Judul : Review Film: 'Monsters: Dark Continent' (2015)
link : Review Film: 'Monsters: Dark Continent' (2015)
Mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini adalah film perang klise dengan narasi yang hambar dan tak koheren, yang kemudian dijual dengan tempelan judul 'Monsters'.
“Fear has evolved.”Di tahun 2010, Gareth Edwards membuat sebuah film drama indie berlatar invasi alien berjudul Monsters dengan bujet kecil dan kru yang minim. Walau tak menjadi hit, film tersebut bisa dibilang cukup sukses, sehingga mengantarkan Edward ke jalur mainstream dengan menyutradarai remake Godzilla. Vertigo Films kemudian membuat sekuelnya yang berjudul Monsters: Dark Continent. Namun kali ini posisi sutradara digantikan oleh sutradara debutan Tom Green.
Meskipun disebut sekuel, namun film ini sama sekali tak berhubungan langsung dengan film pertamanya, selain setting invasi aliennya. Masih mengambil formula yang sama dengan film pertama yang berfokus pada drama karakter dengan alien di latar belakang cerita, kisah dimulai 10 tahun setelah kejadian dalam Monsters, dimana saat ini Zona Berbahaya telah meluas ke seluruh dunia.
Salah satu daerah yang mengalami invasi cukup parah adalah di Timur Tengah. Sejauh ini, militer Amerika mencoba membantu untuk memusnahkan alien tersebut dengan serangan udara. Sementara itu, sepasukan kecil tentara Amerika ditugaskan untuk menyelamatkan rekan mereka yang tengah terjebak di Zona Berbahaya.
Nah, tentu situasi menjadi rumit (dan sedikit membingungkan bagi penonton), karena disini para tentara tersebut harus menyelesaikan misi mereka sekaligus berhadapan dengan para pemberontak Timur Tengah (anda tahu kenapa) sekaligus harus menghadapi alien raksasa.
Dengan bujet yang lebih besar, Green tahu benar memanfaatkannya untuk meningkatkan production value. Properti yang digunakan beserta efek ledakan dan adegan aksi peperangan di gurun dibuat dengan cukup baik. Alien (yang di film ini diistilahkan denga MTR) mendapatkan porsi tampil sedikit lebih banyak dibanding film pertamanya dan dirender dengan detail yang cukup impresif. Sinematografer Christopher Ross menangkap gambar lanskap gurun dan adegan aksi menggunakan kamera widescreen dengan mengagumkan, mengingatkan kita dengan fotografi dalam The Hurt Locker, membuat film ini terlihat lebih baik, (paling tidak) secara visual.
Hanya saja, Green yang menulis naskah bersama Jay Basu tak tahu bagaimana menangani cerita. Mereka bermaksud mengambil formula film pertama yang fokus pada karakter. Di film pertama, Edwards memang berfokus pada drama pasangan yang ingin menyeberang dari Meksiko ke daerah aman di Amerika, namun pengaruh alien cukup krusial selama perjalanan mereka. Sementara pada Dark Continent, selain konfrontasi perdana para tentara kita dengan monster tersebut, nyaris tak ada pengaruh yang signifikan antara jalan cerita dengan eksistensi alien, seolah Green hanya bermaksud menjadikannya tempelan.
Film dibuka dengan narasi depresif dari Michael (Sam Keeley) yang tengah membuang pelurunya di pinggiran Detroit, mencoba menunjukkan tekanan mental berat yang dialami tentara sebelum terjun ke lapangan. Berikutnya kita melihat karakter lain Sean (Park Sawyers) yang baru punya anak, Frankie (Joe Dempsie), yang tengah "bercengkerama" dengan pacarnya, serta Karl Inkelaar (Kyle Soller). Singkat cerita, mereka mendapat misi yang dipimpin oleh tentara senior Sersan Frater (Johnny Harris) dan Sersan Forrest (Nicholas Pinnock) yang sangat hobi berteriak dengan sumpah serapah.
Setelah kurang lebih 40 menit menghabiskan waktu untuk menjelaskan karakter para tokoh yang stereotip tersebut, akhirnya masuklah kita ke inti yang menjadi alasan kenapa kita ingin menonton film ini. Setidaknya begitulah saya pikir pada awalnya. Selanjutnya kita disajikan dengan adegan klise film perang-perangan ala Black Hawk Down, dimana pasukan kecil ini terjebak di area musuh dan satu anggotanya terluka parah. Sebegitu klisenya, sehingga terasa hambar dan membosankan.
Paruh keduanya menyuguhkan narasi yang sama sekali berbeda, karena kali ini 2 tentara yang tersisa masuk ke daerah musuh, dimana salah satunya adalah Sersan Frater. Sersan Frater adalah tentara senior yang saking banyaknya melakukan misi, hingga mengalami trauma perang. Sedikit banyak mirip dengan karakter Jeremy Renner-nya The Hurt Locker. Tapi pada akhirnya tetap saja terasa hambar, karena karakternya dari awal tak terbentuk dengan baik.
Dengan durasi 2 jam, saya nyaris lupa dengan keberadaan aliennya, hingga adegan penutup yang cukup fantastis. Hanya mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini terkesan menjadi gabungan The Hurt Locker dan Black Hawk Down wannabe, yang kemudian dijual dengan tempelan judul Monsters. Debut yang mengecewakan untuk ukuran film dengan tata produksi yang cukup tinggi. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
'Monsters: Dark Continent' | TEGUH RASPATI | 16 Mei 2015
Sutradara Tom Green
Penulis Jay Basu
Pemain Johnny Harris, Sam Keeley, Joe Dempsie
Penulis Jay Basu
Pemain Johnny Harris, Sam Keeley, Joe Dempsie
Mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini adalah film perang klise dengan narasi yang hambar dan tak koheren, yang kemudian dijual dengan tempelan judul 'Monsters'.
“Fear has evolved.”Di tahun 2010, Gareth Edwards membuat sebuah film drama indie berlatar invasi alien berjudul Monsters dengan bujet kecil dan kru yang minim. Walau tak menjadi hit, film tersebut bisa dibilang cukup sukses, sehingga mengantarkan Edward ke jalur mainstream dengan menyutradarai remake Godzilla. Vertigo Films kemudian membuat sekuelnya yang berjudul Monsters: Dark Continent. Namun kali ini posisi sutradara digantikan oleh sutradara debutan Tom Green.
Meskipun disebut sekuel, namun film ini sama sekali tak berhubungan langsung dengan film pertamanya, selain setting invasi aliennya. Masih mengambil formula yang sama dengan film pertama yang berfokus pada drama karakter dengan alien di latar belakang cerita, kisah dimulai 10 tahun setelah kejadian dalam Monsters, dimana saat ini Zona Berbahaya telah meluas ke seluruh dunia.
Salah satu daerah yang mengalami invasi cukup parah adalah di Timur Tengah. Sejauh ini, militer Amerika mencoba membantu untuk memusnahkan alien tersebut dengan serangan udara. Sementara itu, sepasukan kecil tentara Amerika ditugaskan untuk menyelamatkan rekan mereka yang tengah terjebak di Zona Berbahaya.
Nah, tentu situasi menjadi rumit (dan sedikit membingungkan bagi penonton), karena disini para tentara tersebut harus menyelesaikan misi mereka sekaligus berhadapan dengan para pemberontak Timur Tengah (anda tahu kenapa) sekaligus harus menghadapi alien raksasa.
Dengan bujet yang lebih besar, Green tahu benar memanfaatkannya untuk meningkatkan production value. Properti yang digunakan beserta efek ledakan dan adegan aksi peperangan di gurun dibuat dengan cukup baik. Alien (yang di film ini diistilahkan denga MTR) mendapatkan porsi tampil sedikit lebih banyak dibanding film pertamanya dan dirender dengan detail yang cukup impresif. Sinematografer Christopher Ross menangkap gambar lanskap gurun dan adegan aksi menggunakan kamera widescreen dengan mengagumkan, mengingatkan kita dengan fotografi dalam The Hurt Locker, membuat film ini terlihat lebih baik, (paling tidak) secara visual.
Hanya saja, Green yang menulis naskah bersama Jay Basu tak tahu bagaimana menangani cerita. Mereka bermaksud mengambil formula film pertama yang fokus pada karakter. Di film pertama, Edwards memang berfokus pada drama pasangan yang ingin menyeberang dari Meksiko ke daerah aman di Amerika, namun pengaruh alien cukup krusial selama perjalanan mereka. Sementara pada Dark Continent, selain konfrontasi perdana para tentara kita dengan monster tersebut, nyaris tak ada pengaruh yang signifikan antara jalan cerita dengan eksistensi alien, seolah Green hanya bermaksud menjadikannya tempelan.
Film dibuka dengan narasi depresif dari Michael (Sam Keeley) yang tengah membuang pelurunya di pinggiran Detroit, mencoba menunjukkan tekanan mental berat yang dialami tentara sebelum terjun ke lapangan. Berikutnya kita melihat karakter lain Sean (Park Sawyers) yang baru punya anak, Frankie (Joe Dempsie), yang tengah "bercengkerama" dengan pacarnya, serta Karl Inkelaar (Kyle Soller). Singkat cerita, mereka mendapat misi yang dipimpin oleh tentara senior Sersan Frater (Johnny Harris) dan Sersan Forrest (Nicholas Pinnock) yang sangat hobi berteriak dengan sumpah serapah.
Setelah kurang lebih 40 menit menghabiskan waktu untuk menjelaskan karakter para tokoh yang stereotip tersebut, akhirnya masuklah kita ke inti yang menjadi alasan kenapa kita ingin menonton film ini. Setidaknya begitulah saya pikir pada awalnya. Selanjutnya kita disajikan dengan adegan klise film perang-perangan ala Black Hawk Down, dimana pasukan kecil ini terjebak di area musuh dan satu anggotanya terluka parah. Sebegitu klisenya, sehingga terasa hambar dan membosankan.
Paruh keduanya menyuguhkan narasi yang sama sekali berbeda, karena kali ini 2 tentara yang tersisa masuk ke daerah musuh, dimana salah satunya adalah Sersan Frater. Sersan Frater adalah tentara senior yang saking banyaknya melakukan misi, hingga mengalami trauma perang. Sedikit banyak mirip dengan karakter Jeremy Renner-nya The Hurt Locker. Tapi pada akhirnya tetap saja terasa hambar, karena karakternya dari awal tak terbentuk dengan baik.
Dengan durasi 2 jam, saya nyaris lupa dengan keberadaan aliennya, hingga adegan penutup yang cukup fantastis. Hanya mengambil formula yang sama seperti pendahulunya, film ini terkesan menjadi gabungan The Hurt Locker dan Black Hawk Down wannabe, yang kemudian dijual dengan tempelan judul Monsters. Debut yang mengecewakan untuk ukuran film dengan tata produksi yang cukup tinggi. ■UP
Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
'Monsters: Dark Continent' | TEGUH RASPATI | 16 Mei 2015
Sutradara Tom Green
Penulis Jay Basu
Pemain Johnny Harris, Sam Keeley, Joe Dempsie
Penulis Jay Basu
Pemain Johnny Harris, Sam Keeley, Joe Dempsie