- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Seolah mengetahui fans sudah tak sabar menantikan ‘Glass’, penulis/sutradara M. Night Shyamalan pun merilis teaser poster dari film yang menjadi sekuel ‘Unbreakable’ sekaligus ‘Split’.
Seolah mengetahui fans sudah tak sabar menantikan Glass, penulis/sutradara M. Night Shyamalan pun merilis teaser poster dari film yang menjadi sekuel Unbreakable sekaligus Split. Poster ini sendiri menampilkan tiga karakter utama yang nantinya akan bergumul di Glass, diantaranya Elijah Price a.k.a. Mr. Glass (Samuel L. Jackson), Kevin Crumb a.k.a. The Horde (James McAvoy) dan David Dunn (Bruce Willis). “Jika kalian tak sabar menunggu kehadiran Glass pada 20 Juli (di event SanDiego Comic-Con 2018), inilah world premiere teaser poster dari kami,”kata Shyamalan saat memamerkan poster Glass lewat Twitter.
Seolah mengetahui fans sudah tak sabar menantikan ‘Glass’, penulis/sutradara M. Night Shyamalan pun merilis teaser poster dari film yang menjadi sekuel ‘Unbreakable’ sekaligus ‘Split’.
Seolah mengetahui fans sudah tak sabar menantikan Glass, penulis/sutradara M. Night Shyamalan pun merilis teaser poster dari film yang menjadi sekuel Unbreakable sekaligus Split. Poster ini sendiri menampilkan tiga karakter utama yang nantinya akan bergumul di Glass, diantaranya Elijah Price a.k.a. Mr. Glass (Samuel L. Jackson), Kevin Crumb a.k.a. The Horde (James McAvoy) dan David Dunn (Bruce Willis). “Jika kalian tak sabar menunggu kehadiran Glass pada 20 Juli (di event SanDiego Comic-Con 2018), inilah world premiere teaser poster dari kami,”kata Shyamalan saat memamerkan poster Glass lewat Twitter.
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Jika sebuah film meraih kesuksesan besar, biasanya studio akan langsung memberi lampu hijau untuk sekuel dan mengebut proses pengembangannya, agar bisa segera masuk ke tahap produksi. Namun hal serupa agaknya takkan terjadi pada ‘A Quiet Place 2’.
Jika sebuah film meraih kesuksesan besar, biasanya studio akan langsung memberi lampu hijau untuk sekuel dan mengebut proses pengembangannya, agar bisa segera masuk ke tahap produksi alias syuting. Namun hal serupa agaknya takkan terjadi padaA Quiet Place 2, sebagaimana yang disinyalkan produser Andrew Form saat berbincang dengan Collider.
Diakui Form yang notabene pimpinan rumah produksi Platinum Dunes, sebenarnya tim produksi bisa dengan mudah mengebut pengembangan A Quiet Place 2. Namun karena A Quiet Place adalah film yang spesial bagi studio tersebut, Form mengakui pihaknya takkan buru-buru menggarap A Quiet Place 2. Sebaliknya, Form menekankan bahwa tim akan memanfaatkan waktu selama mungkin untuk meracik cerita yang bagus, seperti film pertama. Di luar itu, Form juga mengkonfirmasi JohnKrasinski kembali terlibat di A Quiet Place 2, usai ia menyutradarai dan membintangi film pertama.
A Quiet Place sendiri mengisahkan perjuangan keluarga di sebuah dunia, dimana suara sekecil apapun bisa memancing kehadiran alien ganas. Dibintangi Krasinski bersama sang istri Emily Blunt, film berbudget hanya $17 juta ini pun tak hanya hit di box office dengan total pendapatan mencapai $329 juta, tapi juga dari segi kritikal dengan skor nyaris sempurna 95% di situs review aggregator Rotten Tomatoes. Wajar saja jika Form menyebut A Quiet Place adalah film istimewa bagi Platinum Dunes, karena baru kali studio di balik franchise Texas Chainsaw, The Purge dan Friday the 13th meluncurkan film yang luar biasa.
Kendati pemain yang terlibat belum dipastikan, Krasinski sempat mengindikasikan A Quiet Place 2 akan menyoroti perjuangan penyintas baru untuk bertahan hidup. Masih dimotori Paramount, untuk saat ini A Quiet Place 2 masih belum mendapatkan tanggal rilis. Berkaca dari pernyataan Form, fans tampaknya harus bersabar menunggu, karena kemungkinan besar perilisan A Quiet Place 2 masih lama.
Jika sebuah film meraih kesuksesan besar, biasanya studio akan langsung memberi lampu hijau untuk sekuel dan mengebut proses pengembangannya, agar bisa segera masuk ke tahap produksi. Namun hal serupa agaknya takkan terjadi pada ‘A Quiet Place 2’.
Jika sebuah film meraih kesuksesan besar, biasanya studio akan langsung memberi lampu hijau untuk sekuel dan mengebut proses pengembangannya, agar bisa segera masuk ke tahap produksi alias syuting. Namun hal serupa agaknya takkan terjadi padaA Quiet Place 2, sebagaimana yang disinyalkan produser Andrew Form saat berbincang dengan Collider.
Diakui Form yang notabene pimpinan rumah produksi Platinum Dunes, sebenarnya tim produksi bisa dengan mudah mengebut pengembangan A Quiet Place 2. Namun karena A Quiet Place adalah film yang spesial bagi studio tersebut, Form mengakui pihaknya takkan buru-buru menggarap A Quiet Place 2. Sebaliknya, Form menekankan bahwa tim akan memanfaatkan waktu selama mungkin untuk meracik cerita yang bagus, seperti film pertama. Di luar itu, Form juga mengkonfirmasi JohnKrasinski kembali terlibat di A Quiet Place 2, usai ia menyutradarai dan membintangi film pertama.
A Quiet Place sendiri mengisahkan perjuangan keluarga di sebuah dunia, dimana suara sekecil apapun bisa memancing kehadiran alien ganas. Dibintangi Krasinski bersama sang istri Emily Blunt, film berbudget hanya $17 juta ini pun tak hanya hit di box office dengan total pendapatan mencapai $329 juta, tapi juga dari segi kritikal dengan skor nyaris sempurna 95% di situs review aggregator Rotten Tomatoes. Wajar saja jika Form menyebut A Quiet Place adalah film istimewa bagi Platinum Dunes, karena baru kali studio di balik franchise Texas Chainsaw, The Purge dan Friday the 13th meluncurkan film yang luar biasa.
Kendati pemain yang terlibat belum dipastikan, Krasinski sempat mengindikasikan A Quiet Place 2 akan menyoroti perjuangan penyintas baru untuk bertahan hidup. Masih dimotori Paramount, untuk saat ini A Quiet Place 2 masih belum mendapatkan tanggal rilis. Berkaca dari pernyataan Form, fans tampaknya harus bersabar menunggu, karena kemungkinan besar perilisan A Quiet Place 2 masih lama.
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Proses pencarian pemain film ‘Sonic the Hedgehog’ rupanya sudah dimulai, dan kini ada Jim Carrey yang berpotensi membintangi film adaptasi game populer.
Proses pencarian pemain filmSonic the Hedgehog rupanya sudah dimulai, dan kini ada Jim Carrey yang berpotensi membintangi film adaptasi game populer. Seperti yang dilansir Deadline, aktor yang terkenal dengan perannya sebagai Ace Ventura itu sedang bernegosiasi dengan pihak Paramount untuk menjadi Doctor Robotnik a.k.a. Eggman, yang tak lain adalah musuh besar Sonic.
Jika Carrey sepakat bergabung, maka ia menyusul James Marsden (Westworld) dan Paul Rudd (Ant-Man). Sementara karakter Marsden masih misterius, Rudd dikabarkan akan menjadi teman polisi Sonic yang bernama Tom. Film produksi Paramount ini sendiri melibatkan sutradara Deadpool dan Terminator 6, Tim Miller, sebagai produser. Adapun Jeff Fowler yang akan memulai debut penyutradaraannya, di film yang ditulis Pat Casey dan Josh Miller (duo kreator serial animasi Golan the Insatiable).
Dengan memadukan unsur live-action dan CGI, kabarnya film ini mulai syuting Juli hingga Oktober 2018. Meski belum ada keterangan mengenai plot cerita, kemungkinan besar film ini akan menghadirkan aksi Sonic berlari secepat kilat, sebagaimana yang ditawarkan franchise game-nya yang ditangani SEGA.
Tak seperti film adaptasi komik, hingga saat ini film adaptasi game masih kesulitan menjadi primadona di box office maupun memikat hati para kritikus. Terakhir ada reboot Tomb Raider, yang walaupun dinaungi aktris papan atas Alicia Vikander dan sutradara yang dinilai berkompeten, belum mampu memutus tren negatif yang selama ini ditunjukkan film adaptasi game. Akankah Sonic the Hedgehog bernasib serupa, atau justru di luar dugaan berhasil menjadi momentum kebangkitan film adaptasi game? Kita akan menemukan jawabannya saat film ini dirilis 15 November 2019.
Proses pencarian pemain film ‘Sonic the Hedgehog’ rupanya sudah dimulai, dan kini ada Jim Carrey yang berpotensi membintangi film adaptasi game populer.
Proses pencarian pemain filmSonic the Hedgehog rupanya sudah dimulai, dan kini ada Jim Carrey yang berpotensi membintangi film adaptasi game populer. Seperti yang dilansir Deadline, aktor yang terkenal dengan perannya sebagai Ace Ventura itu sedang bernegosiasi dengan pihak Paramount untuk menjadi Doctor Robotnik a.k.a. Eggman, yang tak lain adalah musuh besar Sonic.
Jika Carrey sepakat bergabung, maka ia menyusul James Marsden (Westworld) dan Paul Rudd (Ant-Man). Sementara karakter Marsden masih misterius, Rudd dikabarkan akan menjadi teman polisi Sonic yang bernama Tom. Film produksi Paramount ini sendiri melibatkan sutradara Deadpool dan Terminator 6, Tim Miller, sebagai produser. Adapun Jeff Fowler yang akan memulai debut penyutradaraannya, di film yang ditulis Pat Casey dan Josh Miller (duo kreator serial animasi Golan the Insatiable).
Dengan memadukan unsur live-action dan CGI, kabarnya film ini mulai syuting Juli hingga Oktober 2018. Meski belum ada keterangan mengenai plot cerita, kemungkinan besar film ini akan menghadirkan aksi Sonic berlari secepat kilat, sebagaimana yang ditawarkan franchise game-nya yang ditangani SEGA.
Tak seperti film adaptasi komik, hingga saat ini film adaptasi game masih kesulitan menjadi primadona di box office maupun memikat hati para kritikus. Terakhir ada reboot Tomb Raider, yang walaupun dinaungi aktris papan atas Alicia Vikander dan sutradara yang dinilai berkompeten, belum mampu memutus tren negatif yang selama ini ditunjukkan film adaptasi game. Akankah Sonic the Hedgehog bernasib serupa, atau justru di luar dugaan berhasil menjadi momentum kebangkitan film adaptasi game? Kita akan menemukan jawabannya saat film ini dirilis 15 November 2019.
Taylor Sheridan sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan.
“You got to do what you got to do.” — Alejandro
Rating UP: Taylor Sheridan (Hell or High Water, Wind River) sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan. Ia bahkan mungkin bisa membuat riwayat asmara saya yang biasa-biasa saja menjadi film aksi-thriller brutal yang mencekam... dengan banyak nyawa melayang di dalamnya.
Itu adalah testimoni saya mengenai keterampilan skrip Sheridan dalam Sicario 2: Day of the Soldado. Bahkan saat disini ia harus kehilangan empat pemain kunci dari film pertama: aktris Emily Blunt, sutradara Denis Villeneuve, sinematografer Roger Deakins, dan komposer Johann Johannsson. Bahkan saat ia relatif tak punya cerita untuk diceritakan. Yang dibutuhkannya cuma beberapa kru yang lumayan, sutradara yang cukup berkomitmen, dan pemain utama yang karismatik.
Soldado jelas tak sengehek Sicario. Selain karena aspek teknisnya yang sedikit lebih superior, sebagian besar penyebabnya adalah karena ia tak punya hooking point yang dimiliki oleh film pertama, yang dihadirkan lewat kenaifan karakter Blunt yang menyaksikan betapa abu-abunya batas moralitas dalam lingkaran konflik perdagangan narkoba. Kita dibuat syok dengan pengungkapan bahwa penegak keadilan tak jauh berbeda korup dan kejinya dengan para kriminal yang mereka berantas. Soldado hanya sedikit menyampaikan hal baru mengenai sistem pemerintahan yang kebablasan ini, namun ia mampu berdiri dengan kokoh sebagai film aksi-drama yang cukup mengikat.
Setelah menonton Sicario, kita sudah tahu bahwa hanya akan ada sedikit sensitivitas moral yang dipunyai oleh karakter kuncinya. Absennya karakter Blunt membuat perspektif dalam Soldado bergeser. Agen lapangan CIA, Matt Graver (Josh Brolin) dan pembunuh bayaran, Alejandro (Benicio Del Toro) yang sebelumnya menjadi karakter sampingan, sekarang adalah karakter utama. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berseragam yang tak punya aturan. Sedari awal, Matt tak ragu-ragu menerapkan metode yang jauh lebih kejam daripada waterboarding saat menginterogasi seorang bajak laut Somalia.
Karisma Brolin dan Del Toro begitu kuat hingga mereka menguasai momen apapun saat muncul di layar. Gaya slenge'an karakter Matt yang pernah ke markas dengan sendal jepit tak lagi akan anda ingat, sebab Brolin kali ini lebih serius. Misi adalah prioritasnya, tapi ada sedikit nuansa pemberontakan yang terasa di dalam dedikasinya. Sementara Del Toro... aktor ini mampu berbuat banyak tanpa perlu banyak bacot. Ia hanya perlu berdiri lalu menatap tajam, dan kita akan bergidik. Ia adalah pembunuh yang efektif, dan meski saya sama sekali tak mendukung ini, ia sukses membuat aksi membantai orang terlihat keren.
Soldado dimulai dengan segerombolan imigran ilegal yang melintasi perbatasan Meksiko-Amerika di tengah malam buta. Mereka bukan imigran biasa, karena saat hampir terciduk, mereka meledakkan diri. Di lain waktu, bom bunuh diri juga terjadi di sebuah supermarket di Amerika. Teroris kah? Bagaimana mereka bisa masuk ke Amerika? Salah satu alasannya adalah karena tembok raksasa nan mutakhir buatan presiden Trump belum jadi. Namun karena ini bukan film politik, maka yang menjadi biang keroknya ternyata adalah kartel narkoba. Katanya, menyusupkan manusia jauh lebih menguntungkan daripada menyelundupkan kokain.
Pemerintah, lewat karakter yang diperankan Matthew Modine dan Catherine Keener, kemudian menghubungi seseorang yang patut dihubungi saat mereka harus melakukan pekerjaan kotor: Matt Graver. Misi Matt adalah menculik Isabel Reyes (Isabela Moner), anak gadis dari seorang bos kartel, lalu membuatnya terkesan sebagai aksi dari kartel sebelah. Dengan begini, mereka akan saling menyalahkan, dan otomatis akan saling bantai lewat perang antarkartel. Pemerintah Amerika bisa ongkang-ongkang kaki. Rencananya sih begitu.
Untuk melakukan ini, Matt merekrut kenalan lamanya, Alejandro yang juga punya dendam lama kepada sang bos kartel. Kebetulan. Tentu saja, semua tak berjalan dengan lancar. Terlebih saat sebagian besar polisi Meksiko ternyata digaji oleh kartel. Saat situasi menjadi kacau, pemerintah Amerika bermaksud cuci tangan. Tapi tim Matt dan Alejandro sudah terlanjur basah. Ya sudah, mandi sekalian.
Sementara itu, dalam bagian yang tak begitu menarik, kita diperkenalkan dengan Miguel (Elijah Rodriguez), remaja Amerika berdarah Meksiko yang tinggal di perbatasan. Ia direkrut oleh kartel sebagai salah satu eksekutor penyelundupan manusia. Tentu saja, nanti petualangan Miguel akan bersilangan dengan karakter utama kita. Saya rasa, momen ini dimaksudkan untuk memberi dampak emosional yang lumayan tajam. Meski begitu, perjalanan karakter yang klise dengan karakterisasi yang kurang mengesankan, membuatnya terasa hambar. Subplot mengenai Miguel terasa sedikit mendistraksi, padahal ini berperan penting nantinya.
Namun ini adalah komplain kecil kalau dibandingkan dengan bagaimana terampilnya Sheridan membangun cerita dan mengatur ritme. Menjelang akhir, ada momen krusial yang sebenarnya terkesan mustahil terjadi dalam konteks film "serius". Tapi nyatanya lumayan bekerja, karena kita sebelumnya dikondisikan untuk berharap itu bakal bekerja, setidaknya selama kita menonton. Saya mencoba sotoy nih, tapi saya yakin sutradara Stefano Sollima lumayan setia mengikuti visi Sheridan. Soalnya, Soldado tetap terasa berlangsung di semesta yang sama dengan Sicario, meski atmosfernya memang tak semisterius itu. Mayoritas intensitas tak lagi tercipta berkat atmosfer, melainkan penanganan sekuens aksi yang kompeten oleh Sollima. Adegan penyergapan di jalanan gurun Meksiko berisi cukup suspens hingga kita terhenyak saat huru-hara yang sesungguhnya dilepaskan.
Kalau dibandingkan dengan Sicario, film ini memang lebih dangkal. Jika yang ingin disampaikan Sheridan adalah soal ambiguitas moral, maka ia sudah membeberkan semuanya lewat film pertama. Bahkan usaha untuk memanusiakan karakter Alejandro juga terasa biasa sekali; ia sekarang (agaknya) menjadi tokoh antihero yang konvensional. Sebetulnya, sulit membayangkan bagaimana film semacam Sicario bisa menghasilkan sekuel. Namun Sheridan pandai mengemas barang receh. Disini, ia bahkan ia mampu menge-set kemungkinan baru yang menjanjikan sesuatu lebih besar yang akan datang. ■UP
Basil Iwanyk, Edward L. McDonnell, Molly Smith, Thad Luckinbill, Trent Luckinbill
Dariusz Wolski
Hildur Guðnadóttir
Taylor Sheridan sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan.
“You got to do what you got to do.” — Alejandro
Rating UP: Taylor Sheridan (Hell or High Water, Wind River) sepertinya mampu bikin cerita apa saja menjadi menarik dan menegangkan. Ia bahkan mungkin bisa membuat riwayat asmara saya yang biasa-biasa saja menjadi film aksi-thriller brutal yang mencekam... dengan banyak nyawa melayang di dalamnya.
Itu adalah testimoni saya mengenai keterampilan skrip Sheridan dalam Sicario 2: Day of the Soldado. Bahkan saat disini ia harus kehilangan empat pemain kunci dari film pertama: aktris Emily Blunt, sutradara Denis Villeneuve, sinematografer Roger Deakins, dan komposer Johann Johannsson. Bahkan saat ia relatif tak punya cerita untuk diceritakan. Yang dibutuhkannya cuma beberapa kru yang lumayan, sutradara yang cukup berkomitmen, dan pemain utama yang karismatik.
Soldado jelas tak sengehek Sicario. Selain karena aspek teknisnya yang sedikit lebih superior, sebagian besar penyebabnya adalah karena ia tak punya hooking point yang dimiliki oleh film pertama, yang dihadirkan lewat kenaifan karakter Blunt yang menyaksikan betapa abu-abunya batas moralitas dalam lingkaran konflik perdagangan narkoba. Kita dibuat syok dengan pengungkapan bahwa penegak keadilan tak jauh berbeda korup dan kejinya dengan para kriminal yang mereka berantas. Soldado hanya sedikit menyampaikan hal baru mengenai sistem pemerintahan yang kebablasan ini, namun ia mampu berdiri dengan kokoh sebagai film aksi-drama yang cukup mengikat.
Setelah menonton Sicario, kita sudah tahu bahwa hanya akan ada sedikit sensitivitas moral yang dipunyai oleh karakter kuncinya. Absennya karakter Blunt membuat perspektif dalam Soldado bergeser. Agen lapangan CIA, Matt Graver (Josh Brolin) dan pembunuh bayaran, Alejandro (Benicio Del Toro) yang sebelumnya menjadi karakter sampingan, sekarang adalah karakter utama. Kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang berseragam yang tak punya aturan. Sedari awal, Matt tak ragu-ragu menerapkan metode yang jauh lebih kejam daripada waterboarding saat menginterogasi seorang bajak laut Somalia.
Karisma Brolin dan Del Toro begitu kuat hingga mereka menguasai momen apapun saat muncul di layar. Gaya slenge'an karakter Matt yang pernah ke markas dengan sendal jepit tak lagi akan anda ingat, sebab Brolin kali ini lebih serius. Misi adalah prioritasnya, tapi ada sedikit nuansa pemberontakan yang terasa di dalam dedikasinya. Sementara Del Toro... aktor ini mampu berbuat banyak tanpa perlu banyak bacot. Ia hanya perlu berdiri lalu menatap tajam, dan kita akan bergidik. Ia adalah pembunuh yang efektif, dan meski saya sama sekali tak mendukung ini, ia sukses membuat aksi membantai orang terlihat keren.
Soldado dimulai dengan segerombolan imigran ilegal yang melintasi perbatasan Meksiko-Amerika di tengah malam buta. Mereka bukan imigran biasa, karena saat hampir terciduk, mereka meledakkan diri. Di lain waktu, bom bunuh diri juga terjadi di sebuah supermarket di Amerika. Teroris kah? Bagaimana mereka bisa masuk ke Amerika? Salah satu alasannya adalah karena tembok raksasa nan mutakhir buatan presiden Trump belum jadi. Namun karena ini bukan film politik, maka yang menjadi biang keroknya ternyata adalah kartel narkoba. Katanya, menyusupkan manusia jauh lebih menguntungkan daripada menyelundupkan kokain.
Pemerintah, lewat karakter yang diperankan Matthew Modine dan Catherine Keener, kemudian menghubungi seseorang yang patut dihubungi saat mereka harus melakukan pekerjaan kotor: Matt Graver. Misi Matt adalah menculik Isabel Reyes (Isabela Moner), anak gadis dari seorang bos kartel, lalu membuatnya terkesan sebagai aksi dari kartel sebelah. Dengan begini, mereka akan saling menyalahkan, dan otomatis akan saling bantai lewat perang antarkartel. Pemerintah Amerika bisa ongkang-ongkang kaki. Rencananya sih begitu.
Untuk melakukan ini, Matt merekrut kenalan lamanya, Alejandro yang juga punya dendam lama kepada sang bos kartel. Kebetulan. Tentu saja, semua tak berjalan dengan lancar. Terlebih saat sebagian besar polisi Meksiko ternyata digaji oleh kartel. Saat situasi menjadi kacau, pemerintah Amerika bermaksud cuci tangan. Tapi tim Matt dan Alejandro sudah terlanjur basah. Ya sudah, mandi sekalian.
Sementara itu, dalam bagian yang tak begitu menarik, kita diperkenalkan dengan Miguel (Elijah Rodriguez), remaja Amerika berdarah Meksiko yang tinggal di perbatasan. Ia direkrut oleh kartel sebagai salah satu eksekutor penyelundupan manusia. Tentu saja, nanti petualangan Miguel akan bersilangan dengan karakter utama kita. Saya rasa, momen ini dimaksudkan untuk memberi dampak emosional yang lumayan tajam. Meski begitu, perjalanan karakter yang klise dengan karakterisasi yang kurang mengesankan, membuatnya terasa hambar. Subplot mengenai Miguel terasa sedikit mendistraksi, padahal ini berperan penting nantinya.
Namun ini adalah komplain kecil kalau dibandingkan dengan bagaimana terampilnya Sheridan membangun cerita dan mengatur ritme. Menjelang akhir, ada momen krusial yang sebenarnya terkesan mustahil terjadi dalam konteks film "serius". Tapi nyatanya lumayan bekerja, karena kita sebelumnya dikondisikan untuk berharap itu bakal bekerja, setidaknya selama kita menonton. Saya mencoba sotoy nih, tapi saya yakin sutradara Stefano Sollima lumayan setia mengikuti visi Sheridan. Soalnya, Soldado tetap terasa berlangsung di semesta yang sama dengan Sicario, meski atmosfernya memang tak semisterius itu. Mayoritas intensitas tak lagi tercipta berkat atmosfer, melainkan penanganan sekuens aksi yang kompeten oleh Sollima. Adegan penyergapan di jalanan gurun Meksiko berisi cukup suspens hingga kita terhenyak saat huru-hara yang sesungguhnya dilepaskan.
Kalau dibandingkan dengan Sicario, film ini memang lebih dangkal. Jika yang ingin disampaikan Sheridan adalah soal ambiguitas moral, maka ia sudah membeberkan semuanya lewat film pertama. Bahkan usaha untuk memanusiakan karakter Alejandro juga terasa biasa sekali; ia sekarang (agaknya) menjadi tokoh antihero yang konvensional. Sebetulnya, sulit membayangkan bagaimana film semacam Sicario bisa menghasilkan sekuel. Namun Sheridan pandai mengemas barang receh. Disini, ia bahkan ia mampu menge-set kemungkinan baru yang menjanjikan sesuatu lebih besar yang akan datang. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Setelah dikembangkan secara intens dalam beberapa bulan terakhir, ‘Indiana Jones 5’ akhirnya batal tayang pada 10 Juli 2020.
Kabar kurang menyenangkan datang dari Indiana Jones 5. Setelah dikembangkan secara intens dalam beberapa bulan terakhir, seri terbaru dari franchise petualangan legendaris ini batal tayang 10 Juli 2020, yang semula menjadi tanggal rilis yang ditetapkan Disney.
Proses syuting Indiana Jones 5 sejatinya akan mulai bergulir pada April 2019 di Inggris. Namun sumber Variety menyebut, syuting Indiana Jones 5 takkan dimulai pada awal tahun depan lantaran akan ditunda selama beberapa bulan, jika bukan setahun. Terkait penyebab diundurnya syuting Indiana Jones 5, rupanya skrip film ini masih belum rampung. Informasi terakhir mengatakan, Jonathan Kasdan – putra dari penulisRaiders of the Lost Ark, Lawrence Kasdan – dilirik Lucasfilm untuk menulis naskah baru. Meski belum sepakat, Jonathan diyakini akan segera bergabung, dan menggantikan David Koepp yang telah menulis skrip pertama Indiana Jones 5.
Di balik penundaan ini, sumber menekankan bahwa sutradara Steven Spielberg dan pemeran Indiana Jones, Harrison Ford, masih berkomitmen untuk kembali menggawangi film kelima. Hal ini tak mengherankan, mengingat keduanya sudah lama berkolaborasi di franchise Indiana Jones sejak seri perdananya dirilis tahun 80-an.
Sembari menunggu skrip Indiana Jones 5 rampung, kini Spielberg mulai menjalankan proses pra-produksi remake film West Side Story. Disamping itu, sineas veteran yang baru saja menghadirkan film remaja spektakuler Ready Player One ini juga berniat menggarap film drama historis The Kidnapping of Edgardo Mortara. Melihat kesibukan Spielberg saat ini, kemungkinan Indiana Jones 5 baru bisa syuting tahun 2020 mendatang.
Meski Indiana Jones 5 dikabarkan akan mengalami penundaan, Disney belum memberikan tanggapan resmi, bahkan studio pun masih mempertahankan tanggal rilis 10 Juli 2020. Namun jika jadwal tersebut berakhir ditunda, maka ini menjadi kedua kalinya Indiana Jones 5 diundur, karena semula film ini hendak dirilis 19 Juli 2019.
Setelah dikembangkan secara intens dalam beberapa bulan terakhir, ‘Indiana Jones 5’ akhirnya batal tayang pada 10 Juli 2020.
Kabar kurang menyenangkan datang dari Indiana Jones 5. Setelah dikembangkan secara intens dalam beberapa bulan terakhir, seri terbaru dari franchise petualangan legendaris ini batal tayang 10 Juli 2020, yang semula menjadi tanggal rilis yang ditetapkan Disney.
Proses syuting Indiana Jones 5 sejatinya akan mulai bergulir pada April 2019 di Inggris. Namun sumber Variety menyebut, syuting Indiana Jones 5 takkan dimulai pada awal tahun depan lantaran akan ditunda selama beberapa bulan, jika bukan setahun. Terkait penyebab diundurnya syuting Indiana Jones 5, rupanya skrip film ini masih belum rampung. Informasi terakhir mengatakan, Jonathan Kasdan – putra dari penulisRaiders of the Lost Ark, Lawrence Kasdan – dilirik Lucasfilm untuk menulis naskah baru. Meski belum sepakat, Jonathan diyakini akan segera bergabung, dan menggantikan David Koepp yang telah menulis skrip pertama Indiana Jones 5.
Di balik penundaan ini, sumber menekankan bahwa sutradara Steven Spielberg dan pemeran Indiana Jones, Harrison Ford, masih berkomitmen untuk kembali menggawangi film kelima. Hal ini tak mengherankan, mengingat keduanya sudah lama berkolaborasi di franchise Indiana Jones sejak seri perdananya dirilis tahun 80-an.
Sembari menunggu skrip Indiana Jones 5 rampung, kini Spielberg mulai menjalankan proses pra-produksi remake film West Side Story. Disamping itu, sineas veteran yang baru saja menghadirkan film remaja spektakuler Ready Player One ini juga berniat menggarap film drama historis The Kidnapping of Edgardo Mortara. Melihat kesibukan Spielberg saat ini, kemungkinan Indiana Jones 5 baru bisa syuting tahun 2020 mendatang.
Meski Indiana Jones 5 dikabarkan akan mengalami penundaan, Disney belum memberikan tanggapan resmi, bahkan studio pun masih mempertahankan tanggal rilis 10 Juli 2020. Namun jika jadwal tersebut berakhir ditunda, maka ini menjadi kedua kalinya Indiana Jones 5 diundur, karena semula film ini hendak dirilis 19 Juli 2019.
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Saat merayakan satu tahun perilisan ‘Baby Driver’, sutradara Edgar Wright mensinyalkan sekuelnya bisa jadi akan dibuat dalam waktu dekat.
Baby Driver tak dapat dipungkiri menjadi salah satu film terbaik di 2017 lalu, sekaligus menjadi salah satu film yang paling menyenangkan untuk ditonton. Selain karena chemistry apik Ansel Elgort dan Lily James, Baby Driver bisa tampil berkesan juga berkat adegan action-nya yang diiringi musik enerjik. Tak heran jika Baby Driver berakhir menjadi film terlaris dari sutradara bertangan dingin Edgar Wright, dengan total pendapatan menembus $226 juta, dari budget produksi hanya $34 juta. Ditambah lagi, Baby Driver juga menyabet tiga nominasi Oscar, diantaranya Film Editing, SoundEditing dan Sound Mixing.
Tak lama pasca kesuksesan Baby Driver, Wright mengungkapkan bahwa Sony Pictures sempat meminta dirinya untuk mempertimbangkan menulis sekuel. Kendati Wright sebelumnya membuat trilogi Cornetto yang terdiri dari Shaun of the Dead, Hot Fuzz dan The World’s End, film-film tersebut hanya terkait secara tidak langsung, berbeda dengan sekuel. Alhasil, jika Baby Driver 2 benar-benar dibuat, maka ia akan menjadi film pertama Wright yang berformat sekuel.
Menariknya, saat merayakan satu tahun perilisan Baby Driver, Wright mensinyalkan sekuelnya bisa jadi akan dibuat dalam waktu dekat. “Saya berterima kasih atas semua respon luar biasa kalian (terhadap Baby Driver), itu sungguh penting. Dan siapa tahu, mungkin dia (karakter Baby yang diperankan Elgort) bisa segera kembali beraksi di jalanan,”kata Wright melalui Twitter.
FYI, bulan Agustus 2017 lalu, Wright menyatakan ketertarikannya untuk membuat sekuel Baby Driver, dengan mengakui ia sudah punya ide cerita keren. Jika film pertama mengisahkan aksi Baby merampok bank untuk mafia sebelum akhirnya hidup Baby terancam karena ingin mundur dari pekerjaan, belum diketahui cerita yang akan diusung Baby Driver 2. Jika menilik pernyataan Wright soal potensi kehadiran Baby Driver 2, tak menutup kemungkinan kini skrip filmnya sudah mulai ditulis.
Sementara itu, proyek film layar lebar berikutnya yang akan ditangani Wright masih simpang siur. Saat ini ia tengah fokus membuat film dokumenter tentang band Sparks. Wright juga terlibat sebagai penulis/sutradara di film adaptasi Grasshopper Jungle, namun pengembangan proyek satu ini belum menemukan kemajuan signifikan. Dengan demikian, sekuel Baby Driver pun dinilai berpotensi besar akan menjadi proyek film terbaru Wright yang siap digarap.
Saat merayakan satu tahun perilisan ‘Baby Driver’, sutradara Edgar Wright mensinyalkan sekuelnya bisa jadi akan dibuat dalam waktu dekat.
Baby Driver tak dapat dipungkiri menjadi salah satu film terbaik di 2017 lalu, sekaligus menjadi salah satu film yang paling menyenangkan untuk ditonton. Selain karena chemistry apik Ansel Elgort dan Lily James, Baby Driver bisa tampil berkesan juga berkat adegan action-nya yang diiringi musik enerjik. Tak heran jika Baby Driver berakhir menjadi film terlaris dari sutradara bertangan dingin Edgar Wright, dengan total pendapatan menembus $226 juta, dari budget produksi hanya $34 juta. Ditambah lagi, Baby Driver juga menyabet tiga nominasi Oscar, diantaranya Film Editing, SoundEditing dan Sound Mixing.
Tak lama pasca kesuksesan Baby Driver, Wright mengungkapkan bahwa Sony Pictures sempat meminta dirinya untuk mempertimbangkan menulis sekuel. Kendati Wright sebelumnya membuat trilogi Cornetto yang terdiri dari Shaun of the Dead, Hot Fuzz dan The World’s End, film-film tersebut hanya terkait secara tidak langsung, berbeda dengan sekuel. Alhasil, jika Baby Driver 2 benar-benar dibuat, maka ia akan menjadi film pertama Wright yang berformat sekuel.
Menariknya, saat merayakan satu tahun perilisan Baby Driver, Wright mensinyalkan sekuelnya bisa jadi akan dibuat dalam waktu dekat. “Saya berterima kasih atas semua respon luar biasa kalian (terhadap Baby Driver), itu sungguh penting. Dan siapa tahu, mungkin dia (karakter Baby yang diperankan Elgort) bisa segera kembali beraksi di jalanan,”kata Wright melalui Twitter.
FYI, bulan Agustus 2017 lalu, Wright menyatakan ketertarikannya untuk membuat sekuel Baby Driver, dengan mengakui ia sudah punya ide cerita keren. Jika film pertama mengisahkan aksi Baby merampok bank untuk mafia sebelum akhirnya hidup Baby terancam karena ingin mundur dari pekerjaan, belum diketahui cerita yang akan diusung Baby Driver 2. Jika menilik pernyataan Wright soal potensi kehadiran Baby Driver 2, tak menutup kemungkinan kini skrip filmnya sudah mulai ditulis.
Sementara itu, proyek film layar lebar berikutnya yang akan ditangani Wright masih simpang siur. Saat ini ia tengah fokus membuat film dokumenter tentang band Sparks. Wright juga terlibat sebagai penulis/sutradara di film adaptasi Grasshopper Jungle, namun pengembangan proyek satu ini belum menemukan kemajuan signifikan. Dengan demikian, sekuel Baby Driver pun dinilai berpotensi besar akan menjadi proyek film terbaru Wright yang siap digarap.
Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim 'yang terseram', tunggu dulu.
“Who's going to take care of me?” — Charlie Graham
Rating UP: Kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir. Ada beberapa hal yang mau tak mau harus kita terima begitu saja. Tak bisa protes, karena itu sudah turunan. Demikianlah yang dialami keluarga Graham. Keluarga ini sepertinya selalu dikutuk dengan kemalangan dalam bentuk penyakit kejiwaan. Hereditary membawa istilah "warisan" ke sisi yang paling ekstrim, dan untuk itu, Ari Aster menyajikannya lewat pendekatan yang sangat intens. Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim "yang terseram", tunggu dulu.
Seram itu relatif. Bagi saya yang anak kosan, hal yang terseram tetaplah tanggal tua. Okefine, garing. Lanjut.
Menyebutnya plek sebagai film horor mungkin akan membuat sebagian penonton kasual kecele. Horor memang, bahkan di satu titik masuk ke ranah supranatural, tapi bukan horor yang berfokus pada hantu-hantuan atau sadis-sadisan belaka. Memang ada adegan penampakan dan barang yang bergerak sendiri serta bagian yang berdarah-darah, namun bukan aktivitas paranormal yang membuat kita takut. Alih-alih, ia menggunakan elemen supranatural untuk mengeksplorasi tragedi emosional. Kita ngeri akan apa yang mungkin bakal menimpa mereka atau apa yang mungkin bakal mereka lakukan.
Ini sukses membuat kita duduk tak nyaman nyaris sepanjang durasi berkat kelihaian pembuatnya dalam membangun atmosfer. Kita langsung bisa menyadari bahwa kita berada di tangan sutradara yang mantap, terlepas dari fakta bahwa ini adalah film panjang pertamanya. Horornya berasal dari sumber teror yang paling hakiki, yaitu realitas jiwa manusia itu sendiri. Namun ini juga membuatnya menjadi film yang pelik. Ia berusaha begitu dekat dengan dunia nyata sampai printilan-printilan cela yang biasanya saya abaikan dalam sebuah film horor tradisional menyentil logika saya berkali-kali, yang jujur saja mengganggu kenikmatan menonton.
Apa yang akan menimpa keluarga Graham, silakan anda temukan sendiri. Tapi saya bisa memberi tahu apa yang baru saja mereka alami. Film dibuka dengan pemakaman. Nenek baru saja meninggal. Meski berduka, Annie (Toni Collette) bilang bahwa ia tak pernah dekat-dekat amat dengan ibunya tersebut. Sang ibu, katanya, adalah orang tertutup yang hanya mau bergaul dengan teman-teman eksklusifnya.
Yang bermasalah bukan cuma si nenek. Anak sulung Annie, Peter (Alex Wolff) adalah remaja canggung yang suka bengong dan ngerokok ganja. Sementara anak bungsunya, Charlie (Milly Shapiro)... sangat aneh. Betul-betul aneh. Ia suka bikin suara "klok" dengan mulut, rajin membuat gambar-gambar seram di buku catatan, dan itu buat apa potongan kepala dari bangkai burung dikantongin. Cuma si ayah (Gabriel Byrne) yang kelihatan agak normal.
Bagaimana dengan Annie? Ia sendiri bahkan tak yakin dengan kesehatan mentalnya. Pernah dulu ia melakukan sesuatu saat sleepwalking yang nyaris membahayakan nyawa kedua anaknya. Di hari biasa, Annie adalah seniman miniatur yang sedang punya proyek komersil, tapi malah membuat membuat miniatur rumahnya sendiri, termasuk reka ulang dari beberapa tragedi yang menimpa keluarganya. Apakah ini perwujudan dari hasratnya yang ingin mengontrol nasib keluarga yang tak bisa ia kendalikan? Atau... atau...
Yang jelas, kematian si nenek memicu kemalangan berturut-turut yang tak terduga buat mereka, yang sebaiknya tak saya ungkap. Film ini bahkan berani mengambil pilihan naratif yang sangat mengejutkan di paruh awal film, saya sampai tak mempercayai apa yang baru saja saya lihat. Setiap tragedi baru terjadi, keluarga ini semakin hancur dan anggotanya semakin menjauh. Kemudian masuklah Joan (Ann Dowd), ibu-ibu simpatik yang baru saja kehilangan anaknya, yang kemudian menunjukkan Annie cara untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah mati.
Ada semacam sense of confusion yang terasa hadir, namun agaknya ini disengaja karena Aster menempatkan kita langsung di tengah-tengah keluarga Graham. Setidaknya sampai momen klimaks, kita tak tahu apakah yang kita lihat benar-benar terjadi atau tidak. Yang menuntun kita adalah penampilan kuat dari pemainnya, terutama Collette. Annie Graham adalah karakter yang kompleks, dan Collette sukses membawakannya. Ia mampu berpindah emosi secara ekstrim dalam waktu singkat, bahkan dalam satu adegan. Ini adalah akting yang istimewa, bukan hanya dalam konteks horor saja. Penampilannya menyayat hati. Wolff memberikan akting yang sangat ganjil, tak seperti akting yang biasa kita lihat. Tapi worked dan sangat intens.
Tak hanya urusan aktor, Aster juga mengomandoi penuh filmnya secara teknis. Secara audio-visual, film ini sempurna. Sinematografi suram dari Pawel Pogorzleski, scoring mencekam dari Colin Stetson, dan penguasaan ruang dan tempat oleh Aster menciptakan sensasi kengerian nanggung-nanggung sedap dimana kita selalu mengantisipasi sesuatu yang buruk bakal terjadi. Kita dikondisikan berada di posisi "hampir" sepanjang waktu; tegang tapi berhenti tepat sebelum klimaks. Begitu terus, berulang-ulang. Sedari awal, Aster sudah menanamkan beberapa foreshadowing dan petunjuk untuk membantu kita mencerna detil plot sekaligus memainkan ekspektasi. Dan ketika itu terjadi, ia tak disajikan lewat jumpscares melainkan imagery pembuat syok yang kemungkinan besar akan terpatri lama di benak kita.
Meski begitu, saya tak menyukai film ini sebesar yang saya harapkan. Film ini menjaga ketegangannya hampir selama satu jam lebih, tapi kemudian meloncat keluar rel di paruh akhir. Meteran suspension of disbelief saya sudah hampir lewat batas maksimal saat film beberapa kali menyederhanakan logika demi kenyamanan plot, dan akhirnya jebol juga di bagian klimaks. Saya tak bisa bicara secara detail karena ini mengharuskan saya membeberkan spoiler. Namun yang jelas, ini mengingatkan saya pada The Witch. Namun The Witch punya keuntungan karena skalanya yang sempit; ia sukses berkat setting-nya di masa lampau dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hereditary tak punya keuntungan ini dan jelas sulit bagi Aster untuk membuat situasi yang mencengangkan nanti bisa meyakinkan.
Sekarang, saya bingung. Saya kagum dengan keterampilan pembuatnya. Maksud saya, atmosfernya benar-benar membuat bergidik. Saya juga sangat larut dengan dinamika keluarga Graham. Namun cela logika dasar dan loncatan tone di bagian akhir meninggalkan rasa asam setelah menonton. Mungkin kalau nonton sekali lagi bakal lebih suka.
Eh tunggu, kayaknya tidak jadi deh. Nontonnya capek. ■UP
Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim 'yang terseram', tunggu dulu.
“Who's going to take care of me?” — Charlie Graham
Rating UP: Kita tak bisa memilih dari keluarga mana kita lahir. Ada beberapa hal yang mau tak mau harus kita terima begitu saja. Tak bisa protes, karena itu sudah turunan. Demikianlah yang dialami keluarga Graham. Keluarga ini sepertinya selalu dikutuk dengan kemalangan dalam bentuk penyakit kejiwaan. Hereditary membawa istilah "warisan" ke sisi yang paling ekstrim, dan untuk itu, Ari Aster menyajikannya lewat pendekatan yang sangat intens. Barangkali salah satu film paling intens yang pernah saya tonton. Namun soal klaim "yang terseram", tunggu dulu.
Seram itu relatif. Bagi saya yang anak kosan, hal yang terseram tetaplah tanggal tua. Okefine, garing. Lanjut.
Menyebutnya plek sebagai film horor mungkin akan membuat sebagian penonton kasual kecele. Horor memang, bahkan di satu titik masuk ke ranah supranatural, tapi bukan horor yang berfokus pada hantu-hantuan atau sadis-sadisan belaka. Memang ada adegan penampakan dan barang yang bergerak sendiri serta bagian yang berdarah-darah, namun bukan aktivitas paranormal yang membuat kita takut. Alih-alih, ia menggunakan elemen supranatural untuk mengeksplorasi tragedi emosional. Kita ngeri akan apa yang mungkin bakal menimpa mereka atau apa yang mungkin bakal mereka lakukan.
Ini sukses membuat kita duduk tak nyaman nyaris sepanjang durasi berkat kelihaian pembuatnya dalam membangun atmosfer. Kita langsung bisa menyadari bahwa kita berada di tangan sutradara yang mantap, terlepas dari fakta bahwa ini adalah film panjang pertamanya. Horornya berasal dari sumber teror yang paling hakiki, yaitu realitas jiwa manusia itu sendiri. Namun ini juga membuatnya menjadi film yang pelik. Ia berusaha begitu dekat dengan dunia nyata sampai printilan-printilan cela yang biasanya saya abaikan dalam sebuah film horor tradisional menyentil logika saya berkali-kali, yang jujur saja mengganggu kenikmatan menonton.
Apa yang akan menimpa keluarga Graham, silakan anda temukan sendiri. Tapi saya bisa memberi tahu apa yang baru saja mereka alami. Film dibuka dengan pemakaman. Nenek baru saja meninggal. Meski berduka, Annie (Toni Collette) bilang bahwa ia tak pernah dekat-dekat amat dengan ibunya tersebut. Sang ibu, katanya, adalah orang tertutup yang hanya mau bergaul dengan teman-teman eksklusifnya.
Yang bermasalah bukan cuma si nenek. Anak sulung Annie, Peter (Alex Wolff) adalah remaja canggung yang suka bengong dan ngerokok ganja. Sementara anak bungsunya, Charlie (Milly Shapiro)... sangat aneh. Betul-betul aneh. Ia suka bikin suara "klok" dengan mulut, rajin membuat gambar-gambar seram di buku catatan, dan itu buat apa potongan kepala dari bangkai burung dikantongin. Cuma si ayah (Gabriel Byrne) yang kelihatan agak normal.
Bagaimana dengan Annie? Ia sendiri bahkan tak yakin dengan kesehatan mentalnya. Pernah dulu ia melakukan sesuatu saat sleepwalking yang nyaris membahayakan nyawa kedua anaknya. Di hari biasa, Annie adalah seniman miniatur yang sedang punya proyek komersil, tapi malah membuat membuat miniatur rumahnya sendiri, termasuk reka ulang dari beberapa tragedi yang menimpa keluarganya. Apakah ini perwujudan dari hasratnya yang ingin mengontrol nasib keluarga yang tak bisa ia kendalikan? Atau... atau...
Yang jelas, kematian si nenek memicu kemalangan berturut-turut yang tak terduga buat mereka, yang sebaiknya tak saya ungkap. Film ini bahkan berani mengambil pilihan naratif yang sangat mengejutkan di paruh awal film, saya sampai tak mempercayai apa yang baru saja saya lihat. Setiap tragedi baru terjadi, keluarga ini semakin hancur dan anggotanya semakin menjauh. Kemudian masuklah Joan (Ann Dowd), ibu-ibu simpatik yang baru saja kehilangan anaknya, yang kemudian menunjukkan Annie cara untuk berkomunikasi dengan orang yang sudah mati.
Ada semacam sense of confusion yang terasa hadir, namun agaknya ini disengaja karena Aster menempatkan kita langsung di tengah-tengah keluarga Graham. Setidaknya sampai momen klimaks, kita tak tahu apakah yang kita lihat benar-benar terjadi atau tidak. Yang menuntun kita adalah penampilan kuat dari pemainnya, terutama Collette. Annie Graham adalah karakter yang kompleks, dan Collette sukses membawakannya. Ia mampu berpindah emosi secara ekstrim dalam waktu singkat, bahkan dalam satu adegan. Ini adalah akting yang istimewa, bukan hanya dalam konteks horor saja. Penampilannya menyayat hati. Wolff memberikan akting yang sangat ganjil, tak seperti akting yang biasa kita lihat. Tapi worked dan sangat intens.
Tak hanya urusan aktor, Aster juga mengomandoi penuh filmnya secara teknis. Secara audio-visual, film ini sempurna. Sinematografi suram dari Pawel Pogorzleski, scoring mencekam dari Colin Stetson, dan penguasaan ruang dan tempat oleh Aster menciptakan sensasi kengerian nanggung-nanggung sedap dimana kita selalu mengantisipasi sesuatu yang buruk bakal terjadi. Kita dikondisikan berada di posisi "hampir" sepanjang waktu; tegang tapi berhenti tepat sebelum klimaks. Begitu terus, berulang-ulang. Sedari awal, Aster sudah menanamkan beberapa foreshadowing dan petunjuk untuk membantu kita mencerna detil plot sekaligus memainkan ekspektasi. Dan ketika itu terjadi, ia tak disajikan lewat jumpscares melainkan imagery pembuat syok yang kemungkinan besar akan terpatri lama di benak kita.
Meski begitu, saya tak menyukai film ini sebesar yang saya harapkan. Film ini menjaga ketegangannya hampir selama satu jam lebih, tapi kemudian meloncat keluar rel di paruh akhir. Meteran suspension of disbelief saya sudah hampir lewat batas maksimal saat film beberapa kali menyederhanakan logika demi kenyamanan plot, dan akhirnya jebol juga di bagian klimaks. Saya tak bisa bicara secara detail karena ini mengharuskan saya membeberkan spoiler. Namun yang jelas, ini mengingatkan saya pada The Witch. Namun The Witch punya keuntungan karena skalanya yang sempit; ia sukses berkat setting-nya di masa lampau dan dalam lingkup yang sangat terbatas. Hereditary tak punya keuntungan ini dan jelas sulit bagi Aster untuk membuat situasi yang mencengangkan nanti bisa meyakinkan.
Sekarang, saya bingung. Saya kagum dengan keterampilan pembuatnya. Maksud saya, atmosfernya benar-benar membuat bergidik. Saya juga sangat larut dengan dinamika keluarga Graham. Namun cela logika dasar dan loncatan tone di bagian akhir meninggalkan rasa asam setelah menonton. Mungkin kalau nonton sekali lagi bakal lebih suka.
Eh tunggu, kayaknya tidak jadi deh. Nontonnya capek. ■UP