Sunday, May 10, 2015

Box Office: 'Age of Ultron' Turun Drastis, Tapi Tak Mampu Dilawan 'Hot Pursuit'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Box Office: 'Age of Ultron' Turun Drastis, Tapi Tak Mampu Dilawan 'Hot Pursuit'
link : Box Office: 'Age of Ultron' Turun Drastis, Tapi Tak Mampu Dilawan 'Hot Pursuit'

Baca juga


Film komedi 'Hot Pursuit' dilindas 'Avengers: Age of Ultron' yang masih mendominasi box office Amerika, namun dengan performa yang tak setangguh 'The Avengers'.
Avengers: Age of Ultron tak bisa menyamai rekor yang diperoleh The Avengers pada 2012. Meski masih menjadi nomor satu dalam box office di minggu keduanya, namun Age of Ultron harus mengalami penurunan 60%, dengan menambahkan $77,2 juta dan 'hanya' menjadi film kedua dengan pendapatan minggu kedua terbesar di atas Avatar ($75,6 juta). Jika ingin membandingkan, The Avengers mengalami penurunan 50% pada minggu keduanya dengan $103 juta dan menjadi film dengan pendapatan minggu kedua terbesar.

//blastr

Namun terlepas dari ekspektasi yang cukup tinggi karena film pertamanya yang super-sukses tersebut, Age of Ultron masih menjadi lumbung laba bagi Disney/Marvel. Dengan tambahan $77,2 juta, total pendapatan film ini di Amerika adalah $312,6 juta, jauh di atas Thor: The Dark World ($181 juta) dan Captain America: The Winter Soldier ($259 juta).

Secara internasional, Age of Ultron menambah $68,3 juta dengan total $875,3 juta. Dengan dirilisnya film ini minggu depan di Cina dan Jepang — yang merupakan salah satu pasar terbesar, menarik melihat bagaimana film ini akan bersaing dengan Furious 7 yang saat ini telah meraup laba $1,46 secara internasional.

Film komedi terbaru dari Reese Witherspoon dan Sofia Vergara mendapat respon yang cukup buruk dari penonton dengan nilai CinemaScore "C+" yang senasib dengan laba yang diraih di minggu pertamanya. Lebih rendah dari prediksi analis dengan $18 juta, Hot Pursuit hanya berhasil mengumpulkan $13,3 juta, $4 juta lebih rendah dibandingkan film komedi Witherspoon di 2011, This Means War.

Di posisi 3, film drama The Age of Adaline hanya turun sedikit (9,7%) dan menambahkan $5,6 juta dengan total pendapatan $31,5 juta.

Furious 7 masih bertahan di minggu keenamnya dengan $5,3 juta menjadikan total pendapatannya $338,4 juta di Amerika saja.

Paul Blart: Mall Cop 2 yang berada di posisi lima juga tak tampil buruk, hanya mengalami penurunan performa sebesar 11,7% dengan laba $5,2 juta. Total raihan film ini sudah hampir mencapai 2 kali lipat bujetnya yang hanya $30 juta.

Weekend Box Office 8 Mei - 10 Mei 2015

#01 Avengers: Age of Ultron


Minggu ini: $77,203,000
Total: $312,589,000

#02 Hot Pursuit


Minggu ini: $13,300,000
Total: $13,300,000

#03 The Age of Adaline


Minggu ini: $5,600,000
Total: $31,529,000

#04 Furious 7


Minggu ini: $5,272,000
Total: $338,420,000

#05 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $5,190,000
Total: $58,075,000

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Berkuasa dengan $187,7 Juta, namun Tak Mampu Kalahkan Rekor 'The Avengers' ©UP

Film komedi 'Hot Pursuit' dilindas 'Avengers: Age of Ultron' yang masih mendominasi box office Amerika, namun dengan performa yang tak setangguh 'The Avengers'.
Avengers: Age of Ultron tak bisa menyamai rekor yang diperoleh The Avengers pada 2012. Meski masih menjadi nomor satu dalam box office di minggu keduanya, namun Age of Ultron harus mengalami penurunan 60%, dengan menambahkan $77,2 juta dan 'hanya' menjadi film kedua dengan pendapatan minggu kedua terbesar di atas Avatar ($75,6 juta). Jika ingin membandingkan, The Avengers mengalami penurunan 50% pada minggu keduanya dengan $103 juta dan menjadi film dengan pendapatan minggu kedua terbesar.

//blastr

Namun terlepas dari ekspektasi yang cukup tinggi karena film pertamanya yang super-sukses tersebut, Age of Ultron masih menjadi lumbung laba bagi Disney/Marvel. Dengan tambahan $77,2 juta, total pendapatan film ini di Amerika adalah $312,6 juta, jauh di atas Thor: The Dark World ($181 juta) dan Captain America: The Winter Soldier ($259 juta).

Secara internasional, Age of Ultron menambah $68,3 juta dengan total $875,3 juta. Dengan dirilisnya film ini minggu depan di Cina dan Jepang — yang merupakan salah satu pasar terbesar, menarik melihat bagaimana film ini akan bersaing dengan Furious 7 yang saat ini telah meraup laba $1,46 secara internasional.

Film komedi terbaru dari Reese Witherspoon dan Sofia Vergara mendapat respon yang cukup buruk dari penonton dengan nilai CinemaScore "C+" yang senasib dengan laba yang diraih di minggu pertamanya. Lebih rendah dari prediksi analis dengan $18 juta, Hot Pursuit hanya berhasil mengumpulkan $13,3 juta, $4 juta lebih rendah dibandingkan film komedi Witherspoon di 2011, This Means War.

Di posisi 3, film drama The Age of Adaline hanya turun sedikit (9,7%) dan menambahkan $5,6 juta dengan total pendapatan $31,5 juta.

Furious 7 masih bertahan di minggu keenamnya dengan $5,3 juta menjadikan total pendapatannya $338,4 juta di Amerika saja.

Paul Blart: Mall Cop 2 yang berada di posisi lima juga tak tampil buruk, hanya mengalami penurunan performa sebesar 11,7% dengan laba $5,2 juta. Total raihan film ini sudah hampir mencapai 2 kali lipat bujetnya yang hanya $30 juta.

Weekend Box Office 8 Mei - 10 Mei 2015

#01 Avengers: Age of Ultron


Minggu ini: $77,203,000
Total: $312,589,000

#02 Hot Pursuit


Minggu ini: $13,300,000
Total: $13,300,000

#03 The Age of Adaline


Minggu ini: $5,600,000
Total: $31,529,000

#04 Furious 7


Minggu ini: $5,272,000
Total: $338,420,000

#05 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $5,190,000
Total: $58,075,000

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Berkuasa dengan $187,7 Juta, namun Tak Mampu Kalahkan Rekor 'The Avengers' ©UP

Review Film: 'Reclaim' (2014)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Reclaim' (2014)
link : Review Film: 'Reclaim' (2014)

Baca juga


Sebuah film kelas B yang dianggap serius oleh pembuatnya, 'Reclaim' adalah film kriminal klise dengan skenario yang formulatif tanpa ada adegan yang menarik dan menegangkan.

“Take what's yours.”
Saya merasa Reclaim berniat menyoroti children trafficking yang marak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Adegan pembukanya cukup serius, dimana ditampilkan cuplikan gempa Haiti yang menelan banyak korban, termasuk anak-anak. Tak sampai separo film, saya sadar bahwa Reclaim adalah tipikal film bertema penculikan. Namun melihat pesan yang disampaikan sebelum credit title, mengejutkan bahwa sutradara Alan White berniat menangani film kelas B ini dengan serius.

Setelah adegan pembuka, setting beralih ke sebuah resor di Puerto Rico, dimana pasangan suami istri, Steven (Ryan Phillippe) dan Shannon (Rachelle Lefevre) bermaksud mengadopsi seorang anak keturunan Haiti bernama Nina (Briana Roy) melalui sebuah agensi yang dilihat Steven melalui internet. Semua berjalan dengan lancar, namun beberapa hari kemudian Nina menghilang. Saat mengontak agensi yang bersangkutan, website-nya juga telah lenyap, beserta kontak dan kantornya.


Steven dan Shannon melapor ke polisi setempat, dan diberitahu bahwa ini adalah skema penipuan lintas negara. Dengan bantuan 3 teman yang dikenalnya di resor, Benjamin (John Cusack), Salo, dan Paola, pasangan tersebut berusaha melacak keberadaan Nina. Ini mungkin sedikit spoiler, namun plotnya sangat gampang diprediksi, jadi saya beritahu: Benjamin dkk ternyata satu komplotan dengan agensi penipu yang diprakarasai oleh Reigert (Jacki Weaver).

Dengan lokasi syuting di pantai Puerto Rico, sinematografer Scott Kevan menyorot banyak lokasi indah, yang sayangnya diambil dengan seadanya. Saya rasa bagus jika kamera yang digunakan berlensa widescreen. Paling tidak bisa menutupi plot yang sangat generik.

Sulit untuk tertarik dengan naskah dari Luke Davies dan Carmine Gaeta yang klise dan sangat formulatif. Meski bisa dibilang bergenre thriller namun tak ada adegan yang benar-benar menegangkan, termasuk kejar-kejaran mobil yang terasa dibuat-buat. Bahkan adegan Steven, Shannon dan Nina yang berusaha menyelamatkan diri dari mobil yang terjebak di tebing tak menaikkan detak jantung karena efek CGI yang payah.

Ada 2 nama besar disini, Cusack dan Weaver (yang mendapat nominasi Oscar dalam Silver Linings Playbook) namun keduanya tak menunjukkan kalibar mereka. Bisa jadi karena porsinya yang lebih sedikit. Philippe dan Lefevre di awal film adalah pasangan manis yang akan membuat anda overdosis gula. Meski hal tragis menimpa mereka, namun tindakan dan pola pikir mereka yang bodoh menjadikan kita tak bisa bersimpati sedikitpun terhadap tragedi yang dialami.

Di akhir film diberikan sedikit plot twist yang justru menjadi plot hole, akibat ketakrasionalannya. Alan White punya visi yang cukup bagus, namun gagal dalam eksekusi. Film ini melenceng jauh dari pesan yang ingin disampaikan, dan menjadi tipikal film penculikan dan kejar-kejaran yang klise. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Reclaim' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara Alan White
Penulis Luke Davies, Carmine Gaeta
Pemain Ryan Phillippe, Jacki Weaver, Rachelle Lefevre, John Cusack

Sebuah film kelas B yang dianggap serius oleh pembuatnya, 'Reclaim' adalah film kriminal klise dengan skenario yang formulatif tanpa ada adegan yang menarik dan menegangkan.

“Take what's yours.”
Saya merasa Reclaim berniat menyoroti children trafficking yang marak terjadi di negara-negara dunia ketiga. Adegan pembukanya cukup serius, dimana ditampilkan cuplikan gempa Haiti yang menelan banyak korban, termasuk anak-anak. Tak sampai separo film, saya sadar bahwa Reclaim adalah tipikal film bertema penculikan. Namun melihat pesan yang disampaikan sebelum credit title, mengejutkan bahwa sutradara Alan White berniat menangani film kelas B ini dengan serius.

Setelah adegan pembuka, setting beralih ke sebuah resor di Puerto Rico, dimana pasangan suami istri, Steven (Ryan Phillippe) dan Shannon (Rachelle Lefevre) bermaksud mengadopsi seorang anak keturunan Haiti bernama Nina (Briana Roy) melalui sebuah agensi yang dilihat Steven melalui internet. Semua berjalan dengan lancar, namun beberapa hari kemudian Nina menghilang. Saat mengontak agensi yang bersangkutan, website-nya juga telah lenyap, beserta kontak dan kantornya.


Steven dan Shannon melapor ke polisi setempat, dan diberitahu bahwa ini adalah skema penipuan lintas negara. Dengan bantuan 3 teman yang dikenalnya di resor, Benjamin (John Cusack), Salo, dan Paola, pasangan tersebut berusaha melacak keberadaan Nina. Ini mungkin sedikit spoiler, namun plotnya sangat gampang diprediksi, jadi saya beritahu: Benjamin dkk ternyata satu komplotan dengan agensi penipu yang diprakarasai oleh Reigert (Jacki Weaver).

Dengan lokasi syuting di pantai Puerto Rico, sinematografer Scott Kevan menyorot banyak lokasi indah, yang sayangnya diambil dengan seadanya. Saya rasa bagus jika kamera yang digunakan berlensa widescreen. Paling tidak bisa menutupi plot yang sangat generik.

Sulit untuk tertarik dengan naskah dari Luke Davies dan Carmine Gaeta yang klise dan sangat formulatif. Meski bisa dibilang bergenre thriller namun tak ada adegan yang benar-benar menegangkan, termasuk kejar-kejaran mobil yang terasa dibuat-buat. Bahkan adegan Steven, Shannon dan Nina yang berusaha menyelamatkan diri dari mobil yang terjebak di tebing tak menaikkan detak jantung karena efek CGI yang payah.

Ada 2 nama besar disini, Cusack dan Weaver (yang mendapat nominasi Oscar dalam Silver Linings Playbook) namun keduanya tak menunjukkan kalibar mereka. Bisa jadi karena porsinya yang lebih sedikit. Philippe dan Lefevre di awal film adalah pasangan manis yang akan membuat anda overdosis gula. Meski hal tragis menimpa mereka, namun tindakan dan pola pikir mereka yang bodoh menjadikan kita tak bisa bersimpati sedikitpun terhadap tragedi yang dialami.

Di akhir film diberikan sedikit plot twist yang justru menjadi plot hole, akibat ketakrasionalannya. Alan White punya visi yang cukup bagus, namun gagal dalam eksekusi. Film ini melenceng jauh dari pesan yang ingin disampaikan, dan menjadi tipikal film penculikan dan kejar-kejaran yang klise. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Reclaim' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara Alan White
Penulis Luke Davies, Carmine Gaeta
Pemain Ryan Phillippe, Jacki Weaver, Rachelle Lefevre, John Cusack

Saturday, May 9, 2015

Review Film: 'Escobar: Paradise Lost' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Review, Artikel Romance, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Escobar: Paradise Lost' (2015)
link : Review Film: 'Escobar: Paradise Lost' (2015)

Baca juga


Meski judul dan posternya sedikit menyesatkan, karya debut sutradara Andrea DiStefano ini merupakan film romance-thriller dengan pace yang stabil dan menarik hingga akhir.

“Welcome to the family."
— Escobar
Pablo Escobar adalah mafia narkoba terkejam dan terkaya dalam sejarah Kolombia, dengan aset tercatat mencapai $30 miliar. Meski film ini sedikit menyoroti masa-masa kejatuhannya di tahun 1991, namun Escobar bukanlah tokoh utama. Alih-alih, dia menjadi latar belakang dari kisah cinta romantis bercampur thriller kriminal. Campuran yang aneh, namun sutradara Andrea DiStefano berhasil menggabungkannya dengan apik.

Dimulai dengan setting saat penyerahan dirinya pada pemerintah, Escobar (Benicio del Toro) memberikan misi pada seorang pemuda bernama Nick (Josh Hutcherson) untuk menyembunyikan hartanya. Adegan ini tentu membuat kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pemuda kulit putih menjadi tangan kanan "Raja Kokain" tersebut. Jangan kuatir, karena kita akan dibawa ke beberapa tahun sebelumnya dimana Nick bersama kakaknya untuk pertama kalinya datang ke Kolombia dan berencana menetap disana dengan membuka sekolah surfing.

Disana, Nick bertemu dengan gadis lokal nan menawan, Maria (Claudia Traisac), yang ternyata adalah keponakan dari Escobar. Nick yang naif awalnya menganggap Escobar sebagai politikus lokal biasa yang dermawan, namun saat melihat gaya hidupnya yang mewah dan saat Maria bilang bahwa pamannya tersebut berbisnis kokain, Nick menyadari bahwa pamannya tersebut tak seperti yang terlihat.


Sebenarnya saat pertama kali menonton saya sedikit kecewa, karena kisahnya bukan berfokus pada Escobar melainkan pada pemuda Kanada fiktif yang terlibat dalam rezim Escobar. Poster dan judul filmnya sedikit menyesatkan. Namun dengan mengesampingkan hal tersebut, film ini cukup menarik untuk dinikmati.

Poin yang saya suka dari film ini adalah bagaimana sinematografi dari Luis David Sansans menangkap dengan baik pemandangan lokasi tropis yang indah. Lanskap pantai yang menawan, hutan tropis, hingga matahari sore dan pencahayaan disorot dengan angle yang tepat, menegaskan seperti apa "surga" yang lenyap. Scoring dari Max Richter merupakan faktor penting yang menciptakan atmosfer film.

Dengan jargon "Welcome to the Family", film ini menjadi campuran inferior dari Godfather dan Scarface, dengan menyoroti kehidupan keluarga mafia pada paruh pertamanya. Mulai dari tengah film, diperlihatkan kelaliman Escobar yang tega melenyapkan semua kenalan demi keamanan dirinya.

Untuk ukuran karya debut sebagai sutradara dari DiStefano, Paradise Lost adalah film yang ambisius dan solid. Pace terjaga dengan stabil dari awal hingga akhir film. Transisi cerita dari kisah romantis menjadi tipikal thriller kucing-kucingan mengalir dengan baik. Dengan tujuan relevansi, DiStefano memakai aktor Hispanik dan sebagian besar bahasa yang digunakan dalam film adalah bahasa Spayol — yang merupakan bahasa nasional Kolombia. Hutcherson pun hanya di banyak scene bahkan harus berbicara dengan bahasa Spanyol.

Hutcherson memberikan penampilan yang tak beda jauh dengan perannya dalam The Hunger Games sebagai pria naif yang menjadi korban situasi. Di lain pihak, meski mendapat porsi yang lebih sedikit, Del Toro tampil lebih superior sebagai mafia karismatik yang multidimensi, seorang family-man, seorang dermawan ala Robin Hood, namun juga sebagai penguasa kartel kokain terbesar di dunia.

Film ini adalah kisah cinta, bagaimana seorang pemuda polos yang menjalin cinta dengan gadis lokal harus terlibat dalam jaringan kartel narkoba, dengan latar belakang era kejatuhan Escobar. Bagi anda yang tak terlalu tahu bagaimana seorang Escobar sebenarnya — seperti halnya saya, film ini takkan menambah wawasan selain dari apa yang telah kita tahu: bandar narkoba yang kejam, tanpa konpromi dan sangat berpengaruh. Pada akhirnya, Paradise Lost adalah film melodrama-thriller yang menarik dan menegangkan hingga akhir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Escobar: Paradise Lost' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Remaja

Sutradara Andrea DiStefano
Penulis Andrea DiStefano
Pemain Benicio Del Toro, Josh Hutcherson, Claudia Traisac

Meski judul dan posternya sedikit menyesatkan, karya debut sutradara Andrea DiStefano ini merupakan film romance-thriller dengan pace yang stabil dan menarik hingga akhir.

“Welcome to the family."
— Escobar
Pablo Escobar adalah mafia narkoba terkejam dan terkaya dalam sejarah Kolombia, dengan aset tercatat mencapai $30 miliar. Meski film ini sedikit menyoroti masa-masa kejatuhannya di tahun 1991, namun Escobar bukanlah tokoh utama. Alih-alih, dia menjadi latar belakang dari kisah cinta romantis bercampur thriller kriminal. Campuran yang aneh, namun sutradara Andrea DiStefano berhasil menggabungkannya dengan apik.

Dimulai dengan setting saat penyerahan dirinya pada pemerintah, Escobar (Benicio del Toro) memberikan misi pada seorang pemuda bernama Nick (Josh Hutcherson) untuk menyembunyikan hartanya. Adegan ini tentu membuat kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pemuda kulit putih menjadi tangan kanan "Raja Kokain" tersebut. Jangan kuatir, karena kita akan dibawa ke beberapa tahun sebelumnya dimana Nick bersama kakaknya untuk pertama kalinya datang ke Kolombia dan berencana menetap disana dengan membuka sekolah surfing.

Disana, Nick bertemu dengan gadis lokal nan menawan, Maria (Claudia Traisac), yang ternyata adalah keponakan dari Escobar. Nick yang naif awalnya menganggap Escobar sebagai politikus lokal biasa yang dermawan, namun saat melihat gaya hidupnya yang mewah dan saat Maria bilang bahwa pamannya tersebut berbisnis kokain, Nick menyadari bahwa pamannya tersebut tak seperti yang terlihat.


Sebenarnya saat pertama kali menonton saya sedikit kecewa, karena kisahnya bukan berfokus pada Escobar melainkan pada pemuda Kanada fiktif yang terlibat dalam rezim Escobar. Poster dan judul filmnya sedikit menyesatkan. Namun dengan mengesampingkan hal tersebut, film ini cukup menarik untuk dinikmati.

Poin yang saya suka dari film ini adalah bagaimana sinematografi dari Luis David Sansans menangkap dengan baik pemandangan lokasi tropis yang indah. Lanskap pantai yang menawan, hutan tropis, hingga matahari sore dan pencahayaan disorot dengan angle yang tepat, menegaskan seperti apa "surga" yang lenyap. Scoring dari Max Richter merupakan faktor penting yang menciptakan atmosfer film.

Dengan jargon "Welcome to the Family", film ini menjadi campuran inferior dari Godfather dan Scarface, dengan menyoroti kehidupan keluarga mafia pada paruh pertamanya. Mulai dari tengah film, diperlihatkan kelaliman Escobar yang tega melenyapkan semua kenalan demi keamanan dirinya.

Untuk ukuran karya debut sebagai sutradara dari DiStefano, Paradise Lost adalah film yang ambisius dan solid. Pace terjaga dengan stabil dari awal hingga akhir film. Transisi cerita dari kisah romantis menjadi tipikal thriller kucing-kucingan mengalir dengan baik. Dengan tujuan relevansi, DiStefano memakai aktor Hispanik dan sebagian besar bahasa yang digunakan dalam film adalah bahasa Spayol — yang merupakan bahasa nasional Kolombia. Hutcherson pun hanya di banyak scene bahkan harus berbicara dengan bahasa Spanyol.

Hutcherson memberikan penampilan yang tak beda jauh dengan perannya dalam The Hunger Games sebagai pria naif yang menjadi korban situasi. Di lain pihak, meski mendapat porsi yang lebih sedikit, Del Toro tampil lebih superior sebagai mafia karismatik yang multidimensi, seorang family-man, seorang dermawan ala Robin Hood, namun juga sebagai penguasa kartel kokain terbesar di dunia.

Film ini adalah kisah cinta, bagaimana seorang pemuda polos yang menjalin cinta dengan gadis lokal harus terlibat dalam jaringan kartel narkoba, dengan latar belakang era kejatuhan Escobar. Bagi anda yang tak terlalu tahu bagaimana seorang Escobar sebenarnya — seperti halnya saya, film ini takkan menambah wawasan selain dari apa yang telah kita tahu: bandar narkoba yang kejam, tanpa konpromi dan sangat berpengaruh. Pada akhirnya, Paradise Lost adalah film melodrama-thriller yang menarik dan menegangkan hingga akhir. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Escobar: Paradise Lost' |
|

IMDb | Rottentomatoes
120 menit | Remaja

Sutradara Andrea DiStefano
Penulis Andrea DiStefano
Pemain Benicio Del Toro, Josh Hutcherson, Claudia Traisac

Wednesday, May 6, 2015

Review Film: 'The Forger' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Forger' (2015)
link : Review Film: 'The Forger' (2015)

Baca juga


John Travolta bemain sebagai seorang Forger, penjiplak lukisan terkenal dalam film drama-thriller yang terasa tak meyakinkan karena akibat kurangnya energi, karakterisasi, dan koherensi.

“It's never too late for one last heist.”
Meski tampil dengan poster yang cukup sugestif, The Forger bukanlah film pencurian yang menegangkan ala The Italian Job atau stylish ala Ocean Eleven. Istilah "The Forger" sendiri berasal dari istilah "forge" yang artinya menjiplak, dan di film ini John Travolta adalah seorang ahli penjiplak karya seni ternama. Memang temanya adalah tentang pencurian benda seni, namun porsinya hanya sedikit dan lebih fokus pada drama keluarga. Lemahnya karakterisasi dan intensitas alur membuat film ini tak punya energi dari awal.

John Travolta bermain sebagai Raymond, seorang mantan kriminal yang juga seorang forger, dan — menurut asumsi saya — cukup terkenal di bidangnya. Dibuka dengan adegan di dalam penjara, Raymond tengah menjalani masa hukuman yang tinggal 10 bulan, namun dengan bantuan rekannya Keegan (Anson Mount), dia akhirnya dibebaskan.

Keegan punya hutang besar dengan mafia besar (yang punya selera seni tinggi), dan satu-satunya cara untuk melunasinya adalah dengan membuktikan bahwa mereka bisa mengganti lukisan Monet di museum dengan lukisan palsu hasil forging tanpa ketahuan. Merasa berhutang — dan sedikit dipaksa oleh Keegan — Raymond melakukan one last heist.


Kenapa Raymond buru-buru ingin keluar penjara padahal hukumannya kurang dari setahun lagi? Anak semata wayangnya Will (Tye Sheridan), ternyata mengidap kanker otak stadium akhir. Sementara alasan ini memang masuk akal, pada akhirnya film ini tak tampil meyakinkan karena kurangnya karakterisasi, akting, dan koherensi plot.

Skenario dari Richard D'Ovidio mencoba menggabungkan 2 cerita yang sangat jauh berbeda yaitu antara kisah drama family bonding dengan aksi kriminal dan hal tersebut tak berhasil, baik sebagai kesatuan maupun secara terpisah. Tragisnya kehidupan Raymond dengan keluarga yang kacau dan mantan istri yang pecandu terasa palsu. Di lain sisi, aksi pencurian yang dilakukan Raymond sekeluarga, juga tak meyakinkan karena semua terjadi begitu mudah, bahkan dengan campur tangan FBI. Agen Paisley (Abigail Spencer) dan Detektif Devlin (Travis Aaron Wade) yang telah mengikuti Raymond sejak awal, selalu beberapa langkah ketinggalan, dan mau tak mau saya menilai mereka sebagai agen paling payah yang pernah ada.

Saya merasa sedikit canggung melihat John Travolta dengan wig dan jenggot minimalis. Travolta bermain sebagai pria sentimentil yang punya banyak masalah, baik dengan mafia maupun dengan keluarga. Dia bermaksud menjalin kembali hubungan dengan anaknya. Meski demikian, Travolta tampil monoton dengan ekspresi secanggung dan seaneh jenggotnya. Tak logis rasanya melihat pria dengan usia seuzur itu yang punya keahlian forging, namun masih bisa menghajar beberapa preman dengan tangan kosong.

Tye Sheridan memberikan akting yang lumayan sebagai seorang anak yang mengalami broken home dan kurang kasih sayang yang tinggal bersama sang kakek (Christopher Plummer). Dengan kondisinya yang sudah sekarat, Will punya "3 permintaan": bertemu ibunya, melepas keperjakaan, dan terlibat dalam "sesuatu" yang dikerjakan ayahnya. Yang terakhir mungkin sedikit tak rasional — toh dikabulkan juga oleh Raymond — namun dengan kondisi yang di ambang ajal, saya bisa mengerti keputusan Raymond mengabulkannya.

Meski kedengarannya banyak yang terjadi di depan layar, namun durasinya yang hanya satu setengah jam terasa lama. Tak hal baru yang disuguhkan dari skenario, dan sutradara Phillip Martin tampaknya hanya membiarkan kamera berjalan dan merekam apa yang sedang terjadi tanpa bermaksud menarik penonton. Paling tidak, begitu yang saya rasakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Forger' |
|

IMDb | Rottentomatoes
92 menit | Remaja

Sutradara Phillip Martin
Penulis Richard D'Ovidio
Pemain John Travolta, Tye Sheridan, Christopher Plummer

John Travolta bemain sebagai seorang Forger, penjiplak lukisan terkenal dalam film drama-thriller yang terasa tak meyakinkan karena akibat kurangnya energi, karakterisasi, dan koherensi.

“It's never too late for one last heist.”
Meski tampil dengan poster yang cukup sugestif, The Forger bukanlah film pencurian yang menegangkan ala The Italian Job atau stylish ala Ocean Eleven. Istilah "The Forger" sendiri berasal dari istilah "forge" yang artinya menjiplak, dan di film ini John Travolta adalah seorang ahli penjiplak karya seni ternama. Memang temanya adalah tentang pencurian benda seni, namun porsinya hanya sedikit dan lebih fokus pada drama keluarga. Lemahnya karakterisasi dan intensitas alur membuat film ini tak punya energi dari awal.

John Travolta bermain sebagai Raymond, seorang mantan kriminal yang juga seorang forger, dan — menurut asumsi saya — cukup terkenal di bidangnya. Dibuka dengan adegan di dalam penjara, Raymond tengah menjalani masa hukuman yang tinggal 10 bulan, namun dengan bantuan rekannya Keegan (Anson Mount), dia akhirnya dibebaskan.

Keegan punya hutang besar dengan mafia besar (yang punya selera seni tinggi), dan satu-satunya cara untuk melunasinya adalah dengan membuktikan bahwa mereka bisa mengganti lukisan Monet di museum dengan lukisan palsu hasil forging tanpa ketahuan. Merasa berhutang — dan sedikit dipaksa oleh Keegan — Raymond melakukan one last heist.


Kenapa Raymond buru-buru ingin keluar penjara padahal hukumannya kurang dari setahun lagi? Anak semata wayangnya Will (Tye Sheridan), ternyata mengidap kanker otak stadium akhir. Sementara alasan ini memang masuk akal, pada akhirnya film ini tak tampil meyakinkan karena kurangnya karakterisasi, akting, dan koherensi plot.

Skenario dari Richard D'Ovidio mencoba menggabungkan 2 cerita yang sangat jauh berbeda yaitu antara kisah drama family bonding dengan aksi kriminal dan hal tersebut tak berhasil, baik sebagai kesatuan maupun secara terpisah. Tragisnya kehidupan Raymond dengan keluarga yang kacau dan mantan istri yang pecandu terasa palsu. Di lain sisi, aksi pencurian yang dilakukan Raymond sekeluarga, juga tak meyakinkan karena semua terjadi begitu mudah, bahkan dengan campur tangan FBI. Agen Paisley (Abigail Spencer) dan Detektif Devlin (Travis Aaron Wade) yang telah mengikuti Raymond sejak awal, selalu beberapa langkah ketinggalan, dan mau tak mau saya menilai mereka sebagai agen paling payah yang pernah ada.

Saya merasa sedikit canggung melihat John Travolta dengan wig dan jenggot minimalis. Travolta bermain sebagai pria sentimentil yang punya banyak masalah, baik dengan mafia maupun dengan keluarga. Dia bermaksud menjalin kembali hubungan dengan anaknya. Meski demikian, Travolta tampil monoton dengan ekspresi secanggung dan seaneh jenggotnya. Tak logis rasanya melihat pria dengan usia seuzur itu yang punya keahlian forging, namun masih bisa menghajar beberapa preman dengan tangan kosong.

Tye Sheridan memberikan akting yang lumayan sebagai seorang anak yang mengalami broken home dan kurang kasih sayang yang tinggal bersama sang kakek (Christopher Plummer). Dengan kondisinya yang sudah sekarat, Will punya "3 permintaan": bertemu ibunya, melepas keperjakaan, dan terlibat dalam "sesuatu" yang dikerjakan ayahnya. Yang terakhir mungkin sedikit tak rasional — toh dikabulkan juga oleh Raymond — namun dengan kondisi yang di ambang ajal, saya bisa mengerti keputusan Raymond mengabulkannya.

Meski kedengarannya banyak yang terjadi di depan layar, namun durasinya yang hanya satu setengah jam terasa lama. Tak hal baru yang disuguhkan dari skenario, dan sutradara Phillip Martin tampaknya hanya membiarkan kamera berjalan dan merekam apa yang sedang terjadi tanpa bermaksud menarik penonton. Paling tidak, begitu yang saya rasakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Forger' |
|

IMDb | Rottentomatoes
92 menit | Remaja

Sutradara Phillip Martin
Penulis Richard D'Ovidio
Pemain John Travolta, Tye Sheridan, Christopher Plummer

Monday, May 4, 2015

Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Masih Kokoh Berada di Puncak

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Masih Kokoh Berada di Puncak
link : Bioskop Indonesia: 'Romeo+Rinjani' Masih Kokoh Berada di Puncak

Baca juga


'Toba Dreams' dan 'Cinta Selamanya' tak mampu menggeser 'Romeo+Rinjani' yang tetap tak bergeming di pemuncak bioskop Indonesia.
Memasuki minggu keduanya, Romeo+Rinjani masih bertahan di pemuncak bioskop Indonesia. Bahkan minggu ini, film Fajar Bustomi tersebut memperoleh penonton 39% lebih banyak dibandingkan minggu lalu, dengan raihan 80.482 penonton. Hingga saat ini, Romeo+Rinjani telah mengumpulkan 138.238 penonton.

Uniknya, minggu ini ada 2 film couple yang dirilis, Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto dengan Cinta Selamanya serta Vino Bastian dan Marsha Timothy dengan Toba Dreams. Jika anda ingin membandingkan, pasangan yang menang adalah pasangan kedua. Toba Dreams berhasil meraih 60.735 penonton. Diadaptasi dari novel berjudul sama, film ini cukup disukai penonton, bahkan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla pun ikut memuji.


//hariansib

Sebagai satu-satunya film horor, Miss Call masuk di posisi ketiga dengan mengumpulkan 29.321 penonton. Film ini bercerita tentang Mitha yang iseng me-miss call yang berujung pada kematian seorang wanita, dan mengalami kejadian-kejadian aneh setelahnya.

Sementara itu film pasangan Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan yang diangkat berdasarkan kisah nyata Fira & Hafez hanya mampu meraih 28.687 penonton dan masuk di posisi keempat. Saya awalnya tak tahu siapa Fira, dan saya rasa tak banyak juga penonton yang tahu. Fira Basuki adalah novelis dan pemimpin redaksi majalah Cosmopolitan yang suaminya berpulang karena Aneurisma (pecahnya pembuluh otak). Premisnya cukup menyentuh, namun kurang familiarnya tokoh yang diangkat tampaknya cukup mempengaruhi jumlah penonton.

Di posisi buncit, Turis Romantis masih bertahan di minggu keduanya meski harus turun 49,4%. Film debut layar lebar Shaheer Shekh ini menambah 12.017 penonton dan hingga saat ini totalnya adalah 35.777 penonton.

Pemuncak Bioskop Indonesia 27 April - 3 Mei 2015

#01 Romeo+Rinjani


Minggu ini: 80.482 penonton
Total: 138.238 penonton

#02 Toba Dreams


Minggu ini: 60.735 penonton
Total: 60.735 penonton

#03 Miss Call


Minggu ini: 29.321 penonton
Total: 29.321 penonton

#04 Cinta Selamanya


Minggu ini: 28.678 penonton
Total: 28.678 penonton

#05 Turis Romantis


Minggu ini: 12.017 penonton
Total: 35.777 penonton

Ulasan Pemuncak Bioskop Indonesia minggu lalu: 'Romeo+Rinjani' Sampai di Puncak, Disusul 'Wewe' ©UP

'Toba Dreams' dan 'Cinta Selamanya' tak mampu menggeser 'Romeo+Rinjani' yang tetap tak bergeming di pemuncak bioskop Indonesia.
Memasuki minggu keduanya, Romeo+Rinjani masih bertahan di pemuncak bioskop Indonesia. Bahkan minggu ini, film Fajar Bustomi tersebut memperoleh penonton 39% lebih banyak dibandingkan minggu lalu, dengan raihan 80.482 penonton. Hingga saat ini, Romeo+Rinjani telah mengumpulkan 138.238 penonton.

Uniknya, minggu ini ada 2 film couple yang dirilis, Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto dengan Cinta Selamanya serta Vino Bastian dan Marsha Timothy dengan Toba Dreams. Jika anda ingin membandingkan, pasangan yang menang adalah pasangan kedua. Toba Dreams berhasil meraih 60.735 penonton. Diadaptasi dari novel berjudul sama, film ini cukup disukai penonton, bahkan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla pun ikut memuji.


//hariansib

Sebagai satu-satunya film horor, Miss Call masuk di posisi ketiga dengan mengumpulkan 29.321 penonton. Film ini bercerita tentang Mitha yang iseng me-miss call yang berujung pada kematian seorang wanita, dan mengalami kejadian-kejadian aneh setelahnya.

Sementara itu film pasangan Rio Dewanto dan Atiqah Hasiholan yang diangkat berdasarkan kisah nyata Fira & Hafez hanya mampu meraih 28.687 penonton dan masuk di posisi keempat. Saya awalnya tak tahu siapa Fira, dan saya rasa tak banyak juga penonton yang tahu. Fira Basuki adalah novelis dan pemimpin redaksi majalah Cosmopolitan yang suaminya berpulang karena Aneurisma (pecahnya pembuluh otak). Premisnya cukup menyentuh, namun kurang familiarnya tokoh yang diangkat tampaknya cukup mempengaruhi jumlah penonton.

Di posisi buncit, Turis Romantis masih bertahan di minggu keduanya meski harus turun 49,4%. Film debut layar lebar Shaheer Shekh ini menambah 12.017 penonton dan hingga saat ini totalnya adalah 35.777 penonton.

Pemuncak Bioskop Indonesia 27 April - 3 Mei 2015

#01 Romeo+Rinjani


Minggu ini: 80.482 penonton
Total: 138.238 penonton

#02 Toba Dreams


Minggu ini: 60.735 penonton
Total: 60.735 penonton

#03 Miss Call


Minggu ini: 29.321 penonton
Total: 29.321 penonton

#04 Cinta Selamanya


Minggu ini: 28.678 penonton
Total: 28.678 penonton

#05 Turis Romantis


Minggu ini: 12.017 penonton
Total: 35.777 penonton

Ulasan Pemuncak Bioskop Indonesia minggu lalu: 'Romeo+Rinjani' Sampai di Puncak, Disusul 'Wewe' ©UP

Sunday, May 3, 2015

Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Berkuasa dengan $187,7 Juta, namun Tak Mampu Kalahkan Rekor 'The Avengers'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Berkuasa dengan $187,7 Juta, namun Tak Mampu Kalahkan Rekor 'The Avengers'
link : Box Office: 'Avengers: Age of Ultron' Berkuasa dengan $187,7 Juta, namun Tak Mampu Kalahkan Rekor 'The Avengers'

Baca juga


Pertandingan tinju 'Pacquiao vs Mayweather' ternyata berdampak bagi pendapatan 'Avengers: Age of Ultron' di Amerika. Meski menjadi pemuncak box office dengan pendapatan masif $187,7 juta, 'Age of Ultron' tak berhasil melewati rekor film pertamanya.
Seperti sudah diprediksi sebelumnya, Avengers: Age of Ultron langsung menguasai box office pada minggu pertama penayangannya di Amerika. Meski penonton bisa dibilang menyukai film ini (dengan nilai CinemaScore "A"), Age of Ultron "hanya" meraup laba $187,7 juta dan menjadi film kedua dengan pendapatan awal terbesar sepanjang masa. Peringkat pertama masih dipegang The Avengers pada 2012 lalu dengan $207,4 juta.

Awalnya Age of Ultron melewati rekor The Avengers pada hari Jumat namun pada hari Sabtu, pendapatannya anjlok 18% dan hanya mengumpulkan $57,2 juta. Kemungkinan besar penurunan ini terjadi gara-gara pertandingan tinju Pacquiao vs Mayweather yang juga tayang pada malam minggu waktu Amerika.

//screenrant

Meski demikian, film ini sudah mengumpulkan laba lebih banyak di luar Amerika yaitu $439 juta padahal ini belum termasuk pasar Cina dan Jepang yang baru akan tayang beberapa minggu lagi.

Film-film lain yang sedang tayang di Amerika, mengalami penurunan drastis akibat Avengers: Age of Ultron. The Age of Adaline harus mengalami penurunan sebesar 52,7% dan menambah pendapatan $6,2 juta dengan total $23,4 juta.

Furious 7 dihajar keras oleh Ultron dan anjlok sebesar 65,7% dan jatuh dari posisi pertama ke posisi ketiga dengan $6,1 juta. Namun film ini telah mengumpulkan laba hingga $1,4 miliar secara internasional dan menjadi film dengan pendapatan total tertinggi keempat sepanjang masa. Pertanyaan utamanya adalah apakah Captain America dkk bisa mengalahkan rekor Vin Diesel dkk tersebut?

Film komedi Paul Blart: Mall Cop 2, jatuh dari posisi kedua ke posisi keempat dengan raihan $5,5 juta. Film ini mengalami penurunan 62,4%. Sementara satu-satunya film animasi, Home masih bertahan di box office pada minggu keenamnya dengan $3,3 juta dan total pendapatannya saat ini adalah $135 juta.

Weekend Box Office 1 Mei - 3 Mei 2015

#01 Avengers: Age of Ultron


Minggu ini: $187,656,000
Total: $187,656,000

#02 The Age of Adaline


Minggu ini: $6,250,000
Total: $23,424,000

#03 Furious 7


Minggu ini: $6,114,000
Total: $330,539,000

#04 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $5,550,000
Total: $51,186,000

#05 Home


Minggu ini: $3,300,000
Total: $158,132,000

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: 'Avengers: Age of Ultron' Meledak di Pasar Internasional, 'Furious 7' untuk Terakhir Kalinya Jadi No.1 ©UP

Pertandingan tinju 'Pacquiao vs Mayweather' ternyata berdampak bagi pendapatan 'Avengers: Age of Ultron' di Amerika. Meski menjadi pemuncak box office dengan pendapatan masif $187,7 juta, 'Age of Ultron' tak berhasil melewati rekor film pertamanya.
Seperti sudah diprediksi sebelumnya, Avengers: Age of Ultron langsung menguasai box office pada minggu pertama penayangannya di Amerika. Meski penonton bisa dibilang menyukai film ini (dengan nilai CinemaScore "A"), Age of Ultron "hanya" meraup laba $187,7 juta dan menjadi film kedua dengan pendapatan awal terbesar sepanjang masa. Peringkat pertama masih dipegang The Avengers pada 2012 lalu dengan $207,4 juta.

Awalnya Age of Ultron melewati rekor The Avengers pada hari Jumat namun pada hari Sabtu, pendapatannya anjlok 18% dan hanya mengumpulkan $57,2 juta. Kemungkinan besar penurunan ini terjadi gara-gara pertandingan tinju Pacquiao vs Mayweather yang juga tayang pada malam minggu waktu Amerika.

//screenrant

Meski demikian, film ini sudah mengumpulkan laba lebih banyak di luar Amerika yaitu $439 juta padahal ini belum termasuk pasar Cina dan Jepang yang baru akan tayang beberapa minggu lagi.

Film-film lain yang sedang tayang di Amerika, mengalami penurunan drastis akibat Avengers: Age of Ultron. The Age of Adaline harus mengalami penurunan sebesar 52,7% dan menambah pendapatan $6,2 juta dengan total $23,4 juta.

Furious 7 dihajar keras oleh Ultron dan anjlok sebesar 65,7% dan jatuh dari posisi pertama ke posisi ketiga dengan $6,1 juta. Namun film ini telah mengumpulkan laba hingga $1,4 miliar secara internasional dan menjadi film dengan pendapatan total tertinggi keempat sepanjang masa. Pertanyaan utamanya adalah apakah Captain America dkk bisa mengalahkan rekor Vin Diesel dkk tersebut?

Film komedi Paul Blart: Mall Cop 2, jatuh dari posisi kedua ke posisi keempat dengan raihan $5,5 juta. Film ini mengalami penurunan 62,4%. Sementara satu-satunya film animasi, Home masih bertahan di box office pada minggu keenamnya dengan $3,3 juta dan total pendapatannya saat ini adalah $135 juta.

Weekend Box Office 1 Mei - 3 Mei 2015

#01 Avengers: Age of Ultron


Minggu ini: $187,656,000
Total: $187,656,000

#02 The Age of Adaline


Minggu ini: $6,250,000
Total: $23,424,000

#03 Furious 7


Minggu ini: $6,114,000
Total: $330,539,000

#04 Paul Blart: Mall Cop 2


Minggu ini: $5,550,000
Total: $51,186,000

#05 Home


Minggu ini: $3,300,000
Total: $158,132,000

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: 'Avengers: Age of Ultron' Meledak di Pasar Internasional, 'Furious 7' untuk Terakhir Kalinya Jadi No.1 ©UP

Friday, May 1, 2015

Review Film: 'Testament of Youth' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Biografi, Artikel Drama, Artikel Perang, Artikel Review, Artikel Sejarah, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Testament of Youth' (2015)
link : Review Film: 'Testament of Youth' (2015)

Baca juga


Diangkat dari memoar Vera Brittain yang berlatar perang Dunia I, film biopik yang merupakan debut dari James Kent ini tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional.

“They'll want me to forget. But i can't. I won't. This is my promise to you now.”
— Vera Brittain
Diangkat dari memoar berjudul sama dari Vera Brittain yang dirilis pada 1933, Testament of Youth adalah sebuah kisah cinta berlatang Perang Dunia I. Terdengar familiar, karena memang sudah banyak film yang mengambil tema serupa. Namun ditangani dengan matang oleh para kru dan diperankan dengan indah oleh para pemainnya membuat Testament of Youth menjadi biopik Vera Brittain yang intim sekaligus refleksi perang yang riil.

Siapa Vera Brittain? Mungkin banyak dari anda yang tak tahu, seperti halnya saya sebelum menonton film ini. Vera Brittain adalah seorang penulis wanita yang juga aktivis perang terkemuka di abad 20 di Inggris. Memoarnya yang terkenal pernah diangkat oleh BBC menjadi mini-series pada 1979, dan sekarang BBC kembali mengadaptasinya — namun ke layar lebar — dengan tokoh Vera yang dibintangi oleh bintang muda Alicia Vikander.

Vera (Vikander) adalah seorang gadis muda yang brilian tapi sedikit pemberontak. Mirip dengan Kartini kita, Vera yakin bahwa wanita punya hak yang sama dengan pria, berbeda dengan prinsip kedua orangtuanya yang kolot, Mr. dan Mrs. Brittain (diperankan oleh bintang veteran Dominic West dan Emily Watson) yang menganggap bahwa seorang wanita harusnya duduk di rumah dan mempersiapkan diri menjadi istri yang baik. Bagaimanapun, Vera akan dijodohkan dengan seorang tentara muda Roland Leighton (Kit Harrington). Vera menolak dan lebih memilih untuk kuliah.

Meskipun awalnya niat Vera untuk kuliah di Oxford ditentang oleh kedua orangtuanya tersebut, namun berkat persuasi dari adiknya, Edward (Taron Egerton), Vera akhirnya diperbolehkan untuk mendaftar. Sementara menunggu hasil tes masuk, hubungan Vera dengan Roland semakin dekat, karena Roland pun sebenarnya 3 sekawan dengan Edward dan Victor Richardson (Colin Morgan).


Paruh pertama, penonton akan disuguhkan dengan kisah cinta nan romantis antara Vera dengan Roland. Di jaman itu, hubungan asmara tak dilarang memang, namun tak boleh diekspos berlebihan sebelum resmi menikah. Mereka berdua harus kucing-kucingan dari Tante Belle (Joanna Scanlan) yang selalu mengawasi. Tak ada kontak fisik vulgar, tak ada kata-kata gombal murahan. Meski bergitu, manisnya hubungan mereka bisa dirasakan dari interaksi keduanya yang malu-malu kucing.

Saat Perang Dunia I pecah, Edward mendaftar untuk berperang di garda depan, diikuti oleh Roland. Bermaksud untuk menyusul keduanya, Vera meninggalkan kuliah dan orangtuanya untuk bergabung sebagai perawat yang menangani korban (baik pihak Inggris maupun Jerman) langsung ke medan perang.

Nah di paruh kedua inilah, setting kemudian berubah. Namun transisi dari drama cinta ke cerita perang ditangani dengan baik oleh sutradara James Kent, sehingga tak terasa janggal. Kent membangun karakter di awal dan membuat kita terikat dengan setiap karakter tersebut, sebelum akhirnya terjadi tragedi yang mau tak mau membuat kita simpatik.

Juliette Towhidi membuat naskah yang lebih superior dibandingkan dengan naskah rom-com Love, Rosie yang juga ditulisnya. Meski tetap berfokus pada Vera, namun semua karakter mendapat porsi yang proporsional, dimana tak ada karakterisasi yang underwritten. Meskipun ada beberapa adegan klise, seperti perpisahan Vera dengan Roland di kereta api, namun tetap terasa emosional dan dramatis.

Sebagai biopik Vera Brittain, tanggung jawab paling besar tentu jatuh pada Alicia Vikander. Bintang muda yang pernah bermain dalam Anna Karenina ini memberikan penampilan yang luar biasa, membawakan karakter Vera sebagai wanita yang cerdas, polos, tangguh, namun juga punya sisi sensitif. Vikander membuat kita peduli dengan Vera dari senyumannya, tangisnya, hingga kemauan kerasnya. Kita tak hanya tahu Vera dari kisah hidupnya melainkan juga dari sisi emosionalnya.

Walaupun diisi dengan nama-nama muda yang cenderung baru di blantika perfilman — anda mungkin ingat Egerton dari perannya sebagai Eggsy dalam Kingsman dan Harrington sebagai Jon Snow dalam serial Game of Thrones — penampilan mereka tak sekedar "numpang lewat". Sedikit banyak berkat naskah Towhidi, semua tokoh pendukung berkesan dari peran minornya masing-masing.

Dengan mengambil sudut pandang Vera, Testament of Youth menggambarkan tragisnya perang secara tidak langsung, melainkan dari perspektif orang-orang yang ditinggalkan, dan dari korespondensi yang dilakukan Vera. Adegan perang tak diperlihatkan di layar, namun dari parahnya kondisi korban yang dirawat oleh Vera, bisa diketahui betapa mengerikannya perang yang terjadi.

Hanya berbujet kecil — dikabarkan sekitar $10 juta — tampilan film ini sungguh mengagumkan. Desainer produksi Jon Henson menghadirkan setting abad 20 yang meyakinkan, mulai dari setting bangunan, kendaraan yang dipakai, hingga pakaian. Hampir sepanjang film saya terpesona dengan pemandangan indah dari sinematografer Rob Hardy yang tampaknya bekerja keras mengambil gambar dengan lokasi, timing, dan angle yang pas. Scoring dari Max Richter mungkin tak sekaliber Johann Johannson dalam The Theory of Everything, namun setidaknya sesuai dengan atmosfer film.

Sebagai debut layar lebar dari sutradara James Kent yang biasa menangani TV, ini adalah film yang cantik. Dari apa yang saya tonton, saya bisa merasakan kerja keras kru di balik layar dan para aktornya untuk menghasilkan film yang menyajikan drama sekaligus keotentikan sejarah. Tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Testament of Youth' |
|

IMDb | Rottentomatoes
129 menit | Remaja

Sutradara James Kent
Penulis Juliette Towhidi(screenplay), Vera Brittain (buku)
Pemain Alicia Vikander, Taron Egerton, Kit Harrington

Diangkat dari memoar Vera Brittain yang berlatar perang Dunia I, film biopik yang merupakan debut dari James Kent ini tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional.

“They'll want me to forget. But i can't. I won't. This is my promise to you now.”
— Vera Brittain
Diangkat dari memoar berjudul sama dari Vera Brittain yang dirilis pada 1933, Testament of Youth adalah sebuah kisah cinta berlatang Perang Dunia I. Terdengar familiar, karena memang sudah banyak film yang mengambil tema serupa. Namun ditangani dengan matang oleh para kru dan diperankan dengan indah oleh para pemainnya membuat Testament of Youth menjadi biopik Vera Brittain yang intim sekaligus refleksi perang yang riil.

Siapa Vera Brittain? Mungkin banyak dari anda yang tak tahu, seperti halnya saya sebelum menonton film ini. Vera Brittain adalah seorang penulis wanita yang juga aktivis perang terkemuka di abad 20 di Inggris. Memoarnya yang terkenal pernah diangkat oleh BBC menjadi mini-series pada 1979, dan sekarang BBC kembali mengadaptasinya — namun ke layar lebar — dengan tokoh Vera yang dibintangi oleh bintang muda Alicia Vikander.

Vera (Vikander) adalah seorang gadis muda yang brilian tapi sedikit pemberontak. Mirip dengan Kartini kita, Vera yakin bahwa wanita punya hak yang sama dengan pria, berbeda dengan prinsip kedua orangtuanya yang kolot, Mr. dan Mrs. Brittain (diperankan oleh bintang veteran Dominic West dan Emily Watson) yang menganggap bahwa seorang wanita harusnya duduk di rumah dan mempersiapkan diri menjadi istri yang baik. Bagaimanapun, Vera akan dijodohkan dengan seorang tentara muda Roland Leighton (Kit Harrington). Vera menolak dan lebih memilih untuk kuliah.

Meskipun awalnya niat Vera untuk kuliah di Oxford ditentang oleh kedua orangtuanya tersebut, namun berkat persuasi dari adiknya, Edward (Taron Egerton), Vera akhirnya diperbolehkan untuk mendaftar. Sementara menunggu hasil tes masuk, hubungan Vera dengan Roland semakin dekat, karena Roland pun sebenarnya 3 sekawan dengan Edward dan Victor Richardson (Colin Morgan).


Paruh pertama, penonton akan disuguhkan dengan kisah cinta nan romantis antara Vera dengan Roland. Di jaman itu, hubungan asmara tak dilarang memang, namun tak boleh diekspos berlebihan sebelum resmi menikah. Mereka berdua harus kucing-kucingan dari Tante Belle (Joanna Scanlan) yang selalu mengawasi. Tak ada kontak fisik vulgar, tak ada kata-kata gombal murahan. Meski bergitu, manisnya hubungan mereka bisa dirasakan dari interaksi keduanya yang malu-malu kucing.

Saat Perang Dunia I pecah, Edward mendaftar untuk berperang di garda depan, diikuti oleh Roland. Bermaksud untuk menyusul keduanya, Vera meninggalkan kuliah dan orangtuanya untuk bergabung sebagai perawat yang menangani korban (baik pihak Inggris maupun Jerman) langsung ke medan perang.

Nah di paruh kedua inilah, setting kemudian berubah. Namun transisi dari drama cinta ke cerita perang ditangani dengan baik oleh sutradara James Kent, sehingga tak terasa janggal. Kent membangun karakter di awal dan membuat kita terikat dengan setiap karakter tersebut, sebelum akhirnya terjadi tragedi yang mau tak mau membuat kita simpatik.

Juliette Towhidi membuat naskah yang lebih superior dibandingkan dengan naskah rom-com Love, Rosie yang juga ditulisnya. Meski tetap berfokus pada Vera, namun semua karakter mendapat porsi yang proporsional, dimana tak ada karakterisasi yang underwritten. Meskipun ada beberapa adegan klise, seperti perpisahan Vera dengan Roland di kereta api, namun tetap terasa emosional dan dramatis.

Sebagai biopik Vera Brittain, tanggung jawab paling besar tentu jatuh pada Alicia Vikander. Bintang muda yang pernah bermain dalam Anna Karenina ini memberikan penampilan yang luar biasa, membawakan karakter Vera sebagai wanita yang cerdas, polos, tangguh, namun juga punya sisi sensitif. Vikander membuat kita peduli dengan Vera dari senyumannya, tangisnya, hingga kemauan kerasnya. Kita tak hanya tahu Vera dari kisah hidupnya melainkan juga dari sisi emosionalnya.

Walaupun diisi dengan nama-nama muda yang cenderung baru di blantika perfilman — anda mungkin ingat Egerton dari perannya sebagai Eggsy dalam Kingsman dan Harrington sebagai Jon Snow dalam serial Game of Thrones — penampilan mereka tak sekedar "numpang lewat". Sedikit banyak berkat naskah Towhidi, semua tokoh pendukung berkesan dari peran minornya masing-masing.

Dengan mengambil sudut pandang Vera, Testament of Youth menggambarkan tragisnya perang secara tidak langsung, melainkan dari perspektif orang-orang yang ditinggalkan, dan dari korespondensi yang dilakukan Vera. Adegan perang tak diperlihatkan di layar, namun dari parahnya kondisi korban yang dirawat oleh Vera, bisa diketahui betapa mengerikannya perang yang terjadi.

Hanya berbujet kecil — dikabarkan sekitar $10 juta — tampilan film ini sungguh mengagumkan. Desainer produksi Jon Henson menghadirkan setting abad 20 yang meyakinkan, mulai dari setting bangunan, kendaraan yang dipakai, hingga pakaian. Hampir sepanjang film saya terpesona dengan pemandangan indah dari sinematografer Rob Hardy yang tampaknya bekerja keras mengambil gambar dengan lokasi, timing, dan angle yang pas. Scoring dari Max Richter mungkin tak sekaliber Johann Johannson dalam The Theory of Everything, namun setidaknya sesuai dengan atmosfer film.

Sebagai debut layar lebar dari sutradara James Kent yang biasa menangani TV, ini adalah film yang cantik. Dari apa yang saya tonton, saya bisa merasakan kerja keras kru di balik layar dan para aktornya untuk menghasilkan film yang menyajikan drama sekaligus keotentikan sejarah. Tak hanya indah secara visual, namun juga intim secara emosional. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Testament of Youth' |
|

IMDb | Rottentomatoes
129 menit | Remaja

Sutradara James Kent
Penulis Juliette Towhidi(screenplay), Vera Brittain (buku)
Pemain Alicia Vikander, Taron Egerton, Kit Harrington