hingga Barry merekrut beberapa pilot sebagai anak buahnya.

Kesalahan Barry adalah saat punya terlalu banyak uang, ia sampai tak tahu lagi bagaimana cara menyimpannya. Kota kecil Mena sudah seperti kota pribadi Barry karena ia membuat beberapa bisnis dan bank fiktif untuk mencuci uang. Uang tunai berceceran sampai ke kandang kuda karena sudah tak muat lagi di dalam koper-koper. Kedatangan adik iparnya (Caleb Landry Jones) yang seorang preman kacangan, membuat situasi menjadi lebih kacau. Di titik ini, anda penasaran bagaimana Barry masih bisa lolos. Pemerintah bukannya tidak tahu, alih-alih lepas tangan, sebab mereka merasa bahwa ada urusan yang lebih penting, which is, menangani urusan negara orang, tentu saja. Barry hanyalah seorang oportunis yang berada di waktu dan tempat yang tepat, memerah duit dari berbagai pihak yang juga memerahnya.

Film dibuka dengan Barry yang sedang merekam video dokumenter menggunakan VHS, menjelaskan tentang pekerjaannya. "This s**t really happened," kata Barry. American Made menggunakan video ini didukung dengan narasi langsung dari Cruise sebagai framing device untuk memandu kita melewati timeline yang meloncat-loncat sejak 70-an sampai akhir 80-an. Sinematografer yang digandeng Liman adalah Cesar Charlone. Seperti yang diterapkannya pada City of God (2002), Charlone suka dengan gambar nyaris close-up dengan warna calak. Gerakan kameranya hiperaktif dengan filter gambar yang kerap berganti, memberikan urgensi tersendiri di setiap adegan. Gaya filmnya pas sekali dengan karakterisasi serampangan dari Cruise. Untuk menjelaskan geografi naratifnya, Liman menggunakan peta yang dicoret dengan spidol, sembari menyentil keapatisan kebanyakan orang Amerika terhadap geografi negara orang, mengingatkan saya pada rubrik "Other Countries' Presidents" dari talkshow Last Week Tonight with John Oliver.

Film ini adalah satire, dan Liman bijak sekali tak terjun terlalu dalam terhadap latar belakang politiknya. Ini hanyalah cerita tentang Barry Seal, yang kebetulan dilatari dengan figur publik tenar semacam Escobar, Kolonel Noriega, dan Presiden Reagan. Konspirasi yang aslinya bernama skandal Iran-Contra ini seperti terpisah dari kehidupan Barry, namun kita masih bisa mengintip sekilas apa yang yang sebenarnya terjadi. Jika tidak, ini akan menjadi film yang sama sekali berbeda, yang kemungkinan besar akan menimbulkan ketimpangan tone.

Di lain sisi, hal ini juga membuat karakter lain tertutupi oleh Barry-nya Cruise. Pasangan sherif Mena, Jesse Plemons dan Lola Kirke terutama, yang tampaknya seperti punya peran cukup krusial di awal, namun ternyata tak begitu memberi dampak dalam kisah Barry. Sarah Wright Olsen sebagai istri Barry, Lucy baru mendapat porsi yang cukup mencolok menjelang film berakhir. Komitmen Liman agar filmnya selalu santai, menjadikan petualangan Barry dalam film ini tak seliar dan setajam kisah nyatanya. Saya pikir Liman menargetkan tohokan emosional untuk adegan penutup yang tragis. Ini tidak tercapai karena American Made tak mengajak kita menyelami lika-liku perjalanan moral dari Barry. Petualangan Barry terlalu fun. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

American Made

109 menit
Dewasa
Doug Liman
Gary Spinelli
Doug Davison, Brian Grazer, Ron Howard, Brian Oliver, Kim Roth, Tyler Thompson
César Charlone
Christophe Beck

Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.

“My name is Barry Seal. Some of this s**t really happened. It really did.”
— Barry Seal
Rating UP:
Judulnya tak bisa lebih tepat lagi selain American Made. Yang membuat Barry Seal menjadi "Barry Seal" yang itu adalah Amerika. Barry Seal, mantan pilot komersil yang beralih menjadi pilot bagi CIA sekaligus kartel narkoba Kolombia, adalah produk dari iklim politik Amerika yang kerap berubah gara-gara tendensi mereka mencampuri urusan negara lain. Yah, anda mungkin sudah tahu kalau Amerika memang suka begitu. Anda mungkin juga sudah tahu bagaimana filmnya akan berjalan, karena telah banyak menyaksikan film kriminal slenge'an "based on true story" seperti ini. Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.


Barry diperankan oleh Tom Cruise. Iya, bintang film kecintaan semua orang yang identik dengan citra jagoan dan auranya yang agak bandel, kali ini harus bermain sedikit lebih nakal lagi sebagai kriminal penyelundup narkoba dan senjata dari Amerika ke Amerika Latin. Kisah nyatanya sendiri sangat absurd, dan pasti menyadari hal ini, sutradara Doug Liman membawakan filmnya dengan dengan ringan dan cenderung komedik. Cruise, seperti biasa, menampilkan karisma dan seringai songongnya yang menjadi driving force kuat bagi film ini, hingga di satu titik saya sampai berpikir jangan-jangan saya peduli pada karakternya gara-gara diperankan Cruise.

Di tahun 70-an, Seal adalah pilot bagi maskapai penumpang Trans World Airlines (TWA) yang sebegitu bosan dengan pekerjaannya, ia sampai iseng sengaja membuat turbulensi palsu dengan membelokkan pesawat ke bawah secara mendadak. Barry dan copilot-nya cengar-cengir, tapi untunglah tak ada penumpang pesawat yang jantungan. Dalam perjalanan pulang, Barry juga sekalian menyelundupkan cerutu Kuba ke Amerika. Operasi kecil-kecilannya menjadi perhatian bagi CIA, namun alih-alih menangkap Barry, mereka malah merekrutnya untuk misi mata-mata. Wakil CIA, Schafer (Domhnall Gleeson) menyuruh Barry terbang seperti biasa ke Amerika Latin, tapi kali ini ia harus mengambil laporan spionase dari rekanan CIA atau memotret aktivitas militer yang dilakukan disana.

Operasi yang ini juga ketahuan, tapi oleh trio kartel Medellin, yang diantaranya beranggotakan raja narkoba, Pablo Escobar. Mereka tahu bahwa Barry bekerja pada CIA, namun mereka ingin memanfaatkan situasi. Barry diharuskan menyelundupkan ratusan kilo kokain ke Amerika. Sebagai imbalan, ia akan dibayar $2 ribu perkilo. Nikmatnya menjadi Barry adalah: (1) selalu ketahuan, tapi (2) selalu bisa lolos, dan (3) bernasib lebih baik daripada sebelumnya. Kali ini ia digerebek polisi Kolombia, tapi dibebaskan kembali oleh Schafer. Untuk menyembunyikan identitas, Barry harus memindahkan keluarganya ke kota kecil Mena, dimana ia diberi rumah dan satu bandara pribadi yang khusus untuk menerbangkan senjata, karena kini Presiden merasa perlu mempersenjatai militan Contras di Nikaragua. Sementara itu, bisnis kurir narkoba semakin besar hingga Barry merekrut beberapa pilot sebagai anak buahnya.

Kesalahan Barry adalah saat punya terlalu banyak uang, ia sampai tak tahu lagi bagaimana cara menyimpannya. Kota kecil Mena sudah seperti kota pribadi Barry karena ia membuat beberapa bisnis dan bank fiktif untuk mencuci uang. Uang tunai berceceran sampai ke kandang kuda karena sudah tak muat lagi di dalam koper-koper. Kedatangan adik iparnya (Caleb Landry Jones) yang seorang preman kacangan, membuat situasi menjadi lebih kacau. Di titik ini, anda penasaran bagaimana Barry masih bisa lolos. Pemerintah bukannya tidak tahu, alih-alih lepas tangan, sebab mereka merasa bahwa ada urusan yang lebih penting, which is, menangani urusan negara orang, tentu saja. Barry hanyalah seorang oportunis yang berada di waktu dan tempat yang tepat, memerah duit dari berbagai pihak yang juga memerahnya.

Film dibuka dengan Barry yang sedang merekam video dokumenter menggunakan VHS, menjelaskan tentang pekerjaannya. "This s**t really happened," kata Barry. American Made menggunakan video ini didukung dengan narasi langsung dari Cruise sebagai framing device untuk memandu kita melewati timeline yang meloncat-loncat sejak 70-an sampai akhir 80-an. Sinematografer yang digandeng Liman adalah Cesar Charlone. Seperti yang diterapkannya pada City of God (2002), Charlone suka dengan gambar nyaris close-up dengan warna calak. Gerakan kameranya hiperaktif dengan filter gambar yang kerap berganti, memberikan urgensi tersendiri di setiap adegan. Gaya filmnya pas sekali dengan karakterisasi serampangan dari Cruise. Untuk menjelaskan geografi naratifnya, Liman menggunakan peta yang dicoret dengan spidol, sembari menyentil keapatisan kebanyakan orang Amerika terhadap geografi negara orang, mengingatkan saya pada rubrik "Other Countries' Presidents" dari talkshow Last Week Tonight with John Oliver.

Film ini adalah satire, dan Liman bijak sekali tak terjun terlalu dalam terhadap latar belakang politiknya. Ini hanyalah cerita tentang Barry Seal, yang kebetulan dilatari dengan figur publik tenar semacam Escobar, Kolonel Noriega, dan Presiden Reagan. Konspirasi yang aslinya bernama skandal Iran-Contra ini seperti terpisah dari kehidupan Barry, namun kita masih bisa mengintip sekilas apa yang yang sebenarnya terjadi. Jika tidak, ini akan menjadi film yang sama sekali berbeda, yang kemungkinan besar akan menimbulkan ketimpangan tone.

Di lain sisi, hal ini juga membuat karakter lain tertutupi oleh Barry-nya Cruise. Pasangan sherif Mena, Jesse Plemons dan Lola Kirke terutama, yang tampaknya seperti punya peran cukup krusial di awal, namun ternyata tak begitu memberi dampak dalam kisah Barry. Sarah Wright Olsen sebagai istri Barry, Lucy baru mendapat porsi yang cukup mencolok menjelang film berakhir. Komitmen Liman agar filmnya selalu santai, menjadikan petualangan Barry dalam film ini tak seliar dan setajam kisah nyatanya. Saya pikir Liman menargetkan tohokan emosional untuk adegan penutup yang tragis. Ini tidak tercapai karena American Made tak mengajak kita menyelami lika-liku perjalanan moral dari Barry. Petualangan Barry terlalu fun. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

American Made

109 menit
Dewasa
Doug Liman
Gary Spinelli
Doug Davison, Brian Grazer, Ron Howard, Brian Oliver, Kim Roth, Tyler Thompson
César Charlone
Christophe Beck

Friday, May 1, 2015

Review Film: 'Testament of Youth' (2015)

Biografi - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Biografi, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Biografi, Artikel Drama, Artikel Perang, Artikel Review, Artikel Sejarah, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Testament of Youth' (2015)
link : Review Film: 'Testament of Youth' (2015)

Baca juga


Biografi

Diangkat dari memoar Vera Brittain yang berlatar perang Dunia I, film biopik yang merupakan debut dari James Kent ini tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional.

“They'll want me to forget. But i can't. I won't. This is my promise to you now.”
— Vera Brittain
Diangkat dari memoar berjudul sama dari Vera Brittain yang dirilis pada 1933, Testament of Youth adalah sebuah kisah cinta berlatang Perang Dunia I. Terdengar familiar, karena memang sudah banyak film yang mengambil tema serupa. Namun ditangani dengan matang oleh para kru dan diperankan dengan indah oleh para pemainnya membuat Testament of Youth menjadi biopik Vera Brittain yang intim sekaligus refleksi perang yang riil.

Siapa Vera Brittain? Mungkin banyak dari anda yang tak tahu, seperti halnya saya sebelum menonton film ini. Vera Brittain adalah seorang penulis wanita yang juga aktivis perang terkemuka di abad 20 di Inggris. Memoarnya yang terkenal pernah diangkat oleh BBC menjadi mini-series pada 1979, dan sekarang BBC kembali mengadaptasinya — namun ke layar lebar — dengan tokoh Vera yang dibintangi oleh bintang muda Alicia Vikander.

Vera (Vikander) adalah seorang gadis muda yang brilian tapi sedikit pemberontak. Mirip dengan Kartini kita, Vera yakin bahwa wanita punya hak yang sama dengan pria, berbeda dengan prinsip kedua orangtuanya yang kolot, Mr. dan Mrs. Brittain (diperankan oleh bintang veteran Dominic West dan Emily Watson) yang menganggap bahwa seorang wanita harusnya duduk di rumah dan mempersiapkan diri menjadi istri yang baik. Bagaimanapun, Vera akan dijodohkan dengan seorang tentara muda Roland Leighton (Kit Harrington). Vera menolak dan lebih memilih untuk kuliah.

Meskipun awalnya niat Vera untuk kuliah di Oxford ditentang oleh kedua orangtuanya tersebut, namun berkat persuasi dari adiknya, Edward (Taron Egerton), Vera akhirnya diperbolehkan untuk mendaftar. Sementara menunggu hasil tes masuk, hubungan Vera dengan Roland semakin dekat, karena Roland pun sebenarnya 3 sekawan dengan Edward dan Victor Richardson (Colin Morgan).


Paruh pertama, penonton akan disuguhkan dengan kisah cinta nan romantis antara Vera dengan Roland. Di jaman itu, hubungan asmara tak dilarang memang, namun tak boleh diekspos berlebihan sebelum resmi menikah. Mereka berdua harus kucing-kucingan dari Tante Belle (Joanna Scanlan) yang selalu mengawasi. Tak ada kontak fisik vulgar, tak ada kata-kata gombal murahan. Meski bergitu, manisnya hubungan mereka bisa dirasakan dari interaksi keduanya yang malu-malu kucing.

Saat Perang Dunia I pecah, Edward mendaftar untuk berperang di garda depan, diikuti oleh Roland. Bermaksud untuk menyusul keduanya, Vera meninggalkan kuliah dan orangtuanya untuk bergabung sebagai perawat yang menangani korban (baik pihak Inggris maupun Jerman) langsung ke medan perang.

Nah di paruh kedua inilah, setting kemudian berubah. Namun transisi dari drama cinta ke cerita perang ditangani dengan baik oleh sutradara James Kent, sehingga tak terasa janggal. Kent membangun karakter di awal dan membuat kita terikat dengan setiap karakter tersebut, sebelum akhirnya terjadi tragedi yang mau tak mau membuat kita simpatik.

Juliette Towhidi membuat naskah yang lebih superior dibandingkan dengan naskah rom-com Love, Rosie yang juga ditulisnya. Meski tetap berfokus pada Vera, namun semua karakter mendapat porsi yang proporsional, dimana tak ada karakterisasi yang underwritten. Meskipun ada beberapa adegan klise, seperti perpisahan Vera dengan Roland di kereta api, namun tetap terasa emosional dan dramatis.

Sebagai biopik Vera Brittain, tanggung jawab paling besar tentu jatuh pada Alicia Vikander. Bintang muda yang pernah bermain dalam Anna Karenina ini memberikan penampilan yang luar biasa, membawakan karakter Vera sebagai wanita yang cerdas, polos, tangguh, namun juga punya sisi sensitif. Vikander membuat kita peduli dengan Vera dari senyumannya, tangisnya, hingga kemauan kerasnya. Kita tak hanya tahu Vera dari kisah hidupnya melainkan juga dari sisi emosionalnya.

Walaupun diisi dengan nama-nama muda yang cenderung baru di blantika perfilman — anda mungkin ingat Egerton dari perannya sebagai Eggsy dalam Kingsman dan Harrington sebagai Jon Snow dalam serial Game of Thrones — penampilan mereka tak sekedar "numpang lewat". Sedikit banyak berkat naskah Towhidi, semua tokoh pendukung berkesan dari peran minornya masing-masing.

Dengan mengambil sudut pandang Vera, Testament of Youth menggambarkan tragisnya perang secara tidak langsung, melainkan dari perspektif orang-orang yang ditinggalkan, dan dari korespondensi yang dilakukan Vera. Adegan perang tak diperlihatkan di layar, namun dari parahnya kondisi korban yang dirawat oleh Vera, bisa diketahui betapa mengerikannya perang yang terjadi.

Hanya berbujet kecil — dikabarkan sekitar $10 juta — tampilan film ini sungguh mengagumkan. Desainer produksi Jon Henson menghadirkan setting abad 20 yang meyakinkan, mulai dari setting bangunan, kendaraan yang dipakai, hingga pakaian. Hampir sepanjang film saya terpesona dengan pemandangan indah dari sinematografer Rob Hardy yang tampaknya bekerja keras mengambil gambar dengan lokasi, timing, dan angle yang pas. Scoring dari Max Richter mungkin tak sekaliber Johann Johannson dalam The Theory of Everything, namun setidaknya sesuai dengan atmosfer film.

Sebagai debut layar lebar dari sutradara James Kent yang biasa menangani TV, ini adalah film yang cantik. Dari apa yang saya tonton, saya bisa merasakan kerja keras kru di balik layar dan para aktornya untuk menghasilkan film yang menyajikan drama sekaligus keotentikan sejarah. Tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Testament of Youth' |
|

IMDb | Rottentomatoes
129 menit | Remaja

Sutradara James Kent
Penulis Juliette Towhidi(screenplay), Vera Brittain (buku)
Pemain Alicia Vikander, Taron Egerton, Kit Harrington

Diangkat dari memoar Vera Brittain yang berlatar perang Dunia I, film biopik yang merupakan debut dari James Kent ini tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional.

“They'll want me to forget. But i can't. I won't. This is my promise to you now.”
— Vera Brittain
Diangkat dari memoar berjudul sama dari Vera Brittain yang dirilis pada 1933, Testament of Youth adalah sebuah kisah cinta berlatang Perang Dunia I. Terdengar familiar, karena memang sudah banyak film yang mengambil tema serupa. Namun ditangani dengan matang oleh para kru dan diperankan dengan indah oleh para pemainnya membuat Testament of Youth menjadi biopik Vera Brittain yang intim sekaligus refleksi perang yang riil.

Siapa Vera Brittain? Mungkin banyak dari anda yang tak tahu, seperti halnya saya sebelum menonton film ini. Vera Brittain adalah seorang penulis wanita yang juga aktivis perang terkemuka di abad 20 di Inggris. Memoarnya yang terkenal pernah diangkat oleh BBC menjadi mini-series pada 1979, dan sekarang BBC kembali mengadaptasinya — namun ke layar lebar — dengan tokoh Vera yang dibintangi oleh bintang muda Alicia Vikander.

Vera (Vikander) adalah seorang gadis muda yang brilian tapi sedikit pemberontak. Mirip dengan Kartini kita, Vera yakin bahwa wanita punya hak yang sama dengan pria, berbeda dengan prinsip kedua orangtuanya yang kolot, Mr. dan Mrs. Brittain (diperankan oleh bintang veteran Dominic West dan Emily Watson) yang menganggap bahwa seorang wanita harusnya duduk di rumah dan mempersiapkan diri menjadi istri yang baik. Bagaimanapun, Vera akan dijodohkan dengan seorang tentara muda Roland Leighton (Kit Harrington). Vera menolak dan lebih memilih untuk kuliah.

Meskipun awalnya niat Vera untuk kuliah di Oxford ditentang oleh kedua orangtuanya tersebut, namun berkat persuasi dari adiknya, Edward (Taron Egerton), Vera akhirnya diperbolehkan untuk mendaftar. Sementara menunggu hasil tes masuk, hubungan Vera dengan Roland semakin dekat, karena Roland pun sebenarnya 3 sekawan dengan Edward dan Victor Richardson (Colin Morgan).


Paruh pertama, penonton akan disuguhkan dengan kisah cinta nan romantis antara Vera dengan Roland. Di jaman itu, hubungan asmara tak dilarang memang, namun tak boleh diekspos berlebihan sebelum resmi menikah. Mereka berdua harus kucing-kucingan dari Tante Belle (Joanna Scanlan) yang selalu mengawasi. Tak ada kontak fisik vulgar, tak ada kata-kata gombal murahan. Meski bergitu, manisnya hubungan mereka bisa dirasakan dari interaksi keduanya yang malu-malu kucing.

Saat Perang Dunia I pecah, Edward mendaftar untuk berperang di garda depan, diikuti oleh Roland. Bermaksud untuk menyusul keduanya, Vera meninggalkan kuliah dan orangtuanya untuk bergabung sebagai perawat yang menangani korban (baik pihak Inggris maupun Jerman) langsung ke medan perang.

Nah di paruh kedua inilah, setting kemudian berubah. Namun transisi dari drama cinta ke cerita perang ditangani dengan baik oleh sutradara James Kent, sehingga tak terasa janggal. Kent membangun karakter di awal dan membuat kita terikat dengan setiap karakter tersebut, sebelum akhirnya terjadi tragedi yang mau tak mau membuat kita simpatik.

Juliette Towhidi membuat naskah yang lebih superior dibandingkan dengan naskah rom-com Love, Rosie yang juga ditulisnya. Meski tetap berfokus pada Vera, namun semua karakter mendapat porsi yang proporsional, dimana tak ada karakterisasi yang underwritten. Meskipun ada beberapa adegan klise, seperti perpisahan Vera dengan Roland di kereta api, namun tetap terasa emosional dan dramatis.

Sebagai biopik Vera Brittain, tanggung jawab paling besar tentu jatuh pada Alicia Vikander. Bintang muda yang pernah bermain dalam Anna Karenina ini memberikan penampilan yang luar biasa, membawakan karakter Vera sebagai wanita yang cerdas, polos, tangguh, namun juga punya sisi sensitif. Vikander membuat kita peduli dengan Vera dari senyumannya, tangisnya, hingga kemauan kerasnya. Kita tak hanya tahu Vera dari kisah hidupnya melainkan juga dari sisi emosionalnya.

Walaupun diisi dengan nama-nama muda yang cenderung baru di blantika perfilman — anda mungkin ingat Egerton dari perannya sebagai Eggsy dalam Kingsman dan Harrington sebagai Jon Snow dalam serial Game of Thrones — penampilan mereka tak sekedar "numpang lewat". Sedikit banyak berkat naskah Towhidi, semua tokoh pendukung berkesan dari peran minornya masing-masing.

Dengan mengambil sudut pandang Vera, Testament of Youth menggambarkan tragisnya perang secara tidak langsung, melainkan dari perspektif orang-orang yang ditinggalkan, dan dari korespondensi yang dilakukan Vera. Adegan perang tak diperlihatkan di layar, namun dari parahnya kondisi korban yang dirawat oleh Vera, bisa diketahui betapa mengerikannya perang yang terjadi.

Hanya berbujet kecil — dikabarkan sekitar $10 juta — tampilan film ini sungguh mengagumkan. Desainer produksi Jon Henson menghadirkan setting abad 20 yang meyakinkan, mulai dari setting bangunan, kendaraan yang dipakai, hingga pakaian. Hampir sepanjang film saya terpesona dengan pemandangan indah dari sinematografer Rob Hardy yang tampaknya bekerja keras mengambil gambar dengan lokasi, timing, dan angle yang pas. Scoring dari Max Richter mungkin tak sekaliber Johann Johannson dalam The Theory of Everything, namun setidaknya sesuai dengan atmosfer film.

Sebagai debut layar lebar dari sutradara James Kent yang biasa menangani TV, ini adalah film yang cantik. Dari apa yang saya tonton, saya bisa merasakan kerja keras kru di balik layar dan para aktornya untuk menghasilkan film yang menyajikan drama sekaligus keotentikan sejarah. Tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Testament of Youth' |
|

IMDb | Rottentomatoes
129 menit | Remaja

Sutradara James Kent
Penulis Juliette Towhidi(screenplay), Vera Brittain (buku)
Pemain Alicia Vikander, Taron Egerton, Kit Harrington