Friday, May 15, 2015

Review Film: 'Monsters: Dark Continent' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Monsters: Dark Continent' (2015)
link : Review Film: 'Monsters: Dark Continent' (2015)

Baca juga


Mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini adalah film perang klise dengan narasi yang hambar dan tak koheren, yang kemudian dijual dengan tempelan judul 'Monsters'.

“Fear has evolved.”
Di tahun 2010, Gareth Edwards membuat sebuah film drama indie berlatar invasi alien berjudul Monsters dengan bujet kecil dan kru yang minim. Walau tak menjadi hit, film tersebut bisa dibilang cukup sukses, sehingga mengantarkan Edward ke jalur mainstream dengan menyutradarai remake Godzilla. Vertigo Films kemudian membuat sekuelnya yang berjudul Monsters: Dark Continent. Namun kali ini posisi sutradara digantikan oleh sutradara debutan Tom Green.

Meskipun disebut sekuel, namun film ini sama sekali tak berhubungan langsung dengan film pertamanya, selain setting invasi aliennya. Masih mengambil formula yang sama dengan film pertama yang berfokus pada drama karakter dengan alien di latar belakang cerita, kisah dimulai 10 tahun setelah kejadian dalam Monsters, dimana saat ini Zona Berbahaya telah meluas ke seluruh dunia.

Salah satu daerah yang mengalami invasi cukup parah adalah di Timur Tengah. Sejauh ini, militer Amerika mencoba membantu untuk memusnahkan alien tersebut dengan serangan udara. Sementara itu, sepasukan kecil tentara Amerika ditugaskan untuk menyelamatkan rekan mereka yang tengah terjebak di Zona Berbahaya.


Nah, tentu situasi menjadi rumit (dan sedikit membingungkan bagi penonton), karena disini para tentara tersebut harus menyelesaikan misi mereka sekaligus berhadapan dengan para pemberontak Timur Tengah (anda tahu kenapa) sekaligus harus menghadapi alien raksasa.

Dengan bujet yang lebih besar, Green tahu benar memanfaatkannya untuk meningkatkan production value. Properti yang digunakan beserta efek ledakan dan adegan aksi peperangan di gurun dibuat dengan cukup baik. Alien (yang di film ini diistilahkan denga MTR) mendapatkan porsi tampil sedikit lebih banyak dibanding film pertamanya dan dirender dengan detail yang cukup impresif. Sinematografer Christopher Ross menangkap gambar lanskap gurun dan adegan aksi menggunakan kamera widescreen dengan mengagumkan, mengingatkan kita dengan fotografi dalam The Hurt Locker, membuat film ini terlihat lebih baik, (paling tidak) secara visual.

Hanya saja, Green yang menulis naskah bersama Jay Basu tak tahu bagaimana menangani cerita. Mereka bermaksud mengambil formula film pertama yang fokus pada karakter. Di film pertama, Edwards memang berfokus pada drama pasangan yang ingin menyeberang dari Meksiko ke daerah aman di Amerika, namun pengaruh alien cukup krusial selama perjalanan mereka. Sementara pada Dark Continent, selain konfrontasi perdana para tentara kita dengan monster tersebut, nyaris tak ada pengaruh yang signifikan antara jalan cerita dengan eksistensi alien, seolah Green hanya bermaksud menjadikannya tempelan.

Film dibuka dengan narasi depresif dari Michael (Sam Keeley) yang tengah membuang pelurunya di pinggiran Detroit, mencoba menunjukkan tekanan mental berat yang dialami tentara sebelum terjun ke lapangan. Berikutnya kita melihat karakter lain Sean (Park Sawyers) yang baru punya anak, Frankie (Joe Dempsie), yang tengah "bercengkerama" dengan pacarnya, serta Karl Inkelaar (Kyle Soller). Singkat cerita, mereka mendapat misi yang dipimpin oleh tentara senior Sersan Frater (Johnny Harris) dan Sersan Forrest (Nicholas Pinnock) yang sangat hobi berteriak dengan sumpah serapah.

Setelah kurang lebih 40 menit menghabiskan waktu untuk menjelaskan karakter para tokoh yang stereotip tersebut, akhirnya masuklah kita ke inti yang menjadi alasan kenapa kita ingin menonton film ini. Setidaknya begitulah saya pikir pada awalnya. Selanjutnya kita disajikan dengan adegan klise film perang-perangan ala Black Hawk Down, dimana pasukan kecil ini terjebak di area musuh dan satu anggotanya terluka parah. Sebegitu klisenya, sehingga terasa hambar dan membosankan.

Paruh keduanya menyuguhkan narasi yang sama sekali berbeda, karena kali ini 2 tentara yang tersisa masuk ke daerah musuh, dimana salah satunya adalah Sersan Frater. Sersan Frater adalah tentara senior yang saking banyaknya melakukan misi, hingga mengalami trauma perang. Sedikit banyak mirip dengan karakter Jeremy Renner-nya The Hurt Locker. Tapi pada akhirnya tetap saja terasa hambar, karena karakternya dari awal tak terbentuk dengan baik.

Dengan durasi 2 jam, saya nyaris lupa dengan keberadaan aliennya, hingga adegan penutup yang cukup fantastis. Hanya mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini terkesan menjadi gabungan The Hurt Locker dan Black Hawk Down wannabe, yang kemudian dijual dengan tempelan judul Monsters. Debut yang mengecewakan untuk ukuran film dengan tata produksi yang cukup tinggi. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Monsters: Dark Continent' |
|

IMDb | Rottentomatoes
119 menit | Dewasa

Sutradara Tom Green
Penulis Jay Basu
Pemain Johnny Harris, Sam Keeley, Joe Dempsie

Mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini adalah film perang klise dengan narasi yang hambar dan tak koheren, yang kemudian dijual dengan tempelan judul 'Monsters'.

“Fear has evolved.”
Di tahun 2010, Gareth Edwards membuat sebuah film drama indie berlatar invasi alien berjudul Monsters dengan bujet kecil dan kru yang minim. Walau tak menjadi hit, film tersebut bisa dibilang cukup sukses, sehingga mengantarkan Edward ke jalur mainstream dengan menyutradarai remake Godzilla. Vertigo Films kemudian membuat sekuelnya yang berjudul Monsters: Dark Continent. Namun kali ini posisi sutradara digantikan oleh sutradara debutan Tom Green.

Meskipun disebut sekuel, namun film ini sama sekali tak berhubungan langsung dengan film pertamanya, selain setting invasi aliennya. Masih mengambil formula yang sama dengan film pertama yang berfokus pada drama karakter dengan alien di latar belakang cerita, kisah dimulai 10 tahun setelah kejadian dalam Monsters, dimana saat ini Zona Berbahaya telah meluas ke seluruh dunia.

Salah satu daerah yang mengalami invasi cukup parah adalah di Timur Tengah. Sejauh ini, militer Amerika mencoba membantu untuk memusnahkan alien tersebut dengan serangan udara. Sementara itu, sepasukan kecil tentara Amerika ditugaskan untuk menyelamatkan rekan mereka yang tengah terjebak di Zona Berbahaya.


Nah, tentu situasi menjadi rumit (dan sedikit membingungkan bagi penonton), karena disini para tentara tersebut harus menyelesaikan misi mereka sekaligus berhadapan dengan para pemberontak Timur Tengah (anda tahu kenapa) sekaligus harus menghadapi alien raksasa.

Dengan bujet yang lebih besar, Green tahu benar memanfaatkannya untuk meningkatkan production value. Properti yang digunakan beserta efek ledakan dan adegan aksi peperangan di gurun dibuat dengan cukup baik. Alien (yang di film ini diistilahkan denga MTR) mendapatkan porsi tampil sedikit lebih banyak dibanding film pertamanya dan dirender dengan detail yang cukup impresif. Sinematografer Christopher Ross menangkap gambar lanskap gurun dan adegan aksi menggunakan kamera widescreen dengan mengagumkan, mengingatkan kita dengan fotografi dalam The Hurt Locker, membuat film ini terlihat lebih baik, (paling tidak) secara visual.

Hanya saja, Green yang menulis naskah bersama Jay Basu tak tahu bagaimana menangani cerita. Mereka bermaksud mengambil formula film pertama yang fokus pada karakter. Di film pertama, Edwards memang berfokus pada drama pasangan yang ingin menyeberang dari Meksiko ke daerah aman di Amerika, namun pengaruh alien cukup krusial selama perjalanan mereka. Sementara pada Dark Continent, selain konfrontasi perdana para tentara kita dengan monster tersebut, nyaris tak ada pengaruh yang signifikan antara jalan cerita dengan eksistensi alien, seolah Green hanya bermaksud menjadikannya tempelan.

Film dibuka dengan narasi depresif dari Michael (Sam Keeley) yang tengah membuang pelurunya di pinggiran Detroit, mencoba menunjukkan tekanan mental berat yang dialami tentara sebelum terjun ke lapangan. Berikutnya kita melihat karakter lain Sean (Park Sawyers) yang baru punya anak, Frankie (Joe Dempsie), yang tengah "bercengkerama" dengan pacarnya, serta Karl Inkelaar (Kyle Soller). Singkat cerita, mereka mendapat misi yang dipimpin oleh tentara senior Sersan Frater (Johnny Harris) dan Sersan Forrest (Nicholas Pinnock) yang sangat hobi berteriak dengan sumpah serapah.

Setelah kurang lebih 40 menit menghabiskan waktu untuk menjelaskan karakter para tokoh yang stereotip tersebut, akhirnya masuklah kita ke inti yang menjadi alasan kenapa kita ingin menonton film ini. Setidaknya begitulah saya pikir pada awalnya. Selanjutnya kita disajikan dengan adegan klise film perang-perangan ala Black Hawk Down, dimana pasukan kecil ini terjebak di area musuh dan satu anggotanya terluka parah. Sebegitu klisenya, sehingga terasa hambar dan membosankan.

Paruh keduanya menyuguhkan narasi yang sama sekali berbeda, karena kali ini 2 tentara yang tersisa masuk ke daerah musuh, dimana salah satunya adalah Sersan Frater. Sersan Frater adalah tentara senior yang saking banyaknya melakukan misi, hingga mengalami trauma perang. Sedikit banyak mirip dengan karakter Jeremy Renner-nya The Hurt Locker. Tapi pada akhirnya tetap saja terasa hambar, karena karakternya dari awal tak terbentuk dengan baik.

Dengan durasi 2 jam, saya nyaris lupa dengan keberadaan aliennya, hingga adegan penutup yang cukup fantastis. Hanya mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini terkesan menjadi gabungan The Hurt Locker dan Black Hawk Down wannabe, yang kemudian dijual dengan tempelan judul Monsters. Debut yang mengecewakan untuk ukuran film dengan tata produksi yang cukup tinggi. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Monsters: Dark Continent' |
|

IMDb | Rottentomatoes
119 menit | Dewasa

Sutradara Tom Green
Penulis Jay Basu
Pemain Johnny Harris, Sam Keeley, Joe Dempsie

Review Film: 'Mad Max: Fury Road' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Mad Max: Fury Road' (2015)
link : Review Film: 'Mad Max: Fury Road' (2015)

Baca juga


Liar dan brutal. 'Mad Max: Fury Road' adalah film aksi beradrenalin tinggi yang merupakan pencapaian teknis mengagumkan dengan skala yang lebih megah dibandingkan film pendahulunya.

“My name is Max. My world is fire. And blood.”
— Max Rockatansky
Butuh waktu 3 dekade bagi sutradara George Miller untuk melanjutkan kisah Max Rockatansky dari 3 film yang tak hanya membuat Mel Gibson menjadi bintang, namun juga mendefinisikan ulang tentang film bergenre post-apocalyptic dengan stunt dan desain produksi mengagumkan. Film keempatnya yang berjudul Mad Max: Fury Road adalah film aksi dengan pencapaian teknis tinggi dengan skala yang lebih megah dibanding pendahulunya. Film yang harus dirasakan sendiri melalui layar lebar.

Sangat kentara sekali Fury Road mengambil inspirasi dari film kedua (dan terbaik) dari seri Mad Max yaitu The Road Warrior yang terkenal dengan adegan kejar-kejaran mobil yang monumental. Namun naskah yang ditulis Miller bersama Brendan McCarthy dan Nico Lathouris juga sedikit mengangkat sensitivitas dari Beyond Thunderdome, kali ini dengan porsi yang lebih pas dan proporsional (meski banyak juga yang bilang terlalu sedikit).

Tak perlu menonton film sebelumnya untuk masuk ke dalam dunia post-apocalyptic Mad Max karena Miller dengan efektif menggambarkan bagaimana kacaunya masa depan tersebut sekaligus menyuguhkan kisah masa lalu Max melalui cuplikan-cuplikan sekilas.

Kita tahu apa yang akan kita lahap, saat Max (Tom Hardy) dikejar dan ditangkap oleh geng dengan dandanan aneh yang menamakan diri sebagai War Boys dalam sebuah adegan pengejaran yang cukup intens. War Boys ternyata adalah pasukan dari penguasa lalim bernama Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne, yang juga memerankan Toecutter dalam film pertama Mad Max). Immortan Joe memimpin dengan mengendalikan sumber daya air dan mencuci otak War Boys dengan kepercayaan bahwa hidup adalah fana dan tujuan akhir adalah Valhalla. Max dirantai dan digunakan sebagai "kantong darah universal" yang menyediakan darah bagi seorang War Boys penyakitan bernama Nux (Nicholas Hoult).


Sementara Max dipasung, seorang bawahan Immortan Joe bernama Imperator Furiosa (Charlize Theron) yang mendapat misi untuk mengambil minyak dengan kendaraan War Rig, membelot dan membawa kabur 5 orang istrinya yang dijadikan budak penghasil keturunan. Joe memimpin pasukan untuk mengejar Furiosa dengan bantuan rekan-rekannya dari Gas Town dan Bullet Farm. Nux bergabung dengan pasukan tersebut dengan Max yang diikat di bagian depan mobil agar tetap terus bisa memasok darah. Konfrontasi berbagai macam pihak dengan adegan-adegan ekstrim membuat Furiosa dan Max akhirnya berhadapan satu lawan satu dan harus memutuskan apakah mereka akan saling bunuh atau saling bantu, dengan menyajikan salah satu adegan laga kompleks yang melibatkan Nux dan 5 selir Joe.

Cerita selanjutnya sebaiknya tak saya beberkan. Yang pasti, anda akan disajikan dengan tontonan yang liar, brutal, dan absurd. Scene dimana antek Joe yang berada di tengah perang dengan gitar elektrik yang bisa menghasilkan api adalah salah satu hal absurd yang terlihat konyol dan keren di saat bersamaan.

Walau namanya nampang di judul, Max hanya duduk di kursi penumpang dalam Fury Road, karena yang menjadi sorotan adalah Furiosa. Di dunia sangat macho ini, Fury Road sedikit menyelipkan pesan feminisme dengan menghadirkan seorang wanita tangguh yang diperankan dengan luar biasa oleh Charlize Theron. Furiosa lah yang memberi jalan cerita sekaligus motif yang menjadi pesan utama: penebusan.

Saya tak bisa bilang pemeran tokoh antagonis bermain dengan baik. Sebagian besar dari mereka adalah karakter one-note dengan kepribadian stereotip dan saya rasa hal tersebut tak masalah karena naskah tak menuntut demikian.

Meski mengangkat premis yang cukup serius dimana di masa depan manusia tak lagi punya hukum demi memperebutkan sumber daya seperti minyak dan air, seri Mad Max bukan dikenang karena plotnya. Begitu juga halnya dengan Fury Road yang tak punya plot rumit, alih-alih penonton akan disajikan dengan adegan aksi spektakuler non-stop hingga akhir.

Dengan durasi 2 jam, hampir sebagian besar dari film ini adalah kejar-kejaran mobil berkecepatan tinggi dengan penggunaan properti ekstrim seperti tombak, pisau, pistol, hingga chainsaw. Kita hanya bisa menarik napas sejenak saat para tokoh beristirahat atau sedang berdialog dan kemudian Fury Road kembali memacu jantung penonton dengan kejar-kejaran, tabrakan, dan ledakan di gurun Namibia.

Banyak hal yang bisa diapresiasi dari Fury Road. Desain produksi adalah hal yang paling mencolok. Bisa dilihat dari desain properti yang sangat mendetail, mulai dari pakaian yang dipakai, make-up karakter, hingga kendaraan yang dipakai yang dimodifikasi dengan drastis memberikan nuansa steam punk. Yang paling mencengangkan adalah penggunaan practical effects yang berarti bahwa semua adegan stunts, kejar-kejaran, dan ledakan yang anda lihat benar-benar terjadi dan dibuat langsung tanpa efek CGI (dengan pengecualian adegan badai pasir dan beberapa CGI yang digunakan untuk "menghapus" tali pengaman). Sulit dibayangkan bagaimana orang bisa membuat film seperti ini.

Waktu 30 tahun dan pernah sedikit berubah haluan dengan menyutradarai film anak-anak, tak membuat Miller kehilangan sentuhan magisnya menangani film aksi beradrenalin tinggi. Semua adegan laga dan kejar-kejaran yang kompleks dikoreografi dengan baik dan mendetail. Mungkin harus ditonton berulang-ulang agar tak melewatkan apa yang terjadi. Namun semuanya diatur sedemikian rupa sehingga tak terkesan berantakan. Tak hanya menjual ledakan, Miller menjaga kestabilan pacing dan momentum sehingga adegannya tak terkesan repetitif.

Adegan kejar-kejaran pertama antara gerombolan Immortan Joe dengan Furiosa begitu intens dan saya pikir ini adalah adegan terbaiknya. Namun ternyata adegan tersebut hanyalah pemanasan, karena setelahnya Fury Road menyajikan aksi yang lebih gila lagi.

Dibantu dengan sinematografer John Seale, Fury Road tak menggunakan metode kamera yang bergoyang-goyang untuk menciptakan tensi, malah mengambil long-shot untuk menekankan betapa kolosal, luasnya dimensi, dan begitu banyaknya hal yang terjadi di saat bersamaan. Masa depan versi Miller bukanlah dunia dengan warna yang didesaturisasi menjadi suram, melainkan menggunakan orange terang berkontras tinggi, dan anda tetap bisa merasakan atmosfer post-apocalyptic-nya. Scoring dari Junkie XL dengan suara distorsi gitar dan dentuman drum mencoba menggambarkan betapa "kasar" nya dunia Mad Max, meski di beberapa titik terkesan agak berlebihan.

Menonton film ini, anda akan menyadari betapa menjenuhkannya film-film blockbuster jaman sekarang dengan semua efek palsunya. Seperti bermaksud meledek film-film tersebut, Miller menggunakan bujet masif sebesar $150 dengan memberikan penonton sebuah sajian visual beradrenalin tinggi yang estetis, yang membuat film semacam Furious 7 jatuh ke level kacangan. Fury Road adalah film aksi dengan pencapaian teknis mengagumkan yang seharusnya menjadi contoh bagi filmmaker aksi lain. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem


'Mad Max: Fury Road' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Remaja

Sutradara George Miller
Penulis George Miller, Brendan McCarthy, Nico Lathouris
Pemain Tom Hardy, Charlize Theron, Nicholas Hoult, Hugh Keays-Byrne, Rosie Huntington-Whiteley

Liar dan brutal. 'Mad Max: Fury Road' adalah film aksi beradrenalin tinggi yang merupakan pencapaian teknis mengagumkan dengan skala yang lebih megah dibandingkan film pendahulunya.

“My name is Max. My world is fire. And blood.”
— Max Rockatansky
Butuh waktu 3 dekade bagi sutradara George Miller untuk melanjutkan kisah Max Rockatansky dari 3 film yang tak hanya membuat Mel Gibson menjadi bintang, namun juga mendefinisikan ulang tentang film bergenre post-apocalyptic dengan stunt dan desain produksi mengagumkan. Film keempatnya yang berjudul Mad Max: Fury Road adalah film aksi dengan pencapaian teknis tinggi dengan skala yang lebih megah dibanding pendahulunya. Film yang harus dirasakan sendiri melalui layar lebar.

Sangat kentara sekali Fury Road mengambil inspirasi dari film kedua (dan terbaik) dari seri Mad Max yaitu The Road Warrior yang terkenal dengan adegan kejar-kejaran mobil yang monumental. Namun naskah yang ditulis Miller bersama Brendan McCarthy dan Nico Lathouris juga sedikit mengangkat sensitivitas dari Beyond Thunderdome, kali ini dengan porsi yang lebih pas dan proporsional (meski banyak juga yang bilang terlalu sedikit).

Tak perlu menonton film sebelumnya untuk masuk ke dalam dunia post-apocalyptic Mad Max karena Miller dengan efektif menggambarkan bagaimana kacaunya masa depan tersebut sekaligus menyuguhkan kisah masa lalu Max melalui cuplikan-cuplikan sekilas.

Kita tahu apa yang akan kita lahap, saat Max (Tom Hardy) dikejar dan ditangkap oleh geng dengan dandanan aneh yang menamakan diri sebagai War Boys dalam sebuah adegan pengejaran yang cukup intens. War Boys ternyata adalah pasukan dari penguasa lalim bernama Immortan Joe (Hugh Keays-Byrne, yang juga memerankan Toecutter dalam film pertama Mad Max). Immortan Joe memimpin dengan mengendalikan sumber daya air dan mencuci otak War Boys dengan kepercayaan bahwa hidup adalah fana dan tujuan akhir adalah Valhalla. Max dirantai dan digunakan sebagai "kantong darah universal" yang menyediakan darah bagi seorang War Boys penyakitan bernama Nux (Nicholas Hoult).


Sementara Max dipasung, seorang bawahan Immortan Joe bernama Imperator Furiosa (Charlize Theron) yang mendapat misi untuk mengambil minyak dengan kendaraan War Rig, membelot dan membawa kabur 5 orang istrinya yang dijadikan budak penghasil keturunan. Joe memimpin pasukan untuk mengejar Furiosa dengan bantuan rekan-rekannya dari Gas Town dan Bullet Farm. Nux bergabung dengan pasukan tersebut dengan Max yang diikat di bagian depan mobil agar tetap terus bisa memasok darah. Konfrontasi berbagai macam pihak dengan adegan-adegan ekstrim membuat Furiosa dan Max akhirnya berhadapan satu lawan satu dan harus memutuskan apakah mereka akan saling bunuh atau saling bantu, dengan menyajikan salah satu adegan laga kompleks yang melibatkan Nux dan 5 selir Joe.

Cerita selanjutnya sebaiknya tak saya beberkan. Yang pasti, anda akan disajikan dengan tontonan yang liar, brutal, dan absurd. Scene dimana antek Joe yang berada di tengah perang dengan gitar elektrik yang bisa menghasilkan api adalah salah satu hal absurd yang terlihat konyol dan keren di saat bersamaan.

Walau namanya nampang di judul, Max hanya duduk di kursi penumpang dalam Fury Road, karena yang menjadi sorotan adalah Furiosa. Di dunia sangat macho ini, Fury Road sedikit menyelipkan pesan feminisme dengan menghadirkan seorang wanita tangguh yang diperankan dengan luar biasa oleh Charlize Theron. Furiosa lah yang memberi jalan cerita sekaligus motif yang menjadi pesan utama: penebusan.

Saya tak bisa bilang pemeran tokoh antagonis bermain dengan baik. Sebagian besar dari mereka adalah karakter one-note dengan kepribadian stereotip dan saya rasa hal tersebut tak masalah karena naskah tak menuntut demikian.

Meski mengangkat premis yang cukup serius dimana di masa depan manusia tak lagi punya hukum demi memperebutkan sumber daya seperti minyak dan air, seri Mad Max bukan dikenang karena plotnya. Begitu juga halnya dengan Fury Road yang tak punya plot rumit, alih-alih penonton akan disajikan dengan adegan aksi spektakuler non-stop hingga akhir.

Dengan durasi 2 jam, hampir sebagian besar dari film ini adalah kejar-kejaran mobil berkecepatan tinggi dengan penggunaan properti ekstrim seperti tombak, pisau, pistol, hingga chainsaw. Kita hanya bisa menarik napas sejenak saat para tokoh beristirahat atau sedang berdialog dan kemudian Fury Road kembali memacu jantung penonton dengan kejar-kejaran, tabrakan, dan ledakan di gurun Namibia.

Banyak hal yang bisa diapresiasi dari Fury Road. Desain produksi adalah hal yang paling mencolok. Bisa dilihat dari desain properti yang sangat mendetail, mulai dari pakaian yang dipakai, make-up karakter, hingga kendaraan yang dipakai yang dimodifikasi dengan drastis memberikan nuansa steam punk. Yang paling mencengangkan adalah penggunaan practical effects yang berarti bahwa semua adegan stunts, kejar-kejaran, dan ledakan yang anda lihat benar-benar terjadi dan dibuat langsung tanpa efek CGI (dengan pengecualian adegan badai pasir dan beberapa CGI yang digunakan untuk "menghapus" tali pengaman). Sulit dibayangkan bagaimana orang bisa membuat film seperti ini.

Waktu 30 tahun dan pernah sedikit berubah haluan dengan menyutradarai film anak-anak, tak membuat Miller kehilangan sentuhan magisnya menangani film aksi beradrenalin tinggi. Semua adegan laga dan kejar-kejaran yang kompleks dikoreografi dengan baik dan mendetail. Mungkin harus ditonton berulang-ulang agar tak melewatkan apa yang terjadi. Namun semuanya diatur sedemikian rupa sehingga tak terkesan berantakan. Tak hanya menjual ledakan, Miller menjaga kestabilan pacing dan momentum sehingga adegannya tak terkesan repetitif.

Adegan kejar-kejaran pertama antara gerombolan Immortan Joe dengan Furiosa begitu intens dan saya pikir ini adalah adegan terbaiknya. Namun ternyata adegan tersebut hanyalah pemanasan, karena setelahnya Fury Road menyajikan aksi yang lebih gila lagi.

Dibantu dengan sinematografer John Seale, Fury Road tak menggunakan metode kamera yang bergoyang-goyang untuk menciptakan tensi, malah mengambil long-shot untuk menekankan betapa kolosal, luasnya dimensi, dan begitu banyaknya hal yang terjadi di saat bersamaan. Masa depan versi Miller bukanlah dunia dengan warna yang didesaturisasi menjadi suram, melainkan menggunakan orange terang berkontras tinggi, dan anda tetap bisa merasakan atmosfer post-apocalyptic-nya. Scoring dari Junkie XL dengan suara distorsi gitar dan dentuman drum mencoba menggambarkan betapa "kasar" nya dunia Mad Max, meski di beberapa titik terkesan agak berlebihan.

Menonton film ini, anda akan menyadari betapa menjenuhkannya film-film blockbuster jaman sekarang dengan semua efek palsunya. Seperti bermaksud meledek film-film tersebut, Miller menggunakan bujet masif sebesar $150 dengan memberikan penonton sebuah sajian visual beradrenalin tinggi yang estetis, yang membuat film semacam Furious 7 jatuh ke level kacangan. Fury Road adalah film aksi dengan pencapaian teknis mengagumkan yang seharusnya menjadi contoh bagi filmmaker aksi lain. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem


'Mad Max: Fury Road' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Remaja

Sutradara George Miller
Penulis George Miller, Brendan McCarthy, Nico Lathouris
Pemain Tom Hardy, Charlize Theron, Nicholas Hoult, Hugh Keays-Byrne, Rosie Huntington-Whiteley

Review Film: 'The Lazarus Effect' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Lazarus Effect' (2015)
link : Review Film: 'The Lazarus Effect' (2015)

Baca juga


Premis di awal cukup menjanjikan, namun semakin ke belakang terasa membosankan dengan adegan-adegan klise, hingga pada akhirnya film ini tak bisa keluar dari kastanya sebagai film horor kelas B.

““Evil will rise.”
Konsep cerita "bangkit dari kematian" bukanlah barang baru dalam perfilman Hollywood, mulai dari Frankenstein, Re-animator, hingga Flatliners. Dan sekarang muncul lagi film berpremis sama dengan judul The Lazarus Effect dari rumah produksi Blumhouse yang sukses mendirikan franchise Paranormal Activity, Insidious, dan Sinister. Dengan konsep yang bisa dibilang basi, tak ada hal baru yang ditawarkan The Lazarus Effect selain deretan cast yang cukup terkenal.

Film dibuka dengan gaya found-footage dimana sekelompok peneliti muda — Frank (Mark Duplass), Zoe (Olivia Wilde), Niko (Donald Glover), Clay (Evan Peters), dan videografer Eva (Sarah Bolger) — tengah melakukan riset membangkitkan babi yang telah mati dengan serum buatan mereka yang diberi nama "Lazarus". Awalnya tak berhasil, namun setelah beberapa waktu babi tersebut bergerak sesaat, sehingga peneliti kita melanjutkan riset tersebut, kali ini dengan obyek anjing. Percobaan pada anjing tersebut sukses, dimana si anjing bisa bertahan hidup. Namun, mereka menyadari bahwa terjadi perubahan pada perilakunya yang disebabkan karena rekonstruksi saraf di otak.

Karena suatu alasan (yang bodoh), riset mereka dihentikan oleh perusahaan dan semua materi disita. Frank dan timnya kemudian menyelinap kembali ke lab untuk merekam eksperiman agar bisa mengklaim keberhasilan mereka. Terjadi sedikit kesalahan, yang menyebabkan Zoe meninggal dunia. Frank kemudian berusaha menghidupkannya kembali dengan serum Lazarus, yang berujung pada bangkitnya Zoe dengan kekuatan mengerikan.


Dengan durasi yang hanya 83 menit, The Lazarus Effect tak ingin membuang waktu penonton dan langsung to the point. Meski bisa dibilang tak bertele-tele, namun tetap saja menjenuhkan karena tak ada hal baru yang ditawarkan selain jump-scares stereotip ala film horor kelas B. Tak ada adegan yang benar-benar menyeramkan. Apalagi nuansa filmnya yang cenderung bloodless agar sesuai dengan ratingnya yang PG-13 (remaja).

Film ini merupakan debut film layar lebar bagi David Gelb setelah memperoleh nama dari film dokumenternya Jiro Dreams of Sushi. Film tersebut terkenal karena narasinya yang dalam dan punya warna tersendiri. Namun talentanya tak terlihat disini, karena The Lazarus Effect nyaris tak punya identitas.

Di beberapa poin, saya merasa film ini mencoba mengangkat tema filsofis yang cukup berat dengan menyinggung konsep manusia yang bermain-main sebagai Tuhan. Namun pada akhirnya, saya tak terlalu peduli dengan tema tersebut, karena Luke Dawson dan Jeremy Slater yang menulis naskah pun terkesan tak peduli. Alur filmnya dibuat generik dengan cerita yang sangat mirip seperti Frankenstein dan Flatliners.

Anggota tim peneliti sempat sedikit berdebat mengenai "sains vs Tuhan" di awal (dengan jargon teknis yang tak terlihat canggih namun tak bermakna) dan ini merupakan pendekatan yang cukup segar bagi premis klise film, hingga akhirnya saat transformasi Zoe, film ini menjadi film slasher standar.

Penampilan para aktor rata-rata dengan karakterisasi yang tak tergali, termasuk karakter yang dimainkan Duplass. Sangat disayangkan, karena karakter Frank bisa lebih dieskplorasi lagi mengingat hubungan asmaranya dengan Zoe dan konflik batinnya untuk membangkitkan Zoe. Wilde mendapat porsi lebih banyak. Aktingnya tak terlalu spesial, namun dengan karakternya yang punya kekuatan pikiran setelah dibangkitkan (seperti telekinesis, membaca pikiran, dan memberi ilusi bagi orang lain), Wilde punya kesempatan untuk tampil lebih memorable dibanding tokoh lainnya. Ditampilkan juga sedikit backstory untuk memberikan sedikit lapisan emosional, namun pada akhirnya terkesan tak relevan.

Secara teknis film ini tak jelek-jelek amat. Efek visual dan transformasi Zoe cukup bagus, jika tidak ingin dibilang standar. Salah satu yang menarik adalah adegan seorang rekan Zoe yang dibunuhnya di dalam loker melalui kekuatan pikiran yang disuguhkan dengan efek yang tak sadis secara visual, namun cukup membuat bergidik. Scoring dari Sarah Schachner juga cukup pas, dengan dentuman yang sesuai terhadap jump scares yang disajikan.

Akhir kata, film ini tak bisa mengangkat kualitasnya menjadi lebih dari sekedar horor kelas B. Premis di awal cukup menjanjikan, namun semakin ke belakang terasa membosankan dengan adegan-adegan klise. Sangat disayangkan bakat yang telah tersia-siakan. Ending film ini menggantung dan ada kemungkinan dibuat sekuel, namun semoga yang satu tetap dibiarkan mati dan jangan dibangkitkan kembali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Lazarus Effect' |
|

IMDb | Rottentomatoes
83 menit | Remaja

Sutradara David Gelb
Penulis Luke Dawson, Jeremy Slater
Pemain Mark Duplass, Olivia Wilde, Donald Glover, Evan Peters

Premis di awal cukup menjanjikan, namun semakin ke belakang terasa membosankan dengan adegan-adegan klise, hingga pada akhirnya film ini tak bisa keluar dari kastanya sebagai film horor kelas B.

““Evil will rise.”
Konsep cerita "bangkit dari kematian" bukanlah barang baru dalam perfilman Hollywood, mulai dari Frankenstein, Re-animator, hingga Flatliners. Dan sekarang muncul lagi film berpremis sama dengan judul The Lazarus Effect dari rumah produksi Blumhouse yang sukses mendirikan franchise Paranormal Activity, Insidious, dan Sinister. Dengan konsep yang bisa dibilang basi, tak ada hal baru yang ditawarkan The Lazarus Effect selain deretan cast yang cukup terkenal.

Film dibuka dengan gaya found-footage dimana sekelompok peneliti muda — Frank (Mark Duplass), Zoe (Olivia Wilde), Niko (Donald Glover), Clay (Evan Peters), dan videografer Eva (Sarah Bolger) — tengah melakukan riset membangkitkan babi yang telah mati dengan serum buatan mereka yang diberi nama "Lazarus". Awalnya tak berhasil, namun setelah beberapa waktu babi tersebut bergerak sesaat, sehingga peneliti kita melanjutkan riset tersebut, kali ini dengan obyek anjing. Percobaan pada anjing tersebut sukses, dimana si anjing bisa bertahan hidup. Namun, mereka menyadari bahwa terjadi perubahan pada perilakunya yang disebabkan karena rekonstruksi saraf di otak.

Karena suatu alasan (yang bodoh), riset mereka dihentikan oleh perusahaan dan semua materi disita. Frank dan timnya kemudian menyelinap kembali ke lab untuk merekam eksperiman agar bisa mengklaim keberhasilan mereka. Terjadi sedikit kesalahan, yang menyebabkan Zoe meninggal dunia. Frank kemudian berusaha menghidupkannya kembali dengan serum Lazarus, yang berujung pada bangkitnya Zoe dengan kekuatan mengerikan.


Dengan durasi yang hanya 83 menit, The Lazarus Effect tak ingin membuang waktu penonton dan langsung to the point. Meski bisa dibilang tak bertele-tele, namun tetap saja menjenuhkan karena tak ada hal baru yang ditawarkan selain jump-scares stereotip ala film horor kelas B. Tak ada adegan yang benar-benar menyeramkan. Apalagi nuansa filmnya yang cenderung bloodless agar sesuai dengan ratingnya yang PG-13 (remaja).

Film ini merupakan debut film layar lebar bagi David Gelb setelah memperoleh nama dari film dokumenternya Jiro Dreams of Sushi. Film tersebut terkenal karena narasinya yang dalam dan punya warna tersendiri. Namun talentanya tak terlihat disini, karena The Lazarus Effect nyaris tak punya identitas.

Di beberapa poin, saya merasa film ini mencoba mengangkat tema filsofis yang cukup berat dengan menyinggung konsep manusia yang bermain-main sebagai Tuhan. Namun pada akhirnya, saya tak terlalu peduli dengan tema tersebut, karena Luke Dawson dan Jeremy Slater yang menulis naskah pun terkesan tak peduli. Alur filmnya dibuat generik dengan cerita yang sangat mirip seperti Frankenstein dan Flatliners.

Anggota tim peneliti sempat sedikit berdebat mengenai "sains vs Tuhan" di awal (dengan jargon teknis yang tak terlihat canggih namun tak bermakna) dan ini merupakan pendekatan yang cukup segar bagi premis klise film, hingga akhirnya saat transformasi Zoe, film ini menjadi film slasher standar.

Penampilan para aktor rata-rata dengan karakterisasi yang tak tergali, termasuk karakter yang dimainkan Duplass. Sangat disayangkan, karena karakter Frank bisa lebih dieskplorasi lagi mengingat hubungan asmaranya dengan Zoe dan konflik batinnya untuk membangkitkan Zoe. Wilde mendapat porsi lebih banyak. Aktingnya tak terlalu spesial, namun dengan karakternya yang punya kekuatan pikiran setelah dibangkitkan (seperti telekinesis, membaca pikiran, dan memberi ilusi bagi orang lain), Wilde punya kesempatan untuk tampil lebih memorable dibanding tokoh lainnya. Ditampilkan juga sedikit backstory untuk memberikan sedikit lapisan emosional, namun pada akhirnya terkesan tak relevan.

Secara teknis film ini tak jelek-jelek amat. Efek visual dan transformasi Zoe cukup bagus, jika tidak ingin dibilang standar. Salah satu yang menarik adalah adegan seorang rekan Zoe yang dibunuhnya di dalam loker melalui kekuatan pikiran yang disuguhkan dengan efek yang tak sadis secara visual, namun cukup membuat bergidik. Scoring dari Sarah Schachner juga cukup pas, dengan dentuman yang sesuai terhadap jump scares yang disajikan.

Akhir kata, film ini tak bisa mengangkat kualitasnya menjadi lebih dari sekedar horor kelas B. Premis di awal cukup menjanjikan, namun semakin ke belakang terasa membosankan dengan adegan-adegan klise. Sangat disayangkan bakat yang telah tersia-siakan. Ending film ini menggantung dan ada kemungkinan dibuat sekuel, namun semoga yang satu tetap dibiarkan mati dan jangan dibangkitkan kembali. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Lazarus Effect' |
|

IMDb | Rottentomatoes
83 menit | Remaja

Sutradara David Gelb
Penulis Luke Dawson, Jeremy Slater
Pemain Mark Duplass, Olivia Wilde, Donald Glover, Evan Peters

Wednesday, May 13, 2015

Poster Terbaru 'The Hunger Games: Mockingjay - Part 2'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Poster, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Poster Terbaru 'The Hunger Games: Mockingjay - Part 2'
link : Poster Terbaru 'The Hunger Games: Mockingjay - Part 2'

Baca juga


Katniss Everdeen dan adiknya, Primrose tampak benar-benar menderita dalam poster terbaru 'The Hunger Games: Mockingjay - Part 2'.

Poster edisi spesial dari film penutup franchise The Hunger Games yang berjudul The Hunger Games: Mockingjay - Part 2 dirilis pada Cannes Film Festival baru-baru ini.

Dalam poster yang mengambil gaya klasik ini ditampilkan kedua karakter protagonis Katniss (Jennifer Lawrence) dan adiknya, Primrose (Willow Shields). Katniss berdiri di belakang adiknya tersebut dengan tatapan jauh — entah menatap apa, sementara Primrose duduk di sebuah kursi dengan tatapan sayu. Keduanya tampak benar-benar menderita disini, yang membuat saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua dalam film terakhir tersebut.

The Hunger Games: Mockingjay - Part 2 akan tayang pada 20 November tahun ini. Berikut penampakan penuhnya. ©UP

//hypable

Katniss Everdeen dan adiknya, Primrose tampak benar-benar menderita dalam poster terbaru 'The Hunger Games: Mockingjay - Part 2'.

Poster edisi spesial dari film penutup franchise The Hunger Games yang berjudul The Hunger Games: Mockingjay - Part 2 dirilis pada Cannes Film Festival baru-baru ini.

Dalam poster yang mengambil gaya klasik ini ditampilkan kedua karakter protagonis Katniss (Jennifer Lawrence) dan adiknya, Primrose (Willow Shields). Katniss berdiri di belakang adiknya tersebut dengan tatapan jauh — entah menatap apa, sementara Primrose duduk di sebuah kursi dengan tatapan sayu. Keduanya tampak benar-benar menderita disini, yang membuat saya bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada mereka berdua dalam film terakhir tersebut.

The Hunger Games: Mockingjay - Part 2 akan tayang pada 20 November tahun ini. Berikut penampakan penuhnya. ©UP

//hypable

Monday, May 11, 2015

Bioskop Indonesia: 'Tarot' Kalahkan 'Toba Dreams'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Bioskop Indonesia: 'Tarot' Kalahkan 'Toba Dreams'
link : Bioskop Indonesia: 'Tarot' Kalahkan 'Toba Dreams'

Baca juga


'Tarot' yang disebut-sebut sebagai film horor terseram di 2015 (sejauh ini), langsung memuncaki bioskop dengan 102.445 penonton, sementara 'Toba Dreams' masih kokoh di posisi kedua.
Film Tarot yang dibintangi oleh Shandy Aulia dan Boy Williams pada minggu pertamanya berhasil mengumpulkan 102.445 penonton dan langsung menggeser posisi pertama yang minggu lalu ditempati oleh Romeo+Rinjani. Film horor dari Jose Poernomo (Danau Hitam, Rumah Gurita) ini dinilai cukup bagus oleh penonton bahkan disebut-sebut sebagai film horor Indonesia terseram di tahun 2015 (sejauh ini).

//viva

Toba Dreams yang tetap kokoh di posisi kedua tak tampil mengecewakan. Film Vino Bastian/Marsha Timothy ini malah memperoleh penonton 34,5% lebih banyak dibandingkan minggu lalu. Dengan meraih 81.662 penonton, total penonton Toba Dreams adalah 142.397 pasang mata.

Sebagai satu-satunya film komedi minggu ini, Youtubers berada di posisi ketiga dengan 63.054 penonton. Debut dari sutradara Kemal Palevi bersama dengan Jovial da Lopez ini mengangkat tema yang sangat aktual dengan gaya hidup kekinian yang tak jauh-jauh dari sosmed, dan tampaknya cukup klik dengan penonton.

Cinta Selamanya mengalami penurunan yang tak signifikan, hanya 4,6%. Namun dengan performa di minggu pertamanya yang tak terlalu bagus, perolehan film Rio Dewanto/Atiqah Hasiholan hanya 27.375 penonton. Di posisi terakhir, film horor Miss Call turun 30% dengan mengumpulkan 20.530 penonton.

Pemuncak Bioskop Indonesia 4 Mei - 10 Mei 2015

#01 Tarot


Minggu ini: 102.445 penonton
Total: 102.445 penonton

#02 Toba Dreams


Minggu ini: 81.662 penonton
Total: 142.397 penonton

#03 Youtubers


Minggu ini: 63.054 penonton
Total: 63.054 penonton

#04 Cinta Selamanya


Minggu ini: 27.375 penonton
Total: 56.062 penonton

#05 Miss Call


Minggu ini: 20.530 penonton
Total: 49.851 penonton

Ulasan Pemuncak Bioskop Indonesia minggu lalu: Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Masih Kokoh Berada di Puncak ©UP

'Tarot' yang disebut-sebut sebagai film horor terseram di 2015 (sejauh ini), langsung memuncaki bioskop dengan 102.445 penonton, sementara 'Toba Dreams' masih kokoh di posisi kedua.
Film Tarot yang dibintangi oleh Shandy Aulia dan Boy Williams pada minggu pertamanya berhasil mengumpulkan 102.445 penonton dan langsung menggeser posisi pertama yang minggu lalu ditempati oleh Romeo+Rinjani. Film horor dari Jose Poernomo (Danau Hitam, Rumah Gurita) ini dinilai cukup bagus oleh penonton bahkan disebut-sebut sebagai film horor Indonesia terseram di tahun 2015 (sejauh ini).

//viva

Toba Dreams yang tetap kokoh di posisi kedua tak tampil mengecewakan. Film Vino Bastian/Marsha Timothy ini malah memperoleh penonton 34,5% lebih banyak dibandingkan minggu lalu. Dengan meraih 81.662 penonton, total penonton Toba Dreams adalah 142.397 pasang mata.

Sebagai satu-satunya film komedi minggu ini, Youtubers berada di posisi ketiga dengan 63.054 penonton. Debut dari sutradara Kemal Palevi bersama dengan Jovial da Lopez ini mengangkat tema yang sangat aktual dengan gaya hidup kekinian yang tak jauh-jauh dari sosmed, dan tampaknya cukup klik dengan penonton.

Cinta Selamanya mengalami penurunan yang tak signifikan, hanya 4,6%. Namun dengan performa di minggu pertamanya yang tak terlalu bagus, perolehan film Rio Dewanto/Atiqah Hasiholan hanya 27.375 penonton. Di posisi terakhir, film horor Miss Call turun 30% dengan mengumpulkan 20.530 penonton.

Pemuncak Bioskop Indonesia 4 Mei - 10 Mei 2015

#01 Tarot


Minggu ini: 102.445 penonton
Total: 102.445 penonton

#02 Toba Dreams


Minggu ini: 81.662 penonton
Total: 142.397 penonton

#03 Youtubers


Minggu ini: 63.054 penonton
Total: 63.054 penonton

#04 Cinta Selamanya


Minggu ini: 27.375 penonton
Total: 56.062 penonton

#05 Miss Call


Minggu ini: 20.530 penonton
Total: 49.851 penonton

Ulasan Pemuncak Bioskop Indonesia minggu lalu: Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Masih Kokoh Berada di Puncak ©UP

Sunday, May 10, 2015

Box Office: 'Age of Ultron' Turun Drastis, Tapi Tak Mampu Dilawan 'Hot Pursuit'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Box Office: 'Age of Ultron' Turun Drastis, Tapi Tak Mampu Dilawan 'Hot Pursuit'
link : Box Office: 'Age of Ultron' Turun Drastis, Tapi Tak Mampu Dilawan 'Hot Pursuit'

Baca juga


Film komedi 'Hot Pursuit' dilindas 'Avengers: Age of Ultron' yang masih mendominasi box office Amerika, namun dengan performa yang tak setangguh 'The Avengers'.
Avengers: Age of Ultron tak bisa menyamai rekor yang diperoleh The Avengers pada 2012. Meski masih menjadi nomor satu dalam box office di minggu keduanya, namun Age of Ultron harus mengalami penurunan 60%, dengan menambahkan $77,2 juta dan 'hanya' menjadi film kedua dengan pendapatan minggu kedua terbesar di atas Avatar ($75,6 juta). Jika ingin membandingkan, The Avengers mengalami penurunan 50% pada minggu keduanya dengan $103 juta dan menjadi film dengan pendapatan minggu kedua terbesar.

//blastr

Namun terlepas dari ekspektasi yang cukup tinggi karena film pertamanya yang super-sukses tersebut, Age of Ultron masih menjadi lumbung laba bagi Disney/Marvel. Dengan tambahan $77,2 juta, total pendapatan film ini di Amerika adalah $312,6 juta, jauh di atas Thor: The Dark World ($181 juta) dan Captain America: The Winter Soldier ($259 juta).

Secara internasional, Age of Ultron menambah $68,3 juta dengan total $875,3 juta. Dengan dirilisnya film ini minggu depan di Cina dan Jepang — yang merupakan salah satu pasar terbesar, menarik melihat bagaimana film ini akan bersaing dengan Furious 7 yang saat ini telah meraup laba $1,46 secara internasional.

Film komedi terbaru dari Reese Witherspoon dan Sofia Vergara mendapat respon yang cukup buruk dari penonton dengan nilai CinemaScore "C+" yang senasib dengan laba yang diraih di minggu pertamanya. Lebih rendah dari prediksi analis dengan $18 juta, Hot Pursuit hanya berhasil mengumpulkan $13,3 juta, $4 juta lebih rendah dibandingkan film komedi Witherspoon di 2011, This Means War.

Di posisi 3, film drama The Age of Adaline hanya turun sedikit (9,7%) dan menambahkan $5,6 juta dengan total pendapatan $31,5 juta.

Furious 7 masih bertahan di minggu keenamnya dengan $5,3 juta menjadikan total pendapatannya $338,4 juta di Amerika saja.

Paul Blart: Mall Cop 2 yang berada di posisi lima juga tak tampil buruk, hanya mengalami penurunan performa sebesar 11,7% dengan laba $5,2 juta. Total raihan film ini sudah hampir mencapai 2 kali lipat bujetnya yang hanya $30 juta.

Weekend Box Office 8 Mei - 10 Mei 2015

#01 Avengers: Age of Ultron


Minggu ini: $77,203,000
Total: $312,589,000

#02 Hot Pursuit


Minggu ini: $13,300,000
Total: $13,300,000

#03 The Age of Adaline


Minggu ini: $5,600,000
Total: $31,529,000

#04 Furious 7


Minggu ini: $5,272,000
Total: $338,420,000

#05 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $5,190,000
Total: $58,075,000

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Berkuasa dengan $187,7 Juta, namun Tak Mampu Kalahkan Rekor 'The Avengers' ©UP

Film komedi 'Hot Pursuit' dilindas 'Avengers: Age of Ultron' yang masih mendominasi box office Amerika, namun dengan performa yang tak setangguh 'The Avengers'.
Avengers: Age of Ultron tak bisa menyamai rekor yang diperoleh The Avengers pada 2012. Meski masih menjadi nomor satu dalam box office di minggu keduanya, namun Age of Ultron harus mengalami penurunan 60%, dengan menambahkan $77,2 juta dan 'hanya' menjadi film kedua dengan pendapatan minggu kedua terbesar di atas Avatar ($75,6 juta). Jika ingin membandingkan, The Avengers mengalami penurunan 50% pada minggu keduanya dengan $103 juta dan menjadi film dengan pendapatan minggu kedua terbesar.

//blastr

Namun terlepas dari ekspektasi yang cukup tinggi karena film pertamanya yang super-sukses tersebut, Age of Ultron masih menjadi lumbung laba bagi Disney/Marvel. Dengan tambahan $77,2 juta, total pendapatan film ini di Amerika adalah $312,6 juta, jauh di atas Thor: The Dark World ($181 juta) dan Captain America: The Winter Soldier ($259 juta).

Secara internasional, Age of Ultron menambah $68,3 juta dengan total $875,3 juta. Dengan dirilisnya film ini minggu depan di Cina dan Jepang — yang merupakan salah satu pasar terbesar, menarik melihat bagaimana film ini akan bersaing dengan Furious 7 yang saat ini telah meraup laba $1,46 secara internasional.

Film komedi terbaru dari Reese Witherspoon dan Sofia Vergara mendapat respon yang cukup buruk dari penonton dengan nilai CinemaScore "C+" yang senasib dengan laba yang diraih di minggu pertamanya. Lebih rendah dari prediksi analis dengan $18 juta, Hot Pursuit hanya berhasil mengumpulkan $13,3 juta, $4 juta lebih rendah dibandingkan film komedi Witherspoon di 2011, This Means War.

Di posisi 3, film drama The Age of Adaline hanya turun sedikit (9,7%) dan menambahkan $5,6 juta dengan total pendapatan $31,5 juta.

Furious 7 masih bertahan di minggu keenamnya dengan $5,3 juta menjadikan total pendapatannya $338,4 juta di Amerika saja.

Paul Blart: Mall Cop 2 yang berada di posisi lima juga tak tampil buruk, hanya mengalami penurunan performa sebesar 11,7% dengan laba $5,2 juta. Total raihan film ini sudah hampir mencapai 2 kali lipat bujetnya yang hanya $30 juta.

Weekend Box Office 8 Mei - 10 Mei 2015

#01 Avengers: Age of Ultron


Minggu ini: $77,203,000
Total: $312,589,000

#02 Hot Pursuit


Minggu ini: $13,300,000
Total: $13,300,000

#03 The Age of Adaline


Minggu ini: $5,600,000
Total: $31,529,000

#04 Furious 7


Minggu ini: $5,272,000
Total: $338,420,000

#05 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $5,190,000
Total: $58,075,000

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Berkuasa dengan $187,7 Juta, namun Tak Mampu Kalahkan Rekor 'The Avengers' ©UP

Review Film: 'Reclaim' (2014)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Reclaim' (2014)
link : Review Film: 'Reclaim' (2014)

Baca juga


Sebuah film kelas B yang dianggap serius oleh pembuatnya, 'Reclaim' adalah film kriminal klise dengan skenario yang formulatif tanpa ada adegan yang menarik dan menegangkan.

“Take what's yours.”
Saya merasa Reclaim berniat menyoroti children trafficking yang marak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Adegan pembukanya cukup serius, dimana ditampilkan cuplikan gempa Haiti yang menelan banyak korban, termasuk anak-anak. Tak sampai separo film, saya sadar bahwa Reclaim adalah tipikal film bertema penculikan. Namun melihat pesan yang disampaikan sebelum credit title, mengejutkan bahwa sutradara Alan White berniat menangani film kelas B ini dengan serius.

Setelah adegan pembuka, setting beralih ke sebuah resor di Puerto Rico, dimana pasangan suami istri, Steven (Ryan Phillippe) dan Shannon (Rachelle Lefevre) bermaksud mengadopsi seorang anak keturunan Haiti bernama Nina (Briana Roy) melalui sebuah agensi yang dilihat Steven melalui internet. Semua berjalan dengan lancar, namun beberapa hari kemudian Nina menghilang. Saat mengontak agensi yang bersangkutan, website-nya juga telah lenyap, beserta kontak dan kantornya.


Steven dan Shannon melapor ke polisi setempat, dan diberitahu bahwa ini adalah skema penipuan lintas negara. Dengan bantuan 3 teman yang dikenalnya di resor, Benjamin (John Cusack), Salo, dan Paola, pasangan tersebut berusaha melacak keberadaan Nina. Ini mungkin sedikit spoiler, namun plotnya sangat gampang diprediksi, jadi saya beritahu: Benjamin dkk ternyata satu komplotan dengan agensi penipu yang diprakarasai oleh Reigert (Jacki Weaver).

Dengan lokasi syuting di pantai Puerto Rico, sinematografer Scott Kevan menyorot banyak lokasi indah, yang sayangnya diambil dengan seadanya. Saya rasa bagus jika kamera yang digunakan berlensa widescreen. Paling tidak bisa menutupi plot yang sangat generik.

Sulit untuk tertarik dengan naskah dari Luke Davies dan Carmine Gaeta yang klise dan sangat formulatif. Meski bisa dibilang bergenre thriller namun tak ada adegan yang benar-benar menegangkan, termasuk kejar-kejaran mobil yang terasa dibuat-buat. Bahkan adegan Steven, Shannon dan Nina yang berusaha menyelamatkan diri dari mobil yang terjebak di tebing tak menaikkan detak jantung karena efek CGI yang payah.

Ada 2 nama besar disini, Cusack dan Weaver (yang mendapat nominasi Oscar dalam Silver Linings Playbook) namun keduanya tak menunjukkan kalibar mereka. Bisa jadi karena porsinya yang lebih sedikit. Philippe dan Lefevre di awal film adalah pasangan manis yang akan membuat anda overdosis gula. Meski hal tragis menimpa mereka, namun tindakan dan pola pikir mereka yang bodoh menjadikan kita tak bisa bersimpati sedikitpun terhadap tragedi yang dialami.

Di akhir film diberikan sedikit plot twist yang justru menjadi plot hole, akibat ketakrasionalannya. Alan White punya visi yang cukup bagus, namun gagal dalam eksekusi. Film ini melenceng jauh dari pesan yang ingin disampaikan, dan menjadi tipikal film penculikan dan kejar-kejaran yang klise. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Reclaim' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara Alan White
Penulis Luke Davies, Carmine Gaeta
Pemain Ryan Phillippe, Jacki Weaver, Rachelle Lefevre, John Cusack

Sebuah film kelas B yang dianggap serius oleh pembuatnya, 'Reclaim' adalah film kriminal klise dengan skenario yang formulatif tanpa ada adegan yang menarik dan menegangkan.

“Take what's yours.”
Saya merasa Reclaim berniat menyoroti children trafficking yang marak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Adegan pembukanya cukup serius, dimana ditampilkan cuplikan gempa Haiti yang menelan banyak korban, termasuk anak-anak. Tak sampai separo film, saya sadar bahwa Reclaim adalah tipikal film bertema penculikan. Namun melihat pesan yang disampaikan sebelum credit title, mengejutkan bahwa sutradara Alan White berniat menangani film kelas B ini dengan serius.

Setelah adegan pembuka, setting beralih ke sebuah resor di Puerto Rico, dimana pasangan suami istri, Steven (Ryan Phillippe) dan Shannon (Rachelle Lefevre) bermaksud mengadopsi seorang anak keturunan Haiti bernama Nina (Briana Roy) melalui sebuah agensi yang dilihat Steven melalui internet. Semua berjalan dengan lancar, namun beberapa hari kemudian Nina menghilang. Saat mengontak agensi yang bersangkutan, website-nya juga telah lenyap, beserta kontak dan kantornya.


Steven dan Shannon melapor ke polisi setempat, dan diberitahu bahwa ini adalah skema penipuan lintas negara. Dengan bantuan 3 teman yang dikenalnya di resor, Benjamin (John Cusack), Salo, dan Paola, pasangan tersebut berusaha melacak keberadaan Nina. Ini mungkin sedikit spoiler, namun plotnya sangat gampang diprediksi, jadi saya beritahu: Benjamin dkk ternyata satu komplotan dengan agensi penipu yang diprakarasai oleh Reigert (Jacki Weaver).

Dengan lokasi syuting di pantai Puerto Rico, sinematografer Scott Kevan menyorot banyak lokasi indah, yang sayangnya diambil dengan seadanya. Saya rasa bagus jika kamera yang digunakan berlensa widescreen. Paling tidak bisa menutupi plot yang sangat generik.

Sulit untuk tertarik dengan naskah dari Luke Davies dan Carmine Gaeta yang klise dan sangat formulatif. Meski bisa dibilang bergenre thriller namun tak ada adegan yang benar-benar menegangkan, termasuk kejar-kejaran mobil yang terasa dibuat-buat. Bahkan adegan Steven, Shannon dan Nina yang berusaha menyelamatkan diri dari mobil yang terjebak di tebing tak menaikkan detak jantung karena efek CGI yang payah.

Ada 2 nama besar disini, Cusack dan Weaver (yang mendapat nominasi Oscar dalam Silver Linings Playbook) namun keduanya tak menunjukkan kalibar mereka. Bisa jadi karena porsinya yang lebih sedikit. Philippe dan Lefevre di awal film adalah pasangan manis yang akan membuat anda overdosis gula. Meski hal tragis menimpa mereka, namun tindakan dan pola pikir mereka yang bodoh menjadikan kita tak bisa bersimpati sedikitpun terhadap tragedi yang dialami.

Di akhir film diberikan sedikit plot twist yang justru menjadi plot hole, akibat ketakrasionalannya. Alan White punya visi yang cukup bagus, namun gagal dalam eksekusi. Film ini melenceng jauh dari pesan yang ingin disampaikan, dan menjadi tipikal film penculikan dan kejar-kejaran yang klise. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Reclaim' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara Alan White
Penulis Luke Davies, Carmine Gaeta
Pemain Ryan Phillippe, Jacki Weaver, Rachelle Lefevre, John Cusack