Saturday, June 2, 2018

Review Film: 'Hostiles' (2018)

Review Film: 'Hostiles' (2018) - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Review Film: 'Hostiles' (2018), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Western, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Hostiles' (2018)
link : Review Film: 'Hostiles' (2018)

Baca juga


Review Film: 'Hostiles' (2018)

'Hostiles' mungkin bukan film Scott Cooper yang terbaik atau paling mengesankan, tapi film ini adalah filmnya yang paling definitif dan aktual.

“I was just doing my job.”
— Captain Blockers
Rating UP:
Hostiles mungkin bukan film Scott Cooper yang terbaik atau paling mengesankan, tapi film ini adalah filmnya yang paling definitif dan aktual. Sejauh ini ia sudah membesut 4 film; selain film ini, ada Crazy Heart, Out of Furnace, dan Black Mass. Meski punya latar cerita yang berbeda-beda, poin tematisnya relatif sama, yaitu Western getir yang kontemplatif. Cooper boleh dibilang hanya punya satu gaya. Tapi tidak apa-apa, sebab ia selalu bisa menanganinya dengan mantap.


Dengan memakai kemasan film paling Western dari genre Western, yakni koboi-koboian tentu saja, ia menyentil isu yang sudah mengakar masyarakat Amerika: rasisme. Betul filmnya yang diangkat dari tulisan Donald E. Stewart menampilkan koboi, Indian, kuda, aksi tembak-tembakan, bahkan beberapa di antara adegannya sangat brutal, tapi film ini bukan film aksi yang akan membuat kita berdebar-bedar atas keseruannya. Alih-alih, ia slowburn drama yang lebih ditujukan untuk menyentuh sisi sensitif penonton dalam mengamati hubungan antara warga kulit putih dengan penduduk asli Amerika.

Dalam adegan pembuka yang singkat, film dengan brilian memperlihatkan betapa mirisnya lingkaran setan ini. Kedua belah pihak melakukan tindakan keji kepada pihak lain yang dianggap musuh. Awalnya tidak ada yang salah. Masuk akal kenapa orang Indian murka, soalnya mereka kan diasingkan bahkan diusir dari tanah sendiri; mereka cuma membela tanah sendiri. Di lain sisi, kulit putih merasa menjadi juru selamat yang berperan membawa peradaban kepada orang barbar. Hasilnya, tak ada yang menang. Mereka semua sekarang adalah setan sekaligus korban atas perbuatan mereka sendiri.

Film ini dibintangi Christian Bale sebagai Kapten Blockers, tentara yang terkenal atas reputasinya sebagai pembantai Indian yang moncer. Tahunnya 1892, saat konfrontasi antara kulit putih dan Indian sedang panas-panasnya. Blockers percaya bahwa ia berada di pihak yang benar. Setelah menyaksikan betapa banyak teman dan rekan tentara yang dibantai, ia menganggap bahwa pembantaian yang ia lakukan sendiri merupakan bakti kepada negara.

Namun, masa-masa damai sudah menjelang. Sebagai bentuk rekonsiliasi, Presiden Amerika Benjamin Harrison memberi perintah untuk mengawal Kepala Suku, Yellow Hawk (Wes Studi) beserta keluarganya untuk mudik dengan aman. Yellow Hawk menderita kanker dan ia ingin disemayamkan di kampung halaman. Dan yang bertugas untuk mengawalnya adalah Blockers. Alasannya, Blockers tahu tempat yang akan dituju dan ia fasih berbahasa Indian.

Blockers menganggap ini sebagai penghinaan. Bukan hanya harus membebaskan Yellow Hawk yang notabene adalah seorang tahanan bersuku Indian, Blockers juga harus mengawal orang pernah berhadapan dengannya di medan perang dan membunuh lusinan teman-temannya dengan brutal. Apa-apaan ini? Namun tugas adalah tugas. Jadi, berangkatlah ia bersama serombongan tentara yang diperankan oleh Jesse Plemons, Rory Cochrane, Jonathan Majors, dan Timothee Chalamet.

Bale tampil fantastis. Ia mampu menguarkan banyak emosi tanpa perlu banyak berkata-kata. Blockers adalah orang yang tak banyak bicara. Sekalinya bicara, lebih cenderung menggumam atau menggeram. Namun berkat intensitas akting dari Bale, kita bisa membaca kemarahan, dendam, dan duka yang dialami karakternya cukup dari mata dan raut muka.

Kita tahu maksud dan akhir dari perjalanan ini. Yang lebih penting justru perjalanan itu sendiri. Ceritanya sederhana, tapi diceritakan dengan elegan. Latar pemandangan alam yang menawan disorot dengan cantik oleh sinematografer Masanobu Takayanagi, langganan Cooper. Dalam rangka menemukan penebusan, Blockers berjumpa dengan karakter-karakter yang menarik. Rosalie (Rosamund Pike) adalah janda yang merasakan sendiri kekejaman suku Indian di awal film. Rumahnya dibakar, kudanya dicuri, kepala suaminya dikuliti, sementara tiga anaknya ditembak mati. Blockers tak punya pilihan; ia harus membawa Rosalie.

Yang kedua adalah Sersan Willis (Ben Foster), yang harus diantar Blockers menuju tiang gantungan atas kejahatannya membantai satu suku Indian dengan sadis. Karakter Willis memberi dimensi tersendiri bagi konflik internal Blockers. Merupakan rekannya di masa lalu, Willis menegaskan kepada Blockers bahwa mereka pada dasarnya sama saja. Cuma beda nasib. Sayangnya, bagian ini tak mengantarkan filmnya kemana-mana. Kehadiran Willis lebih terasa sebagai distraksi singkat yang tak begitu menyatu dengan film.

Yang menahan film ini untuk benar-benar memberikan kompleksitas moral yang saya yakin dimaksudkan filmnya adalah penggambaran karakter pendukungnya yang nyaris datar. Yellow Hawk dan keluarganya diceritakan murni baiknya. Mereka disederhanakan agar nyaman dengan kebutuhan plot untuk memberi pencerahan kepada kulit putih. Ada satu suku Indian, yaitu Comanche, yang cuma dijadikan sebagai penjahat murni agar protagonis kita jadi saling mengerti satu sama lain. Memang nanti ada pula penjahat dari kulit putih (mungkin biar seimbang), namun mereka adalah pemburu kulit hewan, sementara kita tak begitu mengerti kenapa Comanche melakukan apa yang mereka lakukan. Sebagai Yellow Hawk, Wes Studi juga tampil solid, tapi ia tak diberi banyak ruang untuk dieksplor. Ia hanyalah orang tua bijak yang cuma ingin menanti ajal dengan damai.

Kendati demikian, Cooper menghandel filmnya dengan tangan yang mantap. Meski narasinya formulaik dan tak menyampaikan sesuatu yang baru, tapi penceritaannya merupakan hasil eksekusi yang telaten. Ada beberapa adegan yang seharusnya cringey, tapi terasa dramatis disini. Alurnya tak terburu-buru, berisi banyak adegan selow, tapi sangat mengikat. Mungkin ini karena filmnya berhasil menarik rasa simpati kita, bahkan saat ia tak begitu yakin akan bagaimana karakter utamanya menemukan penebusan. Itu adalah alasan yang paling sederhana untuk memaafkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hostiles

133 menit
Dewasa
Scott Cooper
Scott Cooper
Scott Cooper, Ken Kao, John Lesher
Masanobu Takayanagi
Max Richter


Demikianlah Artikel Review Film: 'Hostiles' (2018)

Sekianlah artikel Review Film: 'Hostiles' (2018) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Review Film: 'Hostiles' (2018) dengan alamat link https://moviefilm99.blogspot.com/2018/06/review-film-2018_2.html

No comments:

Post a Comment