Saturday, June 2, 2018

Review Film: 'Hostiles' (2018)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Western, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Hostiles' (2018)
link : Review Film: 'Hostiles' (2018)

Baca juga


'Hostiles' mungkin bukan film Scott Cooper yang terbaik atau paling mengesankan, tapi film ini adalah filmnya yang paling definitif dan aktual.

“I was just doing my job.”
— Captain Blockers
Rating UP:
Hostiles mungkin bukan film Scott Cooper yang terbaik atau paling mengesankan, tapi film ini adalah filmnya yang paling definitif dan aktual. Sejauh ini ia sudah membesut 4 film; selain film ini, ada Crazy Heart, Out of Furnace, dan Black Mass. Meski punya latar cerita yang berbeda-beda, poin tematisnya relatif sama, yaitu Western getir yang kontemplatif. Cooper boleh dibilang hanya punya satu gaya. Tapi tidak apa-apa, sebab ia selalu bisa menanganinya dengan mantap.


Dengan memakai kemasan film paling Western dari genre Western, yakni koboi-koboian tentu saja, ia menyentil isu yang sudah mengakar masyarakat Amerika: rasisme. Betul filmnya yang diangkat dari tulisan Donald E. Stewart menampilkan koboi, Indian, kuda, aksi tembak-tembakan, bahkan beberapa di antara adegannya sangat brutal, tapi film ini bukan film aksi yang akan membuat kita berdebar-bedar atas keseruannya. Alih-alih, ia slowburn drama yang lebih ditujukan untuk menyentuh sisi sensitif penonton dalam mengamati hubungan antara warga kulit putih dengan penduduk asli Amerika.

Dalam adegan pembuka yang singkat, film dengan brilian memperlihatkan betapa mirisnya lingkaran setan ini. Kedua belah pihak melakukan tindakan keji kepada pihak lain yang dianggap musuh. Awalnya tidak ada yang salah. Masuk akal kenapa orang Indian murka, soalnya mereka kan diasingkan bahkan diusir dari tanah sendiri; mereka cuma membela tanah sendiri. Di lain sisi, kulit putih merasa menjadi juru selamat yang berperan membawa peradaban kepada orang barbar. Hasilnya, tak ada yang menang. Mereka semua sekarang adalah setan sekaligus korban atas perbuatan mereka sendiri.

Film ini dibintangi Christian Bale sebagai Kapten Blockers, tentara yang terkenal atas reputasinya sebagai pembantai Indian yang moncer. Tahunnya 1892, saat konfrontasi antara kulit putih dan Indian sedang panas-panasnya. Blockers percaya bahwa ia berada di pihak yang benar. Setelah menyaksikan betapa banyak teman dan rekan tentara yang dibantai, ia menganggap bahwa pembantaian yang ia lakukan sendiri merupakan bakti kepada negara.

Namun, masa-masa damai sudah menjelang. Sebagai bentuk rekonsiliasi, Presiden Amerika Benjamin Harrison memberi perintah untuk mengawal Kepala Suku, Yellow Hawk (Wes Studi) beserta keluarganya untuk mudik dengan aman. Yellow Hawk menderita kanker dan ia ingin disemayamkan di kampung halaman. Dan yang bertugas untuk mengawalnya adalah Blockers. Alasannya, Blockers tahu tempat yang akan dituju dan ia fasih berbahasa Indian.

Blockers menganggap ini sebagai penghinaan. Bukan hanya harus membebaskan Yellow Hawk yang notabene adalah seorang tahanan bersuku Indian, Blockers juga harus mengawal orang pernah berhadapan dengannya di medan perang dan membunuh lusinan teman-temannya dengan brutal. Apa-apaan ini? Namun tugas adalah tugas. Jadi, berangkatlah ia bersama serombongan tentara yang diperankan oleh Jesse Plemons, Rory Cochrane, Jonathan Majors, dan Timothee Chalamet.

Bale tampil fantastis. Ia mampu menguarkan banyak emosi tanpa perlu banyak berkata-kata. Blockers adalah orang yang tak banyak bicara. Sekalinya bicara, lebih cenderung menggumam atau menggeram. Namun berkat intensitas akting dari Bale, kita bisa membaca kemarahan, dendam, dan duka yang dialami karakternya cukup dari mata dan raut muka.

Kita tahu maksud dan akhir dari perjalanan ini. Yang lebih penting justru perjalanan itu sendiri. Ceritanya sederhana, tapi diceritakan dengan elegan. Latar pemandangan alam yang menawan disorot dengan cantik oleh sinematografer Masanobu Takayanagi, langganan Cooper. Dalam rangka menemukan penebusan, Blockers berjumpa dengan karakter-karakter yang menarik. Rosalie (Rosamund Pike) adalah janda yang merasakan sendiri kekejaman suku Indian di awal film. Rumahnya dibakar, kudanya dicuri, kepala suaminya dikuliti, sementara tiga anaknya ditembak mati. Blockers tak punya pilihan; ia harus membawa Rosalie.

Yang kedua adalah Sersan Willis (Ben Foster), yang harus diantar Blockers menuju tiang gantungan atas kejahatannya membantai satu suku Indian dengan sadis. Karakter Willis memberi dimensi tersendiri bagi konflik internal Blockers. Merupakan rekannya di masa lalu, Willis menegaskan kepada Blockers bahwa mereka pada dasarnya sama saja. Cuma beda nasib. Sayangnya, bagian ini tak mengantarkan filmnya kemana-mana. Kehadiran Willis lebih terasa sebagai distraksi singkat yang tak begitu menyatu dengan film.

Yang menahan film ini untuk benar-benar memberikan kompleksitas moral yang saya yakin dimaksudkan filmnya adalah penggambaran karakter pendukungnya yang nyaris datar. Yellow Hawk dan keluarganya diceritakan murni baiknya. Mereka disederhanakan agar nyaman dengan kebutuhan plot untuk memberi pencerahan kepada kulit putih. Ada satu suku Indian, yaitu Comanche, yang cuma dijadikan sebagai penjahat murni agar protagonis kita jadi saling mengerti satu sama lain. Memang nanti ada pula penjahat dari kulit putih (mungkin biar seimbang), namun mereka adalah pemburu kulit hewan, sementara kita tak begitu mengerti kenapa Comanche melakukan apa yang mereka lakukan. Sebagai Yellow Hawk, Wes Studi juga tampil solid, tapi ia tak diberi banyak ruang untuk dieksplor. Ia hanyalah orang tua bijak yang cuma ingin menanti ajal dengan damai.

Kendati demikian, Cooper menghandel filmnya dengan tangan yang mantap. Meski narasinya formulaik dan tak menyampaikan sesuatu yang baru, tapi penceritaannya merupakan hasil eksekusi yang telaten. Ada beberapa adegan yang seharusnya cringey, tapi terasa dramatis disini. Alurnya tak terburu-buru, berisi banyak adegan selow, tapi sangat mengikat. Mungkin ini karena filmnya berhasil menarik rasa simpati kita, bahkan saat ia tak begitu yakin akan bagaimana karakter utamanya menemukan penebusan. Itu adalah alasan yang paling sederhana untuk memaafkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hostiles

133 menit
Dewasa
Scott Cooper
Scott Cooper
Scott Cooper, Ken Kao, John Lesher
Masanobu Takayanagi
Max Richter

'Hostiles' mungkin bukan film Scott Cooper yang terbaik atau paling mengesankan, tapi film ini adalah filmnya yang paling definitif dan aktual.

“I was just doing my job.”
— Captain Blockers
Rating UP:
Hostiles mungkin bukan film Scott Cooper yang terbaik atau paling mengesankan, tapi film ini adalah filmnya yang paling definitif dan aktual. Sejauh ini ia sudah membesut 4 film; selain film ini, ada Crazy Heart, Out of Furnace, dan Black Mass. Meski punya latar cerita yang berbeda-beda, poin tematisnya relatif sama, yaitu Western getir yang kontemplatif. Cooper boleh dibilang hanya punya satu gaya. Tapi tidak apa-apa, sebab ia selalu bisa menanganinya dengan mantap.


Dengan memakai kemasan film paling Western dari genre Western, yakni koboi-koboian tentu saja, ia menyentil isu yang sudah mengakar masyarakat Amerika: rasisme. Betul filmnya yang diangkat dari tulisan Donald E. Stewart menampilkan koboi, Indian, kuda, aksi tembak-tembakan, bahkan beberapa di antara adegannya sangat brutal, tapi film ini bukan film aksi yang akan membuat kita berdebar-bedar atas keseruannya. Alih-alih, ia slowburn drama yang lebih ditujukan untuk menyentuh sisi sensitif penonton dalam mengamati hubungan antara warga kulit putih dengan penduduk asli Amerika.

Dalam adegan pembuka yang singkat, film dengan brilian memperlihatkan betapa mirisnya lingkaran setan ini. Kedua belah pihak melakukan tindakan keji kepada pihak lain yang dianggap musuh. Awalnya tidak ada yang salah. Masuk akal kenapa orang Indian murka, soalnya mereka kan diasingkan bahkan diusir dari tanah sendiri; mereka cuma membela tanah sendiri. Di lain sisi, kulit putih merasa menjadi juru selamat yang berperan membawa peradaban kepada orang barbar. Hasilnya, tak ada yang menang. Mereka semua sekarang adalah setan sekaligus korban atas perbuatan mereka sendiri.

Film ini dibintangi Christian Bale sebagai Kapten Blockers, tentara yang terkenal atas reputasinya sebagai pembantai Indian yang moncer. Tahunnya 1892, saat konfrontasi antara kulit putih dan Indian sedang panas-panasnya. Blockers percaya bahwa ia berada di pihak yang benar. Setelah menyaksikan betapa banyak teman dan rekan tentara yang dibantai, ia menganggap bahwa pembantaian yang ia lakukan sendiri merupakan bakti kepada negara.

Namun, masa-masa damai sudah menjelang. Sebagai bentuk rekonsiliasi, Presiden Amerika Benjamin Harrison memberi perintah untuk mengawal Kepala Suku, Yellow Hawk (Wes Studi) beserta keluarganya untuk mudik dengan aman. Yellow Hawk menderita kanker dan ia ingin disemayamkan di kampung halaman. Dan yang bertugas untuk mengawalnya adalah Blockers. Alasannya, Blockers tahu tempat yang akan dituju dan ia fasih berbahasa Indian.

Blockers menganggap ini sebagai penghinaan. Bukan hanya harus membebaskan Yellow Hawk yang notabene adalah seorang tahanan bersuku Indian, Blockers juga harus mengawal orang pernah berhadapan dengannya di medan perang dan membunuh lusinan teman-temannya dengan brutal. Apa-apaan ini? Namun tugas adalah tugas. Jadi, berangkatlah ia bersama serombongan tentara yang diperankan oleh Jesse Plemons, Rory Cochrane, Jonathan Majors, dan Timothee Chalamet.

Bale tampil fantastis. Ia mampu menguarkan banyak emosi tanpa perlu banyak berkata-kata. Blockers adalah orang yang tak banyak bicara. Sekalinya bicara, lebih cenderung menggumam atau menggeram. Namun berkat intensitas akting dari Bale, kita bisa membaca kemarahan, dendam, dan duka yang dialami karakternya cukup dari mata dan raut muka.

Kita tahu maksud dan akhir dari perjalanan ini. Yang lebih penting justru perjalanan itu sendiri. Ceritanya sederhana, tapi diceritakan dengan elegan. Latar pemandangan alam yang menawan disorot dengan cantik oleh sinematografer Masanobu Takayanagi, langganan Cooper. Dalam rangka menemukan penebusan, Blockers berjumpa dengan karakter-karakter yang menarik. Rosalie (Rosamund Pike) adalah janda yang merasakan sendiri kekejaman suku Indian di awal film. Rumahnya dibakar, kudanya dicuri, kepala suaminya dikuliti, sementara tiga anaknya ditembak mati. Blockers tak punya pilihan; ia harus membawa Rosalie.

Yang kedua adalah Sersan Willis (Ben Foster), yang harus diantar Blockers menuju tiang gantungan atas kejahatannya membantai satu suku Indian dengan sadis. Karakter Willis memberi dimensi tersendiri bagi konflik internal Blockers. Merupakan rekannya di masa lalu, Willis menegaskan kepada Blockers bahwa mereka pada dasarnya sama saja. Cuma beda nasib. Sayangnya, bagian ini tak mengantarkan filmnya kemana-mana. Kehadiran Willis lebih terasa sebagai distraksi singkat yang tak begitu menyatu dengan film.

Yang menahan film ini untuk benar-benar memberikan kompleksitas moral yang saya yakin dimaksudkan filmnya adalah penggambaran karakter pendukungnya yang nyaris datar. Yellow Hawk dan keluarganya diceritakan murni baiknya. Mereka disederhanakan agar nyaman dengan kebutuhan plot untuk memberi pencerahan kepada kulit putih. Ada satu suku Indian, yaitu Comanche, yang cuma dijadikan sebagai penjahat murni agar protagonis kita jadi saling mengerti satu sama lain. Memang nanti ada pula penjahat dari kulit putih (mungkin biar seimbang), namun mereka adalah pemburu kulit hewan, sementara kita tak begitu mengerti kenapa Comanche melakukan apa yang mereka lakukan. Sebagai Yellow Hawk, Wes Studi juga tampil solid, tapi ia tak diberi banyak ruang untuk dieksplor. Ia hanyalah orang tua bijak yang cuma ingin menanti ajal dengan damai.

Kendati demikian, Cooper menghandel filmnya dengan tangan yang mantap. Meski narasinya formulaik dan tak menyampaikan sesuatu yang baru, tapi penceritaannya merupakan hasil eksekusi yang telaten. Ada beberapa adegan yang seharusnya cringey, tapi terasa dramatis disini. Alurnya tak terburu-buru, berisi banyak adegan selow, tapi sangat mengikat. Mungkin ini karena filmnya berhasil menarik rasa simpati kita, bahkan saat ia tak begitu yakin akan bagaimana karakter utamanya menemukan penebusan. Itu adalah alasan yang paling sederhana untuk memaafkan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Hostiles

133 menit
Dewasa
Scott Cooper
Scott Cooper
Scott Cooper, Ken Kao, John Lesher
Masanobu Takayanagi
Max Richter

Friday, June 1, 2018

J.K. Rowling Mulai Kerjakan Skrip ‘Fantastic Beasts 3’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : J.K. Rowling Mulai Kerjakan Skrip ‘Fantastic Beasts 3’
link : J.K. Rowling Mulai Kerjakan Skrip ‘Fantastic Beasts 3’

Baca juga


Melalui situs resmi miliknya, J.K. Rowling mengumumkan bahwa kini ia sedang menulis skrip ‘Fantastic Beasts 3’.

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald memang baru akan tayang November ini. Namun meski jadwal rilis ini masih terhitung lama, Warner Bros. bersama penulis J.K. Rowling sudah mulai mengembangkan film berikutnya, yang notabene jadi seri ketiga Fantastic Beasts. Melalui situs resmi miliknya, Rowling mengumumkan bahwa kini ia sedang menulis skrip Fantastic Beasts 3. Di luar itu, ia juga mengakui telah merampungkan novel keempat Galbraith, Lethal White. Dan usai menyelesaikan naskah Fantastic Beasts 3 nanti, Rowling berencana kembali menulis buku untuk anak-anak, karena sudah enam tahun ia tak menghadirkan kisah anak-anak.

Pengumuman Rowling terkait penulisan skrip Fantastic Beasts 3 sendiri mengindikasikan studio cukup percaya diri dengan franchise ber-timeline cerita sebelum Harry Potter ini. Wajar saja, mengingat film pertama Fantastic Beasts (2016) sukses mendulang pendapatan cukup tinggi sebesar $814 juta, padahal filmnya sendiri tampil tanpa karakter sepopuler Harry Potter. Diprediksi performa The Crimes of Grindelwald di box office akan lebih superior, berkat kehadiran salah satu karakter favorit di franchise Harry Potter, yakni Dumbledore. Bedanya, di filmnya nanti Dumbledore akan tampil lebih muda dan diperankan oleh Jude Law.

Jika tak ada arah melintang, studio diketahui berencana membuat lima film Fantastic Beasts, yang kesemuanya ditulis Rowling dan disutradarai David Yates. Sineas ini tentu bukanlah orang baru di franchise dunia sihir, mengingat ia berpengalaman membesut empat film terakhir Harry Potter.

Bicara soal cerita The Crimes of Grindelwald, beberapa bulan pasca Newt membantu proses penangkapan Grindelwald, sang penyihir jahat melarikan diri secara dramatis dan mengumpulkan lebih banyak pengikut untuk melaksanakan rencana membinasakan kaum non-penyihir. Mengetahui aksi sahabatnya yang kini berubah jadi jahat, Dumbledore akhirnya meminta bantuan muridnya, Newt, untuk menghadapi Grindewald. Newt pun kemudian bereuni dengan Tina, Queenie dan Jacob, sebelum akhirnya mereka menyadari misi berbahaya ini ternyata juga akan menguji kesetiaan mereka. Adapun setting Fantastic Beasts 2 akan berada di London dan Paris pada tahun 1927.

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald akan dirilis 16 November 2018.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Melalui situs resmi miliknya, J.K. Rowling mengumumkan bahwa kini ia sedang menulis skrip ‘Fantastic Beasts 3’.

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald memang baru akan tayang November ini. Namun meski jadwal rilis ini masih terhitung lama, Warner Bros. bersama penulis J.K. Rowling sudah mulai mengembangkan film berikutnya, yang notabene jadi seri ketiga Fantastic Beasts. Melalui situs resmi miliknya, Rowling mengumumkan bahwa kini ia sedang menulis skrip Fantastic Beasts 3. Di luar itu, ia juga mengakui telah merampungkan novel keempat Galbraith, Lethal White. Dan usai menyelesaikan naskah Fantastic Beasts 3 nanti, Rowling berencana kembali menulis buku untuk anak-anak, karena sudah enam tahun ia tak menghadirkan kisah anak-anak.

Pengumuman Rowling terkait penulisan skrip Fantastic Beasts 3 sendiri mengindikasikan studio cukup percaya diri dengan franchise ber-timeline cerita sebelum Harry Potter ini. Wajar saja, mengingat film pertama Fantastic Beasts (2016) sukses mendulang pendapatan cukup tinggi sebesar $814 juta, padahal filmnya sendiri tampil tanpa karakter sepopuler Harry Potter. Diprediksi performa The Crimes of Grindelwald di box office akan lebih superior, berkat kehadiran salah satu karakter favorit di franchise Harry Potter, yakni Dumbledore. Bedanya, di filmnya nanti Dumbledore akan tampil lebih muda dan diperankan oleh Jude Law.

Jika tak ada arah melintang, studio diketahui berencana membuat lima film Fantastic Beasts, yang kesemuanya ditulis Rowling dan disutradarai David Yates. Sineas ini tentu bukanlah orang baru di franchise dunia sihir, mengingat ia berpengalaman membesut empat film terakhir Harry Potter.

Bicara soal cerita The Crimes of Grindelwald, beberapa bulan pasca Newt membantu proses penangkapan Grindelwald, sang penyihir jahat melarikan diri secara dramatis dan mengumpulkan lebih banyak pengikut untuk melaksanakan rencana membinasakan kaum non-penyihir. Mengetahui aksi sahabatnya yang kini berubah jadi jahat, Dumbledore akhirnya meminta bantuan muridnya, Newt, untuk menghadapi Grindewald. Newt pun kemudian bereuni dengan Tina, Queenie dan Jacob, sebelum akhirnya mereka menyadari misi berbahaya ini ternyata juga akan menguji kesetiaan mereka. Adapun setting Fantastic Beasts 2 akan berada di London dan Paris pada tahun 1927.

Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald akan dirilis 16 November 2018.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Spin-Off Spider-Man ‘Silver & Black’ Ditangguhkan

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Spin-Off Spider-Man ‘Silver & Black’ Ditangguhkan
link : Spin-Off Spider-Man ‘Silver & Black’ Ditangguhkan

Baca juga


Sebuah langkah mengecewakan baru saja ditempuh Sony untuk spin-off Spider-Man kedua setelah ‘Venom’, yaitu ‘Silver & Black’.

Sebuah langkah mengecewakan baru saja ditempuh Sony untuk spin-off Spider-Man kedua setelah Venom, yaitu Silver & Black. Semula dijadwalkan rilis 18 Februari 2019, kini studio memutuskan untuk menunda Silver & Black dan sayangnya, tak memberikan tanggal tayang baru. Dengan kata lain, spin-off berkarakter utama perempuan ini ditangguhkan, dan jika sebuah film bernasib demikian, seringkali ia akan berakhir terjebak di development hell atau bahkan batal diproduksi.

FYI, film Silver & Black sendiri mengusung karakter utama Silver Sable dan Black Cat, dua antihero yang kadangkala menjadi musuh Spider-Man. Di komiknya, Silver Cable adalah seorang pembunuh bayaran merangkap CEO sebuah perusahaan, sedangkan Black Cat adalah pencuri ulung yang lihai berakrobat. Rumor yang beredar menyebut, film ini akan mengusung Kraven the Hunter sebagai villain, dan hal ini pun terdengar menarik karena Kraven adalah salah satu musuh terkuat Spider-Man.

Lebih jauh lagi, ada spekulasi yang mengklaim Norman Osborn versi Marvel Cinematic Universe akan debut di Silver & Black, dan ia akan muncul sekilas layaknya perkenalan Thanos di MCU. Kendati semesta film spin-off Spider-Man yang dibangun Sony akan berdiri sendiri, Kevin Feige selaku pimpinan Marvel Studios pernah mengklarifikasi bahwa cinematic universe milik Sony masih bisa dihubungkan dengan MCU. Alhasil, hal ini memungkinkan Norman Osborn dari MCU muncul di Silver & Black, jika spekulasi tadi terbukti benar.

Silver & Black sendiri akan disutradarai Gina Prince-Bythewood, yang dikenal lewat The Secret Life of Bees. Belum diketahui apa alasan Sony menangguhkan pengembangan spin-off ini. Namun THR mengabarkan, masih ada harapan bagi Silver & Black untuk diproduksi, terlebih jika spin-off perdana dari Sony’s Marvel Universe, Venom, meraih kesuksesan baik secara kritikal maupun finansial.

Rencananya Venom akan dirilis 5 Oktober 2018.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sebuah langkah mengecewakan baru saja ditempuh Sony untuk spin-off Spider-Man kedua setelah ‘Venom’, yaitu ‘Silver & Black’.

Sebuah langkah mengecewakan baru saja ditempuh Sony untuk spin-off Spider-Man kedua setelah Venom, yaitu Silver & Black. Semula dijadwalkan rilis 18 Februari 2019, kini studio memutuskan untuk menunda Silver & Black dan sayangnya, tak memberikan tanggal tayang baru. Dengan kata lain, spin-off berkarakter utama perempuan ini ditangguhkan, dan jika sebuah film bernasib demikian, seringkali ia akan berakhir terjebak di development hell atau bahkan batal diproduksi.

FYI, film Silver & Black sendiri mengusung karakter utama Silver Sable dan Black Cat, dua antihero yang kadangkala menjadi musuh Spider-Man. Di komiknya, Silver Cable adalah seorang pembunuh bayaran merangkap CEO sebuah perusahaan, sedangkan Black Cat adalah pencuri ulung yang lihai berakrobat. Rumor yang beredar menyebut, film ini akan mengusung Kraven the Hunter sebagai villain, dan hal ini pun terdengar menarik karena Kraven adalah salah satu musuh terkuat Spider-Man.

Lebih jauh lagi, ada spekulasi yang mengklaim Norman Osborn versi Marvel Cinematic Universe akan debut di Silver & Black, dan ia akan muncul sekilas layaknya perkenalan Thanos di MCU. Kendati semesta film spin-off Spider-Man yang dibangun Sony akan berdiri sendiri, Kevin Feige selaku pimpinan Marvel Studios pernah mengklarifikasi bahwa cinematic universe milik Sony masih bisa dihubungkan dengan MCU. Alhasil, hal ini memungkinkan Norman Osborn dari MCU muncul di Silver & Black, jika spekulasi tadi terbukti benar.

Silver & Black sendiri akan disutradarai Gina Prince-Bythewood, yang dikenal lewat The Secret Life of Bees. Belum diketahui apa alasan Sony menangguhkan pengembangan spin-off ini. Namun THR mengabarkan, masih ada harapan bagi Silver & Black untuk diproduksi, terlebih jika spin-off perdana dari Sony’s Marvel Universe, Venom, meraih kesuksesan baik secara kritikal maupun finansial.

Rencananya Venom akan dirilis 5 Oktober 2018.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Thursday, May 31, 2018

Jelang Syuting, Remake ‘The Crow’ Kehilangan Jason Momoa & Sutradara

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Jelang Syuting, Remake ‘The Crow’ Kehilangan Jason Momoa & Sutradara
link : Jelang Syuting, Remake ‘The Crow’ Kehilangan Jason Momoa & Sutradara

Baca juga


Jelang proses syutingnya yang akan bergulir dalam waktu dekat, remake ‘The Crow’ kehilangan sang lakon utama Jason Momoa dan sutradara Corin Hardy.

Selama masa pengembangannya, remake The Crow diketahui kerap dirundung masalah, mulai dari kehilangan sutradara hingga mundurnya aktor utama, Kini jelang proses syutingnya yang akan bergulir dalam waktu dekat, masalah yang sama kembali terulang, menyusul sang lakon utama Jason Momoa dan sutradara Corin Hardy.

Sementara Hardy masih belum angkat bicara, aktor Aquaman secara resmi meminta maaf lantaran ia merasa telah mengecewakan pihak pembuat film maupun fans. Momoa juga mengakui ia telah menunggu selama 8 tahun untuk bisa mendapatkan peran Eric Draven, karakter utama The Crow. Di akhir pernyataannya, Momoa mengungkapkan ia baru siap bermain jika proyek remake The Crow sudah “tepat”. Hal ini tentu mengindikasikan ada yang tak beres dalam pembuatan The Crow, entah itu dari aspek cerita, budget ataupun jadwal produksi.

Dugaan ini pun semakin diperkuat oleh laporan Deadline. Menurut sumber, Sony Pictures selaku pihak distributor khawatir dengan ketidakmampuan rumah produksi Davis Films dalam mengatur budget dan konsep kreatif yang tepat untuk The Crow. Kekhawatiran Sony dan kapabilitas Davis Films yang meragukan inilah yang diklaim melatarbelakangi alasan Momoa dan Hardy untuk hengkang. Kini nasib film adaptasi novel karya James O’Barr ini menjadi tidak jelas, padahal kru film kabarnya akan meluncur ke Budapest untuk persiapan syuting.

Kehilangan pemain dan sutradara bukan hal baru dalam pengembangan remake The Crow. Sebelumnya, beberapa sutradara yang pernah terlibat meliputi Stephen Norrington, Nick Cave, Juan Carlos Fresnadillo dan F. Javier Gutierrezz. Sementara untuk peran Eric Draven sempat dikaitkan dengan Mark Wahlberg, Bradley Cooper, James McAvoy, Luke Evans dan Jack Huston.

Di luar isu pergantian pemain dan sutradara, The Crow juga hampir batal dibuat lantaran studio yang memotori proyek remake ini, Relativity Media, harus gulung tikar. Namun akhirnya nasib The Crow terselamatkan setelah Sony mengambil alih sebagai distributor baru. Sayangnya, kabar terbaru menyebut posisi The Crow rupanya belum sepenuhnya aman, karena ada kemungkinan Sony akan ikut mundur setelah ditinggalkan Momoa dan Hardy. Kini jadwal rilis 11 Oktober 2019 yang ditentukan Sony untuk The Crow dipertanyakan.

FYI, film perdana The Crow dirilis 1994 dan dibintangi Brandon Lee sebagai pemeran utama. Dengan atmosfer kelam dan suram, film ini mengisahkan seorang penyanyi rock bernama Eric Draven yang bangkit dari kematian untuk menuntut balas pembunuhnya yang juga bertanggung jawab atas kematian tunangannya. Selain menjadi film cult, The Crow juga mendapat banyak sorotan lantaran Lee tewas akibat insiden di lokasi syuting film tersebut.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Jelang proses syutingnya yang akan bergulir dalam waktu dekat, remake ‘The Crow’ kehilangan sang lakon utama Jason Momoa dan sutradara Corin Hardy.

Selama masa pengembangannya, remake The Crow diketahui kerap dirundung masalah, mulai dari kehilangan sutradara hingga mundurnya aktor utama, Kini jelang proses syutingnya yang akan bergulir dalam waktu dekat, masalah yang sama kembali terulang, menyusul sang lakon utama Jason Momoa dan sutradara Corin Hardy.

Sementara Hardy masih belum angkat bicara, aktor Aquaman secara resmi meminta maaf lantaran ia merasa telah mengecewakan pihak pembuat film maupun fans. Momoa juga mengakui ia telah menunggu selama 8 tahun untuk bisa mendapatkan peran Eric Draven, karakter utama The Crow. Di akhir pernyataannya, Momoa mengungkapkan ia baru siap bermain jika proyek remake The Crow sudah “tepat”. Hal ini tentu mengindikasikan ada yang tak beres dalam pembuatan The Crow, entah itu dari aspek cerita, budget ataupun jadwal produksi.

Dugaan ini pun semakin diperkuat oleh laporan Deadline. Menurut sumber, Sony Pictures selaku pihak distributor khawatir dengan ketidakmampuan rumah produksi Davis Films dalam mengatur budget dan konsep kreatif yang tepat untuk The Crow. Kekhawatiran Sony dan kapabilitas Davis Films yang meragukan inilah yang diklaim melatarbelakangi alasan Momoa dan Hardy untuk hengkang. Kini nasib film adaptasi novel karya James O’Barr ini menjadi tidak jelas, padahal kru film kabarnya akan meluncur ke Budapest untuk persiapan syuting.

Kehilangan pemain dan sutradara bukan hal baru dalam pengembangan remake The Crow. Sebelumnya, beberapa sutradara yang pernah terlibat meliputi Stephen Norrington, Nick Cave, Juan Carlos Fresnadillo dan F. Javier Gutierrezz. Sementara untuk peran Eric Draven sempat dikaitkan dengan Mark Wahlberg, Bradley Cooper, James McAvoy, Luke Evans dan Jack Huston.

Di luar isu pergantian pemain dan sutradara, The Crow juga hampir batal dibuat lantaran studio yang memotori proyek remake ini, Relativity Media, harus gulung tikar. Namun akhirnya nasib The Crow terselamatkan setelah Sony mengambil alih sebagai distributor baru. Sayangnya, kabar terbaru menyebut posisi The Crow rupanya belum sepenuhnya aman, karena ada kemungkinan Sony akan ikut mundur setelah ditinggalkan Momoa dan Hardy. Kini jadwal rilis 11 Oktober 2019 yang ditentukan Sony untuk The Crow dipertanyakan.

FYI, film perdana The Crow dirilis 1994 dan dibintangi Brandon Lee sebagai pemeran utama. Dengan atmosfer kelam dan suram, film ini mengisahkan seorang penyanyi rock bernama Eric Draven yang bangkit dari kematian untuk menuntut balas pembunuhnya yang juga bertanggung jawab atas kematian tunangannya. Selain menjadi film cult, The Crow juga mendapat banyak sorotan lantaran Lee tewas akibat insiden di lokasi syuting film tersebut.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Tom Cruise Rilis Foto Pertama ‘Top Gun 2’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Tom Cruise Rilis Foto Pertama ‘Top Gun 2’
link : Tom Cruise Rilis Foto Pertama ‘Top Gun 2’

Baca juga


Tom Cruise resmi kembali menjadi pilot jet tempur seiring ia merilis foto pertamanya untuk ‘Top Gun: Maverick’.

Tom Cruise resmi kembali menjadi pilot jet tempur seiring ia merilis foto pertamanya untuk Top Gun 2. Foto yang dibagikan Cruise melalui Instagram ini pun menandai dimulainya proses syuting sekuel dari film action era 80-an yang melejitkan nama sang aktor. Lebih dari itu, foto ini juga mencantumkan tulisan “feel the need”, yang merujuk pada salah satu kalimat paling populer dari film pertamanya.

Sebagai informasi, sekuel ini sendiri mengusung judul Top Gun: Maverick, dimana sub judul filmnya diambil dari nama karakter Cruise di film. Semula film ini akan kembali disutradarai Tony Scott, sebelum rencana ini diurungkan lantaran sang sineas tutup usia pada 2012 silam. Lima tahun berselang, Top Gun: Maverick akhirnya merekrut Joseph Kosinski (Tron: Legacy) sebagai sutradara. Kosinski diketahui pernah menggarap film action Cruise yang bertajuk Oblivion.

Selain Cruise, belum ada pemain lain yang resmi terlibat di film produksi Paramount, studio di balik franchise film action Cruise, Mission: Impossible. Namun lawan main Cruise di film pertama, Val Kilmer, mengaku tertarik kembali sebagai pilot Tom Kazanski a.k.a. Iceman.

Meski untuk saat ini detail cerita masih minim, Top Gun 2 diakui Cruise masih mengusung tema persaingan layaknya film terdahulu. Namun Cruise menilai persaingan ini akan mempengaruhi perkembangan Maverick baik sebagai seorang pilot maupun pribadi. Kabar lain juga menyebutkan, sekuel ini akan menampilkan drone yang dipandang sebagai ancaman bagi karir pilot pesawat tempur lantaran dibekali teknologi yang lebih canggih dan efektifitas yang lebih baik.

Top Gun: Maverick akan dirilis 12 Juli 2019.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Tom Cruise resmi kembali menjadi pilot jet tempur seiring ia merilis foto pertamanya untuk ‘Top Gun: Maverick’.

Tom Cruise resmi kembali menjadi pilot jet tempur seiring ia merilis foto pertamanya untuk Top Gun 2. Foto yang dibagikan Cruise melalui Instagram ini pun menandai dimulainya proses syuting sekuel dari film action era 80-an yang melejitkan nama sang aktor. Lebih dari itu, foto ini juga mencantumkan tulisan “feel the need”, yang merujuk pada salah satu kalimat paling populer dari film pertamanya.

Sebagai informasi, sekuel ini sendiri mengusung judul Top Gun: Maverick, dimana sub judul filmnya diambil dari nama karakter Cruise di film. Semula film ini akan kembali disutradarai Tony Scott, sebelum rencana ini diurungkan lantaran sang sineas tutup usia pada 2012 silam. Lima tahun berselang, Top Gun: Maverick akhirnya merekrut Joseph Kosinski (Tron: Legacy) sebagai sutradara. Kosinski diketahui pernah menggarap film action Cruise yang bertajuk Oblivion.

Selain Cruise, belum ada pemain lain yang resmi terlibat di film produksi Paramount, studio di balik franchise film action Cruise, Mission: Impossible. Namun lawan main Cruise di film pertama, Val Kilmer, mengaku tertarik kembali sebagai pilot Tom Kazanski a.k.a. Iceman.

Meski untuk saat ini detail cerita masih minim, Top Gun 2 diakui Cruise masih mengusung tema persaingan layaknya film terdahulu. Namun Cruise menilai persaingan ini akan mempengaruhi perkembangan Maverick baik sebagai seorang pilot maupun pribadi. Kabar lain juga menyebutkan, sekuel ini akan menampilkan drone yang dipandang sebagai ancaman bagi karir pilot pesawat tempur lantaran dibekali teknologi yang lebih canggih dan efektifitas yang lebih baik.

Top Gun: Maverick akan dirilis 12 Juli 2019.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Wednesday, May 30, 2018

Review Film: 'Tully' (2018)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Tully' (2018)
link : Review Film: 'Tully' (2018)

Baca juga


'Tully', menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak.

“I'm here to take care of you.”
— Tully
Rating UP:
Yang masih tidak percaya terhadap betapa beratnya beban seorang ibu dalam mengurus rumah tangga sekaligus anak-anak, akan berubah imannya setelah menyaksikan Tully, film yang menggelitik sekaligus menohok tentang krisis identitas yang dialami ibu-ibu modern. Menjadi seorang ibu memang merupakan peran yang terpuji, tapi kita tak bisa sekonyong-konyong melupakan bagaimana tugas mulia tersebut di lain sisi juga berpeluang menguras energi bahkan menyedot semangat hidup yang bersangkutan.


Tully, menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak. Kalimat tadi membuat saya terdengar seperti pernah menjadi ibu saja. Anda tahu saya belum pernah melakukan persalinan, dan terakhir kali saya cek saat mandi kemarin sore, saya masih berjenis kelamin laki-laki. Namun film ini begitu lihainya membuat penonton terhanyut dalam konflik, kita seolah merasakannya langsung. Film ini memposisikan kita untuk otomatis berada di dalam karakter utamanya, Marlo.

Itu merupakan bukti bagaimana sutradara Jason Reitman dan penulis skrip Diablo Cody begitu seksama membangun dunia dan karakter dalam film mereka. Film ini merupakan kerjasama ketiga mereka, menyusul Juno dan Young Adult. Tully juga merupakan film komedi sekaligus drama serius. Humornya berasal dari observasi yang tajam pada situasi yang riil. Seperti biasa, karakter utama yang ditulis Cody suka menyelutuk sadis, menohok langsung pada isu yang sedang mereka hadapi.

Membaca sinopsisnya mungkin membuatnya terdengar seperti Mary Poppins penyelamat ibu-ibu. Namun Tully lebih seperti hibrid Juno dan Young Adult: masalah kehamilan remaja di Juno digabungkan dengan masalah krisis paruh baya ibu-ibu di Young Adult. Dan seperti kedua film tadi, penggambaran situasinya realistis dan tanpa kompromi. Menjadi ibu tak melulu soal kebanggaan bakti tanpa pamrih; kewajibannya sulit, ribet, dan berat. Coba bayangkan bagaimana menyelipkan istirahat dan merawat diri sendiri di antara menyusui, mengganti popok, mendiamkan rengekan, membenahi rumah, ditambah mengurus suami.

Dan Marlo tak selalu terlihat syantik saat melakukannya, sebagaimana diperankan oleh Charlize Theron. Theron adalah aktris berparas syantik yang tak segan tampil berantakan. Level kedrastisan transformasinya disini agaknya bisa disejajarkan dengan perannya sebagai pembunuh berantai dalam Monster. Ia dikabarkan menaikkan berat badan sampai 25 kilogram. Bukan semata berhenti fisik saja, karena yang lebih penting adalah bagaimana ia dengan sukses menghadirkan intensitas emosional. Ia jelas sayang keluarga, tapi hampir selalu terlalu capek untuk peduli akan hal-hal di sekitar. Baju kena tumpahan susu saat makan malam? Buka saja langsung di meja makan. Dalam sebuah montase singkat yang mengesankan, kita bisa melihat bagaimana rutinitas motherhood bisa menggiring sang ibu ke titik keletihan yang haqiqi. Tata suaranya cerdik, menekankan sedemikian rupa sehingga suara rengekan bayi menjadi terdengar sangat annoying.

Kesan yang keliru akan tercipta kalau situasi Marlo tidak sespesifik yang digambarkan film. Marlo sekarang sedang hamil tua. Bukan cuma soal usia kehamilannya, tapi juga usianya sendiri; bayinya sebentar lagi brojol, saat ia sudah berumur 40 tahunan. Kehamilan ini agaknya juga tak begitu diharapkan. Ia sudah punya dua anak yang masih kecil-kecil, yaitu Sarah (Lia Frankland) dan Jonah (Asher Miles Fallica). Masalah anak pertama sih cuma kurang pede, tapi anak kedua bisa dibilang sedikit "aneh" sampai terancam dikeluarkan dari TK. Jadi maklum saja saat ia cuma anteng saja ketika ketubannya pecah atau bahkan saat sang bayi sudah keluar dari perutnya. Marlo seolah sudah bisa memprediksi beban macam apa yang menantinya.

Oleh karena itu, meski awalnya berprinsip bahwa anaknya takkan diasuh oleh orang asing, Marlo akhirnya menyerah pada situasi lalu menerima saran dari adiknya (Mark Duplass) untuk menyewa seorang pengasuh, yang berspesialiasi merawat anak di malam hari biar para orangtua bisa istirahat dengan tenang. Yang datang adalah ibu peri, atau setidaknya begitulah menurut Marlo. Ia adalah impian semua ibu-ibu. Tully (Mackenzie Davis) bukan cuma piawai mengasuh anak. Setelah tidur nyenyak untuk pertama kalinya, Marlo terkejut saat bangun di pagi hari mendapati rumahnya sudah kinclong betul dan ada pancake yang lucu di meja makan.

Usianya masih relatif belia, tapi sudah sangat bijak dan sepertinya tahu banyak hal. Tully cerdas dan seksi. Ia dipenuhi dengan antusiasme khas anak muda yang punya banyak energi menular. Ia bahkan menjalin obrolan yang intim dengan Marlo. Keakraban ini seolah membawa Marlo ke masa-masa jayanya dulu. Tully adalah semua yang dibutuhkan Marlo; begitu ideal sampai kita melihatnya sedikit aneh. Marlo sudah begitu nyaman sampai ia selow saja dengan apa yang disarankan dan semua yang dilakukan Tully di rumahnya. Meski kehadiran Tully membuat daya cengkeram narasinya menurun, Theron dan Davis punya chemistry yang apik.

Pasti ada godaan bagi pembuat film untuk menyuguhkan konfrontasi antara Marlo dengan suaminya, Drew (Ron Livingston). Drew bukan suami yang buruk; ia bertanggung jawab dan suka mendampingi anak bikin PR. Namun ia juga abai, santai bermain PS di atas kasur seolah tak tahu bahwa istrinya sudah kacau balau di dalam. Konfrontasi macam ini akan membuat film mengabaikan poinnya, sebab konflik tidak lagi berfokus pada internal Marlo. Namun film dengan bijak tak melangkah kesana. Saya juga sempat khawatir saat Tully membuat gestur nekat untuk menyegarkan aktivitas ranjang Marlo dan Drew. Untunglah film tak bermain sesuai ekspektasi mesum saya.

Jadi sebenarnya ada apa dengan Tully? Saya tak bisa mendeskripsikan dengan konkrit siapa Tully. Tapi tenang saja, kita tak sedang berada di film mengenai pengasuh anak psikopat. Keberadaan Tully adalah wadah bagi Marlo untuk mempertanyakan hakikatnya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai seorang wanita. Di satu titik, Tully akan mengajak Marlo untuk sejenak meninggalkan keluarga lalu berpesta habis-habisan di luar kota. Ini akan menjadi titik balik yang menawarkan insight baru bagi karakternya. Sementara mereka mendapat perspektif baru, kita juga melihat mereka dalam perspektif baru.

Saya mendapati bahwa momen pengungkapan ini tak bekerja segreget yang dimaksud dan secara logika tak bisa diterima. Semakin saya pikirkan, saya semakin senewen. Tapi ia berhasil di level emosional. Awalnya film ini menyuguhkan pemandangan suram yang akan membuat mama-mama muda yang berencana/sedang hamil jadi parno. Namun itu adalah bagian dari hidup. Dan film ini mengajarkan cara untuk merangkulnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Tully

96 menit
Dewasa
Jason Reitman
Diablo Cody
Aaron L. Gilbert, Jason Reitman, Helen Estabrook, Diablo Cody, Mason Novick, Charlize Theron, A.J. Dix, Beth Kono
Eric Steelberg
Rob Simonsen

'Tully', menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak.

“I'm here to take care of you.”
— Tully
Rating UP:
Yang masih tidak percaya terhadap betapa beratnya beban seorang ibu dalam mengurus rumah tangga sekaligus anak-anak, akan berubah imannya setelah menyaksikan Tully, film yang menggelitik sekaligus menohok tentang krisis identitas yang dialami ibu-ibu modern. Menjadi seorang ibu memang merupakan peran yang terpuji, tapi kita tak bisa sekonyong-konyong melupakan bagaimana tugas mulia tersebut di lain sisi juga berpeluang menguras energi bahkan menyedot semangat hidup yang bersangkutan.


Tully, menurut hemat saya, memberikan potret yang akurat mengenai motherhood, khususnya yang punya banyak anak. Kalimat tadi membuat saya terdengar seperti pernah menjadi ibu saja. Anda tahu saya belum pernah melakukan persalinan, dan terakhir kali saya cek saat mandi kemarin sore, saya masih berjenis kelamin laki-laki. Namun film ini begitu lihainya membuat penonton terhanyut dalam konflik, kita seolah merasakannya langsung. Film ini memposisikan kita untuk otomatis berada di dalam karakter utamanya, Marlo.

Itu merupakan bukti bagaimana sutradara Jason Reitman dan penulis skrip Diablo Cody begitu seksama membangun dunia dan karakter dalam film mereka. Film ini merupakan kerjasama ketiga mereka, menyusul Juno dan Young Adult. Tully juga merupakan film komedi sekaligus drama serius. Humornya berasal dari observasi yang tajam pada situasi yang riil. Seperti biasa, karakter utama yang ditulis Cody suka menyelutuk sadis, menohok langsung pada isu yang sedang mereka hadapi.

Membaca sinopsisnya mungkin membuatnya terdengar seperti Mary Poppins penyelamat ibu-ibu. Namun Tully lebih seperti hibrid Juno dan Young Adult: masalah kehamilan remaja di Juno digabungkan dengan masalah krisis paruh baya ibu-ibu di Young Adult. Dan seperti kedua film tadi, penggambaran situasinya realistis dan tanpa kompromi. Menjadi ibu tak melulu soal kebanggaan bakti tanpa pamrih; kewajibannya sulit, ribet, dan berat. Coba bayangkan bagaimana menyelipkan istirahat dan merawat diri sendiri di antara menyusui, mengganti popok, mendiamkan rengekan, membenahi rumah, ditambah mengurus suami.

Dan Marlo tak selalu terlihat syantik saat melakukannya, sebagaimana diperankan oleh Charlize Theron. Theron adalah aktris berparas syantik yang tak segan tampil berantakan. Level kedrastisan transformasinya disini agaknya bisa disejajarkan dengan perannya sebagai pembunuh berantai dalam Monster. Ia dikabarkan menaikkan berat badan sampai 25 kilogram. Bukan semata berhenti fisik saja, karena yang lebih penting adalah bagaimana ia dengan sukses menghadirkan intensitas emosional. Ia jelas sayang keluarga, tapi hampir selalu terlalu capek untuk peduli akan hal-hal di sekitar. Baju kena tumpahan susu saat makan malam? Buka saja langsung di meja makan. Dalam sebuah montase singkat yang mengesankan, kita bisa melihat bagaimana rutinitas motherhood bisa menggiring sang ibu ke titik keletihan yang haqiqi. Tata suaranya cerdik, menekankan sedemikian rupa sehingga suara rengekan bayi menjadi terdengar sangat annoying.

Kesan yang keliru akan tercipta kalau situasi Marlo tidak sespesifik yang digambarkan film. Marlo sekarang sedang hamil tua. Bukan cuma soal usia kehamilannya, tapi juga usianya sendiri; bayinya sebentar lagi brojol, saat ia sudah berumur 40 tahunan. Kehamilan ini agaknya juga tak begitu diharapkan. Ia sudah punya dua anak yang masih kecil-kecil, yaitu Sarah (Lia Frankland) dan Jonah (Asher Miles Fallica). Masalah anak pertama sih cuma kurang pede, tapi anak kedua bisa dibilang sedikit "aneh" sampai terancam dikeluarkan dari TK. Jadi maklum saja saat ia cuma anteng saja ketika ketubannya pecah atau bahkan saat sang bayi sudah keluar dari perutnya. Marlo seolah sudah bisa memprediksi beban macam apa yang menantinya.

Oleh karena itu, meski awalnya berprinsip bahwa anaknya takkan diasuh oleh orang asing, Marlo akhirnya menyerah pada situasi lalu menerima saran dari adiknya (Mark Duplass) untuk menyewa seorang pengasuh, yang berspesialiasi merawat anak di malam hari biar para orangtua bisa istirahat dengan tenang. Yang datang adalah ibu peri, atau setidaknya begitulah menurut Marlo. Ia adalah impian semua ibu-ibu. Tully (Mackenzie Davis) bukan cuma piawai mengasuh anak. Setelah tidur nyenyak untuk pertama kalinya, Marlo terkejut saat bangun di pagi hari mendapati rumahnya sudah kinclong betul dan ada pancake yang lucu di meja makan.

Usianya masih relatif belia, tapi sudah sangat bijak dan sepertinya tahu banyak hal. Tully cerdas dan seksi. Ia dipenuhi dengan antusiasme khas anak muda yang punya banyak energi menular. Ia bahkan menjalin obrolan yang intim dengan Marlo. Keakraban ini seolah membawa Marlo ke masa-masa jayanya dulu. Tully adalah semua yang dibutuhkan Marlo; begitu ideal sampai kita melihatnya sedikit aneh. Marlo sudah begitu nyaman sampai ia selow saja dengan apa yang disarankan dan semua yang dilakukan Tully di rumahnya. Meski kehadiran Tully membuat daya cengkeram narasinya menurun, Theron dan Davis punya chemistry yang apik.

Pasti ada godaan bagi pembuat film untuk menyuguhkan konfrontasi antara Marlo dengan suaminya, Drew (Ron Livingston). Drew bukan suami yang buruk; ia bertanggung jawab dan suka mendampingi anak bikin PR. Namun ia juga abai, santai bermain PS di atas kasur seolah tak tahu bahwa istrinya sudah kacau balau di dalam. Konfrontasi macam ini akan membuat film mengabaikan poinnya, sebab konflik tidak lagi berfokus pada internal Marlo. Namun film dengan bijak tak melangkah kesana. Saya juga sempat khawatir saat Tully membuat gestur nekat untuk menyegarkan aktivitas ranjang Marlo dan Drew. Untunglah film tak bermain sesuai ekspektasi mesum saya.

Jadi sebenarnya ada apa dengan Tully? Saya tak bisa mendeskripsikan dengan konkrit siapa Tully. Tapi tenang saja, kita tak sedang berada di film mengenai pengasuh anak psikopat. Keberadaan Tully adalah wadah bagi Marlo untuk mempertanyakan hakikatnya sebagai seorang ibu sekaligus sebagai seorang wanita. Di satu titik, Tully akan mengajak Marlo untuk sejenak meninggalkan keluarga lalu berpesta habis-habisan di luar kota. Ini akan menjadi titik balik yang menawarkan insight baru bagi karakternya. Sementara mereka mendapat perspektif baru, kita juga melihat mereka dalam perspektif baru.

Saya mendapati bahwa momen pengungkapan ini tak bekerja segreget yang dimaksud dan secara logika tak bisa diterima. Semakin saya pikirkan, saya semakin senewen. Tapi ia berhasil di level emosional. Awalnya film ini menyuguhkan pemandangan suram yang akan membuat mama-mama muda yang berencana/sedang hamil jadi parno. Namun itu adalah bagian dari hidup. Dan film ini mengajarkan cara untuk merangkulnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem dan di instagram: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Tully

96 menit
Dewasa
Jason Reitman
Diablo Cody
Aaron L. Gilbert, Jason Reitman, Helen Estabrook, Diablo Cody, Mason Novick, Charlize Theron, A.J. Dix, Beth Kono
Eric Steelberg
Rob Simonsen

Setelah ‘Justice League’, Zack Snyder akan Garap Remake 'The Fountainhead’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Setelah ‘Justice League’, Zack Snyder akan Garap Remake 'The Fountainhead’
link : Setelah ‘Justice League’, Zack Snyder akan Garap Remake 'The Fountainhead’

Baca juga


Melalui media sosial, Zack Snyder mengungkapkan akan menyutradarai remake ‘The Fountainhead’.

Berkutat menangani film superhero DC Extended Universe selama hampir satu dekade, agaknya mendorong sutradara Zack Snyder untuk mencari proyek film baru di luar genre superhero. Apalagi karena film-film superhero besutan Snyder selama ini tak pernah luput dari yang namanya kontroversi dan polarisasi, tentu ia butuh proyek yang fresh dan jauh dari sentimen negatif. Kini Snyder akhirnya menemukan proyek film terbarunya, seiring melalui media sosial Vero sang sineas mengungkapkan akan menyutradarai remake The Fountainhead.

Diangkat dari novel terbitan 1943 karya Ayn Rand, The Fountainhead berkisah seorang arsitek dan inovator Howard Roark. Dikenal memiliki sifat egois yang tinggi, Roark selalu berpikir idealis dan melawan arus dalam menelurkan karyanya. Akibat dari sikapnya yang kaku, Roark bukan hanya tak disukai para arsitektur, tapi juga aktivis kemanusiaan dan kritikus arsitekur ternama Elisworth Toohey. Selain mereka, Roark juga dimusuhi publisher berpengaruh Gail Wynand, dan seorang kolumnis penggemar Roark, Dominique Francon, yang ternyata berniat menghancurkan karirnya. FYI, The Fountainhead sendiri pertama diangkat ke layar lebar pada 1949, dimana filmnya disutradarai King Vidor dan dibintangi Gary Cooper sebagai Roark.

Selama berkiprah di DC Extended Universe, Snyder diketahui telah menyutradarai Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) dan Justice League (2017). Untuk film terakhir, Snyder mundur di tengah proses pasca-produksi, menyusul tragedi yang menimpa keluarganya. Kendati film-film superhero garapannya seringkali dikritik karena cerita yang kurang memikat dan terlalu kelam, namun tak ada yang menyangkal kehebatan pembesut 300 dan Watchmen dalam menciptakan adegan bervisual memukau. Ya, semoga saja dengan The Fountainhead yang kisah karakter utamanya tak jauh beda dengan karir Snyder yang sarat pro kontra, sang sineas akhirnya merasa related dan bisa lebih peka dalam membuat cerita yang emosional.

Untuk saat ini belum diketahui kapan The Fountainhead akan diproduksi.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Melalui media sosial, Zack Snyder mengungkapkan akan menyutradarai remake ‘The Fountainhead’.

Berkutat menangani film superhero DC Extended Universe selama hampir satu dekade, agaknya mendorong sutradara Zack Snyder untuk mencari proyek film baru di luar genre superhero. Apalagi karena film-film superhero besutan Snyder selama ini tak pernah luput dari yang namanya kontroversi dan polarisasi, tentu ia butuh proyek yang fresh dan jauh dari sentimen negatif. Kini Snyder akhirnya menemukan proyek film terbarunya, seiring melalui media sosial Vero sang sineas mengungkapkan akan menyutradarai remake The Fountainhead.

Diangkat dari novel terbitan 1943 karya Ayn Rand, The Fountainhead berkisah seorang arsitek dan inovator Howard Roark. Dikenal memiliki sifat egois yang tinggi, Roark selalu berpikir idealis dan melawan arus dalam menelurkan karyanya. Akibat dari sikapnya yang kaku, Roark bukan hanya tak disukai para arsitektur, tapi juga aktivis kemanusiaan dan kritikus arsitekur ternama Elisworth Toohey. Selain mereka, Roark juga dimusuhi publisher berpengaruh Gail Wynand, dan seorang kolumnis penggemar Roark, Dominique Francon, yang ternyata berniat menghancurkan karirnya. FYI, The Fountainhead sendiri pertama diangkat ke layar lebar pada 1949, dimana filmnya disutradarai King Vidor dan dibintangi Gary Cooper sebagai Roark.

Selama berkiprah di DC Extended Universe, Snyder diketahui telah menyutradarai Man of Steel (2013), Batman v Superman: Dawn of Justice (2016) dan Justice League (2017). Untuk film terakhir, Snyder mundur di tengah proses pasca-produksi, menyusul tragedi yang menimpa keluarganya. Kendati film-film superhero garapannya seringkali dikritik karena cerita yang kurang memikat dan terlalu kelam, namun tak ada yang menyangkal kehebatan pembesut 300 dan Watchmen dalam menciptakan adegan bervisual memukau. Ya, semoga saja dengan The Fountainhead yang kisah karakter utamanya tak jauh beda dengan karir Snyder yang sarat pro kontra, sang sineas akhirnya merasa related dan bisa lebih peka dalam membuat cerita yang emosional.

Untuk saat ini belum diketahui kapan The Fountainhead akan diproduksi.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem