Wednesday, January 9, 2019

Box Office: 'Aquaman' Jadi Film DCEU Terlaris

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Box Office: 'Aquaman' Jadi Film DCEU Terlaris
link : Box Office: 'Aquaman' Jadi Film DCEU Terlaris

Baca juga


Memuncaki box office selama 3 minggu berturut-turut, 'Aquaman' sekarang menjadi film DCEU terlaris. Berikut rekap box office minggu ini.

Kita hampir bisa mendengar grasak-grusuk di kantor Warner Bros untuk segera membuat Aquaman 2 saat laporan box office minggu ini masuk. Betul sekali, film tentang pahlawan yang bisa berbicara dengan ikan sudah resmi menjadi film terlaris dalam DC Extended Universe.

Minggu ini, Aquaman telah meraup $940 juta dari seluruh dunia, mendongkel rekor yang diperoleh Batman v Superman ($873,6 juta). Angka tersebut diperoleh berkat tambahan $56,2 juta dari 79 negara.

Pertanyaannya sekarang bukan "apakah" Aquaman punya cukup kekuatan untuk menaklukkan dua film superhero DC terlaris sepanjang masa, The Dark Knight ($1 miliar) dan The Dark Knight Rises ($1,1 miliar), melainkan "kapan".

Meskipun demikian, Aquaman rupanya cuma tangguh di luar. Di kampung halamannya, ia masih merupakan film DCEU paling gak laku. Tambahan $31,0 juta minggu ini tetap saja cuma bisa menempatkannya di bawah Man of Steel ($291 juta) dengan $260,0 juta. Tapi bodoamat. Yang penting, laba total sudah hampir 1 miliar cuy.

Di musim liburan yang biasanya sepi ini, satu film nyelip dan tampil mengejutkan dengan merebut posisi runner-up. Film tersebut adalah horor-thriller Escape Room yang mendapat $18,2 juta. Semakin mengejutkan saat mendapati bahwa film ini dibuat hanya dengan bujet $9 juta saja. Artinya, debut di minggu pertamanya saja sudah dua kali lipat dari bujet produksi. Penonton memberikannya CinemaScore "B".

Setelah mengalami kenaikan minggu lalu, Mary Poppins Returns harus rela anjlok 44,1%. Ia berada di posisi tiga dengan $15,9 juta. Total pendapatannya di Amerika sejauh ini baru $138,8 juta. Sementara itu secara global, pendapatannya adalah $257,9 juta berkat tambahan $23 juta dari luar Amerika.

Bumblebee dan Spider-Man: Into the Spider-Verse bersaing ketat di posisi empat. Namun pemenangnya adalah Bumblebee dengan $13,2 juta. Film ini sudah mendapat $97,6 juta secara domestik dan $289,6 juta secara global (berkat tambahan $82,7 juta dari luar Amerika). Hasil masif tersebut sebagian besar disumbang dari debut di Cina sebesar $59,4 juta.

Sementara itu, Spider-Man: Into the Spider-Verse membayangi di bawahnya dengan $13,1 juta. Total pendapatan domestiknya adalah $134 juta. Sedangkan total pendapatan globalnya adalah $275,5 juta.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Weekend Box Office 4 Januari - 6 Januari 2019

1.

Aquaman
Minggu ini $31,003,280
Total $260,024,160

2.

Escape Room
Minggu ini $18,238,172
Total $18,238,172

3.

Mary Poppins Returns
Minggu ini $15,860,957
Total $138,817,262

4.

Bumblebee
Minggu ini $13,202,603
Total $97,555,743

5.

Spider-Man: Into the Spider-Verse
Minggu ini $13,126,885
Total $133,978,231
Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'Aquaman' Masih Perkasa di Puncak ■UP

Memuncaki box office selama 3 minggu berturut-turut, 'Aquaman' sekarang menjadi film DCEU terlaris. Berikut rekap box office minggu ini.

Kita hampir bisa mendengar grasak-grusuk di kantor Warner Bros untuk segera membuat Aquaman 2 saat laporan box office minggu ini masuk. Betul sekali, film tentang pahlawan yang bisa berbicara dengan ikan sudah resmi menjadi film terlaris dalam DC Extended Universe.

Minggu ini, Aquaman telah meraup $940 juta dari seluruh dunia, mendongkel rekor yang diperoleh Batman v Superman ($873,6 juta). Angka tersebut diperoleh berkat tambahan $56,2 juta dari 79 negara.

Pertanyaannya sekarang bukan "apakah" Aquaman punya cukup kekuatan untuk menaklukkan dua film superhero DC terlaris sepanjang masa, The Dark Knight ($1 miliar) dan The Dark Knight Rises ($1,1 miliar), melainkan "kapan".

Meskipun demikian, Aquaman rupanya cuma tangguh di luar. Di kampung halamannya, ia masih merupakan film DCEU paling gak laku. Tambahan $31,0 juta minggu ini tetap saja cuma bisa menempatkannya di bawah Man of Steel ($291 juta) dengan $260,0 juta. Tapi bodoamat. Yang penting, laba total sudah hampir 1 miliar cuy.

Di musim liburan yang biasanya sepi ini, satu film nyelip dan tampil mengejutkan dengan merebut posisi runner-up. Film tersebut adalah horor-thriller Escape Room yang mendapat $18,2 juta. Semakin mengejutkan saat mendapati bahwa film ini dibuat hanya dengan bujet $9 juta saja. Artinya, debut di minggu pertamanya saja sudah dua kali lipat dari bujet produksi. Penonton memberikannya CinemaScore "B".

Setelah mengalami kenaikan minggu lalu, Mary Poppins Returns harus rela anjlok 44,1%. Ia berada di posisi tiga dengan $15,9 juta. Total pendapatannya di Amerika sejauh ini baru $138,8 juta. Sementara itu secara global, pendapatannya adalah $257,9 juta berkat tambahan $23 juta dari luar Amerika.

Bumblebee dan Spider-Man: Into the Spider-Verse bersaing ketat di posisi empat. Namun pemenangnya adalah Bumblebee dengan $13,2 juta. Film ini sudah mendapat $97,6 juta secara domestik dan $289,6 juta secara global (berkat tambahan $82,7 juta dari luar Amerika). Hasil masif tersebut sebagian besar disumbang dari debut di Cina sebesar $59,4 juta.

Sementara itu, Spider-Man: Into the Spider-Verse membayangi di bawahnya dengan $13,1 juta. Total pendapatan domestiknya adalah $134 juta. Sedangkan total pendapatan globalnya adalah $275,5 juta.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Weekend Box Office 4 Januari - 6 Januari 2019

1.

Aquaman
Minggu ini $31,003,280
Total $260,024,160

2.

Escape Room
Minggu ini $18,238,172
Total $18,238,172

3.

Mary Poppins Returns
Minggu ini $15,860,957
Total $138,817,262

4.

Bumblebee
Minggu ini $13,202,603
Total $97,555,743

5.

Spider-Man: Into the Spider-Verse
Minggu ini $13,126,885
Total $133,978,231
Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'Aquaman' Masih Perkasa di Puncak ■UP

Monday, January 7, 2019

Daftar Nominasi dan Pemenang Golden Globe Awards 2019

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Award, Artikel Golden Globe, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Daftar Nominasi dan Pemenang Golden Globe Awards 2019
link : Daftar Nominasi dan Pemenang Golden Globe Awards 2019

Baca juga


'Bohemian Rhapsody' adalah film drama terbaik di Golden Globe 2019, sementara 'Green Book' menjadi film musikal/ komedi terbaik. Berikut daftar lengkap pemenang.

Malam penghargaan Golden Globe ke-76 menjadi malam yang menarik. Memulai awards season dengan penominasian yang boleh dibilang membuat sebagian orang berkerut kening, penghargaan ini berakhir dengan memberikan punchline yang tajam. Tapi yaah, namanya Golden Globe, tak mungkin kalau tanpa kejutan.

Dalam gala penganugerahan yang diselenggarakan kemarin (6/1) di The Beverly Hilton, California, Bohemian Rhapsody berhasil menjadi film terbaik untuk kategori Drama. Iyak betul, film biografi band legendaris Queen ini sukses mengalahkan Black Panther, BlacKkKlansman, If Beale Street Could Talk, dan (yang awalnya difavoritkan menang) A Star is Born. Aktor utamanya, Rami Malek yang memerankan Freddie Mercury, juga berhasil membawa pulang tropi aktor terbaik.

Golden Globe juga memberi momentum besar untuk Green Book. Film yang menjadi favorit penonton dalam Toronto International Film Festival 2018 ini berhasil menjadi film terbaik di kategori Musical or Comedy. Ia juga menjadi pemenang terbanyak dalam Golden Globe tahun ini dengan membawa pulang piala Best Supporting Actor untuk Mahershala Ali serta Best Screenplay.

Film terakhir yang mendapat lebih dari satu piala adalah Roma. Lewat film ini, Alfonso Cuarón menjadi sutradara terbaik, sekaligus menjadi pemenang di kategori film asing terbaik.

Kejutan terbesar datang dari kategori aktris drama terbaik. Kategori ini merupakan kategori dengan persaingan paling ketat, diisi dengan nama-nama solid seperti Nicole Kidman, Rosamund Pike, Melissa McCarthy, dan Lady Gaga. Namun yang keluar sebagai pemenang justru Glenn Close dari film The Wife.

Di kategori musikal/komedi, prediket aktor terbaik menjadi milik Christian Bale untuk film Vice. Sedangkan aktris terbaik, tentu saja, adalah Olivia Colman dari The Favourite. Siapa lagi coba.

Walau cenderung lebih populis, Golden Globe kerap disebut-sebut sebagai bayangan Oscar. Pemenang antara kedua penghargaan ini memang tak selalu senada. Tapi dengan popularitasnya, Golden Globe menyumbang momentum yang cukup signifikan bagi para pemenang dan nominee-nya untuk bersaing di Oscar.

Perbedaan paling mencolok antara Golden Globe dengan Oscar adalah Oscar tak punya kompetisi televisi. Tahun ini, The Americans (((akhirnya))) berhasil memenangkan Golden Globe pertama mereka secara dramatis; lha, ini season terakhir mereka soalnya. Sementara itu, The Kominsky Method membungkam jawara tahun lalu, The Marvelous Mrs Maisel di kategori musikal/komedi.

Di kategori Limited Series, HBO tak bisa mengulang kesuksesan mereka dengan Big Little Lies. Pasalnya, Sharp Objects rupanya sukses ditaklukkan oleh The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story.

Berikut daftar lengkap nominasi dan pemenang Golden Globe Awards ke-76. Pemenang ditandai dengan huruf tebal berwarna merah.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

FILM

Best Motion Picture – Drama

Black Panther
BlacKkKlansman
Bohemian Rhapsody
If Beale Street Could Talk
A Star Is Born


Best Motion Picture – Musical or Comedy

Crazy Rich Asians
The Favourite
Green Book
Mary Poppins Returns
Vice


Best Performance by an Actor in a Motion Picture – Drama

Bradley Cooper – A Star Is Born sebagai Jackson Maine
Willem Dafoe – At Eternity's Gate sebagai Vincent van Gogh
Lucas Hedges – Boy Erased sebagai Jared Eamons
Rami Malek – Bohemian Rhapsody sebagai Freddie Mercury
John David Washington – BlacKkKlansman sebagai Ron Stallworth


Best Performance by an Actress in a Motion Picture – Drama

Glenn Close – The Wife sebagai Joan Castleman
Lady Gaga – A Star Is Born sebagai Ally Maine
Nicole Kidman – Destroyer sebagai Erin Bell
Melissa McCarthy – Can You Ever Forgive Me? sebagai Lee Israel
Rosamund Pike – A Private War sebagai Marie Colvin


Best Performance by an Actor in a Motion Picture – Musical or Comedy

Christian Bale – Vice sebagai Dick Cheney
Lin-Manuel Miranda – Mary Poppins Returns sebagai Jack
Viggo Mortensen – Green Book sebagai Frank "Tony Lip" Vallelonga
Robert Redford – The Old Man & the Gun sebagai Forrest Tucker
John C. Reilly – Stan & Ollie sebagai Oliver Hardy


Best Performance by an Actor in a Motion Picture – Musical or Comedy

Emily Blunt – Mary Poppins Returns sebagai Mary Poppins
Olivia Colman – The Favourite sebagai Queen Anne
Elsie Fisher – Eighth Grade sebagai Kayla Day
Charlize Theron – Tully sebagai Marlo Moreau
Constance Wu – Crazy Rich Asians sebagai Rachel Chu


Best Supporting Performance by an Actor in a Motion Picture

Mahershala Ali – Green Book sebagai Don Shirley
Timothée Chalamet – Beautiful Boy sebagai Nic Sheff
Adam Driver – BlacKkKlansman sebagai Flip Zimmerman
Richard E. Grant – Can You Ever Forgive Me? sebagai Jack Hock
Sam Rockwell – Vice sebagai George W. Bush


Best Supporting Performance by an Actress in a Motion Picture

Amy Adams – Vice sebagai Lynne Cheney
Claire Foy – First Man sebagai Janet Shearon Armstrong
Regina King – If Beale Street Could Talk sebagai Sharon Rivers
Emma Stone – The Favourite sebagai Abigail Hill
Rachel Weisz – The Favourite sebagai Sarah Churchill


Best Director

Bradley Cooper – A Star Is Born
Alfonso Cuarón – Roma
Peter Farrelly – Green Book
Spike Lee – BlacKkKlansman
Adam McKay – Vice


Best Screenplay

Alfonso Cuarón – Roma
Brian Hayes Currie, Peter Farrelly, and Nick Vallelonga – Green Book
Deborah Davis and Tony McNamara – The Favourite
Barry Jenkins – If Beale Street Could Talk
Adam McKay – Vice


Best Original Score

Marco Beltrami – A Quiet Place
Alexandre Desplat – Isle of Dogs
Ludwig Göransson – Black Panther
Justin Hurwitz – First Man
Marc Shaiman – Mary Poppins Returns


Best Original Song

"All the Stars" (Kendrick Lamar, SZA, Sounwave, Al Shux) – Black Panther
"Girl in the Movies" (Dolly Parton) – Dumplin'
"Requiem for a Private War" (Annie Lennox) – A Private War
"Revelation" (Jónsi, Troye Sivan, Leland) – Boy Erased
"Shallow" (Lady Gaga, Mark Ronson, Anthony Rossomando, Andrew Wyatt) – A Star Is Born


Best Animated Feature Film

Incredibles 2
Isle of Dogs
Mirai
Ralph Breaks the Internet
Spider-Man: Into the Spider-Verse


Best Foreign Language Film

Capernaum (Libanon)
Girl (Belgia)
Never Look Away (Jerman)
Roma (Meksiko)
Shoplifters (Jepang


Film dengan Nominasi Jamak

6 – Vice
5 – The Favourite, Green Book, A Star Is Born
4 – BlacKkKlansman, Mary Poppins Returns
3 – Black Panther, If Beale Street Could Talk, Roma
2 – Bohemian Rhapsody, Boy Erased, Can You Ever Forgive Me?, Crazy Rich Asians, First Man, Isle of Dogs, A Private War


Film dengan Kemenangan Jamak

3 – Green Book
2 – Bohemian Rhapsody, Roma


TELEVISION

Best Television Series – Drama

The Americans
Bodyguard
Homecoming
Killing Eve
Pose


Best Television Series – Musical or Comedy

Barry
The Good Place
Kidding
The Kominsky Method
The Marvelous Mrs. Maisel


Best Performance by an Actor in a Television Series – Drama

Jason Bateman – Ozark sebagai Martin "Marty" Byrde
Stephan James – Homecoming sebagai Walter Cruz
Richard Madden – Bodyguard sebagai Sergeant David Budd
Billy Porter – Pose sebagai Pray Tell
Matthew Rhys – The Americans sebagai Philip Jennings


Best Performance by an Actress in a Television Series – Drama

Caitriona Balfe – Outlander sebagai Claire Fraser
Elisabeth Moss – The Handmaid's Tale sebagai June Osborne / Offred
Sandra Oh – Killing Eve sebagai Eve Polastri
Julia Roberts – Homecoming sebagai Heidi Bergman
Keri Russell – The Americans sebagai Elizabeth Jennings


Best Performance by an Actor in a Television Series – Musical or Comedy

Sacha Baron Cohen – Who Is America? sebagai banyak karakter
Jim Carrey – Kidding sebagai Jeff Piccirillo
Michael Douglas – The Kominsky Method sebagai Sandy Kominsky
Donald Glover – Atlanta sebagai Earnest "Earn" Marks / Teddy Perkins
Bill Hader – Barry sebagai Barry Berkman / Barry Block


Best Performance by an Actress in a Television Series – Musical or Comedy

Kristen Bell – The Good Place sebagai Eleanor Shellstrop
Candice Bergen – Murphy Brown sebagai Murphy Brown
Alison Brie – GLOW sebagai Ruth "Zoya the Destroya" Wilder
Rachel Brosnahan – The Marvelous Mrs. Maisel sebagai Miriam "Midge" Maisel
Debra Messing – Will & Grace sebagai Grace Adler


Best Performance by an Actor in a Miniseries or Television Film

Antonio Banderas – Genius: Picasso sebagai Pablo Picasso
Daniel Brühl – The Alienist sebagai Dr. Laszlo Kreizler
Darren Criss – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story sebagai Andrew Cunanan
Benedict Cumberbatch – Patrick Melrose sebagai Patrick Melrose
Hugh Grant – A Very English Scandal sebagai Jeremy Thorpe


Best Performance by an Actress in a Miniseries or Television Film

Amy Adams – Sharp Objects sebagai Camille Preaker
Patricia Arquette – Escape at Dannemora sebagai Tilly Mitchell
Connie Britton – Dirty John sebagai Debra Newell
Laura Dern – The Tale sebagai Jennifer Fox
Regina King – Seven Seconds sebagai Latrice Butler


Best Supporting Performance by an Actor in a Series, Miniseries or Television Film

Alan Arkin – The Kominsky Method sebagai Norman Newlander
Kieran Culkin – Succession sebagai Roman Roy
Édgar Ramírez – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story sebagai Gianni Versace
Ben Whishaw – A Very English Scandal sebagai Norman Josiffe
Henry Winkler – Barry sebagai Gene Cousineau


Best Supporting Performance by an Actress in a Series, Miniseries or Television Film

Alex Borstein – The Marvelous Mrs. Maisel sebagai Susie Myerson
Patricia Clarkson – Sharp Objects sebagai Adora Crellin
Penélope Cruz – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story sebagai Donatella Versace
Thandie Newton – Westworld sebagai Maeve Millay
Yvonne Strahovski – The Handmaid's Tale sebagai Serena Joy Waterford


Best Miniseries or Television Film

The Alienist
The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story
Escape at Dannemora
Sharp Objects
A Very English Scandal



Serial dengan Nominasi Jamak

4 – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story
3 – The Americans, Barry, Homecoming, The Kominsky Method, The Marvelous Mrs. Maisel, Sharp Objects, A Very English Scandal
2 – The Alienist, Bodyguard, Escape at Dannemora, The Good Place, The Handmaid's Tale, Kidding, Killing Eve, Pose


Serial TV dengan Kemenangan Jamak

2 – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story, The Kominsky Method


SPECIAL

Cecil B. DeMille Award

Jeff Bridges


Carol Burnett Award

Carol Burnett


Golden Globe Ambassador

Isan Elba


■UP
Pantau terus rekap Awards Season di UlasanPilem via kanal berikut

'Bohemian Rhapsody' adalah film drama terbaik di Golden Globe 2019, sementara 'Green Book' menjadi film musikal/ komedi terbaik. Berikut daftar lengkap pemenang.

Malam penghargaan Golden Globe ke-76 menjadi malam yang menarik. Memulai awards season dengan penominasian yang boleh dibilang membuat sebagian orang berkerut kening, penghargaan ini berakhir dengan memberikan punchline yang tajam. Tapi yaah, namanya Golden Globe, tak mungkin kalau tanpa kejutan.

Dalam gala penganugerahan yang diselenggarakan kemarin (6/1) di The Beverly Hilton, California, Bohemian Rhapsody berhasil menjadi film terbaik untuk kategori Drama. Iyak betul, film biografi band legendaris Queen ini sukses mengalahkan Black Panther, BlacKkKlansman, If Beale Street Could Talk, dan (yang awalnya difavoritkan menang) A Star is Born. Aktor utamanya, Rami Malek yang memerankan Freddie Mercury, juga berhasil membawa pulang tropi aktor terbaik.

Golden Globe juga memberi momentum besar untuk Green Book. Film yang menjadi favorit penonton dalam Toronto International Film Festival 2018 ini berhasil menjadi film terbaik di kategori Musical or Comedy. Ia juga menjadi pemenang terbanyak dalam Golden Globe tahun ini dengan membawa pulang piala Best Supporting Actor untuk Mahershala Ali serta Best Screenplay.

Film terakhir yang mendapat lebih dari satu piala adalah Roma. Lewat film ini, Alfonso Cuarón menjadi sutradara terbaik, sekaligus menjadi pemenang di kategori film asing terbaik.

Kejutan terbesar datang dari kategori aktris drama terbaik. Kategori ini merupakan kategori dengan persaingan paling ketat, diisi dengan nama-nama solid seperti Nicole Kidman, Rosamund Pike, Melissa McCarthy, dan Lady Gaga. Namun yang keluar sebagai pemenang justru Glenn Close dari film The Wife.

Di kategori musikal/komedi, prediket aktor terbaik menjadi milik Christian Bale untuk film Vice. Sedangkan aktris terbaik, tentu saja, adalah Olivia Colman dari The Favourite. Siapa lagi coba.

Walau cenderung lebih populis, Golden Globe kerap disebut-sebut sebagai bayangan Oscar. Pemenang antara kedua penghargaan ini memang tak selalu senada. Tapi dengan popularitasnya, Golden Globe menyumbang momentum yang cukup signifikan bagi para pemenang dan nominee-nya untuk bersaing di Oscar.

Perbedaan paling mencolok antara Golden Globe dengan Oscar adalah Oscar tak punya kompetisi televisi. Tahun ini, The Americans (((akhirnya))) berhasil memenangkan Golden Globe pertama mereka secara dramatis; lha, ini season terakhir mereka soalnya. Sementara itu, The Kominsky Method membungkam jawara tahun lalu, The Marvelous Mrs Maisel di kategori musikal/komedi.

Di kategori Limited Series, HBO tak bisa mengulang kesuksesan mereka dengan Big Little Lies. Pasalnya, Sharp Objects rupanya sukses ditaklukkan oleh The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story.

Berikut daftar lengkap nominasi dan pemenang Golden Globe Awards ke-76. Pemenang ditandai dengan huruf tebal berwarna merah.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

FILM

Best Motion Picture – Drama

Black Panther
BlacKkKlansman
Bohemian Rhapsody
If Beale Street Could Talk
A Star Is Born


Best Motion Picture – Musical or Comedy

Crazy Rich Asians
The Favourite
Green Book
Mary Poppins Returns
Vice


Best Performance by an Actor in a Motion Picture – Drama

Bradley Cooper – A Star Is Born sebagai Jackson Maine
Willem Dafoe – At Eternity's Gate sebagai Vincent van Gogh
Lucas Hedges – Boy Erased sebagai Jared Eamons
Rami Malek – Bohemian Rhapsody sebagai Freddie Mercury
John David Washington – BlacKkKlansman sebagai Ron Stallworth


Best Performance by an Actress in a Motion Picture – Drama

Glenn Close – The Wife sebagai Joan Castleman
Lady Gaga – A Star Is Born sebagai Ally Maine
Nicole Kidman – Destroyer sebagai Erin Bell
Melissa McCarthy – Can You Ever Forgive Me? sebagai Lee Israel
Rosamund Pike – A Private War sebagai Marie Colvin


Best Performance by an Actor in a Motion Picture – Musical or Comedy

Christian Bale – Vice sebagai Dick Cheney
Lin-Manuel Miranda – Mary Poppins Returns sebagai Jack
Viggo Mortensen – Green Book sebagai Frank "Tony Lip" Vallelonga
Robert Redford – The Old Man & the Gun sebagai Forrest Tucker
John C. Reilly – Stan & Ollie sebagai Oliver Hardy


Best Performance by an Actor in a Motion Picture – Musical or Comedy

Emily Blunt – Mary Poppins Returns sebagai Mary Poppins
Olivia Colman – The Favourite sebagai Queen Anne
Elsie Fisher – Eighth Grade sebagai Kayla Day
Charlize Theron – Tully sebagai Marlo Moreau
Constance Wu – Crazy Rich Asians sebagai Rachel Chu


Best Supporting Performance by an Actor in a Motion Picture

Mahershala Ali – Green Book sebagai Don Shirley
Timothée Chalamet – Beautiful Boy sebagai Nic Sheff
Adam Driver – BlacKkKlansman sebagai Flip Zimmerman
Richard E. Grant – Can You Ever Forgive Me? sebagai Jack Hock
Sam Rockwell – Vice sebagai George W. Bush


Best Supporting Performance by an Actress in a Motion Picture

Amy Adams – Vice sebagai Lynne Cheney
Claire Foy – First Man sebagai Janet Shearon Armstrong
Regina King – If Beale Street Could Talk sebagai Sharon Rivers
Emma Stone – The Favourite sebagai Abigail Hill
Rachel Weisz – The Favourite sebagai Sarah Churchill


Best Director

Bradley Cooper – A Star Is Born
Alfonso Cuarón – Roma
Peter Farrelly – Green Book
Spike Lee – BlacKkKlansman
Adam McKay – Vice


Best Screenplay

Alfonso Cuarón – Roma
Brian Hayes Currie, Peter Farrelly, and Nick Vallelonga – Green Book
Deborah Davis and Tony McNamara – The Favourite
Barry Jenkins – If Beale Street Could Talk
Adam McKay – Vice


Best Original Score

Marco Beltrami – A Quiet Place
Alexandre Desplat – Isle of Dogs
Ludwig Göransson – Black Panther
Justin Hurwitz – First Man
Marc Shaiman – Mary Poppins Returns


Best Original Song

"All the Stars" (Kendrick Lamar, SZA, Sounwave, Al Shux) – Black Panther
"Girl in the Movies" (Dolly Parton) – Dumplin'
"Requiem for a Private War" (Annie Lennox) – A Private War
"Revelation" (Jónsi, Troye Sivan, Leland) – Boy Erased
"Shallow" (Lady Gaga, Mark Ronson, Anthony Rossomando, Andrew Wyatt) – A Star Is Born


Best Animated Feature Film

Incredibles 2
Isle of Dogs
Mirai
Ralph Breaks the Internet
Spider-Man: Into the Spider-Verse


Best Foreign Language Film

Capernaum (Libanon)
Girl (Belgia)
Never Look Away (Jerman)
Roma (Meksiko)
Shoplifters (Jepang


Film dengan Nominasi Jamak

6 – Vice
5 – The Favourite, Green Book, A Star Is Born
4 – BlacKkKlansman, Mary Poppins Returns
3 – Black Panther, If Beale Street Could Talk, Roma
2 – Bohemian Rhapsody, Boy Erased, Can You Ever Forgive Me?, Crazy Rich Asians, First Man, Isle of Dogs, A Private War


Film dengan Kemenangan Jamak

3 – Green Book
2 – Bohemian Rhapsody, Roma


TELEVISION

Best Television Series – Drama

The Americans
Bodyguard
Homecoming
Killing Eve
Pose


Best Television Series – Musical or Comedy

Barry
The Good Place
Kidding
The Kominsky Method
The Marvelous Mrs. Maisel


Best Performance by an Actor in a Television Series – Drama

Jason Bateman – Ozark sebagai Martin "Marty" Byrde
Stephan James – Homecoming sebagai Walter Cruz
Richard Madden – Bodyguard sebagai Sergeant David Budd
Billy Porter – Pose sebagai Pray Tell
Matthew Rhys – The Americans sebagai Philip Jennings


Best Performance by an Actress in a Television Series – Drama

Caitriona Balfe – Outlander sebagai Claire Fraser
Elisabeth Moss – The Handmaid's Tale sebagai June Osborne / Offred
Sandra Oh – Killing Eve sebagai Eve Polastri
Julia Roberts – Homecoming sebagai Heidi Bergman
Keri Russell – The Americans sebagai Elizabeth Jennings


Best Performance by an Actor in a Television Series – Musical or Comedy

Sacha Baron Cohen – Who Is America? sebagai banyak karakter
Jim Carrey – Kidding sebagai Jeff Piccirillo
Michael Douglas – The Kominsky Method sebagai Sandy Kominsky
Donald Glover – Atlanta sebagai Earnest "Earn" Marks / Teddy Perkins
Bill Hader – Barry sebagai Barry Berkman / Barry Block


Best Performance by an Actress in a Television Series – Musical or Comedy

Kristen Bell – The Good Place sebagai Eleanor Shellstrop
Candice Bergen – Murphy Brown sebagai Murphy Brown
Alison Brie – GLOW sebagai Ruth "Zoya the Destroya" Wilder
Rachel Brosnahan – The Marvelous Mrs. Maisel sebagai Miriam "Midge" Maisel
Debra Messing – Will & Grace sebagai Grace Adler


Best Performance by an Actor in a Miniseries or Television Film

Antonio Banderas – Genius: Picasso sebagai Pablo Picasso
Daniel Brühl – The Alienist sebagai Dr. Laszlo Kreizler
Darren Criss – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story sebagai Andrew Cunanan
Benedict Cumberbatch – Patrick Melrose sebagai Patrick Melrose
Hugh Grant – A Very English Scandal sebagai Jeremy Thorpe


Best Performance by an Actress in a Miniseries or Television Film

Amy Adams – Sharp Objects sebagai Camille Preaker
Patricia Arquette – Escape at Dannemora sebagai Tilly Mitchell
Connie Britton – Dirty John sebagai Debra Newell
Laura Dern – The Tale sebagai Jennifer Fox
Regina King – Seven Seconds sebagai Latrice Butler


Best Supporting Performance by an Actor in a Series, Miniseries or Television Film

Alan Arkin – The Kominsky Method sebagai Norman Newlander
Kieran Culkin – Succession sebagai Roman Roy
Édgar Ramírez – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story sebagai Gianni Versace
Ben Whishaw – A Very English Scandal sebagai Norman Josiffe
Henry Winkler – Barry sebagai Gene Cousineau


Best Supporting Performance by an Actress in a Series, Miniseries or Television Film

Alex Borstein – The Marvelous Mrs. Maisel sebagai Susie Myerson
Patricia Clarkson – Sharp Objects sebagai Adora Crellin
Penélope Cruz – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story sebagai Donatella Versace
Thandie Newton – Westworld sebagai Maeve Millay
Yvonne Strahovski – The Handmaid's Tale sebagai Serena Joy Waterford


Best Miniseries or Television Film

The Alienist
The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story
Escape at Dannemora
Sharp Objects
A Very English Scandal



Serial dengan Nominasi Jamak

4 – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story
3 – The Americans, Barry, Homecoming, The Kominsky Method, The Marvelous Mrs. Maisel, Sharp Objects, A Very English Scandal
2 – The Alienist, Bodyguard, Escape at Dannemora, The Good Place, The Handmaid's Tale, Kidding, Killing Eve, Pose


Serial TV dengan Kemenangan Jamak

2 – The Assassination of Gianni Versace: American Crime Story, The Kominsky Method


SPECIAL

Cecil B. DeMille Award

Jeff Bridges


Carol Burnett Award

Carol Burnett


Golden Globe Ambassador

Isan Elba


■UP
Pantau terus rekap Awards Season di UlasanPilem via kanal berikut

Saturday, January 5, 2019

Review Film: 'Green Book' (2018)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Biografi, Artikel Drama, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Green Book' (2018)
link : Review Film: 'Green Book' (2018)

Baca juga


Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers

Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati.

“Being genius is not enough, it takes courage to change people's hearts.”
— Dr. Don Shirley
Rating UP:
Apakah menyajikan klise adalah dosa film? Belakangan ini rasanya saya sering komplain soal klise. Saya kira saya memberi kesan bahwa "klise" bersinonim dengan "membosankan". Tapi kemudian Green Book datang menghantam saya. Ini dia film yang saking klisenya, kita bisa menebak kemana ia mengarah hanya dengan membaca sinopsisnya saja. Kita bahkan bisa langsung menebak ending-nya. Namun familiaritas ini bekerja dengan gemilang. Salah satunya adalah berkat keberhasilannya menyentuh rasa kemanusiaan kita yang paling mendasar. Namun lebih dari itu, Green Book dengan ciamik menunaikan tugas film yang paling mendasar, yaitu untuk menghibur.


Film ini bercerita mengenai dua orang yang berbeda ras dan kelas sosial, yang karena satu dan lain hal, disatukan dalam satu situasi. Mereka punya kepribadian yang bertolak belakang. Kita tahu bahwa di satu titik mereka bakal berantem, lalu di lain waktu, akur kembali. Di titik lain, mereka mau tak mau harus menyelesaikan masalah bersama. Dan sebelum mereka menyadarinya, eeh ternyata mereka sudah tercerahkan; mendapati bahwa mereka ternyata tak begitu berbeda satu sama lain. Sama-sama manusia.

Iya, ini terdengar seperti plot dari semua film mengenai persahabatan antardua orang yang secara teori tak saling cocok. Saat anda tahu bahwa bonding keduanya terjadi via perjalanan di atas mobil Cadillac, dimana yang satu adalah sopir dan satunya adalah majikan, saya maklum kalau anda langsung teringat Driving Miss Daisy. Twist-nya, yang jadi sopir kali ini adalah kulit putih, sedangkan majikannya seorang kulit hitam. Dan yang lebih mengejutkan, ceritanya diangkat dari kisah nyata. Kalau jaman sekarang sih B aja yaa, tapi di tahun 60an, ini adalah fenomena gila.

Si sopir adalah Tony Vallelonga, diperankan oleh Viggo Mortensen sebagai klise orang Itali-Amerika yang terlihat seperti diambil langsung dari figuran film The Godfather atau Goodfellas. Ia bicara dengan logat ala mafia Itali yang khas. Ia suka omong besar, sampai mendapat julukan "Tony Lip". Ia doyan ngudud. Dan sebagaimana kebanyakan keluarga keturunan Itali, ia juga sangat mencintai istri (Linda Cardellini) dan anak-anaknya. Ia temperamen dan lebih suka menyelesaikan masalah dengan tinju. Kerjaannya adalah sebagai tukang pukul di sebuah klub malam.

Dikarenakan klubnya direnovasi, Tony terpaksa nganggur untuk sementara waktu. Tapi rekening listrik dan makan anak tak pernah nganggur. Untungnya, Tony mendapat tawaran untuk menjadi sopir bagi seorang dokter. Dokter yang dimaksud bukan dokter beneran sih, melainkan pianis terkemuka bernama Dr Don Shirley (Mahershala Ali). Masalahnya, Don adalah seorang kulit hitam, dan Tony tak begitu nyaman dengan itu—di awal film, Tony bahkan sampai membuang gelas yang dipakai minum oleh mekanik berkulit hitam. Tapi yaaah apa boleh buat, demi anak dan istri semua dijabanin selagi dealnya pas.

Don adalah apa yang boleh kita sebut sebagai #horangkayah. Pertama kali kita menjumpainya, Don duduk di atas singgasana sungguhan di dalam apartemen mewah yang tepat berada di atas Carnegie Hall. Ia adalah pianis kenamaan yang sudah dua kali tampil di hadapan Presiden. Ia berpendidikan tinggi, menguasai banyak bahasa, dan punya gaya hidup elit. Belum pernah seumur hidup dia makan KFC, takut tangan berminyak katanya. Don perlu Tony untuk menyopirinya selama dua bulan untuk manggung keliling di daerah Selatan, barangkali sekalian menjadi tukang pukul, sebab daerah Selatan saat itu dikenal sangat rasis. Judul film ini sendiri mereferensikan "Negro Motorist Green Book", buku panduan yang berisi daftar hotel, restoran, dll yang boleh dikunjungi oleh kulit hitam, yang tentu saja bakal dipakai Don nanti.

Film ini tak se-socially-aware film-film bertema rasisme sekarang. Faktanya, Green Book terasa seperti film lawas yang sangat konvensional dalam mengangkat isunya. Ia hanya memberikan kita perjalanan yang relatif mulus, sembari menyentil aspek yang lebih dalam, dan barangkali lebih kompleks, dengan dosis seadanya. Pokoknya, asal cukup untuk membuat kita tahu bahwa ia sedang menyuguhkan materi yang penting.

Mengunjungi daerah Selatan adalah hal yang berbahaya untuk dilakukan seorang kulit hitam, apalagi kulit hitam seflamboyan Don. Kadang Don harus menginap di hotel bobrok. Mau minum di bar, malah di-bully. Bahkan di satu lokasi konser, ia tak diperbolehkan memakai kamar mandi dalam. Tapi film ini segera kembali ke permukaan saat konfliknya menyentuh ranah yang lebih gelap. Ia menyederhanakan isu penting menjadi film dengan pesan moral yang selow.

Film ini digarap oleh Peter Farrelly, yang pernah memberikan kita komedi receh Dumb and Dumber bersama saudaranya, Bobby. Boleh jadi terjeoet anda terheran-heran bagaimana mungkin orang yang pernah memberikan kita "Suara Paling Annoying Sejagad" menghandel materi yang inspirasional seperti ini. Namun begitulah, dalam debut solo perdananya, Peter Farrelly sukses menyuguhkan film solid yang lucu dan sedikit manis, walau main aman.

Pesona utama film ini adalah menyaksikan culture clash antara Tony dan Don. Sembari melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, mereka saling sindir atau nyeletuk soal stereotipe masing-masing. Tapi ini juga membuat mereka lebih saling mengenal. Oleh karena, itu keberhasilan terbesar dari film berasal dari performa dan chemistry dua aktor utamanya. Bukan cuma penampilan fisik saja, dimana Mortensen menunjukkan kemampuan bunglonnya untuk bertransformasi menjadi pria keturunan Itali yang gempal atau Ali yang (((terlihat))) tampil meyakinkan bermain piano. Alih-alih, keduanya membuat karakternya lolos dari jebakan karikatur dengan memberikan nuance dan sentimentalitas. Karakterisasi mereka memang klise, tapi kita seolah merasakan mereka sebagai manusia sungguhan.

Pencerahan yang mereka dapatkan nyaris terasa subtil, sampai tak begitu kita sadari di titik mana sebetulnya mereka mulai berubah. Bagaimana film ini bekerja sama seperti bagaimana kita berteman dengan seseorang; entah kapan dan bagaimana, tahu-tahu sudah akrab saja. Green Book barangkali bukan film paling inspiratif tahun ini, tapi ia memberi kita sedikit harapan. Entah hitam atau putih, orang yang baik adalah orang yang baik. Film ini ibarat pukpuk lembut di punggung yang mengingatkan kita bahwa kita masih punya empati. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Green Book

130 menit
Remaja - BO
Peter Farrelly
Nick Vallelonga, Brian Currie, Peter Farrelly
Jim Burke, Charles B. Wessler, Brian Currie, Peter Farrelly, Nick Vallelonga
Sean Porter
Kris Bowers

Thursday, January 3, 2019

King Ghidorah vs Pesawat Raksasa di Foto Terbaru ‘Godzilla 2’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : King Ghidorah vs Pesawat Raksasa di Foto Terbaru ‘Godzilla 2’
link : King Ghidorah vs Pesawat Raksasa di Foto Terbaru ‘Godzilla 2’

Baca juga


Sutradara Michael Dougherty merilis foto baru ‘Godzilla: King of Monsters’, dimana King Ghidorah sedang berancang-ancang untuk menyerang pesawat militer raksasa.

Tak hanya menghadirkan pertarungan epik antara Godzilla, Mothra, Rodan dan King Ghidorah, Godzilla: King of Monsters rupanya juga menyoroti perjuangan manusia untuk menghentikan serangan destruktif monster. Hal ini coba dibuktikan sutradara Michael Dougherty dengan merilis foto lewat Twitter, dimana King Ghidorah sedang berancang-ancang untuk menyerang pesawat militer raksasa. Foto dengan visual keren ini pun juga memberikan salah satu penampakan King Ghidorah paling jelas sejauh ini, yang menunjukkan ukuran dan wajah King Ghidorah yang mengintimidasi, apalagi ditambah dengan penampakan semburan petir yang jadi jurus pamungkas sang monster.


Selain King Ghidorah, hal lain yang tak kalah menarik dari foto adalah pesawatnya yang terbang ke arah monster. Sayangnya, Dougherty tak membagikan detail terkait pesawat ini sehingga fans mulai berspekulasi. Ada kemungkinan pesawat mutakhir ini dirancang manusia untuk mengatasi ancaman monster yang hendak menghancurkan dunia. Selain itu, diduga kuat pesawat ini adalah versi terbaru dari Super X, yang pertama kali muncul di The Return of Godzilla (1984). Dalam film Jepang produksi Toho itu, Super X digunakan untuk membantu mengalahkan monster raksasa. Kini yang menjadi pertanyaan, apakah King Ghidorah akan mampu melibas di Super X di film mendatang, atau justru naga berkepala tiga ini yang harus mengakui keunggulan teknologi manusia?

Bersetting lima tahun pasca film pertama yang dirilis 2014, sekuel ini siap menghadirkan “battle royale” para monster, dimana Godzilla akan bertarung dalam duel dahsyat yang melibatkan Rodan, Mothra dan King Ghidorah. Kisahnya sendiri akan menyoroti aksi heroik Monarch seiring anggota mereka menghadapi keempat monster raksasa. Nasib umat manusia pun terancam kala semua monster ini muncul ke permukaan, dan bertarung habis-habisan demi menjadi yang terkuat. Adapun Dougherty juga mensinyalkan, Godzilla 2 akan beralur lebih cepat dari film pertama, dan yang paling penting, pertarungan monster di film ini akan disajikan secara all-out.

Diposisikan sebagai film ketiga dalam MonsterVerse, rencananya Godzilla: King of the Monsters akan dirilis 31 Mei 2019.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sutradara Michael Dougherty merilis foto baru ‘Godzilla: King of Monsters’, dimana King Ghidorah sedang berancang-ancang untuk menyerang pesawat militer raksasa.

Tak hanya menghadirkan pertarungan epik antara Godzilla, Mothra, Rodan dan King Ghidorah, Godzilla: King of Monsters rupanya juga menyoroti perjuangan manusia untuk menghentikan serangan destruktif monster. Hal ini coba dibuktikan sutradara Michael Dougherty dengan merilis foto lewat Twitter, dimana King Ghidorah sedang berancang-ancang untuk menyerang pesawat militer raksasa. Foto dengan visual keren ini pun juga memberikan salah satu penampakan King Ghidorah paling jelas sejauh ini, yang menunjukkan ukuran dan wajah King Ghidorah yang mengintimidasi, apalagi ditambah dengan penampakan semburan petir yang jadi jurus pamungkas sang monster.


Selain King Ghidorah, hal lain yang tak kalah menarik dari foto adalah pesawatnya yang terbang ke arah monster. Sayangnya, Dougherty tak membagikan detail terkait pesawat ini sehingga fans mulai berspekulasi. Ada kemungkinan pesawat mutakhir ini dirancang manusia untuk mengatasi ancaman monster yang hendak menghancurkan dunia. Selain itu, diduga kuat pesawat ini adalah versi terbaru dari Super X, yang pertama kali muncul di The Return of Godzilla (1984). Dalam film Jepang produksi Toho itu, Super X digunakan untuk membantu mengalahkan monster raksasa. Kini yang menjadi pertanyaan, apakah King Ghidorah akan mampu melibas di Super X di film mendatang, atau justru naga berkepala tiga ini yang harus mengakui keunggulan teknologi manusia?

Bersetting lima tahun pasca film pertama yang dirilis 2014, sekuel ini siap menghadirkan “battle royale” para monster, dimana Godzilla akan bertarung dalam duel dahsyat yang melibatkan Rodan, Mothra dan King Ghidorah. Kisahnya sendiri akan menyoroti aksi heroik Monarch seiring anggota mereka menghadapi keempat monster raksasa. Nasib umat manusia pun terancam kala semua monster ini muncul ke permukaan, dan bertarung habis-habisan demi menjadi yang terkuat. Adapun Dougherty juga mensinyalkan, Godzilla 2 akan beralur lebih cepat dari film pertama, dan yang paling penting, pertarungan monster di film ini akan disajikan secara all-out.

Diposisikan sebagai film ketiga dalam MonsterVerse, rencananya Godzilla: King of the Monsters akan dirilis 31 Mei 2019.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Review Film: 'Roma' (2018)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Roma' (2018)
link : Review Film: 'Roma' (2018)

Baca juga


Film ini lebih mudah saya apresiasi daripada saya cintai.

“I like being dead.”
— Cleo
Rating UP:
Menonton Roma, saya jadi sedih sampai rasanya ingin menangis. Film ini termasuk ke dalam jenis film yang membuat saya kasihan dengan diri sendiri. Film yang membuat saya gundah gulana. Film yang membuat saya merenung dalam. Film yang membuat saya berkontemplasi, bertafakur mengenai makna kehidupan dan hakikat eksistensi manusia di muka bumi. Pertanyaan tentang nasib dan takdir berseliweran di benak saya. Kenapa semua seperti ini? Kenapa tidak seperti itu? Apa memang begini takdir saya? Kenapa saya dilahirkan ke dunia? Apa salah ibu dan bapak saya? Rasanya saya ingin lari ke pantai, dan sembari menghadang deburan ombak, saya ingin berteriak:

"Bangcaaaaddd!!! Kok gue gak konek sama film iniiiii??!!!"

Zraaaaash!


Ini dia film yang mendapat pujian universal di kalangan pegiat film. Ratingnya nyaris sempurna. Di MetaCritic, skor akhir dari hasil rata-rata rating yang diberikan kritikus adalah "96%". Angka yang sama juga berlaku pada konsensus RottenTomatoes, meski mereka menggunakan sistem scoring yang berbeda. Dari semua review, hanya satu saja Top Critics yang memberikan Tomat Busuk. Rating akhir penonton di IMDb adalah "8,2", menempatkannya sebagai film terbaik ke-207 sepanjang masa. Sementara disini, saya malah menyadari hal yang lain. Mungkin sudah nasib saya jadi reviewer receh seumur hidup. Mungkin saya memang cuma pantas jadi sisa opak di kaleng Khong Guan-nya dunia pereviewan film. Barangkali saya sebaiknya memang kembali beternak ayam saja di kampung.

Zraaaaash!

Roma adalah film terbaru dari Alfonso Cuaron, sineas hebat yang merupakan sutradara Meksiko pertama yang pernah mendapat Oscar. Ia menyebut film ini sebagai filmnya yang "paling personal" sejauh ini. Mungkin personal buat Cuaron, tapi yang jelas, tak begitu buat saya. Kepiawaiannya menyutradarai terpampang dengan begitu jelas di layar, kita langsung tahu bahwa film ini pasti dibuat oleh orang yang sudah berbakat dari lahir atau barangkali sudah punya banyak pengalaman. Namun, saya tak merasakan dampak film ini sebagaimana yang (saya pikir) ia maksudkan.

Film ini merupakan film semiautobiografis dari Cuaron mengenai masa kecilnya pada tahun 70an di sebuah kota bernama Roma di Meksiko. Alih-alih berfokus pada kehidupan masa kecilnya, Cuaron memilih untuk menceritakan sisi yang belum diceritakan, mengenai orang penting yang kerap dilupakan. Ia memberi tribut kepada orang yang hampir seumur hidup tak bernama, tapi telah sangat berjasa membesarkannya.

Menarik juga menyaksikan film yang menempatkan elemen yang lebih riuh, dan biasanya lebih sinematis, di latar belakang, sementara elemen yang tidak dramatis menjadi bagian utama. Sedari awal Cuaron sudah mengisyaratkan ini lewat adegan pembuka yang simpel tapi punya impresi kuat. Kita melihat pesawat yang terbang di langit lewat pantulan genangan air di lantai. Lantai tersebut tergenang air karena sedang dipel.

Yang mengepelnya adalah Cleo (Yalitza Aparicio), satu dari dua pembantu yang bekerja bagi sebuah keluarga kelas menengah yang terdiri dari ibu Sofia (Arina de Tavira), bapak (Fernando Grediaga), dan empat anak yang masih kecil-kecil. Bersama temannya, Adela (Nancy Garcia), Cleo dengan rajin dan tanpa lelah mengurus rumah tangga, mulai dari mencuci, memasak, merawat anak-anak, sampai membersihkan lantai dari kotoran anjing yang seperti tak pernah habis-habis.

Mereka adalah pembantu yang ideal; patuh dan sangat mencintai keluarga majikan. Dan untungnya, mereka juga mendapat majikan yang lumayan pengertian. Bukan berarti keluarga ini juga ideal. Si ibu kayaknya selalu sibuk dan lalai mengurus anak, barangkali karena sedang gundah gulana mikirin suami yang punga seribu satu alasan agar bisa lama-lama tak pulang ke rumah.

Drama tersebut berada di latar belakang, sebagaimana banyak drama besar yang bakal terjadi nanti. Kita cuma diajak untuk mengamati kehidupan Cleo. Yah, sebetulnya Cleo juga punya drama sendiri sih. Lewat Adela, ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Fermin (Jorge Antonio Guerrero). Sebagaimana diperagakannya sebelum bercinta, Fermin mahir beladiri. Fermin juga mahir melarikan diri saat Cleo memberitahu bahwa ia hamil.

Semua ini dituturkan tanpa melodrama menye-menye. Anda boleh jadi merasa tak banyak hal yang terjadi selama film berlangsung, karena Cuaron benar-benar back to basic. Untuk film ini, ia tak menggunakan score, alih-alih sound design yang tajam. Ia lebih memilih untuk memakai nama-nama yang relatif tak dikenal sebagai pemain. Kecuali pemeran si ibu, semua aktornya tak pernah bermain di layar kaca sebelumnya.

Gambarnya, yang disorot sendiri oleh Cuaron, menggunakan format hitam-putih. Kualitas sinematografinya mantap. Ada beberapa adegan hitam-putih yang sangat cantik yang meyakinkan kita berkali-kali bahwa ini adalah film yang sangat nyeni, yang dibuat oleh sutradara yang paham betul soal pengambilan gambar. Film ini juga banyak memakai sorotan panjang, seringkali secara berkeliling, dengan presisi yang terukur yang menangkap geografi dengan efektif. Menjelang film berakhir, kita merasa kita mengenal betul setiap sudut dari rumah yang diurus Cleo.

Sekilas Roma terkesan tak seheboh film Cuaron yang sudah-sudah. Namun di belakang kisah Cleo, ada latar dengan skala yang epik: kisruh politik, persoalan marital, krisis ekonomi, hingga kesenjangan sosial. Semua ini bergerak sengan senyap di belakang Cleo. Kita melihatnya sekilas di layar, lalu menghilang dalam sekejap, untuk kemudian kita diseret kembali lagi ke kehidupan Cleo. Ada dua adegan paling mengesankan. Yang pertama adalah adegan dimana ketuban Cleo pecah ketika terjadi kerusuhan di jalanan yang berakhir menjadi apa yang dikenal sebagai Tragedi Berdarah Corpus Cristi. Ada begitu banyak elemen yang bergerak secara bersamaan yang dibangun dengan detail yang luar biasa oleh Cuaron. Meski begitu, ia tak tergoda untuk memamerkannya dengan kentara.

Kemudian, adegan klimaks dimana Cleo mati-matian melawan ombak demi memperjuangkan sesuatu yang ia sadar sangat ia cintai. Ini merupakan pengejawantahan dramatis dari pengorbanan yang tulus tanpa balas jasa. Adegan ini sangat nampol, bahkan meski kita tak tahu konteksnya. Begitulah briliannya Cuaron. Namun, di lain sisi ini juga cukup disayangkan. Bagian ini seharusnya nampol bukan karena itu saja, melainkan juga karena efek dari pembangunan cerita. Ini seharunya merupakan kulminasi dari apa yang datang sebelumnya. Namun saya tak mendapatkan gregetnya dari sana.

Alfonso Cuaron sebelumnya pernah membuat film kecil yang intim lewat A Little Princess dan Y Tu Mama Tambien. Ia kemudian dengan sukses menaklukkan blockbuster dengan Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Children of Men, dan Gravity. Untuk semua itu, ia masih menjadi sutradara yang saya puja. Saya tahu atmosfer dan narasi yang lempeng memang disengaja untuk film ini. Roma digarap dengan sangat terampil, tapi saya kesulitan untuk larut di dalamnya. Saya merasa jauh dengan Cleo. Film ini lebih mudah saya apresiasi daripada saya cintai. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Roma

135 menit
Dewasa
Alfonso Cuarón
Alfonso Cuarón
Alfonso Cuarón, Gabriela Rodriguez, Nicolas Celis
Alfonso Cuarón

Film ini lebih mudah saya apresiasi daripada saya cintai.

“I like being dead.”
— Cleo
Rating UP:
Menonton Roma, saya jadi sedih sampai rasanya ingin menangis. Film ini termasuk ke dalam jenis film yang membuat saya kasihan dengan diri sendiri. Film yang membuat saya gundah gulana. Film yang membuat saya merenung dalam. Film yang membuat saya berkontemplasi, bertafakur mengenai makna kehidupan dan hakikat eksistensi manusia di muka bumi. Pertanyaan tentang nasib dan takdir berseliweran di benak saya. Kenapa semua seperti ini? Kenapa tidak seperti itu? Apa memang begini takdir saya? Kenapa saya dilahirkan ke dunia? Apa salah ibu dan bapak saya? Rasanya saya ingin lari ke pantai, dan sembari menghadang deburan ombak, saya ingin berteriak:

"Bangcaaaaddd!!! Kok gue gak konek sama film iniiiii??!!!"

Zraaaaash!


Ini dia film yang mendapat pujian universal di kalangan pegiat film. Ratingnya nyaris sempurna. Di MetaCritic, skor akhir dari hasil rata-rata rating yang diberikan kritikus adalah "96%". Angka yang sama juga berlaku pada konsensus RottenTomatoes, meski mereka menggunakan sistem scoring yang berbeda. Dari semua review, hanya satu saja Top Critics yang memberikan Tomat Busuk. Rating akhir penonton di IMDb adalah "8,2", menempatkannya sebagai film terbaik ke-207 sepanjang masa. Sementara disini, saya malah menyadari hal yang lain. Mungkin sudah nasib saya jadi reviewer receh seumur hidup. Mungkin saya memang cuma pantas jadi sisa opak di kaleng Khong Guan-nya dunia pereviewan film. Barangkali saya sebaiknya memang kembali beternak ayam saja di kampung.

Zraaaaash!

Roma adalah film terbaru dari Alfonso Cuaron, sineas hebat yang merupakan sutradara Meksiko pertama yang pernah mendapat Oscar. Ia menyebut film ini sebagai filmnya yang "paling personal" sejauh ini. Mungkin personal buat Cuaron, tapi yang jelas, tak begitu buat saya. Kepiawaiannya menyutradarai terpampang dengan begitu jelas di layar, kita langsung tahu bahwa film ini pasti dibuat oleh orang yang sudah berbakat dari lahir atau barangkali sudah punya banyak pengalaman. Namun, saya tak merasakan dampak film ini sebagaimana yang (saya pikir) ia maksudkan.

Film ini merupakan film semiautobiografis dari Cuaron mengenai masa kecilnya pada tahun 70an di sebuah kota bernama Roma di Meksiko. Alih-alih berfokus pada kehidupan masa kecilnya, Cuaron memilih untuk menceritakan sisi yang belum diceritakan, mengenai orang penting yang kerap dilupakan. Ia memberi tribut kepada orang yang hampir seumur hidup tak bernama, tapi telah sangat berjasa membesarkannya.

Menarik juga menyaksikan film yang menempatkan elemen yang lebih riuh, dan biasanya lebih sinematis, di latar belakang, sementara elemen yang tidak dramatis menjadi bagian utama. Sedari awal Cuaron sudah mengisyaratkan ini lewat adegan pembuka yang simpel tapi punya impresi kuat. Kita melihat pesawat yang terbang di langit lewat pantulan genangan air di lantai. Lantai tersebut tergenang air karena sedang dipel.

Yang mengepelnya adalah Cleo (Yalitza Aparicio), satu dari dua pembantu yang bekerja bagi sebuah keluarga kelas menengah yang terdiri dari ibu Sofia (Arina de Tavira), bapak (Fernando Grediaga), dan empat anak yang masih kecil-kecil. Bersama temannya, Adela (Nancy Garcia), Cleo dengan rajin dan tanpa lelah mengurus rumah tangga, mulai dari mencuci, memasak, merawat anak-anak, sampai membersihkan lantai dari kotoran anjing yang seperti tak pernah habis-habis.

Mereka adalah pembantu yang ideal; patuh dan sangat mencintai keluarga majikan. Dan untungnya, mereka juga mendapat majikan yang lumayan pengertian. Bukan berarti keluarga ini juga ideal. Si ibu kayaknya selalu sibuk dan lalai mengurus anak, barangkali karena sedang gundah gulana mikirin suami yang punga seribu satu alasan agar bisa lama-lama tak pulang ke rumah.

Drama tersebut berada di latar belakang, sebagaimana banyak drama besar yang bakal terjadi nanti. Kita cuma diajak untuk mengamati kehidupan Cleo. Yah, sebetulnya Cleo juga punya drama sendiri sih. Lewat Adela, ia berkenalan dengan seorang pemuda bernama Fermin (Jorge Antonio Guerrero). Sebagaimana diperagakannya sebelum bercinta, Fermin mahir beladiri. Fermin juga mahir melarikan diri saat Cleo memberitahu bahwa ia hamil.

Semua ini dituturkan tanpa melodrama menye-menye. Anda boleh jadi merasa tak banyak hal yang terjadi selama film berlangsung, karena Cuaron benar-benar back to basic. Untuk film ini, ia tak menggunakan score, alih-alih sound design yang tajam. Ia lebih memilih untuk memakai nama-nama yang relatif tak dikenal sebagai pemain. Kecuali pemeran si ibu, semua aktornya tak pernah bermain di layar kaca sebelumnya.

Gambarnya, yang disorot sendiri oleh Cuaron, menggunakan format hitam-putih. Kualitas sinematografinya mantap. Ada beberapa adegan hitam-putih yang sangat cantik yang meyakinkan kita berkali-kali bahwa ini adalah film yang sangat nyeni, yang dibuat oleh sutradara yang paham betul soal pengambilan gambar. Film ini juga banyak memakai sorotan panjang, seringkali secara berkeliling, dengan presisi yang terukur yang menangkap geografi dengan efektif. Menjelang film berakhir, kita merasa kita mengenal betul setiap sudut dari rumah yang diurus Cleo.

Sekilas Roma terkesan tak seheboh film Cuaron yang sudah-sudah. Namun di belakang kisah Cleo, ada latar dengan skala yang epik: kisruh politik, persoalan marital, krisis ekonomi, hingga kesenjangan sosial. Semua ini bergerak sengan senyap di belakang Cleo. Kita melihatnya sekilas di layar, lalu menghilang dalam sekejap, untuk kemudian kita diseret kembali lagi ke kehidupan Cleo. Ada dua adegan paling mengesankan. Yang pertama adalah adegan dimana ketuban Cleo pecah ketika terjadi kerusuhan di jalanan yang berakhir menjadi apa yang dikenal sebagai Tragedi Berdarah Corpus Cristi. Ada begitu banyak elemen yang bergerak secara bersamaan yang dibangun dengan detail yang luar biasa oleh Cuaron. Meski begitu, ia tak tergoda untuk memamerkannya dengan kentara.

Kemudian, adegan klimaks dimana Cleo mati-matian melawan ombak demi memperjuangkan sesuatu yang ia sadar sangat ia cintai. Ini merupakan pengejawantahan dramatis dari pengorbanan yang tulus tanpa balas jasa. Adegan ini sangat nampol, bahkan meski kita tak tahu konteksnya. Begitulah briliannya Cuaron. Namun, di lain sisi ini juga cukup disayangkan. Bagian ini seharusnya nampol bukan karena itu saja, melainkan juga karena efek dari pembangunan cerita. Ini seharunya merupakan kulminasi dari apa yang datang sebelumnya. Namun saya tak mendapatkan gregetnya dari sana.

Alfonso Cuaron sebelumnya pernah membuat film kecil yang intim lewat A Little Princess dan Y Tu Mama Tambien. Ia kemudian dengan sukses menaklukkan blockbuster dengan Harry Potter and the Prisoner of Azkaban, Children of Men, dan Gravity. Untuk semua itu, ia masih menjadi sutradara yang saya puja. Saya tahu atmosfer dan narasi yang lempeng memang disengaja untuk film ini. Roma digarap dengan sangat terampil, tapi saya kesulitan untuk larut di dalamnya. Saya merasa jauh dengan Cleo. Film ini lebih mudah saya apresiasi daripada saya cintai. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Roma

135 menit
Dewasa
Alfonso Cuarón
Alfonso Cuarón
Alfonso Cuarón, Gabriela Rodriguez, Nicolas Celis
Alfonso Cuarón

Wednesday, January 2, 2019

Spider-Man Versi Jepang Berpotensi Muncul di Sekuel ‘Into the Spider-Verse’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Spider-Man Versi Jepang Berpotensi Muncul di Sekuel ‘Into the Spider-Verse’
link : Spider-Man Versi Jepang Berpotensi Muncul di Sekuel ‘Into the Spider-Verse’

Baca juga


Di tengah perilisan ‘Spider-Man: Into the Spider-Verse’ yang hingga kini masih tayang di bioskop, Phil Lord membuat pernyataan yang menarik perhatian fans tokusatsu.

Seolah menjadi oase dalam franchise Spider-Man, Spider-Man: Into the Spider-Verse diakui sebagai film Spidey yang tampil beda, dan memberikan sensasi yang tak pernah kita rasakan sebelumnya dalam menonton aksi sang manusia laba-laba. Kualitas jempolan Into the Spider-Verse tentunya tak lepas dari ide kreatif Phil Lord dan Chris Miller yang dengan lihai mengkombinasikan visual unik dan cerita berkesan. Di tengah perilisan Into the Spider-Verse yang hingga kini masih tayang di bioskop, Lord pun membuat pernyataan yang menarik perhatian fans tokusatsu.

Saat menanggapi permintaan netizen di Twitter, Lord memberi sinyal kuat bahwa ia akan menghadirkan Spider-Man versi Jepang di sekuel Into the Spider-Verse. Namun kemunculan “Supaidaman” diakui Miller punya satu syarat, yakni pendapatan domestik Into the Spider-Verse harus menembus $200 juta. Sedangkan menurut update terakhir, di minggu keduanya Into the Spider-Verse telah mendulang $104 juta di Amerika. Melihat banyaknya reaksi bernada positif di media sosial, jumlah penonton Into the Spider-Verse diprediksi bisa terus bertambah, sehingga peluang filmnya untuk memenuhi target Miller masih terbuka lebar. Di luar itu, pendapatan global Into the Spider-Verse sudah mencapai $213.7 juta.

Bicara soal Spider-Man Jepang, ia dketahui punya identitas dan asal-usul yang berbeda dari versi Marvel. Bernama asli Takuya Yamashiro yang seorang pembalap motor, kekuatan super Spider-Man ini berasal dari ksatria terakhir Planet Spider, Garia, yang menyuntikkan sebagian darahnya ke tubuh Takuya. Uniknya, Spider-Man yang satu ini juga punya robot raksasa bernama Leopardon yang ia gunakan untuk melawan monster. Kisah Spider-Man Jepang dalam membasmi kejahatan ini hadir dalam bentuk serial produksi Toei Company, yang terdiri dari 41 episode dan tayang mulai Mei 1978 hingga Maret 1979.

Sementara itu, Into the Spider-Verse menyoroti aksi gabungan para Spider-Man dari beragam iterasi, mulai dari Spider-Man Peter Parker, Spider-Man Miles Morales, Spider-Gwen, Spider-Noir, Spider-Ham hingga SP//dr. Mendekati perilisan filmnya, Sony dikabarkan mulai mengembangkan sekuelnya, dimana Morales diplot sebagai karakter sentral. Tak hanya sekuel, studio juga menggodok spin-off yang akan menampilkan para heroine dari semesta Spider-Man, dan diyakini akan mengusung Spider-Gwen sebagai karakter utama. Beberapa heroine yang berpeluang mendampingi Spider-Gwen antara lain Spider-Woman, Madame Web, Spider-Girl dan Silk. Belum ada kabar lebih lanjut soal kapan sekuel dan spin-off Into the Spider-Verse akan diproduksi.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Di tengah perilisan ‘Spider-Man: Into the Spider-Verse’ yang hingga kini masih tayang di bioskop, Phil Lord membuat pernyataan yang menarik perhatian fans tokusatsu.

Seolah menjadi oase dalam franchise Spider-Man, Spider-Man: Into the Spider-Verse diakui sebagai film Spidey yang tampil beda, dan memberikan sensasi yang tak pernah kita rasakan sebelumnya dalam menonton aksi sang manusia laba-laba. Kualitas jempolan Into the Spider-Verse tentunya tak lepas dari ide kreatif Phil Lord dan Chris Miller yang dengan lihai mengkombinasikan visual unik dan cerita berkesan. Di tengah perilisan Into the Spider-Verse yang hingga kini masih tayang di bioskop, Lord pun membuat pernyataan yang menarik perhatian fans tokusatsu.

Saat menanggapi permintaan netizen di Twitter, Lord memberi sinyal kuat bahwa ia akan menghadirkan Spider-Man versi Jepang di sekuel Into the Spider-Verse. Namun kemunculan “Supaidaman” diakui Miller punya satu syarat, yakni pendapatan domestik Into the Spider-Verse harus menembus $200 juta. Sedangkan menurut update terakhir, di minggu keduanya Into the Spider-Verse telah mendulang $104 juta di Amerika. Melihat banyaknya reaksi bernada positif di media sosial, jumlah penonton Into the Spider-Verse diprediksi bisa terus bertambah, sehingga peluang filmnya untuk memenuhi target Miller masih terbuka lebar. Di luar itu, pendapatan global Into the Spider-Verse sudah mencapai $213.7 juta.

Bicara soal Spider-Man Jepang, ia dketahui punya identitas dan asal-usul yang berbeda dari versi Marvel. Bernama asli Takuya Yamashiro yang seorang pembalap motor, kekuatan super Spider-Man ini berasal dari ksatria terakhir Planet Spider, Garia, yang menyuntikkan sebagian darahnya ke tubuh Takuya. Uniknya, Spider-Man yang satu ini juga punya robot raksasa bernama Leopardon yang ia gunakan untuk melawan monster. Kisah Spider-Man Jepang dalam membasmi kejahatan ini hadir dalam bentuk serial produksi Toei Company, yang terdiri dari 41 episode dan tayang mulai Mei 1978 hingga Maret 1979.

Sementara itu, Into the Spider-Verse menyoroti aksi gabungan para Spider-Man dari beragam iterasi, mulai dari Spider-Man Peter Parker, Spider-Man Miles Morales, Spider-Gwen, Spider-Noir, Spider-Ham hingga SP//dr. Mendekati perilisan filmnya, Sony dikabarkan mulai mengembangkan sekuelnya, dimana Morales diplot sebagai karakter sentral. Tak hanya sekuel, studio juga menggodok spin-off yang akan menampilkan para heroine dari semesta Spider-Man, dan diyakini akan mengusung Spider-Gwen sebagai karakter utama. Beberapa heroine yang berpeluang mendampingi Spider-Gwen antara lain Spider-Woman, Madame Web, Spider-Girl dan Silk. Belum ada kabar lebih lanjut soal kapan sekuel dan spin-off Into the Spider-Verse akan diproduksi.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Action Figure ‘Captain Marvel’ Diduga Ungkap Peran Rahasia Jude Law

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Action Figure ‘Captain Marvel’ Diduga Ungkap Peran Rahasia Jude Law
link : Action Figure ‘Captain Marvel’ Diduga Ungkap Peran Rahasia Jude Law

Baca juga


Karakter rahasia Jude Law di ‘Captain Marvel‘ kemungkinan besar telah diungkap koleksi action figure ‘Captain Marvel Marvel Legends'.

Jelang perilisan Captain Marvel yang tinggal beberapa minggu lagi, ada satu hal dari filmnya yang belakangan kerap diperbincangkan fans. Hal tersebut tak lain adalah identitas karakter yang diperankan Jude Law yang disinyalir menyimpan twist sendiri, dan sengaja dirahasiakan Marvel untuk membuat Captain Marvel semakin menarik dinanti.

Sebagai informasi, saat keterlibatan Law di Captain Marvel pertama kali diketahui media, ia disebut memerankan Mar-Vell. Tak lama kemudian, Marvel Studios menyatakan Mar-Vell adalah mentor Carol Danvers/Captain Marvel (Brie Larson), juga komandan pasukan elit luar angkasa bernama Starforce. Identitas karakter Law pun mulai mengundang rasa bingung sekaligus curiga, tatkala foto promosi Captain Marvel di situs resmi Disney tiba-tiba mengganti nama karakter Law dari “Mar-Vell, the leader of Starforce” menjadi “Leader of Starforce”. Entah perubahan nama itu dimaksudkan untuk membangun twist atau bukan, yang jelas misteri karakter Law kemungkinan besar sudah terungkap lewat koleksi action figure Captain Marvel Marvel Legends.

Dari sekian koleksi mainan tersebut, ada satu karakter bernama Yon-Rogg yang deskripsinya sangat mewakili peran Law. Berdasarkan deskripsi ini, Yon-Rogg adalah pemimpin Starforce dan pahlawan bangsa Kree yang menjadi aset kunci Supreme Intelligence dalam perang melawan Skrulls. Yang menarik, ini adalah pertama kalinya Supreme Intelligence disebut dalam materi promosi Captain Marvel.

Supreme Intelligence sendiri merupakan AI super canggih yang tercipta dari otak para tokoh hebat dari bangsa Kree. Dikisahkan banyak elit Kree yang mengunggah isi pikiran mereka ke sistem Supreme Intelligence sebelum tutup usia, dan dispekulasikan salah satu elit ini menjadi dalang di balik perang berkepanjangan antara Kree dan Skrull. Berangkat dari deskripsi action figure ini, Law pun diyakini memerankan Mar-Vell sekaligus Yon-Rogg. Akankah peran ganda Law ini mengarah pada plot twist ala Wonder Woman yang aktor antagonisnya memainkan karakter baik dan jahat?

Captain Marvel disutradarai Anna Boden dan Ryan Fleck, berdasarkan skrip yang ditulis Meg LeFauve dan Nicole Perlman. Ceritanya sendiri menyoroti pilot pesawat tempur Carol Danvers yang meninggalkan kehidupannya di Bumi untuk bergabung dengan Starforce. Film ini pun akan menjelaskan kenapa selama ini Captain Marvel tidak ada saat The Avengers sibuk menangani serangan yang mengancam dunia.

Rencananya Captain Marvel akan dirilis 8 Maret 2019.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Karakter rahasia Jude Law di ‘Captain Marvel‘ kemungkinan besar telah diungkap koleksi action figure ‘Captain Marvel Marvel Legends'.

Jelang perilisan Captain Marvel yang tinggal beberapa minggu lagi, ada satu hal dari filmnya yang belakangan kerap diperbincangkan fans. Hal tersebut tak lain adalah identitas karakter yang diperankan Jude Law yang disinyalir menyimpan twist sendiri, dan sengaja dirahasiakan Marvel untuk membuat Captain Marvel semakin menarik dinanti.

Sebagai informasi, saat keterlibatan Law di Captain Marvel pertama kali diketahui media, ia disebut memerankan Mar-Vell. Tak lama kemudian, Marvel Studios menyatakan Mar-Vell adalah mentor Carol Danvers/Captain Marvel (Brie Larson), juga komandan pasukan elit luar angkasa bernama Starforce. Identitas karakter Law pun mulai mengundang rasa bingung sekaligus curiga, tatkala foto promosi Captain Marvel di situs resmi Disney tiba-tiba mengganti nama karakter Law dari “Mar-Vell, the leader of Starforce” menjadi “Leader of Starforce”. Entah perubahan nama itu dimaksudkan untuk membangun twist atau bukan, yang jelas misteri karakter Law kemungkinan besar sudah terungkap lewat koleksi action figure Captain Marvel Marvel Legends.

Dari sekian koleksi mainan tersebut, ada satu karakter bernama Yon-Rogg yang deskripsinya sangat mewakili peran Law. Berdasarkan deskripsi ini, Yon-Rogg adalah pemimpin Starforce dan pahlawan bangsa Kree yang menjadi aset kunci Supreme Intelligence dalam perang melawan Skrulls. Yang menarik, ini adalah pertama kalinya Supreme Intelligence disebut dalam materi promosi Captain Marvel.

Supreme Intelligence sendiri merupakan AI super canggih yang tercipta dari otak para tokoh hebat dari bangsa Kree. Dikisahkan banyak elit Kree yang mengunggah isi pikiran mereka ke sistem Supreme Intelligence sebelum tutup usia, dan dispekulasikan salah satu elit ini menjadi dalang di balik perang berkepanjangan antara Kree dan Skrull. Berangkat dari deskripsi action figure ini, Law pun diyakini memerankan Mar-Vell sekaligus Yon-Rogg. Akankah peran ganda Law ini mengarah pada plot twist ala Wonder Woman yang aktor antagonisnya memainkan karakter baik dan jahat?

Captain Marvel disutradarai Anna Boden dan Ryan Fleck, berdasarkan skrip yang ditulis Meg LeFauve dan Nicole Perlman. Ceritanya sendiri menyoroti pilot pesawat tempur Carol Danvers yang meninggalkan kehidupannya di Bumi untuk bergabung dengan Starforce. Film ini pun akan menjelaskan kenapa selama ini Captain Marvel tidak ada saat The Avengers sibuk menangani serangan yang mengancam dunia.

Rencananya Captain Marvel akan dirilis 8 Maret 2019.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem