- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Sutradara James Cameron mengungkap kapan ia akan mulai menggarap jajaran sekuel 'Avatar'.
Usai memastikan Stephen Lang (Colonel Quaritch) akan jadi villain di keempat sekuel Avatar, kali ini sutradara James Cameron mengungkap kapan ia akan mulai menggarap jajaran film sci-fi ambisius ini.
Ketika berbincang dengan Entertainment Weekly dalam rangka mempromosikan rilis ulang Terminator 2: Judgement Day berformat 3D, Cameron bercerita kini sekuel Avatar telah sepenuhnya berada di tahap produksi. Lebih spesifik, Cameron menyebut tahap produksi ini sebagai “scouting”, yang menurutnya sama dengan syuting.
Melalui proses scouting yang berlokasi di set virtual, Cameron bersama para pemainnya berupaya mencari skala, posisi dan lighting yang pas. Selanjutnya, usai pencarian ini rampung, Cameron akan menggelar gladi bersih dengan para pemain. Rencananya Cameron akan menggulirkan proses syuting sesungguhnya pada akhir September 2017.
Sebelumnya, Cameron sendiri menyatakan proses syuting keempat sekuel Avatar akan berjalan secara simultan layaknya miniseri, sebab keempat film ini tergabung dalam satu produksi besar. Berbekal metode syuting tersebut, Cameron menjelaskan ia bisa merekam sebuah adegan Avatar 2 di hari A, kemudian di hari B ia bisa langsung merekam sebuah adegan Avatar 4.
Saking kompleksnya proses syuting keempat sekuel Avatar, sang sutradara pun menilai menggarap keempat sekuel Avatar ibarat menggarap tiga film Godfather secara bersamaan. Dengan demikian, cukup masuk akal jika Cameron mengakui proyek sekuel Avatar adalah tantangan terbesar sepanjang karirnya.
Selain Stephen Lang, jajaran sekuel Avatar kembali dibintangi Sam Worthington (Jake), Zoe Saldana (Neytiri) dan Sigourney Weaver (Dr. Grace Augustine), disusul pemain baru meliputi Oona Chaplin dan Cliff Curtis. Film-film ini akan menyoroti kehidupan keluarga baru Jake bersama suku Na’Vi di planet Pandora.
Avatar 2 akan dirilis 18 Desember 2020. Sementara, tiga sekuel lainnya siap menyusul secara bergiliran pada 17 Desember 2021, 20 Desember 2024 dan 19 Desember 2025. ■UP
Sutradara James Cameron mengungkap kapan ia akan mulai menggarap jajaran sekuel 'Avatar'.
Usai memastikan Stephen Lang (Colonel Quaritch) akan jadi villain di keempat sekuel Avatar, kali ini sutradara James Cameron mengungkap kapan ia akan mulai menggarap jajaran film sci-fi ambisius ini.
Ketika berbincang dengan Entertainment Weekly dalam rangka mempromosikan rilis ulang Terminator 2: Judgement Day berformat 3D, Cameron bercerita kini sekuel Avatar telah sepenuhnya berada di tahap produksi. Lebih spesifik, Cameron menyebut tahap produksi ini sebagai “scouting”, yang menurutnya sama dengan syuting.
Melalui proses scouting yang berlokasi di set virtual, Cameron bersama para pemainnya berupaya mencari skala, posisi dan lighting yang pas. Selanjutnya, usai pencarian ini rampung, Cameron akan menggelar gladi bersih dengan para pemain. Rencananya Cameron akan menggulirkan proses syuting sesungguhnya pada akhir September 2017.
Sebelumnya, Cameron sendiri menyatakan proses syuting keempat sekuel Avatar akan berjalan secara simultan layaknya miniseri, sebab keempat film ini tergabung dalam satu produksi besar. Berbekal metode syuting tersebut, Cameron menjelaskan ia bisa merekam sebuah adegan Avatar 2 di hari A, kemudian di hari B ia bisa langsung merekam sebuah adegan Avatar 4.
Saking kompleksnya proses syuting keempat sekuel Avatar, sang sutradara pun menilai menggarap keempat sekuel Avatar ibarat menggarap tiga film Godfather secara bersamaan. Dengan demikian, cukup masuk akal jika Cameron mengakui proyek sekuel Avatar adalah tantangan terbesar sepanjang karirnya.
Selain Stephen Lang, jajaran sekuel Avatar kembali dibintangi Sam Worthington (Jake), Zoe Saldana (Neytiri) dan Sigourney Weaver (Dr. Grace Augustine), disusul pemain baru meliputi Oona Chaplin dan Cliff Curtis. Film-film ini akan menyoroti kehidupan keluarga baru Jake bersama suku Na’Vi di planet Pandora.
Avatar 2 akan dirilis 18 Desember 2020. Sementara, tiga sekuel lainnya siap menyusul secara bergiliran pada 17 Desember 2021, 20 Desember 2024 dan 19 Desember 2025. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Marvel akan menjadikan 'Guardians of the Galaxy Vol. 3' sebagai set up bagi film-film anyar MCU yang akan dirilis untuk 10-20 tahun kedepan.
Para pengamat memprediksi kelak akan terjadi “superhero fatigue” bila tingkat produksi film sejenis dirasa berlebihan dan ujungnya bisa membuat penonton bosan. Namun prediksi ini sepertinya hanya angin lalu lantaran studio Hollywood tetap tak bergeming dan bahkan semakin agresif dalam menggodok film superhero berikut cinematic universe ciptaannya untuk jangka panjang. Satu bukti nyata yang menggambarkan situasi tersebut ialah Marvel Studios yang rupanya sudah punya rencana terkait Marvel Cinematic Universe untuk 10 hingga 20 tahun kedepan.
Sebagai langkah awal untuk melaksanakan rencana jangka panjangnya yang ambisius, Marvel pun menjadikan Guardians of the Galaxy Vol. 3 sebagai set up atau fondasi bagi film-film anyar MCU yang akan dirilis untuk 10-20 tahun kedepan. Hal diakui langsung oleh James Gunn selaku penulis/sutradara Guardians of the Galaxy Vol. 3 melalui Facebook.
Lebih dari itu, Gunn juga memastikan filmnya yang bersetting pasca Avengers 4 ini siap memperluas sektor cosmic universe dari MCU, dan memperkenalkan sejumlah karakter baru. Di akhir pernyataannya, Gunn tak lupa mengkonfirmasi Vol. 3 akan jadi film terakhir bagi anggota Guardians of the Galaxy yang sekarang. Artinya, kemungkinan Vol. 3 akan menandai penampilan terakhir Star-Lord, Gamora, Drax, Rocket Raccoon dan Groot.
Sementara itu, saat ini Marvel tengah mempersiapkan tak kurang dari tujuh film sampai 2019. Diantaranya: Thor: Ragnarok (November 2017), Black Panther (Februari 2018), Avengers: Infinity War (Mei 2018) dan Ant-Man and the Wasp (Juli 2018). Kemudian disusul Captain Marvel (Maret 2019), Avengers 4 (Mei 2019) dan Spider-Man: Homecoming 2 (Juli 2019). ■UP
Marvel akan menjadikan 'Guardians of the Galaxy Vol. 3' sebagai set up bagi film-film anyar MCU yang akan dirilis untuk 10-20 tahun kedepan.
Para pengamat memprediksi kelak akan terjadi “superhero fatigue” bila tingkat produksi film sejenis dirasa berlebihan dan ujungnya bisa membuat penonton bosan. Namun prediksi ini sepertinya hanya angin lalu lantaran studio Hollywood tetap tak bergeming dan bahkan semakin agresif dalam menggodok film superhero berikut cinematic universe ciptaannya untuk jangka panjang. Satu bukti nyata yang menggambarkan situasi tersebut ialah Marvel Studios yang rupanya sudah punya rencana terkait Marvel Cinematic Universe untuk 10 hingga 20 tahun kedepan.
Sebagai langkah awal untuk melaksanakan rencana jangka panjangnya yang ambisius, Marvel pun menjadikan Guardians of the Galaxy Vol. 3 sebagai set up atau fondasi bagi film-film anyar MCU yang akan dirilis untuk 10-20 tahun kedepan. Hal diakui langsung oleh James Gunn selaku penulis/sutradara Guardians of the Galaxy Vol. 3 melalui Facebook.
Lebih dari itu, Gunn juga memastikan filmnya yang bersetting pasca Avengers 4 ini siap memperluas sektor cosmic universe dari MCU, dan memperkenalkan sejumlah karakter baru. Di akhir pernyataannya, Gunn tak lupa mengkonfirmasi Vol. 3 akan jadi film terakhir bagi anggota Guardians of the Galaxy yang sekarang. Artinya, kemungkinan Vol. 3 akan menandai penampilan terakhir Star-Lord, Gamora, Drax, Rocket Raccoon dan Groot.
Sementara itu, saat ini Marvel tengah mempersiapkan tak kurang dari tujuh film sampai 2019. Diantaranya: Thor: Ragnarok (November 2017), Black Panther (Februari 2018), Avengers: Infinity War (Mei 2018) dan Ant-Man and the Wasp (Juli 2018). Kemudian disusul Captain Marvel (Maret 2019), Avengers 4 (Mei 2019) dan Spider-Man: Homecoming 2 (Juli 2019). ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Drama,
Artikel Kriminal,
Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
“If you don't cheat,life will cheat on you. ” — Lynn
Rating UP: Bad Genius mengkonfirmasi kepercayaan kita semasa sekolah bahwa menyontek merupakan sebuah thriller. Film ini menyajikan aksi contek-menyontek seolah seperti film heist. Siapa bilang menyontek itu tak menyangkut hidup-mati? Film ini tak berlebihan. Guru-guru mungkin tidak tahu bahwa bagi kita menyontek itu adalah sebuah misi yang mendebarkan. Mungkin tahu tapi sudah lupa. Atau pura-pura tidak tahu.
Film ini seru dan sangat menegangkan. Mungkin karena ia diangkat dari kisah nyata. Para siswa menyusun dan mengeksekusi rencana yang cerdik agar bisa lulus ujian adalah bahasan yang sudah lumrah. Saya berani bilang bahwa cerita semacam ini adalah pengalaman kita semua, termasuk say... maksud saya, teman-teman saya. Film ini secara khusus terinspirasi dari skandal internasional yang terjadi saat ujian SAT (Scholastic Assessment Tests).
Film dimulai dengan adegan interogasi dari siswa yang sepertinya sedang dicurigai melakukan kecurangan. Siswa pertama adalah Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying). Ia berasal dari keluarga miskin. Ayahnya, yang baru saja bercerai, hanya seorang guru biasa. Namun Lynn berhasil masuk ke sekolah elit di Bangkok, lalu ngeles dengan sedemikian lihai hingga sukses mendapat beasiswa penuh.
Lynn kemudian baru tahu kalau ternyata siswa sekolah elit tak harus pintar semua. Kebanyakan dari mereka hanyalah anak orang kaya. Salah satunya adalah Grace (Eisaya Hosuwan) yang menjadi teman pertama Lynn, dan mungkin satu-satunya. Masalahnya, Grace tak begitu cemerlang di bidang akademis tapi ia butuh nilai yang cukup agar diperbolehkan ikut kelas akting. Jadi, Lynn bersedia membantunya saat ujian.
Hal ini segera menjadi peluang bisnis setelah pacar Grace yang juga sama lemotnya, Pat (Teeradon Supapunpinyo) menawarkan bayaran untuk jasa Lynn. Lynn sebenarnya bukan siswa yang culas. Namun melihat bagaimana mudahnya anak-anak orang kaya bisa bersekolah elit, sedikit tersentuh untuk membantu temannya, dan mempertimbangkan keuangan keluarganya yang angot-angotan, Lynn meyakinkan dirinya bahwa ini demi kebaikan bersama.
Namanya sekolah, gosip menyebar secepat arisan ibu-ibu komplek. Semakin banyak siswa yang rela membayar demi mendapatkan jawaban. Tentu saja bakal ketauan. Ingat kalau dulu kita juga punya teman yang suka ngadu? Rival Lynn, Bank (Canon Santinatornkul) melakukannya. Namun Lynn tak hanya bisa dengan cepat beradaptasi, ia juga berhasil melebarkan bisnisnya tersebut ke skala internasional.
Saya kira film ini akan menginspirasi teknik-teknik baru dalam menyontek. Mulai dari menggunakan penghapus dan sepatu sebagaimana yang dilakukan Lynn saat pertama kali, mengetukkan jari tangan, sampai memalsukan sakit perut dan memakai barcode di pensil. Semua ini sangat kreatif dan sebagian besar tak pernah saya lihat sebelumnya. Tapi siswa sekolah selalu merupakan pribadi yang bermotivasi tinggi. Saya yakin mereka mampu merancang teknik yang lebih dahsyat daripada yang dipakai di dalam film.
Karena menyontek di dunia nyata tak bisa disebut sebagai heist sungguhan, mengagumkan bagaimana sutradara Nattawut Poonpiya sukses dalam menjaga fimnya tetap menegangkan. Ia merancang setiap aksi menyontek ini layaknya sekuens dalam film heist atau semacamnya. Sinematografi dan editing dipakai sedemikian rupa untuk mengeskalasi ketegangan. Bagian puncak, ketika Lynn dkk berusaha mencurangi ujian STIC (SAT fiktif versi film) adalah ketegangan hqq karena ini melibatkan ujian skala internasional yang tentu saja punya tingkat keamanan yang tinggi sehingga butuh teknik yang lebih pelik dan timing yang lebih ketat.
Anda tahu, inilah yang bermasalah dengan pendidikan masa kini. Film ini juga menjadi kritik sosial terhadap budaya ujian dan sistem pendidikan. Kita kadung memberi standar akademis yang terbatas hanya pada nilai. Nilai bagus berarti siswa yang pintar. Padahal tidak selalu. Belum lagi korupsi dari institusi pendidikan itu sendiri yang mencederai kesempatan bagi sebagian orang untuk memperoleh pendidikan yang sepadan. Menjelang akhir, film ini sedikit menyentil ranah yang lebih gelap, dimana kita melihat salah satu karakternya terbawa korup. Namun film ditutup dengan ending yang positif, mungkin demi memberi pesan moral.
Ini membuat Bad Genius tak terkesan menglorifikasi contek-menyontek, meskipun cara filmnya mempresentasikan sekuens contek-menyontek menjadikannya terlihat keren. Ingat adik-adik, menyontek ini tidak boleh.... kalau sampai ketahuan. Eh, maaf. ■UP
“If you don't cheat,life will cheat on you. ” — Lynn
Rating UP: Bad Genius mengkonfirmasi kepercayaan kita semasa sekolah bahwa menyontek merupakan sebuah thriller. Film ini menyajikan aksi contek-menyontek seolah seperti film heist. Siapa bilang menyontek itu tak menyangkut hidup-mati? Film ini tak berlebihan. Guru-guru mungkin tidak tahu bahwa bagi kita menyontek itu adalah sebuah misi yang mendebarkan. Mungkin tahu tapi sudah lupa. Atau pura-pura tidak tahu.
Film ini seru dan sangat menegangkan. Mungkin karena ia diangkat dari kisah nyata. Para siswa menyusun dan mengeksekusi rencana yang cerdik agar bisa lulus ujian adalah bahasan yang sudah lumrah. Saya berani bilang bahwa cerita semacam ini adalah pengalaman kita semua, termasuk say... maksud saya, teman-teman saya. Film ini secara khusus terinspirasi dari skandal internasional yang terjadi saat ujian SAT (Scholastic Assessment Tests).
Film dimulai dengan adegan interogasi dari siswa yang sepertinya sedang dicurigai melakukan kecurangan. Siswa pertama adalah Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying). Ia berasal dari keluarga miskin. Ayahnya, yang baru saja bercerai, hanya seorang guru biasa. Namun Lynn berhasil masuk ke sekolah elit di Bangkok, lalu ngeles dengan sedemikian lihai hingga sukses mendapat beasiswa penuh.
Lynn kemudian baru tahu kalau ternyata siswa sekolah elit tak harus pintar semua. Kebanyakan dari mereka hanyalah anak orang kaya. Salah satunya adalah Grace (Eisaya Hosuwan) yang menjadi teman pertama Lynn, dan mungkin satu-satunya. Masalahnya, Grace tak begitu cemerlang di bidang akademis tapi ia butuh nilai yang cukup agar diperbolehkan ikut kelas akting. Jadi, Lynn bersedia membantunya saat ujian.
Hal ini segera menjadi peluang bisnis setelah pacar Grace yang juga sama lemotnya, Pat (Teeradon Supapunpinyo) menawarkan bayaran untuk jasa Lynn. Lynn sebenarnya bukan siswa yang culas. Namun melihat bagaimana mudahnya anak-anak orang kaya bisa bersekolah elit, sedikit tersentuh untuk membantu temannya, dan mempertimbangkan keuangan keluarganya yang angot-angotan, Lynn meyakinkan dirinya bahwa ini demi kebaikan bersama.
Namanya sekolah, gosip menyebar secepat arisan ibu-ibu komplek. Semakin banyak siswa yang rela membayar demi mendapatkan jawaban. Tentu saja bakal ketauan. Ingat kalau dulu kita juga punya teman yang suka ngadu? Rival Lynn, Bank (Canon Santinatornkul) melakukannya. Namun Lynn tak hanya bisa dengan cepat beradaptasi, ia juga berhasil melebarkan bisnisnya tersebut ke skala internasional.
Saya kira film ini akan menginspirasi teknik-teknik baru dalam menyontek. Mulai dari menggunakan penghapus dan sepatu sebagaimana yang dilakukan Lynn saat pertama kali, mengetukkan jari tangan, sampai memalsukan sakit perut dan memakai barcode di pensil. Semua ini sangat kreatif dan sebagian besar tak pernah saya lihat sebelumnya. Tapi siswa sekolah selalu merupakan pribadi yang bermotivasi tinggi. Saya yakin mereka mampu merancang teknik yang lebih dahsyat daripada yang dipakai di dalam film.
Karena menyontek di dunia nyata tak bisa disebut sebagai heist sungguhan, mengagumkan bagaimana sutradara Nattawut Poonpiya sukses dalam menjaga fimnya tetap menegangkan. Ia merancang setiap aksi menyontek ini layaknya sekuens dalam film heist atau semacamnya. Sinematografi dan editing dipakai sedemikian rupa untuk mengeskalasi ketegangan. Bagian puncak, ketika Lynn dkk berusaha mencurangi ujian STIC (SAT fiktif versi film) adalah ketegangan hqq karena ini melibatkan ujian skala internasional yang tentu saja punya tingkat keamanan yang tinggi sehingga butuh teknik yang lebih pelik dan timing yang lebih ketat.
Anda tahu, inilah yang bermasalah dengan pendidikan masa kini. Film ini juga menjadi kritik sosial terhadap budaya ujian dan sistem pendidikan. Kita kadung memberi standar akademis yang terbatas hanya pada nilai. Nilai bagus berarti siswa yang pintar. Padahal tidak selalu. Belum lagi korupsi dari institusi pendidikan itu sendiri yang mencederai kesempatan bagi sebagian orang untuk memperoleh pendidikan yang sepadan. Menjelang akhir, film ini sedikit menyentil ranah yang lebih gelap, dimana kita melihat salah satu karakternya terbawa korup. Namun film ditutup dengan ending yang positif, mungkin demi memberi pesan moral.
Ini membuat Bad Genius tak terkesan menglorifikasi contek-menyontek, meskipun cara filmnya mempresentasikan sekuens contek-menyontek menjadikannya terlihat keren. Ingat adik-adik, menyontek ini tidak boleh.... kalau sampai ketahuan. Eh, maaf. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Menyusul beredarnya kabar bahwa Warner Bros. akan membuat film asal-usul Joker yang diproduseri sineas elit Martin Scorcese, kini ada dua kabar baru lainnya terkait DC yang juga menjadi sorotan.
Menyusul beredarnya kabar bahwa Warner Bros. akan membuat film asal-usul Joker yang diproduseri sineas elit Martin Scorcese, kini ada dua kabar baru lainnya terkait DC yang juga menjadi sorotan.
Berdasarkan laporan dari THR, WB berencana membuat film khusus Joker dan Harley Quinn dengan kembali dibintangi dua pemeran karakter tersebut di Suicide Squad, yakni Jared Leto dan MargotRobbie. Film ini sendiri akan menyoroti kisah cinta Joker dan Harley Quinn yang gila dan sulit ditebak. Film ini pun digambarkan akan seperti When Harry Met Sally yang dikombinasikan dengan obat terlarang. Saat ini WB sedang bernegosiasi dengan Glenn Ficarra dan John Requa untuk ditunjuk sebagai sutradara sekaligus penulis skrip. Pemilihan duo sineas ini dinilai cukup tepat untuk film Joker dan Harley Quinn karena sebelumnya mereka pernah menghadirkan kisah cinta tak biasa lewat Crazy, Stupid, Love dan Focus.
Lebh lanjut, film Joker dan Harley Quinn nantinya akan terhubung dengan DC Extended Universe. Sementara itu, di saat bersamaan, kini WB juga mengembangkanSuicide Squad 2 dan Gotham CitySirens yang kembali dibintangi Leto sebagai musuh besar Batman.
Nah, bicara soal Batman, dalam kabar lainnya THR menyebutkanThe Batman belum tentu tergabung dalam DCEU. Karenanya, ada potensi film yang disutradarai Matt Reeves ini takkan kembali dibintangi Ben Affleck, melainkan dibintangi aktor baru sebagai karakter titular. Muncul dugaan bahwa The Batman nanti akan menyusul film asal-usul Joker sebagai proyek garapan rumah produksi baru milik WB yang khusus menangani film DC yang bukan bagian DCEU.
Bagaimanapun, kabar yang mengklaim Affleck tak kembali jadi jagoan DC di The Batman memang belum tentu benar. Hanya saja, sulit untuk tidak memercayainya lantaran belum lama ini aktor yang juga adik Ben, Casey Affleck, mengaku sang kakak takkan tampil di The Batman. ■UP
Menyusul beredarnya kabar bahwa Warner Bros. akan membuat film asal-usul Joker yang diproduseri sineas elit Martin Scorcese, kini ada dua kabar baru lainnya terkait DC yang juga menjadi sorotan.
Menyusul beredarnya kabar bahwa Warner Bros. akan membuat film asal-usul Joker yang diproduseri sineas elit Martin Scorcese, kini ada dua kabar baru lainnya terkait DC yang juga menjadi sorotan.
Berdasarkan laporan dari THR, WB berencana membuat film khusus Joker dan Harley Quinn dengan kembali dibintangi dua pemeran karakter tersebut di Suicide Squad, yakni Jared Leto dan MargotRobbie. Film ini sendiri akan menyoroti kisah cinta Joker dan Harley Quinn yang gila dan sulit ditebak. Film ini pun digambarkan akan seperti When Harry Met Sally yang dikombinasikan dengan obat terlarang. Saat ini WB sedang bernegosiasi dengan Glenn Ficarra dan John Requa untuk ditunjuk sebagai sutradara sekaligus penulis skrip. Pemilihan duo sineas ini dinilai cukup tepat untuk film Joker dan Harley Quinn karena sebelumnya mereka pernah menghadirkan kisah cinta tak biasa lewat Crazy, Stupid, Love dan Focus.
Lebh lanjut, film Joker dan Harley Quinn nantinya akan terhubung dengan DC Extended Universe. Sementara itu, di saat bersamaan, kini WB juga mengembangkanSuicide Squad 2 dan Gotham CitySirens yang kembali dibintangi Leto sebagai musuh besar Batman.
Nah, bicara soal Batman, dalam kabar lainnya THR menyebutkanThe Batman belum tentu tergabung dalam DCEU. Karenanya, ada potensi film yang disutradarai Matt Reeves ini takkan kembali dibintangi Ben Affleck, melainkan dibintangi aktor baru sebagai karakter titular. Muncul dugaan bahwa The Batman nanti akan menyusul film asal-usul Joker sebagai proyek garapan rumah produksi baru milik WB yang khusus menangani film DC yang bukan bagian DCEU.
Bagaimanapun, kabar yang mengklaim Affleck tak kembali jadi jagoan DC di The Batman memang belum tentu benar. Hanya saja, sulit untuk tidak memercayainya lantaran belum lama ini aktor yang juga adik Ben, Casey Affleck, mengaku sang kakak takkan tampil di The Batman. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Review,
Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Daripada menonton filmnya, lebih seru untuk menghitung jumlah cut yang dipakai di setiap adegan aksinya.
“You took the wrong kid!” — Karla McCoy
Rating UP: Pada tahun 2001, Halle Berry mendapat piala aktris terbaik Oscar berkat penampilannya dalam Monster’s Ball. Berry bermain sebagai seorang pramusaji di restoran, yang juga merupakan seorang single mom dengan pernikahan yang bermasalah sehingga harus membesarkan anak semata wayangnya yang masih belia sendirian. Enam belas tahun kemudian, siapa sangka ia mengulang peran yang sama lewat Kidnap. Pramusaji. Pernikahan bermasalah. Satu anak belia. Namun saya yakin, tak ada satupun orang dengan akal sehat yang akan mempertimbangkannya masuk dalam nominasi award manapun. Well, kecuali Razzie mungkin.
Berry bermain dengan lebai sebagai Karla McCoy, ibu dari Frankie (Sage Coreea) yang harus selalu tampak histeris dan berteriak “Oh, Tuhan!”, “Astaga!”, dan/atau “Ia menculik anakku!” nyaris sepanjang film. Yah, walau sebenarnya kita tak bisa menyalahkan Berry sepenuhnya, karena bagaimana lagi caranya untuk menjual film semacam ini. Lagipula, hei, disini diceritakan anaknya diculik. Kita pun boleh jadi akan sepanik ini saat si kecil dibawa kabur orang.
Untuk memastikan kita peduli dengan nasib Frankie, film dibuka dengan potongan video dokumentasi mulai dari Frankie bayi sampai beranjak SD. Kita lalu melihat Karla yang sedang bekerja di restoran dengan mengajak Frankie. Selama sekitar 10 menit, film ini berfokus pada bagaimana susahnya Karla menangani pelanggan yang rewel; ada yang salah pesan, ada yang tiba-tiba mengganti pesanan, sampai ada yang judes karena kebetulan sedang berantem dengan pacarnya. Tepat sebelum saya menyangka film ini berjudul Hari Terburuk Seorang Pramusaji, Karla diijinkan pulang oleh bosnya. Akhirnya.
Karla mengajak Frankie bermain ke taman. Anda tahu, proses perceraian Karla dengan suaminya sedang berlangsung, jadi wajar saat ia mendapat telpon dari pengacaranya. Persoalan kali ini tampaknya cukup pelik sehingga sedemikian teralihkannya Karla, ia sampai tak menyadari bahwa Frankie sudah hilang. Karla segera mencarinya kemana-mana. Ia sempat melihat Frankie dibawa masuk ke dalam mobil oleh seorang wanita paruh baya. Tapi semua sudah terlambat. Yang bisa dilakukan Karla memakai metode primitif: mengejar langsung dengan mobilnya sendiri secara membabi-buta, mungkin karena Karla terlalu banyak menonton film Fast & Furious.
Kenapa tak menelepon polisi, anda bilang? Penulis naskah Knate Lee sudah memikirkan ini. Sebelum naik mobil, Karla tak sengaja menjatuhkan ponselnya di taman. Dan semua orang yang dimintainya tolong untuk menelpon 911 harus selalu salah paham, agar tak ada polisi yang mengejar dan membuat kacau plot yang sudah disiapkan untuk film yang kacau ini. Bagaimana pula dengan media yang biasanya sebegitu gesit meliput hingga bisa memberitakan dengan segera tas bermerek yang baru saja dibeli seorang artis top? Entahlah. Mungkin wartawan Amerika tak secanggih wartawan Indonesia.
Jika Liam Neeson menghajar orang yang menculik putrinya karena punya special set of skills yang diperoleh dari profesi sebelumnya dalam Taken, maka darimana Karla mendapatkan kelihaian menyupir sekelas Dominic Toretto dalam Kidnap? Sejujurnya, saya tak tahu. Mungkin insting ibu-ibu. Ia mengoper persnelling, menghantam pedal gas, berganti arah mendadak, membuat mobil-mobil di belakangnya berjumpalitan, dan menabrak mobil penculik. Saya jadi ragu apa Karla ingin menyelamatkan Frankie atau malah membahayakan nyawanya juga. Sekuens ini tak seseru kedengarannya, karena dirancang dan disorot ala kadarnya.
Narasi film ini sebenarnya punya stuktur sederhana yang bergantung pada arguably satu mekanika aksi, yaitu kejar-kejaran mobil gila-gilaan antara dua supir yang tak kompeten di jalan raya, yang menghasilkan beberapa kecelakaan lalu-lintas yang mematikan, bukan bagi mereka tapi buat orang lain yang tak bersalah. Namun sekuens aksinya begitu samar-samar, kita tak bisa menangkap apa yang sebenarnya berlangsung di layar. Editing-nya serampangan. Banyak potongan adegan repetitif —gambar muka histeris Berry, gambar speedometer, gambar mobil tampak belakang, gambar mobil tampak depan— yang berganti dengan cepat sekali. Mungkin untuk membuat kita mengira sesuatu yang menegangkan sedang terjadi, yang malah menciptakan ketidakjelasan. Saya tak tahu sensasi apa yang ingin dibuat oleh sutradaranya, Luis Prieto.
Untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, tokoh utama kita perlu untuk bicara pada dirinya sendiri dan kadang-kadang pada Tuhan, entah itu saat ingin mengambil sesuatu atau hanya memikirkan sesuatu. Dan ini sering sekali sampai terasa menjengkelkan. Nah pertanyaannya, apa yang akan dilakukan Karla saat berhasil mengejar penculik? Karla pun tidak tahu. Kejar-kejaran usai begitu saja (takkan saya ungkap bagaimana). Satu-satunya momen dimana karakter utama kita menunjukkan intelejensinya adalah di bagian klimaks saat ia langsung mendatangi rumah penculik.
Daripada menonton filmnya, lebih seru untuk menghitung jumlah cut yang dipakai di setiap adegan aksinya. Jika sekadar ingin tahu filmnya tentang apa, anda bisa membaca sinopsisnya saja, karena anda takkan melewatkan apapun. Anda tak perlu menontonnya. Sebagian besar adegan aksinya toh tak bisa dicerna juga. ■UP
Gregory Chou, Lorenzo di Bonaventura, Erik Howsam, Joey Tufaro, Taylar Wesley, Elaine Goldsmith-Thomas, Halle Berry
Flavio Martinez Labiano
Federico Jusid
Daripada menonton filmnya, lebih seru untuk menghitung jumlah cut yang dipakai di setiap adegan aksinya.
“You took the wrong kid!” — Karla McCoy
Rating UP: Pada tahun 2001, Halle Berry mendapat piala aktris terbaik Oscar berkat penampilannya dalam Monster’s Ball. Berry bermain sebagai seorang pramusaji di restoran, yang juga merupakan seorang single mom dengan pernikahan yang bermasalah sehingga harus membesarkan anak semata wayangnya yang masih belia sendirian. Enam belas tahun kemudian, siapa sangka ia mengulang peran yang sama lewat Kidnap. Pramusaji. Pernikahan bermasalah. Satu anak belia. Namun saya yakin, tak ada satupun orang dengan akal sehat yang akan mempertimbangkannya masuk dalam nominasi award manapun. Well, kecuali Razzie mungkin.
Berry bermain dengan lebai sebagai Karla McCoy, ibu dari Frankie (Sage Coreea) yang harus selalu tampak histeris dan berteriak “Oh, Tuhan!”, “Astaga!”, dan/atau “Ia menculik anakku!” nyaris sepanjang film. Yah, walau sebenarnya kita tak bisa menyalahkan Berry sepenuhnya, karena bagaimana lagi caranya untuk menjual film semacam ini. Lagipula, hei, disini diceritakan anaknya diculik. Kita pun boleh jadi akan sepanik ini saat si kecil dibawa kabur orang.
Untuk memastikan kita peduli dengan nasib Frankie, film dibuka dengan potongan video dokumentasi mulai dari Frankie bayi sampai beranjak SD. Kita lalu melihat Karla yang sedang bekerja di restoran dengan mengajak Frankie. Selama sekitar 10 menit, film ini berfokus pada bagaimana susahnya Karla menangani pelanggan yang rewel; ada yang salah pesan, ada yang tiba-tiba mengganti pesanan, sampai ada yang judes karena kebetulan sedang berantem dengan pacarnya. Tepat sebelum saya menyangka film ini berjudul Hari Terburuk Seorang Pramusaji, Karla diijinkan pulang oleh bosnya. Akhirnya.
Karla mengajak Frankie bermain ke taman. Anda tahu, proses perceraian Karla dengan suaminya sedang berlangsung, jadi wajar saat ia mendapat telpon dari pengacaranya. Persoalan kali ini tampaknya cukup pelik sehingga sedemikian teralihkannya Karla, ia sampai tak menyadari bahwa Frankie sudah hilang. Karla segera mencarinya kemana-mana. Ia sempat melihat Frankie dibawa masuk ke dalam mobil oleh seorang wanita paruh baya. Tapi semua sudah terlambat. Yang bisa dilakukan Karla memakai metode primitif: mengejar langsung dengan mobilnya sendiri secara membabi-buta, mungkin karena Karla terlalu banyak menonton film Fast & Furious.
Kenapa tak menelepon polisi, anda bilang? Penulis naskah Knate Lee sudah memikirkan ini. Sebelum naik mobil, Karla tak sengaja menjatuhkan ponselnya di taman. Dan semua orang yang dimintainya tolong untuk menelpon 911 harus selalu salah paham, agar tak ada polisi yang mengejar dan membuat kacau plot yang sudah disiapkan untuk film yang kacau ini. Bagaimana pula dengan media yang biasanya sebegitu gesit meliput hingga bisa memberitakan dengan segera tas bermerek yang baru saja dibeli seorang artis top? Entahlah. Mungkin wartawan Amerika tak secanggih wartawan Indonesia.
Jika Liam Neeson menghajar orang yang menculik putrinya karena punya special set of skills yang diperoleh dari profesi sebelumnya dalam Taken, maka darimana Karla mendapatkan kelihaian menyupir sekelas Dominic Toretto dalam Kidnap? Sejujurnya, saya tak tahu. Mungkin insting ibu-ibu. Ia mengoper persnelling, menghantam pedal gas, berganti arah mendadak, membuat mobil-mobil di belakangnya berjumpalitan, dan menabrak mobil penculik. Saya jadi ragu apa Karla ingin menyelamatkan Frankie atau malah membahayakan nyawanya juga. Sekuens ini tak seseru kedengarannya, karena dirancang dan disorot ala kadarnya.
Narasi film ini sebenarnya punya stuktur sederhana yang bergantung pada arguably satu mekanika aksi, yaitu kejar-kejaran mobil gila-gilaan antara dua supir yang tak kompeten di jalan raya, yang menghasilkan beberapa kecelakaan lalu-lintas yang mematikan, bukan bagi mereka tapi buat orang lain yang tak bersalah. Namun sekuens aksinya begitu samar-samar, kita tak bisa menangkap apa yang sebenarnya berlangsung di layar. Editing-nya serampangan. Banyak potongan adegan repetitif —gambar muka histeris Berry, gambar speedometer, gambar mobil tampak belakang, gambar mobil tampak depan— yang berganti dengan cepat sekali. Mungkin untuk membuat kita mengira sesuatu yang menegangkan sedang terjadi, yang malah menciptakan ketidakjelasan. Saya tak tahu sensasi apa yang ingin dibuat oleh sutradaranya, Luis Prieto.
Untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi, tokoh utama kita perlu untuk bicara pada dirinya sendiri dan kadang-kadang pada Tuhan, entah itu saat ingin mengambil sesuatu atau hanya memikirkan sesuatu. Dan ini sering sekali sampai terasa menjengkelkan. Nah pertanyaannya, apa yang akan dilakukan Karla saat berhasil mengejar penculik? Karla pun tidak tahu. Kejar-kejaran usai begitu saja (takkan saya ungkap bagaimana). Satu-satunya momen dimana karakter utama kita menunjukkan intelejensinya adalah di bagian klimaks saat ia langsung mendatangi rumah penculik.
Daripada menonton filmnya, lebih seru untuk menghitung jumlah cut yang dipakai di setiap adegan aksinya. Jika sekadar ingin tahu filmnya tentang apa, anda bisa membaca sinopsisnya saja, karena anda takkan melewatkan apapun. Anda tak perlu menontonnya. Sebagian besar adegan aksinya toh tak bisa dicerna juga. ■UP
- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul
, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Warner Bros. sedang mengembangkan film tentang asal-muasal musuh ikonik Batman, dan memboyong Martin Scorsese – salah satu sineas terbaik di Hollywood – sebagai produser.
Sebuah kabar tak terduga datang dari Deadline. Pasca Joker tampil mengecewakan di Suicide Squad tahun lalu, Warner Bros. tampaknya tak patah arang dengan karakter tersebut karena kini studio justru sedang mengembangkan film tentang asal-muasal musuh ikonik Batman. Bagian menariknya yang sulit dipercaya, Martin Scorsese – salah satu sineas terbaik di Hollywood – diboyong untuk menjadi produser. Tak berhenti sampai disitu, Todd Phillips – pembesut trilogiThe Hangover – terpilih sebagai sutradara merangkap penulis naskah. Nantinya, Phillips akan menulis skrip bersama ScottSilver (8 Mile).
Informasi lebih lanjut menyebutkan, film Joker ini akan digodok di rumah produksi baru milik WB. Rumah produksi yang belum punya nama ini khusus didirikan untuk mengekspansi “canon” dari properti DC dan menciptakan storyline film yang unik serta melibatkan aktor yang berbeda-beda dalam memerankan karakter ikonik. Maka tak heran jika pemeran Joker di Suicide Squad, Jared Leto, tak dilibatkan di film ini. Sebaliknya, studio kini mencari aktor baru yang lebih muda sebagai pemeran Joker. Namun Leto sendiri kabarnya masih dijadwalkan kembali membintangi SuicideSquad 2 dan Gotham City Sirens.
Lebih dari itu, film asal-usul Joker dikatakan akan bersetting tahun 80-an di Gotham City. Atmosfer film ini pun akan dibuat serupa dengan tiga film top karya Scorsese di era tersebut, yakniTaxi Driver, Raging Bulldan The King of Comedy.
FYI, Joker sendiri sebenarnya tak punya kisah asal-usul yang pasti, mengingat setiap muncul di komik atau film, ia memiliki latar belakang yang berbeda. Hal inilah yang membuat kisah asal-muasal Joker di film mendatang takkan jadi bagian dari iterasi manapun. Dengan kata lain, kisah asal-muasal Joker nanti akan bersifat orisinil. Sementara itu, belum diketahui pasti apakah film ini dibuat stand alone atau terhubung dengan DC Extended Universe. ■UP
Warner Bros. sedang mengembangkan film tentang asal-muasal musuh ikonik Batman, dan memboyong Martin Scorsese – salah satu sineas terbaik di Hollywood – sebagai produser.
Sebuah kabar tak terduga datang dari Deadline. Pasca Joker tampil mengecewakan di Suicide Squad tahun lalu, Warner Bros. tampaknya tak patah arang dengan karakter tersebut karena kini studio justru sedang mengembangkan film tentang asal-muasal musuh ikonik Batman. Bagian menariknya yang sulit dipercaya, Martin Scorsese – salah satu sineas terbaik di Hollywood – diboyong untuk menjadi produser. Tak berhenti sampai disitu, Todd Phillips – pembesut trilogiThe Hangover – terpilih sebagai sutradara merangkap penulis naskah. Nantinya, Phillips akan menulis skrip bersama ScottSilver (8 Mile).
Informasi lebih lanjut menyebutkan, film Joker ini akan digodok di rumah produksi baru milik WB. Rumah produksi yang belum punya nama ini khusus didirikan untuk mengekspansi “canon” dari properti DC dan menciptakan storyline film yang unik serta melibatkan aktor yang berbeda-beda dalam memerankan karakter ikonik. Maka tak heran jika pemeran Joker di Suicide Squad, Jared Leto, tak dilibatkan di film ini. Sebaliknya, studio kini mencari aktor baru yang lebih muda sebagai pemeran Joker. Namun Leto sendiri kabarnya masih dijadwalkan kembali membintangi SuicideSquad 2 dan Gotham City Sirens.
Lebih dari itu, film asal-usul Joker dikatakan akan bersetting tahun 80-an di Gotham City. Atmosfer film ini pun akan dibuat serupa dengan tiga film top karya Scorsese di era tersebut, yakniTaxi Driver, Raging Bulldan The King of Comedy.
FYI, Joker sendiri sebenarnya tak punya kisah asal-usul yang pasti, mengingat setiap muncul di komik atau film, ia memiliki latar belakang yang berbeda. Hal inilah yang membuat kisah asal-muasal Joker di film mendatang takkan jadi bagian dari iterasi manapun. Dengan kata lain, kisah asal-muasal Joker nanti akan bersifat orisinil. Sementara itu, belum diketahui pasti apakah film ini dibuat stand alone atau terhubung dengan DC Extended Universe. ■UP
Jika pondasi menaranya saja tidak kuat, bagaimana bangunan franchise-nya bisa kokoh?
“I kill with my heart.” — Roland Deschain
Rating UP: “Aku tidak menembak dengan tanganku. Aku menembak dengan pikiranku. Aku tidak membunuh dengan pistolku. Aku membunuh dengan hatiku.”
Minta waktu sebentar. Saya harus memastikan kalau ini memang bukan kalimat jagoan paling garing yang pernah anda tonton sepanjang 2017. Benar kan? Kalimat ini berasal dari mulut Roland Deschain sang Gunslinger, jagoan dari The Dark Tower yang begitu mahir menembak, ia sampai bisa menembak dengan akurat peluru yang memantul menggunakan pantulan peluru pula. Saat Idris Elba menyampaikan kalimat tadi dengan ekspresi serius, kegaringannya berkurang dan jadinya terdengar sedikit lebih elegan. Dengan jubah gelap dilengkapi dengan ikat pinggang penuh amunisi, Elba punya karisma yang membuatnya tampak tangguh dan keren, meski harus melontarkan beberapa kalimat yang tak jelas dan terkadang konyol.
Menjadi lawannya, ada Matthew McConaughey sebagai Walter Padick alias Man in Black. Jubahnya jauh lebih mewah daripada Roland. Rambutnya spiky gaul berkilau, dan McConaughey memerankannya dengan gaya flamboyan McConaughey biasanya; cowok keren yang siap merayu dan melelehkan hati gebetan kita. Namun ia adalah manusia keji dengan kemampuan super. Walter bisa menangkap peluru dengan tangan kosong, mengeluarkan api dari tangan, atau mengendalikan orang untuk bunuh diri hanya dengan perintah “berhenti bernapas!”. Ia merupakan karakter horor yang murni jahatnya. Saat ia muncul, kita seharusnya takut, tapi McConaughey lebih sering terlihat konyol.
Kedua karakter tersebut adalah figur kunci dalam serial novel The Dark Tower karya penulis tenar Amerika, Stephen King. Pertarungan mereka pasti sensasional. Jadi sedikit mengherankan saat keduanya relatif mundur ke latar belakang sebagai karakter pendukung, dimana karakter utamanya diambil alih oleh remaja biasa bernama Jake Chambers (Tom Taylor). Ia tak begitu biasa sih karena punya semacam kemampuan spesial, tapi nyaris tak ada yang menarik dengan Jake, baik dari penampilan atau kepribadian. Ia hanyalah avatar untuk membimbing kita mulai masuk ke dalam semesta filmnya, yang sayangnya juga sangat generik dan dangkal.
Maaf, saya terlalu buru-buru. Saya melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh film The Dark Tower: langsung masuk tanpa memberi penjelasan, lalu ingin cepat-cepat selesai. Baiklah. Novel The Dark Tower merupakan novel yang diakui oleh Stephen King sendiri sebagai karya pamungkasnya. Terdiri dari 8 seri yang dibuat dalam rentang waktu lebih dari 3 dekade, film tentang pertarungan epik yang menyangkut takdir semesta ini punya mitologi yang katanya sekompleks The Lord of the Rings-nya J.R.R. Tolkien.
Bagaimana merangkum materi sebanyak itu dalam satu film? Apalagi dengan durasi yang hanya satu setengah jam? Yah, mereka tak melakukannya. Film ini adalah adaptasi yang tak mengambil langsung poin plot melainkan hanya elemen khas dari novelnya. Semacam sekuel katanya. Dan ini menghasilkan sebuah film yang tak buruk, tapi menjemukan, tak imajinatif, dan tak berkesan. Anda merasa pernah melihat film seperti ini di tempat lain sebelumnya. Tak ada hal yang mengejutkan lagi; ceritanya seperti berjalan dalam mode autopilot.
Film dibuka dengan teks yang bilang bahwa ada sebuah menara yang menjadi pusat alam semesta, yang katanya melindungi kita dari kegelapan. Hanya pikiran anak-anak yang bisa meruntuhkannya. Jake bermimpi melihat Man in Black yang berhasil melakukan hal tersebut. Ia juga melihat sekilas seorang pria keren dengan pistol serta monster yang bisa memakai wajah manusia. Penerawangan Jake ini asli, karena di film fantasi seperti tak ada protagonis yang delusional. Karena tak punya tempat curhat, ia menumpahkannya ke media gambar. Ibunya yang khawatir jangan-jangan Jake stres akibat berpulangnya sang ayah, meminta bantuan psikolog. Namun, karena curiga bahwa yang menjemputnya adalah monster berkulit manusia, Jake melarikan diri. Anda tahu, manusia biasa tak bisa melihat monster ini, karena Jake yang punya kemampuan khusus bernama “shine”. Penggemar karya Stephen King pasti tahu ini adalah referensi kepada The Shining.
Di sebuah rumah bobrok, Jake menemukan gerbang menuju dunia paralel yang disebut Mid-World. Kok bisa? Berkat “shine” dong. Mid-World merupakan semacam semesta fantasi yang didominasi gurun ala film-film koboi, dimana Jake kemudian berjumpa dengan Roland (Elba). Roland adalah keturunan terakhir dari pejuang berjuluk Gunslinger yang bertugas menjaga kedamaian semesta. Ia secara misterius punya kemampuan untuk menangkal sihir dari Man in Black (McConaughey).
Man in Black sendiri sedang berusaha keras untuk merubuhkan menara. Ia menculik anak-anak, mengikat mereka di kursi baja, dan mengekstrak energi mereka menjadi laser raksasa yang diarahkan ke menara. Kenapa Man in Black berbuat begitu? Saya juga tak tahu pasti, mungkin karena ia jahat. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah energi dari Jake yang bisa menciptakan laser mahadahsyat yang akan memporak-porandakan semesta.
Itu baru premisnya. Saya tak perlu banyak menjelaskan plotnya, karena anda bisa menebak sendiri ke arah mana cerita bergerak. Mereka menjadi yang mengejar dan dikejar, tak peduli pihak yang manapun, yang kemudian berujung pada konfrontasi final di klimaks. Yang akan saya beritahu adalah betapa petualangan mereka nyaris nihil energi dan imajinasi. Kita tak merasakan betapa luasnya semesta atau mitologi dari dunianya. Anda bisa menukar Mid-World dengan dunia fantasi manapun, dan perubahan ini takkan signifikan bagi filmnya.
Film ini diberitakan sudah dikembangkan sejak lama, dengan sineas yang berganti-ganti pula, mulai dari J.J. Abrams sampai Ron Howard. Yang berhasil membawakannya kepada kita sekarang adalah Nikolaj Arcel (A Royal Affair) yang tampaknya tak begitu terampil menangani skala naratifnya. Set pieces dan efek spesialnya, uhm, tak spesial. Ruang lingkup ceritanya terasa sempit dan nyaris tak punya stake. Apa benar semesta dalam bahaya? Kok tidak ada ketegangan dan urgensi yang terasa? Saya belum membaca novelnya, tapi saya bisa menebak dari betapa generiknya plot, ada begitu banyak hal-hal yang sudah dilewatkan atau ditampilkan terlalu cepat oleh film dari materi sumbernya.
Kita bisa bilang bahwa The Dark Tower bermain terlalu aman, mungkin tak peduli walau hasilnya selevel dengan film-film fantasi kelas B yang populer di era 90-an. Ada usaha untuk memasukkan trivia dari karya King sebelumnya, mulai dari It, The Shawshank Redemption hingga 1408, namun ini dan filmnya secara keseluruhan adalah usaha yang sia-sia. Sony berencana membangun semesta sinematis dari film ini yang kabarnya akan terdiri dari sekuel dan beberapa serial televisi. Saya jadi ingat nasihat seorang teman. Membangun film itu sama seperti membangun rumah; jika pondasinya saja tak kuat, bagaimana bangunannya bisa kokoh? Tunggu. Rasanya ini analogi untuk rumah tangga. Yah, tetap bisa diterapkan untuk film sih. ■UP
Akiva Goldsman, Jeff Pinkner, Anders Thomas Jensen, Nikolaj Arcel (screenplay), Stephen King (novel)
Akiva Goldsman, Ron Howard, Erica Huggins
Rasmus Videbæk
Tom Holkenborg
Jika pondasi menaranya saja tidak kuat, bagaimana bangunan franchise-nya bisa kokoh?
“I kill with my heart.” — Roland Deschain
Rating UP: “Aku tidak menembak dengan tanganku. Aku menembak dengan pikiranku. Aku tidak membunuh dengan pistolku. Aku membunuh dengan hatiku.”
Minta waktu sebentar. Saya harus memastikan kalau ini memang bukan kalimat jagoan paling garing yang pernah anda tonton sepanjang 2017. Benar kan? Kalimat ini berasal dari mulut Roland Deschain sang Gunslinger, jagoan dari The Dark Tower yang begitu mahir menembak, ia sampai bisa menembak dengan akurat peluru yang memantul menggunakan pantulan peluru pula. Saat Idris Elba menyampaikan kalimat tadi dengan ekspresi serius, kegaringannya berkurang dan jadinya terdengar sedikit lebih elegan. Dengan jubah gelap dilengkapi dengan ikat pinggang penuh amunisi, Elba punya karisma yang membuatnya tampak tangguh dan keren, meski harus melontarkan beberapa kalimat yang tak jelas dan terkadang konyol.
Menjadi lawannya, ada Matthew McConaughey sebagai Walter Padick alias Man in Black. Jubahnya jauh lebih mewah daripada Roland. Rambutnya spiky gaul berkilau, dan McConaughey memerankannya dengan gaya flamboyan McConaughey biasanya; cowok keren yang siap merayu dan melelehkan hati gebetan kita. Namun ia adalah manusia keji dengan kemampuan super. Walter bisa menangkap peluru dengan tangan kosong, mengeluarkan api dari tangan, atau mengendalikan orang untuk bunuh diri hanya dengan perintah “berhenti bernapas!”. Ia merupakan karakter horor yang murni jahatnya. Saat ia muncul, kita seharusnya takut, tapi McConaughey lebih sering terlihat konyol.
Kedua karakter tersebut adalah figur kunci dalam serial novel The Dark Tower karya penulis tenar Amerika, Stephen King. Pertarungan mereka pasti sensasional. Jadi sedikit mengherankan saat keduanya relatif mundur ke latar belakang sebagai karakter pendukung, dimana karakter utamanya diambil alih oleh remaja biasa bernama Jake Chambers (Tom Taylor). Ia tak begitu biasa sih karena punya semacam kemampuan spesial, tapi nyaris tak ada yang menarik dengan Jake, baik dari penampilan atau kepribadian. Ia hanyalah avatar untuk membimbing kita mulai masuk ke dalam semesta filmnya, yang sayangnya juga sangat generik dan dangkal.
Maaf, saya terlalu buru-buru. Saya melakukan sesuatu yang juga dilakukan oleh film The Dark Tower: langsung masuk tanpa memberi penjelasan, lalu ingin cepat-cepat selesai. Baiklah. Novel The Dark Tower merupakan novel yang diakui oleh Stephen King sendiri sebagai karya pamungkasnya. Terdiri dari 8 seri yang dibuat dalam rentang waktu lebih dari 3 dekade, film tentang pertarungan epik yang menyangkut takdir semesta ini punya mitologi yang katanya sekompleks The Lord of the Rings-nya J.R.R. Tolkien.
Bagaimana merangkum materi sebanyak itu dalam satu film? Apalagi dengan durasi yang hanya satu setengah jam? Yah, mereka tak melakukannya. Film ini adalah adaptasi yang tak mengambil langsung poin plot melainkan hanya elemen khas dari novelnya. Semacam sekuel katanya. Dan ini menghasilkan sebuah film yang tak buruk, tapi menjemukan, tak imajinatif, dan tak berkesan. Anda merasa pernah melihat film seperti ini di tempat lain sebelumnya. Tak ada hal yang mengejutkan lagi; ceritanya seperti berjalan dalam mode autopilot.
Film dibuka dengan teks yang bilang bahwa ada sebuah menara yang menjadi pusat alam semesta, yang katanya melindungi kita dari kegelapan. Hanya pikiran anak-anak yang bisa meruntuhkannya. Jake bermimpi melihat Man in Black yang berhasil melakukan hal tersebut. Ia juga melihat sekilas seorang pria keren dengan pistol serta monster yang bisa memakai wajah manusia. Penerawangan Jake ini asli, karena di film fantasi seperti tak ada protagonis yang delusional. Karena tak punya tempat curhat, ia menumpahkannya ke media gambar. Ibunya yang khawatir jangan-jangan Jake stres akibat berpulangnya sang ayah, meminta bantuan psikolog. Namun, karena curiga bahwa yang menjemputnya adalah monster berkulit manusia, Jake melarikan diri. Anda tahu, manusia biasa tak bisa melihat monster ini, karena Jake yang punya kemampuan khusus bernama “shine”. Penggemar karya Stephen King pasti tahu ini adalah referensi kepada The Shining.
Di sebuah rumah bobrok, Jake menemukan gerbang menuju dunia paralel yang disebut Mid-World. Kok bisa? Berkat “shine” dong. Mid-World merupakan semacam semesta fantasi yang didominasi gurun ala film-film koboi, dimana Jake kemudian berjumpa dengan Roland (Elba). Roland adalah keturunan terakhir dari pejuang berjuluk Gunslinger yang bertugas menjaga kedamaian semesta. Ia secara misterius punya kemampuan untuk menangkal sihir dari Man in Black (McConaughey).
Man in Black sendiri sedang berusaha keras untuk merubuhkan menara. Ia menculik anak-anak, mengikat mereka di kursi baja, dan mengekstrak energi mereka menjadi laser raksasa yang diarahkan ke menara. Kenapa Man in Black berbuat begitu? Saya juga tak tahu pasti, mungkin karena ia jahat. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah energi dari Jake yang bisa menciptakan laser mahadahsyat yang akan memporak-porandakan semesta.
Itu baru premisnya. Saya tak perlu banyak menjelaskan plotnya, karena anda bisa menebak sendiri ke arah mana cerita bergerak. Mereka menjadi yang mengejar dan dikejar, tak peduli pihak yang manapun, yang kemudian berujung pada konfrontasi final di klimaks. Yang akan saya beritahu adalah betapa petualangan mereka nyaris nihil energi dan imajinasi. Kita tak merasakan betapa luasnya semesta atau mitologi dari dunianya. Anda bisa menukar Mid-World dengan dunia fantasi manapun, dan perubahan ini takkan signifikan bagi filmnya.
Film ini diberitakan sudah dikembangkan sejak lama, dengan sineas yang berganti-ganti pula, mulai dari J.J. Abrams sampai Ron Howard. Yang berhasil membawakannya kepada kita sekarang adalah Nikolaj Arcel (A Royal Affair) yang tampaknya tak begitu terampil menangani skala naratifnya. Set pieces dan efek spesialnya, uhm, tak spesial. Ruang lingkup ceritanya terasa sempit dan nyaris tak punya stake. Apa benar semesta dalam bahaya? Kok tidak ada ketegangan dan urgensi yang terasa? Saya belum membaca novelnya, tapi saya bisa menebak dari betapa generiknya plot, ada begitu banyak hal-hal yang sudah dilewatkan atau ditampilkan terlalu cepat oleh film dari materi sumbernya.
Kita bisa bilang bahwa The Dark Tower bermain terlalu aman, mungkin tak peduli walau hasilnya selevel dengan film-film fantasi kelas B yang populer di era 90-an. Ada usaha untuk memasukkan trivia dari karya King sebelumnya, mulai dari It, The Shawshank Redemption hingga 1408, namun ini dan filmnya secara keseluruhan adalah usaha yang sia-sia. Sony berencana membangun semesta sinematis dari film ini yang kabarnya akan terdiri dari sekuel dan beberapa serial televisi. Saya jadi ingat nasihat seorang teman. Membangun film itu sama seperti membangun rumah; jika pondasinya saja tak kuat, bagaimana bangunannya bisa kokoh? Tunggu. Rasanya ini analogi untuk rumah tangga. Yah, tetap bisa diterapkan untuk film sih. ■UP