Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Friday, July 31, 2015

Hollywood akan Membuat Live-Action 'Naruto'. Perlukah?

Artikel - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Artikel, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Artikel, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Hollywood akan Membuat Live-Action 'Naruto'. Perlukah?
link : Hollywood akan Membuat Live-Action 'Naruto'. Perlukah?

Baca juga


Artikel

Variety memberitakan bahwa film live-action 'Naruto' akan dibuat dalam versi Hollywood. Senang? Skeptis? Mari kita telaah lebih jauh.
Hollywood tampaknya cukup senang untuk mengadaptasi materi dari manga dan /atau anime. Beberapa yang cukup dikenal dan saat ini tengah dalam tahap perkembangan diantaranya Death Note, Akira, dan Ghost in the Shell. Kecuali yang terakhir yang direncanakan tayang pada 2017 dengan bintang Scarlett Johansson, proses produksinya terkesan tarik ulur dan bertele-tele, yang membuat kita tak perlu terlalu berharap filmnya akan segera tayang di bioskop dalam waktu dekat.

Nah berita terbaru dari Variety menyebutkan bahwa Lionsgate akan mengadaptasi serial populer Naruto ke layar lebar dalam versi live-action. Untuk proyek ini, Lionsgate menggaet spesialis efek visual dan animasi, Michael Gracey sebagai sutradara. Tak disebutkan siapa yang menulis naskah, tapi diberitakan bahwa Avi Arad (produser film Spider-Man) akan memproduseri film ini.

//variety.com

Seperti yang sudah kita ketahui, Naruto merupakan manga populer karya Masashi Kishimoto yang diserialisasikan sejak 1997 hingga 2014 dan merupakan salah satu serial manga yang paling populer di dunia saat ini. Popularitasnya melahirkan anime berjumlah 220 episode, beberapa original video animation (OVA), 10 film, light novel, video games, dan trading card. Saya tak perlu menjelaskan Naruto itu ceritanya seperti apa, karena saya rasa hampir seluruh umat manusia mengenal karakter Ninja tersebut, dari anak-anak hingga oom-oom. (Percayalah, saya sudah membuktikannya. True story).

Jika ditanya bagaimana pendapat saya mengenai hal ini, jawabannya adalah: adaptasi manga/anime tak pernah menjadi ide yang bagus. Namun Lionsgate tampaknya tak setuju. Well, sebenarnya masuk akal juga sih, setidaknya jika ditinjau dari sisi finansial. Membayangkan para penggemar Naruto berjubel mengantri di bioskop untuk melihat karakter favorit mereka menjadi nyata, tampaknya menghijaukan mata para eksekutif Lionsgate.

Tapi benarkah seperti itu? Ternyata fakta berbicara lain. Dua film adaptasi manga/anime yang duluan tayang telah merasakan betapa kerasnya perjuangan di box office. Speed Racer yang dibuat oleh The Wachowskis pada 2008 hanya meraup laba $93,9 juta. Raihan ini bahkan tak mampu menutupi bujetnya yang mencapai $120 juta. Dragon Ball Evolution yang dirilis pada tahun berikutnya, paling tidak tampil sedikit lebih baik dengan perolehan $57,5 juta dari bujet $30 juta.

Filmnya sendiri juga tak diterima baik oleh penonton dan kritikus film. Speed Racer mendapat kritik yang sebagian besar negatif dan saya rasa kita tak perlu memperdebatkan betapa parahnya Dragon Ball Evolution. Speed Racer hanya mendapat rating IMDb "6,1 dari 10" dan RottenTomatoes "39%". Sementara itu, Dragon Ball Evolutions lebih buruk, dengan rating IMDb "2,8 dari 10" dan RottenTomatoes "14%".

Salah satu kecenderungan Hollywood dalam mengadaptasi manga/anime adalah tendensi untuk melakukan westernisasi, yang menjadi salah satu — namun bukan ini saja — penyebab kurangnya apresiasi penonton. Kita juga tak bisa menyalahkan ini sepenuhnya, karena pada akhirnya ini adalah film Hollywood dan mau tak mau para pembuat film harus memasukkan unsur-unsur ke-Hollywood-an ke dalamnya.

//gambarnaruto.com

Untuk Speed Racer dan Dragon Ball Evolution, westernisasi mungkin bukanlah dilema yang besar, mengingat cerita keduanya yang universal. Namun untuk Naruto, jelas beda soal. Naruto berlatar belakang dunia ninja dan sangat sangat akrab dengan budaya Jepang. Melakukan westernisasi dan mengubahnya menjadi film Barat bisa menjadi bumerang. Kalau boleh sotoy, satu-satunya solusi adalah dengan membuat filmnya tetap lekat dengan budaya Jepang (termasuk menggunakan aktor Jepang, dan memakai bahasa Jepang kalau perlu). Contoh sukses, lihat saja Crouching Tiger Hidden Dragon karya Ang Lee yang fenomenal. Film yang meraih 9 nominasi Oscar (dan memenangkan 4 diantaranya) ini tetap merangkul kebudayaan Cina dengan erat — yah, mungkin contoh yang sedikit berlebihan dan kurang relevan — dan terbukti tetap mendapat respon yang bagus di pasar internasional.

Saya adalah penggemar Naruto sedari kecil dan mempunyai koleksi manga-nya lengkap di rumah. Mendengar kabar seperti ini, seharusnya saja merasa gembira, tapi sejujurnya, sejauh ini saya skeptis. Tapi pada akhirnya, semua kembali lagi pada produk final. Mungkin saja Gracey mampu menjadi sutradara yang tepat untuk proyek ini, mungkin saja Lionsgate bisa mendapatkan formula yang tepat untuk mengadaptasi manga/anime. Namun hingga filmnya nanti tayang di bioskop, saya hanya bisa berharap agar Hollywood tak kembali lagi menghancurkan memori masa kecil saya. ■UP

Follow UlasanPilem di twitter: @ulasanpilem

Variety memberitakan bahwa film live-action 'Naruto' akan dibuat dalam versi Hollywood. Senang? Skeptis? Mari kita telaah lebih jauh.
Hollywood tampaknya cukup senang untuk mengadaptasi materi dari manga dan /atau anime. Beberapa yang cukup dikenal dan saat ini tengah dalam tahap perkembangan diantaranya Death Note, Akira, dan Ghost in the Shell. Kecuali yang terakhir yang direncanakan tayang pada 2017 dengan bintang Scarlett Johansson, proses produksinya terkesan tarik ulur dan bertele-tele, yang membuat kita tak perlu terlalu berharap filmnya akan segera tayang di bioskop dalam waktu dekat.

Nah berita terbaru dari Variety menyebutkan bahwa Lionsgate akan mengadaptasi serial populer Naruto ke layar lebar dalam versi live-action. Untuk proyek ini, Lionsgate menggaet spesialis efek visual dan animasi, Michael Gracey sebagai sutradara. Tak disebutkan siapa yang menulis naskah, tapi diberitakan bahwa Avi Arad (produser film Spider-Man) akan memproduseri film ini.

//variety.com

Seperti yang sudah kita ketahui, Naruto merupakan manga populer karya Masashi Kishimoto yang diserialisasikan sejak 1997 hingga 2014 dan merupakan salah satu serial manga yang paling populer di dunia saat ini. Popularitasnya melahirkan anime berjumlah 220 episode, beberapa original video animation (OVA), 10 film, light novel, video games, dan trading card. Saya tak perlu menjelaskan Naruto itu ceritanya seperti apa, karena saya rasa hampir seluruh umat manusia mengenal karakter Ninja tersebut, dari anak-anak hingga oom-oom. (Percayalah, saya sudah membuktikannya. True story).

Jika ditanya bagaimana pendapat saya mengenai hal ini, jawabannya adalah: adaptasi manga/anime tak pernah menjadi ide yang bagus. Namun Lionsgate tampaknya tak setuju. Well, sebenarnya masuk akal juga sih, setidaknya jika ditinjau dari sisi finansial. Membayangkan para penggemar Naruto berjubel mengantri di bioskop untuk melihat karakter favorit mereka menjadi nyata, tampaknya menghijaukan mata para eksekutif Lionsgate.

Tapi benarkah seperti itu? Ternyata fakta berbicara lain. Dua film adaptasi manga/anime yang duluan tayang telah merasakan betapa kerasnya perjuangan di box office. Speed Racer yang dibuat oleh The Wachowskis pada 2008 hanya meraup laba $93,9 juta. Raihan ini bahkan tak mampu menutupi bujetnya yang mencapai $120 juta. Dragon Ball Evolution yang dirilis pada tahun berikutnya, paling tidak tampil sedikit lebih baik dengan perolehan $57,5 juta dari bujet $30 juta.

Filmnya sendiri juga tak diterima baik oleh penonton dan kritikus film. Speed Racer mendapat kritik yang sebagian besar negatif dan saya rasa kita tak perlu memperdebatkan betapa parahnya Dragon Ball Evolution. Speed Racer hanya mendapat rating IMDb "6,1 dari 10" dan RottenTomatoes "39%". Sementara itu, Dragon Ball Evolutions lebih buruk, dengan rating IMDb "2,8 dari 10" dan RottenTomatoes "14%".

Salah satu kecenderungan Hollywood dalam mengadaptasi manga/anime adalah tendensi untuk melakukan westernisasi, yang menjadi salah satu — namun bukan ini saja — penyebab kurangnya apresiasi penonton. Kita juga tak bisa menyalahkan ini sepenuhnya, karena pada akhirnya ini adalah film Hollywood dan mau tak mau para pembuat film harus memasukkan unsur-unsur ke-Hollywood-an ke dalamnya.

//gambarnaruto.com

Untuk Speed Racer dan Dragon Ball Evolution, westernisasi mungkin bukanlah dilema yang besar, mengingat cerita keduanya yang universal. Namun untuk Naruto, jelas beda soal. Naruto berlatar belakang dunia ninja dan sangat sangat akrab dengan budaya Jepang. Melakukan westernisasi dan mengubahnya menjadi film Barat bisa menjadi bumerang. Kalau boleh sotoy, satu-satunya solusi adalah dengan membuat filmnya tetap lekat dengan budaya Jepang (termasuk menggunakan aktor Jepang, dan memakai bahasa Jepang kalau perlu). Contoh sukses, lihat saja Crouching Tiger Hidden Dragon karya Ang Lee yang fenomenal. Film yang meraih 9 nominasi Oscar (dan memenangkan 4 diantaranya) ini tetap merangkul kebudayaan Cina dengan erat — yah, mungkin contoh yang sedikit berlebihan dan kurang relevan — dan terbukti tetap mendapat respon yang bagus di pasar internasional.

Saya adalah penggemar Naruto sedari kecil dan mempunyai koleksi manga-nya lengkap di rumah. Mendengar kabar seperti ini, seharusnya saja merasa gembira, tapi sejujurnya, sejauh ini saya skeptis. Tapi pada akhirnya, semua kembali lagi pada produk final. Mungkin saja Gracey mampu menjadi sutradara yang tepat untuk proyek ini, mungkin saja Lionsgate bisa mendapatkan formula yang tepat untuk mengadaptasi manga/anime. Namun hingga filmnya nanti tayang di bioskop, saya hanya bisa berharap agar Hollywood tak kembali lagi menghancurkan memori masa kecil saya. ■UP

Follow UlasanPilem di twitter: @ulasanpilem

Tuesday, May 26, 2015

'Tomorrowland' Mengecewakan: Benarkah Penonton Tak Peduli Lagi dengan Film Orisinal?

Artikel - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Artikel, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Artikel, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : 'Tomorrowland' Mengecewakan: Benarkah Penonton Tak Peduli Lagi dengan Film Orisinal?
link : 'Tomorrowland' Mengecewakan: Benarkah Penonton Tak Peduli Lagi dengan Film Orisinal?

Baca juga


Artikel

Artikel dari Variety menyebutkan bahwa kegagalan 'Tomorrowland' di Box Office, sedikit banyak karena penonton tak lagi peduli dengan film orisinal dan lebih memilih film adaptasi. Berikut opini saya tentang hal tersebut.
Membaca sebuah artikel di Variety yang mengangkat tentang permasalahan orisinalitas tema yang mengakibatkan film Tomorrowland hanya meraih laba seadanya pada minggu debutnya — yang hanya sedikit lebih bai dari film Disney John Carter dan Lone Ranger — membuat saya tergelitik untuk membahas sedikit tentang hal tersebut. Artikel aslinya dari Variety itu berjudul 'Tomorrowland' Exposes Hollywood's Originality Problem.

Sebagai informasi, selama 4 hari penayangannya Tomorrowland hanya mengumpulkan $41,7 juta dari bujetnya yang masif $180 juta, tak sesuai dengan ekpektasi tinggi dari Disney. Padahal film ini digawangi oleh nama sutradara kelas atas Brad Bird (The Incredibles, Mission: Impossible - Ghost Protocol) ditambah dengan kekuatan bintang dari George Clooney.

TOMORROWLAND //highsnobiety

"Tomorrowland adalah film orisinal dan merupakan tantangan [baginya untuk bersaing] dalam pasar," ujar Kepala Distribusi Disney, Dave Holls. "Kami merasa sangat penting sebagai perusahaan dan insustri untuk tetap memberikan kisah yang orisinal."

Tomorrowland tak bisa dibilang orisinal sepenuhnya karena film ini diangkat dari wahana Disney, namun saya takkan memperdebatkan hal tersebut. Yang menjadi pertanyaan, benarkah penonton tak lagi tertarik dengan film orisinal dan lebih memilih film remake, reboot, sekuel atau adaptasi game, komik, novel, dll? Saya melihat ini dari perspektif saya sebagai penonton awam.

Sekarang memang ada kecenderungan bagi studio Hollywood untuk memprioritaskan film remake/reboot/sekuel/adaptasi untuk diproduksi dibandingkan dengan film orisinial. Bahkan ada beberapa pengamat film yang berkomentar bahwa film orisinal susah mendapat lampu hijau, karena prospeknya yang tak menjanjikan. Wajar sebenarnya, melihat perolehan box office tiga tahun terakhir yang menunjukkan bahwa hampir 90% posisi Top 10 Highest Grossing Film diisi oleh film-film macam itu (datanya bisa anda lihat disini dan disini).

Namun tak bisa dilupakan juga bahwa ada beberapa film orisinal yang berhasil masuk seperti Interstellar (menjadi film terlaris ke-10 tahun 2014) dan Gravity (menjadi film terlaris ke-8 tahun 2013). Walaupun memang agak sulit bersaing, Tomorrowland tentu punya kans yang sama bukan? Apalagi Tomorrowland punya kelebihan karena mereknya yang lekat dengan Disney — kurang lebih mirip dengan The Lego Movie yang lekat dengan merek LEGO. Bedanya, The Lego Movie sukses, sementara Tomorrowland sedikit tersendat ;)

Nah menurut kacamata saya, yang menjadi permasalahan bukanlah orisinalitas. Jadi apa pasal? Kalau boleh sedikit sotoy, kesuksesan box office film orisinal tergantung dari kualitas film dan promosi dari studio, salah satu atau keduanya sekaligus.

Hal ini bisa dilihat dari Gravity. Dengan promosi yang menurut saya biasa saja, tapi mendapat review dahsyat dari kritikus dan word-of-mouth yang bagus dari penonton, menjadikan film ini sukses secara finansial dengan raihan $716.392.705. Contoh paling dekat adalah Mad Max: Fury Road. Fury Road mungkin memang bukan film orisinal, namun dengan film terakhirnya yang dirilis 30 tahun lalu, praktis tak banyak penonton yang aware dengan film tersebut (selain penonton berumur). Promosi gencar yang dilakukan Warner Bros serta komentar bagus dari penonton, membuat raihan Fury Road telah melewati bujet yang juga masif, $150 juta.

GRAVITY //hypable

Untuk kasus Tomorrowland, jujur saja saya tak bisa berkomentar banyak tentang materi promosinya. Memang bijak untuk menjaga kerahasiaan materi film sebelum dirilis, namun ini bisa jadi pedang bermata dua. Dari materi promosi Tomorrowland yang saya lihat, tak banyak sebenarnya yang diberikan Warner Bros. Trailer hanya berfokus pada karakter Clooney dan kemisteriusan Tomorrowland. Padahal dengan sedikit mengekspos karakter Britt Robertson, mungkin bisa menarik demografi anak muda.

Nah poin di atas, tak masalah sebenarnya jika film tersebut mendapatkan review bagus. Sayangnya Tomorrowland hanya mendapat skor 50% dari RottenTomatoes, 60 dari MetaCritic, dan nilai "B" dari CinemaScore. Di jaman teknologi informasi seperti sekarang, review dari mulut-ke-mulut lebih diperhatikan penonton.

Penonton tak bisa disalahkan sepenuhnya dengan kegagalan film orisinal di box office. Penonton yang cerdas tentu tahu mana film yang berkualitas, terlepas dari apakah film tersebut film orisinal atau bukan. Meski saya adalah maniak nonton, untuk mendapatkan pengalaman layar lebar, saya juga cukup pilih-pilih.

"[Keberhasilan] itu selalu bergantung pada sutradara yang berbakat, kekuatan bintang dari aktor, dan konten [film] yang dibuat," ujar Phil Contrino, Wakil Presiden dan Kepala Analis BoxOffice.com. Yap, saya sangat sangat setuju.

[Anda bisa membaca review saya mengenai film Tomorrowland disini] ©UP

Artikel dari Variety menyebutkan bahwa kegagalan 'Tomorrowland' di Box Office, sedikit banyak karena penonton tak lagi peduli dengan film orisinal dan lebih memilih film adaptasi. Berikut opini saya tentang hal tersebut.
Membaca sebuah artikel di Variety yang mengangkat tentang permasalahan orisinalitas tema yang mengakibatkan film Tomorrowland hanya meraih laba seadanya pada minggu debutnya — yang hanya sedikit lebih bai dari film Disney John Carter dan Lone Ranger — membuat saya tergelitik untuk membahas sedikit tentang hal tersebut. Artikel aslinya dari Variety itu berjudul 'Tomorrowland' Exposes Hollywood's Originality Problem.

Sebagai informasi, selama 4 hari penayangannya Tomorrowland hanya mengumpulkan $41,7 juta dari bujetnya yang masif $180 juta, tak sesuai dengan ekpektasi tinggi dari Disney. Padahal film ini digawangi oleh nama sutradara kelas atas Brad Bird (The Incredibles, Mission: Impossible - Ghost Protocol) ditambah dengan kekuatan bintang dari George Clooney.

TOMORROWLAND //highsnobiety

"Tomorrowland adalah film orisinal dan merupakan tantangan [baginya untuk bersaing] dalam pasar," ujar Kepala Distribusi Disney, Dave Holls. "Kami merasa sangat penting sebagai perusahaan dan insustri untuk tetap memberikan kisah yang orisinal."

Tomorrowland tak bisa dibilang orisinal sepenuhnya karena film ini diangkat dari wahana Disney, namun saya takkan memperdebatkan hal tersebut. Yang menjadi pertanyaan, benarkah penonton tak lagi tertarik dengan film orisinal dan lebih memilih film remake, reboot, sekuel atau adaptasi game, komik, novel, dll? Saya melihat ini dari perspektif saya sebagai penonton awam.

Sekarang memang ada kecenderungan bagi studio Hollywood untuk memprioritaskan film remake/reboot/sekuel/adaptasi untuk diproduksi dibandingkan dengan film orisinial. Bahkan ada beberapa pengamat film yang berkomentar bahwa film orisinal susah mendapat lampu hijau, karena prospeknya yang tak menjanjikan. Wajar sebenarnya, melihat perolehan box office tiga tahun terakhir yang menunjukkan bahwa hampir 90% posisi Top 10 Highest Grossing Film diisi oleh film-film macam itu (datanya bisa anda lihat disini dan disini).

Namun tak bisa dilupakan juga bahwa ada beberapa film orisinal yang berhasil masuk seperti Interstellar (menjadi film terlaris ke-10 tahun 2014) dan Gravity (menjadi film terlaris ke-8 tahun 2013). Walaupun memang agak sulit bersaing, Tomorrowland tentu punya kans yang sama bukan? Apalagi Tomorrowland punya kelebihan karena mereknya yang lekat dengan Disney — kurang lebih mirip dengan The Lego Movie yang lekat dengan merek LEGO. Bedanya, The Lego Movie sukses, sementara Tomorrowland sedikit tersendat ;)

Nah menurut kacamata saya, yang menjadi permasalahan bukanlah orisinalitas. Jadi apa pasal? Kalau boleh sedikit sotoy, kesuksesan box office film orisinal tergantung dari kualitas film dan promosi dari studio, salah satu atau keduanya sekaligus.

Hal ini bisa dilihat dari Gravity. Dengan promosi yang menurut saya biasa saja, tapi mendapat review dahsyat dari kritikus dan word-of-mouth yang bagus dari penonton, menjadikan film ini sukses secara finansial dengan raihan $716.392.705. Contoh paling dekat adalah Mad Max: Fury Road. Fury Road mungkin memang bukan film orisinal, namun dengan film terakhirnya yang dirilis 30 tahun lalu, praktis tak banyak penonton yang aware dengan film tersebut (selain penonton berumur). Promosi gencar yang dilakukan Warner Bros serta komentar bagus dari penonton, membuat raihan Fury Road telah melewati bujet yang juga masif, $150 juta.

GRAVITY //hypable

Untuk kasus Tomorrowland, jujur saja saya tak bisa berkomentar banyak tentang materi promosinya. Memang bijak untuk menjaga kerahasiaan materi film sebelum dirilis, namun ini bisa jadi pedang bermata dua. Dari materi promosi Tomorrowland yang saya lihat, tak banyak sebenarnya yang diberikan Warner Bros. Trailer hanya berfokus pada karakter Clooney dan kemisteriusan Tomorrowland. Padahal dengan sedikit mengekspos karakter Britt Robertson, mungkin bisa menarik demografi anak muda.

Nah poin di atas, tak masalah sebenarnya jika film tersebut mendapatkan review bagus. Sayangnya Tomorrowland hanya mendapat skor 50% dari RottenTomatoes, 60 dari MetaCritic, dan nilai "B" dari CinemaScore. Di jaman teknologi informasi seperti sekarang, review dari mulut-ke-mulut lebih diperhatikan penonton.

Penonton tak bisa disalahkan sepenuhnya dengan kegagalan film orisinal di box office. Penonton yang cerdas tentu tahu mana film yang berkualitas, terlepas dari apakah film tersebut film orisinal atau bukan. Meski saya adalah maniak nonton, untuk mendapatkan pengalaman layar lebar, saya juga cukup pilih-pilih.

"[Keberhasilan] itu selalu bergantung pada sutradara yang berbakat, kekuatan bintang dari aktor, dan konten [film] yang dibuat," ujar Phil Contrino, Wakil Presiden dan Kepala Analis BoxOffice.com. Yap, saya sangat sangat setuju.

[Anda bisa membaca review saya mengenai film Tomorrowland disini] ©UP

Sunday, May 24, 2015

Melihat Kontroversi Kemenangan Angel Pieters dalam IMA 2015

Artikel - Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Artikel, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Artikel, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Melihat Kontroversi Kemenangan Angel Pieters dalam IMA 2015
link : Melihat Kontroversi Kemenangan Angel Pieters dalam IMA 2015

Baca juga


Artikel

Gelaran Indonesian Movie Awards tahun ini menuai kontroversi. Yang menjadi pokok permasalahan adalah kemenangan Angel Pieters dalam kategori Soundtrack Terfavorit, padahal sebelumnya nama Angel sama sekali tak tercantum dalam nominasi pada materi promosi acara yang diiklankan oleh RCTI selaku pihak penyelenggara. Saya pun awalnya heran karena saat membuat posting daftar pemenang IMA 2015, ada sedikit ketidakcocokan antara nama nominasi dengan nama pemenang.

//tribunnews

Hal ini tentu saja membuat gerah publik, karena ada indikasi bahwa RCTI telah merekaya kemenangan tersebut. Para musisi yang ikut masuk dalam nominasi, diantaranya Glenn Fredly dan Pongki Barata juga mengkritisi keputusan tersebut. Publik menduga kemenangan ini merupakan titipan dari pihak petinggi RCTI, mengingat bahwa lagu Indonesia Negeri Kita yang dinyanyikan Angel adalah ciptaan Liliana Tanoe, istri dari Presdir RCTI, Hari Tanoe.

Situasi menjadi semakin memanas saat beredar isu bahwa dalam buku panduan nominasi IMA 2015, nama Angel sengaja ditambahkan saat hari H dengan menggunakan stiker. Namun isu ini diklarifikasi oleh pihak RCTI melalui Dini Putri, selaku Director and Programming RCTI.

"Memang tiap kategori semua punya lima nominasi untuk yang terfavorit. Tapi soundtrack ada enam. Bisa jadi tidak ke-print atau apa. Kecuali di buku tidak ada. Poinnya mungkin hari itu diprin kecil-kecil. Teman-teman [media] tahu membuat program itu lama. Kalau hari itu tiba-tiba dimunculkan, gimana ini dimunculkan. Menurut saya nonsense semua polemik yang ada di luar. Makanya saya cuma meluruskan, " ujar Dini sebagaimana dilansir oleh KapanLagi.

Terlepas dari pembelaan Dini tersebut, kita tak tahu apakah benar tidak ada penambahan nama Angel menggunakan stiker, karena buku nominasi tersebut tak pernah dirilis ke publik. Yang jelas, pihak RCTI cukup getol berusaha mengklarifikasi polemik ini agar tidak berlarut-larut. Untuk memperkuat argumennya, Dini juga menunjukkan bukti perolehan SMS yang diraih Angel.

"Apakah dia [Liliana Tanoe] sebagai istri pengusaha tidak boleh membuat lagu? Silakan dicek berapa penonton film Di Balik 98. Jadi tidak ada titipandan tidak perlu ada titipan. Kalau pun menang kemarin, itu berdasar voting SMS berjumlah 1.306." (foto Dini yang sedang mengklarifikasi bisa dilihat disini).

Kita tak bisa menyalahkan publik yang menuding RCTI melakukan rekayasa, karena faktanya dalam materi promosi IMA 2015 memang tak ada tercantum nama Angel Pieters. Argumen RCTI bahwa nama Angel sudah dimasukkan dalam nominasi sejak bulan April adalah argumen lemah. Apalagi ini adalah nominasi "terfavorit" dimana yang memilih adalah publik. Kalau publik tak mengetahui nominasi tersebut, jadi sebenarnya kemarin siapa yang memilih? Siapa yang mengirim SMS? Saya hanya penasaran.

Di luar kontroversi benar tidaknya nama Angel masuk sejak awal, kasus ini tentunya mempengaruhi kredibilitas ajang IMA yang telah digelar sejak 9 tahun yang lalu. Ironis, jika ajang IMA yang sengaja dibuat untuk "menandingi" Festival Film Indonesia (FFI) — yang katanya tak kredibel — juga mengalami permasahan yang sama: isu kredibiltas. ©UP

Gelaran Indonesian Movie Awards tahun ini menuai kontroversi. Yang menjadi pokok permasalahan adalah kemenangan Angel Pieters dalam kategori Soundtrack Terfavorit, padahal sebelumnya nama Angel sama sekali tak tercantum dalam nominasi pada materi promosi acara yang diiklankan oleh RCTI selaku pihak penyelenggara. Saya pun awalnya heran karena saat membuat posting daftar pemenang IMA 2015, ada sedikit ketidakcocokan antara nama nominasi dengan nama pemenang.

//tribunnews

Hal ini tentu saja membuat gerah publik, karena ada indikasi bahwa RCTI telah merekaya kemenangan tersebut. Para musisi yang ikut masuk dalam nominasi, diantaranya Glenn Fredly dan Pongki Barata juga mengkritisi keputusan tersebut. Publik menduga kemenangan ini merupakan titipan dari pihak petinggi RCTI, mengingat bahwa lagu Indonesia Negeri Kita yang dinyanyikan Angel adalah ciptaan Liliana Tanoe, istri dari Presdir RCTI, Hari Tanoe.

Situasi menjadi semakin memanas saat beredar isu bahwa dalam buku panduan nominasi IMA 2015, nama Angel sengaja ditambahkan saat hari H dengan menggunakan stiker. Namun isu ini diklarifikasi oleh pihak RCTI melalui Dini Putri, selaku Director and Programming RCTI.

"Memang tiap kategori semua punya lima nominasi untuk yang terfavorit. Tapi soundtrack ada enam. Bisa jadi tidak ke-print atau apa. Kecuali di buku tidak ada. Poinnya mungkin hari itu diprin kecil-kecil. Teman-teman [media] tahu membuat program itu lama. Kalau hari itu tiba-tiba dimunculkan, gimana ini dimunculkan. Menurut saya nonsense semua polemik yang ada di luar. Makanya saya cuma meluruskan, " ujar Dini sebagaimana dilansir oleh KapanLagi.

Terlepas dari pembelaan Dini tersebut, kita tak tahu apakah benar tidak ada penambahan nama Angel menggunakan stiker, karena buku nominasi tersebut tak pernah dirilis ke publik. Yang jelas, pihak RCTI cukup getol berusaha mengklarifikasi polemik ini agar tidak berlarut-larut. Untuk memperkuat argumennya, Dini juga menunjukkan bukti perolehan SMS yang diraih Angel.

"Apakah dia [Liliana Tanoe] sebagai istri pengusaha tidak boleh membuat lagu? Silakan dicek berapa penonton film Di Balik 98. Jadi tidak ada titipandan tidak perlu ada titipan. Kalau pun menang kemarin, itu berdasar voting SMS berjumlah 1.306." (foto Dini yang sedang mengklarifikasi bisa dilihat disini).

Kita tak bisa menyalahkan publik yang menuding RCTI melakukan rekayasa, karena faktanya dalam materi promosi IMA 2015 memang tak ada tercantum nama Angel Pieters. Argumen RCTI bahwa nama Angel sudah dimasukkan dalam nominasi sejak bulan April adalah argumen lemah. Apalagi ini adalah nominasi "terfavorit" dimana yang memilih adalah publik. Kalau publik tak mengetahui nominasi tersebut, jadi sebenarnya kemarin siapa yang memilih? Siapa yang mengirim SMS? Saya hanya penasaran.

Di luar kontroversi benar tidaknya nama Angel masuk sejak awal, kasus ini tentunya mempengaruhi kredibilitas ajang IMA yang telah digelar sejak 9 tahun yang lalu. Ironis, jika ajang IMA yang sengaja dibuat untuk "menandingi" Festival Film Indonesia (FFI) — yang katanya tak kredibel — juga mengalami permasahan yang sama: isu kredibiltas. ©UP