Saturday, June 27, 2015

Review Film: 'Skin Trade' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Aksi, Artikel Kriminal, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Skin Trade' (2015)
link : Review Film: 'Skin Trade' (2015)

Baca juga


Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, 'Skin Trade' bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

“Negotiation is over.”
— Tony Vitayakul
Skin Trade adalah salah satu film kelas B yang menghadirkan cerita klise, dimana seorang polisi berusaha membalaskan dendam atas keluarganya dan sekaligus, memberantas kejahatan internasional yang dilakukan antagonis. Sesuai dengan judulnya, film ini mengangkat kasus human trafficking dengan setting di Asia Tenggara. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

Dolph Lundgren bermain sebagai detektif Nick Cassidy, yang tengah memburu bos mafia Serbia, Viktor Dragovic (Ron Perlman). Dalam usahanya menangkap Dragovic, Nick membunuh salah seorang dari 4 anaknya, sementara Dragovic sendiri berhasil bebas. Dragovic kemudian mengutus anak buahnya untuk membunuh Nick sekeluarga dengan cara yang sedikit lebay — menggunakan RPG, namun Nick berhasil lolos dari maut meski menderita luka yang cukup parah.


Mendapat informasi bahwa Dragovic kabur ke Thailand, Nick yang sekarang punya bekas luka bakar di wajahnya dan masih belum sembuh total mengejarnya ke Bangkok. Yap, dia setangguh itu. Sembari pengejarannya berlangsung, kita akan diperkenalkan dengan polisi Bangkok yang temperamen, Tony Vitayakul (Tony Jaa) yang juga berusaha untuk menghentikan human trafficking yang marak terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Dari sini, anda bisa menebak apa yang akan terjadi. Tony harus berkonfrontasi terlebih dahulu dengan Nick sebelum akhirnya keduanya bersatu untuk melawan musuh yang sama. Meski narasinya cenderung linear, skrip yang ditulis oleh Lundgren bersama Steven Elder dan John Hyams menyelipkan sedikit plot twist seperti polisi dan pejabat korup, walau tetap saja predictable.

Elemen drama juga dimasukkan sedikit dengan menghadirkan tokoh Min (Celina Jade) yang merupakan pacar sekaligus informan bagi Tony. Saya merasa sutradara Ekachai Uekrongtham memaksudkan film ini bertema buddy-cop, tapi sejujurnya dinamika antara Lundgren dengan Jaa tak mengena. Backstory yang diceritakan di awal film juga hanya menjadi sekedar alasan bagi keduanya untuk menghajar sekelompok orang.

Memasuki usianya yang ke-57, Lundgren tetap terliihat tangguh. Menenteng berbagai senjata bermacam ukuran, Nick adalah karakter polisi yang lebih mengandalkan otot dan Lundgren merepresentasikannya dengan baik. Bagi anda yang sudah mengenal Jaa dalam film The Protector dan Ong Bak tentu sudah tak bakal asing lagi dengan penampilan aktor yang satu ini. Tanpa menggunakan kawat pembantu dan stuntman, Jaa memerankan sendiri semua adegan-adegan martial arts dan disini sekuens aksi dari Jaa tak mengecewakan, termasuk adegan saat Tony menghajar sekelompok penjahat hanya berbekal ikat pinggang.

Terlihat sekali film ini dibuat dengan bujet yang minim. Beberapa adegan ledakan direkayasa dengan efek komputer yang kurang sempurna. Set dan lokasi juga kurang mumpuni. Tapi saya Meskipun adegan kejar-kejaran yang diambil dengan angle yang monoton, namun di beberapa scene hal tersebut bisa dimaafkan berkat penampilan dari Tony Jaa. Sutradara Uekrongtham memanfaatkan adegan berharga tersebut dan menyajikannya efek slow-motion.

Di akhir film, kita akan melihat betapa perihnya kenyataan mengenai human trafficking. Skin Trade tampaknya berusaha menyampaikan pesan moral tentang hal tersebut, namun terasa kontraproduktif dengan gambar-gambar vulgar tempat hiburan malam yang jamak disodorkan pada penonton.

Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, Skin Trade bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Tapi jangan berharap lebih, ini adalah film kelas B dengan plot yang sudah pernah anda lihat sebelumnya. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Skin Trade' |
|

IMDb | Rottentomatoes
95 menit | Dewasa

Sutradara Ekachai Uekrongtham
Penulis Dolph Lundgren, Steven Elder, Gabriel Dowrick
Pemain Dolph Lundgren, Tony Jaa, Ron Perlman, Michael Jai White

Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, 'Skin Trade' bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

“Negotiation is over.”
— Tony Vitayakul
Skin Trade adalah salah satu film kelas B yang menghadirkan cerita klise, dimana seorang polisi berusaha membalaskan dendam atas keluarganya dan sekaligus, memberantas kejahatan internasional yang dilakukan antagonis. Sesuai dengan judulnya, film ini mengangkat kasus human trafficking dengan setting di Asia Tenggara. Alurnya sangat formulatif dan monoton, namun sekuens aksinya cukup menarik untuk dilihat.

Dolph Lundgren bermain sebagai detektif Nick Cassidy, yang tengah memburu bos mafia Serbia, Viktor Dragovic (Ron Perlman). Dalam usahanya menangkap Dragovic, Nick membunuh salah seorang dari 4 anaknya, sementara Dragovic sendiri berhasil bebas. Dragovic kemudian mengutus anak buahnya untuk membunuh Nick sekeluarga dengan cara yang sedikit lebay — menggunakan RPG, namun Nick berhasil lolos dari maut meski menderita luka yang cukup parah.


Mendapat informasi bahwa Dragovic kabur ke Thailand, Nick yang sekarang punya bekas luka bakar di wajahnya dan masih belum sembuh total mengejarnya ke Bangkok. Yap, dia setangguh itu. Sembari pengejarannya berlangsung, kita akan diperkenalkan dengan polisi Bangkok yang temperamen, Tony Vitayakul (Tony Jaa) yang juga berusaha untuk menghentikan human trafficking yang marak terjadi di wilayah Asia Tenggara.

Dari sini, anda bisa menebak apa yang akan terjadi. Tony harus berkonfrontasi terlebih dahulu dengan Nick sebelum akhirnya keduanya bersatu untuk melawan musuh yang sama. Meski narasinya cenderung linear, skrip yang ditulis oleh Lundgren bersama Steven Elder dan John Hyams menyelipkan sedikit plot twist seperti polisi dan pejabat korup, walau tetap saja predictable.

Elemen drama juga dimasukkan sedikit dengan menghadirkan tokoh Min (Celina Jade) yang merupakan pacar sekaligus informan bagi Tony. Saya merasa sutradara Ekachai Uekrongtham memaksudkan film ini bertema buddy-cop, tapi sejujurnya dinamika antara Lundgren dengan Jaa tak mengena. Backstory yang diceritakan di awal film juga hanya menjadi sekedar alasan bagi keduanya untuk menghajar sekelompok orang.

Memasuki usianya yang ke-57, Lundgren tetap terliihat tangguh. Menenteng berbagai senjata bermacam ukuran, Nick adalah karakter polisi yang lebih mengandalkan otot dan Lundgren merepresentasikannya dengan baik. Bagi anda yang sudah mengenal Jaa dalam film The Protector dan Ong Bak tentu sudah tak bakal asing lagi dengan penampilan aktor yang satu ini. Tanpa menggunakan kawat pembantu dan stuntman, Jaa memerankan sendiri semua adegan-adegan martial arts dan disini sekuens aksi dari Jaa tak mengecewakan, termasuk adegan saat Tony menghajar sekelompok penjahat hanya berbekal ikat pinggang.

Terlihat sekali film ini dibuat dengan bujet yang minim. Beberapa adegan ledakan direkayasa dengan efek komputer yang kurang sempurna. Set dan lokasi juga kurang mumpuni. Tapi saya Meskipun adegan kejar-kejaran yang diambil dengan angle yang monoton, namun di beberapa scene hal tersebut bisa dimaafkan berkat penampilan dari Tony Jaa. Sutradara Uekrongtham memanfaatkan adegan berharga tersebut dan menyajikannya efek slow-motion.

Di akhir film, kita akan melihat betapa perihnya kenyataan mengenai human trafficking. Skin Trade tampaknya berusaha menyampaikan pesan moral tentang hal tersebut, namun terasa kontraproduktif dengan gambar-gambar vulgar tempat hiburan malam yang jamak disodorkan pada penonton.

Jika anda ingin menonton film aksi dengan banyak adu tembak dan pertarungan tangan kosong, Skin Trade bisa dijadikan sebagai pengisi waktu luang. Tapi jangan berharap lebih, ini adalah film kelas B dengan plot yang sudah pernah anda lihat sebelumnya. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Skin Trade' |
|

IMDb | Rottentomatoes
95 menit | Dewasa

Sutradara Ekachai Uekrongtham
Penulis Dolph Lundgren, Steven Elder, Gabriel Dowrick
Pemain Dolph Lundgren, Tony Jaa, Ron Perlman, Michael Jai White

Friday, June 26, 2015

Review Film: 'The Face of an Angel' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'The Face of an Angel' (2015)
link : Review Film: 'The Face of an Angel' (2015)

Baca juga


Senasib dengan motif pelaku dan kenyataan yang kabur, 'The Face of an Angel' akhirnya juga menjadi film yang abu-abu. Saya rasa sedikit sekali penonton di luar sana yang ingin menonton film sutradara egosentris yang membahas dirinya sendiri selama 101 menit.

“You should make a love story.”
— Melanie
Setelah menonton film ini, saya baru tahu bahwa film The Face of an Angel diangkat dari kasus pembunuhan Meredith Kercher pada tahun 2007. Kercher adalah seorang mahasiswi yang ditemukan tewas di kamarnya di Itali dan yang dicurigai sebagai pembunuh adalah teman sekamarnya, Amanda Knox. Kasus ini sangat bias. Knox yang membuat pengakuan awalnya dinyatakan bersalah, kemudian dibebaskan, ditahan lagi, hingga akhirnya dibebaskan kembali.

Sutradara Michael Winterbottom bersama penulis skrip Paul Viragh mengangkatnya menjadi film berdasarkan buku berjudul Angel Face dari Barbie Latza Nadeau. Namun alih-alih menelisik kasusnya lebih jauh, Winterbottom malah mengambil sudut pandang dari seorang sutradara fiktif, Thomas (Daniel Bruhl) dan menceritakan konflik batin dari detektif tersebut, yang sejujurnya takkan pernah penonton pedulikan.

Kercher dan Knox diganti namanya menjadi Elizabeth Pryce (Sai Bennett) dan Jessica Fuller (Genevive Gaunt). Di awal film, kasus pembunuhan tersebut diceritakan dengan cepat melalui komunikasi yang dilakukan oleh Thomas dengan Simone Ford (Kate Beckinsale), seorang jurnalis yang juga merupakan penulis buku laris berjudul The Face of an Angel yang akan diangkat menjadi film. Detail-detail kasus yang sangat mirip dengan kasus Amanda Knox dipaparkan.


Thomas adalah seorang sutradara yang idealis, dan tak ingin membuat film dangkal tanpa mengetahui kebenaran dari kasus tersebut. Dia berusaha mencari fakta-fakta secara mandiri di lorong-lorong sempit Siena dan mewawancarai berbagai saksi, mulai dari kenalan Elizabeth, hingga rekan awak media dari Simone yang mencurigakan, Edoardo (Valerio Mastandrea). Pencarian ini berujung pada degradasi batin Thomas, membuatnya kembali mengonsumsi narkoba, halusinasi, dan depresi akibat perceraian yang dialaminya.

Eksistensi Thomas seperti pengejawantahan dari Winterbottom sendiri, yang ingin membuat film idealis dengan mengambil pendekatan meta-movie. Pada akhirnya, Thomas tak peduli pada kasus tersebut, sama halnya seperti Winterbottom yang tak peduli bagaimana penonton akan mencerna filmnya ini. Winterbottom tak pernah menelisik barang bukti, korban dan hal-hal lain yang relevan dengan kasus, dan hanya ingin membuat film tentang pembuat film yang tak punya cerita.

Kekecewaan saya mungkin disebabkan karena ekspektasi bahwa film ini akan mengungkap kenyataan yang sebenarnya. The Face of an Angel bukanlah seperti Zodiac dari David Fincher — yang juga tak mengungkap kebenaran kasus dengan gamblang. Setidaknya Zodiac lebih memuaskan karena selalu fokus dengan kasusnya, berbeda dengan film ini selalu mengalihkan penonton ke dalam pikiran tokoh utama saat narasi bergerak ke kasus.

Entah bagaimana dengan penonton lain, namun saya merasa larutnya Thomas dalam depresi dan halusinasi — yang dihadirkan dengan CGI yang cukup bagus — tak ada hubungannya dengan plot film. Saya tak mengerti apa yang dia cari dan apa yang akhirnya dia temukan.

Kontras dengan warna gambarnya yang disorot dengan warna pudar yang suram, deretan pemeran yang dihadirkan sedikit mengalihkan dengan tampilan fisik yang "sueeger" (sesuai dengan judulnya "Wajah Malaikat". Ehem). Sayangnya, semua karakter nyaris underwritten. Gaunt dan Bennett sebagai Jessica dan Elizabeth hanya menjadi si cantik bertatapan kosong yang tak tahu mau melakukan apa, selain menampilkan senyum manis, ekspresi kaget, dan kabur dari media.

Beckinsale juga hanya menjadi sekedar informan bagi Thomas dan tak pernah terlibat lebih jauh (yah, mereka sempat berhubungan seksual sih). Satu-satunya karakter yang mendapat porsi yang signifikan selain Thomas adalah Melanie yang dimainkan oleh Cara Delevingne. Sebagai remaja yang polos, Melanie merupakan pelipur lara bagi Thomas yang kehilangan hak asuh bagi anaknya, Bea (Ava Acres). Melanie mengajak Thomas melihat sisi lain kota Siena dan membagikannya optimisme, yang akhirnya membuat Thomas bisa menghadapi dirinya sendiri.

Menurut saya, Winterbottom punya materi yang menarik disini. Namun, senasib dengan motif pelaku dan kenyataan yang kabur, The Face of an Angel juga menjadi film yang abu-abu. Saya rasa sedikit sekali penonton di luar sana yang ingin menonton film yang menceritakan tentang sutradara egosentris yang membahas dirinya sendiri selama 101 menit. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Face of an Angel' |
|

IMDb | Rottentomatoes
101 menit | Remaja

Sutradara Michael Winterbottom
Penulis Paul Viragh (screenplay), Barbie Latza Nadeau (buku)
Pemain Kate Beckinsale, Daniel Brühl, Cara Delevingne

Senasib dengan motif pelaku dan kenyataan yang kabur, 'The Face of an Angel' akhirnya juga menjadi film yang abu-abu. Saya rasa sedikit sekali penonton di luar sana yang ingin menonton film sutradara egosentris yang membahas dirinya sendiri selama 101 menit.

“You should make a love story.”
— Melanie
Setelah menonton film ini, saya baru tahu bahwa film The Face of an Angel diangkat dari kasus pembunuhan Meredith Kercher pada tahun 2007. Kercher adalah seorang mahasiswi yang ditemukan tewas di kamarnya di Itali dan yang dicurigai sebagai pembunuh adalah teman sekamarnya, Amanda Knox. Kasus ini sangat bias. Knox yang membuat pengakuan awalnya dinyatakan bersalah, kemudian dibebaskan, ditahan lagi, hingga akhirnya dibebaskan kembali.

Sutradara Michael Winterbottom bersama penulis skrip Paul Viragh mengangkatnya menjadi film berdasarkan buku berjudul Angel Face dari Barbie Latza Nadeau. Namun alih-alih menelisik kasusnya lebih jauh, Winterbottom malah mengambil sudut pandang dari seorang sutradara fiktif, Thomas (Daniel Bruhl) dan menceritakan konflik batin dari detektif tersebut, yang sejujurnya takkan pernah penonton pedulikan.

Kercher dan Knox diganti namanya menjadi Elizabeth Pryce (Sai Bennett) dan Jessica Fuller (Genevive Gaunt). Di awal film, kasus pembunuhan tersebut diceritakan dengan cepat melalui komunikasi yang dilakukan oleh Thomas dengan Simone Ford (Kate Beckinsale), seorang jurnalis yang juga merupakan penulis buku laris berjudul The Face of an Angel yang akan diangkat menjadi film. Detail-detail kasus yang sangat mirip dengan kasus Amanda Knox dipaparkan.


Thomas adalah seorang sutradara yang idealis, dan tak ingin membuat film dangkal tanpa mengetahui kebenaran dari kasus tersebut. Dia berusaha mencari fakta-fakta secara mandiri di lorong-lorong sempit Siena dan mewawancarai berbagai saksi, mulai dari kenalan Elizabeth, hingga rekan awak media dari Simone yang mencurigakan, Edoardo (Valerio Mastandrea). Pencarian ini berujung pada degradasi batin Thomas, membuatnya kembali mengonsumsi narkoba, halusinasi, dan depresi akibat perceraian yang dialaminya.

Eksistensi Thomas seperti pengejawantahan dari Winterbottom sendiri, yang ingin membuat film idealis dengan mengambil pendekatan meta-movie. Pada akhirnya, Thomas tak peduli pada kasus tersebut, sama halnya seperti Winterbottom yang tak peduli bagaimana penonton akan mencerna filmnya ini. Winterbottom tak pernah menelisik barang bukti, korban dan hal-hal lain yang relevan dengan kasus, dan hanya ingin membuat film tentang pembuat film yang tak punya cerita.

Kekecewaan saya mungkin disebabkan karena ekspektasi bahwa film ini akan mengungkap kenyataan yang sebenarnya. The Face of an Angel bukanlah seperti Zodiac dari David Fincher — yang juga tak mengungkap kebenaran kasus dengan gamblang. Setidaknya Zodiac lebih memuaskan karena selalu fokus dengan kasusnya, berbeda dengan film ini selalu mengalihkan penonton ke dalam pikiran tokoh utama saat narasi bergerak ke kasus.

Entah bagaimana dengan penonton lain, namun saya merasa larutnya Thomas dalam depresi dan halusinasi — yang dihadirkan dengan CGI yang cukup bagus — tak ada hubungannya dengan plot film. Saya tak mengerti apa yang dia cari dan apa yang akhirnya dia temukan.

Kontras dengan warna gambarnya yang disorot dengan warna pudar yang suram, deretan pemeran yang dihadirkan sedikit mengalihkan dengan tampilan fisik yang "sueeger" (sesuai dengan judulnya "Wajah Malaikat". Ehem). Sayangnya, semua karakter nyaris underwritten. Gaunt dan Bennett sebagai Jessica dan Elizabeth hanya menjadi si cantik bertatapan kosong yang tak tahu mau melakukan apa, selain menampilkan senyum manis, ekspresi kaget, dan kabur dari media.

Beckinsale juga hanya menjadi sekedar informan bagi Thomas dan tak pernah terlibat lebih jauh (yah, mereka sempat berhubungan seksual sih). Satu-satunya karakter yang mendapat porsi yang signifikan selain Thomas adalah Melanie yang dimainkan oleh Cara Delevingne. Sebagai remaja yang polos, Melanie merupakan pelipur lara bagi Thomas yang kehilangan hak asuh bagi anaknya, Bea (Ava Acres). Melanie mengajak Thomas melihat sisi lain kota Siena dan membagikannya optimisme, yang akhirnya membuat Thomas bisa menghadapi dirinya sendiri.

Menurut saya, Winterbottom punya materi yang menarik disini. Namun, senasib dengan motif pelaku dan kenyataan yang kabur, The Face of an Angel juga menjadi film yang abu-abu. Saya rasa sedikit sekali penonton di luar sana yang ingin menonton film yang menceritakan tentang sutradara egosentris yang membahas dirinya sendiri selama 101 menit. ■ UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'The Face of an Angel' |
|

IMDb | Rottentomatoes
101 menit | Remaja

Sutradara Michael Winterbottom
Penulis Paul Viragh (screenplay), Barbie Latza Nadeau (buku)
Pemain Kate Beckinsale, Daniel Brühl, Cara Delevingne

Review Film: 'Terminator Genisys' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Adventure, Artikel Aksi, Artikel Review, Artikel Sci-Fi, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Terminator Genisys' (2015)
link : Review Film: 'Terminator Genisys' (2015)

Baca juga


Jika ingin melahap 'Terminator Genisys' dengan nyaman, mau tak mau kita harus melupakan apa yang sudah kita tahu dari film sebelumnya. Di balik plotnya yang berantakan, untuk ukuran popcorn movie, 'Genisys' sebenarnya cukup menghibur.

“John is not last humanity hope anymore.”
— Sarah Connor
Berselang 31 tahun sejak film pertamanya yang disutradarai oleh James Cameron, sulit untuk menyebut Terminator Genisys sebagai sekuel. Sesuai dengan jargonnya "The rules has been reset", film ini me-reset semua kejadian dari 4 film sebelumnya dengan cerita baru. Bagi anda yang merupakan penggemar film lamanya (sebagaimana saya), mungkin akan sedikit sinis melihat pembaruan yang dilakukan oleh penulis skrip Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier. Di balik plotnya yang berantakan, untuk ukuran popcorn movie, Terminator Genisys sebenarnya cukup menghibur.

Film dibuka dengan narasi yang menjelaskan bahwa sebagian besar umat manusia musnah akibat nuklir yang diluncurkan oleh Skynet pada tahun 1997. 30 tahun kemudian, umat manusia yang tersisa yang dipimpin oleh John Connor (Jason Clarke) membentuk pasukan pemberontak untuk mengalahkan Skynet yang sekarang telah menguasai dunia dengan pasukan robotnya. Misi berlanjut dengan mengirimkan Kyle Reese (Jai Courtney) melalui mesin waktu ke tahun 1984 untuk menyelamatkan ibu John, Sarah Connor (Emilia Clarke). Namun persis sebelum perjalanan waktu dilakukan, terjadi hal di luar dugaan yang menciptakan timeline paralel.

Tahun 1984 yang dikunjungi Kyle bukanlah seperti yang kita kenal. Sarah bukan lagi wanita polos yang tak bisa dan tak tahu apa-apa, melainkan sudah menjadi wanita tangguh yang mengenal Terminator T-800 (Arnold Schwarzenegger) sedari umurnya 9 tahun yang disebutnya sebagai "Pops/Kakek". Hari Kiamat/Judgment Day juga bukan lagi di tahun 1997, melainkan di tahun 2017 dengan mengambil pengejawantahan baru, yaitu operating system canggih bernama Genisys yang mengendalikan struktur kehidupan melalui gadget (kurang lebih mirip dengan iOS atau Google Android). John Connor juga bukanlah seperti yang kita kira.

Patut diapresiasi sebenarnya, duo penulis skrip Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier yang mencoba menghadirkan nostalgia melalui adegan-adegan familiar dari film sebelumnya seperti kemunculan T-800 tanpa pakaian di lorong gelap, kejar-kejaran dengan Terminator logam cair T-1000 yang tangguh (kali ini dimainkan oleh aktor Korea, Byung-Hun Lee) serta beberapa kutipan-kutipan yang ikonik, seperti "I'll be back", sembari menghadirkan cerita baru agar relevan dengan generasi sekarang.


Sayangnya, keduanya mengambil jalan pintas dari celah perjalanan waktu. Bermain-main dengan premis perjalanan waktu adalah hal sulit dilakukan. Terlalu rumit akan membuat penonton berpikir terlalu keras (sebagaimana terjadi di film Primer) sementara terlalu ringan terkesan membodohi penonton. Genisys mengambil pendekatan kedua, dan menyederhanakan efek klausal yang terjadi. Jika awas, anda akan menemukan banyak plothole (yang tak perlu saya bocorkan disini) yang cukup mengganggu dan semua dijelaskan dengan satu kata sederhana "masa lalu/masa depan alternatif". WTF. Saya tak berharap film ini akan menguji nalar, namun setidaknya jangan meremehkan intelegensi penonton.

Bagi yang belum pernah menonton film pertama dan film keduanya, mungkin akan garuk-garuk kepala dengan alurnya karena tak punya basis cerita. Di balik plot lintas-waktu yang tumpang-tindih ini, beberapa penonton akan sedikit kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang telah berubah sebagai konsekuensi dari waktu paralel yang punya banyak kemungkinan. Well, saya pun tak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Secara pribadi, saya merasa skrip ini mengambil waktu paralel sebagai benang merah dan memaksakan agar ceritanya nyambung satu sama lain.

Dibanding pendahulunya, Genisys juga cenderung lebih ringan. Jika film pertama dan keduanya terkesan seperti film thriller, maka Genisys bisa dibilang sebagai pure action. Keberadaan Skynet dan Terminator tak lagi terlalu mengintimidasi. Setting post-apocalyptic (atau mendekati post-apocalyptic) juga kurang terasa, mungkin karena settingnya yang di jaman sekarang. Selain itu, dalam Genisys juga lebih sering diselipkan lelucon, yang uniknya dibawakan oleh Schwarzenegger.

Bicara soal Schwarzenegger, disini kita akan melihatnya dalam 3 timeline dalam usia yang berbeda. Kenapa tampilan Terminator bisa menua, anda akan menemukan jawabannya disini. Schwarzenegger mendapat porsi peran yang kurang lebih sama: menjadi robot kuno yang kaku. Tapi dia juga telah diajarkan oleh Sarah untuk tersenyum dan mengucapkan kata-kata slang sperti "Bite Me/Masa Bodoh" yang akhirnya mengundang gelak tawa.

Akting Jai Courtney membosankan seperti biasanya, dan Emilia Clarke saya rasa kurang pas membawakan karakter Sarah yang tangguh namun juga rapuh di saat bersamaan. Saya tak pernah melihatnya cocok untuk menenteng senjata berat dan bilang kata-kata kasar. Jason Clarke mendapat porsi yang lebih sedikit, namun berhasil menampilkan kedua persona John Connor dengan baik.

Genisys berusaha menjadi film yang heboh. Semua harus terdengar memekakkan telinga, termasuk sound effects dan scoring dari Lorne Balfe, yang pada akhirnya terasa mengganggu. Jika sedang tak mendengar logam saling beradu dengan suara yang menggelegar, kita akan mendengar para karakter saling beradu mulut, memperdebatkan hal-hal klise.

Di balik plotnya yang amburadul tersebut, Genisys adalah film yang menghibur dan menarik secara visual. Meski tak sepiawai Cameron, sutradara Alan Taylor tahu cara menangani adegan aksi, dan menyajikannya dengan baik. Dengan cut dan camerawork yang cepat, kita selalu tahu apa yang sedang terjadi tanpa kehilangan orientasi. Taylor mereka ulang kembali momen-momen ikonik dari versi Cameron — termasuk pertarungan klimaks yang mirip dengan Terminator: Judgment Day — dan menambahkan elemen baru yang spektakuler, seperti adu kendaraan di jembatan Golden Gate dan pertarungan di helikopter.

Jika ingin melahap Genisys dengan nyaman, mau tak mau kita harus melupakan apa yang sudah kita tahu dari film sebelumnya. Kita juga harus sedikit "menurunkan" intelegensi dan menganggap semua teori time-travel yang disajikan ini rasional. Yah, meskipun satu-satunya alasan rasional di balik teori tersebut adalah membuka peluang cerita untuk film-film selanjutnya (FYI, Genisys akan dibuat menjadi trilogi). Selain dari itu, Genisys adalah film blockbuster yang lumayan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Terminator Genisys' |
|

IMDb | Rottentomatoes
125 menit | Remaja

Sutradara Alan Taylor
Penulis Laeta Kalogridis, Patrick Lussier
Pemain Arnold Schwarzenegger, Jason Clarke, Emilia Clarke, Jai Courtney

Jika ingin melahap 'Terminator Genisys' dengan nyaman, mau tak mau kita harus melupakan apa yang sudah kita tahu dari film sebelumnya. Di balik plotnya yang berantakan, untuk ukuran popcorn movie, 'Genisys' sebenarnya cukup menghibur.

“John is not last humanity hope anymore.”
— Sarah Connor
Berselang 31 tahun sejak film pertamanya yang disutradarai oleh James Cameron, sulit untuk menyebut Terminator Genisys sebagai sekuel. Sesuai dengan jargonnya "The rules has been reset", film ini me-reset semua kejadian dari 4 film sebelumnya dengan cerita baru. Bagi anda yang merupakan penggemar film lamanya (sebagaimana saya), mungkin akan sedikit sinis melihat pembaruan yang dilakukan oleh penulis skrip Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier. Di balik plotnya yang berantakan, untuk ukuran popcorn movie, Terminator Genisys sebenarnya cukup menghibur.

Film dibuka dengan narasi yang menjelaskan bahwa sebagian besar umat manusia musnah akibat nuklir yang diluncurkan oleh Skynet pada tahun 1997. 30 tahun kemudian, umat manusia yang tersisa yang dipimpin oleh John Connor (Jason Clarke) membentuk pasukan pemberontak untuk mengalahkan Skynet yang sekarang telah menguasai dunia dengan pasukan robotnya. Misi berlanjut dengan mengirimkan Kyle Reese (Jai Courtney) melalui mesin waktu ke tahun 1984 untuk menyelamatkan ibu John, Sarah Connor (Emilia Clarke). Namun persis sebelum perjalanan waktu dilakukan, terjadi hal di luar dugaan yang menciptakan timeline paralel.

Tahun 1984 yang dikunjungi Kyle bukanlah seperti yang kita kenal. Sarah bukan lagi wanita polos yang tak bisa dan tak tahu apa-apa, melainkan sudah menjadi wanita tangguh yang mengenal Terminator T-800 (Arnold Schwarzenegger) sedari umurnya 9 tahun yang disebutnya sebagai "Pops/Kakek". Hari Kiamat/Judgment Day juga bukan lagi di tahun 1997, melainkan di tahun 2017 dengan mengambil pengejawantahan baru, yaitu operating system canggih bernama Genisys yang mengendalikan struktur kehidupan melalui gadget (kurang lebih mirip dengan iOS atau Google Android). John Connor juga bukanlah seperti yang kita kira.

Patut diapresiasi sebenarnya, duo penulis skrip Laeta Kalogridis dan Patrick Lussier yang mencoba menghadirkan nostalgia melalui adegan-adegan familiar dari film sebelumnya seperti kemunculan T-800 tanpa pakaian di lorong gelap, kejar-kejaran dengan Terminator logam cair T-1000 yang tangguh (kali ini dimainkan oleh aktor Korea, Byung-Hun Lee) serta beberapa kutipan-kutipan yang ikonik, seperti "I'll be back", sembari menghadirkan cerita baru agar relevan dengan generasi sekarang.


Sayangnya, keduanya mengambil jalan pintas dari celah perjalanan waktu. Bermain-main dengan premis perjalanan waktu adalah hal sulit dilakukan. Terlalu rumit akan membuat penonton berpikir terlalu keras (sebagaimana terjadi di film Primer) sementara terlalu ringan terkesan membodohi penonton. Genisys mengambil pendekatan kedua, dan menyederhanakan efek klausal yang terjadi. Jika awas, anda akan menemukan banyak plothole (yang tak perlu saya bocorkan disini) yang cukup mengganggu dan semua dijelaskan dengan satu kata sederhana "masa lalu/masa depan alternatif". WTF. Saya tak berharap film ini akan menguji nalar, namun setidaknya jangan meremehkan intelegensi penonton.

Bagi yang belum pernah menonton film pertama dan film keduanya, mungkin akan garuk-garuk kepala dengan alurnya karena tak punya basis cerita. Di balik plot lintas-waktu yang tumpang-tindih ini, beberapa penonton akan sedikit kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang telah berubah sebagai konsekuensi dari waktu paralel yang punya banyak kemungkinan. Well, saya pun tak tahu persis apa yang sebenarnya terjadi. Secara pribadi, saya merasa skrip ini mengambil waktu paralel sebagai benang merah dan memaksakan agar ceritanya nyambung satu sama lain.

Dibanding pendahulunya, Genisys juga cenderung lebih ringan. Jika film pertama dan keduanya terkesan seperti film thriller, maka Genisys bisa dibilang sebagai pure action. Keberadaan Skynet dan Terminator tak lagi terlalu mengintimidasi. Setting post-apocalyptic (atau mendekati post-apocalyptic) juga kurang terasa, mungkin karena settingnya yang di jaman sekarang. Selain itu, dalam Genisys juga lebih sering diselipkan lelucon, yang uniknya dibawakan oleh Schwarzenegger.

Bicara soal Schwarzenegger, disini kita akan melihatnya dalam 3 timeline dalam usia yang berbeda. Kenapa tampilan Terminator bisa menua, anda akan menemukan jawabannya disini. Schwarzenegger mendapat porsi peran yang kurang lebih sama: menjadi robot kuno yang kaku. Tapi dia juga telah diajarkan oleh Sarah untuk tersenyum dan mengucapkan kata-kata slang sperti "Bite Me/Masa Bodoh" yang akhirnya mengundang gelak tawa.

Akting Jai Courtney membosankan seperti biasanya, dan Emilia Clarke saya rasa kurang pas membawakan karakter Sarah yang tangguh namun juga rapuh di saat bersamaan. Saya tak pernah melihatnya cocok untuk menenteng senjata berat dan bilang kata-kata kasar. Jason Clarke mendapat porsi yang lebih sedikit, namun berhasil menampilkan kedua persona John Connor dengan baik.

Genisys berusaha menjadi film yang heboh. Semua harus terdengar memekakkan telinga, termasuk sound effects dan scoring dari Lorne Balfe, yang pada akhirnya terasa mengganggu. Jika sedang tak mendengar logam saling beradu dengan suara yang menggelegar, kita akan mendengar para karakter saling beradu mulut, memperdebatkan hal-hal klise.

Di balik plotnya yang amburadul tersebut, Genisys adalah film yang menghibur dan menarik secara visual. Meski tak sepiawai Cameron, sutradara Alan Taylor tahu cara menangani adegan aksi, dan menyajikannya dengan baik. Dengan cut dan camerawork yang cepat, kita selalu tahu apa yang sedang terjadi tanpa kehilangan orientasi. Taylor mereka ulang kembali momen-momen ikonik dari versi Cameron — termasuk pertarungan klimaks yang mirip dengan Terminator: Judgment Day — dan menambahkan elemen baru yang spektakuler, seperti adu kendaraan di jembatan Golden Gate dan pertarungan di helikopter.

Jika ingin melahap Genisys dengan nyaman, mau tak mau kita harus melupakan apa yang sudah kita tahu dari film sebelumnya. Kita juga harus sedikit "menurunkan" intelegensi dan menganggap semua teori time-travel yang disajikan ini rasional. Yah, meskipun satu-satunya alasan rasional di balik teori tersebut adalah membuka peluang cerita untuk film-film selanjutnya (FYI, Genisys akan dibuat menjadi trilogi). Selain dari itu, Genisys adalah film blockbuster yang lumayan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Terminator Genisys' |
|

IMDb | Rottentomatoes
125 menit | Remaja

Sutradara Alan Taylor
Penulis Laeta Kalogridis, Patrick Lussier
Pemain Arnold Schwarzenegger, Jason Clarke, Emilia Clarke, Jai Courtney

Wednesday, June 24, 2015

Review Film: 'Poltergeist' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Horor, Artikel Keluarga, Artikel Review, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Poltergeist' (2015)
link : Review Film: 'Poltergeist' (2015)

Baca juga


Bukanlah remake yang buruk. Sayangnya, di balik sisi visual yang menarik, 'Poltergeist' versi Gil Kenan hanya menjadi reka ulang yang dangkal akibat melewatkan karakterisasi dan pacing narasi.

“They're here.”
— Madison
Poltergeist versi orisinil yang dirilis tahun 1982 merupakan film yang ikonik, mendefinisikan genre horor baru, melahirkan banyak pengikut, bahkan mendapat pengakuan dari Academy dengan 3 nominasi Oscar. Film ini juga disebut-sebut sebagai salah satu film horor terseram yang pernah dibuat. Saat kemudian sutradara Gil Kenan me-remake film tersebut, pertanyaannya adalah perlukah Poltergeist dibuat ulang?

Cukup logis sebenarnya alasan Kenan bersama dengan produser Sam Raimi (Evil Dead, Spider-Man) mereka-ulang kisah klasik ini. Poltergeist versi Tobe Hooper yang mengangkat tema horor keluarga dan teror dari teknologi yang tak kita mengerti (baca: televisi) tak lagi relevan dengan jaman sekarang. Di era modernisasi, kehidupan kita sudah dikelilingi oleh berbagai macam barang elektronik. Poltergeist versi baru menyadari hal tersebut dan menyelipkan terornya dalam wujud baru seperti smartphone dan tablet dengan tetap tak meninggalkan properti lamanya.

Dalam hal mereview Poltergeist versi baru ini, mau tak mau saya harus membandingkan dengan versi lama. Bukan hanya karena ini adalah adaptasi langsung dari versi lama, melainkan juga karena versi barunya nyaris mencaplok semua elemen dari versi lamanya, termasuk penokohan dan detail cerita, dengan sedikit polesan tentunya.

Kali ini fokus cerita adalah keluarga Bowen (bukan keluarga Freeling), dimana sang ayah tak lagi bekerja sebagai agen real estate melainkan seorang pekerja kantoran yang baru saja dipecat. Pasangan suami istri Eric (Sam Rockwell) dan Amy Bowen (Rosemarie DeWitt) beserta ketiga anaknya, Kendra (Saxon Sharbino), Griffin (Kyle Catlett), dan Madison (Kennedi Clements) pindah ke rumah baru di pinggiran kota. Peristiwa-peristiwa aneh mulai terjadi namun penghuni baru ini bisa dibilang tak terlalu ambil pusing.


Saat Eric dan Amy pergi makan malam ke luar, ponsel Kendra mengalami keanehan yang disusul dengan munculnya tangan dari balik ubin, Griffin melihat boneka badut yang ditemukannya di loteng muali bergerak, sementara Madison bersembunyi dengan takut di kamarnya. Peristiwa-peristiwa aneh ini terus berlanjut hingga akhirnya Madison terjebak di dunia lain dan semua anggota keluarga ini harus bersatu untuk menyelamatkannya.

Bagi anda yang belum pernah menonton Poltergeist versi lama mungkin akan menganggap film ini mirip dengan The Conjuring dari James Wan. Ya, memang plotnya kurang lebih sama. Dalam film ini juga dihadirkan karakter pengusir hantu lengkap dengan peralatan canggih untuk mendeteksi kejadian supranatural melalui tokoh Dr. Brooke Powell (Jane Adams) dan Carrigan Burke (Jared Harris). Tokoh yang terakhir memberikan nuansa humoris dan (entah disengaja atau tidak) terkesan mengejek film horor bertema pengusir hantu.

Poltergeist adalah tontonan keluarga dan meski termasuk dalam genre horor, film ini nyaris tanpa darah-darahan. Film ini bisa dibilang horor yang "aman" karena efek CGI lebih banyak digunakan sehingga secara visual tak terlalu menakutkan.

Versi baru ini tampaknya ingin setia terhadap versi lamanya, dengan tetap mempertahankan beberapa adegan ikonik seperti Madison yang menyentuh dan berkomunikasi dengan layar TV — kali ini TV-nya adalah TV LCD bukannya TV tabung —, teror dari pohon yang bisa bergerak, hingga tarik menarik antara arwah dunia lain dengan keluarga Bowen. Di film ini, kita bisa melihat sekilas bagaimana situasi dunia arwah melalui drones yang dikemudikan oleh Griffin dalam usahanya menyelamatkan Madison.

Saya bukanlah penggemar berat film orisinalnya. Alih-alih film horor dengan sentuhan cerita keluarga, Poltergeist memang lebih cenderung seperti film keluarga dengan sentuhan horor. Namun ia adalah film yang bagus karena lebih berfokus pada karakter dan pacing. Dengan durasi yang lebih singkat, Poltergeist versi baru tak ingin berlama-lama membangun karakter. Naskah dari David Lindsay-Abaire dengan cepat menginformasikan penonton bahwa Eric adalah kepala keluarga yang mengalami masalah finansial, sementara Amy adalah ibu yang perhatian, Kendra adalah remaja putri pemberontak, Griffin sebagai anak aneh yang selalu ketakutan sepanjang waktu, dan Madison sebagai si kecil polos yang justru menikmati hal-hal mistis yang dilihatnya. Karakterisasi ini disajikan dengan cepat dalam adegan-adegan yang singkat, sehingga sulit bagi penonton untuk benar-benar terikat dengan para tokohnya, satu poin yang berhasil digarap dengan baik oleh versi lamanya.

Lagi-lagi karena karakterisasi, kita tak dapat menangkap pesan moral mengenai anggota keluarga yang bahu membahu untuk satu tujuan. Di film versi baru ini, gara-gara karakterisasi one-note-nya kita tak bisa merasakan betapa tidak kompaknya anggota keluarga di awal film dan oleh karenanya kerjasama yang akhirnya mereka lakukan saat klimaks juga kurang mengena. Sejujurnya, saya bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi dengan keluarga Bowen ini.

Meski dinamika keluarga ini terkesan datar, tapi penampilan yang cukup bagus diberikan oleh Sam Rockwell. Tak hanya menjadikan karakter Eric jauh dari persona Steven Freeling (yang dimainkan oleh Craig T. Nelson), namun juga memberi sedikit improvisasi dan membuat dialog yang monoton menjadi menarik. Selain Rockwell, akting yang lain bisa dibilang rata-rata, tapi perlu digarisbawahi bahwa peran Griffin disini lebih signifikan dibanding peran Robbie Freeling dalam versi lamanya.

Sebagai film horor, Poltergeist terasa kurang intens dan kurang menyeramkan. Penonton tak dibuat merasakan bahaya yang mengancam keluarga Bowen. Kenan bukannya tak berpengalaman menangani film horor. Sebelumnya di pernah menyutradarai Monster House. Namun disini dia terkesan tak konsisten. Entah kenapa di pertengahan hingga paruh akhir, Kenan merasa harus mulai memasukkan jump scares klise, sesuatu yang tak ada di film versi lamanya.

Bukan berarti bahwa film ini adalah reka ulang yang buruk. Secara teknis, Poltergeist tak kalah dengan versi lamanya yang diklaim sangat maju dalam hal efek. Dengan teknologi special effects yang semakin maju, tentu film ini bisa menyajikan efek horor yang lebih halus dengan bantuan CGI. Kru di belakang layar juga melakukan eksekusi yang baik. Camerawork yang mengalir dari Javier Aguirresarobe serta editing yang bagus dari Jeff Betancourt & Bob Murawski membuat Poltergeist menjadi film yang berkualitas secara visual. Sayangnya film ini hanya superior dari sisi tersebut dan lebih memilih visual alih-alih narasi.

Usaha untuk memodernisasikan kisah klasik Poltergeist ini tidaklah buruk, namun film ini menjadi sekedar remake dangkal yang tak menggali lebih jauh sebagaimana harusnya. Seperti kebanyakan remake Hollywood lain, Poltergeist versi Kenan pada akhirnya termasuk dalam kategori remake yang tak perlu dan gampang terlupakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Poltergeist' |
|

IMDb | Rottentomatoes
93 menit | Remaja

Sutradara Gil Kenan
Penulis David Lindsay-Abaire
Pemain Sam Rockwell, Rosemarie DeWitt, Jared Harris, Jane Adams

Bukanlah remake yang buruk. Sayangnya, di balik sisi visual yang menarik, 'Poltergeist' versi Gil Kenan hanya menjadi reka ulang yang dangkal akibat melewatkan karakterisasi dan pacing narasi.

“They're here.”
— Madison
Poltergeist versi orisinil yang dirilis tahun 1982 merupakan film yang ikonik, mendefinisikan genre horor baru, melahirkan banyak pengikut, bahkan mendapat pengakuan dari Academy dengan 3 nominasi Oscar. Film ini juga disebut-sebut sebagai salah satu film horor terseram yang pernah dibuat. Saat kemudian sutradara Gil Kenan me-remake film tersebut, pertanyaannya adalah perlukah Poltergeist dibuat ulang?

Cukup logis sebenarnya alasan Kenan bersama dengan produser Sam Raimi (Evil Dead, Spider-Man) mereka-ulang kisah klasik ini. Poltergeist versi Tobe Hooper yang mengangkat tema horor keluarga dan teror dari teknologi yang tak kita mengerti (baca: televisi) tak lagi relevan dengan jaman sekarang. Di era modernisasi, kehidupan kita sudah dikelilingi oleh berbagai macam barang elektronik. Poltergeist versi baru menyadari hal tersebut dan menyelipkan terornya dalam wujud baru seperti smartphone dan tablet dengan tetap tak meninggalkan properti lamanya.

Dalam hal mereview Poltergeist versi baru ini, mau tak mau saya harus membandingkan dengan versi lama. Bukan hanya karena ini adalah adaptasi langsung dari versi lama, melainkan juga karena versi barunya nyaris mencaplok semua elemen dari versi lamanya, termasuk penokohan dan detail cerita, dengan sedikit polesan tentunya.

Kali ini fokus cerita adalah keluarga Bowen (bukan keluarga Freeling), dimana sang ayah tak lagi bekerja sebagai agen real estate melainkan seorang pekerja kantoran yang baru saja dipecat. Pasangan suami istri Eric (Sam Rockwell) dan Amy Bowen (Rosemarie DeWitt) beserta ketiga anaknya, Kendra (Saxon Sharbino), Griffin (Kyle Catlett), dan Madison (Kennedi Clements) pindah ke rumah baru di pinggiran kota. Peristiwa-peristiwa aneh mulai terjadi namun penghuni baru ini bisa dibilang tak terlalu ambil pusing.


Saat Eric dan Amy pergi makan malam ke luar, ponsel Kendra mengalami keanehan yang disusul dengan munculnya tangan dari balik ubin, Griffin melihat boneka badut yang ditemukannya di loteng muali bergerak, sementara Madison bersembunyi dengan takut di kamarnya. Peristiwa-peristiwa aneh ini terus berlanjut hingga akhirnya Madison terjebak di dunia lain dan semua anggota keluarga ini harus bersatu untuk menyelamatkannya.

Bagi anda yang belum pernah menonton Poltergeist versi lama mungkin akan menganggap film ini mirip dengan The Conjuring dari James Wan. Ya, memang plotnya kurang lebih sama. Dalam film ini juga dihadirkan karakter pengusir hantu lengkap dengan peralatan canggih untuk mendeteksi kejadian supranatural melalui tokoh Dr. Brooke Powell (Jane Adams) dan Carrigan Burke (Jared Harris). Tokoh yang terakhir memberikan nuansa humoris dan (entah disengaja atau tidak) terkesan mengejek film horor bertema pengusir hantu.

Poltergeist adalah tontonan keluarga dan meski termasuk dalam genre horor, film ini nyaris tanpa darah-darahan. Film ini bisa dibilang horor yang "aman" karena efek CGI lebih banyak digunakan sehingga secara visual tak terlalu menakutkan.

Versi baru ini tampaknya ingin setia terhadap versi lamanya, dengan tetap mempertahankan beberapa adegan ikonik seperti Madison yang menyentuh dan berkomunikasi dengan layar TV — kali ini TV-nya adalah TV LCD bukannya TV tabung —, teror dari pohon yang bisa bergerak, hingga tarik menarik antara arwah dunia lain dengan keluarga Bowen. Di film ini, kita bisa melihat sekilas bagaimana situasi dunia arwah melalui drones yang dikemudikan oleh Griffin dalam usahanya menyelamatkan Madison.

Saya bukanlah penggemar berat film orisinalnya. Alih-alih film horor dengan sentuhan cerita keluarga, Poltergeist memang lebih cenderung seperti film keluarga dengan sentuhan horor. Namun ia adalah film yang bagus karena lebih berfokus pada karakter dan pacing. Dengan durasi yang lebih singkat, Poltergeist versi baru tak ingin berlama-lama membangun karakter. Naskah dari David Lindsay-Abaire dengan cepat menginformasikan penonton bahwa Eric adalah kepala keluarga yang mengalami masalah finansial, sementara Amy adalah ibu yang perhatian, Kendra adalah remaja putri pemberontak, Griffin sebagai anak aneh yang selalu ketakutan sepanjang waktu, dan Madison sebagai si kecil polos yang justru menikmati hal-hal mistis yang dilihatnya. Karakterisasi ini disajikan dengan cepat dalam adegan-adegan yang singkat, sehingga sulit bagi penonton untuk benar-benar terikat dengan para tokohnya, satu poin yang berhasil digarap dengan baik oleh versi lamanya.

Lagi-lagi karena karakterisasi, kita tak dapat menangkap pesan moral mengenai anggota keluarga yang bahu membahu untuk satu tujuan. Di film versi baru ini, gara-gara karakterisasi one-note-nya kita tak bisa merasakan betapa tidak kompaknya anggota keluarga di awal film dan oleh karenanya kerjasama yang akhirnya mereka lakukan saat klimaks juga kurang mengena. Sejujurnya, saya bahkan tak peduli dengan apa yang terjadi dengan keluarga Bowen ini.

Meski dinamika keluarga ini terkesan datar, tapi penampilan yang cukup bagus diberikan oleh Sam Rockwell. Tak hanya menjadikan karakter Eric jauh dari persona Steven Freeling (yang dimainkan oleh Craig T. Nelson), namun juga memberi sedikit improvisasi dan membuat dialog yang monoton menjadi menarik. Selain Rockwell, akting yang lain bisa dibilang rata-rata, tapi perlu digarisbawahi bahwa peran Griffin disini lebih signifikan dibanding peran Robbie Freeling dalam versi lamanya.

Sebagai film horor, Poltergeist terasa kurang intens dan kurang menyeramkan. Penonton tak dibuat merasakan bahaya yang mengancam keluarga Bowen. Kenan bukannya tak berpengalaman menangani film horor. Sebelumnya di pernah menyutradarai Monster House. Namun disini dia terkesan tak konsisten. Entah kenapa di pertengahan hingga paruh akhir, Kenan merasa harus mulai memasukkan jump scares klise, sesuatu yang tak ada di film versi lamanya.

Bukan berarti bahwa film ini adalah reka ulang yang buruk. Secara teknis, Poltergeist tak kalah dengan versi lamanya yang diklaim sangat maju dalam hal efek. Dengan teknologi special effects yang semakin maju, tentu film ini bisa menyajikan efek horor yang lebih halus dengan bantuan CGI. Kru di belakang layar juga melakukan eksekusi yang baik. Camerawork yang mengalir dari Javier Aguirresarobe serta editing yang bagus dari Jeff Betancourt & Bob Murawski membuat Poltergeist menjadi film yang berkualitas secara visual. Sayangnya film ini hanya superior dari sisi tersebut dan lebih memilih visual alih-alih narasi.

Usaha untuk memodernisasikan kisah klasik Poltergeist ini tidaklah buruk, namun film ini menjadi sekedar remake dangkal yang tak menggali lebih jauh sebagaimana harusnya. Seperti kebanyakan remake Hollywood lain, Poltergeist versi Kenan pada akhirnya termasuk dalam kategori remake yang tak perlu dan gampang terlupakan. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Poltergeist' |
|

IMDb | Rottentomatoes
93 menit | Remaja

Sutradara Gil Kenan
Penulis David Lindsay-Abaire
Pemain Sam Rockwell, Rosemarie DeWitt, Jared Harris, Jane Adams

Apa Kata James Cameron tentang 'Terminator Genisys'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Video, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Apa Kata James Cameron tentang 'Terminator Genisys'
link : Apa Kata James Cameron tentang 'Terminator Genisys'

Baca juga


Video berikut menampilkan sutradara 'The Terminator' (1984), James Cameron yang menyatakan kecintaannya pada 'Genisys'. Akankah komentar ini mengubah opini sinis terhadap film tersebut?
Apakah anda telah menonton Terminator Genisys yang premier hari ini (24/6) di bioskop? Saya sendiri belum sempat menontonnya hari ini. Terlebih lagi antusiasme saya juga tak tinggi-tinggi amat, melihat materi promosinya yang cukup buruk. Namun mungkin saja itu hanyalah skeptisme saya belaka, karena James Cameron — sang kreator dan sutradara The Terminator (1984) dan Terminator 2: Judgment Day (1991) — menyatakan bahwa dia sangat menyukai Terminator Genisys.

//theterminatorfans

Dalam video berikut, Cameron membahas mengenai Genisys dan memberikannya prediket sebagai "film ketiga" dari franchise tersebut. Film ini juga disebutnya sukses membangkitkan kembali franchise sembari tetap menghormati film-film sebelumnya. Cameron juga terkesan dengan premis film yang menjadikan John Connor (Jason Clarke) sebagai antagonis.

Bagaimana pendapat anda mengenai video berikut dan film Terminator Genisys sendiri? Silakan masukkan opini anda di kolom komentar. ■UP

Video berikut menampilkan sutradara 'The Terminator' (1984), James Cameron yang menyatakan kecintaannya pada 'Genisys'. Akankah komentar ini mengubah opini sinis terhadap film tersebut?
Apakah anda telah menonton Terminator Genisys yang premier hari ini (24/6) di bioskop? Saya sendiri belum sempat menontonnya hari ini. Terlebih lagi antusiasme saya juga tak tinggi-tinggi amat, melihat materi promosinya yang cukup buruk. Namun mungkin saja itu hanyalah skeptisme saya belaka, karena James Cameron — sang kreator dan sutradara The Terminator (1984) dan Terminator 2: Judgment Day (1991) — menyatakan bahwa dia sangat menyukai Terminator Genisys.

//theterminatorfans

Dalam video berikut, Cameron membahas mengenai Genisys dan memberikannya prediket sebagai "film ketiga" dari franchise tersebut. Film ini juga disebutnya sukses membangkitkan kembali franchise sembari tetap menghormati film-film sebelumnya. Cameron juga terkesan dengan premis film yang menjadikan John Connor (Jason Clarke) sebagai antagonis.

Bagaimana pendapat anda mengenai video berikut dan film Terminator Genisys sendiri? Silakan masukkan opini anda di kolom komentar. ■UP

Monday, June 22, 2015

Poster Terbaru 'Ted 2' Terinspirasi dari 'Flash Gordon'

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Poster, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Poster Terbaru 'Ted 2' Terinspirasi dari 'Flash Gordon'
link : Poster Terbaru 'Ted 2' Terinspirasi dari 'Flash Gordon'

Baca juga


Menyambut penayangannya pada 26 Juni mendatang, Universal merilis poster 'Ted 2' yang [sangat] terinspirasi dari film 'Flash Gordon'. Lihat posternya berikut.
Dalam film Ted, pemeran Flash Gordon Sam J. Jones muncul sebagai cameo. Jones juga diberitakan akan tampil dalam film Ted 2, yang akan tayang pada akhir minggu ini (26/6) di Amerika. Nah, Universal merilis poster promo yang sangat mirip dengan poster film Flash Gordon.

//comicbook

Ted 2 bercerita tentang sebuah boneka beruang yang bisa berbicara (Seth MacFarlane) dimana kali ini dia telah menikah dengan pacarnya, Tami-Lynn (Jessica Barth). Keduanya ingin punya anak, dan mereka meminta bantuan John Bennett (Mark Wahlberg) menyediakan sprema untuk inseminasi buatan.

Disutradarai kembali oleh Seth MacFarlane, film ini juga akan dibintangi oleh Amanda Seyfried, Patrick Warburton, Morgan Freeman, Dennis Haysbert dan Liam Neeson.

Belum ada kepastian mengenai jadwal tayang Ted 2 di Indonesia. Mengingat komedinya yang agak vulgar, saya berasumsi bahwa kemungkinan baru akan tayang setelah Ramadan. ■UP


//cinemablend

Menyambut penayangannya pada 26 Juni mendatang, Universal merilis poster 'Ted 2' yang [sangat] terinspirasi dari film 'Flash Gordon'. Lihat posternya berikut.
Dalam film Ted, pemeran Flash Gordon Sam J. Jones muncul sebagai cameo. Jones juga diberitakan akan tampil dalam film Ted 2, yang akan tayang pada akhir minggu ini (26/6) di Amerika. Nah, Universal merilis poster promo yang sangat mirip dengan poster film Flash Gordon.

//comicbook

Ted 2 bercerita tentang sebuah boneka beruang yang bisa berbicara (Seth MacFarlane) dimana kali ini dia telah menikah dengan pacarnya, Tami-Lynn (Jessica Barth). Keduanya ingin punya anak, dan mereka meminta bantuan John Bennett (Mark Wahlberg) menyediakan sprema untuk inseminasi buatan.

Disutradarai kembali oleh Seth MacFarlane, film ini juga akan dibintangi oleh Amanda Seyfried, Patrick Warburton, Morgan Freeman, Dennis Haysbert dan Liam Neeson.

Belum ada kepastian mengenai jadwal tayang Ted 2 di Indonesia. Mengingat komedinya yang agak vulgar, saya berasumsi bahwa kemungkinan baru akan tayang setelah Ramadan. ■UP


//cinemablend

Review Film: 'Insidious: Chapter 3' (2015)

- Hallo sahabat Movie Film | Nonton Film | Download, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Drama, Artikel Horor, Artikel Review, Artikel Thriller, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Review Film: 'Insidious: Chapter 3' (2015)
link : Review Film: 'Insidious: Chapter 3' (2015)

Baca juga


Walaupun memang bukan termasuk film horor yang dengan kadar nyeremin yang tinggi, sedikit banyak 'Insidious: Chapter 3' berhasil membuat penonton terlonjak dari kursi dengan jump scares-nya yang klise.

“If you call out to one of the dead, all of them can hear you.”
— Elise Rainier
Dengan ending Insidious: Chapter 2 yang cukup memuaskan, bisa dibilang kisah yang dimulai oleh James Wan pada 2011 ini sudah tutup buku. Namun Leigh Whannell tak kehabisan ide. Dengan menjadikan film berikutnya ini sebagai prekuel, Insidious: Chapter 3 membahas lebih jauh tentang dunia orang mati yang bernama The Further dan memberikan porsi lebih banyak pada karakter paranormal, Elise Rainier (Lin Shaye).

Seorang gadis muda bernama Quinn Brenner (Stefanie Scott) meminta bantuan Elise untuk mengontak ibunya yang telah meninggal. Elise awalnya menolak, namun karena Quinn tetap bersikeras akan berkomunikasi ibunya meski tanpa Elise, akhirnya dia luluh juga. Apalagi mengingat fakta bahwa mengontak arwah orang mati bisa memancing entitas berbahaya dari dunia lain. Sialnya, saat mengontak ibu Quinn, Elise berhadapan dengan "Wanita Bergaun Hitam" dan harus menghentikan penerawangannya.

Melalui salah satu characters establishing terparah yang pernah saya tonton, kita diperkenalkan dengan orang-orang di sekitar Quinn, mulai dari ayahnya, Sean Brenner (Dermot Mulroney) adiknya, Alex (Tate Berney), teman dekatnya, Maggie (Hayley Kiyoko) serta tetangga seapartemen yang naksir padanya, Hector (Ashton Moio). Dari yang saya sebutkan barusan, tak ada tokoh yang punya peran signifikan, selain Sean sebagai ayah yang (mencoba) perhatian pada anaknya dan Alex yang berusaha mengontak tim pengusir hantu yang kocak, Specs dan Tucker (dimainkan oleh Whannel dan Angus Sampson).


Quinn mulai mendengar suara-suara aneh di tengah malam dan peristiwa-peristiwa mistis mulai terjadi. Saat melihat seorang pria aneh yang melambai dari kejauhan.... BAM.... Quinn akhirnya harus menjalani operasi dan kakinya harus di-gips. Kondisi ini membuat situasi semakin menegangkan, karena saat peristiwa mistis terjadi, Quinn tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa melihat perbuatan dari makhluk yang disebut dengan "Pria Yang Tak Bisa Bernapas" dengan tatapan ngeri.

Leigh Whannell mengambil tongkat sutradara dari James Wan setelah bekerja sama dengannya dalam naskah Insidious 1 dan 2. Merupakan debutnya sebagai sutradara, gaya Whannell bukanlah seperti Wan yang lebih menggantungkan horornya pada atmosfer film dengan membangun tensi.

Sebagaimana film horor masa kini yang menggunakan metode jump scares untuk menakuti penonton, Insidious 3 bukanlah pengecualian. Kita akan dibuat kaget dengan suara musik yang menggelegar tiba-tiba dan penampakan seram yang entah muncul darimana. Namun Whannell juga dengan efektif menciptakan intensitas dengan membuat penonton awas terhadap apa yang terjadi di sekitar. Misalnya saja saat kemunculan Pria Pria Yang Tak Bisa Bernapas yang bergerak pelan di balik tirai tanpa disadari Quinn membuat kita menahan napas, dan berujung pada jump scares yang sukses membuat beberapa penonton menjerit. Yah, jump scares-nya memang klise, tapi di beberapa scene cukup mengena.

Ceritanya sendiri predictable dan sangat tipikal film horor. Nyaris tak ada hal yang baru disini, namun jika anda penasaran seperti apa sebenarnya The Further, anda akan terpuaskan karena film ini menyorot dunia gaib tersebut lebih lama.

Salah satu faktor yang bisa sedikit mengangkat kasta film ini adalah bagaimana Whannel menambahkan unsur drama yang lebih dibandingkan film sebelumnya. Quinn adalah gadis muda yang belum bisa menerima kematian ibunya, sementara Sean berusaha untuk melupakan kehilangan tersebut. Sebagai tambahan, kita juga bisa melihat bagaimana akhirnya Elise memutuskan untuk menggunakan kemampuannya membantu orang lain bersama dengan Specs dan Tucker, meski harus dihantui oleh Wanita Bergaun Hitam. Satu pertanyaan yang tak terjawab adalah awal keterlibatan Elise dengan Wanita Bergaun Hitam tersebut.

Walaupun memang bukan termasuk film horor yang dengan kadar nyeremin yang tinggi, sedikit banyak Insidious: Chapter 3 berhasil membuat penonton terlonjak dari kursi dengan jump scares-nya yang klise. Meski tak sepiawai Wan, namun Whannell menunjukkan kemampuannya menangani film horor dengan caranya sendiri. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Insidious: Chapter 3' |
|

IMDb | Rottentomatoes
97 menit | Remaja

Sutradara Leigh Whannell
Penulis Leigh Whannell
Pemain Dermot Mulroney, Stefanie Scott, Lin Shaye

Walaupun memang bukan termasuk film horor yang dengan kadar nyeremin yang tinggi, sedikit banyak 'Insidious: Chapter 3' berhasil membuat penonton terlonjak dari kursi dengan jump scares-nya yang klise.

“If you call out to one of the dead, all of them can hear you.”
— Elise Rainier
Dengan ending Insidious: Chapter 2 yang cukup memuaskan, bisa dibilang kisah yang dimulai oleh James Wan pada 2011 ini sudah tutup buku. Namun Leigh Whannell tak kehabisan ide. Dengan menjadikan film berikutnya ini sebagai prekuel, Insidious: Chapter 3 membahas lebih jauh tentang dunia orang mati yang bernama The Further dan memberikan porsi lebih banyak pada karakter paranormal, Elise Rainier (Lin Shaye).

Seorang gadis muda bernama Quinn Brenner (Stefanie Scott) meminta bantuan Elise untuk mengontak ibunya yang telah meninggal. Elise awalnya menolak, namun karena Quinn tetap bersikeras akan berkomunikasi ibunya meski tanpa Elise, akhirnya dia luluh juga. Apalagi mengingat fakta bahwa mengontak arwah orang mati bisa memancing entitas berbahaya dari dunia lain. Sialnya, saat mengontak ibu Quinn, Elise berhadapan dengan "Wanita Bergaun Hitam" dan harus menghentikan penerawangannya.

Melalui salah satu characters establishing terparah yang pernah saya tonton, kita diperkenalkan dengan orang-orang di sekitar Quinn, mulai dari ayahnya, Sean Brenner (Dermot Mulroney) adiknya, Alex (Tate Berney), teman dekatnya, Maggie (Hayley Kiyoko) serta tetangga seapartemen yang naksir padanya, Hector (Ashton Moio). Dari yang saya sebutkan barusan, tak ada tokoh yang punya peran signifikan, selain Sean sebagai ayah yang (mencoba) perhatian pada anaknya dan Alex yang berusaha mengontak tim pengusir hantu yang kocak, Specs dan Tucker (dimainkan oleh Whannel dan Angus Sampson).


Quinn mulai mendengar suara-suara aneh di tengah malam dan peristiwa-peristiwa mistis mulai terjadi. Saat melihat seorang pria aneh yang melambai dari kejauhan.... BAM.... Quinn akhirnya harus menjalani operasi dan kakinya harus di-gips. Kondisi ini membuat situasi semakin menegangkan, karena saat peristiwa mistis terjadi, Quinn tak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa melihat perbuatan dari makhluk yang disebut dengan "Pria Yang Tak Bisa Bernapas" dengan tatapan ngeri.

Leigh Whannell mengambil tongkat sutradara dari James Wan setelah bekerja sama dengannya dalam naskah Insidious 1 dan 2. Merupakan debutnya sebagai sutradara, gaya Whannell bukanlah seperti Wan yang lebih menggantungkan horornya pada atmosfer film dengan membangun tensi.

Sebagaimana film horor masa kini yang menggunakan metode jump scares untuk menakuti penonton, Insidious 3 bukanlah pengecualian. Kita akan dibuat kaget dengan suara musik yang menggelegar tiba-tiba dan penampakan seram yang entah muncul darimana. Namun Whannell juga dengan efektif menciptakan intensitas dengan membuat penonton awas terhadap apa yang terjadi di sekitar. Misalnya saja saat kemunculan Pria Pria Yang Tak Bisa Bernapas yang bergerak pelan di balik tirai tanpa disadari Quinn membuat kita menahan napas, dan berujung pada jump scares yang sukses membuat beberapa penonton menjerit. Yah, jump scares-nya memang klise, tapi di beberapa scene cukup mengena.

Ceritanya sendiri predictable dan sangat tipikal film horor. Nyaris tak ada hal yang baru disini, namun jika anda penasaran seperti apa sebenarnya The Further, anda akan terpuaskan karena film ini menyorot dunia gaib tersebut lebih lama.

Salah satu faktor yang bisa sedikit mengangkat kasta film ini adalah bagaimana Whannel menambahkan unsur drama yang lebih dibandingkan film sebelumnya. Quinn adalah gadis muda yang belum bisa menerima kematian ibunya, sementara Sean berusaha untuk melupakan kehilangan tersebut. Sebagai tambahan, kita juga bisa melihat bagaimana akhirnya Elise memutuskan untuk menggunakan kemampuannya membantu orang lain bersama dengan Specs dan Tucker, meski harus dihantui oleh Wanita Bergaun Hitam. Satu pertanyaan yang tak terjawab adalah awal keterlibatan Elise dengan Wanita Bergaun Hitam tersebut.

Walaupun memang bukan termasuk film horor yang dengan kadar nyeremin yang tinggi, sedikit banyak Insidious: Chapter 3 berhasil membuat penonton terlonjak dari kursi dengan jump scares-nya yang klise. Meski tak sepiawai Wan, namun Whannell menunjukkan kemampuannya menangani film horor dengan caranya sendiri. ■UP

Follow Ulasan Pilem di twitter: @ulasanpilem

'Insidious: Chapter 3' |
|

IMDb | Rottentomatoes
97 menit | Remaja

Sutradara Leigh Whannell
Penulis Leigh Whannell
Pemain Dermot Mulroney, Stefanie Scott, Lin Shaye