- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Jika ‘New Mutants’ berakhir sukses, sutradara Josh Boone mengakui akan ada dua film lagi yang menjadi sekuelnya.
Sejak memasuki fase produksi,The New Mutants telah dijanjikan sebagai film horror. Genre yang diusung ini pun dinilai menjadi angin segar tersendiri, karena selama ini belum pernah ada film superhero yang menawarkan atmosfer horror. Seolah ingin membuktikan janji ini bukan sekedar gimmick belaka, Fox pun merilis trailer perdana dari spin-off X-Men tersebut. Dan benar saja, NewMutants memang pantas dilabeli horror karena film ini tak hanya memuat adegan seram yang menimbulkan jumpscare, tapi juga momen disturbing yang tak nyaman untuk dilihat.
Berbeda dengan film superhero pada umumnya, New Mutants tak menyoroti kisah pahlawan berkostum yang melawan supervillain demi menyelamatkan dunia. Sebaliknya, skala cerita NewMutants justru tampil lebih sempit, dimana lima mutant remaja labil dikurung dalam fasilitas rahasia pemerintah. Tak mau terus dikekang, lima remaja berkekuatan super ini akhirnya memberontak dan tak segan menyingkirkan siapapun yang menghalangi mereka.
Yang menarik, jika New Mutants berakhir sukses, sutradara Josh Boone mengakui akan ada dua film lagi yang menjadi sekuelnya, alhasil New Mutants bisa disebut sebagai awal trilogi. Kepada IGN, Boone menjelaskan bahwa sedari awal pihaknya membawa proyek New Mutants ke Fox sebagai trilogi film yang diadaptasi dari komik-komik lawas New Mutants terbitan era 80-an.
Boone pun memastikan seluruh film ini akan bergenre horror, dan masing-masing akan jadi film horror yang berbeda. Untuk New Mutants sendiri, ia akan jadi film horror supernatural bertema “rubber-reality”. Sedangkan untuk film berikutnya akan jadi jenis horror yang berbeda. Soal visinya terhadap trilogi New Mutants, Boone menyatakan timnya berencana menjajaki genre horror melalui film komik, dan masing-masing dari film ini akan menyuguhkan style horror sendiri. Boone juga tak lupa mengungkapkan trilogi ini akan diadaptasi dari event-event besar yang ada di komik NewMutants.
New Mutants sendiri dibintangi Anya Taylor-Joy (Magik), Maisie Williams (Wolfsbane), CharlieHeaton (Cannonball), Henry Zaga (Sunspot) dan Blu Hunt (Mirage). Rencananya film ini akan dirilis 13 April 2018. ■UP
Jika ‘New Mutants’ berakhir sukses, sutradara Josh Boone mengakui akan ada dua film lagi yang menjadi sekuelnya.
Sejak memasuki fase produksi,The New Mutants telah dijanjikan sebagai film horror. Genre yang diusung ini pun dinilai menjadi angin segar tersendiri, karena selama ini belum pernah ada film superhero yang menawarkan atmosfer horror. Seolah ingin membuktikan janji ini bukan sekedar gimmick belaka, Fox pun merilis trailer perdana dari spin-off X-Men tersebut. Dan benar saja, NewMutants memang pantas dilabeli horror karena film ini tak hanya memuat adegan seram yang menimbulkan jumpscare, tapi juga momen disturbing yang tak nyaman untuk dilihat.
Berbeda dengan film superhero pada umumnya, New Mutants tak menyoroti kisah pahlawan berkostum yang melawan supervillain demi menyelamatkan dunia. Sebaliknya, skala cerita NewMutants justru tampil lebih sempit, dimana lima mutant remaja labil dikurung dalam fasilitas rahasia pemerintah. Tak mau terus dikekang, lima remaja berkekuatan super ini akhirnya memberontak dan tak segan menyingkirkan siapapun yang menghalangi mereka.
Yang menarik, jika New Mutants berakhir sukses, sutradara Josh Boone mengakui akan ada dua film lagi yang menjadi sekuelnya, alhasil New Mutants bisa disebut sebagai awal trilogi. Kepada IGN, Boone menjelaskan bahwa sedari awal pihaknya membawa proyek New Mutants ke Fox sebagai trilogi film yang diadaptasi dari komik-komik lawas New Mutants terbitan era 80-an.
Boone pun memastikan seluruh film ini akan bergenre horror, dan masing-masing akan jadi film horror yang berbeda. Untuk New Mutants sendiri, ia akan jadi film horror supernatural bertema “rubber-reality”. Sedangkan untuk film berikutnya akan jadi jenis horror yang berbeda. Soal visinya terhadap trilogi New Mutants, Boone menyatakan timnya berencana menjajaki genre horror melalui film komik, dan masing-masing dari film ini akan menyuguhkan style horror sendiri. Boone juga tak lupa mengungkapkan trilogi ini akan diadaptasi dari event-event besar yang ada di komik NewMutants.
New Mutants sendiri dibintangi Anya Taylor-Joy (Magik), Maisie Williams (Wolfsbane), CharlieHeaton (Cannonball), Henry Zaga (Sunspot) dan Blu Hunt (Mirage). Rencananya film ini akan dirilis 13 April 2018. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Visi kelam sutradara Zack Snyder terhadap DC Extended Universe rupanya bukan hanya ditentang oleh sebagian fans maupun kritikus.
Visi kelam sutradara Zack Snyder terhadap DC Extended Universe rupanya bukan hanya ditentang oleh sebagian fans maupun kritikus. Pasalnya, kabar terbaru mengindikasikan, Diane Nelson selaku President DC Entertainment beserta sejumlah pihak DC lainnya tak sepaham dengan apa yang diimplementasikan Snyder di film besutannya.
Sebagai permulaan, bulan lalu media Vulture mempublikasikan artikel mendalam tentang masa depan DCEU, yang memuat wawancara dengan Geoff Johns (arsitek DCEU) dan Nelson. Poin wawancara ini pun sebagian besar membahas perubahan yang dilakukan dari balik layar, sekaligus gagasan soal konsep DCEU yang berbeda dengan visi awal Snyder.
Saat menghadiri acara podcast Batman On Film, Abraham Riesman yang notabene penulis artikel Vulture tersebut mengungkapkan, sebenarnya ada pernyataan Nelson yang tak disertakan ke dalam artikel final. Pernyataan Nelson inilah yang mengisyaratkan visi Snyder tak sesuai dengan rencana DC sedari awal. Meski telah menyadari adanya ketidakcocokan, Nelson mengakui pihak DC tetap mendukung dan percaya pada sutradara mereka lantaran itu sudah menjadi bagian dari filosofi DC.
“Sebenarnya ada kutipan yang tak jadi dimuat ke dalam artikel final, yakni pernyataan Nelson kepada saya. Itu (pernyataan Nelson) adalah efek dari “kami adalah tempat yang mengutamakan sutradara, dan Zack punya visi yang jelas tidak klik dengan visi kami terhadap sejumlah karakter, tapi kami menghormati keinginannya dan itulah bagian dari filosofi kami’,”tutur Riesman.
Dalam artikel Vulture yang sama, Johns juga disebut sempat khawatir dengan Man of Steelkarena film Superman garapan Snyder ini kurang memiliki humor atau kegembiraan. Namun karena saat itu peran Johns belum sebesar sekarang, opininya pun tak lebih dari angin lalu, Kini seiring Johns menjabat sebagai kepala DCEU, tentu opininya akan lebih didengar. Perubahan saat Johns mengarsiteki DCEU pun cukup kentara. Wonder Woman – film DCEU pertama di bawah kepemimpinan Johns – menuai respon sangat positif. Tak hanya itu, Wonder Woman juga dinilai menjadi film DCEU pertama yang menghadirkan kehangatan dan penuh asa.
Selama berkiprah di DCEU, Snyder telah menyutradarai dua film, yakni Man of Steel dan Batman vSuperman. Visi kontroversial Snyder umumnya melibatkan dekonstruksi karakter yang dinilai menyebabkan para jagoan DC kehilangan daya pikat terbesarnya.
Selanjutnya, Snyder menjadi sutradaraJustice Leagueyang akan tayang 17 November 2017. Film tim superhero DC ini pun mendapat perbaikan dari Joss Whedon, yang sebelumnya sukses menangani film sejenis lewatThe Avengers. ■UP
Visi kelam sutradara Zack Snyder terhadap DC Extended Universe rupanya bukan hanya ditentang oleh sebagian fans maupun kritikus.
Visi kelam sutradara Zack Snyder terhadap DC Extended Universe rupanya bukan hanya ditentang oleh sebagian fans maupun kritikus. Pasalnya, kabar terbaru mengindikasikan, Diane Nelson selaku President DC Entertainment beserta sejumlah pihak DC lainnya tak sepaham dengan apa yang diimplementasikan Snyder di film besutannya.
Sebagai permulaan, bulan lalu media Vulture mempublikasikan artikel mendalam tentang masa depan DCEU, yang memuat wawancara dengan Geoff Johns (arsitek DCEU) dan Nelson. Poin wawancara ini pun sebagian besar membahas perubahan yang dilakukan dari balik layar, sekaligus gagasan soal konsep DCEU yang berbeda dengan visi awal Snyder.
Saat menghadiri acara podcast Batman On Film, Abraham Riesman yang notabene penulis artikel Vulture tersebut mengungkapkan, sebenarnya ada pernyataan Nelson yang tak disertakan ke dalam artikel final. Pernyataan Nelson inilah yang mengisyaratkan visi Snyder tak sesuai dengan rencana DC sedari awal. Meski telah menyadari adanya ketidakcocokan, Nelson mengakui pihak DC tetap mendukung dan percaya pada sutradara mereka lantaran itu sudah menjadi bagian dari filosofi DC.
“Sebenarnya ada kutipan yang tak jadi dimuat ke dalam artikel final, yakni pernyataan Nelson kepada saya. Itu (pernyataan Nelson) adalah efek dari “kami adalah tempat yang mengutamakan sutradara, dan Zack punya visi yang jelas tidak klik dengan visi kami terhadap sejumlah karakter, tapi kami menghormati keinginannya dan itulah bagian dari filosofi kami’,”tutur Riesman.
Dalam artikel Vulture yang sama, Johns juga disebut sempat khawatir dengan Man of Steelkarena film Superman garapan Snyder ini kurang memiliki humor atau kegembiraan. Namun karena saat itu peran Johns belum sebesar sekarang, opininya pun tak lebih dari angin lalu, Kini seiring Johns menjabat sebagai kepala DCEU, tentu opininya akan lebih didengar. Perubahan saat Johns mengarsiteki DCEU pun cukup kentara. Wonder Woman – film DCEU pertama di bawah kepemimpinan Johns – menuai respon sangat positif. Tak hanya itu, Wonder Woman juga dinilai menjadi film DCEU pertama yang menghadirkan kehangatan dan penuh asa.
Selama berkiprah di DCEU, Snyder telah menyutradarai dua film, yakni Man of Steel dan Batman vSuperman. Visi kontroversial Snyder umumnya melibatkan dekonstruksi karakter yang dinilai menyebabkan para jagoan DC kehilangan daya pikat terbesarnya.
Selanjutnya, Snyder menjadi sutradaraJustice Leagueyang akan tayang 17 November 2017. Film tim superhero DC ini pun mendapat perbaikan dari Joss Whedon, yang sebelumnya sukses menangani film sejenis lewatThe Avengers. ■UP
Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
“We've got this together.” — Twilight Sparkle
Rating UP: Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.
Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.
Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.
Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.
Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).
Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.
Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.
Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP
Meghan McCarthy, Rita Hsiao, Michael Vogel (screenplay), Lauren Faust (serial)
Brian Goldner, Stephen Davis, Marcia Gwendolyn Jones, Haven Alexander
Anthony Di Ninno
Daniel Ingram
Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
“We've got this together.” — Twilight Sparkle
Rating UP: Mengulas My Little Pony bagi saya cukup pelik. Ini sama seperti mengulas film-film Barbie. Film-film seperti itu ditujukan untuk kalangan penonton tertentu dan saya jelas bukan salah satunya. Mengingat fakta tersebut, ditambah dengan kenyataan bahwa saya lumayan menikmatinya selama menonton, saya pikir My Little Pony adalah film yang, kurang lebih, bagus. Film ini mungkin secara tak sengaja sudah membangkitkan jiwa kanak-kanak saya. Atau malah sisi feminin saya.
Menyenangkan melihat kembali animasi dua dimensi di jaman sekarang, walau filmnya sebenarnya juga memanfaatkan CGI di beberapa bagian. Di era sinema yang didominasi oleh animasi tiga dimensi, menonton film ini menyegarkan mata. Gerak animasinya mulus, karakternya ekspresif, dan gambarnya penuh warna, tentu saja, karena ia melibatkan pony, glitters, cupcake, dan pelangi di semesta yang magical.
Dari Wikipedia, saya tahu bahwa My Little Pony adalah properti mainan dari Hasbro. Lauren Faust, kreator The Powerpuff Girls, kemudian direkrut untuk mengkapitalisasi merek ini menjadi serial TV yang sedemikian sukses hingga berlanjut sampai musim ketujuh. Yang bukan penggemar serialnya takkan banyak dibantu untuk memahami mekanisme semesta Equestria —kerajaan tempat para pony tinggal— di versi film ini. Anda akan terjun bebas langsung ke dunia penuh sakarin.
Tokoh utamanya adalah enam pony, yang belakangan saya tahu berjuluk “Mane Six”, yang punya penampilan, ciri khas, kepribadian, dan kelemahan masing-masing. Mereka terdiri dari: Putri Twilight Sparkle (Tara Strong), si gesit Rainbow Dash (Asleigh Ball), si koboi Applejack (juga Ball), si ngocol Pinkie Pie (Andrea Libman), si pemalu Fluttershy (juga Libman), dan si glamor Rarity (Tabitha St. Germain). Saya lihat tak semuanya mirip; ada yang punya tanduk, ada yang punya sayap, dan ada pula yang tak punya keduanya sama sekali. Mungkin spesiesnya beda; ada yang pony, ada yang unicorn, dan ada yang pegasus. Saya kira pakar My Little Pony bisa menjawabnya. Sebagai tambahan, ada naga mungil bernama Spike (Cathy Weseluck) yang menjadi sidekick mereka.
Bersama dengan seluruh penduduk kerajaan, mereka tengah mempersiapkan Festival Persahabatan. Namun festival ini diganggu dengan kedatangan pony jahat bernama Tempest (Emily Blunt) yang menculik 3 putri Equestria. Tempest sebenarnya diutus oleh bosnya, Storm King (Liev Schreiber) untuk mengambil kekuatan 4 putri, tapi Putri Twilight dkk berhasil lolos di saat-saat terakhir.
Satu-satunya harapan adalah dengan meminta bantuan kepada ras hippogriff (semacam hibrid antara unicorn, pony, dan elang) yang dipimpin oleh Ratu Novo (Uzo Aduba). Namun menemukannya tak mudah, bahkan ada kemungkinan bahwa hippogriff ini sudah tak ada lagi. Belum lagi di perjalanan mereka harus berjumpa dengan berbagai macam rintangan, mulai dari kucing penipu (Taye Diggs) sampai gerombolan bajak laut yang dipimpin oleh kakaktua feminis (Zoe Saldana).
Disutradarai oleh Jayson Thiessen, film ini menyasar gaya film animasi lawas. Penampakan animasi dan gayanya bercerita terlihat seperti animasi yang sering kita tonton di minggu pagi, hanya saja dengan kualitas visual yang lebih kaya. Ada beberapa set-pieces yang sangat menarik, misalnya sekuens bawah air dan pertarungan (ya, anda tak salah baca) di kapal yang melayang di angkasa. Konfliknya sangat sederhana, perkembangan plotnya sudah sering kita lihat, tapi kenapa oh saya masih betah menyaksikannya? Plotnya ringan tapi berisi cukup ketegangan untuk membuat penonton terlibat. Tentu saja, film akan ditutup dengan pesan moral mengenai “persahabatan adalah segalanya” dan adegan dansa yang nge-beat.
Karena filmnya adalah musikal, maka ia diisi dengan beberapa sekuens musikal ala animasi Disney yang diiringi oleh tembang yang digarap oleh komposer Daniel Ingram. Lagu-lagunya tak begitu berkesan tapi cukup keci untuk membuat saya mengangguk-anggukkan kepala. Ada satu lagu yang disumbangkan oleh Sia, yang juga ikut bermain sebagai pony seleb bernama Songbird Serenade.
Film ini jelas dibuat untuk anak-anak kelas 3 SD ke bawah, terutama bagi mereka yang juga suka bermain Barbie. Menontonnya, kita kira, mungkin akan seperti menyaksikan iklan mainan menyilaukan yang berdurasi panjang. Benar juga sebenarnya, karena Hasbro kabarnya memang memaksudkannya untuk tujuan tersebut. Namun film ini manis dan tulus. Anak-anak akan menikmatinya dalam level kenikmatan menonton yang paling dasar, tapi orang dewasa mungkin akan mengapresiasinya karena mengingatkan pada film animasi anak-anak klasik. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Buletin, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Film lulus sensor minggu ini antara lain: '2:22', 'Only the Brave', 'Stronger', 'Hujan Bulan Juni', dan 'Thor: Ragnarok'.
Indonesia akan menjadi salah satu dari beberapa negara yang mendapat penayangan Thor: Ragnarok lebih awal daripada Amerika. Di kampung halamannya, film ini baru rilis pada 3 November, sementara akun twitter Marvel Indonesia mengkonfirmasi bahwa filmnya akan tayang di akhir Oktober (kemungkinan besar 25 Oktober). Oleh karena itu, ia sudah dilulussensorkan oleh LSF dengan mendapat rating "13+", tanpa sensor.
Stronger, biopik tentang seorang korban "Boston Marathon Bombing" yang kehilangan kedua kakinya, ternyata diboyong juga masuk ke Indonesia. Film yang dibintangi oleh Jake Gyllenhaal ini sudah tayang sejak bulan lalu di Amerika dan mendapat respon bagus dari kritikus. Sayang, importirnya adalah PT Prima Cinema Multimedia (PCM), yang berarti jadwal rilisnya akan sama gajenya dengan kapan SetNov diadili lagi.
Only the Brave mungkin tak begitu terdengar gaungnya. Namun film mengenai kru pemadam kebakaran elit ini dibintangi oleh nama menarik seperti Josh Brolin, Miles Teller, Jeff Bridges, Taylor Kitsch, James Badge Dale, dan Jennifer Connelly. Amerika akan merilisnya pada 20 Oktober. Entah bagaimana dengan Indonesia, mengingat importirnya yang juga adalah PT PCM.
Satu-satunya film lokal minggu ini adalah Hujan Bulan Juni, adaptasi dari novel populer karya Sapardi Djoko Damono. Dibintangi oleh Adipati Dolken, Velove Vexia, dan aktor Jepang Koutaro Kakimoto, film ini sebenarnya baru akan tayang pada 2 November mendatang.
Film lulus sensor minggu ini antara lain: '2:22', 'Only the Brave', 'Stronger', 'Hujan Bulan Juni', dan 'Thor: Ragnarok'.
Indonesia akan menjadi salah satu dari beberapa negara yang mendapat penayangan Thor: Ragnarok lebih awal daripada Amerika. Di kampung halamannya, film ini baru rilis pada 3 November, sementara akun twitter Marvel Indonesia mengkonfirmasi bahwa filmnya akan tayang di akhir Oktober (kemungkinan besar 25 Oktober). Oleh karena itu, ia sudah dilulussensorkan oleh LSF dengan mendapat rating "13+", tanpa sensor.
Stronger, biopik tentang seorang korban "Boston Marathon Bombing" yang kehilangan kedua kakinya, ternyata diboyong juga masuk ke Indonesia. Film yang dibintangi oleh Jake Gyllenhaal ini sudah tayang sejak bulan lalu di Amerika dan mendapat respon bagus dari kritikus. Sayang, importirnya adalah PT Prima Cinema Multimedia (PCM), yang berarti jadwal rilisnya akan sama gajenya dengan kapan SetNov diadili lagi.
Only the Brave mungkin tak begitu terdengar gaungnya. Namun film mengenai kru pemadam kebakaran elit ini dibintangi oleh nama menarik seperti Josh Brolin, Miles Teller, Jeff Bridges, Taylor Kitsch, James Badge Dale, dan Jennifer Connelly. Amerika akan merilisnya pada 20 Oktober. Entah bagaimana dengan Indonesia, mengingat importirnya yang juga adalah PT PCM.
Satu-satunya film lokal minggu ini adalah Hujan Bulan Juni, adaptasi dari novel populer karya Sapardi Djoko Damono. Dibintangi oleh Adipati Dolken, Velove Vexia, dan aktor Jepang Koutaro Kakimoto, film ini sebenarnya baru akan tayang pada 2 November mendatang.
Film 'Geostorm' tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?
“You can't just touch it and expect everything to work.” — Jake Lawson
Rating UP: Berani taruhan bahwa 90% dari penonton yang membeli tiket akan kecewa mendapati film yang mereka tonton ini. Ketika masuk ke bioskop yang menayangkan Geostorm, penonton berharap melihat geostorm, terlepas dari apakah mereka paham apa arti kata tersebut atau tidak. Kita tak mengharapkan hal lain, apalagi lebih sering menyaksikan orang-orang yang ngomong tanpa henti atau terlihat khawatir di depan layar komputer. Film Geostorm tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?
Film ini harusnya bisa menjadi 2012-nya 2017. Maksud saya, rajanya film bencana dikarenakan usahanya untuk memasukkan segala macam jenis bencana alam ke dalam satu film. Posternya menyesatkan; kita melihat tsunami besar melanda kota. Namun, sebagian besar film dihabiskan dengan obrolan seputar keluarga, kalau tidak yaa konspirasi pemerintah, kalau tidak yaa jargon canggih yang nonsens.
Bukannya saya komplain soal film bencana yang doyan memakai jargon canggih yang nonsens. Film bencana yang efektif, menggunakan hal tersebut sebagai build-up, membuat kita mengantipasi bahaya yang akan datang. Kita tak peduli apakah itu masuk akal secara logika atau hukum fisika, namun percaya saja, wong filmnya bilang begitu. Akan tetapi, ada begitu banyak obrolan seperti itu di dalam film ini, seolah-olah ia bermain seperti A Spacetime Odyssey saja. Padahal masuk akal saja tidak, boro-boro ilmiah. Sekilas info: tak ada orang yang berharap menjadi lebih cerdas setelah menonton film semacam Geostorm. Ketika melihat mobil berkejaran menghindari hujan petir, saya berteriak girang. Ini dia film yang ingin saya tonton. Tiba-tiba, filmnya habis.
Film ini memang juga memparadekan bangunan dan kota yang porak-poranda dengan lebay. Cuma sebentar tapi. Sebagaimana semua film bencana, sekuens seperti ini menggelikan tapi seru untuk ditonton. Premis Geostorm sebenarnya sudah sangat pas sekali konyolnya, tapi ia hanya sebatas menggoda saja. Faktanya, dan ini sangat spoiler sekali, film ini tak menampilkan geostorm sama sekali. Geostorm berhasil dicegah sebelum terjadi. Jadi lebih akurat jika judulnya "Pra-Geostorm".
Yang mencegahnya —dan saya harus menekankan ini— seorang diri (!) adalah Gerard Butler yang bermain sebagai Jake, ilmuwan yang luar biasa cerdas tapi juga luar biasa slenge’an sampai santai saja meledek anggota DPR saat sedang rapat. Untung kejadiannya di Amerika, jadi Jake hanya dipecat saja dari jabatannya sebagai koordinator “Dutch Boy”. Ia digantikan oleh adiknya sendiri, Max (Jim Sturgess). Di Indonesia bikin meme saja bisa dipidanakan, apalagi meledek langsung, Jake.
Oh, saya lupa soal “Dutch Boy”. Perangkat ini adalah semacam satelit yang dibuat oleh 18 negara untuk menanggulangi cuaca ekstrim. Diceritakan di awal bahwa di tahun 2019 bumi dilanda perubahan iklim yang mengerikan. Satelit tadi mampu menetralisir cuaca seperti apapun dengan cara, uhm, menembakkan rudal-rudal yang saya asumsikan sangat-sangat canggih. Tentu saja, alat ini di kemudian hari mengalami malfungsi, yang diprediksi akan memberikan bumi sebuah bencana pamungkas bernama g-e-o-s-t-o-r-m.
Jadi, oleh karena “Dutch Boy” ini rusak, maka kita akan melihat orang-orang tunggang-langgang di jalanan dan kota dibuat berjumpalitan? Hmm, tidak juga, karena misteri di balik sabotase “Dutch Boy” lebih penting. Presiden Amerika (Andy Garcia) serta sekretarisnya (Ed Harris) meminta Max untuk memanggil kembali Jake. Jake harus menangani malfungsi di satelit tersebut, sementara Max, yang ngomong-ngomong pacaran dengan anggota paspampres (Abbie Cornish), menyelidiki siapa dalang dari peristiwa tersebut di bumi.
Dalam film lain, subplot semacam ini biasanya jadi bumbu saja. Dalam Geostorm, ia menjadi bahan utama. Sabotase terjadi beberapa saat ketika Amerika, yang memegang kendali sementara “Dutch Boy”, harus menyerahkan satelit ini kepada PBB. Kejadian in kebetulan bertepatan pula dengan momen kampanye pemilu presiden. Apalagi coba pemicu konflik kalau bukan politik. Helaw, orang-orang di belahan bumi lain lagi panik btw; Timur Tengah diterpa salju, pantai di Brazil membeku, dan suhu udara Hongkong sampai melelehkan aspal. Kalau mau fokus konspirasi politik, kita mending membaca hikayat Setnov.
Film ini digarap oleh Dean Devlin yang memulai debutnya sebagai sutradara setelah bertahun-tahun menjadi produser bagi Roland Emmerich, bapaknya film bencana yang sudah kita akrabi lewat Independence Day, The Day After Tomorrow, dan 2012. Meski berdurasi singkat, efek spesialnya cukup mengagumkan. Mungkin karena dipoles bertahun-tahun. Tapi film bencana bukan sekedar menghancurkan gedung atau monumen. Manusia, sekonyol apapun prilaku mereka di film, adalah salah satu elemen yang membuat film bencana menjadi seru. Makin histeris, makin seru. Apa gunanya film bencana kalau kita tak merasakan bencana yang dirasakan karakternya? Itulah kenapa orang menyewa Emmerich.
Satu pertanyaan mengganjal yang muncul ketika saya melihat Gerard Butler mengambang di ruang angkasa dalam baju astronotnya: bagaimana sebenarnya mekanisme “Dutch Boy”? Satelit ini berfungsi untuk mencegah cuaca ekstrim. Saat disabotase, ia akan memicu geostorm. Tokoh utama kita berjuang mati-matian mengatasi hal tersebut, yang ujung-ujungnya adalah dengan menghancurkan “Dutch Boy”. Nah lho, kalau “Dutch Boy” hancur, bumi dilanda cuaca ekstrim lagi dong? Jika sekuelnya dirilis, saya pasti akan menontonnya. Di film tersebut kita pasti akan mendapatkan bencana sungguhan. ■UP
Film 'Geostorm' tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?
“You can't just touch it and expect everything to work.” — Jake Lawson
Rating UP: Berani taruhan bahwa 90% dari penonton yang membeli tiket akan kecewa mendapati film yang mereka tonton ini. Ketika masuk ke bioskop yang menayangkan Geostorm, penonton berharap melihat geostorm, terlepas dari apakah mereka paham apa arti kata tersebut atau tidak. Kita tak mengharapkan hal lain, apalagi lebih sering menyaksikan orang-orang yang ngomong tanpa henti atau terlihat khawatir di depan layar komputer. Film Geostorm tak memberikan apa yang ia janjikan. Mana geostorm-nya?
Film ini harusnya bisa menjadi 2012-nya 2017. Maksud saya, rajanya film bencana dikarenakan usahanya untuk memasukkan segala macam jenis bencana alam ke dalam satu film. Posternya menyesatkan; kita melihat tsunami besar melanda kota. Namun, sebagian besar film dihabiskan dengan obrolan seputar keluarga, kalau tidak yaa konspirasi pemerintah, kalau tidak yaa jargon canggih yang nonsens.
Bukannya saya komplain soal film bencana yang doyan memakai jargon canggih yang nonsens. Film bencana yang efektif, menggunakan hal tersebut sebagai build-up, membuat kita mengantipasi bahaya yang akan datang. Kita tak peduli apakah itu masuk akal secara logika atau hukum fisika, namun percaya saja, wong filmnya bilang begitu. Akan tetapi, ada begitu banyak obrolan seperti itu di dalam film ini, seolah-olah ia bermain seperti A Spacetime Odyssey saja. Padahal masuk akal saja tidak, boro-boro ilmiah. Sekilas info: tak ada orang yang berharap menjadi lebih cerdas setelah menonton film semacam Geostorm. Ketika melihat mobil berkejaran menghindari hujan petir, saya berteriak girang. Ini dia film yang ingin saya tonton. Tiba-tiba, filmnya habis.
Film ini memang juga memparadekan bangunan dan kota yang porak-poranda dengan lebay. Cuma sebentar tapi. Sebagaimana semua film bencana, sekuens seperti ini menggelikan tapi seru untuk ditonton. Premis Geostorm sebenarnya sudah sangat pas sekali konyolnya, tapi ia hanya sebatas menggoda saja. Faktanya, dan ini sangat spoiler sekali, film ini tak menampilkan geostorm sama sekali. Geostorm berhasil dicegah sebelum terjadi. Jadi lebih akurat jika judulnya "Pra-Geostorm".
Yang mencegahnya —dan saya harus menekankan ini— seorang diri (!) adalah Gerard Butler yang bermain sebagai Jake, ilmuwan yang luar biasa cerdas tapi juga luar biasa slenge’an sampai santai saja meledek anggota DPR saat sedang rapat. Untung kejadiannya di Amerika, jadi Jake hanya dipecat saja dari jabatannya sebagai koordinator “Dutch Boy”. Ia digantikan oleh adiknya sendiri, Max (Jim Sturgess). Di Indonesia bikin meme saja bisa dipidanakan, apalagi meledek langsung, Jake.
Oh, saya lupa soal “Dutch Boy”. Perangkat ini adalah semacam satelit yang dibuat oleh 18 negara untuk menanggulangi cuaca ekstrim. Diceritakan di awal bahwa di tahun 2019 bumi dilanda perubahan iklim yang mengerikan. Satelit tadi mampu menetralisir cuaca seperti apapun dengan cara, uhm, menembakkan rudal-rudal yang saya asumsikan sangat-sangat canggih. Tentu saja, alat ini di kemudian hari mengalami malfungsi, yang diprediksi akan memberikan bumi sebuah bencana pamungkas bernama g-e-o-s-t-o-r-m.
Jadi, oleh karena “Dutch Boy” ini rusak, maka kita akan melihat orang-orang tunggang-langgang di jalanan dan kota dibuat berjumpalitan? Hmm, tidak juga, karena misteri di balik sabotase “Dutch Boy” lebih penting. Presiden Amerika (Andy Garcia) serta sekretarisnya (Ed Harris) meminta Max untuk memanggil kembali Jake. Jake harus menangani malfungsi di satelit tersebut, sementara Max, yang ngomong-ngomong pacaran dengan anggota paspampres (Abbie Cornish), menyelidiki siapa dalang dari peristiwa tersebut di bumi.
Dalam film lain, subplot semacam ini biasanya jadi bumbu saja. Dalam Geostorm, ia menjadi bahan utama. Sabotase terjadi beberapa saat ketika Amerika, yang memegang kendali sementara “Dutch Boy”, harus menyerahkan satelit ini kepada PBB. Kejadian in kebetulan bertepatan pula dengan momen kampanye pemilu presiden. Apalagi coba pemicu konflik kalau bukan politik. Helaw, orang-orang di belahan bumi lain lagi panik btw; Timur Tengah diterpa salju, pantai di Brazil membeku, dan suhu udara Hongkong sampai melelehkan aspal. Kalau mau fokus konspirasi politik, kita mending membaca hikayat Setnov.
Film ini digarap oleh Dean Devlin yang memulai debutnya sebagai sutradara setelah bertahun-tahun menjadi produser bagi Roland Emmerich, bapaknya film bencana yang sudah kita akrabi lewat Independence Day, The Day After Tomorrow, dan 2012. Meski berdurasi singkat, efek spesialnya cukup mengagumkan. Mungkin karena dipoles bertahun-tahun. Tapi film bencana bukan sekedar menghancurkan gedung atau monumen. Manusia, sekonyol apapun prilaku mereka di film, adalah salah satu elemen yang membuat film bencana menjadi seru. Makin histeris, makin seru. Apa gunanya film bencana kalau kita tak merasakan bencana yang dirasakan karakternya? Itulah kenapa orang menyewa Emmerich.
Satu pertanyaan mengganjal yang muncul ketika saya melihat Gerard Butler mengambang di ruang angkasa dalam baju astronotnya: bagaimana sebenarnya mekanisme “Dutch Boy”? Satelit ini berfungsi untuk mencegah cuaca ekstrim. Saat disabotase, ia akan memicu geostorm. Tokoh utama kita berjuang mati-matian mengatasi hal tersebut, yang ujung-ujungnya adalah dengan menghancurkan “Dutch Boy”. Nah lho, kalau “Dutch Boy” hancur, bumi dilanda cuaca ekstrim lagi dong? Jika sekuelnya dirilis, saya pasti akan menontonnya. Di film tersebut kita pasti akan mendapatkan bencana sungguhan. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Review,
Artikel Sci-Fi,
Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
'Blade Runner 2049' tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya.
“Things were simpler then.” — K
Rating UP: Blade Runner 2049 adalah sekuel yang sepadan bagi pendahulunya, Blade Runner yang sekarang menyandang status sebagai film cult yang legendaris. Sutradara Denis Villeneuve baru saja memberikan sebuah pencapaian yang hampir mustahil dilakukan. Ia menghormati film pendahulunya, mengekspansi mitologinya, sekaligus membuat sebuah film bagus yang bisa berdiri sendiri. Blade Runner 2049 layak bersanding dengan Aliens, Star Wars: The Empire Strikes Back, dan Terminator 2: Judgment Day sebagai film sekuel terbaik.
Eksistensi Blade Runner 2049 sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu keajaiban. Langka sekali studio yang mau bertaruh seriskan ini, membangkitkan kembali merek yang bukan sebuah properti klasik yang menjanjikan secara komersial. Memang Blade Runner merupakan salah satu film scifi paling berpengaruh, namun ia gagal mencatatkan raihan box office yang jangankan menguntungkan, balik modal saja tidak. Bahkan petinggi Warner Bros sendiri takut penonton takkan mengerti dengan filmnya sampai harus menambahkan narasi yang menganggu di dalam versi orisinalnya yang dirilis di tahun 1982. Jadi kita harus memberikan kredit kepada siapapun eksekutif Warner Bros sekarang yang nekat melampuhijaukan proyek ini lantas memberikan bujet jor-joran kepada Villeneuve, sutradara yang notabene tak dikenal karena keterampilan blockbusternya.
Ketika menonton Arrival, saya mendapati gaya sinematis Villeneuve sedikit menjauhkan saya dari elemen manusiawi filmnya. Blade Runner 2049 ternyata wadah yang sangat pas bagi gaya Villeneuve yang dingin, kaku, dan selow, karena dunia Blade Runner adalah dunia yang dingin. Ia diisi dengan karakter non-manusia, dan kalaupun ada manusianya, mereka tak bertingkah manusiawi. Sebentar. Atau jangan-jangan mereka memang bukan manusia?
Salah satu aspek yang membuat filmnya segar adalah karena ia dibangun dengan pondasi yang cerdas. Ia tahu apa yang kita sudah tahu. Blade Runner 2049 tak lagi bermain dengan persepsi di Blade Runner dimana Replika (terjemahan resmi dari istilah “Replicant”) secara umum tak tahu bahwa mereka adalah Replika. Para Replika sudah cukup pintar untuk menyadari jati diri mereka. Mereka tahu bahwa ingatan mereka ditanam. Namun di film ini tetap ada sesuatu, yang tak berani saya ungkap disini, yang membuat mereka merasa semakin mendekati manusia. Konfliknya selalu soal Replika yang ingin menjadi manusia, dan Blade Runner 2049 mengambil perspektif yang semakin memperdalam tema tersebut. Ruang lingkup plotnya relatif lebih kecil dibanding Blade Runner tapi temanya semakin berkembang.
Di Amerika, Villeneuve dan Warner Bros meminta kritikus untuk tak mengungkap sebagian besar poin plot dan karakter tertentu dalam review mereka. Bukannya saya sok-sokan kritikus—apalah blog saya ini— tapi saya akan melakukan hal yang sama, karena memang cara terbaik untuk menikmati film ini adalah dengan mengetahui tentangnya sesedikit mungkin. Beberapa bagian cerita dan beberapa pengungkapannya memang lebih baik tak tersentuh sebelum menontonnya langsung. Saya akan manut dengan wangsit dari Villeneuve, dan hanya akan memaparkan konteks dan apa yang kita tahu dari materi promonya, seperti kemunculan Rick Deckard (Harrison Ford) atau peristiwa blackout di tahun 2020 yang menghapus semua data mengenai Replika.
Tokoh utama kita adalah K (Ryan Gosling), seorang Blade Runner —polisi yang ditugaskan untuk memburu dan “menetralisir” Replika— yang tahu bahwa ia adalah Replika. Gosling merupakan pilihan sempurna untuk memerankan K. Ia aktor karismatik yang bisa menyembunyikan ekspresi di permukaan —ia bahkan tak pernah tersenyum— tapi menyimpan banyak emosi di dalam. Blade Runner 2049 merupakan perjalanan spiritual bagi K.
Setiap selesai menuntaskan misi, ia diwajibkan oleh bosnya, Letnan Joshi (Robin Wright) melakukan tes psikologis sederhana untuk memastikan kewarasannya sebagai Replika. Ia sadar bahwa ia tak punya masa kecil, bahwa masa kanak-kanaknya yang bermain dengan miniatur kuda kayu adalah ingatan yang ditanam. Atau jangan-jangan bukan begitu? K adalah penyendiri tapi ia tinggal bersama pacar hologram bernama Joi (Ana de Armas) yang bisa berganti baju dari satu pakaian seksi ke pakaian seksi lainnya dalam sekejap, membuatkannya masakan fiktif, dan memberinya perhatian dan kehangatan yang tak didapatkannya dari manusia.
Pasca blackout di tahun 2020, perusahaan Tyrell kolaps. Bisnis produksi Replika sekarang diambil alih oleh jenius sinting Niander Wallace (Jared Leto) yang punya mata seram dan banyak bicara soal omong kosong filosofis. Perusahaan Wallace menciptakan Replika model baru yang lebih canggih dan lebih patuh. Ia punya ajudan seorang Replika wanita tegas bernama Luv (Sylvia Hoeks).
Plot film ini mirip dengan Blade Runner yang dimulai dengan misi sederhana ala detektif sebelum karakter utama kita terpaksa terjun ke dalam misteri noir yang lebih kompleks. Di awal film, K diperintahkan untuk melenyapkan seorang Replika lama bernama Sapper (Dave Bautista) yang hidup dengan tenang sebagai petani di sebuah desa. Namun apa yang K temukan disana membawanya ke dalam intrik yang melibatkan jati dirinya dan hakikat Replika itu sendiri. Sesuatu yang mengancam “hukum alam” yang membedakan manusia dengan Replika dan bisa menghancurkan semuanya.
Meski begitu, film ini tak mengulang lagu lama pendahulunya atau sekadar mengalihkan perhatian kita lewat nostalgia. Ia mengangkat ide baru yang merupakan hasil ekspansi dari ide lama yang menjadi tema ikonik Blade Runner. Kita bahkan tak terlalu menantikan kemunculan Deckard karena sudah begitu larut dengan ceritanya, meski Deckard sendiri punya peran yang sangat krusial nantinya. Pertanyaan filosofis dari novel Philip K. Dick yang menjadi materi sumber dari Blade Runner, ternyata masih bisa dibuat terasa baru. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan Replika saat mereka punya fisik yang mirip? Ketika memori bisa ditanam, apakah ia tak lagi relevan saat Replika menyadarinya padahal mereka merasakannya secara personal? Jika Replika bisa berpikir dan merasa, bisakah mereka disebut manusia?
Dengan durasi mencapai 163 menit, Blade Runner 2049 terasa sedikit panjang. Namun Villeneuve menjaga agar atmosfer filmnya tetap mencekat. Film ini bukan space opera berorientasi aksi melainkan misteri neo-noir yang mengandalkan mood. Tiga puluh tahun pasca Deckard menghilang, Los Angeles masih terlihat sebagai kota futuristik dengan baliho raksasa berlampu neon dan gedung-gedung gelap yang menjulang tinggi. Hanya saja, suasananya lebih buruk. Bersama sinematografer legendaris Roger Deakins, Villeneuve menyuguhkan sebuah semesta yang suram tapi cantik. Set-nya mengagumkan, dan skema warnanya —baik di reruntuhan berlatar langit jingga, balutan salju, atau klimaks di dam buatan— sangat memanjakan mata. Didampingi dengan scoring berderu dan menggelegar dari Hans Zimmer dan Benjamin Walfisch, film ini adalah pengalaman sinematis yang luar biasa.
Terlalu dini untuk menyebut Blade Runner 2049 akan menjadi film klasik seperti pendahulunya yang punya dampak besar terhadap genre scifi. Namun ini memang film yang powerful. Filmnya tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya. Ia menjawab beberapa hal dari Blade Runner sekaligus mengangkat pertanyaan-pertanyaan baru. Ceritanya anyar, tapi berhubungan kuat dengan masa lalu, sekaligus membuka kemungkinan baru untuk masa depan. ■UP
Hampton Fancher, Michael Green (screenplay), Philip K. Dick (novel)
Andrew A. Kosove, Broderick Johnson, Bud Yorkin, Cynthia Yorkin
Roger Deakins
Hans Zimmer, Benjamin Wallfisch
'Blade Runner 2049' tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya.
“Things were simpler then.” — K
Rating UP: Blade Runner 2049 adalah sekuel yang sepadan bagi pendahulunya, Blade Runner yang sekarang menyandang status sebagai film cult yang legendaris. Sutradara Denis Villeneuve baru saja memberikan sebuah pencapaian yang hampir mustahil dilakukan. Ia menghormati film pendahulunya, mengekspansi mitologinya, sekaligus membuat sebuah film bagus yang bisa berdiri sendiri. Blade Runner 2049 layak bersanding dengan Aliens, Star Wars: The Empire Strikes Back, dan Terminator 2: Judgment Day sebagai film sekuel terbaik.
Eksistensi Blade Runner 2049 sendiri sebenarnya sudah merupakan suatu keajaiban. Langka sekali studio yang mau bertaruh seriskan ini, membangkitkan kembali merek yang bukan sebuah properti klasik yang menjanjikan secara komersial. Memang Blade Runner merupakan salah satu film scifi paling berpengaruh, namun ia gagal mencatatkan raihan box office yang jangankan menguntungkan, balik modal saja tidak. Bahkan petinggi Warner Bros sendiri takut penonton takkan mengerti dengan filmnya sampai harus menambahkan narasi yang menganggu di dalam versi orisinalnya yang dirilis di tahun 1982. Jadi kita harus memberikan kredit kepada siapapun eksekutif Warner Bros sekarang yang nekat melampuhijaukan proyek ini lantas memberikan bujet jor-joran kepada Villeneuve, sutradara yang notabene tak dikenal karena keterampilan blockbusternya.
Ketika menonton Arrival, saya mendapati gaya sinematis Villeneuve sedikit menjauhkan saya dari elemen manusiawi filmnya. Blade Runner 2049 ternyata wadah yang sangat pas bagi gaya Villeneuve yang dingin, kaku, dan selow, karena dunia Blade Runner adalah dunia yang dingin. Ia diisi dengan karakter non-manusia, dan kalaupun ada manusianya, mereka tak bertingkah manusiawi. Sebentar. Atau jangan-jangan mereka memang bukan manusia?
Salah satu aspek yang membuat filmnya segar adalah karena ia dibangun dengan pondasi yang cerdas. Ia tahu apa yang kita sudah tahu. Blade Runner 2049 tak lagi bermain dengan persepsi di Blade Runner dimana Replika (terjemahan resmi dari istilah “Replicant”) secara umum tak tahu bahwa mereka adalah Replika. Para Replika sudah cukup pintar untuk menyadari jati diri mereka. Mereka tahu bahwa ingatan mereka ditanam. Namun di film ini tetap ada sesuatu, yang tak berani saya ungkap disini, yang membuat mereka merasa semakin mendekati manusia. Konfliknya selalu soal Replika yang ingin menjadi manusia, dan Blade Runner 2049 mengambil perspektif yang semakin memperdalam tema tersebut. Ruang lingkup plotnya relatif lebih kecil dibanding Blade Runner tapi temanya semakin berkembang.
Di Amerika, Villeneuve dan Warner Bros meminta kritikus untuk tak mengungkap sebagian besar poin plot dan karakter tertentu dalam review mereka. Bukannya saya sok-sokan kritikus—apalah blog saya ini— tapi saya akan melakukan hal yang sama, karena memang cara terbaik untuk menikmati film ini adalah dengan mengetahui tentangnya sesedikit mungkin. Beberapa bagian cerita dan beberapa pengungkapannya memang lebih baik tak tersentuh sebelum menontonnya langsung. Saya akan manut dengan wangsit dari Villeneuve, dan hanya akan memaparkan konteks dan apa yang kita tahu dari materi promonya, seperti kemunculan Rick Deckard (Harrison Ford) atau peristiwa blackout di tahun 2020 yang menghapus semua data mengenai Replika.
Tokoh utama kita adalah K (Ryan Gosling), seorang Blade Runner —polisi yang ditugaskan untuk memburu dan “menetralisir” Replika— yang tahu bahwa ia adalah Replika. Gosling merupakan pilihan sempurna untuk memerankan K. Ia aktor karismatik yang bisa menyembunyikan ekspresi di permukaan —ia bahkan tak pernah tersenyum— tapi menyimpan banyak emosi di dalam. Blade Runner 2049 merupakan perjalanan spiritual bagi K.
Setiap selesai menuntaskan misi, ia diwajibkan oleh bosnya, Letnan Joshi (Robin Wright) melakukan tes psikologis sederhana untuk memastikan kewarasannya sebagai Replika. Ia sadar bahwa ia tak punya masa kecil, bahwa masa kanak-kanaknya yang bermain dengan miniatur kuda kayu adalah ingatan yang ditanam. Atau jangan-jangan bukan begitu? K adalah penyendiri tapi ia tinggal bersama pacar hologram bernama Joi (Ana de Armas) yang bisa berganti baju dari satu pakaian seksi ke pakaian seksi lainnya dalam sekejap, membuatkannya masakan fiktif, dan memberinya perhatian dan kehangatan yang tak didapatkannya dari manusia.
Pasca blackout di tahun 2020, perusahaan Tyrell kolaps. Bisnis produksi Replika sekarang diambil alih oleh jenius sinting Niander Wallace (Jared Leto) yang punya mata seram dan banyak bicara soal omong kosong filosofis. Perusahaan Wallace menciptakan Replika model baru yang lebih canggih dan lebih patuh. Ia punya ajudan seorang Replika wanita tegas bernama Luv (Sylvia Hoeks).
Plot film ini mirip dengan Blade Runner yang dimulai dengan misi sederhana ala detektif sebelum karakter utama kita terpaksa terjun ke dalam misteri noir yang lebih kompleks. Di awal film, K diperintahkan untuk melenyapkan seorang Replika lama bernama Sapper (Dave Bautista) yang hidup dengan tenang sebagai petani di sebuah desa. Namun apa yang K temukan disana membawanya ke dalam intrik yang melibatkan jati dirinya dan hakikat Replika itu sendiri. Sesuatu yang mengancam “hukum alam” yang membedakan manusia dengan Replika dan bisa menghancurkan semuanya.
Meski begitu, film ini tak mengulang lagu lama pendahulunya atau sekadar mengalihkan perhatian kita lewat nostalgia. Ia mengangkat ide baru yang merupakan hasil ekspansi dari ide lama yang menjadi tema ikonik Blade Runner. Kita bahkan tak terlalu menantikan kemunculan Deckard karena sudah begitu larut dengan ceritanya, meski Deckard sendiri punya peran yang sangat krusial nantinya. Pertanyaan filosofis dari novel Philip K. Dick yang menjadi materi sumber dari Blade Runner, ternyata masih bisa dibuat terasa baru. Apa yang membuat manusia menjadi manusia? Apa yang membedakan manusia dengan Replika saat mereka punya fisik yang mirip? Ketika memori bisa ditanam, apakah ia tak lagi relevan saat Replika menyadarinya padahal mereka merasakannya secara personal? Jika Replika bisa berpikir dan merasa, bisakah mereka disebut manusia?
Dengan durasi mencapai 163 menit, Blade Runner 2049 terasa sedikit panjang. Namun Villeneuve menjaga agar atmosfer filmnya tetap mencekat. Film ini bukan space opera berorientasi aksi melainkan misteri neo-noir yang mengandalkan mood. Tiga puluh tahun pasca Deckard menghilang, Los Angeles masih terlihat sebagai kota futuristik dengan baliho raksasa berlampu neon dan gedung-gedung gelap yang menjulang tinggi. Hanya saja, suasananya lebih buruk. Bersama sinematografer legendaris Roger Deakins, Villeneuve menyuguhkan sebuah semesta yang suram tapi cantik. Set-nya mengagumkan, dan skema warnanya —baik di reruntuhan berlatar langit jingga, balutan salju, atau klimaks di dam buatan— sangat memanjakan mata. Didampingi dengan scoring berderu dan menggelegar dari Hans Zimmer dan Benjamin Walfisch, film ini adalah pengalaman sinematis yang luar biasa.
Terlalu dini untuk menyebut Blade Runner 2049 akan menjadi film klasik seperti pendahulunya yang punya dampak besar terhadap genre scifi. Namun ini memang film yang powerful. Filmnya tak mengulang, menganulir, atau mengganti tema dari film orisinalnya, alih-alih membuatnya semakin kaya. Ia menjawab beberapa hal dari Blade Runner sekaligus mengangkat pertanyaan-pertanyaan baru. Ceritanya anyar, tapi berhubungan kuat dengan masa lalu, sekaligus membuka kemungkinan baru untuk masa depan. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Dwayne Johnson akhirnya mengkonfirmasi spin-off 'Fast and Furious' yang ia bintangi bersama Jason Statham.
Setelah sekian lama hanya menjadi kabar simpang siur, Dwayne Johnson akhirnya mengkonfirmasi spin-off Fast and Furiousyang ia bintangi bersama Jason Statham.
Kepastian ini disampaikan Johnson melalui Instagram, beberapa hari pasca sesama pemain franchise Fast and Furious, Tyrese Gibson, menuding Johnson sebagai biang di balik penundaan rilis Fast andFurious 9 dari 2019 ke 2020. Gibson pun sampai menyebut Johnson figur yang egois dan menudingnya sebagai pemecah belah Fast Family, julukan bagi jajaran pemain franchise Fast and Furious. Namun hingga saat ini, Johnson belum merespon pernyataan miring Gibson, dan ia tetap kukuh dengan keputusannya untuk tampil di spin-off Fast and Furious bersama Statham.
Johnson sendiri memulai debutnya di franchise Fast and Furious sebagai agen Hobbs di Fast Five, sedangkan Statham mulai memerankan villain Deckard Shaw diFurious 7. Sejak dua karakter tersebut kerap berinteraksi di The Fate of the Furious, duet mereka memang terlihat asyik dan dinilai layak dibuatkan filmnya sendiri.
Saat mengumumkan spin-off Hobbs, Johnson menjanjikan film ini akan menawarkan sesuatu yang fresh dan badass, serta menghadirkan karakter baru yang akan dicintai para fans. Disamping itu, Johnson juga mengklaim spin-off ini akan mengkspansi universe Fast and Furious dengan cara yang keren dan seru. Dan menariknya lagi, meski belum punya sutradara, Jonson memastikan spin-off Hobbs siap meluncur pada 26 Juli 2019. ■UP
Dwayne Johnson akhirnya mengkonfirmasi spin-off 'Fast and Furious' yang ia bintangi bersama Jason Statham.
Setelah sekian lama hanya menjadi kabar simpang siur, Dwayne Johnson akhirnya mengkonfirmasi spin-off Fast and Furiousyang ia bintangi bersama Jason Statham.
Kepastian ini disampaikan Johnson melalui Instagram, beberapa hari pasca sesama pemain franchise Fast and Furious, Tyrese Gibson, menuding Johnson sebagai biang di balik penundaan rilis Fast andFurious 9 dari 2019 ke 2020. Gibson pun sampai menyebut Johnson figur yang egois dan menudingnya sebagai pemecah belah Fast Family, julukan bagi jajaran pemain franchise Fast and Furious. Namun hingga saat ini, Johnson belum merespon pernyataan miring Gibson, dan ia tetap kukuh dengan keputusannya untuk tampil di spin-off Fast and Furious bersama Statham.
Johnson sendiri memulai debutnya di franchise Fast and Furious sebagai agen Hobbs di Fast Five, sedangkan Statham mulai memerankan villain Deckard Shaw diFurious 7. Sejak dua karakter tersebut kerap berinteraksi di The Fate of the Furious, duet mereka memang terlihat asyik dan dinilai layak dibuatkan filmnya sendiri.
Saat mengumumkan spin-off Hobbs, Johnson menjanjikan film ini akan menawarkan sesuatu yang fresh dan badass, serta menghadirkan karakter baru yang akan dicintai para fans. Disamping itu, Johnson juga mengklaim spin-off ini akan mengkspansi universe Fast and Furious dengan cara yang keren dan seru. Dan menariknya lagi, meski belum punya sutradara, Jonson memastikan spin-off Hobbs siap meluncur pada 26 Juli 2019. ■UP