Tuesday, August 29, 2017

Review Film: 'Baby Driver' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Musikal, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Baby Driver' (2017)
link : Review Film: 'Baby Driver' (2017)

Baca juga


Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.

“You and I are a team.”
— Baby
Rating UP:
Memang tertunda 2 bulan dari Amerika, namun akhirnya kita mendapatkan film paling asyik dan paling enerjik tahun ini di layar lebar. Kita ke bioskop seringkali karena hanya ingin dibuat tertawa, bersorak-sorai, berdebar-debar, atau seru-seruan bareng. Baby Driver adalah film seperti itu. Filmnya penuh energi dan gaya. Menonton film ini seperti mendengar lagu rock favorit bersama kerumunan yang satu selera. Atau lagu pop, elektro, dangdut, atau lagu apapun. Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.


Saya kira analogi saya tak begitu keliru. Penulis/sutradara Edgar Wright menggabungkan film aksi kejar-kejaran mobil yang menegangkan dengan album kompilasi lagu yang diseleksi dengan telaten. Namun Baby Driver bukan sekadar film aksi dengan trek lagu keren, alih-alih kebalikannya. Biasanya, sutradara memilih trek lagu berdasarkan adegan, namun saya yakin Wright merancang adegannya setelah mendengar lagu terlebih dahulu. Lagu lah yang membangun film. Setiap sekuensnya dieksekusi dengan timing yang presisi, sinkron antara pergerakan di layar dengan ritme lagu. Filmnya melesat hebat dengan panduan dari tembang-tembang pilihan, yang juga menegaskan momen dari setiap adegan.

Tokoh utama kita adalah Baby (Ansel Elgort) yang harus selalu memakai earphone karena punya gangguan pendengaran. Well, sebenarnya ini alasan saja bagi Wright untuk menyelipkan puluhan lagu ke dalam filmnya secara natural. Gara-gara kecelakaan semasa kecil, Baby menderita tinnitus. Berkat musik, suara dengingan di telinganya berkurang, dan untuk itu, Baby punya banyak iPod sesuai dengan mood-nya. Ia pendiam, namun saat berada di belakang setir, Baby sekelas dengan Ryan Gosling dalam Drive. Ia memacu mobil dengan cantik, lolos dari kejaran polisi, atau menghindari blokade paku dengan manuver mulus yang tak perlu sampai meledakkan separuh populasi jalan raya.

Sekuens pertama semacam versi extended dari video klip “Blue Song”-nya Mint Royale yang disutradarai oleh Wright sendiri pada tahun 2003. Baby sedang menunggu sembari mendengar “Bellbottoms”-nya Jon Spencer Blues Explosion. Tiga perampok bank lalu masuk ke dalam mobilnya, dan tepat saat interlude lagu, Baby membesarkan volume, menginjak pedal gas, dan mempersembahkan kejar-kejaran mobil yang stylish, penuh adrenalin dan mungkin salah satu yang terbaik yang pernah saya tonton.

Mereka bagi-bagi hasil rampokan di sebuah gudang. Ada Griff (Jon Bernthal), Buddy (Jon Hamm), dan pacar Buddy, Darling (Eiza Gonzalez). Yang mengatur semuanya adalah seorang bos kriminal berjuluk Doc (Kevin Spacey). Baby sebenarnya tak seperti orang-orang ini, namun ia berhutang banyak pada Doc, dan ini adalah satu-satunya cara untuk melunasi. Doc selalu merekrut orang yang berbeda untuk setiap perampokannya, namun Baby menjadi kru reguler karena sedemikian mahir menyetir. Oh, dan Baby adalah jimat keberuntungan bagi Doc.

Tinggal satu misi lagi dan hutang Baby lunas, kata Doc. Namun tak ada yang namanya one last job dalam semesta film kriminal. Bahkan pekerjaan kali ini bakal lebih berat gara-gara kru baru yang sinting, Bats (Jamie Foxx). Alasan Baby untuk keluar dari dunia kriminal semakin kuat saat ia berjumpa dengan pramusaji cantik bernama Deborah (Lily James) yang juga punya selera musik yang bagus.

Bagian selanjutnya berisi dengan tembak-tembakan, kejar-kejaran mobil, sampai kejar-kejaran dengan kaki yang diiringi dengan lagu “Harlem Shuffle”-nya Bob & Earl, “Let’s Go Away for a While”-nya The Beach Boys, “Debra”-nya Beck, “Easy”-nya The Commodores, “Nowhere to Run”-nya Martha Reeves a& the Vandellas, “Hocus Pocus”-nya Focus, “Brighton Rock”-nya Queen, dan tentu saja “Baby Driver” milik Simon & Garfunkel. Tak semuanya saya tahu dan sebagian besar infonya saya dapatkan dari IMDb, namun percayalah, semuanya keren dan sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi di layar. Di satu adegan tembak-tembakan, suara letupan pistol seirama dengan suara drum solo dari “Tequilla”-nya Button Down Brass. Konyol tapi keren.

Wright adalah sutradara yang brilian dan Baby Driver adalah satu lagi parade keterampilannya dalam pop nerd filmmaking. Dalam Scott Pilgrim vs. The World, ia membuat inovasi visual yang mendefinisikan hibrid antara video game dengan sinema. Hot Fuzz yang merupakan film Wright favorit saya (maafkan saya), adalah plesetan buddy cop dengan komedi menyengat tapi tetap punya aura misteri yang mencekat sepanjang film. Untuk Baby Driver, Wright menciptakan film aksi-musikal yang menyentuh tiga elemen yang kita cari dalam sebuah film —romansa, komedi, thriller— dan ketiganya sukses sampai di tujuan dengan mulus dan penuh gaya. Wright bilang bahwa pengadegannya sebagian besar dilakukan di depan kamera, tanpa CGI, demi memberikan kejar-kejaran mobil yang sudah lama tak kita lihat dalam film aksi kekinian. Bagian klimaks yang melibatkan banyak tabrakan mobil menyajikan ketegangan maksimal dengan stake yang riil. Ancaman yang dirasakan Baby tak main-main.

Intensitas ini juga berhasil dibangun oleh Wright berkat karakterisasi yang simpel tapi sangat efektif. Semua karakter pendukung bisa dibilang misterius sehingga menyuguhkan sesuatu yang tak kita duga. Ada ketidakpastian karena sedikit percikan saja bisa menimbulkan kekacauan bagi semua. Foxx tampil luar biasa sebagai maniak sinis yang tampaknya suka membuat masalah dengan siapapun. Doc ternyata bukan sekadar bos berdarah dingin seperti yang kita lihat di awal. Sementara Hamm berjalan dari latar belakang dengan elegan tapi menyimpan sesuatu yang membuat bergidik. Di satu bagian, kita penasaran bagaimana gaya berpacaran sehari-hari antara Buddy dan Darling.

Tak ada momen yang begitu berbobot, tapi Baby Driver sangat asyik sekali sebagai hiburan ringan. Di linimasa Twitter, saya sempat melihat komentar salah satu kritikus internasional yang bilang bahwa Baby-nya Elgort adalah karakter yang tumpul. Namun saya yakin anda takkan kepikiran hal itu saat menonton, setelah menonton bahkan. Saya misalnya, hanya ingin segera pulang, menghantam pedal gas, dan kebut-kebutan di jalan raya diiringi lagu rock favorit yang menggelegar.

Setelah dipikir-pikir, mungkin tidak jadi. Saya belum punya SIM A. Mobil juga belum punya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Baby Driver

113 menit
Remaja - BO
Edgar Wright
Edgar Wright
Nira Park, Tim Bevan, Eric Fellner
Bill Pope
Steven Price

Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.

“You and I are a team.”
— Baby
Rating UP:
Memang tertunda 2 bulan dari Amerika, namun akhirnya kita mendapatkan film paling asyik dan paling enerjik tahun ini di layar lebar. Kita ke bioskop seringkali karena hanya ingin dibuat tertawa, bersorak-sorai, berdebar-debar, atau seru-seruan bareng. Baby Driver adalah film seperti itu. Filmnya penuh energi dan gaya. Menonton film ini seperti mendengar lagu rock favorit bersama kerumunan yang satu selera. Atau lagu pop, elektro, dangdut, atau lagu apapun. Anda tak bisa menahan hasrat untuk mengangguk-anggukkan kepala atau menghentak-hentakan kaki mengikuti ketukan lagu.


Saya kira analogi saya tak begitu keliru. Penulis/sutradara Edgar Wright menggabungkan film aksi kejar-kejaran mobil yang menegangkan dengan album kompilasi lagu yang diseleksi dengan telaten. Namun Baby Driver bukan sekadar film aksi dengan trek lagu keren, alih-alih kebalikannya. Biasanya, sutradara memilih trek lagu berdasarkan adegan, namun saya yakin Wright merancang adegannya setelah mendengar lagu terlebih dahulu. Lagu lah yang membangun film. Setiap sekuensnya dieksekusi dengan timing yang presisi, sinkron antara pergerakan di layar dengan ritme lagu. Filmnya melesat hebat dengan panduan dari tembang-tembang pilihan, yang juga menegaskan momen dari setiap adegan.

Tokoh utama kita adalah Baby (Ansel Elgort) yang harus selalu memakai earphone karena punya gangguan pendengaran. Well, sebenarnya ini alasan saja bagi Wright untuk menyelipkan puluhan lagu ke dalam filmnya secara natural. Gara-gara kecelakaan semasa kecil, Baby menderita tinnitus. Berkat musik, suara dengingan di telinganya berkurang, dan untuk itu, Baby punya banyak iPod sesuai dengan mood-nya. Ia pendiam, namun saat berada di belakang setir, Baby sekelas dengan Ryan Gosling dalam Drive. Ia memacu mobil dengan cantik, lolos dari kejaran polisi, atau menghindari blokade paku dengan manuver mulus yang tak perlu sampai meledakkan separuh populasi jalan raya.

Sekuens pertama semacam versi extended dari video klip “Blue Song”-nya Mint Royale yang disutradarai oleh Wright sendiri pada tahun 2003. Baby sedang menunggu sembari mendengar “Bellbottoms”-nya Jon Spencer Blues Explosion. Tiga perampok bank lalu masuk ke dalam mobilnya, dan tepat saat interlude lagu, Baby membesarkan volume, menginjak pedal gas, dan mempersembahkan kejar-kejaran mobil yang stylish, penuh adrenalin dan mungkin salah satu yang terbaik yang pernah saya tonton.

Mereka bagi-bagi hasil rampokan di sebuah gudang. Ada Griff (Jon Bernthal), Buddy (Jon Hamm), dan pacar Buddy, Darling (Eiza Gonzalez). Yang mengatur semuanya adalah seorang bos kriminal berjuluk Doc (Kevin Spacey). Baby sebenarnya tak seperti orang-orang ini, namun ia berhutang banyak pada Doc, dan ini adalah satu-satunya cara untuk melunasi. Doc selalu merekrut orang yang berbeda untuk setiap perampokannya, namun Baby menjadi kru reguler karena sedemikian mahir menyetir. Oh, dan Baby adalah jimat keberuntungan bagi Doc.

Tinggal satu misi lagi dan hutang Baby lunas, kata Doc. Namun tak ada yang namanya one last job dalam semesta film kriminal. Bahkan pekerjaan kali ini bakal lebih berat gara-gara kru baru yang sinting, Bats (Jamie Foxx). Alasan Baby untuk keluar dari dunia kriminal semakin kuat saat ia berjumpa dengan pramusaji cantik bernama Deborah (Lily James) yang juga punya selera musik yang bagus.

Bagian selanjutnya berisi dengan tembak-tembakan, kejar-kejaran mobil, sampai kejar-kejaran dengan kaki yang diiringi dengan lagu “Harlem Shuffle”-nya Bob & Earl, “Let’s Go Away for a While”-nya The Beach Boys, “Debra”-nya Beck, “Easy”-nya The Commodores, “Nowhere to Run”-nya Martha Reeves a& the Vandellas, “Hocus Pocus”-nya Focus, “Brighton Rock”-nya Queen, dan tentu saja “Baby Driver” milik Simon & Garfunkel. Tak semuanya saya tahu dan sebagian besar infonya saya dapatkan dari IMDb, namun percayalah, semuanya keren dan sangat cocok sekali dengan apa yang terjadi di layar. Di satu adegan tembak-tembakan, suara letupan pistol seirama dengan suara drum solo dari “Tequilla”-nya Button Down Brass. Konyol tapi keren.

Wright adalah sutradara yang brilian dan Baby Driver adalah satu lagi parade keterampilannya dalam pop nerd filmmaking. Dalam Scott Pilgrim vs. The World, ia membuat inovasi visual yang mendefinisikan hibrid antara video game dengan sinema. Hot Fuzz yang merupakan film Wright favorit saya (maafkan saya), adalah plesetan buddy cop dengan komedi menyengat tapi tetap punya aura misteri yang mencekat sepanjang film. Untuk Baby Driver, Wright menciptakan film aksi-musikal yang menyentuh tiga elemen yang kita cari dalam sebuah film —romansa, komedi, thriller— dan ketiganya sukses sampai di tujuan dengan mulus dan penuh gaya. Wright bilang bahwa pengadegannya sebagian besar dilakukan di depan kamera, tanpa CGI, demi memberikan kejar-kejaran mobil yang sudah lama tak kita lihat dalam film aksi kekinian. Bagian klimaks yang melibatkan banyak tabrakan mobil menyajikan ketegangan maksimal dengan stake yang riil. Ancaman yang dirasakan Baby tak main-main.

Intensitas ini juga berhasil dibangun oleh Wright berkat karakterisasi yang simpel tapi sangat efektif. Semua karakter pendukung bisa dibilang misterius sehingga menyuguhkan sesuatu yang tak kita duga. Ada ketidakpastian karena sedikit percikan saja bisa menimbulkan kekacauan bagi semua. Foxx tampil luar biasa sebagai maniak sinis yang tampaknya suka membuat masalah dengan siapapun. Doc ternyata bukan sekadar bos berdarah dingin seperti yang kita lihat di awal. Sementara Hamm berjalan dari latar belakang dengan elegan tapi menyimpan sesuatu yang membuat bergidik. Di satu bagian, kita penasaran bagaimana gaya berpacaran sehari-hari antara Buddy dan Darling.

Tak ada momen yang begitu berbobot, tapi Baby Driver sangat asyik sekali sebagai hiburan ringan. Di linimasa Twitter, saya sempat melihat komentar salah satu kritikus internasional yang bilang bahwa Baby-nya Elgort adalah karakter yang tumpul. Namun saya yakin anda takkan kepikiran hal itu saat menonton, setelah menonton bahkan. Saya misalnya, hanya ingin segera pulang, menghantam pedal gas, dan kebut-kebutan di jalan raya diiringi lagu rock favorit yang menggelegar.

Setelah dipikir-pikir, mungkin tidak jadi. Saya belum punya SIM A. Mobil juga belum punya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Baby Driver

113 menit
Remaja - BO
Edgar Wright
Edgar Wright
Nira Park, Tim Bevan, Eric Fellner
Bill Pope
Steven Price

Proses Pra-Produksi ‘Shazam’ Resmi Dimulai

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Proses Pra-Produksi ‘Shazam’ Resmi Dimulai
link : Proses Pra-Produksi ‘Shazam’ Resmi Dimulai

Baca juga


Usai sukses membesut 'Annabelle: Creation', David F.Sanberg kini siap terjun ke dalam semesta superhero DC Extended Universe dengan membidani film 'Shazam'.

Usai sukses membesut Annabelle: Creation, sutradara David F. Sanberg kini siap terjun ke dalam semesta superhero DC Extended Universe dengan membidani film Shazam. Pertama diumumkan pada 2014, proyek Shazam akhirnya mengalami kemajuan signifikan, seiring Sanberg merilis foto yang menandai dimulainya proses pra-produksi film arahannya. Foto dengan caption “Day 1” yang diposting di Instagram ini sebenarnya tak begitu istimewa karena hanya memperlihatkan sekaleng Coca-Cola. Bagaimanapun, foto ini dinilai sebagai titik cerah bagi mereka yang mengantisipasi debut Shazam di layar lebar.

Dengan berjalannya proses pra-produksi Shazam, maka Sanberg dan kru sudah mulai meracik skrip ataupun cerita, hingga mencari pemain. Sebelumnya, Sanberg memastikan akan menggaet dua aktor untuk bermain sebagai karakter titular, dimana yang satu (aktor muda) berperan sebagai bocah bernama Billy Batson, dan yang satunya lagi (aktor dewasa) berperan sebagai Shazam. Sang sutradara juga menjanjikan, Shazam akan jadi film paling ringan di DCEU. Dengan kata lain, filmnya akan sarat dengan nuansa fun dan jauh dari kesan kelam.

Shazam sendiri merupakan superhero dengan kekuatan yang mewakili dewa-dewa besar dalam mitologi Yunani seperti Solomon, Hercules, Atlas, Zeus, Achilles dan Mercury. Disamping itu, Shazam sebenarnya berwujud asli anak remaja bernama Billy Batson, yang ketika mengucapkan kata ajaib “SHAZAM”, seketika bertranformasi menjadi sang superhero. Dengan latar belakang Shazam tersebut, tak heran jika karakter ini dibawakan dua aktor. Cukup disayangkan Dwayne Johnson – pemeran musuh besar Shazam, Black Adam – batal tampil di Shazam setelah karakternya dicoret dari skrip. Sebagai kompensasinya, Warner Bros. memberikan film solo khusus untuk Black Adam yang kini sedang dikembangkan.

Shazam akan mulai syuting pada 2018 dengan jadwal rilis yang belum ditentukan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Usai sukses membesut 'Annabelle: Creation', David F.Sanberg kini siap terjun ke dalam semesta superhero DC Extended Universe dengan membidani film 'Shazam'.

Usai sukses membesut Annabelle: Creation, sutradara David F. Sanberg kini siap terjun ke dalam semesta superhero DC Extended Universe dengan membidani film Shazam. Pertama diumumkan pada 2014, proyek Shazam akhirnya mengalami kemajuan signifikan, seiring Sanberg merilis foto yang menandai dimulainya proses pra-produksi film arahannya. Foto dengan caption “Day 1” yang diposting di Instagram ini sebenarnya tak begitu istimewa karena hanya memperlihatkan sekaleng Coca-Cola. Bagaimanapun, foto ini dinilai sebagai titik cerah bagi mereka yang mengantisipasi debut Shazam di layar lebar.

Dengan berjalannya proses pra-produksi Shazam, maka Sanberg dan kru sudah mulai meracik skrip ataupun cerita, hingga mencari pemain. Sebelumnya, Sanberg memastikan akan menggaet dua aktor untuk bermain sebagai karakter titular, dimana yang satu (aktor muda) berperan sebagai bocah bernama Billy Batson, dan yang satunya lagi (aktor dewasa) berperan sebagai Shazam. Sang sutradara juga menjanjikan, Shazam akan jadi film paling ringan di DCEU. Dengan kata lain, filmnya akan sarat dengan nuansa fun dan jauh dari kesan kelam.

Shazam sendiri merupakan superhero dengan kekuatan yang mewakili dewa-dewa besar dalam mitologi Yunani seperti Solomon, Hercules, Atlas, Zeus, Achilles dan Mercury. Disamping itu, Shazam sebenarnya berwujud asli anak remaja bernama Billy Batson, yang ketika mengucapkan kata ajaib “SHAZAM”, seketika bertranformasi menjadi sang superhero. Dengan latar belakang Shazam tersebut, tak heran jika karakter ini dibawakan dua aktor. Cukup disayangkan Dwayne Johnson – pemeran musuh besar Shazam, Black Adam – batal tampil di Shazam setelah karakternya dicoret dari skrip. Sebagai kompensasinya, Warner Bros. memberikan film solo khusus untuk Black Adam yang kini sedang dikembangkan.

Shazam akan mulai syuting pada 2018 dengan jadwal rilis yang belum ditentukan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Monday, August 28, 2017

Diterpa Isu Whitewashing, Ed Skrein Mundur dari 'Hellboy'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Diterpa Isu Whitewashing, Ed Skrein Mundur dari 'Hellboy'
link : Diterpa Isu Whitewashing, Ed Skrein Mundur dari 'Hellboy'

Baca juga


Tak ingin kontroversi terus bergulir, Ed Skrein mengambil keputusan berani dengan mengundurkan diri dari 'Hellboy'.

Minggu lalu Ed Skrein diketahui bergabung dalam film reboot Hellboy sebagai Major Ben Daimio. Alih-alih disambut positif, keterlibatan aktor Inggris justru menyulut isu whitewashing lantaran ia memerankan karakter keturunan Jepang-Amerika. Tak ingin kontroversi ini terus bergulir, jebolan Game of Thrones ini pun mengambil keputusan berani dengan mengundurkan diri, agar Ben Daimio nantinya bisa diperankan aktor yang tepat.

Pengunduran diri Ed sendiri diumumkan langsung oleh sang aktor melalui Twitter. Selain menyatakan dirinya urung membintangi Hellboy, Ed juga memberikan klarifikasi terkait keterlibatannya yang berujung isu whitewashing. Ia mengaku, saat menerima peran, ia belum tahu bahwa Ben Daimio di komiknya ternyata memiliki darah Asia. Usai bergabung, Ed pun menyadari adanya kritikan mengalir deras yang menyasar dirinya.

Mengetahui hal itu, Ed akhirnya tergerak melakukan hal yang ia rasa benar. Ia memahami, merepresentasikan karakter secara akurat dari sisi budaya itu penting bagi banyak orang, dan jika kewajiban itu diabaikan, maka Ed menilai hal itu akan cenderung merugikan etnis minoritas di dunia seni. Ed pun menyatakan sangat menghormati kewajiban ini. Atas dasar itu, Ed memutuskan mundur agar karakternya bisa diperankan aktor yang tepat. Ia berharap keputusannya bisa mendorong industri Hollywood untuk lebih terbuka pada aktor/aktris dari berbagai etnis. Kendati merasa sedih harus proyek calon franchise seperti Hellboy, namun jika kelak keputusannya bisa membawa perubahan dan membuat etnis di Hollywood lebih beragam, Ed merasa keputusannya layak untuk diambil dan tak perlu disesali.

Dalam komiknya, Ben Daimio sendiri memiliki nenek yang dulunya menjadi prajurit kekaisaran Jepang pada era Perang Dunia II. Reboot ini menandai debut Daimio di layar lebar, mengingat ia belum sempat unjuk gigi di dua film Hellboy besutan Guillermo Del Toro. Kini Lionsgate tampaknya harus bergerak cepat mencari pengganti Ed jika tak ingin proses syuting Hellboy pada September 2017 tertunda. Menarik untuk melihat apakah peran Ben Daimio akan dipercayakan pada aktor berdarah Asia sesuai harapan Ed, atau justru studio masih bersikap bandel dengan mengulangi kesalahannya.

Isu whitewashing sendiri telah menjadi persoalan klasik di Hollywood, dan biasanya kerap terjadi dalam film adaptasi. Sebut saja Doctor Strange yang mendapuk Tilda Swinton sebagai Ancient One, Ghost in the Shell yang menunjuk Scarlett Johansson sebagai Motoko Kusanagi, hingga Death Note yang memilih Nat Wolff sebagai Yagami Light. Layaknya Ed, ketiga aktor/aktris Barat harus menghadapi kontroversi whitewashing lantaran memerankan karakter berlatar belakang Asia.

Disutradarai Neil Marshall, reboot bertajuk Hellboy: Rise of the Blood Queen ini dibintangi David Harbour (Hellboy), Ian McShane (Professor Broom, ayah adopsi Hellboy), Milla Jovovich (villain The Blood Queen) dan Sasha Lane (Alice Monaghan). Berbekal rating R, reboot ini dijanjikan akan lebih sadis dan kelam dengan cerita yang lebih dewasa.

Kendati Lionsgate belum menetapkan tanggal rilis, rencananya Hellboy: Rise of the Blood Queen ditargetkan meluncur 2018. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Tak ingin kontroversi terus bergulir, Ed Skrein mengambil keputusan berani dengan mengundurkan diri dari 'Hellboy'.

Minggu lalu Ed Skrein diketahui bergabung dalam film reboot Hellboy sebagai Major Ben Daimio. Alih-alih disambut positif, keterlibatan aktor Inggris justru menyulut isu whitewashing lantaran ia memerankan karakter keturunan Jepang-Amerika. Tak ingin kontroversi ini terus bergulir, jebolan Game of Thrones ini pun mengambil keputusan berani dengan mengundurkan diri, agar Ben Daimio nantinya bisa diperankan aktor yang tepat.

Pengunduran diri Ed sendiri diumumkan langsung oleh sang aktor melalui Twitter. Selain menyatakan dirinya urung membintangi Hellboy, Ed juga memberikan klarifikasi terkait keterlibatannya yang berujung isu whitewashing. Ia mengaku, saat menerima peran, ia belum tahu bahwa Ben Daimio di komiknya ternyata memiliki darah Asia. Usai bergabung, Ed pun menyadari adanya kritikan mengalir deras yang menyasar dirinya.

Mengetahui hal itu, Ed akhirnya tergerak melakukan hal yang ia rasa benar. Ia memahami, merepresentasikan karakter secara akurat dari sisi budaya itu penting bagi banyak orang, dan jika kewajiban itu diabaikan, maka Ed menilai hal itu akan cenderung merugikan etnis minoritas di dunia seni. Ed pun menyatakan sangat menghormati kewajiban ini. Atas dasar itu, Ed memutuskan mundur agar karakternya bisa diperankan aktor yang tepat. Ia berharap keputusannya bisa mendorong industri Hollywood untuk lebih terbuka pada aktor/aktris dari berbagai etnis. Kendati merasa sedih harus proyek calon franchise seperti Hellboy, namun jika kelak keputusannya bisa membawa perubahan dan membuat etnis di Hollywood lebih beragam, Ed merasa keputusannya layak untuk diambil dan tak perlu disesali.

Dalam komiknya, Ben Daimio sendiri memiliki nenek yang dulunya menjadi prajurit kekaisaran Jepang pada era Perang Dunia II. Reboot ini menandai debut Daimio di layar lebar, mengingat ia belum sempat unjuk gigi di dua film Hellboy besutan Guillermo Del Toro. Kini Lionsgate tampaknya harus bergerak cepat mencari pengganti Ed jika tak ingin proses syuting Hellboy pada September 2017 tertunda. Menarik untuk melihat apakah peran Ben Daimio akan dipercayakan pada aktor berdarah Asia sesuai harapan Ed, atau justru studio masih bersikap bandel dengan mengulangi kesalahannya.

Isu whitewashing sendiri telah menjadi persoalan klasik di Hollywood, dan biasanya kerap terjadi dalam film adaptasi. Sebut saja Doctor Strange yang mendapuk Tilda Swinton sebagai Ancient One, Ghost in the Shell yang menunjuk Scarlett Johansson sebagai Motoko Kusanagi, hingga Death Note yang memilih Nat Wolff sebagai Yagami Light. Layaknya Ed, ketiga aktor/aktris Barat harus menghadapi kontroversi whitewashing lantaran memerankan karakter berlatar belakang Asia.

Disutradarai Neil Marshall, reboot bertajuk Hellboy: Rise of the Blood Queen ini dibintangi David Harbour (Hellboy), Ian McShane (Professor Broom, ayah adopsi Hellboy), Milla Jovovich (villain The Blood Queen) dan Sasha Lane (Alice Monaghan). Berbekal rating R, reboot ini dijanjikan akan lebih sadis dan kelam dengan cerita yang lebih dewasa.

Kendati Lionsgate belum menetapkan tanggal rilis, rencananya Hellboy: Rise of the Blood Queen ditargetkan meluncur 2018. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Buletin LSF: 'Warkop DKI Reborn 2', 'Midnight Runners', 'Cage Dive', dll

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Buletin, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Buletin LSF: 'Warkop DKI Reborn 2', 'Midnight Runners', 'Cage Dive', dll
link : Buletin LSF: 'Warkop DKI Reborn 2', 'Midnight Runners', 'Cage Dive', dll

Baca juga


Film lulus sensor minggu ini antara lain: 'Renegades', 'Midnight Runners', 'Tommi n Jerri', 'Suami untuk Mak', 'The Evil Within', 'Cage Dive', 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2', 'Bareilly ki Barfi', dan 'Molulo'.

Di antara 9 film yang lulus sensor minggu ini, rilisan terbesar adalah Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Sama seperti film pertamanya, sekuel ini juga diberi rating "13+". Mudah-mudahan rating kali ini lebih pas, berbeda dari Jangkrik Boss Part 1 yang leluconnya tak begitu ramah bagi siswa kelas VII.

Rano Karno dan Lydia Kandou akan reuni kembali dalam film Suami untuk Mak garapan Monti Tiwa. Ceritanya tentang Lydia yang ingin dicarikan suami baru oleh kelima anaknya yang berbeda etnis. Anda tak salah baca. Di film ini Lydia sudah punya suami 5 kali. Film ini diberi rating "13+".

Ada dua lagi film lokal yang juga lulus sensor. Yang pertama adalah Tommi n Jerri, komedi yang dibintangi Aurelie Moeremans dan Mongol Stress, yang mendapat rating "+13". Terakhir, film lokal dari Sulawesi Tenggara berjudul Molulo, yang sebenarnya tak lokal-lokal amat karena disutradarai oleh komika nasional, Acho. Ratingnya juga "13+".

Awalnya direncanakan tayang pada 23 Agustus, saya heran kenapa Midnight Runners belum juga lulus sensor minggu lalu. Namun ternyata perilisannya ditunda selama seminggu, dan sekarang ia sudah lulus sensor dengan rating "17+". Ceritanya tentang mahasiswa Universitas Polisi Korea yang melakukan investigasi sendiri terhadap sebuah kasus penculikan yang katanya berakhir konyol.

Saya tak tahu mana yang duluan, tapi premis Cage Dive terdengar sangat mirip sekali dengan 47 Meters Down. Film ini aslinya merupakan film ketiga dari Open Water. Di Amerika sendiri, filmnya sudah tayang secara on demand. Saya cuma bilang.

Berikut daftar lengkap buletin LSF minggu ini.

RENEGADES
783/DCP/EA/17/01.2025/2017
DRAMA ACTION
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. Prima Cinema Multimedia
Tanggal 22 Agustus 2017
Durasi 2879 Meter / 105 Menit
MIDNIGHT RUNNERS
787/DCP/EA/17/02.2018/2017
DRAMA / ACTION / KOMEDI
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. Athali Sukses Makmur
Tanggal 22 Agustus 2017
Durasi 2989 Meter / 109 Menit
TOMMI n JERRI
786/DCP/NAS/13/08.2022/2017
KOMEDI
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. KINOKO HALLOGEMA KREASINDO
Tanggal 22 Agustus 2017
Durasi 2358 Meter / 86 Menit
SUAMI UNTUK MAK
796/DCP/NAS/13/08.2022/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. CAHAYA MEGA INDONESIA
Tanggal 23 Agustus 2017
Durasi 2687 Meter / 98 Menit
THE EVIL WITHIN
785/DCP/EA/REV/17/07.2024/2017
HOROR
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. RAPI FILMS
Tanggal 24 Agustus 2017
Durasi 2661 Meter / 97 Menit
CAGE DIVE
813/DCP/ANM/17/08.2018/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT . MITRA MEDIA LAYAR LEBAR
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 2166 Meter / 79 Menit
WARKOP DKI REBORN : JANGKRIK BOSS PART 2
809/DCP/NAS/13/08.2022/2017
DRAMA / KOMEDI
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. FALCON
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 2660 Meter / 97 Menit
BAREILLY KI BARFI
808/DCP/ANM/17/08.2018/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. Parkit Films
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 3181 Meter / 116 Menit
MOLULO
807/DCP/NAS/13/08.2022/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. DUTA CAHAYA UTAMA
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 3153 Meter / 115 Menit

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem ■UP

[Sumber Data : Lembaga Sensor Film]

Film lulus sensor minggu ini antara lain: 'Renegades', 'Midnight Runners', 'Tommi n Jerri', 'Suami untuk Mak', 'The Evil Within', 'Cage Dive', 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2', 'Bareilly ki Barfi', dan 'Molulo'.

Di antara 9 film yang lulus sensor minggu ini, rilisan terbesar adalah Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss Part 2. Sama seperti film pertamanya, sekuel ini juga diberi rating "13+". Mudah-mudahan rating kali ini lebih pas, berbeda dari Jangkrik Boss Part 1 yang leluconnya tak begitu ramah bagi siswa kelas VII.

Rano Karno dan Lydia Kandou akan reuni kembali dalam film Suami untuk Mak garapan Monti Tiwa. Ceritanya tentang Lydia yang ingin dicarikan suami baru oleh kelima anaknya yang berbeda etnis. Anda tak salah baca. Di film ini Lydia sudah punya suami 5 kali. Film ini diberi rating "13+".

Ada dua lagi film lokal yang juga lulus sensor. Yang pertama adalah Tommi n Jerri, komedi yang dibintangi Aurelie Moeremans dan Mongol Stress, yang mendapat rating "+13". Terakhir, film lokal dari Sulawesi Tenggara berjudul Molulo, yang sebenarnya tak lokal-lokal amat karena disutradarai oleh komika nasional, Acho. Ratingnya juga "13+".

Awalnya direncanakan tayang pada 23 Agustus, saya heran kenapa Midnight Runners belum juga lulus sensor minggu lalu. Namun ternyata perilisannya ditunda selama seminggu, dan sekarang ia sudah lulus sensor dengan rating "17+". Ceritanya tentang mahasiswa Universitas Polisi Korea yang melakukan investigasi sendiri terhadap sebuah kasus penculikan yang katanya berakhir konyol.

Saya tak tahu mana yang duluan, tapi premis Cage Dive terdengar sangat mirip sekali dengan 47 Meters Down. Film ini aslinya merupakan film ketiga dari Open Water. Di Amerika sendiri, filmnya sudah tayang secara on demand. Saya cuma bilang.

Berikut daftar lengkap buletin LSF minggu ini.

RENEGADES
783/DCP/EA/17/01.2025/2017
DRAMA ACTION
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. Prima Cinema Multimedia
Tanggal 22 Agustus 2017
Durasi 2879 Meter / 105 Menit
MIDNIGHT RUNNERS
787/DCP/EA/17/02.2018/2017
DRAMA / ACTION / KOMEDI
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. Athali Sukses Makmur
Tanggal 22 Agustus 2017
Durasi 2989 Meter / 109 Menit
TOMMI n JERRI
786/DCP/NAS/13/08.2022/2017
KOMEDI
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. KINOKO HALLOGEMA KREASINDO
Tanggal 22 Agustus 2017
Durasi 2358 Meter / 86 Menit
SUAMI UNTUK MAK
796/DCP/NAS/13/08.2022/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. CAHAYA MEGA INDONESIA
Tanggal 23 Agustus 2017
Durasi 2687 Meter / 98 Menit
THE EVIL WITHIN
785/DCP/EA/REV/17/07.2024/2017
HOROR
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. RAPI FILMS
Tanggal 24 Agustus 2017
Durasi 2661 Meter / 97 Menit
CAGE DIVE
813/DCP/ANM/17/08.2018/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT . MITRA MEDIA LAYAR LEBAR
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 2166 Meter / 79 Menit
WARKOP DKI REBORN : JANGKRIK BOSS PART 2
809/DCP/NAS/13/08.2022/2017
DRAMA / KOMEDI
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. FALCON
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 2660 Meter / 97 Menit
BAREILLY KI BARFI
808/DCP/ANM/17/08.2018/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 17+
Pemilik PT. Parkit Films
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 3181 Meter / 116 Menit
MOLULO
807/DCP/NAS/13/08.2022/2017
DRAMA
Klasifikasi Usia 13+
Pemilik PT. DUTA CAHAYA UTAMA
Tanggal 25 Agustus 2017
Durasi 3153 Meter / 115 Menit

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem ■UP

[Sumber Data : Lembaga Sensor Film]

Saturday, August 26, 2017

Review Film: 'Death Note' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Fantasi, Artikel Horor, Artikel Misteri, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Death Note' (2017)
link : Review Film: 'Death Note' (2017)

Baca juga


Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya.

“It's like you said, sometimes you gotta choose the lesser of the two evils.”
— Light Turner
Rating UP:
Film Death Note apa ini? Semacam parodi? Kalau iya, dimana saya seharusnya tertawa? Death Note versi Netflix adalah lelucon yang tak lucu. Mungkin inilah yang akan terjadi jika Shinigami Ryuk menjatuhkan buku kematiannya di Amerika dan kepada remaja yang lebih dungu daripada remaja dalam film horor Friday the 13th. Ketika pertama kali melihat Dewa Kematian, tokoh utama kita berteriak sekencang-kencangnya dengan ekspresi yang sedemikian menggelikan, saya curiga jangan-jangan Nat Wolff sedang casting untuk film Scary Movie berikutnya. Apakah film ini main-main? Tidak juga, karena para karakter kita membicarakan perkara serius seperti tindakan meniru Tuhan serta masa depan umat manusia.


Saya sangat menggemari manga Death Note karya Takeshi Obata dan Tsugumi Ohba yang sangat cerdas dan atmosferik. Mungkin semangat fanboy saya akan membuat review ini sedikit bias. Meski demikian, saya juga tak sebegitu fanatik sampai merasa perlu bahwa adaptasi Hollywood-nya harus setia dengan materi asli. Ini adalah adaptasi dan pembuat filmnya bisa melakukan apa saja asalkan filmnya bagus. Namun, Death Note versi ini memang kacau dalam segala aspek. Tone-nya berantakan, motif karakternya tak jelas, plotnya amburadul, dan yang lebih keji lagi, perubahan yang dilakukan oleh pembuat film terhadap materi aslinya sama sekali tak memberikan signifikansi apapun.

Awalnya, film ini bermain kurang lebih seperti manga-nya. Seorang remaja bernama Light Turner (Wolff) menemukan sebuah buku hitam yang berbalut kaver kulit dengan judul "DEATH NOTE" di depannya. Sebenarnya buku ini adalah buku kematian yang dijatuhkan oleh Shinigami alias Dewa Kematian bernama Ryuk (diperankan oleh Willem Dafoe). Buku ini berisi banyak nama orang, tapi yang lebih penting, di dalamnya tercantum peraturan. Peraturannya ada banyak, namun yang paling mendasar dari semuanya adalah: tulis nama seseorang sambil membayangkan wajahnya, maka orang tersebut akan mati.

Sutradara Adam Wingard mengklaim bahwa setting Death Note asli terlalu ke-Jepang-an dan tak mungkin diadopsi mentah-mentah untuk film Hollywood. Jadi bersama penulis skrip Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater, ia melakukan penyesuaian agar lebih relevan dengan situasi sosiopolitis Amerika. Diamerikanisasi, katanya, untuk memberikan perspektif baru. Oke, baiklah. Ini dia perspektif baru yang saya dapat dari Death Note versi baru yang saya bandingkan dengan versi manga. Peringatan: saya tak bermaksud menggeneralisasi Amerika, ini hanyalah poin yang saya simpulkan dari filmnya.

  • Bullying. Menjadi anak SMA di Amerika tak ada artinya kalau anda bukan preman sekolah. Jika di manga, kepintaran Light membuatnya dengan gampang melewati masa sekolah dan menjadi idola di kelas, maka di film, hal ini menjadi bahan bully-an. Ini Amerika, Light! Harusnya ototmu yang dilatih.

  • Broken home. Tak lengkap seorang remaja Amerika jika keluarganya tak mengalami masalah. Ibu Light diceritakan meninggal karena dibunuh preman, sehingga membuat hubungan Light dengan ayahnya yang seorang kepala polisi (Shea Whigham) menjadi sangat buruk. “Ayah sama sekali tak peduli!”.

  • Pacar. Bro, SMA itu waktunya mencari pacar. Pacar adalah pencapaian tertinggi di sekolah. Jadi setelah menemukan "Death Note", Light segera membeberkan semua, termasuk keberadaan Ryuk, kepada salah satu cewek paling hot di sekolah, Mia (Margaret Qualley). Alasannya: Light naksir Mia dan, saya yakin, Light merasa inilah satu-satunya cara mendekatinya. Sabar Light, tahan nafsumu! Awalnya saya pikir Mia adalah pengganti karakter Misa Amane dari manga, namun kepribadian dan fungsinya bagi cerita sama sekali berbeda. Mia tidak gampang dimanfaatkan seperti Misa, karena ia lebih psikopat daripada Light. Dan Light sendiri tampak menyedihkan karena boleh dibilang tak bisa berbuat apa-apa di samping Mia.

  • Brutalisme. Melihat Light yang seperti ini, wajar saja jika yang ia bunuh pertama kali adalah preman sekolah yang kerap mem-bully-nya. Kalau anda merasa moralitas Light versi manga menyimpang karena membunuh banyak kriminal dan terkadang menggunakan kematian mereka demi kelancaran misinya menjadi Dewa, tunggu sampai anda melihat cara Light versi film membunuh. Salah satu kelebihan "Death Note" adalah bisa mengatur kondisi seseorang terbunuh, dan Light memanfaatkannya untuk menciptakan sekuens kematian sesadis mungkin, yang tampaknya terinspirasi karena terlalu banyak menonton Final Destination. Preman sekolah, misalnya, mati dengan kepala terpotong tangga portable. Apakah penonton Amerika memang secandu itu dengan darah dan potongan tubuh?
Pasangan psikopat ini memastikan agar tindakan mereka dilihat dan dipuja masyarakat dengan menciptakan figur Tuhan berjuluk “Kira”. Namun di lain pihak, ini juga memancing perhatian polisi serta detektif terhebat di dunia yang eksentrik, L (Keith Stanfield). L cukup cerdas untuk menyembunyikan wajah nama dan aslinya. Penyelidikan segera mengarah kepada Light. Kok bisa secepat itu? Entahlah. Jika di manga, skala ceritanya yang global mengerucut dengan logis ke Jepang, namun film langsung menyempitkannya dengan mendadak sampai anda bisa menyelipkan meme “Boy, that escalated quickly”.

Wingard dan penulis skripnya sepertinya sama sekali tak tahu apa yang mereka sasar. Karakter yang mereka buat relatif sama dengan versi manga-nya, namun mereka ogah untuk merengkuh esensi dari materi aslinya. Manga Death Note memang punya elemen supranatural, namun ini hanyalah gimmick karena yang membuat kita tercekat dengan cerita adalah adu kecerdasan dan ambiguitas moral antara Light/Kira dengan L. Permainan kucing-kucingan ini merupakan bagian terbaik dari manga, namun disini dikesampingkan karena cerita lebih berfokus pada masalah cewek yang dialami Light. Kenapa melakukan ini? Filmnya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Perubahan poin plot ini terasa serampangan, tanpa tujuan. Kenapa tak sekalian mengganti mereka dengan karakter yang sama sekali baru?

Meski banyak yang tak setuju dengan pergantian latar belakang ras L, saya kira tak ada yang akan protes dengan pemilihan Dafoe sebagai Ryuk. Ini adalah casting yang luar biasa cocok. Suara asli Dafoe sudah mengumbar aura sadis yang sesuai sekali dengan gaya Ryuk yang suka bercelutuk dan terkekeh keji. Namun filmnya tak tahu dimana harus menempatkan karakter ikonik ini. Kita tak pernah benar-benar tahu alasan kenapa Ryuk menjatuhkan bukunya atau kenapa ia tertarik dengan Light, karena seperti yang saya bilang tadi, Light dan Mia adalah karakter yang membosankan. Secara umum, film mengabaikan Ryuk di banyak kesempatan hingga ia bisa dihilangkan sama sekali dari plot dan kita takkan begitu merasakan perbedaannya.

Saya suka dengan karya Wingard sebelumnya. You’re Next dan The Guest adalah produk yang setingkat lebih tinggi dibanding film-film di genrenya. Ia punya gaya visual menarik, yang sebenarnya tak pula ketinggalan dalam Death Note ini. Coba lihat pergerakan kameranya yang unik, penggunaan warna neonnya yang mencolok, serta pemilihan lagu jadul semacam "Power of Love"-nya Air Supply untuk menegaskan ironi di adegan brutal. Namun ia mengabaikan semua hal selain itu. Film bergerak sekenanya dengan menyelipkan mitologi Death Note disana-sini tanpa fungsi yang jelas. Saya rasa Wingard dkk membuat film ini tanpa mempelajari materi orisinalnya, hanya membaca premisnya dari Wikipedia. Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Death Note

100 menit
Remaja - BO
Adam Wingard
Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, Jeremy Slater (screenplay), Tsugumi Ohba, Takeshi Obata (manga)
Masi Oka, Roy Lee, Dan Lin, Jason Hoffs
David Tattersall
Atticus Ross, Leopold Ross

Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya.

“It's like you said, sometimes you gotta choose the lesser of the two evils.”
— Light Turner
Rating UP:
Film Death Note apa ini? Semacam parodi? Kalau iya, dimana saya seharusnya tertawa? Death Note versi Netflix adalah lelucon yang tak lucu. Mungkin inilah yang akan terjadi jika Shinigami Ryuk menjatuhkan buku kematiannya di Amerika dan kepada remaja yang lebih dungu daripada remaja dalam film horor Friday the 13th. Ketika pertama kali melihat Dewa Kematian, tokoh utama kita berteriak sekencang-kencangnya dengan ekspresi yang sedemikian menggelikan, saya curiga jangan-jangan Nat Wolff sedang casting untuk film Scary Movie berikutnya. Apakah film ini main-main? Tidak juga, karena para karakter kita membicarakan perkara serius seperti tindakan meniru Tuhan serta masa depan umat manusia.


Saya sangat menggemari manga Death Note karya Takeshi Obata dan Tsugumi Ohba yang sangat cerdas dan atmosferik. Mungkin semangat fanboy saya akan membuat review ini sedikit bias. Meski demikian, saya juga tak sebegitu fanatik sampai merasa perlu bahwa adaptasi Hollywood-nya harus setia dengan materi asli. Ini adalah adaptasi dan pembuat filmnya bisa melakukan apa saja asalkan filmnya bagus. Namun, Death Note versi ini memang kacau dalam segala aspek. Tone-nya berantakan, motif karakternya tak jelas, plotnya amburadul, dan yang lebih keji lagi, perubahan yang dilakukan oleh pembuat film terhadap materi aslinya sama sekali tak memberikan signifikansi apapun.

Awalnya, film ini bermain kurang lebih seperti manga-nya. Seorang remaja bernama Light Turner (Wolff) menemukan sebuah buku hitam yang berbalut kaver kulit dengan judul "DEATH NOTE" di depannya. Sebenarnya buku ini adalah buku kematian yang dijatuhkan oleh Shinigami alias Dewa Kematian bernama Ryuk (diperankan oleh Willem Dafoe). Buku ini berisi banyak nama orang, tapi yang lebih penting, di dalamnya tercantum peraturan. Peraturannya ada banyak, namun yang paling mendasar dari semuanya adalah: tulis nama seseorang sambil membayangkan wajahnya, maka orang tersebut akan mati.

Sutradara Adam Wingard mengklaim bahwa setting Death Note asli terlalu ke-Jepang-an dan tak mungkin diadopsi mentah-mentah untuk film Hollywood. Jadi bersama penulis skrip Charley Parlapanides, Vlas Parlapanides, dan Jeremy Slater, ia melakukan penyesuaian agar lebih relevan dengan situasi sosiopolitis Amerika. Diamerikanisasi, katanya, untuk memberikan perspektif baru. Oke, baiklah. Ini dia perspektif baru yang saya dapat dari Death Note versi baru yang saya bandingkan dengan versi manga. Peringatan: saya tak bermaksud menggeneralisasi Amerika, ini hanyalah poin yang saya simpulkan dari filmnya.

  • Bullying. Menjadi anak SMA di Amerika tak ada artinya kalau anda bukan preman sekolah. Jika di manga, kepintaran Light membuatnya dengan gampang melewati masa sekolah dan menjadi idola di kelas, maka di film, hal ini menjadi bahan bully-an. Ini Amerika, Light! Harusnya ototmu yang dilatih.

  • Broken home. Tak lengkap seorang remaja Amerika jika keluarganya tak mengalami masalah. Ibu Light diceritakan meninggal karena dibunuh preman, sehingga membuat hubungan Light dengan ayahnya yang seorang kepala polisi (Shea Whigham) menjadi sangat buruk. “Ayah sama sekali tak peduli!”.

  • Pacar. Bro, SMA itu waktunya mencari pacar. Pacar adalah pencapaian tertinggi di sekolah. Jadi setelah menemukan "Death Note", Light segera membeberkan semua, termasuk keberadaan Ryuk, kepada salah satu cewek paling hot di sekolah, Mia (Margaret Qualley). Alasannya: Light naksir Mia dan, saya yakin, Light merasa inilah satu-satunya cara mendekatinya. Sabar Light, tahan nafsumu! Awalnya saya pikir Mia adalah pengganti karakter Misa Amane dari manga, namun kepribadian dan fungsinya bagi cerita sama sekali berbeda. Mia tidak gampang dimanfaatkan seperti Misa, karena ia lebih psikopat daripada Light. Dan Light sendiri tampak menyedihkan karena boleh dibilang tak bisa berbuat apa-apa di samping Mia.

  • Brutalisme. Melihat Light yang seperti ini, wajar saja jika yang ia bunuh pertama kali adalah preman sekolah yang kerap mem-bully-nya. Kalau anda merasa moralitas Light versi manga menyimpang karena membunuh banyak kriminal dan terkadang menggunakan kematian mereka demi kelancaran misinya menjadi Dewa, tunggu sampai anda melihat cara Light versi film membunuh. Salah satu kelebihan "Death Note" adalah bisa mengatur kondisi seseorang terbunuh, dan Light memanfaatkannya untuk menciptakan sekuens kematian sesadis mungkin, yang tampaknya terinspirasi karena terlalu banyak menonton Final Destination. Preman sekolah, misalnya, mati dengan kepala terpotong tangga portable. Apakah penonton Amerika memang secandu itu dengan darah dan potongan tubuh?
Pasangan psikopat ini memastikan agar tindakan mereka dilihat dan dipuja masyarakat dengan menciptakan figur Tuhan berjuluk “Kira”. Namun di lain pihak, ini juga memancing perhatian polisi serta detektif terhebat di dunia yang eksentrik, L (Keith Stanfield). L cukup cerdas untuk menyembunyikan wajah nama dan aslinya. Penyelidikan segera mengarah kepada Light. Kok bisa secepat itu? Entahlah. Jika di manga, skala ceritanya yang global mengerucut dengan logis ke Jepang, namun film langsung menyempitkannya dengan mendadak sampai anda bisa menyelipkan meme “Boy, that escalated quickly”.

Wingard dan penulis skripnya sepertinya sama sekali tak tahu apa yang mereka sasar. Karakter yang mereka buat relatif sama dengan versi manga-nya, namun mereka ogah untuk merengkuh esensi dari materi aslinya. Manga Death Note memang punya elemen supranatural, namun ini hanyalah gimmick karena yang membuat kita tercekat dengan cerita adalah adu kecerdasan dan ambiguitas moral antara Light/Kira dengan L. Permainan kucing-kucingan ini merupakan bagian terbaik dari manga, namun disini dikesampingkan karena cerita lebih berfokus pada masalah cewek yang dialami Light. Kenapa melakukan ini? Filmnya tak memberikan jawaban yang memuaskan. Perubahan poin plot ini terasa serampangan, tanpa tujuan. Kenapa tak sekalian mengganti mereka dengan karakter yang sama sekali baru?

Meski banyak yang tak setuju dengan pergantian latar belakang ras L, saya kira tak ada yang akan protes dengan pemilihan Dafoe sebagai Ryuk. Ini adalah casting yang luar biasa cocok. Suara asli Dafoe sudah mengumbar aura sadis yang sesuai sekali dengan gaya Ryuk yang suka bercelutuk dan terkekeh keji. Namun filmnya tak tahu dimana harus menempatkan karakter ikonik ini. Kita tak pernah benar-benar tahu alasan kenapa Ryuk menjatuhkan bukunya atau kenapa ia tertarik dengan Light, karena seperti yang saya bilang tadi, Light dan Mia adalah karakter yang membosankan. Secara umum, film mengabaikan Ryuk di banyak kesempatan hingga ia bisa dihilangkan sama sekali dari plot dan kita takkan begitu merasakan perbedaannya.

Saya suka dengan karya Wingard sebelumnya. You’re Next dan The Guest adalah produk yang setingkat lebih tinggi dibanding film-film di genrenya. Ia punya gaya visual menarik, yang sebenarnya tak pula ketinggalan dalam Death Note ini. Coba lihat pergerakan kameranya yang unik, penggunaan warna neonnya yang mencolok, serta pemilihan lagu jadul semacam "Power of Love"-nya Air Supply untuk menegaskan ironi di adegan brutal. Namun ia mengabaikan semua hal selain itu. Film bergerak sekenanya dengan menyelipkan mitologi Death Note disana-sini tanpa fungsi yang jelas. Saya rasa Wingard dkk membuat film ini tanpa mempelajari materi orisinalnya, hanya membaca premisnya dari Wikipedia. Jika saya mendapat "Death Note", nama pertama yang saya tulis adalah judul film ini, agar tak ada lagi orang yang akan menontonnya. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

Death Note

100 menit
Remaja - BO
Adam Wingard
Charles Parlapanides, Vlas Parlapanides, Jeremy Slater (screenplay), Tsugumi Ohba, Takeshi Obata (manga)
Masi Oka, Roy Lee, Dan Lin, Jason Hoffs
David Tattersall
Atticus Ross, Leopold Ross

Friday, August 25, 2017

Review Film: 'American Made' (2017)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Biografi, Artikel Komedi, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'American Made' (2017)
link : Review Film: 'American Made' (2017)

Baca juga


Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.

“My name is Barry Seal. Some of this s**t really happened. It really did.”
— Barry Seal
Rating UP:
Judulnya tak bisa lebih tepat lagi selain American Made. Yang membuat Barry Seal menjadi "Barry Seal" yang itu adalah Amerika. Barry Seal, mantan pilot komersil yang beralih menjadi pilot bagi CIA sekaligus kartel narkoba Kolombia, adalah produk dari iklim politik Amerika yang kerap berubah gara-gara tendensi mereka mencampuri urusan negara lain. Yah, anda mungkin sudah tahu kalau Amerika memang suka begitu. Anda mungkin juga sudah tahu bagaimana filmnya akan berjalan, karena telah banyak menyaksikan film kriminal slenge'an "based on true story" seperti ini. Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.


Barry diperankan oleh Tom Cruise. Iya, bintang film kecintaan semua orang yang identik dengan citra jagoan dan auranya yang agak bandel, kali ini harus bermain sedikit lebih nakal lagi sebagai kriminal penyelundup narkoba dan senjata dari Amerika ke Amerika Latin. Kisah nyatanya sendiri sangat absurd, dan pasti menyadari hal ini, sutradara Doug Liman membawakan filmnya dengan dengan ringan dan cenderung komedik. Cruise, seperti biasa, menampilkan karisma dan seringai songongnya yang menjadi driving force kuat bagi film ini, hingga di satu titik saya sampai berpikir jangan-jangan saya peduli pada karakternya gara-gara diperankan Cruise.

Di tahun 70-an, Seal adalah pilot bagi maskapai penumpang Trans World Airlines (TWA) yang sebegitu bosan dengan pekerjaannya, ia sampai iseng sengaja membuat turbulensi palsu dengan membelokkan pesawat ke bawah secara mendadak. Barry dan copilot-nya cengar-cengir, tapi untunglah tak ada penumpang pesawat yang jantungan. Dalam perjalanan pulang, Barry juga sekalian menyelundupkan cerutu Kuba ke Amerika. Operasi kecil-kecilannya menjadi perhatian bagi CIA, namun alih-alih menangkap Barry, mereka malah merekrutnya untuk misi mata-mata. Wakil CIA, Schafer (Domhnall Gleeson) menyuruh Barry terbang seperti biasa ke Amerika Latin, tapi kali ini ia harus mengambil laporan spionase dari rekanan CIA atau memotret aktivitas militer yang dilakukan disana.

Operasi yang ini juga ketahuan, tapi oleh trio kartel Medellin, yang diantaranya beranggotakan raja narkoba, Pablo Escobar. Mereka tahu bahwa Barry bekerja pada CIA, namun mereka ingin memanfaatkan situasi. Barry diharuskan menyelundupkan ratusan kilo kokain ke Amerika. Sebagai imbalan, ia akan dibayar $2 ribu perkilo. Nikmatnya menjadi Barry adalah: (1) selalu ketahuan, tapi (2) selalu bisa lolos, dan (3) bernasib lebih baik daripada sebelumnya. Kali ini ia digerebek polisi Kolombia, tapi dibebaskan kembali oleh Schafer. Untuk menyembunyikan identitas, Barry harus memindahkan keluarganya ke kota kecil Mena, dimana ia diberi rumah dan satu bandara pribadi yang khusus untuk menerbangkan senjata, karena kini Presiden merasa perlu mempersenjatai militan Contras di Nikaragua. Sementara itu, bisnis kurir narkoba semakin besar hingga Barry merekrut beberapa pilot sebagai anak buahnya.

Kesalahan Barry adalah saat punya terlalu banyak uang, ia sampai tak tahu lagi bagaimana cara menyimpannya. Kota kecil Mena sudah seperti kota pribadi Barry karena ia membuat beberapa bisnis dan bank fiktif untuk mencuci uang. Uang tunai berceceran sampai ke kandang kuda karena sudah tak muat lagi di dalam koper-koper. Kedatangan adik iparnya (Caleb Landry Jones) yang seorang preman kacangan, membuat situasi menjadi lebih kacau. Di titik ini, anda penasaran bagaimana Barry masih bisa lolos. Pemerintah bukannya tidak tahu, alih-alih lepas tangan, sebab mereka merasa bahwa ada urusan yang lebih penting, which is, menangani urusan negara orang, tentu saja. Barry hanyalah seorang oportunis yang berada di waktu dan tempat yang tepat, memerah duit dari berbagai pihak yang juga memerahnya.

Film dibuka dengan Barry yang sedang merekam video dokumenter menggunakan VHS, menjelaskan tentang pekerjaannya. "This s**t really happened," kata Barry. American Made menggunakan video ini didukung dengan narasi langsung dari Cruise sebagai framing device untuk memandu kita melewati timeline yang meloncat-loncat sejak 70-an sampai akhir 80-an. Sinematografer yang digandeng Liman adalah Cesar Charlone. Seperti yang diterapkannya pada City of God (2002), Charlone suka dengan gambar nyaris close-up dengan warna calak. Gerakan kameranya hiperaktif dengan filter gambar yang kerap berganti, memberikan urgensi tersendiri di setiap adegan. Gaya filmnya pas sekali dengan karakterisasi serampangan dari Cruise. Untuk menjelaskan geografi naratifnya, Liman menggunakan peta yang dicoret dengan spidol, sembari menyentil keapatisan kebanyakan orang Amerika terhadap geografi negara orang, mengingatkan saya pada rubrik "Other Countries' Presidents" dari talkshow Last Week Tonight with John Oliver.

Film ini adalah satire, dan Liman bijak sekali tak terjun terlalu dalam terhadap latar belakang politiknya. Ini hanyalah cerita tentang Barry Seal, yang kebetulan dilatari dengan figur publik tenar semacam Escobar, Kolonel Noriega, dan Presiden Reagan. Konspirasi yang aslinya bernama skandal Iran-Contra ini seperti terpisah dari kehidupan Barry, namun kita masih bisa mengintip sekilas apa yang yang sebenarnya terjadi. Jika tidak, ini akan menjadi film yang sama sekali berbeda, yang kemungkinan besar akan menimbulkan ketimpangan tone.

Di lain sisi, hal ini juga membuat karakter lain tertutupi oleh Barry-nya Cruise. Pasangan sherif Mena, Jesse Plemons dan Lola Kirke terutama, yang tampaknya seperti punya peran cukup krusial di awal, namun ternyata tak begitu memberi dampak dalam kisah Barry. Sarah Wright Olsen sebagai istri Barry, Lucy baru mendapat porsi yang cukup mencolok menjelang film berakhir. Komitmen Liman agar filmnya selalu santai, menjadikan petualangan Barry dalam film ini tak seliar dan setajam kisah nyatanya. Saya pikir Liman menargetkan tohokan emosional untuk adegan penutup yang tragis. Ini tidak tercapai karena American Made tak mengajak kita menyelami lika-liku perjalanan moral dari Barry. Petualangan Barry terlalu fun. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

American Made

109 menit
Dewasa
Doug Liman
Gary Spinelli
Doug Davison, Brian Grazer, Ron Howard, Brian Oliver, Kim Roth, Tyler Thompson
César Charlone
Christophe Beck

Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.

“My name is Barry Seal. Some of this s**t really happened. It really did.”
— Barry Seal
Rating UP:
Judulnya tak bisa lebih tepat lagi selain American Made. Yang membuat Barry Seal menjadi "Barry Seal" yang itu adalah Amerika. Barry Seal, mantan pilot komersil yang beralih menjadi pilot bagi CIA sekaligus kartel narkoba Kolombia, adalah produk dari iklim politik Amerika yang kerap berubah gara-gara tendensi mereka mencampuri urusan negara lain. Yah, anda mungkin sudah tahu kalau Amerika memang suka begitu. Anda mungkin juga sudah tahu bagaimana filmnya akan berjalan, karena telah banyak menyaksikan film kriminal slenge'an "based on true story" seperti ini. Filmnya tak terbang terlalu jauh, tapi menghibur dan lepas landas dengan lancar.


Barry diperankan oleh Tom Cruise. Iya, bintang film kecintaan semua orang yang identik dengan citra jagoan dan auranya yang agak bandel, kali ini harus bermain sedikit lebih nakal lagi sebagai kriminal penyelundup narkoba dan senjata dari Amerika ke Amerika Latin. Kisah nyatanya sendiri sangat absurd, dan pasti menyadari hal ini, sutradara Doug Liman membawakan filmnya dengan dengan ringan dan cenderung komedik. Cruise, seperti biasa, menampilkan karisma dan seringai songongnya yang menjadi driving force kuat bagi film ini, hingga di satu titik saya sampai berpikir jangan-jangan saya peduli pada karakternya gara-gara diperankan Cruise.

Di tahun 70-an, Seal adalah pilot bagi maskapai penumpang Trans World Airlines (TWA) yang sebegitu bosan dengan pekerjaannya, ia sampai iseng sengaja membuat turbulensi palsu dengan membelokkan pesawat ke bawah secara mendadak. Barry dan copilot-nya cengar-cengir, tapi untunglah tak ada penumpang pesawat yang jantungan. Dalam perjalanan pulang, Barry juga sekalian menyelundupkan cerutu Kuba ke Amerika. Operasi kecil-kecilannya menjadi perhatian bagi CIA, namun alih-alih menangkap Barry, mereka malah merekrutnya untuk misi mata-mata. Wakil CIA, Schafer (Domhnall Gleeson) menyuruh Barry terbang seperti biasa ke Amerika Latin, tapi kali ini ia harus mengambil laporan spionase dari rekanan CIA atau memotret aktivitas militer yang dilakukan disana.

Operasi yang ini juga ketahuan, tapi oleh trio kartel Medellin, yang diantaranya beranggotakan raja narkoba, Pablo Escobar. Mereka tahu bahwa Barry bekerja pada CIA, namun mereka ingin memanfaatkan situasi. Barry diharuskan menyelundupkan ratusan kilo kokain ke Amerika. Sebagai imbalan, ia akan dibayar $2 ribu perkilo. Nikmatnya menjadi Barry adalah: (1) selalu ketahuan, tapi (2) selalu bisa lolos, dan (3) bernasib lebih baik daripada sebelumnya. Kali ini ia digerebek polisi Kolombia, tapi dibebaskan kembali oleh Schafer. Untuk menyembunyikan identitas, Barry harus memindahkan keluarganya ke kota kecil Mena, dimana ia diberi rumah dan satu bandara pribadi yang khusus untuk menerbangkan senjata, karena kini Presiden merasa perlu mempersenjatai militan Contras di Nikaragua. Sementara itu, bisnis kurir narkoba semakin besar hingga Barry merekrut beberapa pilot sebagai anak buahnya.

Kesalahan Barry adalah saat punya terlalu banyak uang, ia sampai tak tahu lagi bagaimana cara menyimpannya. Kota kecil Mena sudah seperti kota pribadi Barry karena ia membuat beberapa bisnis dan bank fiktif untuk mencuci uang. Uang tunai berceceran sampai ke kandang kuda karena sudah tak muat lagi di dalam koper-koper. Kedatangan adik iparnya (Caleb Landry Jones) yang seorang preman kacangan, membuat situasi menjadi lebih kacau. Di titik ini, anda penasaran bagaimana Barry masih bisa lolos. Pemerintah bukannya tidak tahu, alih-alih lepas tangan, sebab mereka merasa bahwa ada urusan yang lebih penting, which is, menangani urusan negara orang, tentu saja. Barry hanyalah seorang oportunis yang berada di waktu dan tempat yang tepat, memerah duit dari berbagai pihak yang juga memerahnya.

Film dibuka dengan Barry yang sedang merekam video dokumenter menggunakan VHS, menjelaskan tentang pekerjaannya. "This s**t really happened," kata Barry. American Made menggunakan video ini didukung dengan narasi langsung dari Cruise sebagai framing device untuk memandu kita melewati timeline yang meloncat-loncat sejak 70-an sampai akhir 80-an. Sinematografer yang digandeng Liman adalah Cesar Charlone. Seperti yang diterapkannya pada City of God (2002), Charlone suka dengan gambar nyaris close-up dengan warna calak. Gerakan kameranya hiperaktif dengan filter gambar yang kerap berganti, memberikan urgensi tersendiri di setiap adegan. Gaya filmnya pas sekali dengan karakterisasi serampangan dari Cruise. Untuk menjelaskan geografi naratifnya, Liman menggunakan peta yang dicoret dengan spidol, sembari menyentil keapatisan kebanyakan orang Amerika terhadap geografi negara orang, mengingatkan saya pada rubrik "Other Countries' Presidents" dari talkshow Last Week Tonight with John Oliver.

Film ini adalah satire, dan Liman bijak sekali tak terjun terlalu dalam terhadap latar belakang politiknya. Ini hanyalah cerita tentang Barry Seal, yang kebetulan dilatari dengan figur publik tenar semacam Escobar, Kolonel Noriega, dan Presiden Reagan. Konspirasi yang aslinya bernama skandal Iran-Contra ini seperti terpisah dari kehidupan Barry, namun kita masih bisa mengintip sekilas apa yang yang sebenarnya terjadi. Jika tidak, ini akan menjadi film yang sama sekali berbeda, yang kemungkinan besar akan menimbulkan ketimpangan tone.

Di lain sisi, hal ini juga membuat karakter lain tertutupi oleh Barry-nya Cruise. Pasangan sherif Mena, Jesse Plemons dan Lola Kirke terutama, yang tampaknya seperti punya peran cukup krusial di awal, namun ternyata tak begitu memberi dampak dalam kisah Barry. Sarah Wright Olsen sebagai istri Barry, Lucy baru mendapat porsi yang cukup mencolok menjelang film berakhir. Komitmen Liman agar filmnya selalu santai, menjadikan petualangan Barry dalam film ini tak seliar dan setajam kisah nyatanya. Saya pikir Liman menargetkan tohokan emosional untuk adegan penutup yang tragis. Ini tidak tercapai karena American Made tak mengajak kita menyelami lika-liku perjalanan moral dari Barry. Petualangan Barry terlalu fun. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

American Made

109 menit
Dewasa
Doug Liman
Gary Spinelli
Doug Davison, Brian Grazer, Ron Howard, Brian Oliver, Kim Roth, Tyler Thompson
César Charlone
Christophe Beck

‘The Shape of Water’ Digadang Masuk Oscar, Guillermo Del Toro Tunda ‘Fantastic Voyage’

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : ‘The Shape of Water’ Digadang Masuk Oscar, Guillermo Del Toro Tunda ‘Fantastic Voyage’
link : ‘The Shape of Water’ Digadang Masuk Oscar, Guillermo Del Toro Tunda ‘Fantastic Voyage’

Baca juga


'The Shape of Water' sukses menuai reaksi awal sangat positif, Guillermo Del Toro akhirnya harus menunda proses pra-produksi 'Fantastic Voyage'.

Sembari mempersiapkan film terbarunya, The Shape of Water, yang akan tayang Desember 2017, Guillermo Del Toro sebenarnya juga bersiap memulai proses pra-produksi Fantastic Voyage pada musim gugur ini. Namun kini penggarapan film big budget yang dimotori 20th Century Fox dan Lightstorm tersebut harus ditunda. Alasannya, The Shape of Water sukses menuai reaksi awal sangat positif, dan praktis, hal itu berpotensi membuat Del Toro disibukkan oleh deretan ajang perhargaan film yang perlu ia hadiri. Oleh karena itu, pihak studio telah sepakat meluangkan jadwal Del Toro sampai pagelaran Oscar selesai dihelat pada Maret 2018 mendatang.

FYI, The Shape of Water merupakan film fantasi bersetting Perang Dingin yang ditulis dan disutradarai Del Toro. Kisahnya menyoroti seorang wanita petugas kebersihan yang bekerja di fasilitas rahasia pemerintah yang menampung seorang manusia ikan.

Rencananya film ini akan tayang perdana di Venice Film Festival, Toronto Film Festival dan kemungkinan juga di Telluride Film Festival. Tiga festival tadi kerap jadi referensi para kritikus untuk menemukan film-film yang ramah Oscar. Alhasil, jika The Shape of Water disambut meriah di festival tersebut, maka Del Toro berpeluang melihat filmnya menembus nominasi Oscar. Dan peluang ini pun dinilai cukup besar, karena kabarnya The Shape of Water kerap dibandingkan dengan film fantasi pemenang Oscar karya Del Toro, Pan’s Labyrinth.

Di bawah arahan Del Toro, Fantastic Voyage akan menjadi remake dari film rilisan 1965 yang berkisah tim ilmuwan yang menciutkan tubuh mereka dan masuk ke dalam tubuh temannya demi menyelamatkan nyawanya. Film yang diproduseri James Cameron ini menjadi proyek big budget terbaru yang ditangani Del Toro sejak Pacific Rim (2013). Menurut kabar dari Deadline, Fantastic Voyage ditargetkan bisa syuting paling lambat pada akhir 2018. Belum diketahui kapan film ini akan dirilis. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem

'The Shape of Water' sukses menuai reaksi awal sangat positif, Guillermo Del Toro akhirnya harus menunda proses pra-produksi 'Fantastic Voyage'.

Sembari mempersiapkan film terbarunya, The Shape of Water, yang akan tayang Desember 2017, Guillermo Del Toro sebenarnya juga bersiap memulai proses pra-produksi Fantastic Voyage pada musim gugur ini. Namun kini penggarapan film big budget yang dimotori 20th Century Fox dan Lightstorm tersebut harus ditunda. Alasannya, The Shape of Water sukses menuai reaksi awal sangat positif, dan praktis, hal itu berpotensi membuat Del Toro disibukkan oleh deretan ajang perhargaan film yang perlu ia hadiri. Oleh karena itu, pihak studio telah sepakat meluangkan jadwal Del Toro sampai pagelaran Oscar selesai dihelat pada Maret 2018 mendatang.

FYI, The Shape of Water merupakan film fantasi bersetting Perang Dingin yang ditulis dan disutradarai Del Toro. Kisahnya menyoroti seorang wanita petugas kebersihan yang bekerja di fasilitas rahasia pemerintah yang menampung seorang manusia ikan.

Rencananya film ini akan tayang perdana di Venice Film Festival, Toronto Film Festival dan kemungkinan juga di Telluride Film Festival. Tiga festival tadi kerap jadi referensi para kritikus untuk menemukan film-film yang ramah Oscar. Alhasil, jika The Shape of Water disambut meriah di festival tersebut, maka Del Toro berpeluang melihat filmnya menembus nominasi Oscar. Dan peluang ini pun dinilai cukup besar, karena kabarnya The Shape of Water kerap dibandingkan dengan film fantasi pemenang Oscar karya Del Toro, Pan’s Labyrinth.

Di bawah arahan Del Toro, Fantastic Voyage akan menjadi remake dari film rilisan 1965 yang berkisah tim ilmuwan yang menciutkan tubuh mereka dan masuk ke dalam tubuh temannya demi menyelamatkan nyawanya. Film yang diproduseri James Cameron ini menjadi proyek big budget terbaru yang ditangani Del Toro sejak Pacific Rim (2013). Menurut kabar dari Deadline, Fantastic Voyage ditargetkan bisa syuting paling lambat pada akhir 2018. Belum diketahui kapan film ini akan dirilis. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem
Kunjungi Ulasan Pilem di facebook: facebook.com/ulasanpilem