Wednesday, September 27, 2017

Box Office: 'Kingsman: The Golden Circle' Hanya Sedikit Ungguli 'The Secret Service'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Box Office: 'Kingsman: The Golden Circle' Hanya Sedikit Ungguli 'The Secret Service'
link : Box Office: 'Kingsman: The Golden Circle' Hanya Sedikit Ungguli 'The Secret Service'

Baca juga


Meski menjadi jawara minggu ini, 'Kingsman: The Golden Circle' hanya mampu sedikit saja mengungguli film pertamanya. Sementara itu, 'The LEGO Ninjago Movie' tampil jauh di bawah ekspektasi pengamat industri. Berikut rekap box office minggu ini.

Tak mengejutkan melihat Kingsman: The Golden Circle berhasil memuncaki box office di minggu perdananya, menggeser jawara dua minggu berturut-turut It. Debutnya yang $39,0 juta juga berada sedikit di atas Kingsman: The Secret Service ($36,0 juta). Namun itu sebelum kita mempertimbangkan bujetnya yang jauh lebih mahal; biaya produksi The Secret Service hanya $81 juta, sementara The Golden Circle mencapai $104 juta. Perlu diingat pula bahwa dua tahun lalu tak ada yang mengenal Kingsman, sedangkan tahun ini semua orang menantikan Eggsy dan Harry Hart beraksi. Tentu saja ekspektasi akan pendapatannya juga meninggi. Apakah 20th Century Fox akan kecewa dengan debut lemah ini? Belum tentu juga sebenarnya. Semua tergantung pada pendapatan akhirnya nanti. Penonton memberikannya CinemaScore "B+", sama dengan The Secret Service.

Meski demikian, semua tampaknya akan terbayar berkat tambahan dari pasar luar Amerika. Buktinya, dari 64 negara, The Golden Circle mampu meraup $61,2 juta, menggenapkan total debut globalnya menjadi $100,2 juta. Inggris menjadi pasar terbesar dengan $11,1 juta, diikuti oleh Rusia ($6 juta) dan Australia ($4,4 juta). Performanya di Indonesia juga tak kalah mentereng, mendulang $3,3 juta dari layar kita yang terbatas. Film ini belum tayang di pasar besar Asia seperti Cina dan Korea.

Namun film yang sepertinya benar-benar kehilangan daya tariknya minggu ini adalah The LEGO Ninjago Movie yang menjadi film LEGO dengan performa terburuk. Debutnya hanya bisa masuk ke posisi ketiga dengan $20,4 juta. Bandingkan dengan The LEGO Movie ($69 juta) dan The LEGO Batman Movie ($53 juta). Hasil ini tentu sangat jauh dari prediksi pengamat yang memperkirakan pendapatannya di angka $27 sampai $32 juta. CinemaScore-nya juga menjadi yang paling rendah, yaitu "B+", sementara The LEGO Movie mendapat "A" dan The LEGO Batman Movie "A-". Dari 37 negara, ada tambahan $10,5 juta, sehingga total debut globalnya menjadi $30,9 juta.

Dengan promo yang minim dan prediket buruk mengingat penundaan perilisannya selama setahun lebih, Friend Request tak banyak memantik minat penonton. Film horor-thriller tentang medsos ini hanya memperoleh $2,0 juta saja di minggu perdananya, tak cukup untuk masuk lima besar.

Turun ke posisi kedua, It sekarang sudah resmi menjadi film horor berating "R/Dewasa" terlaris sepanjang masa, melewati The Exorcist ($232.9 juta). Menambahkan $29,8 juta sehingga total pendapatannya menjadi $266,1 juta, target selanjutnya adalah merebut posisi kelima film berating "R/Dewasa" terlaris sepanjang masa dari The Hangover ($277,3 juta). Melihat performanya yang masih tangguh, tentu saja Pennywise si Badut Setan takkan butuh waktu lama melakukannya.

Meski punya banyak saingan, It masih kuat di pasar internasional. Minggu ini, ia mendapat tambahan $39,3 juta dari 59 negara. Dalam 3 minggu saja, It sudah memperoleh total pendapatan global sebesar $478 juta.

American Assassin terjerembab cukup jauh dengan 57,9% dan pendapatan $6,3 juta. Namun total pendapatannya selama 2 minggu tayang sudah $26,2 juta, semakin mendekati bujetnya yang $33 juta.

Mendapat respon buruk dari penonton (CinemaScore "F", jika anda ingat), performa mother! tak anjlok separah itu, "hanya" turun 56,3%, sedikit lebih baik malah dibanding American Assassin. Jika angka $3,3 juta minggu ini ditambah dengan debutnya yang hancur minggu lalu, maka total pendapatan domestiknya baru $13,5 juta, sedangkan total pendapatan globalnya adalah $26,0 juta berkat tambahan $4,6 juta dari 29 negara.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Weekend Box Office 22 September - 24 September 2017

1.

Kingsman: The Golden Circle
Minggu ini $39,023,010
Total $39,023,010

2.

It
Minggu ini $29,757,494
Total $266,096,375

3.

The LEGO Ninjago Movie
Minggu ini $20,433,071
Total $20,433,071

4.

American Assassin
Minggu ini $6,255,617
Total $26,185,076

5.

mother!
Minggu ini $3,290,780
Total $13,459,798
Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'It' Tetap Mengambang, 'mother!' Tenggelam ■UP

Meski menjadi jawara minggu ini, 'Kingsman: The Golden Circle' hanya mampu sedikit saja mengungguli film pertamanya. Sementara itu, 'The LEGO Ninjago Movie' tampil jauh di bawah ekspektasi pengamat industri. Berikut rekap box office minggu ini.

Tak mengejutkan melihat Kingsman: The Golden Circle berhasil memuncaki box office di minggu perdananya, menggeser jawara dua minggu berturut-turut It. Debutnya yang $39,0 juta juga berada sedikit di atas Kingsman: The Secret Service ($36,0 juta). Namun itu sebelum kita mempertimbangkan bujetnya yang jauh lebih mahal; biaya produksi The Secret Service hanya $81 juta, sementara The Golden Circle mencapai $104 juta. Perlu diingat pula bahwa dua tahun lalu tak ada yang mengenal Kingsman, sedangkan tahun ini semua orang menantikan Eggsy dan Harry Hart beraksi. Tentu saja ekspektasi akan pendapatannya juga meninggi. Apakah 20th Century Fox akan kecewa dengan debut lemah ini? Belum tentu juga sebenarnya. Semua tergantung pada pendapatan akhirnya nanti. Penonton memberikannya CinemaScore "B+", sama dengan The Secret Service.

Meski demikian, semua tampaknya akan terbayar berkat tambahan dari pasar luar Amerika. Buktinya, dari 64 negara, The Golden Circle mampu meraup $61,2 juta, menggenapkan total debut globalnya menjadi $100,2 juta. Inggris menjadi pasar terbesar dengan $11,1 juta, diikuti oleh Rusia ($6 juta) dan Australia ($4,4 juta). Performanya di Indonesia juga tak kalah mentereng, mendulang $3,3 juta dari layar kita yang terbatas. Film ini belum tayang di pasar besar Asia seperti Cina dan Korea.

Namun film yang sepertinya benar-benar kehilangan daya tariknya minggu ini adalah The LEGO Ninjago Movie yang menjadi film LEGO dengan performa terburuk. Debutnya hanya bisa masuk ke posisi ketiga dengan $20,4 juta. Bandingkan dengan The LEGO Movie ($69 juta) dan The LEGO Batman Movie ($53 juta). Hasil ini tentu sangat jauh dari prediksi pengamat yang memperkirakan pendapatannya di angka $27 sampai $32 juta. CinemaScore-nya juga menjadi yang paling rendah, yaitu "B+", sementara The LEGO Movie mendapat "A" dan The LEGO Batman Movie "A-". Dari 37 negara, ada tambahan $10,5 juta, sehingga total debut globalnya menjadi $30,9 juta.

Dengan promo yang minim dan prediket buruk mengingat penundaan perilisannya selama setahun lebih, Friend Request tak banyak memantik minat penonton. Film horor-thriller tentang medsos ini hanya memperoleh $2,0 juta saja di minggu perdananya, tak cukup untuk masuk lima besar.

Turun ke posisi kedua, It sekarang sudah resmi menjadi film horor berating "R/Dewasa" terlaris sepanjang masa, melewati The Exorcist ($232.9 juta). Menambahkan $29,8 juta sehingga total pendapatannya menjadi $266,1 juta, target selanjutnya adalah merebut posisi kelima film berating "R/Dewasa" terlaris sepanjang masa dari The Hangover ($277,3 juta). Melihat performanya yang masih tangguh, tentu saja Pennywise si Badut Setan takkan butuh waktu lama melakukannya.

Meski punya banyak saingan, It masih kuat di pasar internasional. Minggu ini, ia mendapat tambahan $39,3 juta dari 59 negara. Dalam 3 minggu saja, It sudah memperoleh total pendapatan global sebesar $478 juta.

American Assassin terjerembab cukup jauh dengan 57,9% dan pendapatan $6,3 juta. Namun total pendapatannya selama 2 minggu tayang sudah $26,2 juta, semakin mendekati bujetnya yang $33 juta.

Mendapat respon buruk dari penonton (CinemaScore "F", jika anda ingat), performa mother! tak anjlok separah itu, "hanya" turun 56,3%, sedikit lebih baik malah dibanding American Assassin. Jika angka $3,3 juta minggu ini ditambah dengan debutnya yang hancur minggu lalu, maka total pendapatan domestiknya baru $13,5 juta, sedangkan total pendapatan globalnya adalah $26,0 juta berkat tambahan $4,6 juta dari 29 negara.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Weekend Box Office 22 September - 24 September 2017

1.

Kingsman: The Golden Circle
Minggu ini $39,023,010
Total $39,023,010

2.

It
Minggu ini $29,757,494
Total $266,096,375

3.

The LEGO Ninjago Movie
Minggu ini $20,433,071
Total $20,433,071

4.

American Assassin
Minggu ini $6,255,617
Total $26,185,076

5.

mother!
Minggu ini $3,290,780
Total $13,459,798
Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'It' Tetap Mengambang, 'mother!' Tenggelam ■UP

Tuesday, September 26, 2017

Review Film: 'Wind River' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Wind River' (2017)
link : Review Film: 'Wind River' (2017)

Baca juga


Taylor Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa.

“Luck don't live out here.”
— Cory Lambert
Rating UP:
Bagian awal Wind River sepertinya mengingatkan kita pada Fargo-nya Coen Brothers. Mengambil lokasi di daerah persaljuan yang terpencil, adegan pembuka menyatakan dengan jelas bahwa ini akan menjadi film kriminal. Kesamaan juga saya lihat dari klaimnya: “inspired by true events”. Meski begitu, jika Coen menggunakan klaim “this is a true story”-nya untuk menggoda kita karena kita tahu bahwa mereka baru saja melebaikan drama manusiawi menjadi komedi, maka untuk Wind River kita perlu lebih awas. Cermati penambahan tanda jamak “s” di belakang kata “event”. Ini bukan kisah nyata, tapi kisahnya memang banyak terjadi di dunia nyata. Sang sutradara, Taylor Sheridan mengaku bahwa pernyataan tersebut merupakan referensi terhadap “ribuan kasus serupa” yang melibatkan kekerasan seksual pada wanita. Ya. Sheridan seserius itu. Wind River adalah film serius. Serius setengah mati. Tak ada ruang untuk bercanda.


Ini adalah naskah ketiga Sheridan sekaligus debutnya menyutradarai film yang ditulisnya sendiri. Saya ingin tahu apa nama yang akan diberikan Sheridan pada trilogi tematis yang juga berisi Sicario dan Hell or High Water ini. Trilogi Western Nihilistik, kalau boleh usul. Tapi besar kemungkinan akan bersilangan dengan film adaptasi novel Cormac McCarthy. Trilogi Keadilan Amerika, mungkin lebih cocok. Ketiga film tersebut berlangsung di Amerika yang jauh dari keadilan, sehingga para karakter yang terlibat di dalamnya harus mencari sendiri keadilan mereka.

Wind River merupakan nama sebuah reservasi suku Indian yang terletak di daerah persaljuan di Wyoming. Namun ini adalah tempat yang sama dengan perbatasan Amerika/Meksiko-nya Sicario atau gurun Texas-nya Hell or High Water; ketiganya sama-sama tempat yang jauh, sepi, asing, dan relatif berbahaya. Di tempat ini, petugas yang berwenang tak bisa berbuat banyak. Sheridan cakap sekali dalam membangun sense of place yang mantap. Mendengar Wind River kita langsung mengasosiasikannya dengan salju. Dibantu dengan sinematografi dari Ben Richardson, pemandangannya imersif, sampai kita bisa merasakan betapa menyengat dinginnya salju. Cantik di mata tapi mematikan.

Oleh karenanya, ini bukan tempat yang ramah bagi seorang gadis dengan pakaian tipis dan tanpa alas kaki untuk berlarian di tengah malam. Ia berlari mati-matian seperti menghindari sesuatu yang sangat mengerikan. Apapun itu, pasti berbahaya karena memaksanya terus berlari sampai udara dingin merusak paru-paru lalu membuatnya tewas.

Beberapa hari kemudian, almarhumah ditemukan oleh Cory Lambert (Jeremy Renner), seorang petugas hutan yang dimintai warga untuk memburu singa gunung yang memakan ternak. Kita pertama kali mengenal Cory saat berkamuflase dengan jas hujan putih lalu menembakkan senapannya dengan akurat pada serigala yang tengah mengincar domba. Dor! Simbolisme. Kita tahu ia sudah begitu dekat dengan pribumi (mantan istrinya seorang Indian), kenal betul dengan setiap jengkal Wind River, dan seseorang yang bisa diandalkan.

Cory kenal dengan almarhumah. Namanya Natalie (Kelsey Asbille), gadis Indian teman karib anaknya, Emily yang tiga tahun lalu meninggal dengan penyebab yang hampir sama. Visum mengungkap bahwa sebelum tewas, Natalie mengalami perkosaan. Disini Sheridan menyentil protokol dan birokrasi yang ribet. Karena TKP-nya tanah reservasi Indian, maka kasus ini menjadi kriminal federal, kewenangan FBI, yang kemudian hanya mengutus satu agennya saja. Forensik setempat tak bisa menuliskan perkosaan sebagai penyebab kematian, karena Natalie secara teknis meninggal gara-gara cuaca dingin. Jika begitu, maka kasus akan kembali dilimpahkan ke kepolisian lokal yang anggotanya tak lebih banyak daripada anggota Power Rangers.

Tentu saja, agen FBI tadi, Jane Banner (Elizabeth Olsen) jadi pusing. Jane boleh jadi punya kapabilitas mumpuni, tapi ia tak siap dengan situasi di Wind River. Saat datang saja, ia memakai blus yang modis dan sepatu hak tinggi. “Dia akan koit dalam lima menit,” kata Cory. Penyelidikan adalah tanggung jawab Jane, tapi ia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan dari kepala polisi lokal, Ben (Graham Greene) dan terutama Cory yang dengan kalem bilang berkali-kali bahwa ia adalah “sang pemburu”. Iya, iya Cory, kami sudah tahu.

Sama seperti saya yang menjabarkan set-up tadi dengan panjang lebar dan perlahan-lahan, Sheridan juga menyajikan filmnya tanpa terburu-buru. Plot Wind River sebenarnya sangat sederhana, tapi Sheridan menceritakannya dengan tenang, tahap demi tahap sehingga kita bisa mendapatkan cengkeraman yang kuat akan lokasi dan karakternya. Tak banyak adegan yang berorientasi aksi, tapi filmnya menjaga perhatian kita dengan pembangunan plot yang pelan-tapi-pasti, sampai kemudian meledak di sekuens yang melibatkan adu tembak dan tembakan sniper yang gahar. Ini memuaskan karena kita sudah begitu larut dengan filmnya.

Filmnya merupakan thriller yang berbasis pada karakter, bahkan desa Wind River menjadi karakter tersendiri. Lokasi mengijinkannya menyentil isu sensitif soal diskriminasi pribumi. Ini adalah tempat yang sangat spesifik, tapi situasi sosialnya terasa universal. Karakter Jane, yang adalah seorang wanita, juga bukan sekadar pemanis layar apalagi penyedia romantisme/seks bagi Cory. Ia punya fungsi yang kuat untuk memberi penonton perspektif akan bagaimana memandang kasus yang melibatkan pembunuhan seorang wanita tersebut. Olsen mendapat peran yang mirip dengan Emily Blunt dalam Sicario: wanita tangguh yang terjebak di dunia yang keras yang belum siap ia hadapi.

Renner memberikan penampilan yang menarik. Karakternya tak menunjukkan banyak ekspresi, tapi kita bisa merasakan banyak emosi yang dibawanya. “Perburuan” ini menjadi personal bagi Cory karena ia punya motif yang lebih dalam. Ia tahu bahwa anak gadisnya yang tewas dengan misterius tetap takkan terselesaikan, namun mungkin saja resolusi kasus Natalie akan memberikannya semacam penebusan. Mungkin tidak baginya, karena ia mengaku sadar bahwa hidup harus terus berlanjut apapun yang terjadi, tapi setidaknya buat ayah Natalie (Gil Birmingham). Birmingham punya dua adegan minimalis yang sangat kuat.

Ceritanya boleh jadi merupakan yang paling blak-blakan secara naratif di antara trilogi Sheridan, karena kita disuguhkan dengan monolog dan dialog puitis yang banyak untuk menangkap subteks dan apa yang karakternya rasakan. Bagian ending terkesan dipanjangkan, mungkin Sheridan merasa bahwa film belum terselesaikan dengan sempurna. Namun ada sesuatu yang mengagumkan dari caranya bercerita. Setiap sorotan gambar, setiap perkembangan plot, setiap interaksi karakter, semua terkendali. Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Wind River

111 menit
Dewasa
Taylor Sheridan
Taylor Sheridan
Matthew George, Basil Iwanyk, Peter Berg, Wayne L. Rogers
Ben Richardson
Nick Cave, Warren Ellis

Taylor Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa.

“Luck don't live out here.”
— Cory Lambert
Rating UP:
Bagian awal Wind River sepertinya mengingatkan kita pada Fargo-nya Coen Brothers. Mengambil lokasi di daerah persaljuan yang terpencil, adegan pembuka menyatakan dengan jelas bahwa ini akan menjadi film kriminal. Kesamaan juga saya lihat dari klaimnya: “inspired by true events”. Meski begitu, jika Coen menggunakan klaim “this is a true story”-nya untuk menggoda kita karena kita tahu bahwa mereka baru saja melebaikan drama manusiawi menjadi komedi, maka untuk Wind River kita perlu lebih awas. Cermati penambahan tanda jamak “s” di belakang kata “event”. Ini bukan kisah nyata, tapi kisahnya memang banyak terjadi di dunia nyata. Sang sutradara, Taylor Sheridan mengaku bahwa pernyataan tersebut merupakan referensi terhadap “ribuan kasus serupa” yang melibatkan kekerasan seksual pada wanita. Ya. Sheridan seserius itu. Wind River adalah film serius. Serius setengah mati. Tak ada ruang untuk bercanda.


Ini adalah naskah ketiga Sheridan sekaligus debutnya menyutradarai film yang ditulisnya sendiri. Saya ingin tahu apa nama yang akan diberikan Sheridan pada trilogi tematis yang juga berisi Sicario dan Hell or High Water ini. Trilogi Western Nihilistik, kalau boleh usul. Tapi besar kemungkinan akan bersilangan dengan film adaptasi novel Cormac McCarthy. Trilogi Keadilan Amerika, mungkin lebih cocok. Ketiga film tersebut berlangsung di Amerika yang jauh dari keadilan, sehingga para karakter yang terlibat di dalamnya harus mencari sendiri keadilan mereka.

Wind River merupakan nama sebuah reservasi suku Indian yang terletak di daerah persaljuan di Wyoming. Namun ini adalah tempat yang sama dengan perbatasan Amerika/Meksiko-nya Sicario atau gurun Texas-nya Hell or High Water; ketiganya sama-sama tempat yang jauh, sepi, asing, dan relatif berbahaya. Di tempat ini, petugas yang berwenang tak bisa berbuat banyak. Sheridan cakap sekali dalam membangun sense of place yang mantap. Mendengar Wind River kita langsung mengasosiasikannya dengan salju. Dibantu dengan sinematografi dari Ben Richardson, pemandangannya imersif, sampai kita bisa merasakan betapa menyengat dinginnya salju. Cantik di mata tapi mematikan.

Oleh karenanya, ini bukan tempat yang ramah bagi seorang gadis dengan pakaian tipis dan tanpa alas kaki untuk berlarian di tengah malam. Ia berlari mati-matian seperti menghindari sesuatu yang sangat mengerikan. Apapun itu, pasti berbahaya karena memaksanya terus berlari sampai udara dingin merusak paru-paru lalu membuatnya tewas.

Beberapa hari kemudian, almarhumah ditemukan oleh Cory Lambert (Jeremy Renner), seorang petugas hutan yang dimintai warga untuk memburu singa gunung yang memakan ternak. Kita pertama kali mengenal Cory saat berkamuflase dengan jas hujan putih lalu menembakkan senapannya dengan akurat pada serigala yang tengah mengincar domba. Dor! Simbolisme. Kita tahu ia sudah begitu dekat dengan pribumi (mantan istrinya seorang Indian), kenal betul dengan setiap jengkal Wind River, dan seseorang yang bisa diandalkan.

Cory kenal dengan almarhumah. Namanya Natalie (Kelsey Asbille), gadis Indian teman karib anaknya, Emily yang tiga tahun lalu meninggal dengan penyebab yang hampir sama. Visum mengungkap bahwa sebelum tewas, Natalie mengalami perkosaan. Disini Sheridan menyentil protokol dan birokrasi yang ribet. Karena TKP-nya tanah reservasi Indian, maka kasus ini menjadi kriminal federal, kewenangan FBI, yang kemudian hanya mengutus satu agennya saja. Forensik setempat tak bisa menuliskan perkosaan sebagai penyebab kematian, karena Natalie secara teknis meninggal gara-gara cuaca dingin. Jika begitu, maka kasus akan kembali dilimpahkan ke kepolisian lokal yang anggotanya tak lebih banyak daripada anggota Power Rangers.

Tentu saja, agen FBI tadi, Jane Banner (Elizabeth Olsen) jadi pusing. Jane boleh jadi punya kapabilitas mumpuni, tapi ia tak siap dengan situasi di Wind River. Saat datang saja, ia memakai blus yang modis dan sepatu hak tinggi. “Dia akan koit dalam lima menit,” kata Cory. Penyelidikan adalah tanggung jawab Jane, tapi ia tahu bahwa ia membutuhkan bantuan dari kepala polisi lokal, Ben (Graham Greene) dan terutama Cory yang dengan kalem bilang berkali-kali bahwa ia adalah “sang pemburu”. Iya, iya Cory, kami sudah tahu.

Sama seperti saya yang menjabarkan set-up tadi dengan panjang lebar dan perlahan-lahan, Sheridan juga menyajikan filmnya tanpa terburu-buru. Plot Wind River sebenarnya sangat sederhana, tapi Sheridan menceritakannya dengan tenang, tahap demi tahap sehingga kita bisa mendapatkan cengkeraman yang kuat akan lokasi dan karakternya. Tak banyak adegan yang berorientasi aksi, tapi filmnya menjaga perhatian kita dengan pembangunan plot yang pelan-tapi-pasti, sampai kemudian meledak di sekuens yang melibatkan adu tembak dan tembakan sniper yang gahar. Ini memuaskan karena kita sudah begitu larut dengan filmnya.

Filmnya merupakan thriller yang berbasis pada karakter, bahkan desa Wind River menjadi karakter tersendiri. Lokasi mengijinkannya menyentil isu sensitif soal diskriminasi pribumi. Ini adalah tempat yang sangat spesifik, tapi situasi sosialnya terasa universal. Karakter Jane, yang adalah seorang wanita, juga bukan sekadar pemanis layar apalagi penyedia romantisme/seks bagi Cory. Ia punya fungsi yang kuat untuk memberi penonton perspektif akan bagaimana memandang kasus yang melibatkan pembunuhan seorang wanita tersebut. Olsen mendapat peran yang mirip dengan Emily Blunt dalam Sicario: wanita tangguh yang terjebak di dunia yang keras yang belum siap ia hadapi.

Renner memberikan penampilan yang menarik. Karakternya tak menunjukkan banyak ekspresi, tapi kita bisa merasakan banyak emosi yang dibawanya. “Perburuan” ini menjadi personal bagi Cory karena ia punya motif yang lebih dalam. Ia tahu bahwa anak gadisnya yang tewas dengan misterius tetap takkan terselesaikan, namun mungkin saja resolusi kasus Natalie akan memberikannya semacam penebusan. Mungkin tidak baginya, karena ia mengaku sadar bahwa hidup harus terus berlanjut apapun yang terjadi, tapi setidaknya buat ayah Natalie (Gil Birmingham). Birmingham punya dua adegan minimalis yang sangat kuat.

Ceritanya boleh jadi merupakan yang paling blak-blakan secara naratif di antara trilogi Sheridan, karena kita disuguhkan dengan monolog dan dialog puitis yang banyak untuk menangkap subteks dan apa yang karakternya rasakan. Bagian ending terkesan dipanjangkan, mungkin Sheridan merasa bahwa film belum terselesaikan dengan sempurna. Namun ada sesuatu yang mengagumkan dari caranya bercerita. Setiap sorotan gambar, setiap perkembangan plot, setiap interaksi karakter, semua terkendali. Sheridan menggulirkan detil-detil kecil secara bertahap, yang kemudian terakumulasi, dan sebelum kita sadar, ia sudah menjadi bola salju raksasa. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Wind River

111 menit
Dewasa
Taylor Sheridan
Taylor Sheridan
Matthew George, Basil Iwanyk, Peter Berg, Wayne L. Rogers
Ben Richardson
Nick Cave, Warren Ellis

Monday, September 25, 2017

‘Fantastic Beasts 2’ Rekrut David Sakurai Sebagai Villain

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : ‘Fantastic Beasts 2’ Rekrut David Sakurai Sebagai Villain
link : ‘Fantastic Beasts 2’ Rekrut David Sakurai Sebagai Villain

Baca juga


Sementara proses syuting sekuel 'Fantastic Beast and Where to Find Them' masih berlangsung sejak pertengahan Juli 2017, kini ada satu pemain baru yang ikut bergabung sebagai villain.

Sementara proses syuting sekuel Fantastic Beast and Where to Find Them masih berlangsung sejak pertengahan Juli 2017, kini ada satu pemain baru yang ikut bergabung sebagai villain. Seperti yang dilansir Deadline, pemain baru ini ialah David Sakurai (Iron Fist) yang akan berperan sebagai penyihir dengan nama Krall. Berdasarkan informasinya, Krall merupakan salah satu tangan kanan (henchman) ambisius yang dimiliki Grindelwald. Selebihnya, belum diketahui pasti apakah aktor berdarah Denmark-Jepang sudah mulai menjalani syuting adegannya, atau kapan proses produksi Fantastic Beasts 2 akan tuntas.

Masih disutradarai David Yates berdasarkan naskah buatan J.K. Rowling, sekuel ini kembali dibintangi Eddie Redmayne (Newt Scamander), Katherine Waterston (Auror Tina Goldstein), Alison Sudol (Queenie Goldstein) dan Dan Fogler (Jacob Kowalski) serta Ezra Miller (Credence).

Sementara untuk jajaran pemain baru, ada Jude Law yang terpilih sebagai Albus Dumbledore muda, Callum Turner sebagai Theseus Scamander (saudara Newt), Zoe Kravitz sebagai Leta Lestrange (teman dekat Newt semasa sekolah) dan tak ketinggalan, Johnny Depp sebagai penyihir Gellert Grindelwald yang akan menjadi villain utama di sepanjang lima seri prekuel Harry Potter. FYI, baik Kravitz maupun Depp sebelumnya sempat jadi cameo di film pertama Fantastic Beasts yang dirilis 2016 lalu.

Bersetting beberapa bulan pasca Newt bersama penyihir Amerika menangkap Grindelwald, di sekuel ini sang penyihir jahat dikisahkan berhasil melarikan diri secara dramatis, dan mengumpulkan lebih banyak pengikut untuk melaksanakan rencananya membinasakan kaum non-penyihir. Mengetahui aksi sahabatnya yang kini berubah jadi jahat, Dumbledore akhirnya meminta bantuan muridnya, Newt, untuk menghentikan Grindewald. Newt pun kemudian bereuni dengan Tina, Queenie dan Jacob, sebelum akhirnya mereka menyadari misi berbahaya ini ternyata juga akan menguji kesetiaan mereka. Adapun setting Fantastic Beasts 2 akan berada di London dan Paris pada tahun 1927.

Fantastic Beasts and Where to Find Them 2 akan dirilis 16 November 2018 ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sementara proses syuting sekuel 'Fantastic Beast and Where to Find Them' masih berlangsung sejak pertengahan Juli 2017, kini ada satu pemain baru yang ikut bergabung sebagai villain.

Sementara proses syuting sekuel Fantastic Beast and Where to Find Them masih berlangsung sejak pertengahan Juli 2017, kini ada satu pemain baru yang ikut bergabung sebagai villain. Seperti yang dilansir Deadline, pemain baru ini ialah David Sakurai (Iron Fist) yang akan berperan sebagai penyihir dengan nama Krall. Berdasarkan informasinya, Krall merupakan salah satu tangan kanan (henchman) ambisius yang dimiliki Grindelwald. Selebihnya, belum diketahui pasti apakah aktor berdarah Denmark-Jepang sudah mulai menjalani syuting adegannya, atau kapan proses produksi Fantastic Beasts 2 akan tuntas.

Masih disutradarai David Yates berdasarkan naskah buatan J.K. Rowling, sekuel ini kembali dibintangi Eddie Redmayne (Newt Scamander), Katherine Waterston (Auror Tina Goldstein), Alison Sudol (Queenie Goldstein) dan Dan Fogler (Jacob Kowalski) serta Ezra Miller (Credence).

Sementara untuk jajaran pemain baru, ada Jude Law yang terpilih sebagai Albus Dumbledore muda, Callum Turner sebagai Theseus Scamander (saudara Newt), Zoe Kravitz sebagai Leta Lestrange (teman dekat Newt semasa sekolah) dan tak ketinggalan, Johnny Depp sebagai penyihir Gellert Grindelwald yang akan menjadi villain utama di sepanjang lima seri prekuel Harry Potter. FYI, baik Kravitz maupun Depp sebelumnya sempat jadi cameo di film pertama Fantastic Beasts yang dirilis 2016 lalu.

Bersetting beberapa bulan pasca Newt bersama penyihir Amerika menangkap Grindelwald, di sekuel ini sang penyihir jahat dikisahkan berhasil melarikan diri secara dramatis, dan mengumpulkan lebih banyak pengikut untuk melaksanakan rencananya membinasakan kaum non-penyihir. Mengetahui aksi sahabatnya yang kini berubah jadi jahat, Dumbledore akhirnya meminta bantuan muridnya, Newt, untuk menghentikan Grindewald. Newt pun kemudian bereuni dengan Tina, Queenie dan Jacob, sebelum akhirnya mereka menyadari misi berbahaya ini ternyata juga akan menguji kesetiaan mereka. Adapun setting Fantastic Beasts 2 akan berada di London dan Paris pada tahun 1927.

Fantastic Beasts and Where to Find Them 2 akan dirilis 16 November 2018 ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Sunday, September 24, 2017

‘Terminator 6’ akan Jadi Sekuel ‘Terminator 2: Judgement Day’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : ‘Terminator 6’ akan Jadi Sekuel ‘Terminator 2: Judgement Day’
link : ‘Terminator 6’ akan Jadi Sekuel ‘Terminator 2: Judgement Day’

Baca juga


Meski jadwal rilis 'Terminator 6' belum resmi diumumkan, beberapa detail baru terkait film yang diproduseri James Cameron ini terus mengemuka.

Meski jadwal rilis Terminator 6 belum resmi diumumkan, beberapa detail baru terkait film yang diproduseri James Cameron ini terus mengemuka. Detail kali ini masih datang dari bintang franchise Terminator, Arnold Schwarzenegger, yang akan kembali tampil di film mendatang.

Saat menghadiri sebuah event di Inggris, Arnie mengungkapkan Terminator 6 akan sepenuhnya mengabaikan event dari Terminator: Genisys (termasuk twist John Connor yang ternyata cyborg). Arnie pun juga mensinyalkan, Terminator 6 akan melanjutkan cerita yang tertinggal di Terminator 2: Judgment Day, dan hal ini menandakan event dari Terminator 3 hingga Terminator: Salvation juga turut diabaikan.

Pernyataan Arnie tentu sejalan dengan kepastian bahwa lawan mainnya di T2: Judgement Day, Linda Hamilton, siap kembali sebagai wanita perkasa Sarah Connor. Diakui Arnie, saat ini Hamilton sudah mulai menjalani latihan untuk menunjang perannya usai dua dekade lebih tak memainkan ibu John Connor. Keterlibatan Hamilton sendiri dikonfirmasi Cameron saat screening spesial Terminator 2 yang diadakan minggu lalu.

Lebih dari itu, Arnie juga mengakui ia akan menerima skrip utuh Terminator 6 racikan Cameron dalam kurun dua minggu, atau sekitar awal Oktober 2017. Dan menariknya, Arnie mengungkapkan proses syuting Terminator 6 akan bergulir pada Maret 2018. Sementara Cameron bertindak sebagai produser, tugas penyutradaraan dipercayakan kepada Tim Miller yang sukses dengan Deadpool.

Sebelumnya, Cameron menyatakan ia berniat menjadikan Terminator 6 sebagai awal trilogi baru. Meski plot ceritanya belum diketahui, Cameron memastikan Terminator 6 akan mengusung wanita muda untuk jadi karakter sentral. Adapun layaknya Star Wars: The Force Awakens, Cameron mengakui Terminator 6 akan menghadirkan karakter generasi lama sekaligus generasi baru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Meski jadwal rilis 'Terminator 6' belum resmi diumumkan, beberapa detail baru terkait film yang diproduseri James Cameron ini terus mengemuka.

Meski jadwal rilis Terminator 6 belum resmi diumumkan, beberapa detail baru terkait film yang diproduseri James Cameron ini terus mengemuka. Detail kali ini masih datang dari bintang franchise Terminator, Arnold Schwarzenegger, yang akan kembali tampil di film mendatang.

Saat menghadiri sebuah event di Inggris, Arnie mengungkapkan Terminator 6 akan sepenuhnya mengabaikan event dari Terminator: Genisys (termasuk twist John Connor yang ternyata cyborg). Arnie pun juga mensinyalkan, Terminator 6 akan melanjutkan cerita yang tertinggal di Terminator 2: Judgment Day, dan hal ini menandakan event dari Terminator 3 hingga Terminator: Salvation juga turut diabaikan.

Pernyataan Arnie tentu sejalan dengan kepastian bahwa lawan mainnya di T2: Judgement Day, Linda Hamilton, siap kembali sebagai wanita perkasa Sarah Connor. Diakui Arnie, saat ini Hamilton sudah mulai menjalani latihan untuk menunjang perannya usai dua dekade lebih tak memainkan ibu John Connor. Keterlibatan Hamilton sendiri dikonfirmasi Cameron saat screening spesial Terminator 2 yang diadakan minggu lalu.

Lebih dari itu, Arnie juga mengakui ia akan menerima skrip utuh Terminator 6 racikan Cameron dalam kurun dua minggu, atau sekitar awal Oktober 2017. Dan menariknya, Arnie mengungkapkan proses syuting Terminator 6 akan bergulir pada Maret 2018. Sementara Cameron bertindak sebagai produser, tugas penyutradaraan dipercayakan kepada Tim Miller yang sukses dengan Deadpool.

Sebelumnya, Cameron menyatakan ia berniat menjadikan Terminator 6 sebagai awal trilogi baru. Meski plot ceritanya belum diketahui, Cameron memastikan Terminator 6 akan mengusung wanita muda untuk jadi karakter sentral. Adapun layaknya Star Wars: The Force Awakens, Cameron mengakui Terminator 6 akan menghadirkan karakter generasi lama sekaligus generasi baru. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

‘Justice League’ Disebut Tak Jadi Tampilkan Lex Luthor & Iris West

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : ‘Justice League’ Disebut Tak Jadi Tampilkan Lex Luthor & Iris West
link : ‘Justice League’ Disebut Tak Jadi Tampilkan Lex Luthor & Iris West

Baca juga


Usai sutradara Zack Snyder digantikan Joss Whedon, tak sedikit yang memprediksi 'Justice League' akan mengalami perubahan. Dan benar saja, ternyata ada perubahan menyangkut penampilan dua karakter, yakni Lex Luthor dan Iris West.

Beda sutradara, beda pula hasil filmnya. Kalimat inilah yang tampaknya tepat untuk menggambarkan kondisi Justice League saat ini. Bagaimana tidak, usai sutradara Zack Snyder digantikan Joss Whedon, tak sedikit yang memprediksi film tim superhero DC akan mengalami perubahan, baik itu bersifat signifikan ataupun minor. Dan benar saja, ternyata ada perubahan menyusul ditunjuknya Whedon sebagai sutradara baru.

Menurut Batman-News, perubahan ini menyangkut penampilan dua karakter cameo, yakni Lex Luthor (Jesse Eisenberg) dan Iris West (Kiersey Clemons). Semula Snyder diketahui hendak menghadirkan musuh bebuyutan Superman beserta love interest The Flash. Namun kini di bawah komando Whedon, adegan Lex dan Iris telah dihapus, dengan alasan yang masih misterius. Apapun itu, informasi ini diperoleh dari penonton yang berkesempatan menghadiri test screening Justice League, sehingga kabar ini tampaknya bukan sekedar isapan jempol belaka.

Lex milik Eisenberg sendiri tampil perdana di Batman v Superman: Dawn of Justice. Berbeda dengan Lex yang kita kenal, versi Eisenberg lebih ekspresif, banyak berbicara dan gemar melempar kata-kata filosofis. Dalam ending BvS, ada indikasi Lex akan bertransformasi jadi Lex sesungguhnya, seiring ia akan dikirim Batman ke RSJ Arkham Asylum. Bisa jadi kita baru akan melihat perubahan Lex di Man of Steel 2 yang kini sedang dikembangkan. Sementara untuk Iris, jika memang Clemons batal debut di Justice League, kemungkinan besar ia disiapkan untuk tampil di film solo The Flash bertajuk Flashpoint.

Selain Lex dan Iris, karakter cameo lain yang kabarnya dicopot adalah Darkseid, alias Thanos-nya DC Extended Universe. Meski sebagian merasa kecewa, penghilangan ketiga karakter ini tentu bisa berdampak positif agar Justice League tak semakin sesak. Adapun Batman-News mengabarkan, test screening Justice League menuai reaksi positif, bahkan ada yang mengklaim film ini epik.

Justice League dibintangi Ben Affleck (Batman), Gal Gadot (Wonder Woman), Jason Momoa (Aquaman), Ezra Miller (The Flash) dan Ray Fisher (Cyborg ). Pemain lainnya meliputi Amy Adams (Lois Lane), J.K. Simmons (Commissioner Gordon), Jeremy Irons (Alfred), Amber Heard (Mera), Willem Dafoe (Vulko) dan Ciarán Hinds (Steppenwolf). Rencananya film ini akan dirilis 17 November 2017. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Usai sutradara Zack Snyder digantikan Joss Whedon, tak sedikit yang memprediksi 'Justice League' akan mengalami perubahan. Dan benar saja, ternyata ada perubahan menyangkut penampilan dua karakter, yakni Lex Luthor dan Iris West.

Beda sutradara, beda pula hasil filmnya. Kalimat inilah yang tampaknya tepat untuk menggambarkan kondisi Justice League saat ini. Bagaimana tidak, usai sutradara Zack Snyder digantikan Joss Whedon, tak sedikit yang memprediksi film tim superhero DC akan mengalami perubahan, baik itu bersifat signifikan ataupun minor. Dan benar saja, ternyata ada perubahan menyusul ditunjuknya Whedon sebagai sutradara baru.

Menurut Batman-News, perubahan ini menyangkut penampilan dua karakter cameo, yakni Lex Luthor (Jesse Eisenberg) dan Iris West (Kiersey Clemons). Semula Snyder diketahui hendak menghadirkan musuh bebuyutan Superman beserta love interest The Flash. Namun kini di bawah komando Whedon, adegan Lex dan Iris telah dihapus, dengan alasan yang masih misterius. Apapun itu, informasi ini diperoleh dari penonton yang berkesempatan menghadiri test screening Justice League, sehingga kabar ini tampaknya bukan sekedar isapan jempol belaka.

Lex milik Eisenberg sendiri tampil perdana di Batman v Superman: Dawn of Justice. Berbeda dengan Lex yang kita kenal, versi Eisenberg lebih ekspresif, banyak berbicara dan gemar melempar kata-kata filosofis. Dalam ending BvS, ada indikasi Lex akan bertransformasi jadi Lex sesungguhnya, seiring ia akan dikirim Batman ke RSJ Arkham Asylum. Bisa jadi kita baru akan melihat perubahan Lex di Man of Steel 2 yang kini sedang dikembangkan. Sementara untuk Iris, jika memang Clemons batal debut di Justice League, kemungkinan besar ia disiapkan untuk tampil di film solo The Flash bertajuk Flashpoint.

Selain Lex dan Iris, karakter cameo lain yang kabarnya dicopot adalah Darkseid, alias Thanos-nya DC Extended Universe. Meski sebagian merasa kecewa, penghilangan ketiga karakter ini tentu bisa berdampak positif agar Justice League tak semakin sesak. Adapun Batman-News mengabarkan, test screening Justice League menuai reaksi positif, bahkan ada yang mengklaim film ini epik.

Justice League dibintangi Ben Affleck (Batman), Gal Gadot (Wonder Woman), Jason Momoa (Aquaman), Ezra Miller (The Flash) dan Ray Fisher (Cyborg ). Pemain lainnya meliputi Amy Adams (Lois Lane), J.K. Simmons (Commissioner Gordon), Jeremy Irons (Alfred), Amber Heard (Mera), Willem Dafoe (Vulko) dan Ciarán Hinds (Steppenwolf). Rencananya film ini akan dirilis 17 November 2017. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Buletin LSF: 'Beyond Skyline', 'Devil's Whisper', 'The Mimic', dll

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Buletin, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Buletin LSF: 'Beyond Skyline', 'Devil's Whisper', 'The Mimic', dll
link : Buletin LSF: 'Beyond Skyline', 'Devil's Whisper', 'The Mimic', dll

Baca juga


Film lulus sensor minggu ini antara lain: 'Beyond Skyline', 'Nails', 'Devil's Whisper', 'The Mimic', 'Mumon: The Land of Stealth', dan 'Jojo's Bizarre Adventure: Diamond is Unbreakable'.

Satu-satunya film milik PT Prima Cinema Multimedia alias sobat karib XXI adalah Beyond Skyline, sekuel dari Skyline (2010) yang didefinisikan oleh salah seorang sepuh perfilman Indonesia sebagai "Mad Dog vs Alien Predator". Benar sekali. Karena film ini dibintangi oleh Yayan Ruhian, plus Iko Uwais. Ada Frank Grillo juga, ngomong-ngomong. Filmnya mendapat rating "17+", tanpa pemotongan durasi.

Selain dari itu, film rilisan LSF minggu ini didominasi oleh film-film jaringan bioskop non-XXI, dimana tiga diantaranya adalah film impor Asia. Dari Jepang ada Jojo's Bizarre Adventure: Diamond is Unbreakable, satu lagi film absurd karya Takashi Miike yang diadaptasi dari manga, serta Mumon: The Land of Stealth, film sejarah tentang Tensho Iga War yang digarap oleh Yoshihiro Nakamura. Film terakhir tampaknya cukup sadis, sehingga diberi rating "21+".

Film horor asal Korea, The Mimic yang mengangkat cerita tentang legenda urban monster pemakan manusia baru akan rilis minggu ini di Indonesia, dengan rating "17+". Film ini sebenarnya sudah tayang di kampung halamannya sejak 17 Agustus lalu.

Luna Maya akan bermain dalam film horor Devil's Whisper, kolaborasi antara studio lokal MD Pictures dengan studio Hollywood Vega, Baby!. Sependek yang saya tahu, Luna adalah satu-satunya aktor Indonesia yang bermain disana. Film ini mendapat rating "17+".

Berikut daftar lengkap buletin LSF minggu ini.
BEYOND SKYLINE
917/DCP/EA/17/07.2027/2017
19 September 2017
PT. Prima Cinema Multimedia
KHAYAL / FIKSI
17+
2907 Meter / 106 Menit
NAILS
922/DCP/ANM/17/02.2022/2017
20 September 2017
PT. Mitra Media Layar Lebar
DRAMA / HOROR
17+
2331 Meter / 85 Menit
DEVIL`S WHISPER
932/DCP/NAS/17/09.2022/2017
20 September 2017
PT . MD PICTURES
DRAMA / HOROR
17+
2331 Meter / 85 Menit
THE MIMIC
928/DCP/ANM/17/02.2018/2017
20 September 2017
PT. Athali Sukses Makmur
DRAMA / HOROR
17+
2577 Meter / 94 Menit
MUMON : THE LAND OF STEALTH
938/DCP/ANM/21/09.2018/2017
22 September 2017
PT. Overseas Korean Television Network
DRAMA
21+
3400 Meter / 124 Menit
JOJO`S BIZARRE ADVENTURE: DIAMOND IS UNBREAKABLE
936/DCP/ANM/13/08.2018/2017
22 September 2017
PT. Overseas Korean Television Network
KHAYAL / FIKSI
13+
3263 Meter / 119 Menit
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem ■UP

[Sumber Data : Lembaga Sensor Film]

Film lulus sensor minggu ini antara lain: 'Beyond Skyline', 'Nails', 'Devil's Whisper', 'The Mimic', 'Mumon: The Land of Stealth', dan 'Jojo's Bizarre Adventure: Diamond is Unbreakable'.

Satu-satunya film milik PT Prima Cinema Multimedia alias sobat karib XXI adalah Beyond Skyline, sekuel dari Skyline (2010) yang didefinisikan oleh salah seorang sepuh perfilman Indonesia sebagai "Mad Dog vs Alien Predator". Benar sekali. Karena film ini dibintangi oleh Yayan Ruhian, plus Iko Uwais. Ada Frank Grillo juga, ngomong-ngomong. Filmnya mendapat rating "17+", tanpa pemotongan durasi.

Selain dari itu, film rilisan LSF minggu ini didominasi oleh film-film jaringan bioskop non-XXI, dimana tiga diantaranya adalah film impor Asia. Dari Jepang ada Jojo's Bizarre Adventure: Diamond is Unbreakable, satu lagi film absurd karya Takashi Miike yang diadaptasi dari manga, serta Mumon: The Land of Stealth, film sejarah tentang Tensho Iga War yang digarap oleh Yoshihiro Nakamura. Film terakhir tampaknya cukup sadis, sehingga diberi rating "21+".

Film horor asal Korea, The Mimic yang mengangkat cerita tentang legenda urban monster pemakan manusia baru akan rilis minggu ini di Indonesia, dengan rating "17+". Film ini sebenarnya sudah tayang di kampung halamannya sejak 17 Agustus lalu.

Luna Maya akan bermain dalam film horor Devil's Whisper, kolaborasi antara studio lokal MD Pictures dengan studio Hollywood Vega, Baby!. Sependek yang saya tahu, Luna adalah satu-satunya aktor Indonesia yang bermain disana. Film ini mendapat rating "17+".

Berikut daftar lengkap buletin LSF minggu ini.
BEYOND SKYLINE
917/DCP/EA/17/07.2027/2017
19 September 2017
PT. Prima Cinema Multimedia
KHAYAL / FIKSI
17+
2907 Meter / 106 Menit
NAILS
922/DCP/ANM/17/02.2022/2017
20 September 2017
PT. Mitra Media Layar Lebar
DRAMA / HOROR
17+
2331 Meter / 85 Menit
DEVIL`S WHISPER
932/DCP/NAS/17/09.2022/2017
20 September 2017
PT . MD PICTURES
DRAMA / HOROR
17+
2331 Meter / 85 Menit
THE MIMIC
928/DCP/ANM/17/02.2018/2017
20 September 2017
PT. Athali Sukses Makmur
DRAMA / HOROR
17+
2577 Meter / 94 Menit
MUMON : THE LAND OF STEALTH
938/DCP/ANM/21/09.2018/2017
22 September 2017
PT. Overseas Korean Television Network
DRAMA
21+
3400 Meter / 124 Menit
JOJO`S BIZARRE ADVENTURE: DIAMOND IS UNBREAKABLE
936/DCP/ANM/13/08.2018/2017
22 September 2017
PT. Overseas Korean Television Network
KHAYAL / FIKSI
13+
3263 Meter / 119 Menit
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem ■UP

[Sumber Data : Lembaga Sensor Film]

Saturday, September 23, 2017

Review Film: 'A Ghost Story' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Fantasi, Artikel Review, Artikel Romance, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'A Ghost Story' (2017)
link : Review Film: 'A Ghost Story' (2017)

Baca juga


Secara luas, 'A Ghost Story' mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

“I'm waiting for someone."
— Ghost 2
Rating UP:
Kalau hantu bisa membuat film, saya membayangkan filmnya akan seperti ini. A Ghost Story adalah jawaban mereka atas film horor haunted-house konvensional. Bagaimana jika penampakan atau barang-barang yang bergerak sendiri di rumah angker disebabkan lebih dari sekadar mereka yang ingin mengusik kita? Bagaimana jika ini bukan sekadar tindakan jahil? Bagaimana jika ternyata mereka punya motif yang tak hanya rasional tapi juga melankolis? Kita tak bisa bilang bahwa hantu tak punya perasaan. Siapa yang tahu.


Saya jadi melantur. Namun A Ghost Story memang mengangkat kisah supranatural dari sudut pandang yang jarang kita temui. Film ini mengambil perspektif dari hantu. Hantu yang sendu. Hantu yang tak bisa move-on, lantas menghantui rumah tempat ia dan istrinya tinggal semasa hidup dulu. Ia diam sepanjang film. Memang sesekali menganggu, tapi ia hanyalah pengamat pasif yang mencoba menemukan sesuatu. Apa itu? Ia juga tak yakin pada awalnya. Oleh karenanya, film ini sama sekali bukan film horor, alih-alih film drama yang mendayu-dayu tapi juga sangat dalam. Secara luas, A Ghost Story mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

Sejauh yang saya tahu, ini juga merupakan film serius pertama yang menampilkan hantu dalam wujud yang menggelikan. Benar sekali. Anda akan menyaksikan aktor terbaik Oscar tahun lalu, Casey Affleck menghabiskan sebagian besar durasi film dalam kostum hantu yang terbuat dari seprei yang tengahnya dilobangi untuk bagian mata (meski saya tak bisa memastikannya, karena siapapun bisa memakai kostum seprei dan kita takkan menyadari perbedaannya) DAN nomine dua kali aktris terbaik Oscar, Rooney Mara memakan pie selama 5 menit, in real time, dalam sebuah film yang menjadi kandidat kuat sebagai film terbaik tahun ini. Versi saya.

Kostum hantunya memang konyol, tapi ini esensial, saya pikir. Dengan mengurung Affleck (atau siapapun) di balik seprei, kita "dipaksa" memahami apa yang ia rasakan, tak terikat dengan ekspresi aktornya. Hal ini sangat sesuai dengan penceritaannya yang subtle; apa yang dirasakan sang seprei adalah apa yang kita pikir ia rasakan. Sang seprei seolah menjadi avatar dari perasaan kita. Pengalaman sang seprei menjadi pengalaman personal.

Pembuatnya adalah David Lowery, sutradara yang lebih akrab dengan film indie tapi tahun lalu sukses mencoba peruntungannya di blockbuster lewat Pete's Dragon. Seperti filmnya yang lalu, Ain't Them Bodies Saint, Lowery seperti mengacu pada gaya naratif Terence Malick. A Ghost Story pas sebagai padanan Tree of Life-nya Malick, karena ia bermaksud menangkap skema besar kehidupan melalui sekeping kisah kehidupan kecil di dalamnya, atau dalam hal ini: kematian. Ketika anda sudah beradaptasi dengan alurnya yang sangat pelan, anda akan merasakan tohokan emosional dan spiritualnya. Saya pikir takkan sulit, karena film ini adalah tentang cinta dan kehilangan; semua orang pernah kehilangan seseorang/sesuatu yang sangat mereka cintai bukan?

Affleck dan Mara bermain sebagai C dan M, pasangan yang tinggal di sebuah rumah usang di pinggiran kota yang sepi. Di malam hari, mereka mendengar suara-suara aneh. M ingin pindah rumah, sementara C suka dengan rumah yang sekarang. Mereka boleh jadi dalam konflik, tapi saat tidur masih berpelukan dengan mesra. Sebelum mengenal mereka lebih dekat lagi, di suatu pagi C tewas di belakang setirnya, tak jauh dari rumah.

Setelah diidentifikasi di rumah sakit oleh M, kita melihat C terbujur kaku. Kamera menyorotnya dengan statis dalam waktu yang lumayan lama. Namun tepat sebelum anda akan melempar layar karena kesal, seprei ini bangkit. Tanpa disadari oleh orang-orang, ia berjalan dan berjalan pulang ke rumahnya. Ia melihat M yang sedang berduka berat sampai memakan pie dalam satu lagi sorotan statis yang tak terputus (selama 5 menit, saya ingatkan lagi). Sang seprei mencoba menyentuhnya, tapi M tak merasakannya.

Tentu saja, akhirnya M move-on, lalu pindah rumah. Namun sang seprei tetap tinggal, sementara penghuni datang silih berganti, mulai dari keluarga Latino dengan dua orang anak sampai remaja tua yang gila pesta. Ia jadi arwah penasaran, mencari sesuatu yang terselip di balik dinding rumah. Waktu berjalan dengan cepat, tapi sang seprei masih terjebak disana, bahkan hingga rumahnya dihancurkan dan berganti menjadi apartemen mewah.

Film ini bermain dengan persepsi kita terhadap waktu. C sudah tewas; sang seprei bukan lagi manusia melainkan hantu. Hantu tidak terikat dengan peraturan waktu. Lowery menggambarkan bahwa persepsi mereka akan waktu berbeda dengan kita. Ia menggunakan cut mendadak, tak menjelaskan dengan gamblang seberapa lama waktu berlalu alih-alih menyerahkan pada kita untuk mencernanya sendiri. Bagi sang seprei, beberapa momen pendek terasa berlangsung lama, sementara beberapa momen panjang terasa berlangsung sebentar. Ia melihat setiap detik M memakan pie (selama 5 menit; kenapa saya terus-terusan membahas ini?), sementara di satu titik nanti ketika ia menyaksikan sejarah rumahnya, semua terjadi dalam hitungan detik. Menurut saya, sang seprei hanya melihat apa yang penting baginya.

Ada sebuah monolog menarik dari seorang remaja-tua-gila-pesta yang sedang mabuk (Will Oldham) kepada teman-temannya yang juga didengar oleh sang seprei. Awalnya mengapresiasi seni, si remaja tua malah melantur soal tempat manusia dalam perjalanan waktu. Saat manusia mati, ia meninggalkan karya, tapi kehidupan terus berjalan. Cinta kita, kehilangan kita, hidup kita tak ada apa-apanya di depan waktu. Meski demikian, semua itu juga merupakan momen berharga. Anda mungkin berpikir apa-apaan omong kosong filosofis ini, tapi A Ghost Story tak terasa pretensius karena tak menyuapi kita dengan filosofi. Film ini hanya menyuruh kita untuk merasa. Di satu adegan, sang seprei melihat hantu tetangga (yang juga dalam wujud seprei) mengakhiri perjalanannya saat sadar akan hakikatnya.

Luar biasa bagaimana film yang sesederhana ini bisa punya dampak emosional sebesar itu. Penggarapannya minimalis dengan akting yang simpel pula, tapi tak ada satupun rasanya scene yang disia-siakan. Kabarnya Lowery hanya melakukan proses syuting selama 19 hari saja. Ia menggunakan rasio yang nyaris persegi, 1,33:1 lalu menambahkan sisi bundar alih-alih tajam, memberi kesan bahwa kita adalah pengamat. Ini membuatnya semakin intim. Filmnya minim dialog dan nyaris tanpa konflik yang gamblang, tapi dengan brilian mengeksplorasi temanya. Eksposisi di awal saat M bercengkrama dengan C tentang masa kecilnya, ternyata punya peranan besar untuk menjawab ending yang tak berani saya ungkap disini, yang baru saya temukan saat menonton kedua kali.

A Ghost Story adalah film ganjil yang sepertinya ingin menguji kesabaran anda, tapi jangan biarkan fakta tersebut menghalangi anda menontonnya. Ini juga menyatakan bahwa filmnya sangat orisinal. Lowery baru saja mempresentasikan sesuatu yang besar yang bisa dirangkum oleh sebuah film dari sesuatu yang sedikit. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

A Ghost Story

92 menit
Remaja - BO
David Lowery
David Lowery
Toby Halbrooks, James M. Johnston, Adam Donaghey
Andrew Droz Palermo
Daniel Hart

Secara luas, 'A Ghost Story' mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

“I'm waiting for someone."
— Ghost 2
Rating UP:
Kalau hantu bisa membuat film, saya membayangkan filmnya akan seperti ini. A Ghost Story adalah jawaban mereka atas film horor haunted-house konvensional. Bagaimana jika penampakan atau barang-barang yang bergerak sendiri di rumah angker disebabkan lebih dari sekadar mereka yang ingin mengusik kita? Bagaimana jika ini bukan sekadar tindakan jahil? Bagaimana jika ternyata mereka punya motif yang tak hanya rasional tapi juga melankolis? Kita tak bisa bilang bahwa hantu tak punya perasaan. Siapa yang tahu.


Saya jadi melantur. Namun A Ghost Story memang mengangkat kisah supranatural dari sudut pandang yang jarang kita temui. Film ini mengambil perspektif dari hantu. Hantu yang sendu. Hantu yang tak bisa move-on, lantas menghantui rumah tempat ia dan istrinya tinggal semasa hidup dulu. Ia diam sepanjang film. Memang sesekali menganggu, tapi ia hanyalah pengamat pasif yang mencoba menemukan sesuatu. Apa itu? Ia juga tak yakin pada awalnya. Oleh karenanya, film ini sama sekali bukan film horor, alih-alih film drama yang mendayu-dayu tapi juga sangat dalam. Secara luas, A Ghost Story mengeksplorasi tema tentang eksistensi manusia dan posisinya yang relatif terhadap waktu. Sebuah film hantu yang sangat manusiawi.

Sejauh yang saya tahu, ini juga merupakan film serius pertama yang menampilkan hantu dalam wujud yang menggelikan. Benar sekali. Anda akan menyaksikan aktor terbaik Oscar tahun lalu, Casey Affleck menghabiskan sebagian besar durasi film dalam kostum hantu yang terbuat dari seprei yang tengahnya dilobangi untuk bagian mata (meski saya tak bisa memastikannya, karena siapapun bisa memakai kostum seprei dan kita takkan menyadari perbedaannya) DAN nomine dua kali aktris terbaik Oscar, Rooney Mara memakan pie selama 5 menit, in real time, dalam sebuah film yang menjadi kandidat kuat sebagai film terbaik tahun ini. Versi saya.

Kostum hantunya memang konyol, tapi ini esensial, saya pikir. Dengan mengurung Affleck (atau siapapun) di balik seprei, kita "dipaksa" memahami apa yang ia rasakan, tak terikat dengan ekspresi aktornya. Hal ini sangat sesuai dengan penceritaannya yang subtle; apa yang dirasakan sang seprei adalah apa yang kita pikir ia rasakan. Sang seprei seolah menjadi avatar dari perasaan kita. Pengalaman sang seprei menjadi pengalaman personal.

Pembuatnya adalah David Lowery, sutradara yang lebih akrab dengan film indie tapi tahun lalu sukses mencoba peruntungannya di blockbuster lewat Pete's Dragon. Seperti filmnya yang lalu, Ain't Them Bodies Saint, Lowery seperti mengacu pada gaya naratif Terence Malick. A Ghost Story pas sebagai padanan Tree of Life-nya Malick, karena ia bermaksud menangkap skema besar kehidupan melalui sekeping kisah kehidupan kecil di dalamnya, atau dalam hal ini: kematian. Ketika anda sudah beradaptasi dengan alurnya yang sangat pelan, anda akan merasakan tohokan emosional dan spiritualnya. Saya pikir takkan sulit, karena film ini adalah tentang cinta dan kehilangan; semua orang pernah kehilangan seseorang/sesuatu yang sangat mereka cintai bukan?

Affleck dan Mara bermain sebagai C dan M, pasangan yang tinggal di sebuah rumah usang di pinggiran kota yang sepi. Di malam hari, mereka mendengar suara-suara aneh. M ingin pindah rumah, sementara C suka dengan rumah yang sekarang. Mereka boleh jadi dalam konflik, tapi saat tidur masih berpelukan dengan mesra. Sebelum mengenal mereka lebih dekat lagi, di suatu pagi C tewas di belakang setirnya, tak jauh dari rumah.

Setelah diidentifikasi di rumah sakit oleh M, kita melihat C terbujur kaku. Kamera menyorotnya dengan statis dalam waktu yang lumayan lama. Namun tepat sebelum anda akan melempar layar karena kesal, seprei ini bangkit. Tanpa disadari oleh orang-orang, ia berjalan dan berjalan pulang ke rumahnya. Ia melihat M yang sedang berduka berat sampai memakan pie dalam satu lagi sorotan statis yang tak terputus (selama 5 menit, saya ingatkan lagi). Sang seprei mencoba menyentuhnya, tapi M tak merasakannya.

Tentu saja, akhirnya M move-on, lalu pindah rumah. Namun sang seprei tetap tinggal, sementara penghuni datang silih berganti, mulai dari keluarga Latino dengan dua orang anak sampai remaja tua yang gila pesta. Ia jadi arwah penasaran, mencari sesuatu yang terselip di balik dinding rumah. Waktu berjalan dengan cepat, tapi sang seprei masih terjebak disana, bahkan hingga rumahnya dihancurkan dan berganti menjadi apartemen mewah.

Film ini bermain dengan persepsi kita terhadap waktu. C sudah tewas; sang seprei bukan lagi manusia melainkan hantu. Hantu tidak terikat dengan peraturan waktu. Lowery menggambarkan bahwa persepsi mereka akan waktu berbeda dengan kita. Ia menggunakan cut mendadak, tak menjelaskan dengan gamblang seberapa lama waktu berlalu alih-alih menyerahkan pada kita untuk mencernanya sendiri. Bagi sang seprei, beberapa momen pendek terasa berlangsung lama, sementara beberapa momen panjang terasa berlangsung sebentar. Ia melihat setiap detik M memakan pie (selama 5 menit; kenapa saya terus-terusan membahas ini?), sementara di satu titik nanti ketika ia menyaksikan sejarah rumahnya, semua terjadi dalam hitungan detik. Menurut saya, sang seprei hanya melihat apa yang penting baginya.

Ada sebuah monolog menarik dari seorang remaja-tua-gila-pesta yang sedang mabuk (Will Oldham) kepada teman-temannya yang juga didengar oleh sang seprei. Awalnya mengapresiasi seni, si remaja tua malah melantur soal tempat manusia dalam perjalanan waktu. Saat manusia mati, ia meninggalkan karya, tapi kehidupan terus berjalan. Cinta kita, kehilangan kita, hidup kita tak ada apa-apanya di depan waktu. Meski demikian, semua itu juga merupakan momen berharga. Anda mungkin berpikir apa-apaan omong kosong filosofis ini, tapi A Ghost Story tak terasa pretensius karena tak menyuapi kita dengan filosofi. Film ini hanya menyuruh kita untuk merasa. Di satu adegan, sang seprei melihat hantu tetangga (yang juga dalam wujud seprei) mengakhiri perjalanannya saat sadar akan hakikatnya.

Luar biasa bagaimana film yang sesederhana ini bisa punya dampak emosional sebesar itu. Penggarapannya minimalis dengan akting yang simpel pula, tapi tak ada satupun rasanya scene yang disia-siakan. Kabarnya Lowery hanya melakukan proses syuting selama 19 hari saja. Ia menggunakan rasio yang nyaris persegi, 1,33:1 lalu menambahkan sisi bundar alih-alih tajam, memberi kesan bahwa kita adalah pengamat. Ini membuatnya semakin intim. Filmnya minim dialog dan nyaris tanpa konflik yang gamblang, tapi dengan brilian mengeksplorasi temanya. Eksposisi di awal saat M bercengkrama dengan C tentang masa kecilnya, ternyata punya peranan besar untuk menjawab ending yang tak berani saya ungkap disini, yang baru saya temukan saat menonton kedua kali.

A Ghost Story adalah film ganjil yang sepertinya ingin menguji kesabaran anda, tapi jangan biarkan fakta tersebut menghalangi anda menontonnya. Ini juga menyatakan bahwa filmnya sangat orisinal. Lowery baru saja mempresentasikan sesuatu yang besar yang bisa dirangkum oleh sebuah film dari sesuatu yang sedikit. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

A Ghost Story

92 menit
Remaja - BO
David Lowery
David Lowery
Toby Halbrooks, James M. Johnston, Adam Donaghey
Andrew Droz Palermo
Daniel Hart