Friday, September 8, 2017

Review Film: 'The Evil Within' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Evil Within' (2017)
link : Review Film: 'The Evil Within' (2017)

Baca juga


'The Evil Within' memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja.

“Let me show you the one that I had last night.”
— Dennis
Rating UP:
Holys**t! Anda benar-benar harus membaca cerita di balik layar dari produksi The Evil Within. Film ini digarap oleh Andrew Getty, anak dari keluarga Getty yang terkenal kaya di Amerika, yang menghabiskan hidupnya selama 15 tahun untuk membeli peralatan, merancang tata produksi, mengulik gambar, dan memoles efek spesial selagi krunya datang dan pergi silih berganti, demi menyempurnakan proyek personalnya ini. Dan semua dilakukannya dengan merogoh kocek sendiri, hingga mencapai $6 juta. Ini adalah bukti dari ambisi gila dari seorang auteur sejati. Jadi kalau nanti ada sutradara yang mencak-mencak saat passion project-nya tak mendapat lampu hijau dari studio, mereka seharusnya mengaca pada Getty.


Hasil akhirnya tak sehancur yang kita kira, karena cerita filmnya relatif koheren dan masih bisa dicerna.  Meski proses syutingnya sangat panjang, ia tak seperti film yang disusun dari potongan-potongan yang tak saling berhubungan. Namun The Evil Within memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja. Film ini dibuka dengan sekuens mimpi yang sangat ganjil, dimana Getty menggunakan beberapa manipulasi gambar yang ajaib padahal hanya untuk bagian yang berdurasi beberapa menit saja. Sampai akhir film, Getty menggunakan begitu banyak trik untuk memberikan kesan sureal. Ini adalah film bunuh-bunuhan, tapi Getty merengkuh absurditas filmnya dengan totalitas, sehingga memberikan kesan sureal yang serius. Anda mungkin akan teringat pada film-film lama David Lynch. Gambar-gambarnya selalu akan mengejutkan kita, bahkan saat ia tak masuk akal sama sekali.

Ceritanya tentang Dennis (Frederick Koehler) yang awalnya kita kira sebagai tokoh utama yang pintar karena narasinya yang tegas dan berwibawa. Ia memberikan penjelasan meyakinkan tentang mimpinya dulu. "Jangan kaget, karena itu cuma suara hatiku. Aslinya aku berbeda," kata Dennis. Sebenarnya Dennis adalah pria yang sedikit mengalami keterbelakangan mental. Ia tinggal serumah bersama sang kakak, John (Sean Patrick Flannery) yang bersikeras untuk merawatnya langsung, walau John sendiri sebenarnya adalah perawat yang payah. Kerjanya cuma nongrong dari satu restoran ke restoran lain, lalu berantem dengan pacarnya soal pernikahan.

Suatu hari, John menaruh cermin antik besar di kamar Dennis, tak peduli dengan protes dari adiknya tersebut. Saat dalam sebuah film horor kita mendengar kata "antik", kata tersebut juga berarti "angker". Dan ya. Dennis mulai melihat hal-hal aneh dalam cermin tersebut. Mulai dari bayangannya sendiri yang terlihat lebih kejam, hingga makhluk semacam setan (John Berryman dalam balutan make-up yang akan selalu terbayang di ingatan kita) yang menyugesti pikiran Dennis dengan hal-hal keji. Lewat cermin, Dennis sering berkomunikasi dengan mereka. Ada cara bagi Dennis untuk bisa hidup normal dan tak menjadi beban bagi orang lain, tetapi ia harus membunuh makhluk hidup; hewan dulu, lalu anak-anak, baru kemudian orang dewasa.

Apakah ini setan ini benar-benar ada atau hanya halusinasi Dennis saja? Saya sendiri tak yakin, namun mungkin memang begitulah yang dimaksudkan oleh pembuat filmnya. Apa yang dialami Dennis begitu abstrak, kita tak lagi bisa membedakan antara mimpi dengan kenyataan. Namun kisah Dennis memang "mimpi buruk", entah secara harfiah atau kiasan. Di awal film kita mempelajari bahwa mimpi itu tak terkendali, tak berbentuk. Saat Dennis merasa sudah berhenti bermimpi, ia malah diberitahu "siapa bilang mimpimu sudah berakhir?". Menarik untuk mempertimbangkan apakah mimpi buruk ini adalah memang hasutan dari suatu entitas supranatural atau kreasi pikirannya sendiri.

Katanya The Evil Within adalah film yang sangat personal bagi Getty. Bukan saja karena ini merupakan satu-satunya skrip yang berhasil ia produksi menjadi sebuah film, namun juga karena ini berasal dari mimpinya sendiri. Benar sekali. Getty mengklaim memimpikan langsung semua yang terjadi disini dan merangkainya dalam satu skrip. Holys**t! Mimpi buruk yang luar biasa, jika dilihat dari horor yang disajikan. Saya tak bisa membayangkan mengalami mimpi buruk sesinting ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hobi Getty mengkonsumsi sabu, saya juga tak tahu.

Getty melempar semua yang ia punya agar film ini menangkap persis visinya. Ia merancang sendiri practical effects yang dipakai, termasuk make-up dan beberapa animatronik yang menyeramkan. Nyaris tak ada tipu daya komputer; hampir semua dibuat dengan tangan. Untuk ukuran sutradara debutan, mencengangkan melihatnya yang dengan lihai menerapkan beberapa teknik filmmaking yang sulit. Ada adegan dimana Dennis dikelilingi cermin yang menciptakan bayangan tak berhingga. Di satu titik, kamera tanpa kentara bergerak di antara cermin mempermainkan perspektif kita, menciptakan ilusi yang meneror. Saya jadi kagum melihat berapa akurat perhitungannya dalam penempatan kamera. Imagery yang seperti ini menciptakan atmosfer asing yang tak nyaman.

Sekarang, Getty sudah menjadi almarhum. Ia meninggal dua tahun yang lalu gara-gara pendarahan akibat komplikasi narkoba, sehingga filmnya harus dibereskan oleh sang produser, Michael Luceri. Jadi The Evil Within adalah film pertamanya dan satu-satunya. Ini film yang kacau mengingat ceritanya yang melebar ke beberapa subplot gaje. Namun secara visual, ia sangat menggigit karena dibuat oleh orang yang tak terikat dengan sistem studio Hollywood. Ia tak terbatasi dengan materi yang mungkin akan terjegal dalam skala produksi industri. Getty hanya ingin filmnya dibuat, "mimpi buruk"-nya termanifestasi. Konsumennya adalah yang ingin melihat some bats**t crazy stuff. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Evil Within

98 menit
Dewasa
Andrew Getty
Andrew Getty
Robert Hickey, Kent Van Vleet, Michael Luceri
Stephen Sheridan
Mario Grigorov

'The Evil Within' memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja.

“Let me show you the one that I had last night.”
— Dennis
Rating UP:
Holys**t! Anda benar-benar harus membaca cerita di balik layar dari produksi The Evil Within. Film ini digarap oleh Andrew Getty, anak dari keluarga Getty yang terkenal kaya di Amerika, yang menghabiskan hidupnya selama 15 tahun untuk membeli peralatan, merancang tata produksi, mengulik gambar, dan memoles efek spesial selagi krunya datang dan pergi silih berganti, demi menyempurnakan proyek personalnya ini. Dan semua dilakukannya dengan merogoh kocek sendiri, hingga mencapai $6 juta. Ini adalah bukti dari ambisi gila dari seorang auteur sejati. Jadi kalau nanti ada sutradara yang mencak-mencak saat passion project-nya tak mendapat lampu hijau dari studio, mereka seharusnya mengaca pada Getty.


Hasil akhirnya tak sehancur yang kita kira, karena cerita filmnya relatif koheren dan masih bisa dicerna.  Meski proses syutingnya sangat panjang, ia tak seperti film yang disusun dari potongan-potongan yang tak saling berhubungan. Namun The Evil Within memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja. Film ini dibuka dengan sekuens mimpi yang sangat ganjil, dimana Getty menggunakan beberapa manipulasi gambar yang ajaib padahal hanya untuk bagian yang berdurasi beberapa menit saja. Sampai akhir film, Getty menggunakan begitu banyak trik untuk memberikan kesan sureal. Ini adalah film bunuh-bunuhan, tapi Getty merengkuh absurditas filmnya dengan totalitas, sehingga memberikan kesan sureal yang serius. Anda mungkin akan teringat pada film-film lama David Lynch. Gambar-gambarnya selalu akan mengejutkan kita, bahkan saat ia tak masuk akal sama sekali.

Ceritanya tentang Dennis (Frederick Koehler) yang awalnya kita kira sebagai tokoh utama yang pintar karena narasinya yang tegas dan berwibawa. Ia memberikan penjelasan meyakinkan tentang mimpinya dulu. "Jangan kaget, karena itu cuma suara hatiku. Aslinya aku berbeda," kata Dennis. Sebenarnya Dennis adalah pria yang sedikit mengalami keterbelakangan mental. Ia tinggal serumah bersama sang kakak, John (Sean Patrick Flannery) yang bersikeras untuk merawatnya langsung, walau John sendiri sebenarnya adalah perawat yang payah. Kerjanya cuma nongrong dari satu restoran ke restoran lain, lalu berantem dengan pacarnya soal pernikahan.

Suatu hari, John menaruh cermin antik besar di kamar Dennis, tak peduli dengan protes dari adiknya tersebut. Saat dalam sebuah film horor kita mendengar kata "antik", kata tersebut juga berarti "angker". Dan ya. Dennis mulai melihat hal-hal aneh dalam cermin tersebut. Mulai dari bayangannya sendiri yang terlihat lebih kejam, hingga makhluk semacam setan (John Berryman dalam balutan make-up yang akan selalu terbayang di ingatan kita) yang menyugesti pikiran Dennis dengan hal-hal keji. Lewat cermin, Dennis sering berkomunikasi dengan mereka. Ada cara bagi Dennis untuk bisa hidup normal dan tak menjadi beban bagi orang lain, tetapi ia harus membunuh makhluk hidup; hewan dulu, lalu anak-anak, baru kemudian orang dewasa.

Apakah ini setan ini benar-benar ada atau hanya halusinasi Dennis saja? Saya sendiri tak yakin, namun mungkin memang begitulah yang dimaksudkan oleh pembuat filmnya. Apa yang dialami Dennis begitu abstrak, kita tak lagi bisa membedakan antara mimpi dengan kenyataan. Namun kisah Dennis memang "mimpi buruk", entah secara harfiah atau kiasan. Di awal film kita mempelajari bahwa mimpi itu tak terkendali, tak berbentuk. Saat Dennis merasa sudah berhenti bermimpi, ia malah diberitahu "siapa bilang mimpimu sudah berakhir?". Menarik untuk mempertimbangkan apakah mimpi buruk ini adalah memang hasutan dari suatu entitas supranatural atau kreasi pikirannya sendiri.

Katanya The Evil Within adalah film yang sangat personal bagi Getty. Bukan saja karena ini merupakan satu-satunya skrip yang berhasil ia produksi menjadi sebuah film, namun juga karena ini berasal dari mimpinya sendiri. Benar sekali. Getty mengklaim memimpikan langsung semua yang terjadi disini dan merangkainya dalam satu skrip. Holys**t! Mimpi buruk yang luar biasa, jika dilihat dari horor yang disajikan. Saya tak bisa membayangkan mengalami mimpi buruk sesinting ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hobi Getty mengkonsumsi sabu, saya juga tak tahu.

Getty melempar semua yang ia punya agar film ini menangkap persis visinya. Ia merancang sendiri practical effects yang dipakai, termasuk make-up dan beberapa animatronik yang menyeramkan. Nyaris tak ada tipu daya komputer; hampir semua dibuat dengan tangan. Untuk ukuran sutradara debutan, mencengangkan melihatnya yang dengan lihai menerapkan beberapa teknik filmmaking yang sulit. Ada adegan dimana Dennis dikelilingi cermin yang menciptakan bayangan tak berhingga. Di satu titik, kamera tanpa kentara bergerak di antara cermin mempermainkan perspektif kita, menciptakan ilusi yang meneror. Saya jadi kagum melihat berapa akurat perhitungannya dalam penempatan kamera. Imagery yang seperti ini menciptakan atmosfer asing yang tak nyaman.

Sekarang, Getty sudah menjadi almarhum. Ia meninggal dua tahun yang lalu gara-gara pendarahan akibat komplikasi narkoba, sehingga filmnya harus dibereskan oleh sang produser, Michael Luceri. Jadi The Evil Within adalah film pertamanya dan satu-satunya. Ini film yang kacau mengingat ceritanya yang melebar ke beberapa subplot gaje. Namun secara visual, ia sangat menggigit karena dibuat oleh orang yang tak terikat dengan sistem studio Hollywood. Ia tak terbatasi dengan materi yang mungkin akan terjegal dalam skala produksi industri. Getty hanya ingin filmnya dibuat, "mimpi buruk"-nya termanifestasi. Konsumennya adalah yang ingin melihat some bats**t crazy stuff. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Evil Within

98 menit
Dewasa
Andrew Getty
Andrew Getty
Robert Hickey, Kent Van Vleet, Michael Luceri
Stephen Sheridan
Mario Grigorov

Review Film: 'Cage Dive' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Cage Dive' (2017)
link : Review Film: 'Cage Dive' (2017)

Baca juga


Tiga sekawan tokoh utama kita memang lebih baik terombang-ambing di laut lepas.

“First you find the shark, then they find you.”
Rating UP:
Saya bisa membayangkan banyak penonton yang akan kecewa saat selesai menonton film ini. Posternya memperlihatkan hiu raksasa. Di Indonesia dan beberapa negara, judul filmnya adalah Cage Dive, namun ia diberi judul yang lebih pas untuk pasar Amerika, yaitu Open Water 3: Cage Dive. Ini bukan film tentang “cage dive” —kita sudah mendapatkannya lewat 47 Meters Down. Tak banyak hiu yang akan tampil, apalagi bagi yang ingin melihat mereka mencabik-cabik daging. Alih-alih, filmnya adalah film “open water”, mengenai orang-orang yang terombang-ambing di laut lepas dengan hanya sedikit peluang untuk selamat. Yang pernah menonton dua film Open Water pasti sudah tahu.


Yang mungkin juga akan menyurutkan minat sebagian calon penonton adalah bahwa film ini bergaya found-footage. Jadi di sebagian besar durasi kita akan menyaksikan gambar yang shaky dan tak fokus, karena kameranya langsung dipegang tangan. Video ini ditemukan secara kebetulan terselip di sebuah terumbu karang di Samudera Pasifik, saya jadi penasaran seberapa besar kans menemukan barang yang jatuh di samudera yang luasnya 165 juta kilometer persegi. Tak penting. Untuk memperjelas konteks, mungkin khawatir kalau-kalau kita tak mengerti, pembuat filmnya menambahkan potongan video dokumenter dari keluarga korban pasca tragedi tersebut terjadi.

Apa tadi saya bilang korban? Yap, dari awal film, semenjak kita melihat footage-nya ditemukan, kita langsung tahu bahwa para karakter kita akan bernasib naas. Tak ada lagi yang mengejutkan. Jadi, hanya ada 2 cara agar filmnya seru: (a) menjadikan karakternya sedemikian menarik hingga kita peduli dengan nasib mereka, atau (b) membuat sekuens naasnya seintens mungkin hingga kita bersorak-sorai. Tak ada satupun dari 2 poin ini yang disuguhkan oleh Cage Dive.

Tak perlu menonton film Open Water sebelumnya sebab film ini tak punya koneksi langsung dengan keduanya. Yang sama hanya konsepnya. Karakter kita adalah 3 sekawan dari California: Jeff (Joel Hogan), Josh (Josh Potthoff), dan Megan (Megan Pelta Hill). Jeff dan Megan berpacaran, dan ini penting karena nanti subplot tentang perselingkuhan akan memegang peranan penting. Bahkan saat nyawa sedang di ujung tanduk, orang-orang butuh drama, kan?

Mereka sedang liburan di Australia sekalian berencana untuk ikut reality show ekstrim. Ditemani oleh sepupu Josh, Greg (Pete Valley), mereka mencoba atraksi menyelam bersama hiu, tentu saja lewat cara yang aman dengan berlindung di balik kerangkeng. Tak ada yang menduga ombak besar akan membalikkan kapal sehingga membuat semua orang terombang-ambing di lautan dengan hiu yang mengintai dari bawah. Untungnya, karakter kita tak terjebak dalam kerangkeng. Tunggu. Atau malah sial?

Semua orang terpisah dan berjuang untuk selamat sembari menunggu bantuan. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan bagi hiu-hiu, tapi mereka tampaknya tak begitu tertarik memangsa manusia. Namun film ini punya alasan ngeles. Sebelumnya dijelaskan bahwa hiu jarang menyerang di siang hari (beritahu ini pada hiu dari The Shallows) dan hanya akan menyerang individu (beritahu ini pada hiu dari Jaws).

Durasi film ini hanya 80 menit. Singkat, tapi sebagian besar dihabiskan dengan melihat keseharian 3 sekawan. Format found-footage mengijinkan filmnya menampilkan beberapa momen filler tak penting, yang sebenarnya jika digunakan dengan efektif bisa membuat kita peduli dengan mereka. Namun, mereka begitu bodoh dan likeable sama sekali, saya tak menikmati melihat mereka bergaul.

Saat terombang-ambing pun, kita terjebak untuk menghabiskan waktu bersama tiga orang yang selalu membuat keputusan bodoh dari waktu ke waktu. Yang paling histeris adalah Megan. Di satu titik nanti, mereka menemukan perahu penyelamat, yang mungkin saja membuat mereka bisa bertahan hidup lebih lama. Apa anda bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya? Tentu saja anda bisa. Kebodohan mereka begitu spektakuler, sampai kita merasa lebih baik penulis naskah meninggalkan poin plot tentang perahu penyelamat, agar kita bisa sedikit lebih bersimpati dengan mereka. Saya tak tahu harus bilang apa lagi pada Megan. Namun saya salut pada keteguhan hati Josh yang tetap memegang kamera hingga akhir, bahkan saat nyawa temannya hampir melayang. Bagus Josh.

Film ini nihil sekuens pemancing suspens apalagi yang intens. Serangan hiu yang pertama (dan yang akan anda rindukan selama film berlangsung) tak begitu menyeramkan. Menurut saya, tak ada kesan bahwa mereka benar-benar dalam bahaya akan diserang hiu. Namun ini kan film Open Water ya; tentang terjebak tanpa harapan di lautan lepas. Apa yang lebih mengerikan daripada berada sendirian di tempat yang perlahan-lahan akan mencabut nyawa anda? Saya berani bilang ini karena mereka adalah karakter dalam film, bukan manusia sungguhan: tiga sekawan ini memang lebih baik berada disana. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cage Dive

80 menit
Dewasa
Gerald Rascionato
Gerald Rascionato
Rana Joy Glickman, Charles M. Barsamian, Jacob H. Gray, Antoine Mouawad, Gerald Rascionato

Tiga sekawan tokoh utama kita memang lebih baik terombang-ambing di laut lepas.

“First you find the shark, then they find you.”
Rating UP:
Saya bisa membayangkan banyak penonton yang akan kecewa saat selesai menonton film ini. Posternya memperlihatkan hiu raksasa. Di Indonesia dan beberapa negara, judul filmnya adalah Cage Dive, namun ia diberi judul yang lebih pas untuk pasar Amerika, yaitu Open Water 3: Cage Dive. Ini bukan film tentang “cage dive” —kita sudah mendapatkannya lewat 47 Meters Down. Tak banyak hiu yang akan tampil, apalagi bagi yang ingin melihat mereka mencabik-cabik daging. Alih-alih, filmnya adalah film “open water”, mengenai orang-orang yang terombang-ambing di laut lepas dengan hanya sedikit peluang untuk selamat. Yang pernah menonton dua film Open Water pasti sudah tahu.


Yang mungkin juga akan menyurutkan minat sebagian calon penonton adalah bahwa film ini bergaya found-footage. Jadi di sebagian besar durasi kita akan menyaksikan gambar yang shaky dan tak fokus, karena kameranya langsung dipegang tangan. Video ini ditemukan secara kebetulan terselip di sebuah terumbu karang di Samudera Pasifik, saya jadi penasaran seberapa besar kans menemukan barang yang jatuh di samudera yang luasnya 165 juta kilometer persegi. Tak penting. Untuk memperjelas konteks, mungkin khawatir kalau-kalau kita tak mengerti, pembuat filmnya menambahkan potongan video dokumenter dari keluarga korban pasca tragedi tersebut terjadi.

Apa tadi saya bilang korban? Yap, dari awal film, semenjak kita melihat footage-nya ditemukan, kita langsung tahu bahwa para karakter kita akan bernasib naas. Tak ada lagi yang mengejutkan. Jadi, hanya ada 2 cara agar filmnya seru: (a) menjadikan karakternya sedemikian menarik hingga kita peduli dengan nasib mereka, atau (b) membuat sekuens naasnya seintens mungkin hingga kita bersorak-sorai. Tak ada satupun dari 2 poin ini yang disuguhkan oleh Cage Dive.

Tak perlu menonton film Open Water sebelumnya sebab film ini tak punya koneksi langsung dengan keduanya. Yang sama hanya konsepnya. Karakter kita adalah 3 sekawan dari California: Jeff (Joel Hogan), Josh (Josh Potthoff), dan Megan (Megan Pelta Hill). Jeff dan Megan berpacaran, dan ini penting karena nanti subplot tentang perselingkuhan akan memegang peranan penting. Bahkan saat nyawa sedang di ujung tanduk, orang-orang butuh drama, kan?

Mereka sedang liburan di Australia sekalian berencana untuk ikut reality show ekstrim. Ditemani oleh sepupu Josh, Greg (Pete Valley), mereka mencoba atraksi menyelam bersama hiu, tentu saja lewat cara yang aman dengan berlindung di balik kerangkeng. Tak ada yang menduga ombak besar akan membalikkan kapal sehingga membuat semua orang terombang-ambing di lautan dengan hiu yang mengintai dari bawah. Untungnya, karakter kita tak terjebak dalam kerangkeng. Tunggu. Atau malah sial?

Semua orang terpisah dan berjuang untuk selamat sembari menunggu bantuan. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan bagi hiu-hiu, tapi mereka tampaknya tak begitu tertarik memangsa manusia. Namun film ini punya alasan ngeles. Sebelumnya dijelaskan bahwa hiu jarang menyerang di siang hari (beritahu ini pada hiu dari The Shallows) dan hanya akan menyerang individu (beritahu ini pada hiu dari Jaws).

Durasi film ini hanya 80 menit. Singkat, tapi sebagian besar dihabiskan dengan melihat keseharian 3 sekawan. Format found-footage mengijinkan filmnya menampilkan beberapa momen filler tak penting, yang sebenarnya jika digunakan dengan efektif bisa membuat kita peduli dengan mereka. Namun, mereka begitu bodoh dan likeable sama sekali, saya tak menikmati melihat mereka bergaul.

Saat terombang-ambing pun, kita terjebak untuk menghabiskan waktu bersama tiga orang yang selalu membuat keputusan bodoh dari waktu ke waktu. Yang paling histeris adalah Megan. Di satu titik nanti, mereka menemukan perahu penyelamat, yang mungkin saja membuat mereka bisa bertahan hidup lebih lama. Apa anda bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya? Tentu saja anda bisa. Kebodohan mereka begitu spektakuler, sampai kita merasa lebih baik penulis naskah meninggalkan poin plot tentang perahu penyelamat, agar kita bisa sedikit lebih bersimpati dengan mereka. Saya tak tahu harus bilang apa lagi pada Megan. Namun saya salut pada keteguhan hati Josh yang tetap memegang kamera hingga akhir, bahkan saat nyawa temannya hampir melayang. Bagus Josh.

Film ini nihil sekuens pemancing suspens apalagi yang intens. Serangan hiu yang pertama (dan yang akan anda rindukan selama film berlangsung) tak begitu menyeramkan. Menurut saya, tak ada kesan bahwa mereka benar-benar dalam bahaya akan diserang hiu. Namun ini kan film Open Water ya; tentang terjebak tanpa harapan di lautan lepas. Apa yang lebih mengerikan daripada berada sendirian di tempat yang perlahan-lahan akan mencabut nyawa anda? Saya berani bilang ini karena mereka adalah karakter dalam film, bukan manusia sungguhan: tiga sekawan ini memang lebih baik berada disana. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cage Dive

80 menit
Dewasa
Gerald Rascionato
Gerald Rascionato
Rana Joy Glickman, Charles M. Barsamian, Jacob H. Gray, Antoine Mouawad, Gerald Rascionato

Polling: Film Pilihan 01-09-2017 s.d. 07-09-2017

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Polling, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Polling: Film Pilihan 01-09-2017 s.d. 07-09-2017
link : Polling: Film Pilihan 01-09-2017 s.d. 07-09-2017

Baca juga



Saya kira kita semua bisa setuju bahwa hanya ada dua film besar yang dirilis minggu lalu, yaitu Baby Driver dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Sisanya adalah Midnight Runners, Inhumans (IMAX), dan Colossal.

Persaingan ini dimenangkan oleh Baby Driver dengan 55,56% , sementara Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 menyusul di bawahnya dengan 22,22%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP


Saya kira kita semua bisa setuju bahwa hanya ada dua film besar yang dirilis minggu lalu, yaitu Baby Driver dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Sisanya adalah Midnight Runners, Inhumans (IMAX), dan Colossal.

Persaingan ini dimenangkan oleh Baby Driver dengan 55,56% , sementara Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 menyusul di bawahnya dengan 22,22%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP

Thursday, September 7, 2017

Drew Goddard akan Tangani Film ‘X-Force’, Versi Dewasa dari ‘X-Men’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Drew Goddard akan Tangani Film ‘X-Force’, Versi Dewasa dari ‘X-Men’
link : Drew Goddard akan Tangani Film ‘X-Force’, Versi Dewasa dari ‘X-Men’

Baca juga


Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard.

Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard. Seperti dilansir Deadline, Goddard ditunjuk sebagai sutradara merangkap penulis naskah untuk film yang memasang Deadpool sebagai karakter sentral ini. Diketahui pula film X-Force akan diproduseri Simon Kinberg, Lauren Shuler Donner dan sang pemeran Deadpool, Ryan Reynolds.

Berdasarkan informasi yang beredar, film ini mengisahkan Deadpool yang memimpin pasukan rahasia beranggotakan mutant-mutan sinting yang jauh lebih kejam dibanding saudara mereka di X-Men. Dengan sinopsis tersebut, tak heran jika film X-Force dirancang sebagai versi dewasa dari X-Men. Apalagi dengan kesuksesan beruntun dari Deadpool dan Logan, tak perlu diragukan lagi Fox akan melabeli X-Force rating R (17+) yang identik dengan kekerasan tingkat tinggi.

Dikenal lewat film horor arahannya yang berjudul Cabin in the Woods, Goddard diketahui juga pernah menjadi penulis skrip di beberapa film populer seperti Cloverfield, World War Z dan The Martian. Goddard juga tak asing dengan proyek berbau superhero mengingat ia bertindak sebagai kreator serial Daredevil season pertama. Selain itu, ia sempat jadi sutradara spin-off The Amazing Spider-Man, Sinister Six, sebelum proyek tersebut dibatalkan Sony. Kini, Goddard tengah menulis skrip X-Force, sembari bersiap menggarap film terbarunya, Bad Times at the El Royale. Usai skrip X-Force rampung, kabarnya Goddard akan langsung menggarap filmnya.

Dalam komiknya, mutant yang pernah bergabung jadi anggota X-Force bermacam-macam. Namun di filmnya nanti, selain Deadpool, ada kemungkinan X-Force juga akan digawangi Cable (Josh Brolin) dan Domino (Zazie Beetz) yang siap debut di Deadpool 2.

Untuk saat ini belum ada konfirmasi terkait jadwal syuting maupun tanggal rilis X-Force. Yang pasti, Fox akan meluncurkan tiga film mutant untuk 2018, yakni New Mutants (April), Deadpool 2 (Juni) dan X-Men: Dark Phoenix (November). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard.

Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard. Seperti dilansir Deadline, Goddard ditunjuk sebagai sutradara merangkap penulis naskah untuk film yang memasang Deadpool sebagai karakter sentral ini. Diketahui pula film X-Force akan diproduseri Simon Kinberg, Lauren Shuler Donner dan sang pemeran Deadpool, Ryan Reynolds.

Berdasarkan informasi yang beredar, film ini mengisahkan Deadpool yang memimpin pasukan rahasia beranggotakan mutant-mutan sinting yang jauh lebih kejam dibanding saudara mereka di X-Men. Dengan sinopsis tersebut, tak heran jika film X-Force dirancang sebagai versi dewasa dari X-Men. Apalagi dengan kesuksesan beruntun dari Deadpool dan Logan, tak perlu diragukan lagi Fox akan melabeli X-Force rating R (17+) yang identik dengan kekerasan tingkat tinggi.

Dikenal lewat film horor arahannya yang berjudul Cabin in the Woods, Goddard diketahui juga pernah menjadi penulis skrip di beberapa film populer seperti Cloverfield, World War Z dan The Martian. Goddard juga tak asing dengan proyek berbau superhero mengingat ia bertindak sebagai kreator serial Daredevil season pertama. Selain itu, ia sempat jadi sutradara spin-off The Amazing Spider-Man, Sinister Six, sebelum proyek tersebut dibatalkan Sony. Kini, Goddard tengah menulis skrip X-Force, sembari bersiap menggarap film terbarunya, Bad Times at the El Royale. Usai skrip X-Force rampung, kabarnya Goddard akan langsung menggarap filmnya.

Dalam komiknya, mutant yang pernah bergabung jadi anggota X-Force bermacam-macam. Namun di filmnya nanti, selain Deadpool, ada kemungkinan X-Force juga akan digawangi Cable (Josh Brolin) dan Domino (Zazie Beetz) yang siap debut di Deadpool 2.

Untuk saat ini belum ada konfirmasi terkait jadwal syuting maupun tanggal rilis X-Force. Yang pasti, Fox akan meluncurkan tiga film mutant untuk 2018, yakni New Mutants (April), Deadpool 2 (Juni) dan X-Men: Dark Phoenix (November). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sekuel ‘It’ Resmi Dibuat

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Sekuel ‘It’ Resmi Dibuat
link : Sekuel ‘It’ Resmi Dibuat

Baca juga


Jelang perilisannya di Amerika Serikat pada akhir pekan ini, New Line akhirnya memberi lampu hijau untuk sekuel 'It'.

Jelang perilisannya di Amerika Serikat pada akhir pekan ini, New Line akhirnya memberi lampu hijau untuk sekuel It yang sebelumnya hanya menjadi sebatas rumor belaka. Keputusan studio membuat sekuel tentunya tak lepas dari respon positif kritikus untuk film pertama, juga proyeksi debut box office berkisar $50-$60 juta yang terhitung tinggi untuk ukuran film horror .

Pembuatan sekuel ini diberitakan oleh The Hollywood Reporter, dimana media tersebut juga mengabarkan sutradara Andy Muschietti dalam negosiasi untuk kembali membesut It 2. Andai Muschietti setuju untuk kembali, maka ia akan kembali berkolaborasi dengan para produser di film pertama seperti Barbara Muschietti, Roy Lee, Dan Lin, Seth Grahame-Smith dan David Katzenberg.

Diadaptasi dari novel karya Stephen King, It mengisahkan geng anak-anak bernama Losers Club yang menyelidiki kasus anak hilang di kota mereka. Keingintahuan Losers Club pun berujung mengancam nyawa mereka usai mengungkap pelaku di balik kasus ini adalah badut setan bernama Pennywise. Losers Club akhirnya harus berjuang menyelamatkan diri jika tak ingin meregang nyawa akibat teror mengerikan Pennywise. Jika sekuel It mengikuti jalan cerita novelnya, berarti film ini menyoroti pertemuan kedua Losers Club dan Pennywise selang 27 tahun pasca mereka pertama kali berhadapan.

Sementara itu, New Line kabarnya tak pernah ragu dalam merestui It 2. Hanya saja, studio menunggu momen tepat untuk berdiskusi dengan tim kreatif. Sayangnya, belum ada kepastian apakah cast cilik kembali tampil di It 2. Namun jika sekuel ini menyelipkan adegan flashback, ada potensi filmnya akan menghadirkan Losers Club versi cilik maupun versi dewasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Jelang perilisannya di Amerika Serikat pada akhir pekan ini, New Line akhirnya memberi lampu hijau untuk sekuel 'It'.

Jelang perilisannya di Amerika Serikat pada akhir pekan ini, New Line akhirnya memberi lampu hijau untuk sekuel It yang sebelumnya hanya menjadi sebatas rumor belaka. Keputusan studio membuat sekuel tentunya tak lepas dari respon positif kritikus untuk film pertama, juga proyeksi debut box office berkisar $50-$60 juta yang terhitung tinggi untuk ukuran film horror .

Pembuatan sekuel ini diberitakan oleh The Hollywood Reporter, dimana media tersebut juga mengabarkan sutradara Andy Muschietti dalam negosiasi untuk kembali membesut It 2. Andai Muschietti setuju untuk kembali, maka ia akan kembali berkolaborasi dengan para produser di film pertama seperti Barbara Muschietti, Roy Lee, Dan Lin, Seth Grahame-Smith dan David Katzenberg.

Diadaptasi dari novel karya Stephen King, It mengisahkan geng anak-anak bernama Losers Club yang menyelidiki kasus anak hilang di kota mereka. Keingintahuan Losers Club pun berujung mengancam nyawa mereka usai mengungkap pelaku di balik kasus ini adalah badut setan bernama Pennywise. Losers Club akhirnya harus berjuang menyelamatkan diri jika tak ingin meregang nyawa akibat teror mengerikan Pennywise. Jika sekuel It mengikuti jalan cerita novelnya, berarti film ini menyoroti pertemuan kedua Losers Club dan Pennywise selang 27 tahun pasca mereka pertama kali berhadapan.

Sementara itu, New Line kabarnya tak pernah ragu dalam merestui It 2. Hanya saja, studio menunggu momen tepat untuk berdiskusi dengan tim kreatif. Sayangnya, belum ada kepastian apakah cast cilik kembali tampil di It 2. Namun jika sekuel ini menyelipkan adegan flashback, ada potensi filmnya akan menghadirkan Losers Club versi cilik maupun versi dewasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Review Film: 'It' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Horor, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'It' (2017)
link : Review Film: 'It' (2017)

Baca juga


'It' adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol.

“You'll float, too.”
— Pennywise
Rating UP:
Badut setan pemakan anak-anak. Terdengar seperti premis yang menggelikan, dan ini yang membuat saya tak sepenuhnya tercekat dengan horor dalam It. It adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol. Pembuat filmnya pasti menyasar kata pertama, tetapi saya mendapati bahwa ia sering tersasar di kata kedua. Mungkin karena saya, di dunia nyata, lumayan suka dengan badut. Entahlah, horor itu subyektif. Beberapa teknik menakut-nakutinya menggunakan efek spesial yang kompeten, tapi terasa berlebihan di beberapa bagian.


Mungkin ini karena materi sumbernya? Saya tak bisa memastikannya, karena belum membaca novel tahun 1986 yang dikarang oleh penulis horor ternama, Stephen King. Namun saya sudah menonton adaptasi miniserinya yang dirilis di tahun 1990 dimana Tim Curry berperan sebagai Pennywise si Badut. Miniseri ini berdurasi hampir 4 jam dan jika menimbang pernyataan Wikipedia dimana penulis skripnya “harus mengabaikan banyak subplot karena durasi”, maka saya menyimpulkan bahwa novelnya pastilah padat dan tebal. Jadi masuk akal saat versi film yang ini hanya mengambil separuh cerita dari novel. Tak perlu khawatir kalau pemotongannya janggal, karena cerita di novelnya memang terdiri dari dua lingkup waktu yang berbeda.

Meski begitu, ini menjadi dilema. Bagian pertama yang kita tonton sekarang mengambil waktu saat para tokohnya masih anak-anak, sementara bagian kedua (di sekuel yang sudah direncanakan) menceritakan bagaimana anak-anak ini sudah dewasa dan “dipanggil kembali” oleh si Badut. Motivasi karakter baru lebih dari sekadar mengigit di bagian kedua, karena mereka harus berhadapan dengan trauma masa kecil. Hal ini membuat film yang ini tidak komplit. Ada sesuatu yang kurang yang mungkin juga akan anda rasakan saat credit title mulai bergulir.

Anak-anak yang harus menaklukkan badut setan adalah Klub Pecundang yang beranggotan si gagap Bill (Jaeden Lieberher), si cerewet berkacamata Richie (Finn Wolfhard), si takut kuman Eddie (Jack Dylan Grazer), dan si pendiam Stanley (Wyatt Oleff). Nantinya, anggota mereka akan bertambah dengan kedatangan si gendut cerdas Ben (Jeremy Ray Taylor), si cewek cantik yang digosipkan genit Beverly (Sophia Lillis), dan si anak berkulit hitam Mike (Chosen Jacobs). Jika anda mendapati perasaan familiar saat melihat anak-anak ini, mungkin karena anda sudah menyaksikan serial Stranger Things dari Netflix. Sekarang kita tahu mereka dapat inspirasi dari mana.

Untuk film ini, latar waktunya dirubah, dari yang aslinya di tahun 50-an diganti menjadi 80-an. Tak begitu berpengaruh sebenarnya, karena filmnya masih menangkap esensi dari materi aslinya. Rating “R/Dewasa” mengijinkan filmnya untuk menampilkan beberapa bagian yang tak berani diangkat oleh miniserinya. Akan ada banyak adegan relatif brutal dimana anak-anak yang menjadi objek atau beberapa kata-kata jorok yang dilemparkan oleh anak-anak. Ia juga menyentuh hal-hal subversif semacam pelecehan seksual dan KDRT. Namun anda pasti tahu bahwa ini adalah potret yang realistis. Anak-anak memang tak semanis kelihatannya dan orangtua tak semuanya selalu mengayomi. Bahkan, semua orang dewasa di film ini digambarkan sebagai semacam monster tersendiri. Bagi saya, horor dunia nyata yang harus dihadapi anak-anak prapubertas ini jauh lebih meyeramkan. Oleh karenanya, tolong jangan dulu bawa anak/adik anda menonton It. Mereka belum siap.

Film dibuka dengan hujan deras di kota kecil Derry. Bill ogah diajak oleh adiknya, Georgie untuk main perahu kertas di luar rumah. Georgie main sendirian, mengejar perahu kertas yang hanyut di aliran air di sepanjang jalan. Namun, perahunya masuk ke dalam selokan. Georgie bermaksud mengambilnya, sebelum tiba-tiba muncullah Pennywise si Badut dari dalam gorong-gorong. Ia merayu Georgie, dan kemudian kita akan disuguhkan sebuah pemandangan mengerikan yang tak kita sangka akan kita dapatkan dalam sebuah film yang dibintangi anak-anak. Georgie menjadi salah satu dari banyak anak-anak yang menghilang di kota Derry.

Beberapa bulan kemudian, Bill percaya bahwa adiknya tersebut masih hidup. Namun seluruh kota sudah melupakannya, tertutupi oleh kasus kehilangan berikutnya. Jadi bersama teman-temannya di Klub Pecundang, Bill menghabiskan liburan musim panasnya untuk menemukan Georgie. Tentu saja, teman-temannya juga tak ada yang percaya, tetapi, hei, itulah gunanya teman, kan?

Yang sangat menarik dari film ini adalah bagaimana ia mengambil waktu yang cukup banyak bagi kita untuk mengenal para anak-anak ini. Kita benar-benar dibuat percaya dengan persahabatan mereka. Mereka nongkrong bareng, main sepeda bareng, dan saat dalam bahaya, mereka khawatir satu sama lain dan kita juga mengkhawatirkan keselamatan mereka. Film ini didominasi oleh aktor cilik, dan anda penasaran melihat bagaimana proses castingnya. Para aktor cilik ini begitu pandai berakting, setiap karakternya yang unik terasa nyata dan dekat dengan kita.

Pennywise ternyata hanyalah salah satu wujud dari “dia”, makhluk supranatural yang bisa berubah bentuk sesuai dengan apa yang paling kita takuti. Ia memangsa ketakutan terdalam dari korbannya. Oleh karenanya, kita akan menyaksikan anak-anak ini diteror saat mereka sedang sendirian di gudang bawah tanah atau di kamar mandi, melihat sesuatu yang paling mereka takuti, entah itu hantu Georgie, wastafel berdarah, penderita lepra, dan badut setan, pastinya. Terornya random. Meski secara terpisah sekuens ini lumayan membuat ngeri, namun ia tak menyatu secara keseluruhan dalam kerangka naratif yang lebih besar. Klimaksnya tak terasa sebagai sebuah kulminasi dari semua teror di awal.

Mungkin ini karena “dia” itu sendiri yang tak terejawantahkan dengan mantap. Bill Skarsgard tampil sensasional sebagai sang badut setan, tapi ia tak diberi porsi yang pas. Pennywise hanya berakhir sebatas “teknik” menakuti, alih-alih entitas teror yang berwujud. Kengerian yang dibawa “dia”, semakin lama semakin berkurang, terlebih saat muncul dengan blak-blakan terlalu sering. Sutradaranya adalah Andy Muschietti yang pernah menghadirkan makhluk berkaki dan berlengan kurus panjang (entah apapun namanya) dalam film Mama. Muschietti memanfaatkan apa yang bisa dilakukan efek komputer masa kini. Ada adegan dimana Pennywise membuka mulut sedemikian lebar, menunjukkan ratusan gigi tajamnya yang dihadirkan lewat CGI. Ini menakutkan tapi juga komikal di saat bersamaan. Efek spesialnya over-the-top, membuat kita sangat menyadari bahwa kita sedang melihat efek spesial. Tak banyak orang yang takut dengan efek spesial.

It memang hanya adaptasi separuh dari novelnya, namun filmnya sendiri sudah berisi materi dari dua film. Yang pertama adalah mengenai anak-anak yang harus menghadapi permasalahan mereka di dunia nyata yang begitu menarik sampai saya mau nongkrong lagi di musim panas berikutnya bersama mereka. Untuk yang kedua, karena melibatkan badut setan, indikasinya adalah saya tak ingin berlama-lama “nongkrong” dengan setannya saking takutnya. Saya cuma akan bilang bahwa saya masih sanggup melihat Pennywise selama dua jam lagi. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It

135 menit
Dewasa
Andy Muschietti
Chase Palmer, Cary Fukunaga, Gary Dauberman (screenplay), Stephen King (novel)
Roy Lee, Dan Lin, Seth Grahame-Smith, David Katzenberg, Barbara Muschietti
Chung-hoon Chung
Benjamin Wallfisch

'It' adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol.

“You'll float, too.”
— Pennywise
Rating UP:
Badut setan pemakan anak-anak. Terdengar seperti premis yang menggelikan, dan ini yang membuat saya tak sepenuhnya tercekat dengan horor dalam It. It adalah film horor yang digarap dengan sangat baik sekali, namun ia berjalan di garis tipis antara brutal dan konyol. Pembuat filmnya pasti menyasar kata pertama, tetapi saya mendapati bahwa ia sering tersasar di kata kedua. Mungkin karena saya, di dunia nyata, lumayan suka dengan badut. Entahlah, horor itu subyektif. Beberapa teknik menakut-nakutinya menggunakan efek spesial yang kompeten, tapi terasa berlebihan di beberapa bagian.


Mungkin ini karena materi sumbernya? Saya tak bisa memastikannya, karena belum membaca novel tahun 1986 yang dikarang oleh penulis horor ternama, Stephen King. Namun saya sudah menonton adaptasi miniserinya yang dirilis di tahun 1990 dimana Tim Curry berperan sebagai Pennywise si Badut. Miniseri ini berdurasi hampir 4 jam dan jika menimbang pernyataan Wikipedia dimana penulis skripnya “harus mengabaikan banyak subplot karena durasi”, maka saya menyimpulkan bahwa novelnya pastilah padat dan tebal. Jadi masuk akal saat versi film yang ini hanya mengambil separuh cerita dari novel. Tak perlu khawatir kalau pemotongannya janggal, karena cerita di novelnya memang terdiri dari dua lingkup waktu yang berbeda.

Meski begitu, ini menjadi dilema. Bagian pertama yang kita tonton sekarang mengambil waktu saat para tokohnya masih anak-anak, sementara bagian kedua (di sekuel yang sudah direncanakan) menceritakan bagaimana anak-anak ini sudah dewasa dan “dipanggil kembali” oleh si Badut. Motivasi karakter baru lebih dari sekadar mengigit di bagian kedua, karena mereka harus berhadapan dengan trauma masa kecil. Hal ini membuat film yang ini tidak komplit. Ada sesuatu yang kurang yang mungkin juga akan anda rasakan saat credit title mulai bergulir.

Anak-anak yang harus menaklukkan badut setan adalah Klub Pecundang yang beranggotan si gagap Bill (Jaeden Lieberher), si cerewet berkacamata Richie (Finn Wolfhard), si takut kuman Eddie (Jack Dylan Grazer), dan si pendiam Stanley (Wyatt Oleff). Nantinya, anggota mereka akan bertambah dengan kedatangan si gendut cerdas Ben (Jeremy Ray Taylor), si cewek cantik yang digosipkan genit Beverly (Sophia Lillis), dan si anak berkulit hitam Mike (Chosen Jacobs). Jika anda mendapati perasaan familiar saat melihat anak-anak ini, mungkin karena anda sudah menyaksikan serial Stranger Things dari Netflix. Sekarang kita tahu mereka dapat inspirasi dari mana.

Untuk film ini, latar waktunya dirubah, dari yang aslinya di tahun 50-an diganti menjadi 80-an. Tak begitu berpengaruh sebenarnya, karena filmnya masih menangkap esensi dari materi aslinya. Rating “R/Dewasa” mengijinkan filmnya untuk menampilkan beberapa bagian yang tak berani diangkat oleh miniserinya. Akan ada banyak adegan relatif brutal dimana anak-anak yang menjadi objek atau beberapa kata-kata jorok yang dilemparkan oleh anak-anak. Ia juga menyentuh hal-hal subversif semacam pelecehan seksual dan KDRT. Namun anda pasti tahu bahwa ini adalah potret yang realistis. Anak-anak memang tak semanis kelihatannya dan orangtua tak semuanya selalu mengayomi. Bahkan, semua orang dewasa di film ini digambarkan sebagai semacam monster tersendiri. Bagi saya, horor dunia nyata yang harus dihadapi anak-anak prapubertas ini jauh lebih meyeramkan. Oleh karenanya, tolong jangan dulu bawa anak/adik anda menonton It. Mereka belum siap.

Film dibuka dengan hujan deras di kota kecil Derry. Bill ogah diajak oleh adiknya, Georgie untuk main perahu kertas di luar rumah. Georgie main sendirian, mengejar perahu kertas yang hanyut di aliran air di sepanjang jalan. Namun, perahunya masuk ke dalam selokan. Georgie bermaksud mengambilnya, sebelum tiba-tiba muncullah Pennywise si Badut dari dalam gorong-gorong. Ia merayu Georgie, dan kemudian kita akan disuguhkan sebuah pemandangan mengerikan yang tak kita sangka akan kita dapatkan dalam sebuah film yang dibintangi anak-anak. Georgie menjadi salah satu dari banyak anak-anak yang menghilang di kota Derry.

Beberapa bulan kemudian, Bill percaya bahwa adiknya tersebut masih hidup. Namun seluruh kota sudah melupakannya, tertutupi oleh kasus kehilangan berikutnya. Jadi bersama teman-temannya di Klub Pecundang, Bill menghabiskan liburan musim panasnya untuk menemukan Georgie. Tentu saja, teman-temannya juga tak ada yang percaya, tetapi, hei, itulah gunanya teman, kan?

Yang sangat menarik dari film ini adalah bagaimana ia mengambil waktu yang cukup banyak bagi kita untuk mengenal para anak-anak ini. Kita benar-benar dibuat percaya dengan persahabatan mereka. Mereka nongkrong bareng, main sepeda bareng, dan saat dalam bahaya, mereka khawatir satu sama lain dan kita juga mengkhawatirkan keselamatan mereka. Film ini didominasi oleh aktor cilik, dan anda penasaran melihat bagaimana proses castingnya. Para aktor cilik ini begitu pandai berakting, setiap karakternya yang unik terasa nyata dan dekat dengan kita.

Pennywise ternyata hanyalah salah satu wujud dari “dia”, makhluk supranatural yang bisa berubah bentuk sesuai dengan apa yang paling kita takuti. Ia memangsa ketakutan terdalam dari korbannya. Oleh karenanya, kita akan menyaksikan anak-anak ini diteror saat mereka sedang sendirian di gudang bawah tanah atau di kamar mandi, melihat sesuatu yang paling mereka takuti, entah itu hantu Georgie, wastafel berdarah, penderita lepra, dan badut setan, pastinya. Terornya random. Meski secara terpisah sekuens ini lumayan membuat ngeri, namun ia tak menyatu secara keseluruhan dalam kerangka naratif yang lebih besar. Klimaksnya tak terasa sebagai sebuah kulminasi dari semua teror di awal.

Mungkin ini karena “dia” itu sendiri yang tak terejawantahkan dengan mantap. Bill Skarsgard tampil sensasional sebagai sang badut setan, tapi ia tak diberi porsi yang pas. Pennywise hanya berakhir sebatas “teknik” menakuti, alih-alih entitas teror yang berwujud. Kengerian yang dibawa “dia”, semakin lama semakin berkurang, terlebih saat muncul dengan blak-blakan terlalu sering. Sutradaranya adalah Andy Muschietti yang pernah menghadirkan makhluk berkaki dan berlengan kurus panjang (entah apapun namanya) dalam film Mama. Muschietti memanfaatkan apa yang bisa dilakukan efek komputer masa kini. Ada adegan dimana Pennywise membuka mulut sedemikian lebar, menunjukkan ratusan gigi tajamnya yang dihadirkan lewat CGI. Ini menakutkan tapi juga komikal di saat bersamaan. Efek spesialnya over-the-top, membuat kita sangat menyadari bahwa kita sedang melihat efek spesial. Tak banyak orang yang takut dengan efek spesial.

It memang hanya adaptasi separuh dari novelnya, namun filmnya sendiri sudah berisi materi dari dua film. Yang pertama adalah mengenai anak-anak yang harus menghadapi permasalahan mereka di dunia nyata yang begitu menarik sampai saya mau nongkrong lagi di musim panas berikutnya bersama mereka. Untuk yang kedua, karena melibatkan badut setan, indikasinya adalah saya tak ingin berlama-lama “nongkrong” dengan setannya saking takutnya. Saya cuma akan bilang bahwa saya masih sanggup melihat Pennywise selama dua jam lagi. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It

135 menit
Dewasa
Andy Muschietti
Chase Palmer, Cary Fukunaga, Gary Dauberman (screenplay), Stephen King (novel)
Roy Lee, Dan Lin, Seth Grahame-Smith, David Katzenberg, Barbara Muschietti
Chung-hoon Chung
Benjamin Wallfisch

Wednesday, September 6, 2017

Sutradara ‘The Accountant’ akan Garap ‘Suicide Squad 2’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Sutradara ‘The Accountant’ akan Garap ‘Suicide Squad 2’
link : Sutradara ‘The Accountant’ akan Garap ‘Suicide Squad 2’

Baca juga


Pencarian Warner Bros. dalam menemukan sutradara baru 'Suicide Squad 2' telah selesai.

Pencarian Warner Bros. dalam menemukan sutradara baru Suicide Squad 2 telah selesai. Sebagaimana yang dilansir Deadline, sineas yang terpilih mendalangi sekuel film tim villain DC ini adalah Gavin O’Connor. Sebelumnya, ia sempat bekerja sama dengan WB dalam menyutradarai film action thriller The Accountant yang sukses di box office. Saat ini Gavin juga mengembangkan sekuel The Accountant yang kembali dibintangi Ben Affleck.

Suicide Squad 2 sendiri awalnya akan kembali disutradarai David Ayer. Namun rencana ini urung terlaksana lantaran Ayer mundur untuk fokus mengembangkan spin-off Suicide Squad yang bertajuk Gotham City Sirens. Sejak saat itulah pencarian WB untuk menemukan pengganti Ayer dimulai. Beberapa sutradara action handal yang sempat dilirik studio antara lain Mel Gibson (Hacksaw Ridge), Daniel Espinosa (Life) dan Jaume Collet-Serra (The Shallows). Nama terakhir sebenarnya menjadi calon kuat sutradara Suicide Squad 2, sebelum akhirnya Jaume memilih berlabuh di Jungle Cruise produksi Disney.

Gavin dikenal piawai menggabungkan emosi dan action gahar sebagaimana yang ia perlihatkan di Warrior, Pride and Glory, Miracle dan Tumbleweeds. Jika eksekusi Gavin di Suicide Squad 2 semantap film-filmnya terdahulu, maka sekuel ini berpeluang tampil jauh lebih baik dibanding pendahulunya.

Meski banyak dianggap sebagai film terburuk dari DC Extended Universe, Suicide Squad nyatanya jadi film yang sangat menguntungkan secara finansial bagi WB dengan pendapatan $745 juta. Berkat kesuksesan ini, studio tak ragu melampuhijaukan sekuel Suicide Squad sekaligus dua buah spin-off dalam bentuk Gotham City Sirens dan sebuah film tentang kisah cinta Joker dan Harley Quinn.

Kembali dibintangi Will Smith (Deadshot), Jared Leto (Joker) dan Margot Robbie (Harley Quinn), Suicide Squad 2 ditargetkan syuting pada 2018 dan kemungkinan akan dirilis 2019. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Pencarian Warner Bros. dalam menemukan sutradara baru 'Suicide Squad 2' telah selesai.

Pencarian Warner Bros. dalam menemukan sutradara baru Suicide Squad 2 telah selesai. Sebagaimana yang dilansir Deadline, sineas yang terpilih mendalangi sekuel film tim villain DC ini adalah Gavin O’Connor. Sebelumnya, ia sempat bekerja sama dengan WB dalam menyutradarai film action thriller The Accountant yang sukses di box office. Saat ini Gavin juga mengembangkan sekuel The Accountant yang kembali dibintangi Ben Affleck.

Suicide Squad 2 sendiri awalnya akan kembali disutradarai David Ayer. Namun rencana ini urung terlaksana lantaran Ayer mundur untuk fokus mengembangkan spin-off Suicide Squad yang bertajuk Gotham City Sirens. Sejak saat itulah pencarian WB untuk menemukan pengganti Ayer dimulai. Beberapa sutradara action handal yang sempat dilirik studio antara lain Mel Gibson (Hacksaw Ridge), Daniel Espinosa (Life) dan Jaume Collet-Serra (The Shallows). Nama terakhir sebenarnya menjadi calon kuat sutradara Suicide Squad 2, sebelum akhirnya Jaume memilih berlabuh di Jungle Cruise produksi Disney.

Gavin dikenal piawai menggabungkan emosi dan action gahar sebagaimana yang ia perlihatkan di Warrior, Pride and Glory, Miracle dan Tumbleweeds. Jika eksekusi Gavin di Suicide Squad 2 semantap film-filmnya terdahulu, maka sekuel ini berpeluang tampil jauh lebih baik dibanding pendahulunya.

Meski banyak dianggap sebagai film terburuk dari DC Extended Universe, Suicide Squad nyatanya jadi film yang sangat menguntungkan secara finansial bagi WB dengan pendapatan $745 juta. Berkat kesuksesan ini, studio tak ragu melampuhijaukan sekuel Suicide Squad sekaligus dua buah spin-off dalam bentuk Gotham City Sirens dan sebuah film tentang kisah cinta Joker dan Harley Quinn.

Kembali dibintangi Will Smith (Deadshot), Jared Leto (Joker) dan Margot Robbie (Harley Quinn), Suicide Squad 2 ditargetkan syuting pada 2018 dan kemungkinan akan dirilis 2019. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem