Judul : Review Film: 'Terminator Genisys' (2015)
link : Review Film: 'Terminator Genisys' (2015)
Review Film: 'Terminator Genisys' (2015)
Jika ingin melahap 'Terminator Genisys' dengan nyaman, mau tak mau kita harus melupakan apa yang sudah kita tahu dari film sebelumnya. Di balik plotnya yang berantakan, untuk ukuran popcorn movie, 'Genisys' sebenarnya cukup menghibur.
“John is not last humanity hope anymore.”Berselang 31 tahun sejak film pertamanya yang disutradarai oleh James Cameron, sulit untuk menyebut Terminator Genisys sebagai sekuel. Sesuai dengan jargonnya "The rules has been reset", film ini me-reset semua kejadian dari 4 film sebelumnya dengan cerita baru. Bagi anda yang merupakan penggemar film lamanya (sebagaimana saya), mungkin akan sedikit sinis melihat pembaruan yang dilakukan oleh penulis skrip Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier. Di balik plotnya yang berantakan, untuk ukuran popcorn movie, Terminator Genisys sebenarnya cukup menghibur.
— Sarah Connor
Film dibuka dengan narasi yang menjelaskan bahwa sebagian besar umat manusia musnah akibat nuklir yang diluncurkan oleh Skynet pada tahun 1997. 30 tahun kemudian, umat manusia yang tersisa yang dipimpin oleh John Connor (Jason Clarke) membentuk pasukan pemberontak untuk mengalahkan Skynet yang sekarang telah menguasai dunia dengan pasukan robotnya. Misi berlanjut dengan mengirimkan Kyle Reese (Jai Courtney) melalui mesin waktu ke tahun 1984 untuk menyelamatkan ibu John, Sarah Connor (Emilia Clarke). Namun persis sebelum perjalanan waktu dilakukan, terjadi hal di luar dugaan yang menciptakan timeline paralel.
Tahun 1984 yang dikunjungi Kyle bukanlah seperti yang kita kenal. Sarah bukan lagi wanita polos yang tak bisa dan tak tahu apa-apa, melainkan sudah menjadi wanita tangguh yang mengenal Terminator T-800 (Arnold Schwarzenegger) sedari umurnya 9 tahun yang disebutnya sebagai "Pops/Kakek". Hari Kiamat/Judgment Day juga bukan lagi di tahun 1997, melainkan di tahun 2017 dengan mengambil pengejawantahan baru, yaitu operating system canggih bernama Genisys yang mengendalikan struktur kehidupan melalui gadget (kurang lebih mirip dengan iOS atau Google Android). John Connor juga bukanlah seperti yang kita kira.
Patut diapresiasi sebenarnya, duo penulis skrip Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier yang mencoba menghadirkan nostalgia melalui adegan-adegan familiar dari film sebelumnya seperti kemunculan T-800 tanpa pakaian di lorong gelap, kejar-kejaran dengan Terminator logam cair T-1000 yang tangguh (kali ini dimainkan oleh aktor Korea, Byung-Hun Lee) serta beberapa kutipan-kutipan yang ikonik, seperti "I'll be back", sembari menghadirkan cerita baru agar relevan dengan generasi sekarang.
Sayangnya, keduanya mengambil jalan pintas dari celah perjalanan waktu. Bermain-main dengan premis perjalanan waktu adalah hal sulit dilakukan. Terlalu rumit akan membuat penonton berpikir terlalu keras (sebagaimana terjadi di film Primer) sementara terlalu ringan terkesan membodohi penonton. Genisys mengambil pendekatan kedua, dan menyederhanakan efek klausal yang terjadi. Jika awas, anda akan menemukan banyak plothole (yang tak perlu saya bocorkan disini) yang cukup mengganggu dan semua dijelaskan dengan satu kata sederhana "masa lalu/masa depan alternatif". WTF. Saya tak berharap film ini akan menguji nalar, namun setidaknya jangan meremehkan intelegensi penonton.
Bagi yang belum pernah menonton film pertama dan film keduanya, mungkin akan garuk-garuk kepala dengan alurnya karena tak punya basis cerita. Di balik plot lintas-waktu yang tumpang-tindih ini, beberapa penonton akan sedikit kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang telah berubah sebagai konsekuensi dari waktu paralel yang punya banyak kemungkinan. Well, saya pun tak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Secara pribadi, saya merasa skrip ini mengambil waktu paralel sebagai benang merah dan memaksakan agar ceritanya nyambung satu sama lain.
Dibanding pendahulunya, Genisys juga cenderung lebih ringan. Jika film pertama dan keduanya terkesan seperti film thriller, maka Genisys bisa dibilang sebagai pure action. Keberadaan Skynet dan Terminator tak lagi terlalu mengintimidasi. Setting post-apocalyptic (atau mendekati post-apocalyptic) juga kurang terasa, mungkin karena settingnya yang di jaman sekarang. Selain itu, dalam Genisys juga lebih sering diselipkan lelucon, yang uniknya dibawakan oleh Schwarzenegger.
Bicara soal Schwarzenegger, disini kita akan melihatnya dalam 3 timeline dalam usia yang berbeda. Kenapa tampilan Terminator bisa menua, anda akan menemukan jawabannya disini. Schwarzenegger mendapat porsi peran yang kurang lebih sama: menjadi robot kuno yang kaku. Tapi dia juga telah diajarkan oleh Sarah untuk tersenyum dan mengucapkan kata-kata slang sperti "Bite Me/Masa Bodoh" yang akhirnya mengundang gelak tawa.
Akting Jai Courtney membosankan seperti biasanya, dan Emilia Clarke saya rasa kurang pas membawakan karakter Sarah yang tangguh namun juga rapuh di saat bersamaan. Saya tak pernah melihatnya cocok untuk menenteng senjata berat dan bilang kata-kata kasar. Jason Clarke mendapat porsi yang lebih sedikit, namun berhasil menampilkan kedua persona John Connor dengan baik.
Genisys berusaha menjadi film yang heboh. Semua harus terdengar memekakkan telinga, termasuk sound effects dan scoring dari Lorne Balfe, yang pada akhirnya terasa mengganggu. Jika sedang tak mendengar logam saling beradu dengan suara yang menggelegar, kita akan mendengar para karakter saling beradu mulut, memperdebatkan hal-hal klise.
Di balik plotnya yang amburadul tersebut, Genisys adalah film yang menghibur dan menarik secara visual. Meski tak sepiawai Cameron, sutradara Alan Taylor tahu cara menangani adegan aksi, dan menyajikannya dengan baik. Dengan cut dan camerawork yang cepat, kita selalu tahu apa yang sedang terjadi tanpa kehilangan orientasi. Taylor mereka ulang kembali momen-momen ikonik dari versi Cameron — termasuk pertarungan klimaks yang mirip dengan Terminator: Judgment Day — dan menambahkan elemen baru yang spektakuler, seperti adu kendaraan di jembatan Golden Gate dan pertarungan di helikopter.
Jika ingin melahap Genisys dengan nyaman, mau tak mau kita harus melupakan apa yang sudah kita tahu dari film sebelumnya. Kita juga harus sedikit "menurunkan" intelegensi dan menganggap semua teori time-travel yang disajikan ini rasional. Yah, meskipun satu-satunya alasan rasional di balik teori tersebut adalah membuka peluang cerita untuk film-film selanjutnya (FYI, Genisys akan dibuat menjadi trilogi). Selain dari itu, Genisys adalah film blockbuster yang lumayan. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
'Terminator Genisys' |
TEGUH RASPATI | 25 Juni 2015
TEGUH RASPATI | 25 Juni 2015
Sutradara Alan Taylor
Penulis Laeta Kalogridis, Patrick Lussier
Pemain Arnold Schwarzenegger, Jason Clarke, Emilia Clarke, Jai Courtney
Penulis Laeta Kalogridis, Patrick Lussier
Pemain Arnold Schwarzenegger, Jason Clarke, Emilia Clarke, Jai Courtney
Demikianlah Artikel Review Film: 'Terminator Genisys' (2015)
Sekianlah artikel Review Film: 'Terminator Genisys' (2015) kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Review Film: 'Terminator Genisys' (2015) dengan alamat link https://moviefilm99.blogspot.com/2015/06/review-film-genisys-2015.html
No comments:
Post a Comment