Friday, August 11, 2017

Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Animasi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)
link : Review Film: 'The Emoji Movie' (2017)

Baca juga


'The Emoji Movie' bukan film yang *poop emoji*, melainkan hanya film yang *meh emoji*.

“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion!”
— Gene
Emoji memang berfungsi untuk membumbui komunikasi teks agar lebih ekspresif, bisa menyampaikan emosi dengan lebih sigap dan simpel daripada mengetik teks panjang lebar. Namun setiap emoji hanya berlaku untuk satu ekspresi. Emoji "Cry" dipakai untuk ekspresi sedih. "Blush" untuk tersipu. "Angry" untuk marah. "Laughing" untuk tertawa. Dan "Meh" cocok digunakan ketika kita tak terkesan. Entah itu saat mendengar tren baru yang tak kita pahami darimana hebohnya (Fidget Spinner, misalnya), dikirimi lelucon khas grup WA keluarga, atau saat menonton film The Emoji Movie.

The Emoji Movie, yang sudah dirilis 2 minggu lebih awal di Amerika, mendapat prediket buruk sebagai salah satu film sampah yang pernah dibuat. Saya tak melebih-lebihkan, silakan baca review luar negeri. Telah menontonnya sendiri, saya pikir film ini tak seburuk itu. Tapi saya juga tak bilang ini film yang bagus. The Emoji Movie bukan film yang 💩, melainkan hanya film yang 😒. Filmnya cuma membosankan dan malas saja.


Saya tak bisa menyalahkan anak-anak yang sangat-sangat kecil yang kemungkinan besar akan menikmati film ini sebagai hiburan ringan. Filmnya berisi apa yang mereka suka: warna-warni mencolok dan animasi hiperaktif. Namun The Emoji Movie hanya bermain di permukaan. Filmnya tak menawarkan sesuatu yang benar-benar kreatif atau greget. Leluconnya sangat basic, pembangunan semestanya tak imajinatif, dan plotnya relatif predictable. Filmnya terlalu dangkal dan cenderung bodoh di era dimana film animasi sudah berada di level lebih tinggi. Jika anda pikir anda bisa menebak plotnya hanya dengan mendengar premisnya, maka kemungkinan besar tebakan anda benar.

Nah, coba yang ini. Di dalam sebuah aplikasi perpesanan dalam smartphone, ada kota Textopolis yang populasinya diisi oleh semua emoji. Tugas mereka masing-masing adalah mengekspresikan satu emosi, yang akan di-scan oleh aplikasi kemudian dikirim oleh pemilik smartphone. Tapi Gene (TJ Miller), sebuah emoji "Meh" punya banyak ekspresi, tak seperti emoji normal. Jadi apa yang akan dia lakukan? Tentu saja, melakukan perjalanan untuk mencari jati diri. Tak lengkap jika ia tak ditemani satu teman sebagai tukang ngelawak: Hi-5 (James Corden), dan satu teman lagi yang rasional tapi dalam hal ini sedikit rebel: Jailbreak (Anna Faris).

Sembari menonton, pikiran saya menerawang. Pemilik smartphone ini adalah remaja tanggung bernama Alex (Jake T. Austin) yang selalu ragu saat ingin mengirim emoji kepada gebetannya, Addie (Tati Gabrielle). Karena film hanya berlangsung di smartphone Alex, saya jadi penasaran bagaimana suasana Textopolis di smartphone orang lain. Saat emoji yang dikirim sampai ke smartphone penerima, apa yang terjadi disana? Mungkin tak terjadi apa-apa kali ya, karena di Textopolis Alex tak ada keanehan semacam itu. Entah karena memang mekanikanya begitu, atau justru Alex yang tak pernah mendapat kiriman emoji dari orang lain. Puk puk.

Gene membuat kekacauan saat terlalu grogi sampai menampilkan ekspresi gado-gado saat dikirim Alex. Ini memancing amarah diktator negeri emoji, Smiler (Maya Rudolph) sehingga ia mengutus bot antivirus untuk melenyapkan Gene. Premis film mengijinkan karakter kita berpindah-pindah dari satu area ke area lain. Jika Wreck-It Ralph menyuguhkan set-pieces variatif yang imajinatif, di The Emoji Movie saya curiga ini merupakan promosi komersial untuk beberapa aplikasi. Gene harus menjadi pemain —sebagai candy— di Candy Crush. Gene mengajarkan Jailbreak berdansa di game Just Dance. Di satu momen, mereka berlayar di Spotify (cause it's STREAMING, get it?). Dan tujuan mereka adalah cloud milik aplikasi Dropbox yang "bebas malware dan aman". Ada satu lagi karakter dari aplikasi berlogo burung yang menjadi penyelamat. Bukan, bukan Traveloka.

Film ini tak sedemikian beracun sampai memaksa saya mencuci mata sehabis menonton. Tapi cukup membuat saya menguap berkali-kali. Pembuat The Emoji Movie tak mengisi filmnya dengan humor berbobot, gaya visual, atau perspektif narasi segar yang membuat kita terikat. Kentara sekali film ini adalah produk rapat eksekutif yang oportunis. Sasarannya plot dan humor gampangan. Emoji "Poop" yang dimainkan oleh Yang Terhormat Patrick Stewart punya permainan kata tentang eek yang akan lebih mengena dalam bahasa Inggris. Lalu, apa yang dilakukan emoji "Monkey" yang berpakaian jas? "Monkey business", tentu saja. Hi-5 terutama, terjebak dalam running-gag mengenai memakan muntahan kembali. Dan ngomong-ngomong, film ini dibuka dengan film pendek dari Hotel Transylvania yang berjudul "Puppy!", tentang Drakula yang membelikan cucunya seekor anjing raksasa. Film ini selucu lelucon "monkey business".

Anak-anak mungkin juga takkan keberatan dengan pesan moral mengenai penerimaan diri dan kasih sayang orangtua (yap, Gene punya orangtua yang juga emoji Meh yang diisikan suaranya oleh Steven Wright dan Jennifer Coolidge) yang sudah sering mereka lihat di film yang lebih bagus. Tapi tolong nasihati mereka agar tak salah tanggap mengira bahwa mengirim emoji bisa dengan mudah membuat mereka di-notice seseorang. Oh satu lagi. Candy Crush is awesome, but not that awesome. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Emoji Movie

91 menit
Semua Umur - BO
Tony Leondis
Tony Leondis, Eric Siegel, Mike White
Michelle Raimo Kouyate
Patrick Doyle

'The Emoji Movie' bukan film yang *poop emoji*, melainkan hanya film yang *meh emoji*.

“My feelings are huge. Maybe I'm meant to have more than just one emotion!”
— Gene
Emoji memang berfungsi untuk membumbui komunikasi teks agar lebih ekspresif, bisa menyampaikan emosi dengan lebih sigap dan simpel daripada mengetik teks panjang lebar. Namun setiap emoji hanya berlaku untuk satu ekspresi. Emoji "Cry" dipakai untuk ekspresi sedih. "Blush" untuk tersipu. "Angry" untuk marah. "Laughing" untuk tertawa. Dan "Meh" cocok digunakan ketika kita tak terkesan. Entah itu saat mendengar tren baru yang tak kita pahami darimana hebohnya (Fidget Spinner, misalnya), dikirimi lelucon khas grup WA keluarga, atau saat menonton film The Emoji Movie.

The Emoji Movie, yang sudah dirilis 2 minggu lebih awal di Amerika, mendapat prediket buruk sebagai salah satu film sampah yang pernah dibuat. Saya tak melebih-lebihkan, silakan baca review luar negeri. Telah menontonnya sendiri, saya pikir film ini tak seburuk itu. Tapi saya juga tak bilang ini film yang bagus. The Emoji Movie bukan film yang 💩, melainkan hanya film yang 😒. Filmnya cuma membosankan dan malas saja.


Saya tak bisa menyalahkan anak-anak yang sangat-sangat kecil yang kemungkinan besar akan menikmati film ini sebagai hiburan ringan. Filmnya berisi apa yang mereka suka: warna-warni mencolok dan animasi hiperaktif. Namun The Emoji Movie hanya bermain di permukaan. Filmnya tak menawarkan sesuatu yang benar-benar kreatif atau greget. Leluconnya sangat basic, pembangunan semestanya tak imajinatif, dan plotnya relatif predictable. Filmnya terlalu dangkal dan cenderung bodoh di era dimana film animasi sudah berada di level lebih tinggi. Jika anda pikir anda bisa menebak plotnya hanya dengan mendengar premisnya, maka kemungkinan besar tebakan anda benar.

Nah, coba yang ini. Di dalam sebuah aplikasi perpesanan dalam smartphone, ada kota Textopolis yang populasinya diisi oleh semua emoji. Tugas mereka masing-masing adalah mengekspresikan satu emosi, yang akan di-scan oleh aplikasi kemudian dikirim oleh pemilik smartphone. Tapi Gene (TJ Miller), sebuah emoji "Meh" punya banyak ekspresi, tak seperti emoji normal. Jadi apa yang akan dia lakukan? Tentu saja, melakukan perjalanan untuk mencari jati diri. Tak lengkap jika ia tak ditemani satu teman sebagai tukang ngelawak: Hi-5 (James Corden), dan satu teman lagi yang rasional tapi dalam hal ini sedikit rebel: Jailbreak (Anna Faris).

Sembari menonton, pikiran saya menerawang. Pemilik smartphone ini adalah remaja tanggung bernama Alex (Jake T. Austin) yang selalu ragu saat ingin mengirim emoji kepada gebetannya, Addie (Tati Gabrielle). Karena film hanya berlangsung di smartphone Alex, saya jadi penasaran bagaimana suasana Textopolis di smartphone orang lain. Saat emoji yang dikirim sampai ke smartphone penerima, apa yang terjadi disana? Mungkin tak terjadi apa-apa kali ya, karena di Textopolis Alex tak ada keanehan semacam itu. Entah karena memang mekanikanya begitu, atau justru Alex yang tak pernah mendapat kiriman emoji dari orang lain. Puk puk.

Gene membuat kekacauan saat terlalu grogi sampai menampilkan ekspresi gado-gado saat dikirim Alex. Ini memancing amarah diktator negeri emoji, Smiler (Maya Rudolph) sehingga ia mengutus bot antivirus untuk melenyapkan Gene. Premis film mengijinkan karakter kita berpindah-pindah dari satu area ke area lain. Jika Wreck-It Ralph menyuguhkan set-pieces variatif yang imajinatif, di The Emoji Movie saya curiga ini merupakan promosi komersial untuk beberapa aplikasi. Gene harus menjadi pemain —sebagai candy— di Candy Crush. Gene mengajarkan Jailbreak berdansa di game Just Dance. Di satu momen, mereka berlayar di Spotify (cause it's STREAMING, get it?). Dan tujuan mereka adalah cloud milik aplikasi Dropbox yang "bebas malware dan aman". Ada satu lagi karakter dari aplikasi berlogo burung yang menjadi penyelamat. Bukan, bukan Traveloka.

Film ini tak sedemikian beracun sampai memaksa saya mencuci mata sehabis menonton. Tapi cukup membuat saya menguap berkali-kali. Pembuat The Emoji Movie tak mengisi filmnya dengan humor berbobot, gaya visual, atau perspektif narasi segar yang membuat kita terikat. Kentara sekali film ini adalah produk rapat eksekutif yang oportunis. Sasarannya plot dan humor gampangan. Emoji "Poop" yang dimainkan oleh Yang Terhormat Patrick Stewart punya permainan kata tentang eek yang akan lebih mengena dalam bahasa Inggris. Lalu, apa yang dilakukan emoji "Monkey" yang berpakaian jas? "Monkey business", tentu saja. Hi-5 terutama, terjebak dalam running-gag mengenai memakan muntahan kembali. Dan ngomong-ngomong, film ini dibuka dengan film pendek dari Hotel Transylvania yang berjudul "Puppy!", tentang Drakula yang membelikan cucunya seekor anjing raksasa. Film ini selucu lelucon "monkey business".

Anak-anak mungkin juga takkan keberatan dengan pesan moral mengenai penerimaan diri dan kasih sayang orangtua (yap, Gene punya orangtua yang juga emoji Meh yang diisikan suaranya oleh Steven Wright dan Jennifer Coolidge) yang sudah sering mereka lihat di film yang lebih bagus. Tapi tolong nasihati mereka agar tak salah tanggap mengira bahwa mengirim emoji bisa dengan mudah membuat mereka di-notice seseorang. Oh satu lagi. Candy Crush is awesome, but not that awesome. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

The Emoji Movie

91 menit
Semua Umur - BO
Tony Leondis
Tony Leondis, Eric Siegel, Mike White
Michelle Raimo Kouyate
Patrick Doyle

Polling: Film Pilihan 04-08-2017 s.d. 10-08-2017

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Polling, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Polling: Film Pilihan 04-08-2017 s.d. 10-08-2017
link : Polling: Film Pilihan 04-08-2017 s.d. 10-08-2017

Baca juga



Ada 8 film yang dirilis minggu lalu diantaranya Valerian and the City of a Thousand Planets, Napping Princess, Once Upon a Time in Venice, Overdrive, Jab Harry Met Sejal, serta tiga film lokal yaitu Mars Met Venus (Part Cowo), Berangkat! dan Banda the Dark Forgotten Trail.

Valerian and the City of a Thousand Planets menjadi film favorit pembaca UP minggu ini dengan perolehan 45,83%. Di bawahnya menyusul dokumenter Banda the Dark Forgotten Trail dengan 20,83%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP


Ada 8 film yang dirilis minggu lalu diantaranya Valerian and the City of a Thousand Planets, Napping Princess, Once Upon a Time in Venice, Overdrive, Jab Harry Met Sejal, serta tiga film lokal yaitu Mars Met Venus (Part Cowo), Berangkat! dan Banda the Dark Forgotten Trail.

Valerian and the City of a Thousand Planets menjadi film favorit pembaca UP minggu ini dengan perolehan 45,83%. Di bawahnya menyusul dokumenter Banda the Dark Forgotten Trail dengan 20,83%. Berikut hasil lengkapnya.


Berikut adalah polling untuk minggu ini. Seperti biasa, peraturannya: saya hanya mencantumkan film terbaru yang tayang dalam minggu ini, saya tidak akan mengikutsertakan film yang tayang pada midnight show, dan anda hanya bisa memilih maksimal 3 film.

Polling akan saya tutup Kamis depan pukul 23.59. Silakan pilih film pilihan anda minggu ini agar bisa menjadi referensi bagi penonton lainnya (dan mungkin bagi saya juga). Polling juga bisa anda akses setiap saat di bagian sidebar blog ini. Happy voting. ■UP

Wednesday, September 16, 2015

Review Film: 'Everest' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Drama, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Everest' (2015)
link : Review Film: 'Everest' (2015)

Baca juga


'Everest' menangkap realitas pendakian puncak setinggi 8.848 meter dengan cara yang impresif secara visual, namun karakterisasi dan drama antarmanusia bukanlah kekuatan utamanya.

“The last words belong to the mountain.”
— Anatoli
Ini mungkin hanya opini saya, namun jika ada satu saja pesan yang bisa diambil oleh penonton Everest, maka kemungkinan besar mereka takkan mau mendaki puncak tertinggi di dunia tersebut. Meski demikian, ada kepuasan tersendiri bagi para penantang maut untuk menaklukkan puncak ini — atau puncak gunung manapun — yang mungkin takkan pernah saya mengerti. Orang-orang seperti inilah yang rela merogoh kocek besar untuk dipandu mendaki oleh Rob Hall (Jason Clarke), tokoh utama dari rombongan nama mentereng yang terlibat dalam film thriller-bencana dari Baltasar Kormakur ini.

Meski tak menyebutkan bahwa film ini diangkat dari buku laris Into Thin Air yang ditulis oleh jurnalis Jon Krakauer, Everest mengambil cerita yang sama, yaitu tragedi Mei 1996 yang menewaskan 8 pendaki. Sementara filmnya sendiri memang memfokuskan pada tragedi ini, namun Everest tak pernah menjadi terlalu melodramatis. Alih-alih, dramanya terasa sangat manusiawi, yang kesemuanya dikemas dengan sajian visual yang mengagumkan.

Gunung Everest pertama kali ditaklukkan secara resmi oleh Tenzing Norgay dan Edmund Hillary pada 1953, namun Rob Hall lah yang menjadi pionir dalam mengkomersialisasikan pendakian ini dengan perusahaannya yang bernama Adventure Consultant. Dengan bantuan koordinator logistik, Helen (Emily Watson) serta peninjau lapangan, Guy (Sam Worthington), Rob sukses mengantarkan 19 klien sampai ke puncak.


Kali ini Rob mendapatkan 8 klien, diantaranya Beck (Josh Brolin), Doug (Jason Hawkes), Yasuko (Naoko Mori) serta Krakauer (dalam film ini diperankan oleh Michael Kelly). Di paruh pertama film, kita diceritakan sedikit mengenai latar belakang dan sifat masing-masing: si besar mulut Beck yang mempunyai istri dan anak yang tengah menunggu di rumah, Doug seorang tukang pos yang melakukan pendakian keduanya setelah gagal tahun lalu, Yasuko yang telah menaklukkan 6 gunung tertinggi dan ini adalah puncak ketujuhnya, serta Rob sendiri yang istrinya tengah hamil tua (Keira Knightley).

Pendakian dimulai dari Katmandu dan disini kita bisa melihat sekilas dan kebudayaan dan kehidupan masyarakat Nepal. Sebelum mendaki, para pendaki harus di-aklimatisasi terlebih dahulu selama beberapa minggu agar bisa beradaptasi dengan cuaca ekstrim di ketinggian 8.000+ meter di atas permukaan laut, yang bisa menyebabkan hipotermia dan kerusakan organ parah.

Adventure Consultant bukanlah satu-satunya guide komersil disana. Ada banyak guide lain yang ikut tahun ini yang mengakibatkan pendakian kali ini menjadi pendakian teramai. Dua grup yang paling mencolok dipimpin oleh Scott Fischer (Jake Gyllenhaal) dari Amerika dan Anatoli Boukreev (Ingvar Sigordson) dari Rusia yang punya hubungan yang tak terlalu baik dengan Rob. Namun ketiganya setuju ambil kata sepakat, setelah Rob bernegosiasi mengingat sikon yang tak bersahabat. Walau menghadapi berbagai macam rintangan, beberapa dari pendaki berhasil sampai ke puncak.

Dengan sinematografi yang memukau dari Salvatore Totino, Kormakur menunjukkan bagian dunia yang mungkin takkan pernah dilihat oleh sebagian besar dari kita. Hidangan utama dari Everest adalah sajian efek visual 3D yang menampilkan tebing-tebing terjal dan puncak yang tertutup es yang memberi sensasi vertigo dan akrofobia. Dengan proses syuting yang sebagian besar dilakukan di Nepal dan Italia, Kormakur tak melewatkan detail teknisnya agar set terlihat realistis.

Meski tak memberikan akting yang buruk, penampilan para aktor tak begitu tergali, dengan pengecualian Clarke yang memerankan Rob yang mendapat porsi sebagai tokoh utama. Naskah dari William Nicholson (Gladiator) dan Simon Beaufoy (127 Hours) memang menyentuh permukaan saja, tapi memberikan penokohan yang cukup untuk membuat kita peduli dengan nasib para pendaki.

Mengingat banyaknya tokoh yang dimunculkan, karakterisasi bukanlah kekuatan dari Everest dan memang film ini taklah menampilkan kompleksitas karakter ataupun kajian psikologi yang mendalam. Rivalitas antara Rob dan Scott menguap di tengah jalan, berganti dengan tema mengenai tekad dan loyalitas sebelum akhirnya menjadi disaster flick di paruh ketiga.

Sejak paruh kedua, petualangan berubah menjadi tragedi. Tak hanya karena perubahan cuaca namun juga dikarenakan human error seperti kurangnya tabung oksigen atau tali pengaman yang putus, yang tak begitu terjelaskan hingga akhir. Di balik tiupan angin dan terpaan salju, sulit bagi penonton untuk mengenali masing-masing karakter yang tertutupi jaket tebal, google, dan jenggot tebalnya, namun Kormakur bisa menjaga adegannya yang intens tetap mengikat kita.

Tak ada momen heroik ala Stallone dalam Cliffhanger karena drama dalam Everest cenderung sederhana. Para pendaki bahkan tetap terikat ke tali pengaman dan tak harus meloncat dari satu tebing ke tebing lain. Yang membuat film ini begitu menegangkan adalah bagimana keganasan alam itu sendiri dan bagaimana mengerikannya degradasi fisik serta mental yang dialami pendaki. Kita melihat apa yang dialami dan dilakukan oleh orang-orang biasa dalam usahanya mencoba melawan alam.

Pada akhirnya, terbukti bahwa alam lebih tangguh daripada manusia, seperti halnya yang diucapkan Anatoli, "Kata-kata terakhir selalu menjadi milik gunung." Everest menangkap realitas pendakian puncak setinggi 8.848 meter dengan cara yang impresif secara visual. Yang sedikit mengecewakan, film ini tak membuat kita merasakan pengalaman sentimentil yang coba dibawakannya, bahkan di saat salah satu karakter terpenting menghadapi takdir yang tragis. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Everest' |
|

IMDb | Rottentomatoes
121 menit | Remaja

Sutradara: Baltasar Kormákur
Penulis: William Nicholson, Simon Beaufoy
Pemain: Jason Clarke, Josh Brolin, John Hawkes, Robin Wright, Emily Watson

'Everest' menangkap realitas pendakian puncak setinggi 8.848 meter dengan cara yang impresif secara visual, namun karakterisasi dan drama antarmanusia bukanlah kekuatan utamanya.

“The last words belong to the mountain.”
— Anatoli
Ini mungkin hanya opini saya, namun jika ada satu saja pesan yang bisa diambil oleh penonton Everest, maka kemungkinan besar mereka takkan mau mendaki puncak tertinggi di dunia tersebut. Meski demikian, ada kepuasan tersendiri bagi para penantang maut untuk menaklukkan puncak ini — atau puncak gunung manapun — yang mungkin takkan pernah saya mengerti. Orang-orang seperti inilah yang rela merogoh kocek besar untuk dipandu mendaki oleh Rob Hall (Jason Clarke), tokoh utama dari rombongan nama mentereng yang terlibat dalam film thriller-bencana dari Baltasar Kormakur ini.

Meski tak menyebutkan bahwa film ini diangkat dari buku laris Into Thin Air yang ditulis oleh jurnalis Jon Krakauer, Everest mengambil cerita yang sama, yaitu tragedi Mei 1996 yang menewaskan 8 pendaki. Sementara filmnya sendiri memang memfokuskan pada tragedi ini, namun Everest tak pernah menjadi terlalu melodramatis. Alih-alih, dramanya terasa sangat manusiawi, yang kesemuanya dikemas dengan sajian visual yang mengagumkan.

Gunung Everest pertama kali ditaklukkan secara resmi oleh Tenzing Norgay dan Edmund Hillary pada 1953, namun Rob Hall lah yang menjadi pionir dalam mengkomersialisasikan pendakian ini dengan perusahaannya yang bernama Adventure Consultant. Dengan bantuan koordinator logistik, Helen (Emily Watson) serta peninjau lapangan, Guy (Sam Worthington), Rob sukses mengantarkan 19 klien sampai ke puncak.


Kali ini Rob mendapatkan 8 klien, diantaranya Beck (Josh Brolin), Doug (Jason Hawkes), Yasuko (Naoko Mori) serta Krakauer (dalam film ini diperankan oleh Michael Kelly). Di paruh pertama film, kita diceritakan sedikit mengenai latar belakang dan sifat masing-masing: si besar mulut Beck yang mempunyai istri dan anak yang tengah menunggu di rumah, Doug seorang tukang pos yang melakukan pendakian keduanya setelah gagal tahun lalu, Yasuko yang telah menaklukkan 6 gunung tertinggi dan ini adalah puncak ketujuhnya, serta Rob sendiri yang istrinya tengah hamil tua (Keira Knightley).

Pendakian dimulai dari Katmandu dan disini kita bisa melihat sekilas dan kebudayaan dan kehidupan masyarakat Nepal. Sebelum mendaki, para pendaki harus di-aklimatisasi terlebih dahulu selama beberapa minggu agar bisa beradaptasi dengan cuaca ekstrim di ketinggian 8.000+ meter di atas permukaan laut, yang bisa menyebabkan hipotermia dan kerusakan organ parah.

Adventure Consultant bukanlah satu-satunya guide komersil disana. Ada banyak guide lain yang ikut tahun ini yang mengakibatkan pendakian kali ini menjadi pendakian teramai. Dua grup yang paling mencolok dipimpin oleh Scott Fischer (Jake Gyllenhaal) dari Amerika dan Anatoli Boukreev (Ingvar Sigordson) dari Rusia yang punya hubungan yang tak terlalu baik dengan Rob. Namun ketiganya setuju ambil kata sepakat, setelah Rob bernegosiasi mengingat sikon yang tak bersahabat. Walau menghadapi berbagai macam rintangan, beberapa dari pendaki berhasil sampai ke puncak.

Dengan sinematografi yang memukau dari Salvatore Totino, Kormakur menunjukkan bagian dunia yang mungkin takkan pernah dilihat oleh sebagian besar dari kita. Hidangan utama dari Everest adalah sajian efek visual 3D yang menampilkan tebing-tebing terjal dan puncak yang tertutup es yang memberi sensasi vertigo dan akrofobia. Dengan proses syuting yang sebagian besar dilakukan di Nepal dan Italia, Kormakur tak melewatkan detail teknisnya agar set terlihat realistis.

Meski tak memberikan akting yang buruk, penampilan para aktor tak begitu tergali, dengan pengecualian Clarke yang memerankan Rob yang mendapat porsi sebagai tokoh utama. Naskah dari William Nicholson (Gladiator) dan Simon Beaufoy (127 Hours) memang menyentuh permukaan saja, tapi memberikan penokohan yang cukup untuk membuat kita peduli dengan nasib para pendaki.

Mengingat banyaknya tokoh yang dimunculkan, karakterisasi bukanlah kekuatan dari Everest dan memang film ini taklah menampilkan kompleksitas karakter ataupun kajian psikologi yang mendalam. Rivalitas antara Rob dan Scott menguap di tengah jalan, berganti dengan tema mengenai tekad dan loyalitas sebelum akhirnya menjadi disaster flick di paruh ketiga.

Sejak paruh kedua, petualangan berubah menjadi tragedi. Tak hanya karena perubahan cuaca namun juga dikarenakan human error seperti kurangnya tabung oksigen atau tali pengaman yang putus, yang tak begitu terjelaskan hingga akhir. Di balik tiupan angin dan terpaan salju, sulit bagi penonton untuk mengenali masing-masing karakter yang tertutupi jaket tebal, google, dan jenggot tebalnya, namun Kormakur bisa menjaga adegannya yang intens tetap mengikat kita.

Tak ada momen heroik ala Stallone dalam Cliffhanger karena drama dalam Everest cenderung sederhana. Para pendaki bahkan tetap terikat ke tali pengaman dan tak harus meloncat dari satu tebing ke tebing lain. Yang membuat film ini begitu menegangkan adalah bagimana keganasan alam itu sendiri dan bagaimana mengerikannya degradasi fisik serta mental yang dialami pendaki. Kita melihat apa yang dialami dan dilakukan oleh orang-orang biasa dalam usahanya mencoba melawan alam.

Pada akhirnya, terbukti bahwa alam lebih tangguh daripada manusia, seperti halnya yang diucapkan Anatoli, "Kata-kata terakhir selalu menjadi milik gunung." Everest menangkap realitas pendakian puncak setinggi 8.848 meter dengan cara yang impresif secara visual. Yang sedikit mengecewakan, film ini tak membuat kita merasakan pengalaman sentimentil yang coba dibawakannya, bahkan di saat salah satu karakter terpenting menghadapi takdir yang tragis. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Everest' |
|

IMDb | Rottentomatoes
121 menit | Remaja

Sutradara: Baltasar Kormákur
Penulis: William Nicholson, Simon Beaufoy
Pemain: Jason Clarke, Josh Brolin, John Hawkes, Robin Wright, Emily Watson

Review Film: 'The Transporter Refueled' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Transporter Refueled' (2015)
link : Review Film: 'The Transporter Refueled' (2015)

Baca juga


Jason Statham memang tak tergantikan, namun ada cukup sekuens aksi dan "pemanis" yang membuat 'The Transporter Refueled' menjadi film kelas B yang lumayan bisa dinikmati.

“Kidding isn't really my thing.”
— Frank Martin
Sulit membayangkan film The Transporter tanpa Jason Statham. Citranya begitu melekat dalam franchise tersebut, dan secara tak sadar, di beberapa momen saya merefleksikan image Statham di dalam The Transporter Refueled, sebuah reboot yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali franchise-nya, meski tak lagi dibintangi oleh pemain ikoniknya. Nekat ya?

Adalah Ed Skrein, yang menjadi pengganti Statham untuk memerankan Frank Martin. Walaupun memang tak punya karisma yang setara, setidaknya Skrein terlihat cocok saat beradu jotos dan berada di belakang kemudi memacu Audi-nya keliling Eropa.

Masih sama seperti pendahulunya, Frank adalah pengemudi handal alias sang transporter yang mempunyai skill tinggi — tak hanya dalam mengemudi, tentu saja — yang bisa dan mau mengantarkan paket apa saja. Dalam melaksanakan tugas, Frank punya 3 peraturan ketat: tak ada perubahan setelah deal dibuat, tak boleh menyebutkan nama, dan tak boleh memberitahu isi paket yang dikirim. Yah, meski Frank menyebutkan peraturan ini dengan gamblang di bagian awal, namun toh di pertengahan film, Frank seperti melupakan kode etiknya sendiri. Tak bisa disalahkan juga sebenarnya, karena kali ini, misi Frank lebih personal.


Frank awalnya tengah menghabiskan waktu bersama sang ayah, Martin Sr. (Ray Stevenson) saat dia disewa oleh seorang wanita bernama Anna (Loan Chabanol) untuk menjemput "paket" di depan sebuah bank pada jam yang telah ditentukan. Ternyata "paket" tersebut adalah 2 orang wanita, Gina (Gabriella Wright) dan Qiao (Wenxia Yu) yang berdandan persis seperti Anna dengan baju serta rambut palsu yang mirip. Keduanya baru saja merampok akun bank milik Karasov (Radivoje Bukvic), mafia Rusia yang telah memperbudak mereka sebagai pekerja seks komersil selama bertahun-tahun. Peliknya permasalahan ini membuat Frank menolak, namun saat ditunjukkan video bahwa ayahnya tengah disandera oleh seorang lagi rekan Anna, Maria (Tatjana Pajkovic) mau tak mau Frank harus terlibat.

Kerumitan bertambah saat Karasov juga punya hubungan bisnis dengan mafia lain yaitu Imasova (Lenn Kudrjawizki) dan Yuri (Yuri Kolokolnikov). Keempat mantan PSK ini malah bisa memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mereka. Rencana yang mereka buat cukup cerdas namun diceritakan dengan narasi yang terlalu berbelit untuk ukuran film sekaliber ini.

Jika ingin membandingkan, Skrein terlihat lebih parlente dibanding Statham. Menurut saya pribadi, penampilan Skrein terkesan lebih "rapi" daripada Statham yang gahar dan macho. Pun demikian, dalam setiap adegan aksi, Skrein memberikan tonjokan yang tetap meyakinkan. Untuk memberikan sedikit sentuhan humor yang sayangnya tak bisa dibawakan dengan pas oleh Skrein — padahal dia punya beberapa kalimat yang (seharusnya) lucu, untungnya ada Stevenson yang perannya tak hanya sebagai korban — 2 kali, oleh pelaku yang berbeda — namun juga menjadi comic relief.

Setelah Lucy, agak aneh memang saat Luc Besson bersama dengan Bill Collage dan Adam Cooper memberikan naskah yang tak rasional, sedikit berantakan dan berisi kutipan-kutipan one-liner yang konyol. Namun sulit untuk mengejeknya habis-habisan, mengingat beberapa sekuens-nya yang cukup inovatif seperti perkelahian di ruang loker, penggunaan tabung gas medis untuk pembiusan sebuah klub malam, atau penyelamatan dari pesawat yang tengah lepas landas dengan mobil berkecepatan tinggi yang berlanjut pada adegan komikal saat Audi-nya Frank melaju di boarding room bandara. Sutradara Camille Delamarre dengan bantuan sinematografer Christophe Collette mengemasnya dengan sorotan close-up dan cut yang cepat dan terkadang terkesan tak jelas.

Yang menjadi katalis dalam Refueled adalah kasus human trafficking dan prostitusi, dan isunya sempat sedikit diangkat oleh Martin Sr. Namun hal ini tak dijamah terlalu jauh dan sebenarnya cukup kontraproduktif dengan omongan Martin Sr. sendiri karena beberapa saat kemudian dia malah terbangun di kasur bersama 2 wanita kliennya, yang terindikasi sebagai momen pasca-threesome. Saya tak ingin bilang film ini seksis, tapi Refueled sendiri malah mengeksploitasi pemain wanitanya dalam adegan "pemanis" tanpa busana, entah itu adegan panas atau berganti pakaian (yang sangat sering terjadi disini).

Saat layar tak menampilkan ledakan, pertarungan tangan kosong, atau suara decitan ban, kita melihat dua Frank berinteraksi dengan keempat wanita pekerja seks komersil, yang mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan dinamika karakter. Bahkan ada subplot mengenai hubungan asmara Frank yang sayangnya digarap separo matang. Namun di balik gadis seksi dan beberapa selipan iklan produknya, The Transporter Refueled setidaknya berhasil mengantarkan hiburan kelas-B yang lumayan bagi kliennya (baca: penonton). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Transporter Refueled' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara: Camille Delamarre
Penulis: Luc Besson, Bill Collage, Adam Cooper
Pemain: Ed Skrein, Ray Stevenson, Loan Chabanol, Gabriella Wright

Jason Statham memang tak tergantikan, namun ada cukup sekuens aksi dan "pemanis" yang membuat 'The Transporter Refueled' menjadi film kelas B yang lumayan bisa dinikmati.

“Kidding isn't really my thing.”
— Frank Martin
Sulit membayangkan film The Transporter tanpa Jason Statham. Citranya begitu melekat dalam franchise tersebut, dan secara tak sadar, di beberapa momen saya merefleksikan image Statham di dalam The Transporter Refueled, sebuah reboot yang dimaksudkan untuk membangkitkan kembali franchise-nya, meski tak lagi dibintangi oleh pemain ikoniknya. Nekat ya?

Adalah Ed Skrein, yang menjadi pengganti Statham untuk memerankan Frank Martin. Walaupun memang tak punya karisma yang setara, setidaknya Skrein terlihat cocok saat beradu jotos dan berada di belakang kemudi memacu Audi-nya keliling Eropa.

Masih sama seperti pendahulunya, Frank adalah pengemudi handal alias sang transporter yang mempunyai skill tinggi — tak hanya dalam mengemudi, tentu saja — yang bisa dan mau mengantarkan paket apa saja. Dalam melaksanakan tugas, Frank punya 3 peraturan ketat: tak ada perubahan setelah deal dibuat, tak boleh menyebutkan nama, dan tak boleh memberitahu isi paket yang dikirim. Yah, meski Frank menyebutkan peraturan ini dengan gamblang di bagian awal, namun toh di pertengahan film, Frank seperti melupakan kode etiknya sendiri. Tak bisa disalahkan juga sebenarnya, karena kali ini, misi Frank lebih personal.


Frank awalnya tengah menghabiskan waktu bersama sang ayah, Martin Sr. (Ray Stevenson) saat dia disewa oleh seorang wanita bernama Anna (Loan Chabanol) untuk menjemput "paket" di depan sebuah bank pada jam yang telah ditentukan. Ternyata "paket" tersebut adalah 2 orang wanita, Gina (Gabriella Wright) dan Qiao (Wenxia Yu) yang berdandan persis seperti Anna dengan baju serta rambut palsu yang mirip. Keduanya baru saja merampok akun bank milik Karasov (Radivoje Bukvic), mafia Rusia yang telah memperbudak mereka sebagai pekerja seks komersil selama bertahun-tahun. Peliknya permasalahan ini membuat Frank menolak, namun saat ditunjukkan video bahwa ayahnya tengah disandera oleh seorang lagi rekan Anna, Maria (Tatjana Pajkovic) mau tak mau Frank harus terlibat.

Kerumitan bertambah saat Karasov juga punya hubungan bisnis dengan mafia lain yaitu Imasova (Lenn Kudrjawizki) dan Yuri (Yuri Kolokolnikov). Keempat mantan PSK ini malah bisa memanfaatkan situasi ini demi kepentingan mereka. Rencana yang mereka buat cukup cerdas namun diceritakan dengan narasi yang terlalu berbelit untuk ukuran film sekaliber ini.

Jika ingin membandingkan, Skrein terlihat lebih parlente dibanding Statham. Menurut saya pribadi, penampilan Skrein terkesan lebih "rapi" daripada Statham yang gahar dan macho. Pun demikian, dalam setiap adegan aksi, Skrein memberikan tonjokan yang tetap meyakinkan. Untuk memberikan sedikit sentuhan humor yang sayangnya tak bisa dibawakan dengan pas oleh Skrein — padahal dia punya beberapa kalimat yang (seharusnya) lucu, untungnya ada Stevenson yang perannya tak hanya sebagai korban — 2 kali, oleh pelaku yang berbeda — namun juga menjadi comic relief.

Setelah Lucy, agak aneh memang saat Luc Besson bersama dengan Bill Collage dan Adam Cooper memberikan naskah yang tak rasional, sedikit berantakan dan berisi kutipan-kutipan one-liner yang konyol. Namun sulit untuk mengejeknya habis-habisan, mengingat beberapa sekuens-nya yang cukup inovatif seperti perkelahian di ruang loker, penggunaan tabung gas medis untuk pembiusan sebuah klub malam, atau penyelamatan dari pesawat yang tengah lepas landas dengan mobil berkecepatan tinggi yang berlanjut pada adegan komikal saat Audi-nya Frank melaju di boarding room bandara. Sutradara Camille Delamarre dengan bantuan sinematografer Christophe Collette mengemasnya dengan sorotan close-up dan cut yang cepat dan terkadang terkesan tak jelas.

Yang menjadi katalis dalam Refueled adalah kasus human trafficking dan prostitusi, dan isunya sempat sedikit diangkat oleh Martin Sr. Namun hal ini tak dijamah terlalu jauh dan sebenarnya cukup kontraproduktif dengan omongan Martin Sr. sendiri karena beberapa saat kemudian dia malah terbangun di kasur bersama 2 wanita kliennya, yang terindikasi sebagai momen pasca-threesome. Saya tak ingin bilang film ini seksis, tapi Refueled sendiri malah mengeksploitasi pemain wanitanya dalam adegan "pemanis" tanpa busana, entah itu adegan panas atau berganti pakaian (yang sangat sering terjadi disini).

Saat layar tak menampilkan ledakan, pertarungan tangan kosong, atau suara decitan ban, kita melihat dua Frank berinteraksi dengan keempat wanita pekerja seks komersil, yang mungkin dimaksudkan untuk menunjukkan dinamika karakter. Bahkan ada subplot mengenai hubungan asmara Frank yang sayangnya digarap separo matang. Namun di balik gadis seksi dan beberapa selipan iklan produknya, The Transporter Refueled setidaknya berhasil mengantarkan hiburan kelas-B yang lumayan bagi kliennya (baca: penonton). ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Transporter Refueled' |
|

IMDb | Rottentomatoes
96 menit | Remaja

Sutradara: Camille Delamarre
Penulis: Luc Besson, Bill Collage, Adam Cooper
Pemain: Ed Skrein, Ray Stevenson, Loan Chabanol, Gabriella Wright

Monday, September 14, 2015

Review Film: 'Self/less' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Misteri, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Self/less' (2015)
link : Review Film: 'Self/less' (2015)

Baca juga


Mempunyai premis yang menawarkan kompleksitas naratif yang bisa digali, 'Self/less' hanya menjadi film aksi-thriller standar yang mengandalkan kejar-kejaran mobil dan tembak-tembakan.

“That's another way to say mediocre.”
— Damian Hale
Ryan Reynolds kembali harus berganti tubuh setelah The Change-Up. Namun kali ini bukan dengan Jason Bateman, melainkan Ben Kingsley, dalam sebuah film yang mengangkat tema yang serupa namun genre yang berbeda. Sutradara Tarsem Singh mencoba membuktikan bahwa dia tak hanya mahir di ranah film artistik seperti The Fall, namun juga dalam film yang lebih mainstream dalam Self/less. Ekspektasi boleh berlebih tapi apa yang kita peroleh justru sebaliknya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Damian Hale (Ben Kingsley), pengusaha real estate super kaya yang ketegasannya ditunjukkan dengan adegan pembuka saat dia memecat salah satu karyawan yang suka berkomentar buruk. Sayang kekayaan tak bisa menyelamatkannya dari kanker yang menggerogoti tubuhnya, ataupun memperbaiki hubungan yang buruk dengan putri semata wayangnya, Claire (Michelle Dockery).

Kesempatan datang saat Damian mendapat kartu nama misterius yang mengarahkannya pada Profesior Albright (Matthew Goode). Albright mempunyai perusahaan yang mengkhususkan pada "shedding", sebuah proses yang bisa memindahkan pikiran dari satu tubuh ke tubuh yang lain.


Dengan biaya $250 juta, Damian dibantu memalsukan kematiannya kemudian dibawa ke instalasi shedding untuk memindahkan pikiran dan memorinya ke tubuh baru yang "katanya" dikembangkan secara genetis. Meski proses ini punya efek samping yang menyebabkan pelakunya harus mengkonsumsi obat secara berkesinambungan, Damian setuju untuk melakukannya (well, siapa juga yang bakal protes kalau bisa mendapatkan tubuh Ryan Reynolds?).

Dengan pengecualian adegan shedding-nya yang terlihat murahan, Singh menunjukkan kelihaiannya di seksi visual, paling tidak di bagian awal film. Euforia Damian yang telah berganti tubuh dengan identitas baru sebagai Edward direpresentasikan secara harfiah dengan musik pengiring berirama jazz dari para musisi jalanan. Punya mobil baru dan rumah baru, Edward benar-benar menikmati hidup. Dia tidur dengan banyak wanita, yang digambarkan dengan potongan adegan yang stylish.

Self/less lalu berbelok menjadi film aksi-thriller standar, saat Edwards kabur bersama istri dan anak dari pemilik tubuh sebelumnya (yang ternyata mantan tentara), sementara dikejar oleh antek-antek Albright dengan alasan yang sedikit bias. Film ini melepaskan konsep filosofisnya dan menggantinya dengan adegan mobil terbalik, adu tembakan, serta — tadaa — flamethrower. Ada cukup plot twist yang disajikan. Ini juga terasa hambar karena repetitif dan kita tak pernah dibuat terikat dengan karakternya sejak awal.

Reynolds punya 3 nama yang berbeda, dan setidaknya memainkan 2 kepribadian yang berbeda pula, yang sebenarnya tak sebegitu berbedanya. Mungkin cocok dalam adu jotos, namun Reynolds tak mewakili karakter Ben Kingsley yang tegas dan tanpa kompromi yang tampil di awal. Keduanya terlihat sebagai orang yang benar-benar berbeda.

Film ini tak mengeksplorasi kompleksitas tema yang mungkin bisa digali lebih jauh, seperti krisis identitas dan penebusan. Penambahan tanda slash di tengah judulnya mungkin untuk membuatnya lebih menarik, sama seperti Singh yang berusaha memuaskan lebih banyak penonton dengan film aksi generik ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Self/less' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Tarsem Singh
Penulis: David Pastor, Àlex Pastor
Pemain: Ryan Reynolds, Natalie Martinez, Matthew Goode, Ben Kingsley

Mempunyai premis yang menawarkan kompleksitas naratif yang bisa digali, 'Self/less' hanya menjadi film aksi-thriller standar yang mengandalkan kejar-kejaran mobil dan tembak-tembakan.

“That's another way to say mediocre.”
— Damian Hale
Ryan Reynolds kembali harus berganti tubuh setelah The Change-Up. Namun kali ini bukan dengan Jason Bateman, melainkan Ben Kingsley, dalam sebuah film yang mengangkat tema yang serupa namun genre yang berbeda. Sutradara Tarsem Singh mencoba membuktikan bahwa dia tak hanya mahir di ranah film artistik seperti The Fall, namun juga dalam film yang lebih mainstream dalam Self/less. Ekspektasi boleh berlebih tapi apa yang kita peroleh justru sebaliknya.

Di awal film, kita diperkenalkan dengan Damian Hale (Ben Kingsley), pengusaha real estate super kaya yang ketegasannya ditunjukkan dengan adegan pembuka saat dia memecat salah satu karyawan yang suka berkomentar buruk. Sayang kekayaan tak bisa menyelamatkannya dari kanker yang menggerogoti tubuhnya, ataupun memperbaiki hubungan yang buruk dengan putri semata wayangnya, Claire (Michelle Dockery).

Kesempatan datang saat Damian mendapat kartu nama misterius yang mengarahkannya pada Profesior Albright (Matthew Goode). Albright mempunyai perusahaan yang mengkhususkan pada "shedding", sebuah proses yang bisa memindahkan pikiran dari satu tubuh ke tubuh yang lain.


Dengan biaya $250 juta, Damian dibantu memalsukan kematiannya kemudian dibawa ke instalasi shedding untuk memindahkan pikiran dan memorinya ke tubuh baru yang "katanya" dikembangkan secara genetis. Meski proses ini punya efek samping yang menyebabkan pelakunya harus mengkonsumsi obat secara berkesinambungan, Damian setuju untuk melakukannya (well, siapa juga yang bakal protes kalau bisa mendapatkan tubuh Ryan Reynolds?).

Dengan pengecualian adegan shedding-nya yang terlihat murahan, Singh menunjukkan kelihaiannya di seksi visual, paling tidak di bagian awal film. Euforia Damian yang telah berganti tubuh dengan identitas baru sebagai Edward direpresentasikan secara harfiah dengan musik pengiring berirama jazz dari para musisi jalanan. Punya mobil baru dan rumah baru, Edward benar-benar menikmati hidup. Dia tidur dengan banyak wanita, yang digambarkan dengan potongan adegan yang stylish.

Self/less lalu berbelok menjadi film aksi-thriller standar, saat Edwards kabur bersama istri dan anak dari pemilik tubuh sebelumnya (yang ternyata mantan tentara), sementara dikejar oleh antek-antek Albright dengan alasan yang sedikit bias. Film ini melepaskan konsep filosofisnya dan menggantinya dengan adegan mobil terbalik, adu tembakan, serta — tadaa — flamethrower. Ada cukup plot twist yang disajikan. Ini juga terasa hambar karena repetitif dan kita tak pernah dibuat terikat dengan karakternya sejak awal.

Reynolds punya 3 nama yang berbeda, dan setidaknya memainkan 2 kepribadian yang berbeda pula, yang sebenarnya tak sebegitu berbedanya. Mungkin cocok dalam adu jotos, namun Reynolds tak mewakili karakter Ben Kingsley yang tegas dan tanpa kompromi yang tampil di awal. Keduanya terlihat sebagai orang yang benar-benar berbeda.

Film ini tak mengeksplorasi kompleksitas tema yang mungkin bisa digali lebih jauh, seperti krisis identitas dan penebusan. Penambahan tanda slash di tengah judulnya mungkin untuk membuatnya lebih menarik, sama seperti Singh yang berusaha memuaskan lebih banyak penonton dengan film aksi generik ini. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Self/less' |
|

IMDb | Rottentomatoes
117 menit | Remaja

Sutradara: Tarsem Singh
Penulis: David Pastor, Àlex Pastor
Pemain: Ryan Reynolds, Natalie Martinez, Matthew Goode, Ben Kingsley

Bioskop Indonesia: 'Soedirman' Akhirnya Tumbangkan 'Magic Hour', 'Demona' Menghantui di Posisi Bawah

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, Artikel Featured, Artikel Indonesia, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Bioskop Indonesia: 'Soedirman' Akhirnya Tumbangkan 'Magic Hour', 'Demona' Menghantui di Posisi Bawah
link : Bioskop Indonesia: 'Soedirman' Akhirnya Tumbangkan 'Magic Hour', 'Demona' Menghantui di Posisi Bawah

Baca juga


Posisi 3 besar masih dikuasai 3 jawara minggu lalu, sementara dari 3 film yang baru tayang, 'Demona' merayap ke puncak dengan 21.696 penonton. Berikut rekap jumlah penonton film Indonesia minggu ini.

Mungkin ini akan menjadi headline yang membosankan karena selama 3 minggu berturut-turut, posisi tiga besar bioskop Indonesia hanya diperebutkan oleh film yang itu-itu saja.

Jenderal Soedirman akhirnya berhasil mengalahkan Magic Hour dengan perolehan 84.913 penonton yang berarti turun sekitar 5,9% dibanding minggu lalu. Total perolehannya selama 3 minggu tayang adalah 175.167 penonton.

Mengalami peningkatan sebesar 15,1%, Gangster berada di posisi kedua dengan 71.488 penonton. Total perolehannya hingga saat ini adalah 133.609 penonton.

Magic Hour yang telah menjadi juara selama 4 minggu berturut-turut, harus anjlok 55,6% di minggu kelimanya dengan 53.600 penonton. Namun dengan total 733.042 penonton dan menjadi film terlaris nomor tiga di tahun 2015, hasil ini tentu lebih dari memuaskan.

Di antara 3 film yang baru tayang, Demona memimpin dengan 21.696 penonton. Meski hanya mendapat respon yang biasa saja dengan nilai IDFC "2 dari 5", film arahan Rizal Mantovani ini unggul berkat posisinya yang berada di segmen horor. Angka ini 9,5% di atas raihan debut Palasik (19.812 penonton) dan 443,1% di atas Alpha Project: Arwah Penasaran (3.995 penonton).

Juru kunci minggu ini adalah Bidadari Terakhir dengan 18.343 penonton. Hasil ini 145,5% lebih baik daripada Lily: Bunga Terakhirku, film bertema sama yang naskahnya sama-sama ditulis oleh Priesnanda Dwisatria. Film ini mendapat respon yang lumayan bagus dengan nilai IDFC "3 dari 5".

Hantu Diskotik Kota hanya mengumpulkan 3.468 penonton di film pertamanya. Hasil ini cukup rendah mengingat genrenya yang horor.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

Pemuncak Bioskop Indonesia 7 September - 13 September 2015

#01 Jenderal Soedirman


Minggu ini: 84.913 penonton
Total: 175.167 penonton

#02 Gangster


Minggu ini: 71.488 penonton
Total: 133.609 penonton

#03 Magic Hour


Minggu ini: 53.600 penonton
Total: 733.042 penonton

#04 Demona


Minggu ini: 21.696 penonton
Total: 21.696 penonton

#05 Bidadari Terakhir


Minggu ini: 18.343 penonton
Total: 18.343 penonton

Ulasan Pemuncak Bioskop Indonesia minggu lalu: Bioskop Indonesia: 'Soedirman' dan 'Gangster' Tak Mampu Geser 'Magic Hour' ■UP

[sumber data: FilmIndonesia.or.id]

Posisi 3 besar masih dikuasai 3 jawara minggu lalu, sementara dari 3 film yang baru tayang, 'Demona' merayap ke puncak dengan 21.696 penonton. Berikut rekap jumlah penonton film Indonesia minggu ini.

Mungkin ini akan menjadi headline yang membosankan karena selama 3 minggu berturut-turut, posisi tiga besar bioskop Indonesia hanya diperebutkan oleh film yang itu-itu saja.

Jenderal Soedirman akhirnya berhasil mengalahkan Magic Hour dengan perolehan 84.913 penonton yang berarti turun sekitar 5,9% dibanding minggu lalu. Total perolehannya selama 3 minggu tayang adalah 175.167 penonton.

Mengalami peningkatan sebesar 15,1%, Gangster berada di posisi kedua dengan 71.488 penonton. Total perolehannya hingga saat ini adalah 133.609 penonton.

Magic Hour yang telah menjadi juara selama 4 minggu berturut-turut, harus anjlok 55,6% di minggu kelimanya dengan 53.600 penonton. Namun dengan total 733.042 penonton dan menjadi film terlaris nomor tiga di tahun 2015, hasil ini tentu lebih dari memuaskan.

Di antara 3 film yang baru tayang, Demona memimpin dengan 21.696 penonton. Meski hanya mendapat respon yang biasa saja dengan nilai IDFC "2 dari 5", film arahan Rizal Mantovani ini unggul berkat posisinya yang berada di segmen horor. Angka ini 9,5% di atas raihan debut Palasik (19.812 penonton) dan 443,1% di atas Alpha Project: Arwah Penasaran (3.995 penonton).

Juru kunci minggu ini adalah Bidadari Terakhir dengan 18.343 penonton. Hasil ini 145,5% lebih baik daripada Lily: Bunga Terakhirku, film bertema sama yang naskahnya sama-sama ditulis oleh Priesnanda Dwisatria. Film ini mendapat respon yang lumayan bagus dengan nilai IDFC "3 dari 5".

Hantu Diskotik Kota hanya mengumpulkan 3.468 penonton di film pertamanya. Hasil ini cukup rendah mengingat genrenya yang horor.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

Pemuncak Bioskop Indonesia 7 September - 13 September 2015

#01 Jenderal Soedirman


Minggu ini: 84.913 penonton
Total: 175.167 penonton

#02 Gangster


Minggu ini: 71.488 penonton
Total: 133.609 penonton

#03 Magic Hour


Minggu ini: 53.600 penonton
Total: 733.042 penonton

#04 Demona


Minggu ini: 21.696 penonton
Total: 21.696 penonton

#05 Bidadari Terakhir


Minggu ini: 18.343 penonton
Total: 18.343 penonton

Ulasan Pemuncak Bioskop Indonesia minggu lalu: Bioskop Indonesia: 'Soedirman' dan 'Gangster' Tak Mampu Geser 'Magic Hour' ■UP

[sumber data: FilmIndonesia.or.id]

Sunday, September 13, 2015

Box Office: 'Perfect Guy' Berebut Posisi 1 dengan 'The Visit', 'Maze Runner 2' Meledak di Luar Amerika

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Box Office, Artikel Featured, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Box Office: 'Perfect Guy' Berebut Posisi 1 dengan 'The Visit', 'Maze Runner 2' Meledak di Luar Amerika
link : Box Office: 'Perfect Guy' Berebut Posisi 1 dengan 'The Visit', 'Maze Runner 2' Meledak di Luar Amerika

Baca juga


[aktual] Terjadi perebutan sengit antara 'Perfect Guy' dan 'The Visit' dengan selisih yang tak begitu signifikan. Sementara itu 'The Scorch Trials' memuncaki bioskop di luar Amerika, termasuk Indonesia. Berikut rekap lengkapnya.

Minggu ini, 2 film thriller yang belum tayang di Indonesia The Perfect Guy dan The Visit berebut posisi pertama di box office Amerika. Dengan selisih yang beda tipis, hanya $0,5 juta.

The Perfect Guy berada di posisi pertama dan menjadi film ketiga dengan mayoritas pemain Afrika-Amerika yang memuncaki box office setelah Straight Outta Compton dan War Room. Dengan raihan $25,9 juta dan nilai CinemaScore "A-", The Perfect Guy melewati ekspektasi awal. Film thriller berbujet rendah ini mengikuti tren yang dialami No Good Deed tahun lalu yang memperoleh pendapatan debut $24,2 juta.

The Visit membayangi di posisi kedua dengan $25,4 juta. Meski hanya mendapat nilai CinemaScore "B-", film horor-thriller dari M. Night Shyamalan yang berbujet rendah ($5 juta) ini menjadi filmnya yang lumayan sukses setelah beberapa tahun belakangan terseok-seok dengan film semacam The Last Airbender dan After Earth. Kerjasamanya dengan maestro horor Jason Blum dengan rumah produksinya Blumhouse, tampaknya adalah strategi yang cukup bagus. Film ini juga tayang di 14 negara lain dengan meraup laba $3,8 juta dengan total laba global $29,2 juta.

Film religi War Room masih menunjukkan ketangguhannya. Dengan penurunan 18%, film ini berada di posisi ketiga dengan pendapatan $7,8 juta. Selama 17 hari tayang, total pendapatannya adalah $39,1 juta dari bujet yang hanya $3 juta.

A Walk in the Woods berada di posisi keempat dengan $4,7 juta, turun 43,3% dibandingkan dengan minggu lalu. Total pendapatannya adalah $20,0 juta.

Mission: Impossible - Rogue Nation turun 43% dengan pendapatan $4,1 juta dan total laba domestik sebesar $188,1 juta. Film ini baru saja dibuka di Cina dan langsung mendapat tambahan yang impresif dengan $50,5 juta. Total pendapatan internasionalnya adalah $613 juta.

Maze Runner: The Scorch Trials yang baru akan tayang di Amerika minggu depan, telah rilis di 21 negara dengan pendapatan debut $26,8 juta. Angka ini 40% lebih besar dibandingkan The Maze Runner. Raihan terbesar diperoleh di Inggris ($4,4 juta) dan Meksiko ($3,8 juta), sementara di Indonesia sendiri meraup laba sekitar $1 juta.

Dengan perilisannya di Cina yang menambahkan $19,3 juta, Minions baru saja menyalib Toy Story 3 dan menjadi film animasi terlaris nomor 2 sepanjang sejarah dengan total pendapatan $1,08 miliar.

Sementara itu, Inside Out menambahkan $5,3 juta dari 34 negara. Dengan total laba internasional sebesar $747,7 juta, film ini menjadi animasi terlaris Pixar ketiga sepanjang masa di belakang Finding Nemo ($895,6 juta).

Ted 2 mengumpulkan $2,5 juta dari 30 negara dengan total pendapatan Internasional $207,5 juta.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

Weekend Box Office 11 September - 13 September 2015

#01 The Perfect Guy


Minggu ini: $25,888,154
Total: $25,888,154

#02 The Visit


Minggu ini: $25,427,560
Total: $25,427,560

#03 War Room


Minggu ini: $7,772,485
Total: $39,560,812

#04 A Walk in the Woods


Minggu ini: $4,743,520
Total: $20,000,445

#05 Mission: Impossible - Rogue Nation


Minggu ini: $4,100,405
Total: $188,122,923

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'War Room' Tumbangkan 'Compton', 'Transporter Refueled' Mengecewakan ■UP

[Sumber Data : Box Office Mojo]

[aktual] Terjadi perebutan sengit antara 'Perfect Guy' dan 'The Visit' dengan selisih yang tak begitu signifikan. Sementara itu 'The Scorch Trials' memuncaki bioskop di luar Amerika, termasuk Indonesia. Berikut rekap lengkapnya.

Minggu ini, 2 film thriller yang belum tayang di Indonesia The Perfect Guy dan The Visit berebut posisi pertama di box office Amerika. Dengan selisih yang beda tipis, hanya $0,5 juta.

The Perfect Guy berada di posisi pertama dan menjadi film ketiga dengan mayoritas pemain Afrika-Amerika yang memuncaki box office setelah Straight Outta Compton dan War Room. Dengan raihan $25,9 juta dan nilai CinemaScore "A-", The Perfect Guy melewati ekspektasi awal. Film thriller berbujet rendah ini mengikuti tren yang dialami No Good Deed tahun lalu yang memperoleh pendapatan debut $24,2 juta.

The Visit membayangi di posisi kedua dengan $25,4 juta. Meski hanya mendapat nilai CinemaScore "B-", film horor-thriller dari M. Night Shyamalan yang berbujet rendah ($5 juta) ini menjadi filmnya yang lumayan sukses setelah beberapa tahun belakangan terseok-seok dengan film semacam The Last Airbender dan After Earth. Kerjasamanya dengan maestro horor Jason Blum dengan rumah produksinya Blumhouse, tampaknya adalah strategi yang cukup bagus. Film ini juga tayang di 14 negara lain dengan meraup laba $3,8 juta dengan total laba global $29,2 juta.

Film religi War Room masih menunjukkan ketangguhannya. Dengan penurunan 18%, film ini berada di posisi ketiga dengan pendapatan $7,8 juta. Selama 17 hari tayang, total pendapatannya adalah $39,1 juta dari bujet yang hanya $3 juta.

A Walk in the Woods berada di posisi keempat dengan $4,7 juta, turun 43,3% dibandingkan dengan minggu lalu. Total pendapatannya adalah $20,0 juta.

Mission: Impossible - Rogue Nation turun 43% dengan pendapatan $4,1 juta dan total laba domestik sebesar $188,1 juta. Film ini baru saja dibuka di Cina dan langsung mendapat tambahan yang impresif dengan $50,5 juta. Total pendapatan internasionalnya adalah $613 juta.

Maze Runner: The Scorch Trials yang baru akan tayang di Amerika minggu depan, telah rilis di 21 negara dengan pendapatan debut $26,8 juta. Angka ini 40% lebih besar dibandingkan The Maze Runner. Raihan terbesar diperoleh di Inggris ($4,4 juta) dan Meksiko ($3,8 juta), sementara di Indonesia sendiri meraup laba sekitar $1 juta.

Dengan perilisannya di Cina yang menambahkan $19,3 juta, Minions baru saja menyalib Toy Story 3 dan menjadi film animasi terlaris nomor 2 sepanjang sejarah dengan total pendapatan $1,08 miliar.

Sementara itu, Inside Out menambahkan $5,3 juta dari 34 negara. Dengan total laba internasional sebesar $747,7 juta, film ini menjadi animasi terlaris Pixar ketiga sepanjang masa di belakang Finding Nemo ($895,6 juta).

Ted 2 mengumpulkan $2,5 juta dari 30 negara dengan total pendapatan Internasional $207,5 juta.

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

Weekend Box Office 11 September - 13 September 2015

#01 The Perfect Guy


Minggu ini: $25,888,154
Total: $25,888,154

#02 The Visit


Minggu ini: $25,427,560
Total: $25,427,560

#03 War Room


Minggu ini: $7,772,485
Total: $39,560,812

#04 A Walk in the Woods


Minggu ini: $4,743,520
Total: $20,000,445

#05 Mission: Impossible - Rogue Nation


Minggu ini: $4,100,405
Total: $188,122,923

Ulasan Weekend Box Office Minggu Sebelumnya: Box Office: 'War Room' Tumbangkan 'Compton', 'Transporter Refueled' Mengecewakan ■UP

[Sumber Data : Box Office Mojo]