Thursday, June 28, 2018

Review Film: 'Hereditary' (2018)

Review Film: 'Hereditary' (2018) - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review Film: 'Hereditary' (2018), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Hereditary' (2018)
link : Review Film: 'Hereditary' (2018)

Baca juga


Review Film: 'Hereditary' (2018)

Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim 'yang terseram', tunggu dulu.

“Who's going to take care of me?”
— Charlie Graham
Rating UP:
Kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir. Ada beberapa hal yang mau tak mau harus kita terima begitu saja. Tak bisa protes, karena itu sudah turunan. Demikianlah yang dialami keluarga Graham. Keluarga ini sepertinya selalu dikutuk dengan kemalangan dalam bentuk penyakit kejiwaan. Hereditary membawa istilah "warisan" ke sisi yang paling ekstrim, dan untuk itu, Ari Aster menyajikannya lewat pendekatan yang sangat intens. Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim "yang terseram", tunggu dulu.

Seram itu relatif. Bagi saya yang anak kosan, hal yang terseram tetaplah tanggal tua. Okefine, garing. Lanjut.


Menyebutnya plek sebagai film horor mungkin akan membuat sebagian penonton kasual kecele. Horor memang, bahkan di satu titik masuk ke ranah supranatural, tapi bukan horor yang berfokus pada hantu-hantuan atau sadis-sadisan belaka. Memang ada adegan penampakan dan barang yang bergerak sendiri serta bagian yang berdarah-darah, namun bukan aktivitas paranormal yang membuat kita takut. Alih-alih, ia menggunakan elemen supranatural untuk mengeksplorasi tragedi emosional. Kita ngeri akan apa yang mungkin bakal menimpa mereka atau apa yang mungkin bakal mereka lakukan.

Ini sukses membuat kita duduk tak nyaman nyaris sepanjang durasi berkat kelihaian pembuatnya dalam membangun atmosfer. Kita langsung bisa menyadari bahwa kita berada di tangan sutradara yang mantap, terlepas dari fakta bahwa ini adalah film panjang pertamanya. Horornya berasal dari sumber teror yang paling hakiki, yaitu realitas jiwa manusia itu sendiri. Namun ini juga membuatnya menjadi film yang pelik. Ia berusaha begitu dekat dengan dunia nyata sampai printilan-printilan cela yang biasanya saya abaikan dalam sebuah film horor tradisional menyentil logika saya berkali-kali, yang jujur saja mengganggu kenikmatan menonton.

Apa yang akan menimpa keluarga Graham, silakan anda temukan sendiri. Tapi saya bisa memberi tahu apa yang baru saja mereka alami. Film dibuka dengan pemakaman. Nenek baru saja meninggal. Meski berduka, Annie (Toni Collette) bilang bahwa ia tak pernah dekat-dekat amat dengan ibunya tersebut. Sang ibu, katanya, adalah orang tertutup yang hanya mau bergaul dengan teman-teman eksklusifnya.

Yang bermasalah bukan cuma si nenek. Anak sulung Annie, Peter (Alex Wolff) adalah remaja canggung yang suka bengong dan ngerokok ganja. Sementara anak bungsunya, Charlie (Milly Shapiro)... sangat aneh. Betul-betul aneh. Ia suka bikin suara "klok" dengan mulut, rajin membuat gambar-gambar seram di buku catatan, dan itu buat apa potongan kepala dari bangkai burung dikantongin. Cuma si ayah (Gabriel Byrne) yang kelihatan agak normal.

Bagaimana dengan Annie? Ia sendiri bahkan tak yakin dengan kesehatan mentalnya. Pernah dulu ia melakukan sesuatu saat sleepwalking yang nyaris membahayakan nyawa kedua anaknya. Di hari biasa, Annie adalah seniman miniatur yang sedang punya proyek komersil, tapi malah membuat membuat miniatur rumahnya sendiri, termasuk reka ulang dari beberapa tragedi yang menimpa keluarganya. Apakah ini perwujudan dari hasratnya yang ingin mengontrol nasib keluarga yang tak bisa ia kendalikan? Atau... atau...

Yang jelas, kematian si nenek memicu kemalangan berturut-turut yang tak terduga buat mereka, yang sebaiknya tak saya ungkap. Film ini bahkan berani mengambil pilihan naratif yang sangat mengejutkan di paruh awal film, saya sampai tak mempercayai apa yang baru saja saya lihat. Setiap tragedi baru terjadi, keluarga ini semakin hancur dan anggotanya semakin menjauh. Kemudian masuklah Joan (Ann Dowd), ibu-ibu simpatik yang baru saja kehilangan anaknya, yang kemudian menunjukkan Annie cara untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah mati.

Ada semacam sense of confusion yang terasa hadir, namun agaknya ini disengaja karena Aster menempatkan kita langsung di tengah-tengah keluarga Graham. Setidaknya sampai momen klimaks, kita tak tahu apakah yang kita lihat benar-benar terjadi atau tidak. Yang menuntun kita adalah penampilan kuat dari pemainnya, terutama Collette. Annie Graham adalah karakter yang kompleks, dan Collette sukses membawakannya. Ia mampu berpindah emosi secara ekstrim dalam waktu singkat, bahkan dalam satu adegan. Ini adalah akting yang istimewa, bukan hanya dalam konteks horor saja. Penampilannya menyayat hati. Wolff memberikan akting yang sangat ganjil, tak seperti akting yang biasa kita lihat. Tapi worked dan sangat intens.

Tak hanya urusan aktor, Aster juga mengomandoi penuh filmnya secara teknis. Secara audio-visual, film ini sempurna. Sinematografi suram dari Pawel Pogorzleski, scoring mencekam dari Colin Stetson, dan penguasaan ruang dan tempat oleh Aster menciptakan sensasi kengerian nanggung-nanggung sedap dimana kita selalu mengantisipasi sesuatu yang buruk bakal terjadi. Kita dikondisikan berada di posisi "hampir" sepanjang waktu; tegang tapi berhenti tepat sebelum klimaks. Begitu terus, berulang-ulang. Sedari awal, Aster sudah menanamkan beberapa foreshadowing dan petunjuk untuk membantu kita mencerna detil plot sekaligus memainkan ekspektasi. Dan ketika itu terjadi, ia tak disajikan lewat jumpscares melainkan imagery pembuat syok yang kemungkinan besar akan terpatri lama di benak kita.

Meski begitu, saya tak menyukai film ini sebesar yang saya harapkan. Film ini menjaga ketegangannya hampir selama satu jam lebih, tapi kemudian meloncat keluar rel di paruh akhir. Meteran suspension of disbelief saya sudah hampir lewat batas maksimal saat film beberapa kali menyederhanakan logika demi kenyamanan plot, dan akhirnya jebol juga di bagian klimaks. Saya tak bisa bicara secara detail karena ini mengharuskan saya membeberkan spoiler. Namun yang jelas, ini mengingatkan saya pada The Witch. Namun The Witch punya keuntungan karena skalanya yang sempit; ia sukses berkat setting-nya di masa lampau dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hereditary tak punya keuntungan ini dan jelas sulit bagi Aster untuk membuat situasi yang mencengangkan nanti bisa meyakinkan.

Sekarang, saya bingung. Saya kagum dengan keterampilan pembuatnya. Maksud saya, atmosfernya benar-benar membuat bergidik. Saya juga sangat larut dengan dinamika keluarga Graham. Namun cela logika dasar dan loncatan tone di bagian akhir meninggalkan rasa asam setelah menonton. Mungkin kalau nonton sekali lagi bakal lebih suka.

Eh tunggu, kayaknya tidak jadi deh. Nontonnya capek. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hereditary

127 menit
Dewasa
Ari Aster
Ari Aster
Kevin Frakes, Lars Knudsen, Buddy Patrick
Pawel Pogorzelski
Colin Stetson


Demikianlah Artikel Review Film: 'Hereditary' (2018)

Sekianlah artikel Review Film: 'Hereditary' (2018) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Review Film: 'Hereditary' (2018) dengan alamat link https://moviefilm99.blogspot.com/2018/06/review-film-2018.html

No comments:

Post a Comment