Saturday, September 23, 2017

Review Film: 'A Ghost Story' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Fantasi, Artikel Review, Artikel Romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'A Ghost Story' (2017)
link : Review Film: 'A Ghost Story' (2017)

Baca juga


Secara luas, 'A Ghost Story' mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

“I'm waiting for someone."
— Ghost 2
Rating UP:
Kalau hantu bisa membuat film, saya membayangkan filmnya akan seperti ini. A Ghost Story adalah jawaban mereka atas film horor haunted-house konvensional. Bagaimana jika penampakan atau barang-barang yang bergerak sendiri di rumah angker disebabkan lebih dari sekadar mereka yang ingin mengusik kita? Bagaimana jika ini bukan sekadar tindakan jahil? Bagaimana jika ternyata mereka punya motif yang tak hanya rasional tapi juga melankolis? Kita tak bisa bilang bahwa hantu tak punya perasaan. Siapa yang tahu.


Saya jadi melantur. Namun A Ghost Story memang mengangkat kisah supranatural dari sudut pandang yang jarang kita temui. Film ini mengambil perspektif dari hantu. Hantu yang sendu. Hantu yang tak bisa move-on, lantas menghantui rumah tempat ia dan istrinya tinggal semasa hidup dulu. Ia diam sepanjang film. Memang sesekali menganggu, tapi ia hanyalah pengamat pasif yang mencoba menemukan sesuatu. Apa itu? Ia juga tak yakin pada awalnya. Oleh karenanya, film ini sama sekali bukan film horor, alih-alih film drama yang mendayu-dayu tapi juga sangat dalam. Secara luas, A Ghost Story mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

Sejauh yang saya tahu, ini juga merupakan film serius pertama yang menampilkan hantu dalam wujud yang menggelikan. Benar sekali. Anda akan menyaksikan aktor terbaik Oscar tahun lalu, Casey Affleck menghabiskan sebagian besar durasi film dalam kostum hantu yang terbuat dari seprei yang tengahnya dilobangi untuk bagian mata (meski saya tak bisa memastikannya, karena siapapun bisa memakai kostum seprei dan kita takkan menyadari perbedaannya) DAN nomine dua kali aktris terbaik Oscar, Rooney Mara memakan pie selama 5 menit, in real time, dalam sebuah film yang menjadi kandidat kuat sebagai film terbaik tahun ini. Versi saya.

Kostum hantunya memang konyol, tapi ini esensial, saya pikir. Dengan mengurung Affleck (atau siapapun) di balik seprei, kita "dipaksa" memahami apa yang ia rasakan, tak terikat dengan ekspresi aktornya. Hal ini sangat sesuai dengan penceritaannya yang subtle; apa yang dirasakan sang seprei adalah apa yang kita pikir ia rasakan. Sang seprei seolah menjadi avatar dari perasaan kita. Pengalaman sang seprei menjadi pengalaman personal.

Pembuatnya adalah David Lowery, sutradara yang lebih akrab dengan film indie tapi tahun lalu sukses mencoba peruntungannya di blockbuster lewat Pete's Dragon. Seperti filmnya yang lalu, Ain't Them Bodies Saint, Lowery seperti mengacu pada gaya naratif Terence Malick. A Ghost Story pas sebagai padanan Tree of Life-nya Malick, karena ia bermaksud menangkap skema besar kehidupan melalui sekeping kisah kehidupan kecil di dalamnya, atau dalam hal ini: kematian. Ketika anda sudah beradaptasi dengan alurnya yang sangat pelan, anda akan merasakan tohokan emosional dan spiritualnya. Saya pikir takkan sulit, karena film ini adalah tentang cinta dan kehilangan; semua orang pernah kehilangan seseorang/sesuatu yang sangat mereka cintai bukan?

Affleck dan Mara bermain sebagai C dan M, pasangan yang tinggal di sebuah rumah usang di pinggiran kota yang sepi. Di malam hari, mereka mendengar suara-suara aneh. M ingin pindah rumah, sementara C suka dengan rumah yang sekarang. Mereka boleh jadi dalam konflik, tapi saat tidur masih berpelukan dengan mesra. Sebelum mengenal mereka lebih dekat lagi, di suatu pagi C tewas di belakang setirnya, tak jauh dari rumah.

Setelah diidentifikasi di rumah sakit oleh M, kita melihat C terbujur kaku. Kamera menyorotnya dengan statis dalam waktu yang lumayan lama. Namun tepat sebelum anda akan melempar layar karena kesal, seprei ini bangkit. Tanpa disadari oleh orang-orang, ia berjalan dan berjalan pulang ke rumahnya. Ia melihat M yang sedang berduka berat sampai memakan pie dalam satu lagi sorotan statis yang tak terputus (selama 5 menit, saya ingatkan lagi). Sang seprei mencoba menyentuhnya, tapi M tak merasakannya.

Tentu saja, akhirnya M move-on, lalu pindah rumah. Namun sang seprei tetap tinggal, sementara penghuni datang silih berganti, mulai dari keluarga Latino dengan dua orang anak sampai remaja tua yang gila pesta. Ia jadi arwah penasaran, mencari sesuatu yang terselip di balik dinding rumah. Waktu berjalan dengan cepat, tapi sang seprei masih terjebak disana, bahkan hingga rumahnya dihancurkan dan berganti menjadi apartemen mewah.

Film ini bermain dengan persepsi kita terhadap waktu. C sudah tewas; sang seprei bukan lagi manusia melainkan hantu. Hantu tidak terikat dengan peraturan waktu. Lowery menggambarkan bahwa persepsi mereka akan waktu berbeda dengan kita. Ia menggunakan cut mendadak, tak menjelaskan dengan gamblang seberapa lama waktu berlalu alih-alih menyerahkan pada kita untuk mencernanya sendiri. Bagi sang seprei, beberapa momen pendek terasa berlangsung lama, sementara beberapa momen panjang terasa berlangsung sebentar. Ia melihat setiap detik M memakan pie (selama 5 menit; kenapa saya terus-terusan membahas ini?), sementara di satu titik nanti ketika ia menyaksikan sejarah rumahnya, semua terjadi dalam hitungan detik. Menurut saya, sang seprei hanya melihat apa yang penting baginya.

Ada sebuah monolog menarik dari seorang remaja-tua-gila-pesta yang sedang mabuk (Will Oldham) kepada teman-temannya yang juga didengar oleh sang seprei. Awalnya mengapresiasi seni, si remaja tua malah melantur soal tempat manusia dalam perjalanan waktu. Saat manusia mati, ia meninggalkan karya, tapi kehidupan terus berjalan. Cinta kita, kehilangan kita, hidup kita tak ada apa-apanya di depan waktu. Meski demikian, semua itu juga merupakan momen berharga. Anda mungkin berpikir apa-apaan omong kosong filosofis ini, tapi A Ghost Story tak terasa pretensius karena tak menyuapi kita dengan filosofi. Film ini hanya menyuruh kita untuk merasa. Di satu adegan, sang seprei melihat hantu tetangga (yang juga dalam wujud seprei) mengakhiri perjalanannya saat sadar akan hakikatnya.

Luar biasa bagaimana film yang sesederhana ini bisa punya dampak emosional sebesar itu. Penggarapannya minimalis dengan akting yang simpel pula, tapi tak ada satupun rasanya scene yang disia-siakan. Kabarnya Lowery hanya melakukan proses syuting selama 19 hari saja. Ia menggunakan rasio yang nyaris persegi, 1,33:1 lalu menambahkan sisi bundar alih-alih tajam, memberi kesan bahwa kita adalah pengamat. Ini membuatnya semakin intim. Filmnya minim dialog dan nyaris tanpa konflik yang gamblang, tapi dengan brilian mengeksplorasi temanya. Eksposisi di awal saat M bercengkrama dengan C tentang masa kecilnya, ternyata punya peranan besar untuk menjawab ending yang tak berani saya ungkap disini, yang baru saya temukan saat menonton kedua kali.

A Ghost Story adalah film ganjil yang sepertinya ingin menguji kesabaran anda, tapi jangan biarkan fakta tersebut menghalangi anda menontonnya. Ini juga menyatakan bahwa filmnya sangat orisinal. Lowery baru saja mempresentasikan sesuatu yang besar yang bisa dirangkum oleh sebuah film dari sesuatu yang sedikit. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

A Ghost Story

92 menit
Remaja - BO
David Lowery
David Lowery
Toby Halbrooks, James M. Johnston, Adam Donaghey
Andrew Droz Palermo
Daniel Hart

Secara luas, 'A Ghost Story' mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

“I'm waiting for someone."
— Ghost 2
Rating UP:
Kalau hantu bisa membuat film, saya membayangkan filmnya akan seperti ini. A Ghost Story adalah jawaban mereka atas film horor haunted-house konvensional. Bagaimana jika penampakan atau barang-barang yang bergerak sendiri di rumah angker disebabkan lebih dari sekadar mereka yang ingin mengusik kita? Bagaimana jika ini bukan sekadar tindakan jahil? Bagaimana jika ternyata mereka punya motif yang tak hanya rasional tapi juga melankolis? Kita tak bisa bilang bahwa hantu tak punya perasaan. Siapa yang tahu.


Saya jadi melantur. Namun A Ghost Story memang mengangkat kisah supranatural dari sudut pandang yang jarang kita temui. Film ini mengambil perspektif dari hantu. Hantu yang sendu. Hantu yang tak bisa move-on, lantas menghantui rumah tempat ia dan istrinya tinggal semasa hidup dulu. Ia diam sepanjang film. Memang sesekali menganggu, tapi ia hanyalah pengamat pasif yang mencoba menemukan sesuatu. Apa itu? Ia juga tak yakin pada awalnya. Oleh karenanya, film ini sama sekali bukan film horor, alih-alih film drama yang mendayu-dayu tapi juga sangat dalam. Secara luas, A Ghost Story mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

Sejauh yang saya tahu, ini juga merupakan film serius pertama yang menampilkan hantu dalam wujud yang menggelikan. Benar sekali. Anda akan menyaksikan aktor terbaik Oscar tahun lalu, Casey Affleck menghabiskan sebagian besar durasi film dalam kostum hantu yang terbuat dari seprei yang tengahnya dilobangi untuk bagian mata (meski saya tak bisa memastikannya, karena siapapun bisa memakai kostum seprei dan kita takkan menyadari perbedaannya) DAN nomine dua kali aktris terbaik Oscar, Rooney Mara memakan pie selama 5 menit, in real time, dalam sebuah film yang menjadi kandidat kuat sebagai film terbaik tahun ini. Versi saya.

Kostum hantunya memang konyol, tapi ini esensial, saya pikir. Dengan mengurung Affleck (atau siapapun) di balik seprei, kita "dipaksa" memahami apa yang ia rasakan, tak terikat dengan ekspresi aktornya. Hal ini sangat sesuai dengan penceritaannya yang subtle; apa yang dirasakan sang seprei adalah apa yang kita pikir ia rasakan. Sang seprei seolah menjadi avatar dari perasaan kita. Pengalaman sang seprei menjadi pengalaman personal.

Pembuatnya adalah David Lowery, sutradara yang lebih akrab dengan film indie tapi tahun lalu sukses mencoba peruntungannya di blockbuster lewat Pete's Dragon. Seperti filmnya yang lalu, Ain't Them Bodies Saint, Lowery seperti mengacu pada gaya naratif Terence Malick. A Ghost Story pas sebagai padanan Tree of Life-nya Malick, karena ia bermaksud menangkap skema besar kehidupan melalui sekeping kisah kehidupan kecil di dalamnya, atau dalam hal ini: kematian. Ketika anda sudah beradaptasi dengan alurnya yang sangat pelan, anda akan merasakan tohokan emosional dan spiritualnya. Saya pikir takkan sulit, karena film ini adalah tentang cinta dan kehilangan; semua orang pernah kehilangan seseorang/sesuatu yang sangat mereka cintai bukan?

Affleck dan Mara bermain sebagai C dan M, pasangan yang tinggal di sebuah rumah usang di pinggiran kota yang sepi. Di malam hari, mereka mendengar suara-suara aneh. M ingin pindah rumah, sementara C suka dengan rumah yang sekarang. Mereka boleh jadi dalam konflik, tapi saat tidur masih berpelukan dengan mesra. Sebelum mengenal mereka lebih dekat lagi, di suatu pagi C tewas di belakang setirnya, tak jauh dari rumah.

Setelah diidentifikasi di rumah sakit oleh M, kita melihat C terbujur kaku. Kamera menyorotnya dengan statis dalam waktu yang lumayan lama. Namun tepat sebelum anda akan melempar layar karena kesal, seprei ini bangkit. Tanpa disadari oleh orang-orang, ia berjalan dan berjalan pulang ke rumahnya. Ia melihat M yang sedang berduka berat sampai memakan pie dalam satu lagi sorotan statis yang tak terputus (selama 5 menit, saya ingatkan lagi). Sang seprei mencoba menyentuhnya, tapi M tak merasakannya.

Tentu saja, akhirnya M move-on, lalu pindah rumah. Namun sang seprei tetap tinggal, sementara penghuni datang silih berganti, mulai dari keluarga Latino dengan dua orang anak sampai remaja tua yang gila pesta. Ia jadi arwah penasaran, mencari sesuatu yang terselip di balik dinding rumah. Waktu berjalan dengan cepat, tapi sang seprei masih terjebak disana, bahkan hingga rumahnya dihancurkan dan berganti menjadi apartemen mewah.

Film ini bermain dengan persepsi kita terhadap waktu. C sudah tewas; sang seprei bukan lagi manusia melainkan hantu. Hantu tidak terikat dengan peraturan waktu. Lowery menggambarkan bahwa persepsi mereka akan waktu berbeda dengan kita. Ia menggunakan cut mendadak, tak menjelaskan dengan gamblang seberapa lama waktu berlalu alih-alih menyerahkan pada kita untuk mencernanya sendiri. Bagi sang seprei, beberapa momen pendek terasa berlangsung lama, sementara beberapa momen panjang terasa berlangsung sebentar. Ia melihat setiap detik M memakan pie (selama 5 menit; kenapa saya terus-terusan membahas ini?), sementara di satu titik nanti ketika ia menyaksikan sejarah rumahnya, semua terjadi dalam hitungan detik. Menurut saya, sang seprei hanya melihat apa yang penting baginya.

Ada sebuah monolog menarik dari seorang remaja-tua-gila-pesta yang sedang mabuk (Will Oldham) kepada teman-temannya yang juga didengar oleh sang seprei. Awalnya mengapresiasi seni, si remaja tua malah melantur soal tempat manusia dalam perjalanan waktu. Saat manusia mati, ia meninggalkan karya, tapi kehidupan terus berjalan. Cinta kita, kehilangan kita, hidup kita tak ada apa-apanya di depan waktu. Meski demikian, semua itu juga merupakan momen berharga. Anda mungkin berpikir apa-apaan omong kosong filosofis ini, tapi A Ghost Story tak terasa pretensius karena tak menyuapi kita dengan filosofi. Film ini hanya menyuruh kita untuk merasa. Di satu adegan, sang seprei melihat hantu tetangga (yang juga dalam wujud seprei) mengakhiri perjalanannya saat sadar akan hakikatnya.

Luar biasa bagaimana film yang sesederhana ini bisa punya dampak emosional sebesar itu. Penggarapannya minimalis dengan akting yang simpel pula, tapi tak ada satupun rasanya scene yang disia-siakan. Kabarnya Lowery hanya melakukan proses syuting selama 19 hari saja. Ia menggunakan rasio yang nyaris persegi, 1,33:1 lalu menambahkan sisi bundar alih-alih tajam, memberi kesan bahwa kita adalah pengamat. Ini membuatnya semakin intim. Filmnya minim dialog dan nyaris tanpa konflik yang gamblang, tapi dengan brilian mengeksplorasi temanya. Eksposisi di awal saat M bercengkrama dengan C tentang masa kecilnya, ternyata punya peranan besar untuk menjawab ending yang tak berani saya ungkap disini, yang baru saya temukan saat menonton kedua kali.

A Ghost Story adalah film ganjil yang sepertinya ingin menguji kesabaran anda, tapi jangan biarkan fakta tersebut menghalangi anda menontonnya. Ini juga menyatakan bahwa filmnya sangat orisinal. Lowery baru saja mempresentasikan sesuatu yang besar yang bisa dirangkum oleh sebuah film dari sesuatu yang sedikit. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

A Ghost Story

92 menit
Remaja - BO
David Lowery
David Lowery
Toby Halbrooks, James M. Johnston, Adam Donaghey
Andrew Droz Palermo
Daniel Hart

Friday, September 22, 2017

'The Predator' akan Tampil Fresh & di Luar Ekspektasi

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : 'The Predator' akan Tampil Fresh & di Luar Ekspektasi
link : 'The Predator' akan Tampil Fresh & di Luar Ekspektasi

Baca juga


Lama tak terdengar gaungnya sejak proses syuting dimulai, kini ada detail terbaru 'The Predator' yang disampaikan CEO Fox.

Dari sekian seri teranyar franchise yang siap meluncur ke layar lebar, The Predator milik Fox menjadi salah satu judul yang menarik dinanti. Disutradarai Shane Black (yang sempat membintangi film pertama Predator rilisan 1987), film yang ditulis Black bersama Fred Dekker ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali keangkeran franchise Predator. Lama tak terdengar gaungnya sejak proses syuting dimulai, kini ada detail terbaru The Predator yang disampaikan CEO Fox Stacey Snider kepada Variety.

Menurut penilaian Snider, The Predator akan tampil di luar ekspektasi dan sepenuhnya fresh. Lebih jauh lagi, Snider memastikan film ini akan bersetting di suburbia alias daerah pinggiran kota. Ia juga menjelaskan film ini akan menyoroti seorang anak dan ayahnya yang berada di dalam kemelut pertempuran melawan Predator.

Sebagai pembanding setting cerita, Predator (1987) mengambil lokasi di hutan, kemudian Predator 2 (1990) membawa aksinya ke jalanan Los Angeles, dan Predators (2010) mengembalikan lagi ceritanya ke hutan. Sementara untuk film crossover Aliens vs Predator: Requiem (2007) mengusung kota kecil Colorado sebagai arena pertarungan antar dua karakter titular.

Sementara itu, kata “di luar ekspektasi dan sepenuhnya fresh” yang dimaksud Snider dinilai bukan mengarah pada kisah ayah dan anak yang disajikan The Predator. Melainkan merujuk pada teknik filmmaking dari Black yang dikenal piawai menghadirkan sesuatu berbeda dan menarik dalam setiap karyanya. Hal ini terbukti dari film-film besutan Black seperti Kiss Kiss Bang Bang, Iron Man 3 dan The Nice Guys.

Berstatus sebagai sekuel, cerita The Predator akan berlangsung pasca peristiwa di Predator dan Predator 2, serta sebelum terjadinya peristiwa di Predators. Film berating R ini dibintangi Boyd Holbrook, Jacob Tremblay, Olivia Munn dan Keegan Michael-Key.

Rencananya The Predator akan dirilis 3 Agustus 2018. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Lama tak terdengar gaungnya sejak proses syuting dimulai, kini ada detail terbaru 'The Predator' yang disampaikan CEO Fox.

Dari sekian seri teranyar franchise yang siap meluncur ke layar lebar, The Predator milik Fox menjadi salah satu judul yang menarik dinanti. Disutradarai Shane Black (yang sempat membintangi film pertama Predator rilisan 1987), film yang ditulis Black bersama Fred Dekker ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali keangkeran franchise Predator. Lama tak terdengar gaungnya sejak proses syuting dimulai, kini ada detail terbaru The Predator yang disampaikan CEO Fox Stacey Snider kepada Variety.

Menurut penilaian Snider, The Predator akan tampil di luar ekspektasi dan sepenuhnya fresh. Lebih jauh lagi, Snider memastikan film ini akan bersetting di suburbia alias daerah pinggiran kota. Ia juga menjelaskan film ini akan menyoroti seorang anak dan ayahnya yang berada di dalam kemelut pertempuran melawan Predator.

Sebagai pembanding setting cerita, Predator (1987) mengambil lokasi di hutan, kemudian Predator 2 (1990) membawa aksinya ke jalanan Los Angeles, dan Predators (2010) mengembalikan lagi ceritanya ke hutan. Sementara untuk film crossover Aliens vs Predator: Requiem (2007) mengusung kota kecil Colorado sebagai arena pertarungan antar dua karakter titular.

Sementara itu, kata “di luar ekspektasi dan sepenuhnya fresh” yang dimaksud Snider dinilai bukan mengarah pada kisah ayah dan anak yang disajikan The Predator. Melainkan merujuk pada teknik filmmaking dari Black yang dikenal piawai menghadirkan sesuatu berbeda dan menarik dalam setiap karyanya. Hal ini terbukti dari film-film besutan Black seperti Kiss Kiss Bang Bang, Iron Man 3 dan The Nice Guys.

Berstatus sebagai sekuel, cerita The Predator akan berlangsung pasca peristiwa di Predator dan Predator 2, serta sebelum terjadinya peristiwa di Predators. Film berating R ini dibintangi Boyd Holbrook, Jacob Tremblay, Olivia Munn dan Keegan Michael-Key.

Rencananya The Predator akan dirilis 3 Agustus 2018. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

'Maze Runner: The Death Cure' Rilis Foto Pertama Dylan O'Brien

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : 'Maze Runner: The Death Cure' Rilis Foto Pertama Dylan O'Brien
link : 'Maze Runner: The Death Cure' Rilis Foto Pertama Dylan O'Brien

Baca juga


Jelang perilisan 'Maze Runner: The Death Cure' yang tinggal beberapa bulan lagi, Fox pun mulai mempromosikan seri terakhir 'Maze Runner' dengan merilis deretan foto pertama yang menampilkan Dylan O’Brien.

Setelah sekian lama tertunda lantaran mengalami masalah semasa syuting, Maze Runner: The Death Cure akhirnya siap meluncur ke layar lebar. Jelang perilisan The Death Cure yang tinggal beberapa bulan lagi, Fox pun mulai mempromosikan seri terakhir Maze Runner dengan merilis deretan foto pertama yang menampilkan sang lakon utama, Dylan O’Brien. Foto-foto ini juga memperlihatkan aksi Dylan bersama para pemain lainnya dalam usaha membongkar konspirasi yang selama ini dilakukan WCKD.







Disamping foto, Fox juga merilis sinopsis untuk The Death Cure. Dalam film pamungkas saga Maze Runner, Thomas (O’Brien) dikisahkan memimpin grup penyintas Gladers dalam perjalanan terakhir mereka untuk menjalankan misi paling berbahaya. Demi menyelamatkan teman mereka, Gladers pun harus melewati Last City, sebuah labirin legendaris buatan WCKD yang berpotensi menjadi labirin paling mematikan yang pernah dilewati Gladers. Siapapun anggota Gladers yang berhasil keluar dari Last City secara hidup-hidup, maka mereka akan mendapat jawaban dari pertanyaan yang selama ini direnungkan Gladers sejak pertama tiba dan terkurung di labirin.

Semula, The Death Cure dijadwalkan tayang pada awal 2017 ini. Namun pasca O’Brien mengalami cedera serius saat syuting pada 2016 lalu, studio akhirnya menangguhkan proses syuting untuk menunggu O’Brien kembali dalam kondisi prima, dan kebijakan ini pun berujung pada penundaan rilis film selama hampir setahun. Seperti dua film Maze Runner terdahulu, The Death Cure masih disutradarai Wes Ball berdaasarkan novel young-adult karya James Dashner.

Rencananya trailer perdana Maze Runner: The Death Cure akan dirilis dalam waktu dekat, dan filmnya sendiri akan tayang pada 12 Januari 2018. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Jelang perilisan 'Maze Runner: The Death Cure' yang tinggal beberapa bulan lagi, Fox pun mulai mempromosikan seri terakhir 'Maze Runner' dengan merilis deretan foto pertama yang menampilkan Dylan O’Brien.

Setelah sekian lama tertunda lantaran mengalami masalah semasa syuting, Maze Runner: The Death Cure akhirnya siap meluncur ke layar lebar. Jelang perilisan The Death Cure yang tinggal beberapa bulan lagi, Fox pun mulai mempromosikan seri terakhir Maze Runner dengan merilis deretan foto pertama yang menampilkan sang lakon utama, Dylan O’Brien. Foto-foto ini juga memperlihatkan aksi Dylan bersama para pemain lainnya dalam usaha membongkar konspirasi yang selama ini dilakukan WCKD.







Disamping foto, Fox juga merilis sinopsis untuk The Death Cure. Dalam film pamungkas saga Maze Runner, Thomas (O’Brien) dikisahkan memimpin grup penyintas Gladers dalam perjalanan terakhir mereka untuk menjalankan misi paling berbahaya. Demi menyelamatkan teman mereka, Gladers pun harus melewati Last City, sebuah labirin legendaris buatan WCKD yang berpotensi menjadi labirin paling mematikan yang pernah dilewati Gladers. Siapapun anggota Gladers yang berhasil keluar dari Last City secara hidup-hidup, maka mereka akan mendapat jawaban dari pertanyaan yang selama ini direnungkan Gladers sejak pertama tiba dan terkurung di labirin.

Semula, The Death Cure dijadwalkan tayang pada awal 2017 ini. Namun pasca O’Brien mengalami cedera serius saat syuting pada 2016 lalu, studio akhirnya menangguhkan proses syuting untuk menunggu O’Brien kembali dalam kondisi prima, dan kebijakan ini pun berujung pada penundaan rilis film selama hampir setahun. Seperti dua film Maze Runner terdahulu, The Death Cure masih disutradarai Wes Ball berdaasarkan novel young-adult karya James Dashner.

Rencananya trailer perdana Maze Runner: The Death Cure akan dirilis dalam waktu dekat, dan filmnya sendiri akan tayang pada 12 Januari 2018. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Thursday, September 21, 2017

Polling: Film Pilihan 15-09-2017 s.d. 21-09-2017

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Polling, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Polling: Film Pilihan 15-09-2017 s.d. 21-09-2017
link : Polling: Film Pilihan 15-09-2017 s.d. 21-09-2017

Baca juga



Jarang sekali kita mendapat pilihan tontonan sebanyak ini. Total ada 10 film yang dirilis minggu lalu, diantaranya American Assassin, Escape Room, Extortion, Tokyo Ghoul, Berlin Syndrome, Detroit, Dog Eat Dog, Lucknow Central, serta dua film lokal yaitu Hantu Jeruk Purut Reborn dan Total Chaos. Di satu sisi, kita punya tontonan yang variatif, sementara di sisi lain, ini merupakan usaha desperate dari eksibitor film untuk menarik minat penonton yang mulai lesu.

Dari 10 film tersebut, Tokyo Ghoul menjadi favorit pembaca UP dengan 26,32%. Maafkan saya karena tidak mereviewnya, saya tidak sempat. Menyusul di bawahnya American Assassin dengan 21,05%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP


Jarang sekali kita mendapat pilihan tontonan sebanyak ini. Total ada 10 film yang dirilis minggu lalu, diantaranya American Assassin, Escape Room, Extortion, Tokyo Ghoul, Berlin Syndrome, Detroit, Dog Eat Dog, Lucknow Central, serta dua film lokal yaitu Hantu Jeruk Purut Reborn dan Total Chaos. Di satu sisi, kita punya tontonan yang variatif, sementara di sisi lain, ini merupakan usaha desperate dari eksibitor film untuk menarik minat penonton yang mulai lesu.

Dari 10 film tersebut, Tokyo Ghoul menjadi favorit pembaca UP dengan 26,32%. Maafkan saya karena tidak mereviewnya, saya tidak sempat. Menyusul di bawahnya American Assassin dengan 21,05%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP

Film Joker Kemungkinan akan Syuting 2018

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Film Joker Kemungkinan akan Syuting 2018
link : Film Joker Kemungkinan akan Syuting 2018

Baca juga


Baru sebulan pasca eksistensinya terungkap, proyek film tentang asal-usul Joker rupanya telah mengalami kemajuan signifikan.

Baru sebulan pasca eksistensinya terungkap, proyek film tentang asal-usul Joker rupanya telah mengalami kemajuan signifikan. Pasalnya, berdasarkan kabar dari Variety, skrip film Joker siap diserahkan ke Warner Bros. pada minggu depan. Dengan proses penyerahan skrip yang dimulai lebih cepat dari perkiraan ini, Variety memprediksi film Joker dicanangkan untuk mulai syuting tahun 2018 mendatang.

Diposisikan sebagai film yang tak terkait dengan DC Extended Universe, film Joker disutradarai Todd Phillips (trilogi The Hangover) dan diproduseri sineas kelas Oscar, Martin Scorcese. Beralih ke bagian skrip, Phillips diketahui menulisnya bersama Scott Silver (8 Mile).

Dan alih-alih menunjuk Jared Leto dari Suicide Squad untuk kembali sebagai Joker, WB justru berniat memasang aktor baru sebagai pemeran musuh ikonik Batman. Kabar terakhir menyebutkan, studio membidik Leonardo DiCaprio untuk memerankan karakter titular. Namun meski DiCaprio sebelumnya sering berkolaborasi dengan Scorcese, bukan berarti usaha studio untuk bisa memboyong sang aktor akan berjalan mudah. Sebab, kans DiCaprio bergabung kabarnya terhitung tipis hingga nihil dalam menerima peran Joker.

Film asal-usul Joker sendiri dikatakan akan bersetting tahun 80-an di Gotham City, dan menawarkan atmosfer ala tiga film besutan Scorcese meliputi Taxi Driver, Raging Bull dan The King of Comedy. Film ini pun menggambarkan Joker sebagai bos sindikat kriminal di dunia bawah tanah Gotham. Adapun film Joker ini akan menjadi proyek perdana dari rumah produksi baru milik WB yang fokus menghadirkan film-film DC yang berbeda dan anti-mainstream. Melalui rumah produksi baru ini pula, WB berharap bisa menarik minat aktor dan sineas yang biasanya enggan terlibat di film komik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Baru sebulan pasca eksistensinya terungkap, proyek film tentang asal-usul Joker rupanya telah mengalami kemajuan signifikan.

Baru sebulan pasca eksistensinya terungkap, proyek film tentang asal-usul Joker rupanya telah mengalami kemajuan signifikan. Pasalnya, berdasarkan kabar dari Variety, skrip film Joker siap diserahkan ke Warner Bros. pada minggu depan. Dengan proses penyerahan skrip yang dimulai lebih cepat dari perkiraan ini, Variety memprediksi film Joker dicanangkan untuk mulai syuting tahun 2018 mendatang.

Diposisikan sebagai film yang tak terkait dengan DC Extended Universe, film Joker disutradarai Todd Phillips (trilogi The Hangover) dan diproduseri sineas kelas Oscar, Martin Scorcese. Beralih ke bagian skrip, Phillips diketahui menulisnya bersama Scott Silver (8 Mile).

Dan alih-alih menunjuk Jared Leto dari Suicide Squad untuk kembali sebagai Joker, WB justru berniat memasang aktor baru sebagai pemeran musuh ikonik Batman. Kabar terakhir menyebutkan, studio membidik Leonardo DiCaprio untuk memerankan karakter titular. Namun meski DiCaprio sebelumnya sering berkolaborasi dengan Scorcese, bukan berarti usaha studio untuk bisa memboyong sang aktor akan berjalan mudah. Sebab, kans DiCaprio bergabung kabarnya terhitung tipis hingga nihil dalam menerima peran Joker.

Film asal-usul Joker sendiri dikatakan akan bersetting tahun 80-an di Gotham City, dan menawarkan atmosfer ala tiga film besutan Scorcese meliputi Taxi Driver, Raging Bull dan The King of Comedy. Film ini pun menggambarkan Joker sebagai bos sindikat kriminal di dunia bawah tanah Gotham. Adapun film Joker ini akan menjadi proyek perdana dari rumah produksi baru milik WB yang fokus menghadirkan film-film DC yang berbeda dan anti-mainstream. Melalui rumah produksi baru ini pula, WB berharap bisa menarik minat aktor dan sineas yang biasanya enggan terlibat di film komik. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Review Film: 'Kingsman: The Golden Circle' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Kingsman: The Golden Circle' (2017)
link : Review Film: 'Kingsman: The Golden Circle' (2017)

Baca juga


'Kingsman: The Secret Service' termasuk sampah berkualitas, sementara 'Kingsman: The Golden Circle' nyaris menjadi sampah betulan.

“Manners maketh man.”
— Harry Hart
Rating UP:
Jika sudah menonton Kingsman: The Secret Service yang dirilis 2 tahun lalu, maka anda tahu akan mendapatkan apa. Anda takkan lagi syok dengan konsepnya yang merayakan kekerasan dan kevulgaran lewat elemen tradisi film mata-mata. Sekuelnya, Kingsman: The Golden Circle masih merupakan film eksploitatif berisi plot lebai, kekerasan komikal, dan lelucon seksis. Keduanya sama-sama film sampah yang digarap dengan dana maksimal, efek spesial berkelas, dan energi tinggi. Meski demikian, The Secret Service termasuk sampah berkualitas, sementara The Golden Circle nyaris menjadi sampah betulan.


Oke. Itu memang terdengar lebih kejam daripada yang saya maksudkan. Namun sebanyak saya menikmati beberapa momen dalam The Golden Circle, sebanyak itu pula saya menengok jam tangan dan berharap filmnya segera berakhir. Dengan durasi yang mencapai hampir dua setengah jam, terasa sekali filmnya terlalu sesak sekaligus dipanjang-panjangkan. Matthew Vaughn yang kembali menjadi sutradara, jelas menargetkan sesuatu yang lebih besar, lebih gila, dan lebih spektakuler. Namun semua ekses ini ditumbukkan kepada kita dengan konstan, sehingga bagian yang paling sinting sekalipun menjadi terkesan, uhm, agak biasa.

Coba lihat sekuens aksi pembuka dimana Eggsy (Taron Egerton) yang sekarang sudah sah menjadi agen Kingsman dengan nama-kode Galahad, ditangkap oleh salah satu musuh lamanya dari film pertama. Lewat sekuens panjang mulai dari adu jotos di dalam mobil yang bergerak dalam kecepatan tinggi lalu diikuti dengan kejar-kejaran mobil di jalanan London, Eggsy berhasil selamat. Dibantu dengan banyak efek spesial, Vaughn menyajikannya dengan gerakan kamera hiperaktif yang mengikuti setiap tonjokan dan tendangan. Sekuens berikutnya yang menarik adalah pertarungan antara Eggsy yang bertandem dengan Harry Hart melawan musuh terakhir dimana kamera literally bergerak lebih cepat daripada mereka beraksi. Pada awalnya ini membuat saya berpikir bahwa filmnya boleh jadi merupakan film paling enerjik kedua tahun ini. Namun saat berlangsung terlalu lama, saya tak lagi merasakan keseruannya.

Kalau di film pertama, bos besarnya adalah Samuel L. Jackson yang bermain sebagai Valentine, orang kaya yang akan membunuh semua orang demi menyelamatkan bumi, maka kali ini kita mendapatkan Julianne Moore sebagai Poppy, orang kaya yang juga akan membunuh semua orang, hanya saja dengan tujuan dan metode yang berbeda. Ia bermaksud untuk memaksa Presiden Amerika melegalkan narkoba dengan cara menyandera konsumennya sendiri lewat sebuah virus mematikan. Poppy juga tak kalah eksentrik dibanding Valentine. Ia selalu memasang senyum ala prospektor MLM dan punya markas di hutan Kamboja yang didekorasi dengan properti studio film lawas. Ia juga suka kekerasan dengan cara mencincang manusia hidup menggunakan mesin pencincang daging. Ya. Ini memang film yang begitu.

Bicara soal Kingsman tak lengkap tanpa agen parlente Harry Hart-nya Colin Firth. Namun sayangnya ia tewas ditembak di kepala pada film pertama. Vaughn yang menulis skrip bersama Jane Goldman menggunakan cara lihai untuk membangkitkannya kembali. Dan ini bukan spoiler, karena kita sudah melihatnya lewat poster promosi dan trailer. Meski penting dari sisi komersil filmnya, tapi ini juga menafikan momen penting dari film sebelumnya. Saya tahu, Kingsman beroperasi dalam semesta penuh kemustahilan, tapi membangkitkan orang mati? Ini sedikit mencederai stake. Segala macam risiko yang terjadi bisa ditarik kembali. Dan dimana keseruan dan ketegangan saat tak ada konsekuensi?

The Golden Circle memperluas skala mitologi franchise-nya dengan memperkenalkan "sepupu" dari agensi Kingsman kita yang berkamuflase sebagai toko jas di Inggris yaitu Statesman, agensi mata-mata Amerika yang bermarkas di pabrik penyulingan miras. Pertemuan ini bermula ketika markas Kingsman dibombardir oleh penjahat. Semua agen Kingsman tewas, kecuali Merlin (Mark Strong) dan Eggsy yang kebetulan sedang pacaran dengan putri Swedia (Hanna Alstrom) yang diselamatkan (dan di*uhuk*) di film pertama. Keduanya lalu berangkat ke Kentucky lalu berjumpa dengan Statesmen yang terdiri dari agen bernama-kode miras diantaranya Tequilla (Channing Tatum), Ginger Ale (Halle Berry), Whiskey (Pedro Pascal), dan sang bos Champagne (Jeff Bridges).

Bagaimana cara mengintegrasikan semua nama top ini ke dalam cerita? Uhm. Sebagian dari mereka hanya numpang lewat sebentar sehingga lebih cocok dibilang sebagai cameo. Namun cameo yang paling menggigit, paling tidak awalnya, adalah Elton John yang bermain sebagai dirinya sendiri. Elton ditawan oleh Poppy untuk memberikan hiburan di markasnya yang sepi sekaligus membawakan langsung lagu "Saturday Night's Alright (for Fighting)" di pertarungan klimaks. Ia bahkan sempat pula beraksi. Namun sebagaimana kebanyakan lelucon filmnya, bagian ini juga dibuat melewati batas durasi sengatnya.

(Sebagai padanan bagi lelucon anal dari film pertama (jika belum mengerti, maka anda masih terlalu muda untuk film ini), di film ini kita mendapatkan lelucon yang melibatkan jari dan bagian sensitif wanita. Vaughn tak ragu-ragu; kamera menyorotnya dengan intim yang mungkin akan membuat sebagian penonton tak nyaman.)

Plotnya —yang melibatkan usaha Eggsy mencari vaksin sembari mempertahankan hubungan dengan sang pacar, Harry yang berjuang menemukan kembali skill mata-mata-nya, homage pada film James Bond, dan satire terhadap pola pikir sinis pemerintah— relatif kacau dan asyik njelimet sendiri dimana ada banyak subplot yang tak mengarah kemana-mana. Saya membayangkan film ini akan lebih efektif jika ia lebih ringkas. Energi dan setpieces yang gila menunjukkan bahwa Vaughn tak kehilangan imajinasi dan sentuhan visual yang stylish untuk sekuens aksi yang bombastis; gambar-gambarnya detil dan memanjakan mata. Ia melempar semuanya tapi hanya sedikit yang berkesan. Film ini sangat berkelas untuk dilihat, namun pesonanya tak sementereng saat pertama kita mengenalnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Kingsman: The Golden Circle

141 menit
Dewasa
Matthew Vaughn
Jane Goldman, Matthew Vaughn (screenplay), Mark Millar, Dave Gibbons (komik)
Matthew Vaughn, David Reid, Adam Bohling
George Richmond
Henry Jackman, Matthew Margeson

'Kingsman: The Secret Service' termasuk sampah berkualitas, sementara 'Kingsman: The Golden Circle' nyaris menjadi sampah betulan.

“Manners maketh man.”
— Harry Hart
Rating UP:
Jika sudah menonton Kingsman: The Secret Service yang dirilis 2 tahun lalu, maka anda tahu akan mendapatkan apa. Anda takkan lagi syok dengan konsepnya yang merayakan kekerasan dan kevulgaran lewat elemen tradisi film mata-mata. Sekuelnya, Kingsman: The Golden Circle masih merupakan film eksploitatif berisi plot lebai, kekerasan komikal, dan lelucon seksis. Keduanya sama-sama film sampah yang digarap dengan dana maksimal, efek spesial berkelas, dan energi tinggi. Meski demikian, The Secret Service termasuk sampah berkualitas, sementara The Golden Circle nyaris menjadi sampah betulan.


Oke. Itu memang terdengar lebih kejam daripada yang saya maksudkan. Namun sebanyak saya menikmati beberapa momen dalam The Golden Circle, sebanyak itu pula saya menengok jam tangan dan berharap filmnya segera berakhir. Dengan durasi yang mencapai hampir dua setengah jam, terasa sekali filmnya terlalu sesak sekaligus dipanjang-panjangkan. Matthew Vaughn yang kembali menjadi sutradara, jelas menargetkan sesuatu yang lebih besar, lebih gila, dan lebih spektakuler. Namun semua ekses ini ditumbukkan kepada kita dengan konstan, sehingga bagian yang paling sinting sekalipun menjadi terkesan, uhm, agak biasa.

Coba lihat sekuens aksi pembuka dimana Eggsy (Taron Egerton) yang sekarang sudah sah menjadi agen Kingsman dengan nama-kode Galahad, ditangkap oleh salah satu musuh lamanya dari film pertama. Lewat sekuens panjang mulai dari adu jotos di dalam mobil yang bergerak dalam kecepatan tinggi lalu diikuti dengan kejar-kejaran mobil di jalanan London, Eggsy berhasil selamat. Dibantu dengan banyak efek spesial, Vaughn menyajikannya dengan gerakan kamera hiperaktif yang mengikuti setiap tonjokan dan tendangan. Sekuens berikutnya yang menarik adalah pertarungan antara Eggsy yang bertandem dengan Harry Hart melawan musuh terakhir dimana kamera literally bergerak lebih cepat daripada mereka beraksi. Pada awalnya ini membuat saya berpikir bahwa filmnya boleh jadi merupakan film paling enerjik kedua tahun ini. Namun saat berlangsung terlalu lama, saya tak lagi merasakan keseruannya.

Kalau di film pertama, bos besarnya adalah Samuel L. Jackson yang bermain sebagai Valentine, orang kaya yang akan membunuh semua orang demi menyelamatkan bumi, maka kali ini kita mendapatkan Julianne Moore sebagai Poppy, orang kaya yang juga akan membunuh semua orang, hanya saja dengan tujuan dan metode yang berbeda. Ia bermaksud untuk memaksa Presiden Amerika melegalkan narkoba dengan cara menyandera konsumennya sendiri lewat sebuah virus mematikan. Poppy juga tak kalah eksentrik dibanding Valentine. Ia selalu memasang senyum ala prospektor MLM dan punya markas di hutan Kamboja yang didekorasi dengan properti studio film lawas. Ia juga suka kekerasan dengan cara mencincang manusia hidup menggunakan mesin pencincang daging. Ya. Ini memang film yang begitu.

Bicara soal Kingsman tak lengkap tanpa agen parlente Harry Hart-nya Colin Firth. Namun sayangnya ia tewas ditembak di kepala pada film pertama. Vaughn yang menulis skrip bersama Jane Goldman menggunakan cara lihai untuk membangkitkannya kembali. Dan ini bukan spoiler, karena kita sudah melihatnya lewat poster promosi dan trailer. Meski penting dari sisi komersil filmnya, tapi ini juga menafikan momen penting dari film sebelumnya. Saya tahu, Kingsman beroperasi dalam semesta penuh kemustahilan, tapi membangkitkan orang mati? Ini sedikit mencederai stake. Segala macam risiko yang terjadi bisa ditarik kembali. Dan dimana keseruan dan ketegangan saat tak ada konsekuensi?

The Golden Circle memperluas skala mitologi franchise-nya dengan memperkenalkan "sepupu" dari agensi Kingsman kita yang berkamuflase sebagai toko jas di Inggris yaitu Statesman, agensi mata-mata Amerika yang bermarkas di pabrik penyulingan miras. Pertemuan ini bermula ketika markas Kingsman dibombardir oleh penjahat. Semua agen Kingsman tewas, kecuali Merlin (Mark Strong) dan Eggsy yang kebetulan sedang pacaran dengan putri Swedia (Hanna Alstrom) yang diselamatkan (dan di*uhuk*) di film pertama. Keduanya lalu berangkat ke Kentucky lalu berjumpa dengan Statesmen yang terdiri dari agen bernama-kode miras diantaranya Tequilla (Channing Tatum), Ginger Ale (Halle Berry), Whiskey (Pedro Pascal), dan sang bos Champagne (Jeff Bridges).

Bagaimana cara mengintegrasikan semua nama top ini ke dalam cerita? Uhm. Sebagian dari mereka hanya numpang lewat sebentar sehingga lebih cocok dibilang sebagai cameo. Namun cameo yang paling menggigit, paling tidak awalnya, adalah Elton John yang bermain sebagai dirinya sendiri. Elton ditawan oleh Poppy untuk memberikan hiburan di markasnya yang sepi sekaligus membawakan langsung lagu "Saturday Night's Alright (for Fighting)" di pertarungan klimaks. Ia bahkan sempat pula beraksi. Namun sebagaimana kebanyakan lelucon filmnya, bagian ini juga dibuat melewati batas durasi sengatnya.

(Sebagai padanan bagi lelucon anal dari film pertama (jika belum mengerti, maka anda masih terlalu muda untuk film ini), di film ini kita mendapatkan lelucon yang melibatkan jari dan bagian sensitif wanita. Vaughn tak ragu-ragu; kamera menyorotnya dengan intim yang mungkin akan membuat sebagian penonton tak nyaman.)

Plotnya —yang melibatkan usaha Eggsy mencari vaksin sembari mempertahankan hubungan dengan sang pacar, Harry yang berjuang menemukan kembali skill mata-mata-nya, homage pada film James Bond, dan satire terhadap pola pikir sinis pemerintah— relatif kacau dan asyik njelimet sendiri dimana ada banyak subplot yang tak mengarah kemana-mana. Saya membayangkan film ini akan lebih efektif jika ia lebih ringkas. Energi dan setpieces yang gila menunjukkan bahwa Vaughn tak kehilangan imajinasi dan sentuhan visual yang stylish untuk sekuens aksi yang bombastis; gambar-gambarnya detil dan memanjakan mata. Ia melempar semuanya tapi hanya sedikit yang berkesan. Film ini sangat berkelas untuk dilihat, namun pesonanya tak sementereng saat pertama kita mengenalnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Kingsman: The Golden Circle

141 menit
Dewasa
Matthew Vaughn
Jane Goldman, Matthew Vaughn (screenplay), Mark Millar, Dave Gibbons (komik)
Matthew Vaughn, David Reid, Adam Bohling
George Richmond
Henry Jackman, Matthew Margeson

Review Film: 'The Lego Ninjago Movie' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Animasi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Lego Ninjago Movie' (2017)
link : Review Film: 'The Lego Ninjago Movie' (2017)

Baca juga


Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan.

“That's not true! I haven't even been a part of your life, how could I ruin it? I wasn't even there.”
— Garmadon
Rating UP:
The Lego Ninjago Movie membuktikan bahwa sebuah film Lego, dengan formulanya yang unik, ternyata bisa juga gagal. Tiga tahun lalu, The Lego Movie membalikkan ekspektasi semua orang dengan menjadi film yang cerdas, lucu, dan menarik, terlepas dari materi aslinya yang cuma sekadar mainan blok buat anak-anak. Ninjago sama-sama punya karakter yang menarik, setpieces yang spektakuler, dan celutukan yang absurd. Bahkan lebih. Maksud saya, ada ninja dan mecha lho. Namun sebagian besar bagiannya tak lagi ngeklik dengan pas.


Sebenarnya, ini semua hanyalah cerita yang dikarang oleh Jackie Chan kepada seorang anak yang nyelonong masuk toko sovenirnya di sebuah daerah pecinan. Memangnya di Cina ada ninja ya? Tak usah dipikirkan. Lagipula, Ninjago sebenarnya tak terlalu berhubungan dengan ninja, tapi lebih mirip dengan Power Rangers. Para jagoan kita memakai kostum warna-warni untuk menyembunyikan identitasnya, lalu bertarung menumpas kejahatan dengan bantuan robot raksasa yang mereka kendalikan sendiri. Dan sama kota di Power Rangers, kota Ninjago diserang secara rutin oleh penjahat. Kaya minum susu, minimal sehari sekali.

Penjahat utamanya adalah Lord Garmadon (Justin Theroux), megalomaniak mirip Darth Vader tapi punya empat tangan. Tujuannya tentu saja untuk menguasai kota Ninjago dan cara terbaik untuk itu adalah, seperti halnya metode semua penjahat di film apapun, dengan menghancurkannya. Bersama dengan belasan anak buahnya, ia tinggal di gunung tak jauh dari pantai kota Ninjago. Sedemikian dekat hingga warga kota bisa meledeknya saat ia berhasil dikalahkan oleh para jagoan Ninjago.

Para Ninjago kita punya karakteristik tersendiri sesuai dengan elemen yang menjadi gaya silat mereka: ninja merah berelemen api Kai (Michael Pena), ninja abu-abu berelemen air Nya (Abbi Jacobson), ninja biru berelemen petir Jay (Kumail Nanjiani), ninja hitam berelemen bumi Cole (Fred Armisen), ninja putih berelemen es yang juga seorang android Zane (Zach Woods). Tokoh utama kita, ninja hijau Lloyd (Dave Franco) mendapat elemen, uhm, hijau. Mereka semua beraksi di bawah bimbingan Master Wu (Jackie Chan).

Satu hal patut diketahui adalah Lloyd sebenarnya anak dari Garmadon. Di sekolah, Lloyd kerap di-bully kawan sekelas karena statusnya sebagai anak penjahat terkeji sepanjang masa. Namun ketika memakai kostum ninja hijau, ia adalah pahlawan yang dielu-elukan oleh warga desa. Garmadon sendiri tak tahu dengan fakta ini dan menganggap ninja hijau sebagai musuh bebuyutannya.

Nah, sekarang kita akan membicarakan kucing, bukan kucing Lego melainkan kucing sungguhan, yang sudah dimunculkan sejak trailernya. Di satu titik, kucing ini datang dan memporak-porandakan kota Ninjago layaknya seekor Kaiju. Penyebabnya gara-gara Lloyd yang tak sengaja menggunakan “senjata pamungkas”. Bagi anak-anak, saat seekor peliharaan mengacaukan arena permainan, itu bikin kzl. Bagi orang dewasa, itu menghibur. Bagi warga Lego, sebuah bencana besar. Mungkin hanya inilah satu-satunya hal yang kreatif dari film Ninjago.

Jadi, para jagoan Ninjago kita harus melakukan petualangan untuk mencari “senjata pamungkasnya pamungkas” sembari menemukan kekuatan mereka sebagai tim, uhm, atau mungkin bakal lebih menarik jika mengenai isu ayah-anak antara Lloyd dan Garmadon? Penulis filmnya lebih suka opsi terakhir. Yang sebenarnya tak masalah bagi saya, hanya saja: (1) The Lego Movie sudah melakukannya dengan lebih baik, lagipula (2) untuk apa memasukkan banyak karakter pendukung yang menarik hanya untuk disia-siakan sebagai peramai pesta belaka? Para ninja yang lain hanya menjadi dekorasi. Meski penampilan pengisi suaranya solid, energi dan timing leluconnya seringkali kurang pas sehingga terdengar garing. Begitu pula dengan semestanya yang terkesan sempit dan tak imajinatif jika dibandingkan dengan semesta The Lego Movie atau The Lego Batman Movie.

Ninjago ini kok ya jadi mirip-mirip dengan Transformers. Mecha-nya yang keren terlihat spektakuler dan ketika beraksi dalam render stop-motion khas Lego tampak lebih epik lagi. Namun pengadeganannya begitu riuh, jadinya malah terlihat berantakan dan sulit dicerna kekerenannya. Akan tetapi, saya yakin ini sudah cukup untuk membuat penonton anak-anak nekat memaksa orangtua mereka membelikan robot-robotan Ninjago. Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Ninjago Movie

101 menit
Semua Umur
Charlie Bean, Paul Fisher, Bob Logan
Bob Logan, Paul Fisher, William Wheeler, Tom Wheeler, Jared Stern, John Whittington
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Chris McKay, Maryann Garger Roy Lee
Mark Mothersbaugh

Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan.

“That's not true! I haven't even been a part of your life, how could I ruin it? I wasn't even there.”
— Garmadon
Rating UP:
The Lego Ninjago Movie membuktikan bahwa sebuah film Lego, dengan formulanya yang unik, ternyata bisa juga gagal. Tiga tahun lalu, The Lego Movie membalikkan ekspektasi semua orang dengan menjadi film yang cerdas, lucu, dan menarik, terlepas dari materi aslinya yang cuma sekadar mainan blok buat anak-anak. Ninjago sama-sama punya karakter yang menarik, setpieces yang spektakuler, dan celutukan yang absurd. Bahkan lebih. Maksud saya, ada ninja dan mecha lho. Namun sebagian besar bagiannya tak lagi ngeklik dengan pas.


Sebenarnya, ini semua hanyalah cerita yang dikarang oleh Jackie Chan kepada seorang anak yang nyelonong masuk toko sovenirnya di sebuah daerah pecinan. Memangnya di Cina ada ninja ya? Tak usah dipikirkan. Lagipula, Ninjago sebenarnya tak terlalu berhubungan dengan ninja, tapi lebih mirip dengan Power Rangers. Para jagoan kita memakai kostum warna-warni untuk menyembunyikan identitasnya, lalu bertarung menumpas kejahatan dengan bantuan robot raksasa yang mereka kendalikan sendiri. Dan sama kota di Power Rangers, kota Ninjago diserang secara rutin oleh penjahat. Kaya minum susu, minimal sehari sekali.

Penjahat utamanya adalah Lord Garmadon (Justin Theroux), megalomaniak mirip Darth Vader tapi punya empat tangan. Tujuannya tentu saja untuk menguasai kota Ninjago dan cara terbaik untuk itu adalah, seperti halnya metode semua penjahat di film apapun, dengan menghancurkannya. Bersama dengan belasan anak buahnya, ia tinggal di gunung tak jauh dari pantai kota Ninjago. Sedemikian dekat hingga warga kota bisa meledeknya saat ia berhasil dikalahkan oleh para jagoan Ninjago.

Para Ninjago kita punya karakteristik tersendiri sesuai dengan elemen yang menjadi gaya silat mereka: ninja merah berelemen api Kai (Michael Pena), ninja abu-abu berelemen air Nya (Abbi Jacobson), ninja biru berelemen petir Jay (Kumail Nanjiani), ninja hitam berelemen bumi Cole (Fred Armisen), ninja putih berelemen es yang juga seorang android Zane (Zach Woods). Tokoh utama kita, ninja hijau Lloyd (Dave Franco) mendapat elemen, uhm, hijau. Mereka semua beraksi di bawah bimbingan Master Wu (Jackie Chan).

Satu hal patut diketahui adalah Lloyd sebenarnya anak dari Garmadon. Di sekolah, Lloyd kerap di-bully kawan sekelas karena statusnya sebagai anak penjahat terkeji sepanjang masa. Namun ketika memakai kostum ninja hijau, ia adalah pahlawan yang dielu-elukan oleh warga desa. Garmadon sendiri tak tahu dengan fakta ini dan menganggap ninja hijau sebagai musuh bebuyutannya.

Nah, sekarang kita akan membicarakan kucing, bukan kucing Lego melainkan kucing sungguhan, yang sudah dimunculkan sejak trailernya. Di satu titik, kucing ini datang dan memporak-porandakan kota Ninjago layaknya seekor Kaiju. Penyebabnya gara-gara Lloyd yang tak sengaja menggunakan “senjata pamungkas”. Bagi anak-anak, saat seekor peliharaan mengacaukan arena permainan, itu bikin kzl. Bagi orang dewasa, itu menghibur. Bagi warga Lego, sebuah bencana besar. Mungkin hanya inilah satu-satunya hal yang kreatif dari film Ninjago.

Jadi, para jagoan Ninjago kita harus melakukan petualangan untuk mencari “senjata pamungkasnya pamungkas” sembari menemukan kekuatan mereka sebagai tim, uhm, atau mungkin bakal lebih menarik jika mengenai isu ayah-anak antara Lloyd dan Garmadon? Penulis filmnya lebih suka opsi terakhir. Yang sebenarnya tak masalah bagi saya, hanya saja: (1) The Lego Movie sudah melakukannya dengan lebih baik, lagipula (2) untuk apa memasukkan banyak karakter pendukung yang menarik hanya untuk disia-siakan sebagai peramai pesta belaka? Para ninja yang lain hanya menjadi dekorasi. Meski penampilan pengisi suaranya solid, energi dan timing leluconnya seringkali kurang pas sehingga terdengar garing. Begitu pula dengan semestanya yang terkesan sempit dan tak imajinatif jika dibandingkan dengan semesta The Lego Movie atau The Lego Batman Movie.

Ninjago ini kok ya jadi mirip-mirip dengan Transformers. Mecha-nya yang keren terlihat spektakuler dan ketika beraksi dalam render stop-motion khas Lego tampak lebih epik lagi. Namun pengadeganannya begitu riuh, jadinya malah terlihat berantakan dan sulit dicerna kekerenannya. Akan tetapi, saya yakin ini sudah cukup untuk membuat penonton anak-anak nekat memaksa orangtua mereka membelikan robot-robotan Ninjago. Film Lego yang awalnya diprediksi hanya akan mengkomersialisasi merek mainan, ternyata benar menjadi sesuatu yang kita khawatirkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Lego Ninjago Movie

101 menit
Semua Umur
Charlie Bean, Paul Fisher, Bob Logan
Bob Logan, Paul Fisher, William Wheeler, Tom Wheeler, Jared Stern, John Whittington
Dan Lin, Phil Lord, Christopher Miller, Chris McKay, Maryann Garger Roy Lee
Mark Mothersbaugh