Sunday, September 10, 2017

Review Film: 'It Comes at Night' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'It Comes at Night' (2017)
link : Review Film: 'It Comes at Night' (2017)

Baca juga


Penonton yang menunggu setan di 'It Comes at Night' akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis.

“You can't trust anyone but family.”
— Paul
Rating UP:
It Comes at Night membuktikan bahwa kadangkala horor yang lebih besar itu datang dari paranoia diri sendiri. Apakah sesuatu yang kita dengar itu benar “sesuatu” yang kita dengar atau sesuatu yang kita PIKIR kita dengar? “It” pada judul film ini tak butuh definisi. Ia adalah apa yang kita takutkan. Prasangkalah yang membuatnya mengerikan. Penonton yang menunggu setan di It Comes at Night akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis. Ia didesain untuk membuat kita tidak nyaman hanya lewat suspens dan atmosfer. Ini bukan sesuatu yang kita expect dari sebuah film horor.


Coba tengok adegan pembuka dari filmnya. Seorang pak tua yang letih tampak pasrah menerima nasibnya. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Dua orang pria memakai topeng gas kemudian menggotongnya ke hutan. Pria yang lebih dewasa menembak pak tua, lalu membakarnya di lubang yang telah mereka gali sebelumnya. Apa yang terjadi disini, kita belum tahu. Tetapi kita bisa melihat bahwa pembunuhan ini juga meninggalkan duka bagi pelakunya.

Ternyata, dua orang tadi adalah menantu dan cucu dari pak tua, Paul (Joel Edgerton) dan Travis (Kelvin Harrison Jr.). Pak tua juga meninggalkan satu anak kandungnya, Sarah (Carmen Ejogo) yang adalah istri Paul serta seekor anjing bernama Stanley. Mereka takut akan sesuatu yang telah menimpa pak tua. Dari percakapan mereka dan keharusan untuk selalu menggunakan masker di luar rumah, tampaknya ada semacam virus yang telah mewabah di daerah mereka. Apakah ini virus zombie? Tak penting. Yang jelas ini mematikan, sampai mereka harus menahan apapun di luar sana agar tak masuk ke dalam rumah mereka yang berada di tengah hutan.

Pembuat film ini adalah Trey Edward Shults yang mengangkat premis yang halu menjadi film yang halu, tapi sangat menegangkan. Film Shults sebelumnya, Krisha adalah thriller psikologis yang minimalis tentang keluarga, dimana dimainkan olehnya dan kerabatnya sendiri. Dengan bujet yang lebih besar, untuk It Comes at Night ia bisa menggandeng aktor sungguhan dan merancang gambar-gambar yang lebih kompeten. Namun skala filmnya relatif tetap sama. Ini adalah film thriller kecil tentang keluarga —dua keluarga tepatnya— dalam satu lingkungan yang klaustrofobik. Semua jendela dipalang, pencahayaan sangat terbatas, dan hanya ada satu jalan masuk, yaitu pintu bercat merah.

Keluarga kedua datang setelah seseorang menggedor pintu rumah mereka. Pria asing ini berhasil dirubuhkan oleh Paul untuk kemudian diinterogasi. Mengaku bernama Will (Christopher Abbott), si pria tadi bilang bahwa ia hanya ingin mencari minum untuk anak dan istrinya. “Mereka tidak “sakit”,” klaimnya. Namun Paul tak percaya begitu saja. Namun akhirnya Paul setuju untuk menampung istri Will, Kim (Riley Keough) dan anaknya yang masih kecil, Andrew (Griffin Robert Faulkner).

Bereenam mereka tinggal di satu rumah, namun ketegangan justru semakin meninggi, karena mereka tak kenal satu sama lain dan kita tak tahu apa motif masing-masing. Paul adalah pria tegas yang hanya ingin melindungi keluarganya, dan ini yang membuat Edgerton begitu menyeramkan. Ia bisa melakukan apa saja. Will tampaknya pria yang baik-baik saja, namun ada pengakuannya yang sedikit janggal. Si Travis yang memasuki usia puber, mulai menunjukkan ketertarikan pada istri Will, bahkan sampai bermimpi erotis. Sudah menjadi peraturan, bahwa saat malam tiba tak ada yang keluar kamar. Namun ketika mendengar suara-suara dari luar, Travis membawa lenteranya, selalu ingin mengecek kalau-kalau...

Yah, saya akan berhenti disini. Yang jelas, film ini lebih akan membuat anda merinding alih-alih berteriak ngeri. Setting-nya yang sempit dan pencahayaan yang minim membuat suasana filmnya angker. Shults menggunakan sorotan panjang dan pelan untuk menekankan keseraman koridor yang gelap atau barisan pepohonan yang lebat. Untuk mengeskalasi tensi dan ekspektasi penonton, ia juga menerapkan beberapa permainan aspect ratio. Cermati bagaimana rasio gambar berubah menjelang klimaks film. Mengagumkan bagaimana ia bisa mengeluarkan teror dari sesuatu yang practically nothing.

Shults tak banyak memberi penjelasan. Ia memancing imajinasi kita untuk menerka apa yang sebenarnya ada di luar sana. Namun ia sepertinya lebih ingin menyampaikan bahwa teror sesungguhnya datang dari manusia itu sendiri, dan teror ini tak butuh konteks. Terornya ada di dalam pikiran, semacam basic instinct. Manusia itu hidup untuk diri sendiri. Dalam situasi genting seperti ini, mana yang lebih penting: moralitas atau bertahan hidup?

Meski demikian, metode Schults ini juga membuat filmnya seperti tak berisi. Saya tak boleh bicara banyak mengenai hal ini. Di akhir film, saya tak bisa menghilangkan sedikit perasaan mengganjal bahwa terornya adalah "Deus ex Machina", atau lebih parah "MacGuffin" belaka. Shults bisa pergi begitu saja setelah membangun filmnya. Terkadang misteri memang lebih mencekat saat ia tidak dijelaskan lebih lanjut. Terkadang kita perlu tahu apa sebenarnya yang membuat suara-suara gaduh di malam hari. Pilihan ada di tangan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It Comes at Night

91 menit
Dewasa
Trey Edward Shults
Trey Edward Shults
David Kaplan, Andrea Roa
Drew Daniels
Brian McOmber

Penonton yang menunggu setan di 'It Comes at Night' akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis.

“You can't trust anyone but family.”
— Paul
Rating UP:
It Comes at Night membuktikan bahwa kadangkala horor yang lebih besar itu datang dari paranoia diri sendiri. Apakah sesuatu yang kita dengar itu benar “sesuatu” yang kita dengar atau sesuatu yang kita PIKIR kita dengar? “It” pada judul film ini tak butuh definisi. Ia adalah apa yang kita takutkan. Prasangkalah yang membuatnya mengerikan. Penonton yang menunggu setan di It Comes at Night akan kecele, karena film ini lebih kepada teror psikologis. Ia didesain untuk membuat kita tidak nyaman hanya lewat suspens dan atmosfer. Ini bukan sesuatu yang kita expect dari sebuah film horor.


Coba tengok adegan pembuka dari filmnya. Seorang pak tua yang letih tampak pasrah menerima nasibnya. Ia tahu apa yang akan terjadi pada dirinya. Dua orang pria memakai topeng gas kemudian menggotongnya ke hutan. Pria yang lebih dewasa menembak pak tua, lalu membakarnya di lubang yang telah mereka gali sebelumnya. Apa yang terjadi disini, kita belum tahu. Tetapi kita bisa melihat bahwa pembunuhan ini juga meninggalkan duka bagi pelakunya.

Ternyata, dua orang tadi adalah menantu dan cucu dari pak tua, Paul (Joel Edgerton) dan Travis (Kelvin Harrison Jr.). Pak tua juga meninggalkan satu anak kandungnya, Sarah (Carmen Ejogo) yang adalah istri Paul serta seekor anjing bernama Stanley. Mereka takut akan sesuatu yang telah menimpa pak tua. Dari percakapan mereka dan keharusan untuk selalu menggunakan masker di luar rumah, tampaknya ada semacam virus yang telah mewabah di daerah mereka. Apakah ini virus zombie? Tak penting. Yang jelas ini mematikan, sampai mereka harus menahan apapun di luar sana agar tak masuk ke dalam rumah mereka yang berada di tengah hutan.

Pembuat film ini adalah Trey Edward Shults yang mengangkat premis yang halu menjadi film yang halu, tapi sangat menegangkan. Film Shults sebelumnya, Krisha adalah thriller psikologis yang minimalis tentang keluarga, dimana dimainkan olehnya dan kerabatnya sendiri. Dengan bujet yang lebih besar, untuk It Comes at Night ia bisa menggandeng aktor sungguhan dan merancang gambar-gambar yang lebih kompeten. Namun skala filmnya relatif tetap sama. Ini adalah film thriller kecil tentang keluarga —dua keluarga tepatnya— dalam satu lingkungan yang klaustrofobik. Semua jendela dipalang, pencahayaan sangat terbatas, dan hanya ada satu jalan masuk, yaitu pintu bercat merah.

Keluarga kedua datang setelah seseorang menggedor pintu rumah mereka. Pria asing ini berhasil dirubuhkan oleh Paul untuk kemudian diinterogasi. Mengaku bernama Will (Christopher Abbott), si pria tadi bilang bahwa ia hanya ingin mencari minum untuk anak dan istrinya. “Mereka tidak “sakit”,” klaimnya. Namun Paul tak percaya begitu saja. Namun akhirnya Paul setuju untuk menampung istri Will, Kim (Riley Keough) dan anaknya yang masih kecil, Andrew (Griffin Robert Faulkner).

Bereenam mereka tinggal di satu rumah, namun ketegangan justru semakin meninggi, karena mereka tak kenal satu sama lain dan kita tak tahu apa motif masing-masing. Paul adalah pria tegas yang hanya ingin melindungi keluarganya, dan ini yang membuat Edgerton begitu menyeramkan. Ia bisa melakukan apa saja. Will tampaknya pria yang baik-baik saja, namun ada pengakuannya yang sedikit janggal. Si Travis yang memasuki usia puber, mulai menunjukkan ketertarikan pada istri Will, bahkan sampai bermimpi erotis. Sudah menjadi peraturan, bahwa saat malam tiba tak ada yang keluar kamar. Namun ketika mendengar suara-suara dari luar, Travis membawa lenteranya, selalu ingin mengecek kalau-kalau...

Yah, saya akan berhenti disini. Yang jelas, film ini lebih akan membuat anda merinding alih-alih berteriak ngeri. Setting-nya yang sempit dan pencahayaan yang minim membuat suasana filmnya angker. Shults menggunakan sorotan panjang dan pelan untuk menekankan keseraman koridor yang gelap atau barisan pepohonan yang lebat. Untuk mengeskalasi tensi dan ekspektasi penonton, ia juga menerapkan beberapa permainan aspect ratio. Cermati bagaimana rasio gambar berubah menjelang klimaks film. Mengagumkan bagaimana ia bisa mengeluarkan teror dari sesuatu yang practically nothing.

Shults tak banyak memberi penjelasan. Ia memancing imajinasi kita untuk menerka apa yang sebenarnya ada di luar sana. Namun ia sepertinya lebih ingin menyampaikan bahwa teror sesungguhnya datang dari manusia itu sendiri, dan teror ini tak butuh konteks. Terornya ada di dalam pikiran, semacam basic instinct. Manusia itu hidup untuk diri sendiri. Dalam situasi genting seperti ini, mana yang lebih penting: moralitas atau bertahan hidup?

Meski demikian, metode Schults ini juga membuat filmnya seperti tak berisi. Saya tak boleh bicara banyak mengenai hal ini. Di akhir film, saya tak bisa menghilangkan sedikit perasaan mengganjal bahwa terornya adalah "Deus ex Machina", atau lebih parah "MacGuffin" belaka. Shults bisa pergi begitu saja setelah membangun filmnya. Terkadang misteri memang lebih mencekat saat ia tidak dijelaskan lebih lanjut. Terkadang kita perlu tahu apa sebenarnya yang membuat suara-suara gaduh di malam hari. Pilihan ada di tangan anda. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

It Comes at Night

91 menit
Dewasa
Trey Edward Shults
Trey Edward Shults
David Kaplan, Andrea Roa
Drew Daniels
Brian McOmber

Saturday, September 9, 2017

Daftar Pemenang Venice International Film Festival 2017

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Award, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Daftar Pemenang Venice International Film Festival 2017
link : Daftar Pemenang Venice International Film Festival 2017

Baca juga


'The Shape of Water' milik Guillermo del Toro dianugerahi piala Golden Lion dalam Venice Film Festival 2017. Berikut daftar lengkap pemenangnya.

Venice Film Festival ke-74 yang diselenggarakan sejak 30 Agustus sampai dengan 9 September 2017 lalu, telah berakhir. Festival yang kerap mengundang kontroversi karena pemilihan pemenangnya yang tak biasa, tahun ini takkan lagi menimbulkan huru-hara. Senada dengan pilihan kritikus, juri menganugerahkan piala tertinggi Golden Lion kepada The Shape of Water, film romansa monster yang dibintangi oleh Sally Hawkins dan Michael Shannon. Disebut sebagai film terbaik Guillermo del Toro sejak Pan's Labyrinth, film ini telah digadang-gadang menjadi pemenang sejak pertama kali premier di festival ini.

Foxtrot, film militer asal Isral milik Samouel Maoz berada di posisi kedua, membawa pulang piala Grand Jury Prize. Ini merupakan kemenangan kedua bagi Maoz setelah 8 tahun lalu memenangkan Golden Lion untuk Lebanon.

Prediket sutradara terbaik menjadi milik Xavier Legrand berkat film debutnya Custody, drama yang menyoroti dampak perceraian pada anak-anak. Sementara itu, Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang juga menuai respon impresif dari kritikus, hanya memenangkan satu piala yaitu skrip terbaik untuk Martin McDonagh.

Di kategori aktris terbaik yang persaingannya cukup sengit, Charlotte Rampling berhasil menjadi pemenang, mengalahkan Sally Hawkins dan Frances McDormand, berkat penampilannya sebagai istri yang suaminya dipenjara dalam film Hannah.

Presiden juri tahun ini adalah aktris Annette Bening.

Berikut daftar lengkap pemenang Venice Film Festival 2017.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

IN COMPETITION

Golden Lion

The Shape of Water - Guillermo del Toro


Grand Jury Prize

Foxtrot - Samuel Maoz


Silver Lion for Best Director

Xavier Legrand - Custody


Volpi Cup for Best Actress

Charlotte Rampling - Hannah


Volpi Cup for Best Actor

Kamel El Basha - The Insult


Best Screenplay

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri - Martin McDonagh


Special Jury Prize

Sweet Country - Warwick Thornton


Marcello Mastroianni Award for Young Performer

Charlie Plummer - Lean on Pete


HORIZONS (ORIZZONTI)

Best Film

Nico, 1988 - Susanna Nicchiarelli


Best Director

Vahid Jalilvand - No Date, No Signature


Special Jury Prize

Caniba - Verena Paravel, Lucien Castaing-Taylor


Best Actress

Lyna Khoudri - Les bienheureux


Best Actor

Navid Mohammadzadeh - No Date, No Signature


Best Screenplay

Oblivion Verses - Alireza Khatami, Dominique Wellinski, Rene Ballesteros


Best Short Film

Gros chagrin - Céline Devaux


LION OF THE FUTURE

Luigi De Laurentiis Award for Best Debut Film

Custody - Xavier Legrand


VENICE CLASSICS

Best Documentary on Cinema

The Prince and the Dybbuk - Elvira Niewiera and Piotr Rosolowski


Best Restored Film

Come and See


VIRTUAL REALITY COMPETITION

Best Virtual Reality

Arden’s Wake (Expanded) - Eugene Y.K. Chung


Best Virtual Reality Experience

La Camera Isabbiata - Laurie Anderson, Hsin-chien Huang


Best Virtual Reality Story

Bloodless - Gina Kim

■UP
Pantau terus rekap Awards Season di UlasanPilem via kanal berikut

'The Shape of Water' milik Guillermo del Toro dianugerahi piala Golden Lion dalam Venice Film Festival 2017. Berikut daftar lengkap pemenangnya.

Venice Film Festival ke-74 yang diselenggarakan sejak 30 Agustus sampai dengan 9 September 2017 lalu, telah berakhir. Festival yang kerap mengundang kontroversi karena pemilihan pemenangnya yang tak biasa, tahun ini takkan lagi menimbulkan huru-hara. Senada dengan pilihan kritikus, juri menganugerahkan piala tertinggi Golden Lion kepada The Shape of Water, film romansa monster yang dibintangi oleh Sally Hawkins dan Michael Shannon. Disebut sebagai film terbaik Guillermo del Toro sejak Pan's Labyrinth, film ini telah digadang-gadang menjadi pemenang sejak pertama kali premier di festival ini.

Foxtrot, film militer asal Isral milik Samouel Maoz berada di posisi kedua, membawa pulang piala Grand Jury Prize. Ini merupakan kemenangan kedua bagi Maoz setelah 8 tahun lalu memenangkan Golden Lion untuk Lebanon.

Prediket sutradara terbaik menjadi milik Xavier Legrand berkat film debutnya Custody, drama yang menyoroti dampak perceraian pada anak-anak. Sementara itu, Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang juga menuai respon impresif dari kritikus, hanya memenangkan satu piala yaitu skrip terbaik untuk Martin McDonagh.

Di kategori aktris terbaik yang persaingannya cukup sengit, Charlotte Rampling berhasil menjadi pemenang, mengalahkan Sally Hawkins dan Frances McDormand, berkat penampilannya sebagai istri yang suaminya dipenjara dalam film Hannah.

Presiden juri tahun ini adalah aktris Annette Bening.

Berikut daftar lengkap pemenang Venice Film Festival 2017.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

IN COMPETITION

Golden Lion

The Shape of Water - Guillermo del Toro


Grand Jury Prize

Foxtrot - Samuel Maoz


Silver Lion for Best Director

Xavier Legrand - Custody


Volpi Cup for Best Actress

Charlotte Rampling - Hannah


Volpi Cup for Best Actor

Kamel El Basha - The Insult


Best Screenplay

Three Billboards Outside Ebbing, Missouri - Martin McDonagh


Special Jury Prize

Sweet Country - Warwick Thornton


Marcello Mastroianni Award for Young Performer

Charlie Plummer - Lean on Pete


HORIZONS (ORIZZONTI)

Best Film

Nico, 1988 - Susanna Nicchiarelli


Best Director

Vahid Jalilvand - No Date, No Signature


Special Jury Prize

Caniba - Verena Paravel, Lucien Castaing-Taylor


Best Actress

Lyna Khoudri - Les bienheureux


Best Actor

Navid Mohammadzadeh - No Date, No Signature


Best Screenplay

Oblivion Verses - Alireza Khatami, Dominique Wellinski, Rene Ballesteros


Best Short Film

Gros chagrin - Céline Devaux


LION OF THE FUTURE

Luigi De Laurentiis Award for Best Debut Film

Custody - Xavier Legrand


VENICE CLASSICS

Best Documentary on Cinema

The Prince and the Dybbuk - Elvira Niewiera and Piotr Rosolowski


Best Restored Film

Come and See


VIRTUAL REALITY COMPETITION

Best Virtual Reality

Arden’s Wake (Expanded) - Eugene Y.K. Chung


Best Virtual Reality Experience

La Camera Isabbiata - Laurie Anderson, Hsin-chien Huang


Best Virtual Reality Story

Bloodless - Gina Kim

■UP
Pantau terus rekap Awards Season di UlasanPilem via kanal berikut

Sutradara ‘Ragnarok’ Sebut Hela akan Jadi Lawan Terkuat Thor Sejauh ini

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Sutradara ‘Ragnarok’ Sebut Hela akan Jadi Lawan Terkuat Thor Sejauh ini
link : Sutradara ‘Ragnarok’ Sebut Hela akan Jadi Lawan Terkuat Thor Sejauh ini

Baca juga


Menurut Taika Waititi, Hela pastinya akan jadi lawan terkuat yang pernah dihadapi Thor sejauh ini di MCU.
Satu hal menarik yang ada di Thor: Ragnarok, ia menghadirkan villain perempuan kelas kakap pertama yang siap menebar teror di Marvel Cinematic Universe. Diperankan oleh aktris kelas Oscar Cate Blanchett, villain bernama Hela ini muncul dengan ambisi menghancurkan planet Asgard. Untuk saat ini motif Hela ingin memusnahkan tempat asal Thor memang belum diketahui sampai kita menonton filmnya. Namun sedikit bocoran dari sutradara Taika Waititi, Hela pastinya akan jadi lawan terkuat yang pernah dihadapi Thor sejauh ini di MCU.

“Dia luar biasa. Karakternya sangat tangguh. Punya kekuatan luar biasa. Dia Hela. Dia mengenakan jubah, dan dia punya tanduk. Dia terlihat sangat keren di concept art dan sebagainya. Thor di sepanjang filmnya belum pernah melawan yang lebih kuat dari wanita ini,”jelas Waititi kepada Screen Rant.

Menurut penilaian Waititi, Hela merupakan villain paling menarik yang dimiliki Marvel. Alasannya, Waititi mengakui Hela adalah karakter multidimensi, yang mengindikasikan ia punya sisi dalam dirinya yang mengundang rasa simpati. Waititi pun mengungkapkan Hela adalah karakter bermasalah, namun di sisi lain ia amat lucu.

Meski tak menampik Hela punya elemen klise yang umumnya dijumpai pada karakter villain superhero, Waititi menjanjikan masih ada banyak hal lain yang membuatnya berkesan. Karena hal itulah, Waititi merasa penampilan Hela akan memuaskan banyak orang. Jika omongan Waititi terbukti benar, maka Thor: Ragnarok akan memperbaiki catatan negatif film Marvel yang selama ini dinilai kekurangan stok villain yang tangguh dan memorable.

Dalam Thor: Ragnarok, Thor dikisahkan terjebak di sisi lain alam semesta tanpa ditemani palu andalannya, dan Thor harus berpacu dengan waktu untuk pulang ke tanah kelahirannya, Asgard, demi menghentikan kehancuran yang dipicu oleh Hela. Namun sebelum memulai perjuangan untuk menyelamatkan Asgard, Thor terlebih dahulu harus bertahan hidup di kontes gladiator mematikan dimana ia akan berduel dengan sesama anggota Avenger, Hulk.

Thor: Ragnarok sendiri kembali dibintangi Chris Hemsworth, Tom Hiddleston, Idris Elba dan Anthony Hopkins. Sedangkan pemain barunya meliputi Cate Blanchett, Mark Ruffalo, Jeff Goldblum, Tessa Thompson dan Karl Urban.

Rencananya Thor: Ragnarok akan dirilis 3 November 2017. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Menurut Taika Waititi, Hela pastinya akan jadi lawan terkuat yang pernah dihadapi Thor sejauh ini di MCU.
Satu hal menarik yang ada di Thor: Ragnarok, ia menghadirkan villain perempuan kelas kakap pertama yang siap menebar teror di Marvel Cinematic Universe. Diperankan oleh aktris kelas Oscar Cate Blanchett, villain bernama Hela ini muncul dengan ambisi menghancurkan planet Asgard. Untuk saat ini motif Hela ingin memusnahkan tempat asal Thor memang belum diketahui sampai kita menonton filmnya. Namun sedikit bocoran dari sutradara Taika Waititi, Hela pastinya akan jadi lawan terkuat yang pernah dihadapi Thor sejauh ini di MCU.

“Dia luar biasa. Karakternya sangat tangguh. Punya kekuatan luar biasa. Dia Hela. Dia mengenakan jubah, dan dia punya tanduk. Dia terlihat sangat keren di concept art dan sebagainya. Thor di sepanjang filmnya belum pernah melawan yang lebih kuat dari wanita ini,”jelas Waititi kepada Screen Rant.

Menurut penilaian Waititi, Hela merupakan villain paling menarik yang dimiliki Marvel. Alasannya, Waititi mengakui Hela adalah karakter multidimensi, yang mengindikasikan ia punya sisi dalam dirinya yang mengundang rasa simpati. Waititi pun mengungkapkan Hela adalah karakter bermasalah, namun di sisi lain ia amat lucu.

Meski tak menampik Hela punya elemen klise yang umumnya dijumpai pada karakter villain superhero, Waititi menjanjikan masih ada banyak hal lain yang membuatnya berkesan. Karena hal itulah, Waititi merasa penampilan Hela akan memuaskan banyak orang. Jika omongan Waititi terbukti benar, maka Thor: Ragnarok akan memperbaiki catatan negatif film Marvel yang selama ini dinilai kekurangan stok villain yang tangguh dan memorable.

Dalam Thor: Ragnarok, Thor dikisahkan terjebak di sisi lain alam semesta tanpa ditemani palu andalannya, dan Thor harus berpacu dengan waktu untuk pulang ke tanah kelahirannya, Asgard, demi menghentikan kehancuran yang dipicu oleh Hela. Namun sebelum memulai perjuangan untuk menyelamatkan Asgard, Thor terlebih dahulu harus bertahan hidup di kontes gladiator mematikan dimana ia akan berduel dengan sesama anggota Avenger, Hulk.

Thor: Ragnarok sendiri kembali dibintangi Chris Hemsworth, Tom Hiddleston, Idris Elba dan Anthony Hopkins. Sedangkan pemain barunya meliputi Cate Blanchett, Mark Ruffalo, Jeff Goldblum, Tessa Thompson dan Karl Urban.

Rencananya Thor: Ragnarok akan dirilis 3 November 2017. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Friday, September 8, 2017

Review Film: 'The Evil Within' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Evil Within' (2017)
link : Review Film: 'The Evil Within' (2017)

Baca juga


'The Evil Within' memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja.

“Let me show you the one that I had last night.”
— Dennis
Rating UP:
Holys**t! Anda benar-benar harus membaca cerita di balik layar dari produksi The Evil Within. Film ini digarap oleh Andrew Getty, anak dari keluarga Getty yang terkenal kaya di Amerika, yang menghabiskan hidupnya selama 15 tahun untuk membeli peralatan, merancang tata produksi, mengulik gambar, dan memoles efek spesial selagi krunya datang dan pergi silih berganti, demi menyempurnakan proyek personalnya ini. Dan semua dilakukannya dengan merogoh kocek sendiri, hingga mencapai $6 juta. Ini adalah bukti dari ambisi gila dari seorang auteur sejati. Jadi kalau nanti ada sutradara yang mencak-mencak saat passion project-nya tak mendapat lampu hijau dari studio, mereka seharusnya mengaca pada Getty.


Hasil akhirnya tak sehancur yang kita kira, karena cerita filmnya relatif koheren dan masih bisa dicerna.  Meski proses syutingnya sangat panjang, ia tak seperti film yang disusun dari potongan-potongan yang tak saling berhubungan. Namun The Evil Within memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja. Film ini dibuka dengan sekuens mimpi yang sangat ganjil, dimana Getty menggunakan beberapa manipulasi gambar yang ajaib padahal hanya untuk bagian yang berdurasi beberapa menit saja. Sampai akhir film, Getty menggunakan begitu banyak trik untuk memberikan kesan sureal. Ini adalah film bunuh-bunuhan, tapi Getty merengkuh absurditas filmnya dengan totalitas, sehingga memberikan kesan sureal yang serius. Anda mungkin akan teringat pada film-film lama David Lynch. Gambar-gambarnya selalu akan mengejutkan kita, bahkan saat ia tak masuk akal sama sekali.

Ceritanya tentang Dennis (Frederick Koehler) yang awalnya kita kira sebagai tokoh utama yang pintar karena narasinya yang tegas dan berwibawa. Ia memberikan penjelasan meyakinkan tentang mimpinya dulu. "Jangan kaget, karena itu cuma suara hatiku. Aslinya aku berbeda," kata Dennis. Sebenarnya Dennis adalah pria yang sedikit mengalami keterbelakangan mental. Ia tinggal serumah bersama sang kakak, John (Sean Patrick Flannery) yang bersikeras untuk merawatnya langsung, walau John sendiri sebenarnya adalah perawat yang payah. Kerjanya cuma nongrong dari satu restoran ke restoran lain, lalu berantem dengan pacarnya soal pernikahan.

Suatu hari, John menaruh cermin antik besar di kamar Dennis, tak peduli dengan protes dari adiknya tersebut. Saat dalam sebuah film horor kita mendengar kata "antik", kata tersebut juga berarti "angker". Dan ya. Dennis mulai melihat hal-hal aneh dalam cermin tersebut. Mulai dari bayangannya sendiri yang terlihat lebih kejam, hingga makhluk semacam setan (John Berryman dalam balutan make-up yang akan selalu terbayang di ingatan kita) yang menyugesti pikiran Dennis dengan hal-hal keji. Lewat cermin, Dennis sering berkomunikasi dengan mereka. Ada cara bagi Dennis untuk bisa hidup normal dan tak menjadi beban bagi orang lain, tetapi ia harus membunuh makhluk hidup; hewan dulu, lalu anak-anak, baru kemudian orang dewasa.

Apakah ini setan ini benar-benar ada atau hanya halusinasi Dennis saja? Saya sendiri tak yakin, namun mungkin memang begitulah yang dimaksudkan oleh pembuat filmnya. Apa yang dialami Dennis begitu abstrak, kita tak lagi bisa membedakan antara mimpi dengan kenyataan. Namun kisah Dennis memang "mimpi buruk", entah secara harfiah atau kiasan. Di awal film kita mempelajari bahwa mimpi itu tak terkendali, tak berbentuk. Saat Dennis merasa sudah berhenti bermimpi, ia malah diberitahu "siapa bilang mimpimu sudah berakhir?". Menarik untuk mempertimbangkan apakah mimpi buruk ini adalah memang hasutan dari suatu entitas supranatural atau kreasi pikirannya sendiri.

Katanya The Evil Within adalah film yang sangat personal bagi Getty. Bukan saja karena ini merupakan satu-satunya skrip yang berhasil ia produksi menjadi sebuah film, namun juga karena ini berasal dari mimpinya sendiri. Benar sekali. Getty mengklaim memimpikan langsung semua yang terjadi disini dan merangkainya dalam satu skrip. Holys**t! Mimpi buruk yang luar biasa, jika dilihat dari horor yang disajikan. Saya tak bisa membayangkan mengalami mimpi buruk sesinting ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hobi Getty mengkonsumsi sabu, saya juga tak tahu.

Getty melempar semua yang ia punya agar film ini menangkap persis visinya. Ia merancang sendiri practical effects yang dipakai, termasuk make-up dan beberapa animatronik yang menyeramkan. Nyaris tak ada tipu daya komputer; hampir semua dibuat dengan tangan. Untuk ukuran sutradara debutan, mencengangkan melihatnya yang dengan lihai menerapkan beberapa teknik filmmaking yang sulit. Ada adegan dimana Dennis dikelilingi cermin yang menciptakan bayangan tak berhingga. Di satu titik, kamera tanpa kentara bergerak di antara cermin mempermainkan perspektif kita, menciptakan ilusi yang meneror. Saya jadi kagum melihat berapa akurat perhitungannya dalam penempatan kamera. Imagery yang seperti ini menciptakan atmosfer asing yang tak nyaman.

Sekarang, Getty sudah menjadi almarhum. Ia meninggal dua tahun yang lalu gara-gara pendarahan akibat komplikasi narkoba, sehingga filmnya harus dibereskan oleh sang produser, Michael Luceri. Jadi The Evil Within adalah film pertamanya dan satu-satunya. Ini film yang kacau mengingat ceritanya yang melebar ke beberapa subplot gaje. Namun secara visual, ia sangat menggigit karena dibuat oleh orang yang tak terikat dengan sistem studio Hollywood. Ia tak terbatasi dengan materi yang mungkin akan terjegal dalam skala produksi industri. Getty hanya ingin filmnya dibuat, "mimpi buruk"-nya termanifestasi. Konsumennya adalah yang ingin melihat some bats**t crazy stuff. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Evil Within

98 menit
Dewasa
Andrew Getty
Andrew Getty
Robert Hickey, Kent Van Vleet, Michael Luceri
Stephen Sheridan
Mario Grigorov

'The Evil Within' memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja.

“Let me show you the one that I had last night.”
— Dennis
Rating UP:
Holys**t! Anda benar-benar harus membaca cerita di balik layar dari produksi The Evil Within. Film ini digarap oleh Andrew Getty, anak dari keluarga Getty yang terkenal kaya di Amerika, yang menghabiskan hidupnya selama 15 tahun untuk membeli peralatan, merancang tata produksi, mengulik gambar, dan memoles efek spesial selagi krunya datang dan pergi silih berganti, demi menyempurnakan proyek personalnya ini. Dan semua dilakukannya dengan merogoh kocek sendiri, hingga mencapai $6 juta. Ini adalah bukti dari ambisi gila dari seorang auteur sejati. Jadi kalau nanti ada sutradara yang mencak-mencak saat passion project-nya tak mendapat lampu hijau dari studio, mereka seharusnya mengaca pada Getty.


Hasil akhirnya tak sehancur yang kita kira, karena cerita filmnya relatif koheren dan masih bisa dicerna.  Meski proses syutingnya sangat panjang, ia tak seperti film yang disusun dari potongan-potongan yang tak saling berhubungan. Namun The Evil Within memang sinting bukan main. Layak ditonton hanya untuk melihat kenyentrikannya saja. Film ini dibuka dengan sekuens mimpi yang sangat ganjil, dimana Getty menggunakan beberapa manipulasi gambar yang ajaib padahal hanya untuk bagian yang berdurasi beberapa menit saja. Sampai akhir film, Getty menggunakan begitu banyak trik untuk memberikan kesan sureal. Ini adalah film bunuh-bunuhan, tapi Getty merengkuh absurditas filmnya dengan totalitas, sehingga memberikan kesan sureal yang serius. Anda mungkin akan teringat pada film-film lama David Lynch. Gambar-gambarnya selalu akan mengejutkan kita, bahkan saat ia tak masuk akal sama sekali.

Ceritanya tentang Dennis (Frederick Koehler) yang awalnya kita kira sebagai tokoh utama yang pintar karena narasinya yang tegas dan berwibawa. Ia memberikan penjelasan meyakinkan tentang mimpinya dulu. "Jangan kaget, karena itu cuma suara hatiku. Aslinya aku berbeda," kata Dennis. Sebenarnya Dennis adalah pria yang sedikit mengalami keterbelakangan mental. Ia tinggal serumah bersama sang kakak, John (Sean Patrick Flannery) yang bersikeras untuk merawatnya langsung, walau John sendiri sebenarnya adalah perawat yang payah. Kerjanya cuma nongrong dari satu restoran ke restoran lain, lalu berantem dengan pacarnya soal pernikahan.

Suatu hari, John menaruh cermin antik besar di kamar Dennis, tak peduli dengan protes dari adiknya tersebut. Saat dalam sebuah film horor kita mendengar kata "antik", kata tersebut juga berarti "angker". Dan ya. Dennis mulai melihat hal-hal aneh dalam cermin tersebut. Mulai dari bayangannya sendiri yang terlihat lebih kejam, hingga makhluk semacam setan (John Berryman dalam balutan make-up yang akan selalu terbayang di ingatan kita) yang menyugesti pikiran Dennis dengan hal-hal keji. Lewat cermin, Dennis sering berkomunikasi dengan mereka. Ada cara bagi Dennis untuk bisa hidup normal dan tak menjadi beban bagi orang lain, tetapi ia harus membunuh makhluk hidup; hewan dulu, lalu anak-anak, baru kemudian orang dewasa.

Apakah ini setan ini benar-benar ada atau hanya halusinasi Dennis saja? Saya sendiri tak yakin, namun mungkin memang begitulah yang dimaksudkan oleh pembuat filmnya. Apa yang dialami Dennis begitu abstrak, kita tak lagi bisa membedakan antara mimpi dengan kenyataan. Namun kisah Dennis memang "mimpi buruk", entah secara harfiah atau kiasan. Di awal film kita mempelajari bahwa mimpi itu tak terkendali, tak berbentuk. Saat Dennis merasa sudah berhenti bermimpi, ia malah diberitahu "siapa bilang mimpimu sudah berakhir?". Menarik untuk mempertimbangkan apakah mimpi buruk ini adalah memang hasutan dari suatu entitas supranatural atau kreasi pikirannya sendiri.

Katanya The Evil Within adalah film yang sangat personal bagi Getty. Bukan saja karena ini merupakan satu-satunya skrip yang berhasil ia produksi menjadi sebuah film, namun juga karena ini berasal dari mimpinya sendiri. Benar sekali. Getty mengklaim memimpikan langsung semua yang terjadi disini dan merangkainya dalam satu skrip. Holys**t! Mimpi buruk yang luar biasa, jika dilihat dari horor yang disajikan. Saya tak bisa membayangkan mengalami mimpi buruk sesinting ini. Apakah ini ada hubungannya dengan hobi Getty mengkonsumsi sabu, saya juga tak tahu.

Getty melempar semua yang ia punya agar film ini menangkap persis visinya. Ia merancang sendiri practical effects yang dipakai, termasuk make-up dan beberapa animatronik yang menyeramkan. Nyaris tak ada tipu daya komputer; hampir semua dibuat dengan tangan. Untuk ukuran sutradara debutan, mencengangkan melihatnya yang dengan lihai menerapkan beberapa teknik filmmaking yang sulit. Ada adegan dimana Dennis dikelilingi cermin yang menciptakan bayangan tak berhingga. Di satu titik, kamera tanpa kentara bergerak di antara cermin mempermainkan perspektif kita, menciptakan ilusi yang meneror. Saya jadi kagum melihat berapa akurat perhitungannya dalam penempatan kamera. Imagery yang seperti ini menciptakan atmosfer asing yang tak nyaman.

Sekarang, Getty sudah menjadi almarhum. Ia meninggal dua tahun yang lalu gara-gara pendarahan akibat komplikasi narkoba, sehingga filmnya harus dibereskan oleh sang produser, Michael Luceri. Jadi The Evil Within adalah film pertamanya dan satu-satunya. Ini film yang kacau mengingat ceritanya yang melebar ke beberapa subplot gaje. Namun secara visual, ia sangat menggigit karena dibuat oleh orang yang tak terikat dengan sistem studio Hollywood. Ia tak terbatasi dengan materi yang mungkin akan terjegal dalam skala produksi industri. Getty hanya ingin filmnya dibuat, "mimpi buruk"-nya termanifestasi. Konsumennya adalah yang ingin melihat some bats**t crazy stuff. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Evil Within

98 menit
Dewasa
Andrew Getty
Andrew Getty
Robert Hickey, Kent Van Vleet, Michael Luceri
Stephen Sheridan
Mario Grigorov

Review Film: 'Cage Dive' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Cage Dive' (2017)
link : Review Film: 'Cage Dive' (2017)

Baca juga


Tiga sekawan tokoh utama kita memang lebih baik terombang-ambing di laut lepas.

“First you find the shark, then they find you.”
Rating UP:
Saya bisa membayangkan banyak penonton yang akan kecewa saat selesai menonton film ini. Posternya memperlihatkan hiu raksasa. Di Indonesia dan beberapa negara, judul filmnya adalah Cage Dive, namun ia diberi judul yang lebih pas untuk pasar Amerika, yaitu Open Water 3: Cage Dive. Ini bukan film tentang “cage dive” —kita sudah mendapatkannya lewat 47 Meters Down. Tak banyak hiu yang akan tampil, apalagi bagi yang ingin melihat mereka mencabik-cabik daging. Alih-alih, filmnya adalah film “open water”, mengenai orang-orang yang terombang-ambing di laut lepas dengan hanya sedikit peluang untuk selamat. Yang pernah menonton dua film Open Water pasti sudah tahu.


Yang mungkin juga akan menyurutkan minat sebagian calon penonton adalah bahwa film ini bergaya found-footage. Jadi di sebagian besar durasi kita akan menyaksikan gambar yang shaky dan tak fokus, karena kameranya langsung dipegang tangan. Video ini ditemukan secara kebetulan terselip di sebuah terumbu karang di Samudera Pasifik, saya jadi penasaran seberapa besar kans menemukan barang yang jatuh di samudera yang luasnya 165 juta kilometer persegi. Tak penting. Untuk memperjelas konteks, mungkin khawatir kalau-kalau kita tak mengerti, pembuat filmnya menambahkan potongan video dokumenter dari keluarga korban pasca tragedi tersebut terjadi.

Apa tadi saya bilang korban? Yap, dari awal film, semenjak kita melihat footage-nya ditemukan, kita langsung tahu bahwa para karakter kita akan bernasib naas. Tak ada lagi yang mengejutkan. Jadi, hanya ada 2 cara agar filmnya seru: (a) menjadikan karakternya sedemikian menarik hingga kita peduli dengan nasib mereka, atau (b) membuat sekuens naasnya seintens mungkin hingga kita bersorak-sorai. Tak ada satupun dari 2 poin ini yang disuguhkan oleh Cage Dive.

Tak perlu menonton film Open Water sebelumnya sebab film ini tak punya koneksi langsung dengan keduanya. Yang sama hanya konsepnya. Karakter kita adalah 3 sekawan dari California: Jeff (Joel Hogan), Josh (Josh Potthoff), dan Megan (Megan Pelta Hill). Jeff dan Megan berpacaran, dan ini penting karena nanti subplot tentang perselingkuhan akan memegang peranan penting. Bahkan saat nyawa sedang di ujung tanduk, orang-orang butuh drama, kan?

Mereka sedang liburan di Australia sekalian berencana untuk ikut reality show ekstrim. Ditemani oleh sepupu Josh, Greg (Pete Valley), mereka mencoba atraksi menyelam bersama hiu, tentu saja lewat cara yang aman dengan berlindung di balik kerangkeng. Tak ada yang menduga ombak besar akan membalikkan kapal sehingga membuat semua orang terombang-ambing di lautan dengan hiu yang mengintai dari bawah. Untungnya, karakter kita tak terjebak dalam kerangkeng. Tunggu. Atau malah sial?

Semua orang terpisah dan berjuang untuk selamat sembari menunggu bantuan. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan bagi hiu-hiu, tapi mereka tampaknya tak begitu tertarik memangsa manusia. Namun film ini punya alasan ngeles. Sebelumnya dijelaskan bahwa hiu jarang menyerang di siang hari (beritahu ini pada hiu dari The Shallows) dan hanya akan menyerang individu (beritahu ini pada hiu dari Jaws).

Durasi film ini hanya 80 menit. Singkat, tapi sebagian besar dihabiskan dengan melihat keseharian 3 sekawan. Format found-footage mengijinkan filmnya menampilkan beberapa momen filler tak penting, yang sebenarnya jika digunakan dengan efektif bisa membuat kita peduli dengan mereka. Namun, mereka begitu bodoh dan likeable sama sekali, saya tak menikmati melihat mereka bergaul.

Saat terombang-ambing pun, kita terjebak untuk menghabiskan waktu bersama tiga orang yang selalu membuat keputusan bodoh dari waktu ke waktu. Yang paling histeris adalah Megan. Di satu titik nanti, mereka menemukan perahu penyelamat, yang mungkin saja membuat mereka bisa bertahan hidup lebih lama. Apa anda bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya? Tentu saja anda bisa. Kebodohan mereka begitu spektakuler, sampai kita merasa lebih baik penulis naskah meninggalkan poin plot tentang perahu penyelamat, agar kita bisa sedikit lebih bersimpati dengan mereka. Saya tak tahu harus bilang apa lagi pada Megan. Namun saya salut pada keteguhan hati Josh yang tetap memegang kamera hingga akhir, bahkan saat nyawa temannya hampir melayang. Bagus Josh.

Film ini nihil sekuens pemancing suspens apalagi yang intens. Serangan hiu yang pertama (dan yang akan anda rindukan selama film berlangsung) tak begitu menyeramkan. Menurut saya, tak ada kesan bahwa mereka benar-benar dalam bahaya akan diserang hiu. Namun ini kan film Open Water ya; tentang terjebak tanpa harapan di lautan lepas. Apa yang lebih mengerikan daripada berada sendirian di tempat yang perlahan-lahan akan mencabut nyawa anda? Saya berani bilang ini karena mereka adalah karakter dalam film, bukan manusia sungguhan: tiga sekawan ini memang lebih baik berada disana. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cage Dive

80 menit
Dewasa
Gerald Rascionato
Gerald Rascionato
Rana Joy Glickman, Charles M. Barsamian, Jacob H. Gray, Antoine Mouawad, Gerald Rascionato

Tiga sekawan tokoh utama kita memang lebih baik terombang-ambing di laut lepas.

“First you find the shark, then they find you.”
Rating UP:
Saya bisa membayangkan banyak penonton yang akan kecewa saat selesai menonton film ini. Posternya memperlihatkan hiu raksasa. Di Indonesia dan beberapa negara, judul filmnya adalah Cage Dive, namun ia diberi judul yang lebih pas untuk pasar Amerika, yaitu Open Water 3: Cage Dive. Ini bukan film tentang “cage dive” —kita sudah mendapatkannya lewat 47 Meters Down. Tak banyak hiu yang akan tampil, apalagi bagi yang ingin melihat mereka mencabik-cabik daging. Alih-alih, filmnya adalah film “open water”, mengenai orang-orang yang terombang-ambing di laut lepas dengan hanya sedikit peluang untuk selamat. Yang pernah menonton dua film Open Water pasti sudah tahu.


Yang mungkin juga akan menyurutkan minat sebagian calon penonton adalah bahwa film ini bergaya found-footage. Jadi di sebagian besar durasi kita akan menyaksikan gambar yang shaky dan tak fokus, karena kameranya langsung dipegang tangan. Video ini ditemukan secara kebetulan terselip di sebuah terumbu karang di Samudera Pasifik, saya jadi penasaran seberapa besar kans menemukan barang yang jatuh di samudera yang luasnya 165 juta kilometer persegi. Tak penting. Untuk memperjelas konteks, mungkin khawatir kalau-kalau kita tak mengerti, pembuat filmnya menambahkan potongan video dokumenter dari keluarga korban pasca tragedi tersebut terjadi.

Apa tadi saya bilang korban? Yap, dari awal film, semenjak kita melihat footage-nya ditemukan, kita langsung tahu bahwa para karakter kita akan bernasib naas. Tak ada lagi yang mengejutkan. Jadi, hanya ada 2 cara agar filmnya seru: (a) menjadikan karakternya sedemikian menarik hingga kita peduli dengan nasib mereka, atau (b) membuat sekuens naasnya seintens mungkin hingga kita bersorak-sorai. Tak ada satupun dari 2 poin ini yang disuguhkan oleh Cage Dive.

Tak perlu menonton film Open Water sebelumnya sebab film ini tak punya koneksi langsung dengan keduanya. Yang sama hanya konsepnya. Karakter kita adalah 3 sekawan dari California: Jeff (Joel Hogan), Josh (Josh Potthoff), dan Megan (Megan Pelta Hill). Jeff dan Megan berpacaran, dan ini penting karena nanti subplot tentang perselingkuhan akan memegang peranan penting. Bahkan saat nyawa sedang di ujung tanduk, orang-orang butuh drama, kan?

Mereka sedang liburan di Australia sekalian berencana untuk ikut reality show ekstrim. Ditemani oleh sepupu Josh, Greg (Pete Valley), mereka mencoba atraksi menyelam bersama hiu, tentu saja lewat cara yang aman dengan berlindung di balik kerangkeng. Tak ada yang menduga ombak besar akan membalikkan kapal sehingga membuat semua orang terombang-ambing di lautan dengan hiu yang mengintai dari bawah. Untungnya, karakter kita tak terjebak dalam kerangkeng. Tunggu. Atau malah sial?

Semua orang terpisah dan berjuang untuk selamat sembari menunggu bantuan. Ini akan menjadi hari yang menyenangkan bagi hiu-hiu, tapi mereka tampaknya tak begitu tertarik memangsa manusia. Namun film ini punya alasan ngeles. Sebelumnya dijelaskan bahwa hiu jarang menyerang di siang hari (beritahu ini pada hiu dari The Shallows) dan hanya akan menyerang individu (beritahu ini pada hiu dari Jaws).

Durasi film ini hanya 80 menit. Singkat, tapi sebagian besar dihabiskan dengan melihat keseharian 3 sekawan. Format found-footage mengijinkan filmnya menampilkan beberapa momen filler tak penting, yang sebenarnya jika digunakan dengan efektif bisa membuat kita peduli dengan mereka. Namun, mereka begitu bodoh dan likeable sama sekali, saya tak menikmati melihat mereka bergaul.

Saat terombang-ambing pun, kita terjebak untuk menghabiskan waktu bersama tiga orang yang selalu membuat keputusan bodoh dari waktu ke waktu. Yang paling histeris adalah Megan. Di satu titik nanti, mereka menemukan perahu penyelamat, yang mungkin saja membuat mereka bisa bertahan hidup lebih lama. Apa anda bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya? Tentu saja anda bisa. Kebodohan mereka begitu spektakuler, sampai kita merasa lebih baik penulis naskah meninggalkan poin plot tentang perahu penyelamat, agar kita bisa sedikit lebih bersimpati dengan mereka. Saya tak tahu harus bilang apa lagi pada Megan. Namun saya salut pada keteguhan hati Josh yang tetap memegang kamera hingga akhir, bahkan saat nyawa temannya hampir melayang. Bagus Josh.

Film ini nihil sekuens pemancing suspens apalagi yang intens. Serangan hiu yang pertama (dan yang akan anda rindukan selama film berlangsung) tak begitu menyeramkan. Menurut saya, tak ada kesan bahwa mereka benar-benar dalam bahaya akan diserang hiu. Namun ini kan film Open Water ya; tentang terjebak tanpa harapan di lautan lepas. Apa yang lebih mengerikan daripada berada sendirian di tempat yang perlahan-lahan akan mencabut nyawa anda? Saya berani bilang ini karena mereka adalah karakter dalam film, bukan manusia sungguhan: tiga sekawan ini memang lebih baik berada disana. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Cage Dive

80 menit
Dewasa
Gerald Rascionato
Gerald Rascionato
Rana Joy Glickman, Charles M. Barsamian, Jacob H. Gray, Antoine Mouawad, Gerald Rascionato

Polling: Film Pilihan 01-09-2017 s.d. 07-09-2017

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Polling, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Polling: Film Pilihan 01-09-2017 s.d. 07-09-2017
link : Polling: Film Pilihan 01-09-2017 s.d. 07-09-2017

Baca juga



Saya kira kita semua bisa setuju bahwa hanya ada dua film besar yang dirilis minggu lalu, yaitu Baby Driver dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Sisanya adalah Midnight Runners, Inhumans (IMAX), dan Colossal.

Persaingan ini dimenangkan oleh Baby Driver dengan 55,56% , sementara Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 menyusul di bawahnya dengan 22,22%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP


Saya kira kita semua bisa setuju bahwa hanya ada dua film besar yang dirilis minggu lalu, yaitu Baby Driver dan Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Sisanya adalah Midnight Runners, Inhumans (IMAX), dan Colossal.

Persaingan ini dimenangkan oleh Baby Driver dengan 55,56% , sementara Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2 menyusul di bawahnya dengan 22,22%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP

Thursday, September 7, 2017

Drew Goddard akan Tangani Film ‘X-Force’, Versi Dewasa dari ‘X-Men’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Drew Goddard akan Tangani Film ‘X-Force’, Versi Dewasa dari ‘X-Men’
link : Drew Goddard akan Tangani Film ‘X-Force’, Versi Dewasa dari ‘X-Men’

Baca juga


Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard.

Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard. Seperti dilansir Deadline, Goddard ditunjuk sebagai sutradara merangkap penulis naskah untuk film yang memasang Deadpool sebagai karakter sentral ini. Diketahui pula film X-Force akan diproduseri Simon Kinberg, Lauren Shuler Donner dan sang pemeran Deadpool, Ryan Reynolds.

Berdasarkan informasi yang beredar, film ini mengisahkan Deadpool yang memimpin pasukan rahasia beranggotakan mutant-mutan sinting yang jauh lebih kejam dibanding saudara mereka di X-Men. Dengan sinopsis tersebut, tak heran jika film X-Force dirancang sebagai versi dewasa dari X-Men. Apalagi dengan kesuksesan beruntun dari Deadpool dan Logan, tak perlu diragukan lagi Fox akan melabeli X-Force rating R (17+) yang identik dengan kekerasan tingkat tinggi.

Dikenal lewat film horor arahannya yang berjudul Cabin in the Woods, Goddard diketahui juga pernah menjadi penulis skrip di beberapa film populer seperti Cloverfield, World War Z dan The Martian. Goddard juga tak asing dengan proyek berbau superhero mengingat ia bertindak sebagai kreator serial Daredevil season pertama. Selain itu, ia sempat jadi sutradara spin-off The Amazing Spider-Man, Sinister Six, sebelum proyek tersebut dibatalkan Sony. Kini, Goddard tengah menulis skrip X-Force, sembari bersiap menggarap film terbarunya, Bad Times at the El Royale. Usai skrip X-Force rampung, kabarnya Goddard akan langsung menggarap filmnya.

Dalam komiknya, mutant yang pernah bergabung jadi anggota X-Force bermacam-macam. Namun di filmnya nanti, selain Deadpool, ada kemungkinan X-Force juga akan digawangi Cable (Josh Brolin) dan Domino (Zazie Beetz) yang siap debut di Deadpool 2.

Untuk saat ini belum ada konfirmasi terkait jadwal syuting maupun tanggal rilis X-Force. Yang pasti, Fox akan meluncurkan tiga film mutant untuk 2018, yakni New Mutants (April), Deadpool 2 (Juni) dan X-Men: Dark Phoenix (November). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard.

Salah satu proyek film mutant milik 20th Century yang fokus pada aksi X-Force akhirnya melangkah maju berkat kedatangan Drew Goddard. Seperti dilansir Deadline, Goddard ditunjuk sebagai sutradara merangkap penulis naskah untuk film yang memasang Deadpool sebagai karakter sentral ini. Diketahui pula film X-Force akan diproduseri Simon Kinberg, Lauren Shuler Donner dan sang pemeran Deadpool, Ryan Reynolds.

Berdasarkan informasi yang beredar, film ini mengisahkan Deadpool yang memimpin pasukan rahasia beranggotakan mutant-mutan sinting yang jauh lebih kejam dibanding saudara mereka di X-Men. Dengan sinopsis tersebut, tak heran jika film X-Force dirancang sebagai versi dewasa dari X-Men. Apalagi dengan kesuksesan beruntun dari Deadpool dan Logan, tak perlu diragukan lagi Fox akan melabeli X-Force rating R (17+) yang identik dengan kekerasan tingkat tinggi.

Dikenal lewat film horor arahannya yang berjudul Cabin in the Woods, Goddard diketahui juga pernah menjadi penulis skrip di beberapa film populer seperti Cloverfield, World War Z dan The Martian. Goddard juga tak asing dengan proyek berbau superhero mengingat ia bertindak sebagai kreator serial Daredevil season pertama. Selain itu, ia sempat jadi sutradara spin-off The Amazing Spider-Man, Sinister Six, sebelum proyek tersebut dibatalkan Sony. Kini, Goddard tengah menulis skrip X-Force, sembari bersiap menggarap film terbarunya, Bad Times at the El Royale. Usai skrip X-Force rampung, kabarnya Goddard akan langsung menggarap filmnya.

Dalam komiknya, mutant yang pernah bergabung jadi anggota X-Force bermacam-macam. Namun di filmnya nanti, selain Deadpool, ada kemungkinan X-Force juga akan digawangi Cable (Josh Brolin) dan Domino (Zazie Beetz) yang siap debut di Deadpool 2.

Untuk saat ini belum ada konfirmasi terkait jadwal syuting maupun tanggal rilis X-Force. Yang pasti, Fox akan meluncurkan tiga film mutant untuk 2018, yakni New Mutants (April), Deadpool 2 (Juni) dan X-Men: Dark Phoenix (November). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem